BAB III

A. Judul: Analisis Stilistika pada Novel Kaze no Uta o Kike Karya Haruki
Murakami
B. Latar Belakang
Kehadiran bahasa amat penting bagi kehidupan manusia. Hampir di semua
bidang kehidupan memerlukan bahasa. Karena bahasa, manusia yang hidup di
abad ke-21 mengetahui apa yang terjadi dan dihasilkan manusia ribuan tahun yang
lalu. Bahasa dapat berfungsi merekam budaya dan berbagai temuan ilmiah
sebelumnya sehingga kebudayaan, ilmu teknologi, serta peradaban terus dapat
dikembangkan semakin maju.
Dalam berbahasa, gaya bahasa adalah hal yang menarik untuk
diperhatikan. Menurut Satoto (2012: 150) yang dikatakan dengan gaya bahasa
ialah pilihan kata yang mempersoalkan cocok-tidaknya pemakaian kata, frasa atau
klausa tertentu, untuk menghadapi situasi-situasi tertentu. Gaya bahasa juga
disebut sebagai bahasa indah yang digunakan untuk menimbulkan dan
meningkatkan efek tertentu terhadap pembaca dalam pemahaman serta
penghayatan sebuah karya, yang meliputi cara-cara penggunaan bahasa secara
keseluruhan. Selain itu, gaya bahasa juga merupakan simbol yang mencerminkan
pemikiran dari penulis itu sendiri.
Keraf (2006: 115) mengatakan dari segi nonbahasa gaya bahasa
berdasarkan subyek dapat dikenal melalui gaya filsafat, gaya ilmiah (hukum,
teknik, sastra), gaya populer, didaktik, dan sebagainya. Gaya sastra tentunya dapat

dilihat dari karya sastra. Karya sastra merupakan salah satu genre dari sekian
banyak hasil peradaban manusia, dimana bahasa digunakan sebagai medium
utamanya, dan aspek keindahan dalam bahasa tersebut berhubungan erat dengan
gaya bahasa.
Salah satu cara untuk mengetahui penggunaan gaya bahasa dalam karya
sastra dengan pendekatan secara linguistik adalah stilistika. Stilistika merupakan
cabang ilmu linguistik yang memfokuskan diri pada analisis gaya bahasa, kajian
mengenai gaya bahasa dapat mencangkup gaya bahasa lisan, namun stilistika
cenderung melakukan kajian bahasa tulis termasuk karya sastra (Kushartanti,
dkk., 2005: 232). Sedangkan menurut Aminuddin (1995: 44) bidang kajian
stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda baca, gambar, serta bentuk tanda lain

yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata. Dengan kata lain, stilistika
dimaksudkan menjelaskan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari
aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, dan sarana retorika. Stilistika
menunjuk pada studi tentang pemahaman

kebahasaan tetapi menemukan

maknanya dengan sastra.

Pada prinsipnya pusat perhatian stilistika adalah gaya bahasa, yaitu cara
yang digunakan oleh seseorang untuk mengutarakan maksudnya dengan
menggunakan bahasa sebagai sarananya. Juga dipusatkan terhadap keunikan
pemilihan kata untuk mencapai efek tertentu, salah satunya yaitu efek penciptaan
makna. Seperti ‘Ia adalah perpustakaan berjalan’ memiliki makna seseorang yang
memiliki pengetahuan yang sangat luas sehingga dirinya diibaratkan seperti
perpustakaan yang menyimpan banyak ilmu di dalamnya. Kalimat ini merupakan
jenis majas personifikasi, yang menggambarkan benda mati seolah-olah menjadi
hidup.
Contoh pengertian makna dari ‘Ia adalah perpustakaan berjalan’
merupakan pengertian makna secara leksikal. Perpustakaan merupakan nama
tempat yang berfungsi sebagai gudang ilmu pengetahuan. Majas personifikasi
disini mampu menghidupkan lukisan dan menyegarkan ungkapan untuk seseorang
yang bewawasan luas.
Pemahaman terhadap gaya bahasa sangat bermanfaat baik dalam bahasa
ibu maupun bahasa asing. Dalam bahasa Jepang salah satu sastrawan yang
dianggap sebagai pengarang yang paling mewakili generasi penulis kesustraan
Jepang Kontemporer adalah Haruki Murakami. Karir Murakami sebagai penulis
dimulai dari karya pertamanya, Kaze no uta o kike ( 風 風 風 風 風 風 , 1979)
memenangkan Gunzou Literary Award pada tahn 1979. Penghargaan ini

merupakan penghargaan sastra tahunan dari majalah sastra Jepang Gunzou, yang
diterbitkan oleh Kondansha. Penghargaan ini ditujukan untuk menemukan bakat
baru para penulis, dan pemenangnya akan mendapatkan hadiah 500.000 yen yang
karyanya juga akan diterbitkan dimajalah Gunzou.
Selama tiga puluh tahun berkarir sebagai penulis Haruki Murakami sudah
menghasilkan puluhan karya, baik fiksi dalam bentuk novel dan kumpulan cerpen,

