Makna Simbol Kebudayaan Minangkabau Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka: Tinjauan Semiotika Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan metode kepustakaan. Menurut
Bogman dan Taylor metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan bahasa (Moleong, 2006:4). Metode kepustakaan
yaitu penelitian dilakukan untuk mencari dan meneliti naska-naskah, buku-buku ataupun
sumber-sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian, yang tersimpan
di perpustakaan-perpustakaan (Irwansyah, 1989:26).
3.2 Sumber Data
Sumber data yang akan dianalis adalah:
Judul Roman

: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Pengarang

: Hamka

Penerbit


: Balai Pustaka

Cetakan

: Pertama (Edisi Revisi)

Tahun Terbit

: 2013

Warna Sampul

: Hitam dan putih dengan judul berwarna cokelat muda dan putih

Gambar sampul

Jumlah Halaman

: Gambar sampul depan berupa gambar kapal yang tenggelam dengan

penumpang yang terhempas tenggelam di lautan dan sampul
belakang terdapat tulisan biografi pengarang.
: 264 halaman

Data tersebut merupakan data primer. Selain data primer, tentu dibutukan data
sekunder berupa buku-buku sastra, referensi, jurnal, catatan singkat, kamus, dari sumber
online atau internet yang berisi tentang informasi yang berkaitan dengan penelitian dan
sebagai yang relevan dengan penelitian.

Universitas Sumatera Utara

3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan menggunakan teknik membaca, simak dan catat. Teknik
membaca yang dilakukan secara berulang-ulang dengan membaca data primer yaitu roman
TKvdW kemudian disimak secara cermat teliti dan terarah terhadap data primer untuk
memperoleh data kata leksikal, frasa, klausa, kalimat, ungkapan dan sejenisnya yang
mengandung simbol kebudayaan Minangkabau dalam roman TKvdW karya Hamka. Dari
hasil penyimakan kemudian dilakukan pencatatan data beserta kode sumber.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Peneliti membaca dan memahami kembali data yang telah terkumpul secara
keseluruhan.
2. Data yang diperoleh dicatat dan diidentifikasi berdasarkan mengklasifikasi
berdasakan butir masalah yang akan dibahas.
3. Menafsirkan kembali seluruh data.
Teknik analisis data pada penelitian ini juga menggunakan analisis deskriptif. Data
yang terkumpul kemudian diinterpretasikan sehingga terjalin antarstruktur yang saling
berkaitan. Hasil yang diperoleh berupa uraian penjelasan. Metode analisis deskriptif
dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan (Ratna, 2004:53). Selanjutnya
data-data dikaji berdasarkan teori semiotika pendekatan Charles Sander Peirce tentang jenis
tanda (simbol) kebudayaan Minangkabau, kemudian dicatat sehingga dapat diketahui hasil
analisis data.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
MENGIVENTARISASI DAN MENGANALISIS MAKNA SIMBOL KEBUDAYAAN

MINANGKABAU DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
KARYA HAMKA
Simbol kebudayaan Minangkabau yang terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal
van Der Wijck karya Hamka diiventarisasi sebagai berikut. (1) simbol sebutan gelar.’ (2)
simbol sebutan nama, sapaan, dan, julukan.’ (3) simbol sebutan nama wilayah.’ (4) simbol
sebutan istilah sistem peraturan adat.’ (5) simbol nama alat musik dan pakaian adat.’ (6)
simbol pantun.’ dan (7) simbol pepatah. Setelah simbol-simbol diinventarisasikan, kemudian
dilakukan analisis maknanya berupa penjelasan.

4.1 Simbol Sebutan Gelar
Dalam masyarakat Minangkabau, posisi pribadi hanyalah sebagai salah satu unsur
masyarakatnya, sehingga menjadi ternama bukanlah menjadi tujuan seorang. Masyarakat
Minangkabau hanya mencari ialah tuah yang dimaksudnya sama dengan nama, tetapi
perwujudannya berbeda. Nama menjadi penting dalam masyarakat yang nonkomunal dan
nonkolektif. Di dalam masyarakat Minangkabau satu nama tidak pernah diabadikan
meskipun tuah atau jasanya luar biasa. Oleh sebab itu, gerlar sebagai untuk mengenal
indentitasnya (Navis,2015,:132). Ada pun makna simbol sebutan gelar di kebudayaan
Minangkabau, yang akan dianalisis dalam novel Tenggelamnya Kapal van der Wicjk
(TKvdW) karya Hamka sebagai berikut. Simbol-simbol tersebut, berupa kata leksikal, frasa,
klausa, kalimat, ungkapan dan sejenisnya.


Universitas Sumatera Utara

4.1.1 Pendekar Sutan
“Seorang anak muda bergelar Pendekar Sutan, kemanakan Datuk Mantarih Labih,
adalah Pendekar Sutan kepala waris yang tunggal dari harta peninggalan ibunya” (TKvdW:4).
Representamen:
Pendekar Sutan merupakan suatu simbol sapaan atau gelar di kebudayaan
Minangkabau. Pendekar artinya orang yang pandai silat, ahli bela diri dan ditulis dalam
Bahasa Minangkabau pandeka dalam KBM (2015:299). Sutan yang ditulis dalam Bahasa
Minangkabau Sutan artinya bila ditulis atau dipanggilkan sebelum nama, Sutan adalah gelar
bangsawan yang termasuk di Padang dan Pariaman, turunan ayah; bila sesudah nama, gelar
adat, diwariskan mamak dalam KBM (2015:404).
Interpretant:
Sutan yang berasal dari bahasa Sanskerta Su dan Tan. Su artinya baik, Tan berasal
dari tuan yang berubah pengucapannya. Di Melaka berubah bunyi menjadi Tun. Tuan berasal
dari To dan Wan, yang artinya orang dan mulia. Gelar Sutan merupakan gelar sebagai
identitas turunan ayah. Sutan menandakan asal-usul ayahnya orang Luhak nan Tiga, gelar ini
juga menandakan orang muda. Ukuran tua dan muda dalam hal ini ditentukan dengan
kelahiran cucu. Orang yang belum mempunyai cucu dipandang sebagai masih muda, tetapi

kalau sudah memiliki cucu dipandang sebagai tua. Sebagai orang tua, maka gelar Sutan tidak
dipakainya lagi dan diganti dengan gelar Angku (engku).
Gelar Sutan yang dikatakan gelar dari warisan ayah karena persilangan dan
perkawinan bangsawan Padang. Laki-laki bangsawa Padang yang bergelar Sutan menikah
dengan Puti (putri) bangsawan Padang, anak laki-laki akan bergelar Sutan dan anak
perempuannya akan bergelar Puti. Apabila anak laki-laki menikah pada perempuan biasa,
anak lakinya memperoleh gelar bangsawan pula, Sutan dan Puti. Laki-laki tidak bangsawan
menikah dengan Putih maka anaknya akan bergelar Marah. Marah berasal dari Meurah yaitu

Universitas Sumatera Utara

bahasa Aceh yang artinya raja kecil. Sebagaimana Pariaman, Padang juga merupakan basis
kekuasaan Aceh di Pantai Barat Minangkabau (Navis, 2015:133:134). Kesimpulannya bahwa
gelar Pendekar Sutan merupakan gelar bangsawan yang pandai silat atau ahli bela diri di
masyarakat Minangkabau.

