Makna Simbol Kebudayaan Minangkabau Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka: Tinjauan Semiotika

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hamka adalah salah seorang sastrawan terkemuka di Indonesia. Beliau dikenal
sebagai pengarang roman. Dua buah romannya yang terkenal dan sering disebut-sebut orang
adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnja Kapal van der Wijk
(Rosidi,1969:68). Roman-roman Hamka sebelum diterbitkan berbentuk buku, awalnya
dipublikasikan sebagai feuilleton. Yang dimaksud feuilleton adalah cerita bersambung dalam
surat kabar dan majalah (Sudjiman, 1984:14). Roman-roman Hamka sebagai cerita
bersambung tersebut pertama kali diterbitkan di majalah Pandji Masjarakat yang terbit di
Medan, dan, Hamka sebagai pimpinan majalah tersebut. Hamka menerbitkan majalah Panji
Masjarakat di Medan dengan tujuan untuk memajukan pengetahuan dan peradaban
berdasarkan pandangan Islam (Bakri, 1964:60-61).
Hamka lahir di Maninjau pada tanggal 16 Pebruari 1908, putra Haji Abdul Karim
Amrullah. seorang tokoh Islam di Sumatera Barat. Hamka yang aslinya bernama Haji Abdul
Malik menambahkan nama ayahnya Karim Amrullah di belakang namanya yang kemudian
disingkatnya menjadi Hamka dan dia lebih dikenal dengan nama itu. Seperti ayahnya Hamka
juga ulama Islam yang berpendirian menentang kaum adat yang merintangi perkembangan
agama Islam. Hamka mendapat pendidikan sekolah rendah di tanah kelahirannya. Ia
kemudian merantau ke Jawa dan kemudian melanjutkan menuntut ilmu agama di Mekah.
Setelah kembali ke tanah air, dia menjadi guru agama dan tokoh Islam di Sumatera Timur

(Bakri, 1964:60).
Roman

Tenggelamnya Kapal van Der Wijck (TKvDW) konon menurut sebuah

sumber diilhami oleh sebuah peristiwa tenggelamnya kapal yang bernama Van der Wijck,
sebuah kapal mewah buatan galangan kapal Feijenoord, Rotterdam, Belanda pada tahun 1921

Universitas Sumatera Utara

milik perusahaan Koninklijke Paketyaart Maatschappii Amsterdam. Untuk mengenang
peristiwa tersebut dan sebagai tanda penghormatan pada jasa para nelayan Pemerintahan
Hindia Belanda mendirikan sebuah monumen di halaman kantor Pelabuhan Brondong,
Kabupaten

Lamongan,

Jawa

Timur


(https://id.wikipedia.org/wiki/Monumen_van_der_Wijck;diakses tanggal 14 April 2016).
Sejak awal diterbitkan berbentuk buku, roman TKvDW telah mengalami bebarapa kali
cetak ulang dan berganti-ganti penerbit. Cetakan pertama tahun 1949 diterbitkan oleh
penerbit Panji Majarakat, kemudian tahun 1951 oleh penerbit Balai Pustaka. Setalah itu,
pada tahun 1961 oleh penerbit Nusantara dan, setelah itu penerbit-penerbit yang lainnya. Hal
ini menggambarkan bahwa roman TKvDW merupakan roman yang populer. Kepopulerannya
juga terlihat dengan diterbitkannya roman TKvDW dalam bahasa Melayu (1963 di Kuala
Lumpur). Selain itu roman TKvDW diangkat ke layar lebar di Indonesia.
Roman TKvDW kemudian menjadi bahan polemik dengan munculnya tulisan
Abdullah Sp di surat kabar Bintang Timur pada tanggal 7 dan 14 September 1962. Tulisan
tersebut menuding Hamka sebagai plagiator. Roman TKvDW

dianggap merupakan

terjemahan dari karya terjemahan Al-Manfaluthi berjudul Magdalena, sedangkan Magdalena
merupakan saduran dari karya Alphonse Karr yang berjudul Sous Le Tilleuls (Di Bawah
Naungan Pohon Tillia). Serangan bernada tuduhan itu pada umumnya datang dari sastrawan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yaitu sebuah lembaga di bawah naungan Partai
Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu bermaksud untuk menjatuhkan keulamaan Hamka,

tetapi Hamka tidak berkomentar atas tuduhan itu (Mahayana dkk., 1995:59).
Keulamaan Hamka tampak pada romannya TKvDW. Ia mengangkat pokok
permasalahan tentang adat perkawinan masyarakat Minangkabau. Tujuan Hamka adalah
untuk meluruskan pemikiran dan sikap orang tua yang mengaku Islam, tetapi tidak berjiwa
Islam melainkan bersikap mengutamakan adat yang berlaku di Minangkabau. Padahal adat