maupun non-fiksi dalam bentuk kumpulan esai, laporan investigasi, dan kumpulan
catatan perjalanan. Hampir semua karya fiksinya, khususnya dalam bentuk novel,
sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris sehingga memudahkan dunia
internasional menikmati karya-karyanya. Popularitas Murakami, baik di dunia
internasional secara umum ataupun di tanah airnya sendiri secara khusus
memperlihatkan bahwa Murakami memiliki posisi yang penting dalam kaitannya
dalam kesustraan Jepang kontemporer (dalam tesis Anggraeni, 2010). Dalam
penulisan karyanya Murakami menggunakan berbagai jenis gaya bahasa,
misalnya:
風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風
Kono wareware no sekai na nado mimizu noumiso no youna mono da.
(Kaze no Uta o Kike, 2004: 160)
“Dunia kita ini hanya seperti otak cacing”

(Dengarlah Nyanyian Angin, 2013: 119)
Penggunaan gaya bahasa akan membuat pembaca mengetahui fungsi dan
tujuan dari pengarang menggunakan permainan kata dari gaya bahasa dan makna
yang terkandung. Hal ini sebagai ekspresi pengarang dalam menuangkan
gagasannya melalui aspek keindahan, pesan tak langsung, dan hakikat emosional
yang mengarahkan bahasa pada bentuk penyajian terselubung, terbungkus, bahkan
dengan sengaja disembunyikan. Ada kesan bahwa untuk menemukan pesan atau
makna

yang

dimaksudkan,

maka

proses

pemahamannya

justru


harus

diperpanjang. Karena pilihan kata yang digunakan dalam gaya bahasa berbeda
dari ungkapan yang biasanya kita gunakan dalam komunikasi sehari-hari,
sehingga sulit untuk memahami makna sebenarnya dari ungkapan tersebut. Salah
satu cara untuk memahami gaya bahasa ialah melalui makna leksikal, karena
makna leksikal merupakan langkah awal untuk dapat memahami maksud dari
penggunaan gaya bahasa secara keseluruhan.
Gaya bahasa sebagai pemakaian bahasa yang khas pada dasarnya dapat
dijadikan tolak ukur untuk mengetahui dan memahami perilaku, kondisi sosial,
pemikiran dan budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Hal ini senada dengan

pendapat Ratna (2008: 293) gaya bahasa bukan semata-mata merupakan masalah
kreatif sastra, melainkan juga teori sastra, sejarah, sosiologi, antropologi,
ekonomi, hukum, politik, budaya, dan sains. Pemahaman terhadap bagaimana
gaya bahasa diungkapkan, sedikit banyaknya akan berkontribusi terhadap
pemahaman masyarakatnya yang menggunakan gaya bahasa itu.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini
akan menjelaskan mengenai salah satu unsur stilistika yaitu pemajasan. Namun,

tidak semua gaya bahasa pemajasan akan dibahas dalam penelitian ini. Penelitian
hanya akan membahas mengenai majas smile, karena majas smile lebih sering
muncul dibandingkan dengan majas lainnya. Majas smile akan di analisis melalui
makna leksikal kemudian akan di klasifikasikan berdasarkan struktur dasar
sintaksis yang di kemukakan oleh Sheddy Tandra. Oleh karena itu, penelitian ini
akan menjelaskan secara mendalam dengan judul: “Analisis Stilistika pada
novel Kaze No Uta o Kike Karya Haruki Murakami”.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada uraian sebelumnya, penelitian ini
menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Makna leksikal apa yang terkandung dalam majas smile pada novel
Kaze No Uta o Kike Karya Haruki Murakami?
2. Termasuk klasifikasi struktur dasar sintaksis mana sajakah majas smile
pada novel Kaze No Uta o Kike Karya Haruki Murakami?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui makna leksikal yang terkandung dalam majas smile
pada novel Kaze No Uta o Kike Karya Haruki Murakami.
2. Untuk mengetahui termasuk klasifikasi mana sajakah majas smile

berdasarkan teori struktur dasar sintaksis yang di kemukakan oleh
Tjandra.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfat sebagai berikut:
1. Memberikan sumbangan pengetahuan/pemikiran yang bermanfaat dan
membantu pembaca memahami pemakaian gaya bahasa (style).
2. Memberi sumbangan yang bermakna bagi pengembangan studi untuk
penelitian linguistik lainnya, seperti penelitian stilistika dari aspek
leksikal, sintaksis, sarana retorika atau lainnya.
F. Defenisi Operasional
1. Stilistika
Menurut Pradopo (1999: 94) stilistika merupakan gaya bahasa dalam
bahasa pada umumnya, namun memiliki perhatian khusus dan
kecendrungan pada ilmu tentang gaya bahasa dalam kesustraan.
2. Novel Kaze no uta o kike karya Haruki Murakami
Menurut Anggraeni (2010) novel Kaze no uta o kike merupakan novel
pertama Haruki Murakami pada tahun 1979 dan memenangkan
penghargaan Gunzou Newcomers Award. Novel ini bercerita tentang
Boku yang berumur 29 tahun merasa kesulitan dan putus asa setiap