4.1.2 Gadang
“Darah muda masih mengalir dalam badannya. Di hendak kawin, hendak berumah
tangga, hendak laga kawan-kawan sesama gadang.” (TKvdW:4).
Representamen:

Gadang merupakan simbol sebutan untuk yang menerangkan ciri-ciri kepada sesuatu
objek atau berupa sifat keterangan suatu objek di kebudayaan Minangkabau. Gadang artinya
besar (secara jasmani) dan agung (diagungkan) atau mulia (dimuliakan), contohnya nan
gadang basa batuah (beliau yang diagungkan) yaitu sebutan untuk para penghulu adat
sebagai penghormatan atau sambutan yang diagungkan dan dimuliakan karena jabatan dalam
masyarakat KBM (2015:125).
Interpretant:
Kata Gadang biasanya digunakan orang Minangkabau untuk sebuah penghormatan
dan untuk menunjukan kata sifat keterangan terhadap suatu objek, contohnya orang gadang
basa batuah (mahabesar bertuah) sebagai penghormatan gelar panggilan datuak (Navis,
2015:134).

4.1.3 Datuk
“Pernah dia menerima surat dari Padang dari keluarganya menyuruh pulang saja ke
kampung. Karena dia seorang beradat, gelar pusaka Datuk Mantari Labih tidak ada yang akan
memakai” (TKvdW:13).

Universitas Sumatera Utara

Representamen:

Datuk merupakan simbol gelar di kebudayaan Minangkabau yang dituliskan dalam
bahasa Minangkabau datuak, artinya gelar adat yaitu kepala kaum dan kepala suku. Datuak
berasal dari bahasa Sanskerta yaitu da atau rad dan to. Da artinya yang mulia, to artinya
orang, jadi dato artinya orang yang mulia (Navis,2015:134). Datuak diartikan juga nama
pengganti setelah dewasa dan panggilan pengganti terhadap penghulu adat dalam KBM
(2015:111).
Interpretant:
Setiap warga masyarakat Minangkabau diberi gelar setelah ia menjadi gadang (besar),
maka penghulu yang menjadi orang gadang basa batuah (maha besar bertuah) diberi gelar
panggilan datuak. Gelar tersebut dipakai pada awal gelar warisannya, dan bermacam gelar
warisan tergantung pada status kepenghuluannya. Contohnya status penghulu andiko, gelar
warisannya memakai nama tunggal. Penghulu belahan, akan dipakai gelar warisan ganda
dengan tambahan kata sifat yang lazim dipakai sehari-hari dan jika terjadi lagi pembelahan
maka gelar itu diberikan sisipan nan. Keterangannya seperti berikut.
1. Datuak Marajo (atau nama tunggal lainnya, seprti sinaro, indomo, malano, sati,
tumanggung, parpatih, dan pamuncak) merupakan gelar penghulu andiko dari
suku yang mula-mula membangun nagari tempat kediamannya.
2. Datuak Marajo Basa (dengan kata sifat tambahan lainnya, seperti kaciak,
gadang, kuning, dan hitam) merupakan gelar penghulu dari suku Datuak Marajo
yang telah dibelah. Gelar demikian dapat juga merupakan gelar penghulu andiko

pada suatu nagari yang tumbuh kemudian, apabila suku itu masih ingin
hubungan dengan nagari asalnya. Jika pembelahan itu karena terjadi
persengketaan dalam berebutan jabatan penghulu oleh para ahli waris yang

Universitas Sumatera Utara

berhak, maka gelar penghulu yang baru memakai urutan kata yang terbalik.
Umpamanya Datuak Marajo Basa menjadi Datuak Basa Marajo.
Kelaziman apabila terjadi pada gelar Datuak Marajo Basa yang telah menjadi
penghulu andiko di nagarinya yang baru dan hendak memutuskan hubungan
dengan nagari asal karena ingin menjadi penghulu yang setaraf dengan nagari
asal serta memakai gelar tunggal. Untuk membedakan dengan penghulu dari
nagari asal, ia lalu memakai kata akhir dari gelar yang semestinya sehingga
jadilah gelarnyayang baru Datuak Basa, atau kata sifat lainnya, seperti gamuk,
putih kulabu.
3. Datuak Marajo nan Basa merupakan gelar penghulu suku dari Datuak Marajo
yang telah membelah dirinya untuk kedua kalinnya. Digunakan penghulu yang
masih menetap di nagari asal atau yang telah bermukim di nagari lain.
4. Datuak Marajo Basa nan Kuning merupakan gelar penghulu dari suku Datuak
Marajo Basa yang telah membelah dirinya pula.

Gelar datuak di masyarakat Minangkabau bukan monopoli orang yang berjabatan
penghulu saja, tetapi gelar datuak itu dapat juga dipakai orang yag dihormati karena
jabatannya. Contohnya orang yang menjadi pembantu utama seorang penghulu yang
kemudian akan menjadi penggantinya, lazimnya ia disebut panungkek (penongkat). Gelar
yang dipakainya menggunakan dua kata, dimulai dengan kata tugasnya, seperti Datuak
Tungkek Ameh, Datuak Payung Hitam, dan Datuak Mangkuto Intan.
Orang-orang yang berjabatan tinggi, seperti kepala nagari, asisten demang, atau
demang pada masa Belanda, ada kalanya diberi juga gelar datuak sebagai gelar kehormatan.
Gelar ini tidak dapat diwariskan, gelar itu umumnya memakai dua kata seperti kata benda dan
kata sifat yang mulia yang bersifat umum dalam bahasa Minangkabau, umpanya Datuak
Gunung Kayo, Datuak Malilit Alam dan Datuak Gampo Alam (Navis,2015:134-159).

Universitas Sumatera Utara

4.1.4 Anak Pisang
“…tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah
dan pantas, yang menurut adat di Minangkabau dinamai anak pisang. Maklumlah, orang di
sana masyhur di dalam menerima orang baru” (TKvdW:22).
Representamen:
Anak Pisang merupakan simbol sebutan untuk anak dari semua lelaki yang sekaum atau

sesuku dalam KBM (2015:315).
Interpretant:
Anak pisang lazim pula disebut dengan nama lain, yaitu anak pusako, sebab dari
hubungan kekerabatan yang diyakini kebudayaan Minangkabau. Anak pisang dalam
kekerabatan, mereka antara seorang anak dan saudara-saudara perempuan dari bapaknya atau
hubungan kekerabatan antara seorang perempuan dan anak-anak dari saudara-saudara lakilakinya. Hal ini, berarti bahwa seorang perempuan merupakan induk bako anak saudara lakilakinya dan ia merupakan anak pisang saudara perempuan bapaknya (Navis, 2015:249).

4.1.5 Ninik Mamak
“…merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung tak berpenjaga. Yang
terutama sekali dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri
Datuk.. yang dikatakan buta saja matanya melihat kemanakannya membuat malu, melangkahi
kepala ninik mamak” (TKvdW:61).
Representamen:
Ninik Mamak merupakan simbol sebutan untuk pemimpin di masyarakat Minangkabau
atau disebut juga para pembuka adat dalam arti umum dalam KBM (2015:284).
Interpretant:

Universitas Sumatera Utara

Ninik Mamak juga disebut sebagai penghulu yang memegang peranan di dalam adat
Minangkabau, semenjak dahulu sampai sekarang yakni sejak zaman Datuak Parpatih Nan
Sebatang dan Datuak Katumanggungan. Sejak masa itu, ninik mamak/penghulu di
Minangkabau dianaggap sebagai pemimpin di dalam kaumnya yang selalu berusaha untuk
kepentingan anak kemanakan yang dipimpinnya dalam masyarakat (Zulfahmi, 2003:48).

