Bab-iii-teori-ikatan-dalam-kompleks

(1)

TEORI IKATAN DALAM KOMPLEKS

Teori mengenai ikatan dalam senyawa kompleks mulai berkembang sekitar tahun 1930. Sampai dengan saat ini ada 3 teori yang cukup menonjol :

Teori Ikatan Valensi (TIV)

Teori ini menyatakan bahwa dalam senyawa terbentuk ikatan kovalen koordinasi antara ligan dengan atom, dimana pasangan elektron bebas disumbangkan oleh ligan dan logam menyediakan orbital kosong untuk ditempati oleh PEB yang disumbangkan oleh ligan

Teori Medan Kristal

Menurut teori ini, ikatan antara logam dan ligan dalam senyawa kompleks murni merupakan interaksi elektrostatik.

Teori Orbital Molekul

Dalam teori orbital molekul, interaksi antara ligan dengan logam pusat dapat berupa interaksi ionik maupun pembentukan ikatan kovalen, dengan menggunakan pendekatan mekanika gelombang

a.

Teori Ikatan Valensi (Valence Bond Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Linus Pauling sekitar tahun 1931. Teori ini menyatakan bahwa ikatan antara ligan dengan logam merupakan ikatan kovalen koordinasi, dengan pasangan elektron bebas yang disumbangkan oleh ligan. Logam pusat menyediakan orbital-orbital kosong yang telah mengalami hibridisasi untuk ditempati oleh PEB dari ligan. Jenis hibridisasi orbital menentukan bentuk geometris senyawa kompleks yang terbentuk. Pembentukan ikatan dalam senyawa kompleks juga dapat ditinjau sebagai reaksi Asam-Basa Lewis, dimana ligan merupakan Basa Lewis yang memberikan PEB.

Hibridisasi Geometris Contoh

sp2 Trigonal planar [HgI

3]

-sp3 Tetrahedral [Zn(NH

3)4]2+

d2sp3 Oktahedral [Fe(CN)

6]

3-dsp2 Bujur sangkar/ segi empat planar [Ni(CN)

4]

2-dsp3 Bipiramida trigonal [Fe(CO)

5]2+

sp3d2 Oktahedral [FeF

6]

3-Pembentukan ikatan melibatkan beberapa tahapan, meliputi promosi elektron; pembentukan orbital hibrida; dan pembentukan ikatan antara logam


(2)

dengan ligan melalui overlap antara orbital hibrida logam yang kosong dengan orbital ligan yang berisi pasangan elektron bebas.

Pada hibridisasi yang melibatkan orbital d, ada dua macam kemungkinan hibridisasi. Jika dalam hibridisasi orbital d yang dilibatkan adalah orbital d

yang berada di luar kulit dari orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks yang terbentuk disebut sebagai kompleks orbital luar, atau outer orbital complex. Sebaliknya, jika dalam hibridisasi yang dilibatkan adalah orbital d di dalam kulit orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks tersebut dinamakan kompleks orbital dalam atau inner orbital complex. Umumnya kompleks orbital dalam lebih stabil dibandingkan kompleks orbital luar, karena energi yang dilibatkan dalam pembentukan kompleks orbital dalam lebih kecil dibandingkan energi yang terlibat dalam pembentukan kompleks orbital luar. Untuk menghibridisasi orbital d yang berada di dalam orbital s dan p diperlukan energi yang lebih kecil, karena tingkat energinya tidak terlalu jauh.

Contoh :

 [Ni(CO)4]; memiliki struktur geometris tetrahedral

Ni28 : [Ar] 3d8 4s2

: [Ar]

3d8 4s2 4p0

 Elektron pada orbital 4s mengalami promosi ke orbital 3d, sehingga orbital 4s kosong dan dapat mengalami hibridisasi dengan orbital 4p membentuk orbital hibrida sp3.