akan menulis. Kemudian untuk mengobati perasaan tersebut, boku
menuliskan suatu periode di masa lalunya yang berlangsung pada
tanggal 8-26 Agustus 1970, yakni periode liburan musim panas yang
dia lewati di kampung halamannya yang hanya disebut sebagai machi.
3. Makna leksikal
Menurut Sudaryat (2009: 22) makna leksikal merupakan gambaran
nyata tentang suatu benda, hal, konsep, objek, dan lain-lain yang
dilambangkan oleh kata.
4. Sintaksis
Menurut Sutedi (2011: 64) sintaksis sebagai cabang linguistik yang
mengkaji tentang struktur kalimat, unsur-unsur pembentuknya dan
makna yang ditimbulkannya. Objek garapan sintaksis tidak terlepas
dari struktr frasa, struktur klausa, dan struktur kalimat, ditambah
dengan berbagai unsur lainnya.
G. Kajian Teoritis
A. Stilistika

Stilistika (stylistic) adalah ilmi tentang gaya, sedangkan stil (style) secara
umum adalah cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu yang diungkapkan dengan
cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal

(Ratna, 2016:3). Sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2014:74-75) yang
mengungkapkan stilistika berkaitan erat dengan stile. Bidang garapan stilistika
adalah stile, bahasa yang dipakai dalam konteks tertentu, dalam ragam bahasa
tertentu. Jika style diIndonesiakan dengan diadaptasikan menjadi ‘stile’ atau ‘gaya
bahasa’, istilah stylistic juga dapat diperlakukan sama, yaitu diadaptasi menjadi
‘stilistika’. Istilah stilistika juga lebih singkat dan efisien daripada terjemahannya
yang ‘kajian gaya bahasa’ atau ‘kajian stile’. Dengan kata lain, dalam bidang
bahasa dan sastra style dan stylistic berarti cara-cara penggunaan bahasa yang
khas sehingga menimbulkan efek tertentu.
Sedangkan Sudaryat (2009: 92) mengatakan stilistika merupakan kajian
gaya bahasa, kata imi berasal dari bahasa Yunani stilus yakni alat dan kemahiran
menulis dalam lempengan lilin. Kemudian, istilah stilistika berubah menjadi
kemahiran dan gaya berbahasa.

B. Jenis Kajian Stilistika
Menurut Satoto (2012: 37) stilistika, sebagai cabang ilmu Sastra yang
meneliti gaya (style), dibedakan ke dalam: stilistika deskriptif dan stilistika
genetis. Stilistika deskriptif, mendekati (approach) gaya (style) sebagai
keseluruhan daya ungkapan psikis yang terkandung dalam suatu bahasa, dan
meneliti nilai-nilai ekspresif khusus yang terkandung dalam suatu bahasa

(language).

Dalam

pandangan

ini

pengarang

membangkitkan

beberapa

kemungkinan yang terkandung dalam sistem bahasa yang bersangkutan.
Sedangkan stilistika genetis atau stilistika individual memandang stail, gaya
(style) sebagai suatu ungkapan yang khas pribadi. Lewat analisis terinci (motif,
pilihan kata) terhadap sebuah karya dapat dilacak visi batin seseorang pengarang.

Pradopo dalam Imron (2014) menjelaskan stilistika deskriptif adalah

pengkajian gaya bahasa sekelompok sastrawan atau sebuah angkatan sastra baik
ciri-ciri gaya bahasa prosa maupun puisinya. Adapun stilistika genetis yakni
pengkajian stilistika individual berupa penguraian cirri-ciri gaya bahasanya yang
terdapat dalam salah satu karya sastranya atau keseluruhan karya sastranya, baik
prosa maupun puisinya. Dalam hal ini dipandang sebagai ungkapan khas pribadi
yang terdapat dalam salah satu karya sastranya atau keseluruhan karya sastranya.

C. Tujuan Kajian Stilistika
Kajian stilistika dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi keindahan
penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur,
bahasa figuratif, sarana retorika, sarana grafologi. Hal ini dapat dipandang sebagai
bagian terpenting dalam analisis bahasa sebuah teks dengan pendekatan stilistika
(Nurgiyantoro, 2014: 75-76). Kajian stilistika juga bertujuan untuk menentukan
seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana pengarang mempergunakan
tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus. Kajian ini membawa
kepemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bahasa dapat dikreasikan dan
didayakan sedemikian rupa, mungkin lewat penyimpangan, pengulangan,
penekanan, dan penciptaan ungkapan baru dalam karya sastra yang semuanya
membuat komunikasi bahasa menjadi lebih segar dan efektif.
D. Bidang Kajian Stilistika
Kajian stile atau stilistika pada hakikatnya kajian terhadap berbagai unsur
pendukung stile, kajian unsur stile dilakukan dengan menelaah berbagai unsur
tersebut terlihat lebih bersifat tekstual atau cenderung berupa stilistika tekstual.
Unsur stile menurut Nurgiyantoro (2014: 210) mencakup unsur pemajasan
(bahasa figuratif ‘figurative language’), penyiasatan struktur (sarana retorika
‘rethorical devices’), dan citraan (‘imagery’).
1. Pemajasan

Majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud
penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan (Ratna, 2016:
164). Menurut Ratna majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a) majas
penegasan, b) majas perbandingan, c) majas pertentangan dan d) majas sindiran.
Hal ini juga sejalan dengan Tarigan (2009) yang membagi majas kedalam empat
bagian yaitu majas perbandingan, majas pertentangan, majas pertautan, dan majas
perulangan. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2014: 218) majas pada umumnya
dibagi menjadi majas perbandingan dan majas pertautan.
a. Majas perbandingan
Majas perbandingan tampaknya jenis pemajasan yang paling banyak
ditemukan dalam teks-teks kesustraan dan bahkan teks non sastra. Bentuk
pengungkapan yang mempergunakan pemajasan jumlahnya relatif banyak, namun
barangkali hanya beberapa saja yang kemunulannya dalam sebuah karya sastra
relatif tinggi. Bentuk pemajasan yang banyak dipergunakan pengarang adalah
bentuk perbadingan atau persamaan.
Majas perbandingan adalah majas yang membandingkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya. Jadi, di dalamnya
ada sesuatu yang dibandingkan dan sesuatu yang menjadi pembandingnya.
Kesamaan itu biasanya berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah
laku, dan sebagainya. Bentuk perbandingan tersebut dilihat dari sifat
kelangsungan pembandingan persamannya dapat dibedakan ke dalam bentuk
smile, metafora, personifikasi, dan alegori.
1) Smile
Nurgiyantoro menyebutkan smile

merupakan

majas

ynag

mempergunakan kata-kata pembanding langsung atau eksplisit untuk
membandingkan sesuatu yang dibandingkan dengan pembandingnya. Majas
smile lazimnya mempergunakan kata-kata tugas tertentu yang berfungsi
sebagai penanda keeksplisitan pembandingan, misalnya kata-kata seperti,
bagai, bagaikan, laksana, mirip, bak, dan sebagainya. Menurut Garyoan
dalam Oemiati perumpamaan dalam bahasa Jepang dapat berupa 風風風/ 風風風/
風風/風風風/風風/風風/風風風/風風風風 dll, contohnya:

風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風
‘Kawaita mamegara kara shoumame ga kotsubu no hikari no youni
odori deru ’
“Biji kacang merah itu berloncatan keluar dari kulitnya yang kering
bagaikan biji cahaya”
Sumber: Jurnal LITEvolume 6 No.2, Juni 2010

Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama
yang mau dibandingkan, seperti:
Seperti menating minyak penuh
Bagai air di daun talas
Bagai duri dalam daging

Persamaan masig dapat dibedakan lagi atas persamaan tertutup dan
persamaan terbuka. Persamaan tertutup adalah persamaan yang mengandung
perincian mengenai sifat persamaan itu, sedangkan persamaan terbuka adalah
persamaan yang tidak mengandung perincian mengenai sifat persamaan itu;
pembaca atau pendengar diharapkan akan mengisi sendiri sifat persamaannya.
2) Metafora
Baldic dalam Nurgiyantoro mengatakan metafora adalah bentuk
pembandingan antara dua hal yang dapat berwujud benda, fisik, ide, sifat,
atau perbuatan dengan benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan lain yang
bersifat implisit. Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dan
kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata petunjuk pembanding
secara ekplisit, contohnya:
風風風風風風風風風
‘Sono otoko wa ookami de aru’.
“laki-laki itu berkarakter licik dan garang”
Sumber: Jurnal Humaniora, Inovasi vol.16/Maret 2010

3) Personifikasi
Personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang memberi sifat-sifat
benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan. Artinya sifat yang diberikan itu
sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak untuk benda-benda atau
makhluk nonhuman yang tidak bernyawa dan tidak berakal (Nurgiyantoro,
2014: 235). Adapun Pradopo mengatakan personifikasi merupakan majas
yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dapat
berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Contohnya:
風風風風風風
‘Hamidase kokoro’
“Lampauilah Hatimu ”
Sumber: Articles OJS Unud, Vol 20. No 39

4) Alegori
Menurut Tarigan (2009:117) Alegori merupakan majas metafora yang
diperluas dan berkesinambungan, yang mana tempat atau wadah objek-objek
atau gagasan dilambangkan. Sedangkan menurut Nurgiyantoro ada kesamaan
karakteristik antara metafora dengan alegori, yaitu adanya unsur yang
dibandingkan

dengan

unsur

pembandingnya.