4.1.6 Penghulu
“Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak
dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak Bangsawan, turunan
penguhulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap
berjerami di dalam negeri Batipuh itu” (TKvdW:63).
Representamen:
Penghulu merupakan simbol sebutan untuk orang yang memegang peranan di dalam
adat Minangkabau semenjak zaman Dt. Parpatih nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan.
Sejak masa itu penghulu-penghulu di Minangkabau adalah pemimpin di dalam kaumnya
yang selalu berusaha untuk kepentingan anak-kemanakan yang dipimpinnya dan masyarakat
lainnya (Hakimy, 1997:55). Penghulu di dalam adat Minangkabau, biasanya panggilan
sehari-harinya disebut Datuak dan disebut juga dengan sebutan Ninik Mamak serta segala staf
pembantunya disebut pemangku adat (Zulfahmi, 2003:48).
Interpretant:
Seorang yang menjadi penghulu, memiliki budi yang dalam bicaro yang haluieh,
artinya orang yang akan menjadi penghulu itu mestinya dipilih oleh kaumnya laki-laki dan
perempuan yang telah baliq berakal, adalah orang yang berbudi pekerti, sopan santun, ramahtamah, serta rendah hati. Sebab, seorang penghulu akan menjadi tauladan oleh anakkemanakan dipimpinnya. Seperti sesuai apa yang diajarkan syarak yaitu Innama buishtu

Universitas Sumatera Utara

liutammima makarimal akhlaq. Artimya Aku diutus oleh Tuhan untuk menyempurnakan
(memperbaiki) budi pekerti manusia (Alhadits). Hal ini menjelaskan bahwa seorang penghulu
harus memiliki pemikiran-pemikiran yang baik, cerdas dan disiplin, serta bertanggungjawab
dan berada di atas jalan kebenaran.
Di dalam pengetahuan adat Minangkabau, penghulu itu dibangsokan (dikelompokan
dengan masyarakat yang bersamaan asal-usul keturunannya) yaitu:
1. Dibangsokan kepada Syarak (ajaran agama Islam).
Maksudnya penghulu harus mengikuti perintah kata Nabi Muhammad saw, yaitu
Mansadda qaumuhu fidunia wal akhirah fahruwa saidun, artinya orang yang
memimpin kaumnya dari dunia sampai ke akhirat (untuk kepentingan dunia dan
akhirat. Hal inilah yang menjelaskan penghulu kepada syarak, yaitu seorang penghulu
berkewajiban dalam memimpin anak kemanakannya kearah keselamatan dunia
akhirat.
2. Dibangsokan kepada Hindu Sansekerta.
Maksudnya seorang penghulu sebagai pemimpin dan mengepalai pekerjaan yang
baik di antara kaumnya, seperti manajer menjadi penghulu dalam perusahaannya,
kepala kantor menjadi penghulu dalam kantornya, si ayah menjadi penghulu dalam
keluarganya, si ibu menjadi penghulu terhadap anak-anaknya, guru menjadi penghulu
pada murid-muridnya.
3. Dibangsokan kepada adat alam Minangkabau.
Maksudnya seorang penghulu adalah orang biasa yang diangkat oleh ahli waris
dalam kaumnya untuk menjabat gelar penghulu kaum tersebut dengan kata mufakat.
Setelah terpilih menjadi sorang penghulu di Minangkabau dipanggil Datuak,
kemudian memenuhi persyaratan menurut adat yang berlaku pada daerah setempat,
anggota kaum ahli waris, serta orang lain mematuhi segala perintahnya, kemudian

Universitas Sumatera Utara

meninggalkan segala larangan yang telah dilarang oleh seorang penghulu (Hakimy,
1997:56-58).
Masyarakat Minangkabau juga membagi tiga jabatan penghulu-nya berdasarkan
konvensi yaitu:
1. Penghulu Suku, yaitu penghulu yang menjadi pemimpin suku. Penghulu juga
disebut sebagai penghulu pucuk menurut kelarasan Koto Piliang atau penghulu tuo
(penghulu tua) menurut kelarasan Bodi Caniago. Penghulu pucuk atau penghulu tua
ialah penghulu dari empat suku pertama yang datang membuka nagari tempat
kediamannya, mereka merupakan pimpinan kolektif pada nagari itu. Mereka
dinamakan penghulu andiko (andika).
Penghulu suku yang datang kemudian, meskipun statusnya penghulu suku, tidak dapat
menjadi andiko nagari. Penghulu tua mereka tetap berada di nagari asalnya.
2. Penghulu Payung, yaitu penghulu yang menjadi pemimpin warga-suku yang telah
membelah diri, karena terjadi perkembangan pada jumlah warga suku pertama.
Penghulu belahanbaru ini tidak berhak menjadi penghulu tua yang menjadi anggota
pemimpin nagari.
3. Penghulu indu, yaitu penghulu yang menjadi pemimpin warga suku dari mereka
yang telah membelah diri dari kaum sepayungnya. Pembelahan ini disebabkan alasan
pembengkakan jumlah warga mereka, perselisihan dalam perebutan gelar atau jabatan
penghulu, atau karena memerlukan seorang pemimpin bagi kaum mereka yang telah
banyak dirantau atau di pemukiman baru.
Semua penghulu suatu suku dari suatu nagari, yakni penghulu pucuk, penghulu tua,
penghulu paying, serta penghulu indu, secara bersama-sama disebut penghulu satu tungku
(Navis, 2015:131-132).

Universitas Sumatera Utara

4.1.7 Bagindo
“Di sanalah saudagar-saudagar yang ternama berjuang hidup memperhatikan jalan
uang dan turun naiknya kurs uang. Saudagar-saudagar yang ternama sebagai H.A. Majid, H.
Mahmud, bagindo Besar, H. Yunus adalah memegang tampuk negeri tersebut, sekian
lamanya” (TKvdW:81).
Representamen:
Bagindo merupakan simbol gelar adat Minangkabau, gelar ini diwarisi dari mamak
kaum dengan upacara adat. Gelar ini diucapkan atau ditulis menyusul atau panggilan
pengganti nama kecilnya dan berlaku diseluruh wilayah budaya Minangkabau. Gelar ini juga
dari turunan ayah, berlaku di wilayah budaya Pariaman, termasuk Tiku, diwariskan secara
otomatis pada semua anak kandung lelaki, diucap dan ditulis mendahului, nama kecil, seperti
Bagindo Amir dalam KBM (2015, 2015:44).
Interpretant:
Gelar bagindo sangat lazim digunakan di daerah rantau pesisir seperti Pariaman dan
sekitarnya, gelar bagindo menandakan asal-usul ayahnya dari bangsawan Kerajaan
Pagaruyung (Navis, 2015:133).

4.1.8 Datuk Parpatih Nan Sebatang, Datuk Ketemanggungan
“Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik
sejak ninik yang berdua, Datuk Parpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan yang
dibubutkan layu, yang dikisarkan mata” (TKvdW:128).