Universitas Sumatera Utara

Minangkabau berfalsafah adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah (Navis,
2015:XI). Artinya, syarak berssendikan kitabullah, yaitu adat yang mengikuti apa yang
diajarkan kitabullah (kitab Allah) yaitu Alquran. Roman TKvDW dapat dikatan adalah roman
yang bertendens. Roman bertendens ialah roman yang memiliki maksud untuk mengajar dan
mendidik pembaca (Retnaningsih, 1938:18). Pada umumnya roman bertendens juga disebut
cerita berkisar sekitar soal adat (Badudu, 1982:48).
Hamka dalam roman TKvDW mengisahkan tentang kasih tidak sampai karena terhalang
oleh adat Minangkabau yang terkenal kukuh. Tokoh Zainuddin adalah hasil buah perkawinan
campuran antara adat Minangkabau dan adat Makasar. Dalam adat Minangkabau ia disebut
sebagai anak pisang. Zainuddin tidak direstui mempersunting gadis idamannya

yang


bernama Hayati karena Zainuddin dianggap bukan keturunan Minangkabau asli oleh ninikmamak Hayati. Aziz, yang lebih dahulu melamar Hayati, direstui oleh ninik-mamak Hayati,
karena dia merupakan keturunan asli Minangkabau. Zainuddin yang tidak restui membawa
diri ke Surabaya. Ia kemudian menjadi pengarang tersohor. Akhir cerita, Hayati gadis
kecintaanya meninggal dunia karena kapal yang ia ditumpangi tenggelam.
Hamka

sangat

memiliki

keistimewahan

dalam

menceritakan

roman

TKvDW.


Keistimewahan itu tergambar dengan gaya liris sentimentalnya, yang dipadu dengan irama
kaba, bahasa daerah, dan gaya ini tetap diperthankan ole Hamka (Bakri, 1964:61-64). Di
samping itu, dalam roman TKvDW Hamka menyajikan unsur-unsur adat Minangkabau yang
sangat kental, dan kokoh. Selain itu, terdapat juga perselisihan dan diskriminasi budaya lain
yang tidak diperbolehkan mempersunting gadis Minangkabau terkecuali laki-laki yang asli
keturunan Minangkabau.
Hal-hal yang di kemukan terdahulu membuat penulis tertarik mengkaji roman tersebut,
dengan fokus makna simbol kebudayaan Minangkabau yang terdapat dalam roman TKvdW.
Penulis berharap hasil penelitian ini nantinya dapat membuat pembaca roman TKvdW,

Universitas Sumatera Utara

khususnya pembaca yang tidak berlatarbelakang suku Minangkabau, dapat memahami makna
dari bahasa simbol-simbol kebudayaan Minangkabau dalam roman TKvdW.

1.2 Rumusan Masalah
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu rumusan
masalah. Perumusan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa sajakah bentuk-bentuk simbol kebudayaan Minangkabau dalam roman

TKvDW yang dapat diinventarisasikan?
2. Apakah makna-makna simbol kebudayaan Minangkabau dalam roman TKvDW?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menginventarisasi bentuk simbol kebudayaan Minangkabau dalam novel TKvDW
2. Menganalisis makna simbol-simbol kebudayaan Minangkabau dalam novel
TKvDW.

1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Adapun manfaat teoretis penelitian ini:
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi teori yang relevan serta menambah wawasan
masyarakat dalam memahami roman.
2. Menambah kontribusi terhadap ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sastra
dengan analisis semiotik.

Universitas Sumatera Utara


2.Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis analisis ini adalah:
1. Memperluas khazanah ilmu pengetahuan terutama bidang sastra Indonesia.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada mahasiswa untuk
mengkaji dan menelaah roman.
3. Menambah referensi dan membantu pembaca dalam memahami makna yang
terdapat dalam karya sastra.

Universitas Sumatera Utara