Jika

dalam

metafora

pembandingnya itu bisa terdapat pada hal atau sesuatu yang diekspresikan
dalam larik-larik tertentu, dalam alegori perbandingan itu mencangkup
keseluruhan makna teks yang bersangkutan.
b. Majas pertautan
Majas pertautan adalah majas yang di dalamnya terdapat unsur pertautan,
pertalian, penggantian, atau hubungan yang dekat antara makna yang sebenarnya
dimaksudkan dan apa yang secara konkret dikatakan oleh pembicara. Majas
pertautan yang umum adalah majas metonimi dan majas sinekdoki.
1) Metonimi
Majas metonimi ialah sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya
pertautan atau pertalian yang dekat antara kata-kata yang disebut dengan
makna yang sesungguhnya (Nurgiyantoro, 2014: 243). Sedangkan menurut

Momiyama dalam Sutedi (2011) metonimi yaitu gaya bahasa yang digunakan
untuk mengungkapkan suatu hal/perkara, dengan cara mengungkapkannya
dengan perkara atau hal lain berdasarkan pada sifat kedekatannya atau
adanya keterkaitan antara kedua hal tersebut.
Contohnya:
風風風風風風風
‘Nabe ga nieru’
“Panci medidih”
Sumber: Dedi Sutedi (2011: 213)

Berdasarkan contoh di atas, yang mendidih itu bukan panci, melainkan air
di dalam panci tersebut. Antara panci dan air, berdekatan secara ruang.
2) Sinekdoki
Majas sinekdoki adalah sebuah ungkapan dengan cara menyebut
bagian tertentu yang penting dari sesuatu untuk sesuatu itu sendiri
(Nurgiyantoro, 2014:244). Misalnya, kata telor yang lebih umum (di
dalamnya mencangkup telor burung, telor bebek, telor penyu, telor buaya dll),
digunakan untuk menyatakan telor ayam secara khusus. Contoh lainnya:
風風風風風風風風風風風
‘Hirobiro sekai o manabi’
“Belajar dunia yang luas sendirian”
Sumber: Articles OJS Unud, Vol 20. No 39

Sekai (dunia) untuk menyatakan keseluruhan dari hal-hal yang harus
dipelajari oleh seorang anak. Dengan hanya menyebutkan kata sekai tidak perlu
lagi merinci secara detail hal-hal yang dapat dipelajari di dunia ini, seperti
kehidupan, hewan, tumbuhan, manusia, interaksi social, teknologi, dan lain
sebagainya.
2. Penyisiasatan struktur

Penyisiasatan struktur dimaksudkan sebagai struktur yang sengaja disiasati
, dimanipulasi, dan didayakan untuk memperoleh efek keindahan. Penyisiasatan
struktur inilah yang sering dikenal dengan sebutan gaya bahasa. Artinya, suatu
penuturan yang sengaja digayakan untuk memperoleh efek tertentu di hati
pembaca (Nurgiyantoro, 2014: 245).Penyisiasatan struktur yang paling sering
dijumpai dalam teks-teks kesustraan adalah repitisi dan pengontrasan.

3. Citraan
Citraan merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa yang mampu
membangkitkan kesan yang konkret terhadap suatu objek, pemandangan, aksi,
tindakan, atau pernyataan yang dapat membedakannya dengan pernyataan atau
ekspositori yang abstrak dan biasanya ada kaitannya dengan simbolisme. Citraan
terkait dengan panca indra manusia, yaitu citraan visual, citraan auditif, cutraan
gerak, citraan rabaan dan penciuman.
E. Makna leksikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem
meski tanpa konteks apapun (Chaer, 2012: 289). Misalnya, leksem kuda
memiliki makna leksikal ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa
dikendarai’; pinsil bermakna leksikal ‘sejenis alat tulis yang terbuat dari
kayu an arang’, denga contoh in dapat dikatakan bahwa makna leksikal
adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi
kita, atau makna apa adanya.
Makna leksikal dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah jishotekiimi atau goiteki-imi. Makna leksikal adalah makna kata yang
sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra
dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai
makna asli suatu kata. Misalnya kata neko dan kata gakkou memiliki
makna leksikal ‘kucing’ dan ‘sekolah’ (Sutedi, 2011: 131).
F. Sintaksis