Representamen:
Datuk Parpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan merupakan simbol ninikmoyang di Masyarakat kebuadayaan Minangkabau yang

telah menyusun dan mengatur

Universitas Sumatera Utara

masyarakat di Minangkabau semenjak beberapa abad lalu sampai ke waktu diproklamasikan
kemerdekaan kita ke dunia sejagat (Hakimy, 1997:1).
Interpretant:
Dari silsilah Datuk Parpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggung yang dikutip dari
berbagai versi tambo. Salah satu mengisahkan bahwa dengan istrinya yang bernama Indah
Jalito, Maharaja Diraja memperoleh sepasang anak. Pertama yang lelaki paling tua bernama
Suri Dirajo, sedangkan yang perempuan bernama Indah Juliah. Indah Juliah menikah dengan
raja yang dinamai Ruso nan Datang Lauik, Mahkotonyo Bacabang Tigo (Rusa yang Datang
dari Laut, Mahkotanya Bercabang Tiga). Raja ini kemudian bergelar Maha Rajo Basa, yang
setelah dewasa bergelar Datuk Ketemanggungan. Setelah Sri Maharaja Diraja Meninggal,
Indah Juliah menikah dengan Cati Bilang Pandai. Pernikahan ini melahirkan banyak anak.
Dua orang yang penting ialah Sutan Balun yang kemudian bergelar Datuk Parpatih nan
Sebatang, dan seorang perempuan Puti Jamilan. Puti Jamilan menikah dengan raja yang
disebut Anggang nan Datang dari lauik, Ditembak dek Datuak nan Baduo. Badia Sadantan
Duo Latuihnyo, Jatuahlah Taluo Anggang ka Bumi Nangko (Enggang Datang dari Laut,
Ditembak oleh Datuk yang Berdua, Bedil Sedentam Dua Letusannya, Jatuhlah Telur
Enggang Ke Bumi ini). Dari perkawinan ini lahirlah Bunda Kandung yang bersemayam di
Pagaruyung (Navis, 2015:50).

4.2 Simbol Sebutan Nama, Sapaan, dan, Julukan.
Simbol sebutan nama, sapaan, dan julukan di kebudayaan Minangkabau beragam,
seperti simbol sapaan kekerabatan, sapaan kepada Sang pencipta, simbol nama tempat
bangunan, simbol bahasa istilah ilmu sihir, simbol istilah julukan masyarakat Minangkabau,
simbol istilah nama kesenian masyarakat Minangkabau, dan, simbol istilah sebutan suatu
kelompok. Simbol sebutan nama, sapaan, dan julukan tersebut, berdasarkan hasil konvensi

Universitas Sumatera Utara

masyarakat yang menjadi simbol kebudayaan Minangkabau. Ada pun makna simbol sebutan
nama, sapaan dan julukan di kebudayaan Minangkabau yang akan dianalisis dalam novel
TKvdW karya Hamka sebagai berikut. Simbol-simbol tersebut, berupa kata leksikal, frasa,
klausa, kalimat, ungkapan dan sejenisnya.

4.2.1 Kemanakan
“…kemanakan Datuk Mantarih Labih, adalah Pendekar Sutan kepala waris yang
tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tidak bersaudara perempuan” (TKvdW:4).

Representamen:
Kemanakan merupakan suatu simbol sapaan garis keturunan di kebudayaan
Minangkabau yang dituliskan dalam bahasa Minangkabau kamanakan, artinya anak dari
saudara perempuan dalam KBM (2015:198).
Interpretant:
Garis keturunan Minangkabau berdasarkan sistem martrilineal (garis keturunan dari
ibu) kamanakan bisa menjadi penghulu, secara sosiologis semua orang yang menjadi warga
sukunya pada nagari kediamannya. Namun tidak semua laki-laki warga suku itu berhak
dicalonkan sebagai penghulu, karena berhak dicalonkan menjadi penganti penghulu ialah
kamanakan di bawah dagu yaitu kemanakan yang mempunyai pertalian darah.
Ada empat jenis kamanakan dalam struktur kebudayaan Minangkabau, yakni seperti
berikut:
1. Kamanakan di bawah daguak (kemanakan di bawah dagu), maksudnya kemanakan
yang ada hubungan darah baik yang dekat maupun yang jauh. Menurut mamangan,
jaraknya dikatakan dengan nan sajangka, nan saeto, dan nan sadapo (yang
sejengkal, yang sehasta, dan yang sedapa).

Universitas Sumatera Utara

2. Kamanakan di bawah dado (kemanakan di bawah dada), maksudnya kemanakan yang
ada hubungan karena sukunya sama tetapi penghulunya lain.
3. Kamanakan di bawah pusek (kemanakan di bawah pusat), maksudnya kemanakan
yang hubungannya karena sukunya sama tetapi berbeda nagari asalnya.
4. Kamanakan di bawah lutuik (kemanakan di bawah lutut), maksudnya orang lain yang
berbeda suku dan berbeda nagari tetapi minta perlindungan di tempatnya (Navis,
2015:160).

4.2.2 Mamak
“Itu jangan disebut, kata Datuk Mantari Labih. Itu kuasaku, saya mamak di sini,
menghitamkan dan memutihkan kalian semuanya dan menggantung tinggi membuang jauh”
(TKvdW:5).
Representamen:
Mamak merupakan suatu simbol sapaan garis keturunan dalam kebudayaan Minangkabau
yang artinya saudara ibu yang laki-laki dalam KBM (2015:263).
Interpretant:
Di dalam masyarakat kebudayaan Minangkabau istilah mamak merupakan sapaan buat
seorang laki-laki yang berasal dari saudara ibu dengan kata lain mamak adalah saudara tua
atau adik dari ibu. Mamak di kebudayaan Minangkabau terbagi dua, yaitu mamak kandung
dan mamak jauh. Mamak kandung merupakan saudara laki-laki seibu sebapak dengan ibu,
sedangkan mamak jauh merupakan ibu dari mamak itu dengan ibu dari ibu kita bersaudara
karena lantaran persaudaraan ibu-ibu mereka maka disebut juga mamak. Peran sebagai
mamak dalam keluarga di kebudayaan Minangkabau sangat dituntut sekali perannya, sebab
mamak berkedudukan penting dalam membina dan membimbing kemanakan-kemanakannya
di antaranya adalah:

Universitas Sumatera Utara

1. Mamak sebagai kepala kaum
Peran mamak sebagai kepala kaum terutama diperuntukkan bagi seorang penghulu yang
dipilih sebagai mamak kaum. Mamak menjadi sebuah pimpinan sebuah kaum disebut mamak
kaum. Mamak kaum bertugas memimpin seluruh anggota yang berdiam pada kelompok suatu
Rumah Gadang ini lazim disebut Penghulu Kaum.
Mamak kaum ini di dalam kaumnya berperan sebagaimana peran seorang laki-laki di
dalam kaumnya sebab yang dipimpinnya adalah sebuah kaum yang jumlahnya cukup banyak.
Tanggungjawab mamak kaum ini, sama halnya untuk seluruh keluarga yang dipimpinnya.
Mamak kaum harus menempatkan diri secara adil sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku.
Oleh karena itu, mamak kaum ini mempunyai anggota yang cukup banyak maka mamak
kaum ini lebih banyak menghadapi masalah-masalah yang besar-besar saja. Contohnya
adalah masalah perkawinan, upacara adat, serta meyelesaikan perselisihan antar anggota
Rumah Gadang yang satu dengan Rumah Gadang yang lainnya. Untuk urusan masingmasing Rumah Gadang, mamak kaum tidak banyak ikut campur kecuali diminta sesuai
dengan ketentuan adat. oleh sebab itu, tiap Rumah Gadang mempunyai seorang pemimpin
yang dinamai Tungganai yaitu laki-laki yang tertua di sebuah Rumah Gadang serta juga
menjabat sebagai mamak waris.
2. Mamak sebagai kepala waris
Menurut peraturan adat Minangkabau pusaka harta maupun gelar diwariskan dari ninik
kepada mamak dan dari mamak kepada kemenakan berdasarkan garis keturunan ibu. Artinya
bahwa baik pusaka gelar maupun pusaka harta tidak boleh diwariskan kepada anak, karena
hakikatnya semua itu di Minangkabau adalah milik kaum perempuan. Pegelolaan harta
tersebut dipimpim oleh laki-laki tertua dalam sebuah Rumah Gadang yang bertugas sebagai
Mamak kepada waris. Mamak kepala waris ini bertanggungjawab mengembangkan sumber