Ni28 : [Ar]

3d8 4s 4p

 Orbital hibrida sp3 yang telah terbentuk kemudian digunakan untuk berikatan

dengan 4 ligan CO yang masing-masing menyumbangkan pasangan elektron bebas

[Ni(CO)4] : [Ar]


(3)

hibridisasi d2sp3

3d10 sp3

 Karena semua elektron berpasangan, maka senyawa bersifat diamagnetik

 [Fe(CN)6]3-; memiliki bentuk geometris oktahedral

Fe26 : [Ar] 3d6 4s2

Fe3+ : [Ar] 3d5 4s0

: [ Ar]

3d5 4s1 4p0

Dua buah elektron pada orbital d yang semula tidak berpasangan dipasangkan

dengan elektron lain yang ada pada orbital d tersebut, sehingga 2 orbital d yang semula ditempati oleh kedua elektron tersebut kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibridal d2sp3

Fe3+ : [Ar]

Karena orbital d yang digunakan dalam hibridisasi ini berasal dari orbital d yang

berada disebelah dalam orbital s dan p, maka kompleks dengan orbital hibrida semacam ini disebut sebagai kompleks orbital dalam (inner orbital complex)

[Fe(CN)6]3- : [Ar]

3d6 d2sp3

Orbital hibrida d2sp3 yang terbentuk diisi oleh pasangan elektron bebas dari ligan

CN

- Dalam kompleks terdapat satu elektron yang tidak berpasangan, sehingga

kompleks bersifat paramagnetik.

 [Ni(CN)4]2-, memiliki bentuk geometris segiempat planar

Ni28 : [Ar] 3d8 4s2

: [Ar]

3d8 4s2 4p0

Ni2+ : [Ar]

Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks membentuk orbital hibrida dsp3


(4)

 Salah satu elektron pada orbital d yang tidak berpasangan dipasangkan dengan elektron lain, sehingga salah satu orbital d kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibrida dsp3

[Ni(CN4)]2- : [Ar]

3d8 dsp3

 Semua elektron dalam kompleks ini berpasangan sehingga kompleks bersifat diamagnetik

Sebagian besar kompleks lebih memilih konfigurasi kompleks orbital dalam, karena energi yang diperlukan saat hibridisasi untuk melibatkan orbital d sebelah dalam lebih kecil dibandingkan energi yang diperlukan untuk melibatkan orbital d sebelah luar. Meskipun demikian, jika dilihat dari pengukuran momen magnetnya, beberapa kompleks ternyata berada dalam bentuk kompleks orbital luar.

Contoh :

 Ion [FeF6]3-, memiliki bentuk geometris oktahedral. Jika

diasumsikan kompleks ini merupakan kompleks orbital dalam dengan hanya satu elektron yang tidak berpasangan, maka seharusnya momen magnet senyawa adalah sebesar 1,73 BM. Menurut hasil pengukuran, momen magnet ion [FeF6]3- adalah

sebesar 6,0 BM, yang akan sesuai jika terdapat lima elektron tidak berpasangan. Berarti ion Fe3+ dalam kompleks mengalami

hibridisasi sp3d2 dengan melibatkan orbital d sebelah luar, dan

disebut sebagai kompleks orbital luar (outer orbital complex). Fe26: [Ar] 3d6 4s2

Fe3+: [Ar] 3d5 4s0

: [Ar]

3d5 4s1 4p0 4d0

Elektronetralitas dan Backbonding


(5)

Dalam TIV, reaksi pembentukan kompleks merupakan reaksi Asam Basa Lewis. Atom logam sebagai asam Lewis mendapatkan elektron dari ligan yang bertindak sebagai basa Lewis, sehingga mendapatkan tambahan muatan negatif. Dengan demikian densitas elektron pada atom logam akan menjadi semakin besar sehingga kompleks menjadi semakin tidak stabil. Pada kenyataannya senyawa kompleks merupakan senyawa yang stabil, sehingga diasumsikan walaupun mendapatkan tambahan muatan negatif dari PEB yang didonorkan oleh ligan, atom pusat memiliki muatan yang mendekati nol atau hampir netral. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menerangkan hal ini :

(1) Elektronetralitas

Ligan donor umumnya merupakan atom dengan elektronegativitas yang tinggi, sehingga atom ligan tidak memberikan keseluruhan muatan negatifnya, sehingga elektron ikatan tidak terdistribusi secara merata antara logam dengan ligan

(2) Backbonding

Pada atom logam dengan tingkat oksidasi yang rendah, kerapatan elektron diturunkan melalui pembentukan ikatan balik (backbonding) atau resonansi ikatan partial. Ionpusat memberikan kembali pasangan elektron kepada ligan melalui pembentukan ikatan phi (π).