Istilah sintaksis dalam bahasa Jepang disebut tougoron atau sintakusu.
Dalam pembahasan sintaksis yang biasa dibicarakan adalah struktur sintaksis,
mencangkup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis; serta alat-alat yang
digunakan dalam membangun struktur itu (Chaer, 2012: 206).
Senada dengan yang diungkapkan oleh Nita dalam Sutedi (2011: 64)
bidang garapan sintaksis adalah kalimat yang mencangkup jenis dan fungsinya,
unsur-unsur pembentuknya, serta struktur dan maknanya. Berdasarkan dua
pendapat diatas bisa dikatakan bahwa sintaksis adalah salah satu bidang linguistik
yang membahas tentang struktur kalimat, klausa, frasa, serta unsur-unsur
pembentuknya.
1. Defenisi kalimat
Kalimat dalam bahasa Jepang disebut dengan Bun. Iwabuchi dalam
Sudjianto (2007: 140) mengatakan pada umumnya yang dimaksud dengan
kalimat adalah bagian yang memiliki serangkaian makna yang ada di dalam
suatu wacana yang dibatasi dengan tanda titik. Di dalam ragam lisan sebuah
kalimat ditandai dengan penghentian pengucapan pada bagian akhir kalimat
tersebut. Di dalam ragam tulisan keberadaan sebuah kalimat tampak lebih
jelas karena bagian akhirnya selalau ditandai tanda titik. Kalau bukan dengan
tanda titik, kalimat ditandai juga dengan tanda tanya atau tanda seru.
2. Hubungan antara bunsetsu dalam kalimat.
Kalimat bahasa Jepang dapat terbentuk dari sebuah bunsetsu, dua buah
bunsetsu atau beberapa bunsetsu. Bunsetsu merupakan unsur atau elemen
yang membentuk kalimat, juga merupakan tempat dimana kita dapat
menghentikan pernafasan sejenak pada saat kita mengucapkannya. Hirai
Masao dalam Sudjianto (2007: 182) menyebutkan ada enam macam
hubungan antara sebuah bunsetsu dengan bunsetsu lainnya dalam sebuah
kalimat.
a. Hubungan ‘Subjek-Predikat’ (Shugo-Jutsugo no Kankei)
Hubungan ‘Subjek-predikat’ disini adalah hubungan bahwa subjek
berupa bunsetsu yang menjadi jawaban pertanyaan nan ga ‘apa’
menghadapi predikat berupa bunsetsu yang menjadi jawaban pertanyaan
doo suru ‘melakukan apa’, misalnya:

風風風風風風
‘Beru ga aru’
“Bel berbunyi” (dengan pola ‘nani ga + doo suru’)
b. Hubungan ‘Yang Menerangkan-Yang Diterangkan’
Hubungan ‘yang menerangkan-yang diterangkan’ adalah hubungan
bahwa sebuah bunsetsu secara jelas menerangkan atau menentukan
bunsetsu berikutnya. Bunsetsu pertama disebut kata yang menerangkan
bunsetsu kata yang diterangkan, misalnya:
風風風風風風風風風
‘Ooki tsuki ga mieru’
“Bulan besar terlihat”
c. Hubungan setara (Taitoo no kankei)
Hubungan setara adalah hubungan hubungan dua buah bunsetsu atau
lebih yang ada didalam shugo, jutsugo, shuushokugo, dan lain-lainnya
berderet secara setara. Bunsetsu- bunsetsu tersebut dideretkan sebagai
bagian-bagian tanpa yang memiliki tingkat kepentingan yang sama, tanpa
ada pemikiran yang satu lebih penting daripada yang lainnya, misalnya:
風風風風風風風風
‘Tsuyoku tooku nageta’
“Melempar dengan keras dan jauh”
d. Hubungan tambahan (Fuzoku no Kankei)
Fuzoku no kankei adalah hubungan tambahan, bunsetsu pertama
menyatakan makan utama, sedangkan bunsetsu berikutnya berafiliasi
dengan bunsetsu sebelumnya dan memberikan tambahan suatu makna,
misalnya:
風風風風風風
‘Ame ga futte’
“Hujan turun”
e. Hubungan konjungtif (Setsuzoku no Kankei)
Hubungan konjungtif adalah hubungan bahwa makna suatu bunsetsu
menjadi sebab-sebab, persyaratan, atau alasan, lalu berhubungan dengan

bunsetsu atau dengan kalimat secara keseluruhan yang ada pada bagian
berikutnya, misalnya:
風風風風風風風風風風風風風風風風風風風風
‘Asa osoku kite mita keredo mada dare mo inakatta’
“Pagi-pagi saya mencoba datang terlambat, tetapi belum ada siapapun”
f. Hubungan bebas (Dokuritsu no kankei)
Disebut hubungan bebas karena tidak ada hubungan langsung dengan
bunsetsu yang lain dan merupakan hubungan yang longgar yang dipakai
relatif bebas. Untuk ini biasanya dipakai kata-kata yang menyatakan
panggilan, rasa haru, jawaban, atau saran.
Misalnya:
風風風風風風風風風風風
‘Oyaoya, kore wa taihen’
“Wah, bahaya ini”

G. Struktur dasar sintaksis
Struktur dasar sintaksis adalah susunan yang memiliki sifat tetap dari
penggabungan kata-kata. Struktur dasar sintaksis ini terbentuk dalam proses
penggabungan kata yang mengikuti hukum sintaksis yang berlaku (Tjandra, 2013:
70). Struktur dasar sintaksis menurut Tjandra ada lima, yaitu:
1.

Struktur Deskriptif
Struktur deskriptif adalah susunan dari penggabungan kata yang bersifat

menjabarkan keterangan informasi kepada lawan. Struktur deskriptif
ditemukan pada kalimat-kalimat yang memiliki predikat yang berasal dari
verba kopula dan adjektif.
Contoh:
風風 風風 風 風風風 風風風
Yamada san wa nihonjin desu.
“Tuan Yamada adalah orang Jepang”.