Universitas Sumatera Utara

kehidupan sanak saudaranya, terutama sanak saudara perempuan yang akan melanjutkan
keturunan kaumnya.
3. Mamak sebagai pembimbing
Mamak sangat dituntut sekali peranannya dalam membimbing kemenakan. Peran mamak
sebagai pembimbing kemenakan ini terhadap kemenakan laki-laki telah mempersiapkan
kemenakannya, agar suatu saat bisa menggantikan kedudukannya sebagai seorang mamak.
Apabila mamak seorang penghulu maka seorang mamak akan mempersiapkan kemenakannya
untuk menjadi seorang penghulu penggantinya, untuk lebih jelasnya dirincikan sebagai
berikut:
a. Terhadap kemenakan perempuan
Tugas mamak sebagai pembimbing kemenakan perempuan adalah
meliputi persiapan untuk menyambut warih bajawek (waris berterima) dan
mempersiapkan untuk melanjutkan keturunan. Warih bajawek karena
wanita akan menjadi Bundo kanduang atau lempapeh rumah nan gadang,
ia akan menjadi pusek jalo atau timbunan ikan (pusat jala tumpukan ikan)
dengan arti wanita merupakan titik pusat kehidupan. Di rumah ia berperan
sebagai nenek dan ibu yang akan mengasuh anak dan cucunya, sedangkan
sebagai istri ia akan menjadi tali penghubung dengan kaum lain atau kaum
suaminya.

b. Terhadap kemenakan laki-laki
Bimbingan terhadap kemenakan laki-laki meliputi persiapan untuk
menerima pusako batolong (pusaka bertolong) yaitu berperan sebagai
penunjang dan mengembangkan sumber kehidupan sanak saudaranya,
terutama

saudara

perempuan

yang

akan

melanjutkan

keturunan.

Universitas Sumatera Utara

Bimbingan mamak terhadap kemenakan bukanlah sekedar memimpin atau
mengepalai saja, tapi melengkapi bidang lahir, batin, mental, dan spiritual
seperti

ekonomi,

sawah-ladangnya,

pendidikannya,

kesehatannya,

pergaulannya, tingkah lakunya/adatnya, dan keagamaannya.
Kewajibannya terhadap pemerintah sebagai warga negara, kewajiban terhadap nagari
dan kampung halamannya. Seorang mamak harus menyelidiki apakah kemenakannya sudah
membayarkan kewajibannya kepada agama dan adatnya atau rumah tangga, korong kampung
dan nagarinya. Seorang mamak juga harus mencarikan jalan keluar dari kesulitan-kesulitan
yang dialami kemenakannya dalam hidup sehari-hari. Kewajiban mamak menjalankan tugas
untuk menyuruh kemenakannya untuk mengerjakan kewajiban dan menjauhi larangan agama
(syarak) begitu pula adat dan undang-undang pemerintah serta sekaligus mampu mewujudkan
tujuan pepatah syarah magato adat memakai (syarak mengatakan, adat menjalankan). Tugas
seorang mamak kepada kemenakannya tidak ubahnya seperti tugas seorang ayah pada
masyarakat yang bukan suku Minangkabau, bedanya seorang mamak di Minangkabau bisa
berhadapan dengan jumlah kemenakan yang sangat banyak apabila seorang mamak memiliki
banyak saudara perempuan (Zulfahmi, 2003:71-77).
Pernyataan Navis mengenai makna istilah mamak di kebudayaan Minangkabau secara
harfiah ialah saudara laki-laki ibu. Secara sosiologi semua laki-laki dari generasi yang lebih
tua adalah mamak. Hal ini sebagai pernyataan bahwa semua orang berkerabat, sesuai dengan
ajaran falsafah mereka. Apabila laki-laki kerabat dekat dari ayah bukan termasuk mamak
melainkan dengan sapaan bapak atau pak.
Mamak juga merupakan pemimpin, oleh karena itu pengertian mamak pada setiap lakilaki yang lebih tua juga berarti pernyataan bahwa yang muda memandang yang lebih tua
menjadi pemimpinnya, sebagaimana yang diungkapkan mamang: kemanakan barajo ka
mamak, mamak barajo ke penghulu, penghulu berajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo

Universitas Sumatera Utara

(kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja
kebenaran, kebenaran berdiri sendirinya) (2015:130).

4.2.3 Suku
“Meskipun dia akan diterima orang dengan muka manis, yang terkandung di dalam hati
mereka tentu lebih pahit. Sebab dia tak beruang, kepulangannya menimbulkan cemburuan
hati keluarga-keluarga dalam persukuan (TKvdW:7-8).
Representamen:
Suku merupakan suatu simbol nama suatu kelompok di kebudayaan Minangkabau, yang
diartikan pembagian kelompok warga menurut adat Minangkabau untuk memudahkan
urusan, sebab pada mulanya pembagian kelompok tersebut berdasarkan turunan dari nenek
asal dalam KBM (2015:400).
Interpretant:
Suku berdasarkan etimologinya, bahwa suku berasal dari bahasa Sanskerta artinya kaki
yang dimaksud suatu badan mempunyai empat kaki. Satu kaki artinya seperempat dari satu
kesatuan. Dalam bahasa Melayu yang masih digunakan di Malaysia suku diartikan
seperempat, di dalam pengertian Minangkabau suku merupakan suatu nagari mempunyai
empat suku. Suku tersebut dapat pula dipahami sebagai marga, dan suku di masyarakat
Minangkabau dalam bersuku sistemnya serupa dengan sistem perpuak-puak (sekaum) seperti
yang dianut orang Cina. Warga puak tidak boleh saling mengawini dan perkawinan hanya
boleh dilakukan dengan warga puak yang lain. Perbedaan puak Negeri Cina menganut garis
keturunan patrilineal, sedangkan di Minangkabau Matrilineal (Navis, 2015:121-122).
Berdasarkan sejarahnya orang Minangkabau hidup dalam empat golongan yang mereka
namakan suku, empat golongan itu masing-masing memiliki nama yaitu Bodi, Canniago,
Koto dan Piliang. masing-masing nama tersebut tidak terlepas dengan aliran politik. Kedua