Teori Ikatan Valensi cukup mudah untuk dipahami, dapat meramalkan bentuk geometris dari sebagian besar kompleks, dan berkesesuaian dengan sifat kemagnetan dari sebagian besar kompleks.

Meskipun demikian, ada beberapa kelemahan dari Teori Ikatan Valensi ini. Sebagian besar senyawa kompleks merupakan senyawa berwarna, TIV tidak dapat menjelaskan warna dan spektra elektronik dari senyawa kompleks. Selain itu, meskipun berkesesuaian dengan sifat kemagnetan senyawa, TIV tidak dapat menjelaskan mengapa kemagnetan senyawa dapat berubah dengan kenaikan suhu. Teori Ikatan Valensi tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan mengapa sejumlah kompleks berada dalam Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks


(6)

bentuk kompleks orbital luar. Kelemahan-kelemahan dari TIV ini dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh Teori Medan Kristal (Crystal Field Theory).

b.

Teori Medan Kristal (

Crystal Field Theory)

Teori ini mula-mula diajukan oleh Bethe (1929) dan Vleck (1931 – 1935), dan mulai berkembang sekitar tahun 1951. Teori ini merupakan usaha untuk menjelaskan hal-hal yang menjadi kelemahan dari Teori Ikatan Valensi.

Dalam Teori Medan Kristal (TMK), interaksi yang terjadi antara logam dengan ligan adalah murni interaksi elektrostatik. Logam yang menjadi pusat dari kompleks dianggap sebagai suatu ion positif yang muatannya sama dengan tingkat oksidasi dari logam tersebut. Logam pusat ini dikelilingi oleh ligan-ligan bermuatan negatif atau ligan netral yang memiliki pasangan elektron bebas (PEB). Jika ligan merupakan suatau spesi netral/tidak bermuatan, maka sisi dipol negatif dari ligan terarah pada logam pusat. Medan listrik pada logam akan saling mempengaruhi dengan medan listrik ligan.

Dalam Teori Medan Kristal, berlaku beberapa anggapan berikut : a. ligan dianggap sebagai suatu titik muatan

b. tidak ada interaksi antara orbital logam dengan orbital ligan

c. orbital d dari logam kesemuanya terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, akan tetapi, jika terbentuk kompleks, maka akan terjadi pemecahan tingkat energi orbital d tersebut akibat adanya tolakan dari elektron pada ligan, pemecahan tingkat energi orbital d ini tergantung orientasi arah orbital logam dengan arah datangnya ligan

Bentuk Orbital-d

Karena orbital d seringkali digunakan pada pembentukan ikatan dalam kompleks, terutama dalam teori TMK, maka adalah penting untuk mempelajari bentuk dan orientasi ruang orbital d. Kelima orbital d tidak identik, dan dapat dibagi menjadi dua kelompok; orbital t2g dan eg.

Orbital-orbital t2g –dxy; dxz; dan dyz– memiliki bentuk yang sama dan memiliki orientasi

arah di antara sumbu x, y, dan z. Orbital-orbital eg –dx2-y2 dan dz2– memiliki


(7)

M+ L

L

L

L L

L

X Y

Z d

x2-y2 dz2

dxy dxz dyz dx2-y2 dz2

dxz dyz

eg

t2g

Kompleks Oktahedral

Pada kompleks oktahedral, logam berada di pusat oktahedron dengan ligan di setiap sudutnya. Arah mendekatnya ligan adalah sepanjang sumbu x, y dan z. Karena orientasi arah orbital dx2-y2 dan dz2 adalah sepanjang sumbu x; y; z, dan

menghadap langsung ke arah mendekatnya ligan, maka kedua orbital tersebut mengami tolakan yang lebih besar dari ligan dibandingkan orbital dxy;

dxz dan dyz yang berada di antara sumbu-sumbu x; y; dan z. Dengan demikian

orbital d pada kompleks oktahedral mengalami pemecahan (splitting) tingkat energi dimana orbital-orbital eg memiliki tingkat energi yang lebih besar

dibandingkan orbital t2g.

Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks

x x y

z

dxy

z y

dyz

dxz

y x

dx2-y2 dz2

y x


(8)

(a) (b)

Gambar a. kompleks oktahedral

Gambar b. pemecahan energi yang terjadi pada orbital d menjadi orbital eg dan t2g

Jarak antara kedua tingkat energi ini diberi simbol 0 atau 10Dq. Setiap

orbital pada orbital t2g menurunkan energi kompleks sebesar 0,40, dan

sebaliknya setiap orbital pada orbital eg menaikkan energi kompleks sebesar

0,60. Tingkat energi rata-rata dari kedua tingkat energi orbital t2g dan eg

merupakan energi hipotetik dari orbital d yang terdegenerasi.

Besarnya harga o terutama ditentukan oleh kuat atau lemahnya suatu

ligan. Semakin kuat medan suatu ligan, makin besar pula pemecahan tingkat energi yang disebabkan, sehingga harga 0 juga semakin besar. Harga 0

dalam suatu kompleks dapat ditentukan melalui pengukuran spektra UV-Vis dari kompleks. Kompleks akan menyerap energi pada panjang gelombang yang sesuai untuk mempromosikan elektron dari tingkat energi t2g ke tingkat

eg. Panjang gelombang yang diserap dapat ditentukan berdasarkan puncak

serapan dari spektrum serapan UV-Vis.

Karena setiap orbital t2g menurunkan energi sebesar 0,40 dari tingkat

energi hipotetis, setiap elektron yang menempati orbital t2g akan

meningkatkan kestabilan kompleks dengan menurunkan energi kompleks sebesar 0,40. Besarnya penurunan energi ini disebut sebagai Energi

Stabilisasi Medan Kristal (CFSE, Crystal Field Stabilization Energy). Sebaliknya, setiap elektron di orbital eg akan menurunkan kestabilan

kompleks dengan menaikkan energi kompleks sebesar 0,60.

Tabel berikut menunjukkan besarnya CFSE untuk kompleks dengan konfigurasi d0 – d10.

dxy ∆o


(9)

Jumlah elektron d t Konfigurasi CFSE

2g eg

1 -0,40

2 -0,80

3 -1,20

4 (kompleks high spin) -0,60

4 (kompleks low spin) -1,6∆0

5 (kompleks high spin) 0

5 (kompleks low spin) -2,0∆0

6 (kompleks high spin) -0,4∆0

6 (kompleks low spin) -2,4∆0

7 (kompleks high spin) -0,8∆0

7 (kompleks low spin) -1,8∆0

8 -1,2∆0

9 -0,6∆0

10 0

Besarnya harga ∆0 ditentukan oleh jenis ligan yang terikat dengan

logam pusat. Untuk ligan medan lemah (weak field ligand), perbedaan selisih energi antara orbital t2g dan eg yang terjadi dalam splitting sangat kecil,

dengan demikian elektron-elektron akan mengisi kelima orbital tanpa berpasangan terlebih dahulu. Kompleks dengan ligan medan lemah semacam ini disebut sebagai kompleks spin tinggi (high spin complex).

Ligan medan kuat (strong field ligand) menyebabkan perbedaan energi yang besar antara orbital t2g dengan orbital eg. Karena energi yang diperlukan

untuk menempatkan elektron ke orbital eg yang tingkat energinya lebih tinggi

lebih besar dibandingkan energi yang diperlukan untuk memasangkan elektron, elektron akan mengisi orbital t2g terlebih dahulu hingga penuh

sebelum mengisi orbital eg.

Besrnya harga ∆o dapat ditentukan secara Spektrofotometri UV-Vis.

Kompleks akan menyerap cahaya dengan frekuensi yang berkesesuaian dengan energi yang diperlukan untuk mengeksitasikan elektron dari orbital t2g

ke orbital eg (v = ∆0/h, h= konstanta Planck). Dari pita serapan ini dapat dilihat

intensitas maksimum dari serapan oleh kompleks terletak pada frekuensi berapa.