Kalimat diatas berpredikat verba kopula/desu/, kalimat ini memberikan
informasi tentang tuan Yamada atau gambaran keadaan mengenai si subjek.
Susunan penggabungan kata yang bersifat seperti itu menjadi struktur deskriptif.
2.

Struktur Modifikatif
Modifikasi (pemerian) berarti pemberian keterangan. Struktur Modifikatif

adalah susunan dan penggabungan kata yang dilakukan berdasarkan hubungan
menerangkan dan diterangkan. Unsure yang menerangkan adalah modifikator
(pemeri) dan unsur yang diterangkan adalah inti modifikasi.
Struktur modifikator ditemukan pada frasa-frasa

yang

terbentuk

berdasarkan hukum modifikasi. Frasa-frasa itu adalah frasa nominal dengan
modifikator adalah adjektif, verba dan nomina yang dibantu partikel {no}.
Contoh:
風風風Watashi no kuruma
風風風風風 totemo amai

3.

“mobil saya” (modifikator nomina)
“amat manis” (modifikator adverbial)

Struktur agentif
Kata agen dari istilah agentif bermakna pelaku. Struktur agentif adalah

susunan dari penggabungan kata yang bersifat menginformasikan kejadian
aksi yang dilakukan oleh agen verba. Struktur agentif ditemukan pada kalimat
verbal. Pelaku aksi tidak terbatas pada manusia, bisa berupa binatang atau
benda yang melakukan aksi, contoh:
Kalimat intransitif
風風風風風
Hito ga aruku
“orang berjalan kaki”

(pelaku manusia)

Kalimat transitif
風風風風風
Inu ga hoeru
“anjing menyalak”

(pelaku anjing)

4.

Struktur Objektif

Kata objek dari objektif bermakna sesuatu yang menderita aksi perbuatan
verba transitif. Pelaku melakukan aksi perbuatan verba transitif kemudian ada
sesuatu yang terkena aksi perbuatan tersebut. Struktur Objektif adalah susunan
dari penggabungan kata yang bersifat menginformasikan kejadian verba
transitif yang bertitik tolak dari adanya sesuatu yang menjadi penderita aksi
perbuatan berdasarkan makna.
Contoh:
風風風風風風風風風風風
Okane wa motte kimashitaka?
“apakah uangnya sudah dibawa?”

風風風風風風風風風風風
Koohii wa nomimasuka?
“apakah anda mau minum kopi”
Kata okane dan koohii menurut makna adalah objek dari verba motte kuru
“bawa” dan nomu “minum”. Tetapi, menurut sintaksisnya, kedua objek itu
diajukan sebagai pokok pembicaraan dengan tanda partikel wa, maka kalimat
diatas menjadi memiliki struktur objek topic.
5.

Struktur relatif
Struktur relatif adalah susunan dari penggabungan kata yang dilakukan

berdasarkan suatu makna keterkaitan antara lain adalah relasi sebab-akibat dan
relasi pengandaian. Relasi sebab akibat ditemukan pada kalimat yang terdiri
atas dua bagian, satu bagian menuturkan sebab dan satu bagian lagi
menuturkan akibat. Relasi pengandaian ditemukan pada kalimat yang terdiri
dari dua bagian, satu bagian menuturkan pengandaian, satu bagian lagi
menuturkan akibat dari pengandaian itu. Relasi konstrastif ditemukan pada
kalimat yang terdiri atas dua bagian yang bermakna kontras berlawanan.
Contoh:
風風風風風風風風風風風

Byouki dakara, ikanai.
“aku tidak pergi karena sakit”

H.

Metode Penelitian
1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menafsirkan dan
menganalisis sumber data dari novel Kaze no Uta o Kike karya Haruki
Murakami, sehingga tidak diperlukan tempat untuk melakukan survei atau
melakukan eksperimen dalam penelitian ini. Sebagian besar semua sumber
buku referensi berasal dari Perpustakaan Universitas Riau dan Perpustakaan
Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang. Penelitian ini dilakukan di
Pekanbaru agar memudahkan dalam analisis data. Penulisan proposal ini
dilaksanakan dari bulan Februari 2016.
2. Rancangan Peneltian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Menurut
Nawawi dalam Siswantoro (2014: 56), penelitian deskriptif adalah prosedur
pemecahan

masalah

yang

diselidiki

dengan

menggambarkan

atau

melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (novel, drama, cerita
pendek, puisi) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif dituntut untuk mengungkap data
dengan cara memberi deskripsi. Fakta atau data merpakan sumber informasi
yang menjadi bahan analisis.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
kualitatif. Setiyadi (2006: 220) mengatakan bahwa dalam pendekatan
kualitatif peneliti tidak hanya melihat objek dari aspek tertentu secara
terpisah-pisah, semua fenomena dari subyek disatukan dan dihubungkan
sehingga semua fenomena membuat satu potret secara keseluruhan dari
subyek yang diteliti. Penelitian kualitatif dilakukan secara sistematis dan
terstruktur, tidak menggunakan prosedur statistik.
Terdapat beberapa langkah yang akan dilakukan dalam rancangan penelitian
ini yaitu:
a. Menentukan teori yang akan digunakan sebagai landasan
penelitian. Teori yang digunakan ialah tentang salah satu unsur