Universitas Sumatera Utara

suku yang disebut pertama menganut aliran politik yang juga disebut Kelarasan Bodi
Canniago pimpinan Datuk Parpatih nan Sabatang. Dua suku berikutnya menganut aliran
politik yang juga disebut Kelarasan Koto Piliang yang dipimpin oleh Datuak
Katumanggungan. Oleh karena itu, perkembangan keadaan dalam sejarah kedatangan
kekuasan asing yang menjarah Minangkabau membuat jumlah suku yang empat menjadi
bertambah.
Tambo mencatat bahwa perombakan pertama terhadap dua aliran sistem politik
dilakukan oleh Datuk nan Sakelap Dunia yang merupakan adik se-ayah se-ibu Datuk
Parpatih nan Sabatang, dalam tujuan menginginkan hak yang sama seperti kedua
saudaranya. Hal tersebut dilakukan dengan cara memisahkan diri dari lima kaum dan
membentuk lima suku baru. Kelimanya ialah Kutianyir, Patapang, Banuhampu, salo dan
Jambak, nama kelima suku ini diambil dari nama Salongari yaitu asal penduduk yang
menjadi pengikutnya.
Kerajaan Singosari dan Majapahit juga melatarbelakangi munculnya suku-suku bangsa
lain di Minangkabau, kemudian mereka membentuk suku-suku baru sebagai integrasi dengan
kebudayaan yang ditempatinya. Lahirlah suku baru yang namanya berasal dari nama bangsa
itu sendiri, seperti Melayu dari bangsa Melayu, Singkuang dari bangsa Cina sinkiang, dan
Mandahiling dari bangsa sebelah Utara.
Perkembangan suku itu terjadi dapat dikatakan karena proses sejarah serta
perkembangan masyarakatnya, maka jumlah suku bertambah juga. Hal ini pada mulanya
dikenal suku di Minangkabau hanya empat kemudian bertambah karena yang dilakukan
Datuk nan Sakelap Dunia maka kehadiran Kerajaan Paguruyung juga ikut serta dalam
menambah jumlah suku di Minangkabau. Dapat disimpulkan perkembangan-perkembangan
suku juga terjadi karena dilatarbelakangi adanya pertambahan penduduk, adanya pemukiman
baru, dan adanya imigran (Navis,2015:121-125).

Universitas Sumatera Utara

4.2.4 Pencak
“Demikianlah bertahun-tahun lamanya. Mamak masih tetap tinggal dalam rumah ini
mengasuhmu, dan ayahmu berjalan ke mana-mana, kadang-kadang menjadi guru pencak
padang yang masyhur itu” (TKvdW:12).
Representamen:
Pencak dikatakan sebuah simbol kebudayaan Minangkabau, Pencak sebenarnya dalam
bahasa Minangkabau bertuliskan Pancak dengan arti silek atau randai dalam KBM
(2015:299).
Interpretant:
Pancak yaitu silek (silat) atau randai dalam pengertiannya bela diri atau gerak tari dan
silat yang dibawakan oleh sekelompok orang berkeliling membentuk lingkaran sambil
bernyanyi dan bertepuk tangan, ini juga merupakan medium cerita “kaba” (teater tradisional
Minangkabau) dalam KBM (2015:339)
4.2.5 Minangkabau
“Di Minangkabau, orang merasa malu kalau dia belum beristri orang kampungnya
sendiri. Berbini di rantau orang artinya hilang” (TKvdW:13).

Representamen:
Minangkabau merupakan sebuah simbol nama suku bangsa yang berasal atau
mendiami daerah Sumatera Barat dalam KBM (2015:272).
Interpretant:
Minangkabau ialah territorial menurut kultur Minangkabau yang daerahnya jauh lebih
luas dari Sumatera Barat sebagai salah satu Provinsi dengan bermaksud batas-batas
Minangkabau dimulai dari daerah daratan tinggi dan akhir di perbatasan Propinsi Jambi

Universitas Sumatera Utara

sekarang (1997:17-18). Namun, menurut Zulfahmi Minangkabau sama dengan Sumatera
Barat karena nama Sumatera Barat identik dengan Minangkabau. Penjelasannya bahwa
Sumatera Barat adalah penamaan wilayah administratif yang diatur oleh undang-undang
sedangkan Minangkabau adalah wilayah antropologis atau wilayah budaya yang secara
kebetulan penduduknya mayaoritas bersuku Minangkabau (Hakimy,2003:11).
Asal-usul nama Minangkabau dalam penjelasan Navis, pada suatu masa datanglah
musibah. Tentara yang dipimpin Anggang dari laut yang hendak menaklukkan Minangkabau.
Melihat kekuatan pasukan itu, mufakatlah Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih nan
Sebatang beserta Cati Bilang Pandai untuk mencari akal. Bermasksud menangkis kedatangan
musuh, akhirnya didapat kata sepakat untuk melawan pasukan yang kuat itu. Dibuatlah
dengan rencana tipu muslihat, dengan cara mengadu kerbau. Di dalam kesepakatan kerbau
siapa yang menang, itulah yang memenangkan pertempuran itu. Usul diterima oleh panglima
pasukan yang datang itu.
Pihak musuh mendatangkan kerbau yang sangat besar, dengan jarak kedua tanduknya
empat depa. Untuk menandinginya tidak ada kerbau yang sepadan, lalu dirundingkan lagi.
Cati Bilang Pandai mengajukan saran agar kerbau besar itu dilawan dengan anak kerbau yang
lagi sarat menyusu. Sebelum dilepas ke gelangang, anak kerbau itu beberapa hari tidak
dibiarkan menyusu pada induknya. Pada hidungnya diikat sepotong besi yang runcing, besi
itu disebut Minang.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan pihak musuh melepaskan kerbaunya yang
besar ke gelanggang dan anak kerbau itu menyangka itulah induknya. Belarilah anak kerbau
itu dan menyeruduk ke perut kerbau besar untuk menyusu, lalu tembuslah perut kerbau besar
itu. Kerbau besarpun berlari kesakitan, di suatu kampung tersimpuruik (terburai) isi perutnya.
Kemudian kampung itu dinamakan Simpuruik (simpurut). Namun, kerbau besar itu berlari
terus dan sampailah ia ke kampung lain. Kerbaunya rebah dan mati, lalu kulit kerbau itu

Universitas Sumatera Utara

diambil penduduk kemudian kampung tersebut dinamakan Sijangek (sijangat = kulit). Sejak
kemenangan itu, tempat gelanggang itu menjadi kampung yang dinamai Minangkabau.
Peristiwa yang dikisahkan tambo itu sangat dipercayai oleh orang Minangkabau sebagai
peristiwa sejarah asal-usul Minangkabau secara konvensi (Navis, 2015:51-53).