Menurut hasil studi eksperimen dari spektra sejumlah kompleks dengan berbagai macam jenis logam pusat dan ligan, ternyata ligan-ligan dapat diurutkan sesuai kemampuannya untuk menyebabkan pemecahan tingkat energi pada orbital d. Deretan ligan ini disebut Deret Spektrokimia.


(10)

I-< Br- < Cl- < F- < OH- < C

2O42- < H2O < NCS-< py < NH3 < en < bipy <

o-phen < NO2- < CN

-Distorsi Tetragonal dalam Kompleks Oktahedral (-Distorsi Jahn Taller)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tolakan oleh elektron dari keenam ligan dalam suatu kompleks oktahedral memecah orbital d menjadi orbital t2g dan eg. Jika elektron-elektron d dari logam tersusun/terdistribusi

secara sistematis, maka elektron-elektron tersebut akan memberikan tolakan yang setara pada keenam ligan, sehingga kompleks merupakan suatu oktahedral sempurna. Akan tetapi jika elektron d terdistribusi secara tidak merata dalam orbital (memiliki penataan yang asimetris), maka ada ligan yang mengalami gaya tolak yang lebih besar dibandingkan ligan yang lainnya. Dengan demikian struktur kompleks menjadi terdistorsi.

Orbital-orbital eg berhadapan langsung dengan ligan, sehingga

penataan elektron yang asimetris dalam orbital eg akan menyebabkan ligan

mengalami tolakan yang lebih besar dibandingkan ligan lainnya dan menghasilkan distorsi yang signifikan. Sebaliknya orbital-orbital t2g tidak

berhadapan langsung dengan ligan, sehingga penataan elektron yang asimetris dalam orbital t2g tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap struktur kompleks, distorsi yang terjadi biasanya sangat lemah sehingga tidak terukur.

Penataan simetris

Jumlah

elektron d t2g eg

Medan

ligan Contoh

d0 kuat atau

lemah TiIVO2; [TiIVF6]2-; [TiIVCl6]

2-d3 kuat atau

lemah [CrIII(oksalat)3]3-; CrIII(H2O)6]3+

d5 lemah [MnIIF

6]4-; [FeIIIF6]

3-d6 kuat [FeII(CN)

6]4-; [CoIII(NH3)6]3+

d8 lemah [NiIIF

6]4-; [Ni(H2O)6]2+

d10 kuat atau

lemah [ZnII(NH3)6]2+; [ZnII(H2O)6]2+

Penataan asimetris

Jumlah

elektron d t2g eg

Medan

ligan Contoh

d4 lemah Cr(+II); Mn(III+)


(11)

perpanjangan pada sumbu z

perpanjangan pada sumbu x dan y

d9 kuat dan

lemah Cu(+II)

Jika orbital dz2 berisi lebih banyak elektron dibandingkan orbital dx2-y2,

maka ligan yang berada pada sumbu z akan mengalami gaya tolak yang lebih besar dibandingkan keempat ligan lainnya (yang berada pada sumbu x dan y). Gaya tolak yang tidak seimbang tersebut akan menghasilkan distorsi berupa perpanjangan oktahedron di sepanjang sumbu z, dan disebut sebagai

distorsi tetragonal. Lebih tegasnya, distorsi berupa pemanjangan sumbu x semacam ini disebut sebagai elongasi (perpanjangan) tetragonal.

Sebaliknya, jika orbital yang berisi lebih banyak elektron adalah orbital dx2-y2, elongasi akan terjadi sepanjang sumbu x dan sumbu y, sehingga ligan

dapat lebih mendekat ke arah logam pusat melalui sumbu z. Berarti akan ada empat ikatan yang panjang dan dua ikatan yang lebih pendek, dan struktur yang terbentuk mirip dengan oktahedron yang ditekan sepanjang sumbu z. Distorsi semacam ini disebut kompresi tetragonal.

Distorsi berupa elongasi tetragonal lebih sering terjadi dibandingkan kompresi tetragonal.