stilistika yaitunya pemajasan (majas smile) yang dikemukakan oleh
Burhan Nurgiyantoro (2014) dalam bukunya yang berjudul
“Stilistika” dan tentang klasifikasi struktur dasar sintaksis yang
dikemukan oleh Sheddy N. Tjandra (2013) dalam bukunya yang
berjudul “Sintaksis Jepang”.
b. Melakukan pengumpulan data dengan teknik catat. Pengumpulan
data berupa kalimat yang mengandung majas smile.
c. Menganalisis data dengan analisis makna leksikal , kemudian
mengklasifikasikan data berdasarkan klasifikasi struktur dasar
sintaksis.
d. Menyimpulkan kesimpulan hasil analisis. Setelah diperoleh
kesimpulan dari analisis tersebut, langkah terakhir adalah
memenyajikan hasil penelitian secara deskriptif dalam bentuk
laporan penelitian.
3. Sumber Data
Sumber data referensi utama sebagai data perimer yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu kalimat yang dimbil dari novel Kaze no uta o kike
karya Haruki Murakami. Sedangkan novel terjemahan sebagai data
sekunder adalah terjemahan karya Jonjon Johana. Novel kaze no uta o kike
karya Haruki Murakami merupakan novel pertama yang ditulisnya dan
langsung memenangkan Gunzou Literary Award.

4. Data dan Instrumen
Data menurut Siswantoro (2014: 70) merupakan sumber informasi yang
akan diseleksi sebagai bahan analisis. Data yang akan digunakan ada dua
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama yang
diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara, data primer inilah yang
akan dianalisis secara fungsional terkait dengan peran dan fungsinya. Data
sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat
perantara, tetapi tetap bersandar pada kategori yang menjadi rujukan.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini peneliti sendiri. Irawan
dalam Fuad dan Nugroho (2013: 56) menyatakan bahwa satu-satunya

instrumen terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.
Peneliti mungkin menggunakan alat-alat bantu selama penelitiannya, tetapi
alat-alat ini benar-benar tergantung pada peneliti untuk menggunakannya.
Peneliti sebagai instrumen ini disebut “participant-observer”.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik catat, yaitu dengan mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi
penelitiannya dari penggunaan bahasa secara tertulis yang diambil dari
novel kaze no uta o kike karya Haruki Murakami .
6. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis melakukan beberapa macam cara:
1. Melakukan penelitian tentang hasil penelitian lain yang menggunakan
analisis stilistika.
2. Melakukan penelitian tentang hasil penelitian mahasiswa yang
menggunakan analisis stilistika.
3. Mengumpulkan data-data dan teori yang berhubungan dengan
penulisan.
4. Objek yang telah ditemukan dianalisis mkana leksikalnya dan
kemudian analisis berdasarkan klasifikasi struktur dasar sintaksis
berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Tjandra.
5. Saat menganalisis data tentunya tidak melanggar konsep Stilistika dan
Struktur dasar Sintaksis yang menyatakan bahwa dalam analisis suatu
tuturan dan tulisan diharapkan memberikan keterangan seinformatif
mungkin dan tidak berlebihan sesuai yang diperlukan untuk tujuan
tertentu.

I. Daftar Pustaka
Fuad dan Nugroho. 2013. Panduan Praktis Penelitian Kualitatif. Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Keraf, Gorys. 2005. Diksi dan Gaya Bahasa. PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta.
Mahsun. 2005. Metodologi penelitian bahasa tahapan strategi, metode
dan tekniknya. Rajawali pers: Mataram.
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Gajah Mada University
Press: Yogyakarta.
Ratna, Kutha Nyoman. Stilistika: Kajian puitika bahasa, sastra, dan
budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Satoto, Soediro. 2012. Stilistika. Ombak: Yogyakarta.
Setiyadi, Bambang. 2006. Metode Penelitian Untuk Bahasa Asing. Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Siswantoro. 2014. Metode Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Sudaryanto. 1993. Metode dan aneka teknik analisis bahasa. Duta wacana
University Press:Yogyakarta.
Sudaryat, Yayat. 2008. Makna dalam wacana . Yrama Widya: Bandung.
Sutedi, Dedi. 2011. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Humaniora:
Bandung.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Angkasa Bandung:
Bandung.
Tjandra, Sheddy. 2013. Sintaksis Jepang. PT. Widia Inovasi Nusantara:
Jakarta.
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
JURNAL
Nurhadi, Didik. 2010. Kontribusi pemahaman budaya dalam penafsiran
majas metafora bahasa Jepang .Yogyakarta : Humoniora.

Palandi, Esther Hesline. 2013. “Metafora bahasa Jepang” dalam jurnal
Outlook, vol. 1 No. 2 Bulan Juli – Desember 2013. Jakarta: The
Indonesian Association for Japanese Studies.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. “Penelitian stilistika genetik” dalam
jurnal Humoniora, No. 1, Tahun 1999. Yogyakarta.