4.2.6 Lepau
“Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi dudukduduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau” (TKvdW:23).
Representamen:
Lepau merupakan simbol sebutan tempat dari bahasa kaba kebudayaan Minangkabau
yang artinya kedai atau warung. Contohnya dalam kalimat bahasa masyarakat Minangkabau,
bundo pai ka lapau nasi (ibu pergi ke kedai nasi) KBM (2015:242).
Interpretant:
Kesimpulanya bahwa lepau merupakan simbol nama sebutan tempat secara konvensi
kebudayaan Minangkabau.
4.2.7 Surau
“Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau, bersama-sama dengan lain-lain anak
muda, karena demikian menurut adat” (TKvdW:29).
Representamen:
Surau merupakan simbol nama tempat bangunan milik kaum atau msyarakat
Minangkabau yang diyakini suci. Dahulunya menjadi tempat anak-anak lelaki tidur
menjelang berumah tangga, tempat belajar mengaji, tempat belajar pencak silat, dan tempat
membina sopan santun serta menimba ilmu menjadi pemimpin kaum kemudian hari. Sebelum
Islam, surau (curawa) dalam masyarakat Minangkabau berfungsi sebagai sekolah tempat
belajar, berlatih ilmu yang diperlukan, tempat pertemuan kaum, pesta perkawinan dan

Universitas Sumatera Utara

menyelesaikan sengketa kaum. Kedatangan Islam sekedar merubah materi yang diajarkan
dan yang dilakukan sesuai dengan tuntunan islam yaitu Al Qur’an Nur Karim dalam KBM
(2015:403-404).
Interpretant:
Pengertian surau di masyarakat Minangkabau juga merupakan suatu bangunan tempat
tinggal semua laki-laki bujangan, seperti remaja, duda, dan laki-laki tua. Surau diduga
berasal dari bahasa Sanskerta Swarwa, yang artinya segala, semua, macam-macam yakni
pusat pendidikan dan latihan seperti sekarang. Akhirnya, pengertiannya berkembang sebagai
pesantren yang merupakan kompleks pendidikan agama beserta asrama bertitik sentral di
rumah syek atau kiai.
Surau yang berfungsi semula sebagai asrama laki-laki dan bujangan. Lambat laun
fungsinya menjurus sebagai tempat orang muda belajar agama Islam. Akhirnya, surau
menjadi lebih terkenal sebagai tempat pendidikan agama Islam yang menyediakan asrama
bagi siapa saja datang untuk belajar, sehingga ulama-ulama muda yang memperoleh
pendidikan dari sana disebutkan orang surau. Surau demikian tidak ubahnya seperti
pesantren di jawa pada akhirnya (Navis, 2015:109-213).

4.2.8 Engku
“Ai Zainuddin, sampai pula engkau kemari, pandaikah engkau menyabit? Tegur orang
tua itu. Pandai juga, Engku, jawabnya” (TKvdW:32).
Representamen:
Engku merupakan simbol sebutan saudara laki-laki nenek atau mamak dari ibu,
panggilan terhadap orang terpandang, kakek, dan onda di dalam kebudayaan Minangkabau
dalam KBM (2015:27).
Interpretant:

Universitas Sumatera Utara

Sebutan engku juda bisa menjadi “engku kadi” yaitu ulama atau orang laki-laki yang
dipandang sebagai ulama di dalam KBM (2015:27).

4.2.9 Bako
“Zainuddin namanya. Dia tinggal tidak beberapa jauh dari rumahku, dengan bakonya,
tetapi bako jauh” (TKvdW:37).
Analisis:
Bako merupakan simbol sebutan menurut hukum adat Minangkabau terhadap semua
anggota kaum dan mereka yang bersamaan suku dengan ayah. Lengkapnya disebut induak
bako dalam KBM (2015:46)
Interpretant:
Di dalam kedudukan terbalik pada masyarakat Batak bako sama aritnya denga sebutan
Boru (orang yang semarga dengan ibu). Pada masyarakat Lampung disebut kelama (orang
yang punya hubungan saudara dengan ibu). Dalam kewajiban adat yang melekat pada bako
adalah ikut dan menentukan serta memeriahkan upacara turun mandi, sunat rasul, nikah, mati
dan penguburannya. Sebaliknya, anak dari saudara laki-laki orang Minangkabau yang disebut
anak pisang wajib menyebut bako pada semua anggota kaum dan yang bersamaan suku
dengan ayahnya, meskipun ayah bukan suku Minangkabau dalam KBM (2015:46-47).

4.2.10 Ilahi
“…ya Ilahi, berilah perlindungan kepada hamba-Mu! Perasaan apakah mainannya ini,
ya Tuhanku, tunjukan ya Tuhan, dan nyatalah sudah kelemahan diriku! Apalah pertolongan
yang akan dapat kuberikan” (TKvdW:43).
Representamen:

Universitas Sumatera Utara

Ilahi merupakan simbol sebutan Sang pencipta Alam semesta yang dipercayain oleh
masyarakat Minangkabau dengan pengertian Tuhanku atau hal-hal yang menyangkut sifat
Tuhan dalam KBM (2015:1560).
Interpretant:
Kata Illahi dapat dijelaskan bahwa masyarakat Minangkabau mempercayai ajaran
agama Islam, karena masyarakat Minangkabau mempercayai tuhannya adalah Allah. Dapat
dibuktikan dari falsafah Minangkabau yang berbunyi adat bersandarkan syarah, syarah
bersandarkan kitabullah (adat bersendarkan hukum, hukum bersandarkan kitab Allah yaitu
Al Qur’an Nur Karim).
Menurut sejarah, kedatangan Islam ke Minangkabau tidaklah melalui suatu kekuasaan
atau penaklukan. Bahkan raja mereka memeluk Islam jauh lebih kemudian jika dibandingkan
dengan rakyatnya sendiri. Islam masuk ke dalam ranah Minangkabau dibawa pedagang Arab,
tetapi pengembangan dan pembaruan Islam dilakukan orang Minangkabau sendiri setelah
mereka pergi merantau ke Aceh bahkan ke Negeri Arab. Sejarah tidak dapat membuktikan
kehadiran ulama-ulama asing yang mengembangkan agama Islam di Minangkabau. Hal ini
membuktikan bahwa Islam diterima orang Minangkabau dari tangan orang Minangkaau
sendiri. Oleh karena itu Islam tidak bertentangan dengan falsafah mereka sendiri. Secara
filosofis, sumber-sumber ajaran Alam Takambang jadi Guru merupakan sumber yang sama
dengan sumber ajaran Islam. Dalam pengertian Alam sebagai contoh ciptaan Allah dan kitabNya sebagai pegangan. Islam juga memandang manusia dalam kedudukan yang sama antara
sesamanya, dalam hak dan kewajiban, serta saling melindungi dengan nilai-nilai moral dan
etik yang agung (Navis,2015:86-87).
4.2.11 Tuan

Universitas Sumatera Utara

“Bukan begitu, Tuan Zainuddin. Bukan saya benci kepada Tuan karena saya kenal
budi baik Tuan. Saya merasa kasihan di atas segala penanggungan yang menimpa pundak
Tuan” (TKvdW:55).
Representamen:
Tuan merupakan simbol sebutan untuk memanggil abang atau kakak dalam
kebudayaan Miangkabau dalam KBM (2015:451). Contohnya bukan saya

benci Tuan,

karena saya kenal baik-budi Tuan (bukan saya benci abang, karena saya kenal baik-budi
abang).
Interpretant:
Tuan juga dapat diartikan orang yang memberikan pekerjaan, sebutan untuk majikan,
sebutan untuk kepala perusahaan dan orang yang patut dihormati dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (disingkat KBBI) (2001:1213).

4.2.12 Orang Alim
“Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak terbayang cita-cita dan anganangan yang baru dalam otak Zainuddin. Kadang-kadang berniat di hatinya hendak menjadi
orang alim, jadi ulama sehingga kembali ke kampungnya membawa ilmu” (TKvdW:75).
Representamen:
Orang Alim di masyarakat Minangkabau merupakan simbol sebutan untuk orang yang
berilmu banyak tentang agama Islam dalam KBM (2015:15).
Interpretant:
Kata orang alim merupakan suatu perkataan hakikat, maksudnya apa yang diucapkan
ulama merupakan fatwa ajaran hakiki agama yang mereka anut. Sebab, masyarakat
Minangkabau mengikuti ajaran agama Islam (Navis, 2015:99).

Universitas Sumatera Utara

Orang alim disebut juga alim ulama ialah orang yang mengetahui agama. Alim ulama
adalah orang yang memiliki ilmu agama yang sangat luas dan memiliki iman, alim ulama ini
juga disebut dengan saluah bendang dalam nagari, maksudnya alim ulama

berfungsi

sebagai penerang kehidupan di masyarakat yang bertugas mengurus persoalan ibadah
masyarakat dalam nagari. Di sampan itu, alim ulama juga bertugas untuk mengelola lembaga
pendidikan yang diadakan di masjid-masjid dan surau-suarau. Kedudukan alim ulama
menduduki jabatan Ulama karena kemampuan pribadinya, ketaatan dengan kesungguhannya.
Jabatan ini tidak bisa diturunkan, kecuali kalau anak atau kemanakannya mau menuntut ilmu
agama dan ia mampu pula menjadi panutan masyarakat tentang agama. Meskipun, seseorang
itu mempunyai ilmu yang tinggi dalam bidang agama tapi tidak mampu menyebarkan lewat
tabligh-tabligh dan belum diakui kepemimpinannya sebagai ulama oleh masyarakat belumlah
boleh disebut Ulama.
Fungsi alim ulama dalam masyarakat adalah pengikat tali lahir batin dan memberi
contoh dan teladan atau panutan serta sebagai suluh bendang dalam nagari. Ulama itu
berkewajiban menunjukan yang baik dan yang buruk, menyatakan yang terlarang dan
perintah oleh agama Islam (Zulfahmi, 2003:54-55). Hal ini terjadi dikarenakan agama Islam
masuk ke Minangkabau cukup mendapat tempat bagi msyarakat Minangkabau, karena adat
Minangkabau tersebut tidak bertentangan dengan agama Islam, serta sangat kuat
kedudukannya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan kebudayaan agama Islam secara sadar
maupun tanpa sadar sudah melekat dalam mempengaruhi adat Minangkabau (Zulfahmi,
2003:8).

4.2.13 Kaum
“Sudah biasa anak gadis mencintai seorang muda, anak muda merindui seorang gadis,
semasa mereka masih belum dewasa. Setelah dewasa, tentu kehendak kaum keluarga juga

Universitas Sumatera Utara

yang akan langsung. Mereka biasanya tinggal kenal dan hormat menghormati…”
(TKvdW:110).
Representamen:
Kaum merupakan simbol sebutan untuk kelompok orang yang mempunyai hubungan
saudara menurut garis pertalian keturunan ibu di Minangkabau dalam KBM (2015:215).
Interpretant:
Kaum maksudnya dari sisi sistem kekerabatan pada masyarakat adat Minangkabau
adalah konsep matrilineal. Pada sistem matrilineal ini, garis keturunan menurut garis
keturunan ibu, dan anak-anaknya hanya mengenal ibu dan suadara-saudara ibu. Ayah tidak
termasuk suku kaum ananknya, karena ayanhnya masuk kelompok suku kaum ibunya pula.
Dari sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau ini dibagi menjadi dua sebagai berikut.
1. Garis Kekerabatan dan Kelompok-kelompok Masyarakat.
Kekerabatan dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi inti dan sistem
kekerabatan matrilineal adalah paruik. Namun, setelah masuk ajaran Islam ke
Minangkabau disebut kaum. Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan
paruik adalah juarai.
Hubungan sosial yang terjadi antara seseorang dengan kelompoknya secara umum
dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka, pada mulanya tinggal
dalam sebuah Rumah Gadang. Bahkan pada masa dahulu Rumah Gadang oleh
beberapa keluarga yang saparuik. Ikatan batin sesame agnggota kaum besar sekali dan
hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar factor
tersebut ikut mendukungnya. Secara garis besar factor yang mengikat kaum ini
sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

a. Orang sekaum seketurunan
Kekerabatan di Minangkabau ada orang yang sekaum. Kendatipun orang yang
sekaum itu sudah puluhan orang dan bahkan sampai ratusan orang, masih bisa
dibuktikan bahwa mereka satu keturunan. Tiap-tiap kaum mempunyai ranji atau
silsilah keturunan mereka sendiri. Dari ranji itulah mereka dapat melihat generasi
mereka sebelumnya sampai sekarang yang ditari dari garis kerturunan ibu.
b.Orang yang sekaum seharta pusaka
Adat Minangkabau tidak dikenal harta perseorangan, tetapi harta merupakan
warisan dari anggota kaum secara turun menurun. Harta pusaka yang banyak dari
sebuah kaum menunjukkan bahwa nenek moyang mereka merupakan orang asal di
kampung itu sebagai panaruko (pembuka) pertama, dan kaum yang sedikit
memiliki harta pusakanya, bisa dianggap orang yang datang kemudian. harta
pusaka kaum merupakan factor kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu dan tetap
berpegang pada prinsip harato salongko kaum,adat salingka nagari (harta
selingkar kaum, adat selingkar nagari).
c. Orang yang sekaum seberat seringan
Maksud orang yang sekaum adalah seberat seringan, sesakit sesenang,
sebagaimana yang dikemukakan dalam adat kaba baiak baimbauan, kaba buruak
bahambauan artinya kabar baik diberitahukan dengan cara dihimbau atau dengan
undangan misalnya, acara perkawinan, berdo’a, dan lain-lain. Oleh sebab itu,
kepada sanak saudara hendaklah diberitahukan agar mereka datang untuk
menghadiri acara dimaksud. Namun sebaliknya, apabila ada kemalangan atau
kabar duka, semua sanak saudara akan berdatangan tampa dihimbaukan atau
dipanggil, sebagai contohnya, ada kematian atau mala-petaka menimpa sanak
keluarga yang lain.

Universitas Sumatera Utara

d.Orang yang sekaum sepadam seperkuburan
Di dalam adat dikatakan orang yang sekaum itu sepandam seperkuburan dengan
pengertian satu pandam tempat berkubur. Untuk mengatakan seorang sekaum,
maka orang tersebut harus dapat menunjukan pandam perkuburannya di kampung
tersebut.
e. Orang yang sekaum sehina semalu
Seseorang yang telah berbuat salah atau melanggar adat akan mencoreng arang di
kening yang sekaun maka orang dalam kaum tersebut merasa malu. Namun, yang
paling terpukul adalah mamak sebagai kepala kaum atau kepala waris yang
diangkat sebagai pimpinnan kaumnya. Malu indak adpek dibagi suku indak dapek
dianjak artinya malu seorang malu bersama.
2. garis kekerabatan setelah perkawinan.
Dalam adat minangkabau tidak dibenarkan orang yang sekaum saling mengawini.
Meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang, dan meskipun ajaran
agama Islam sudah merupakan panutan bagi masyarakat Minangkabau. Hal ini
mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila
terjadi perkawinan sesama anggota kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka
dan sisitem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu, sampai sekarang masih tetap
kawin keluar dengan orang diluar sukunya exagomi.
Sebagai turunan dari hasil perkawinan melahirkan tali kerabat antara keluarga istri
dengan keluarga rumah gadang suami dan sebaliknya. Tali kerabat itu seperti,