Gambar (c)


(12)

Gambar (d)

Gambar (c) Elongasi tetragonal yang terjadi pada suatu kompleks oktahedral. Elektron-elektron pada orbital dz2 menimbulkan gaya tolak yang meneybabkan ligan pada sumbu z menjauh dari logam pusat

Gambar (d) Kompresi tetragonal. Elektron-elektron pada orbital dx2-y2 menimbulkan gaya tolak yang cukup kuat sehingga ligan-ligan yang terikat pada sumbu x dan y menjauh dari logam pusat.

Dapat disimpulkan bahwa jika pengisian orbital dx2-y2 dan dz2 tidak

sama, maka akan terjadi distorsi. Hal ini disebut sebagai Distorsi Jahn Taller. Teorema Jahn-Taller menyatakan bahwa : “sistem molekuler yang tidak linear dalam suatu keadaan elektron yang terdegenerasi tidaklah stabil; dan akan mengalami distorsi untuk menurunkan simetrinya dan menghilangkan degenerasi yang terjadi”.

KOMPLEKS SEGI EMPAT PLANAR

Jika logam pusat dalam kompleks memiliki konfigurasi d8, maka enam

elektron akan mengisi orbital t2g dan dua elektron akan mengisi orbital eg.

Penataan elektronnya ditunjukkan dalam Gambar (a). Orbital-orbital terisi oleh eletron secara simetris, dan suatu kompleks oktahedral terbentuk.

∆E eg


(13)

Gambar (e) Penataan elektron yang simetris di orbital t2g dan eg pada logam dengan

konfigurasi elektron d8

Gambar (f) Pemecahan tingkat energi orbital eg, untuk mencapai kestabilan, kedua

elektron mengisi orbital dz2 yang tingkat energinya lebih rendah

Elektron yang berada pada orbital dx2-y2 mengalami tolakan dari empat

ligan yang berada pada sumbu x dan y; sementara elektron yang ada pada orbital dz2 hanya mengalami tolakan dari dua ligan yang berada pada sumbu

z. Jika medan ligan cukup kuat, maka perbedaan energi di antara dua orbital ini (orbital dx2-y2 dan dz2) menjadi lebih besar dibandingkan energi yang

diperlukan untuk memasangkan elektron. Pemecahan orbital eg ini

ditunjukkan pada Gambar(f).

Dalam kondisi demikian, kompleks akan menjadi lebih stabil jika orbital dx2-y2 kosong dan kedua elektron yang seharusnya menempati orbital eg ditata

secara berpasangan pada orbital dz2 . Dengan demikian, empat buah ligan

dapat terikat dalam kompleks pada sumbu x dan y dengan lebih mudah karena tidak mengalami tolakan dari orbital dx2-y2 yang telah kosong.

Sebaliknya ligan tidak dapat mendekati logam pusat melalui sumbu z, karena mengalami tolakan yang sangat kuat dari orbital dz2 yang terisi dua elektron.

Oleh karena itu hanya terbentuk empat ikatan antara logam pusat dengan ligan, dan struktur geometris kompleks menjadi segiempat planar.

Kompleks segiempat planar terbentuk pada ion logam dengan konfigurasi elektron d8 dan ligan yang memiliki medan yang sangat kuat,

misalnya [NiII(CN)4]2-. Semua kompleks Pt(II) dan Au(II) merupakan kompleks

segi empat planar, meskipun dengan ligan medan lemah.

Besarnya pemecahan energi orbital eg tergantung pada jenis ligan dan logam

yang menjadi ion pusat. Pada kompleks segiempat planar dari CoII; NiII dan

CuII, orbital d

z2 memiliki tingkat energi yang hampir sama dengan orbital dxz

dan dyz. Sedangkan dalam kompleks [PtCl4]2-, orbital dz2 memiliki tingkat

energi yang lebih rendah dibandingkan orbital dxz dan dyz.

Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks


(14)

KOMPLEKS TETRAHEDRAL

Orientasi ruang dari suatu kompleks dengan geometris tetrahedral dapat dihubungkan sebagai suatu kubus, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar (g).

(g)

Gambar g. Struktur kompleks tetrahedral sebagai suatu kubus

Berdasarkan gambar tersebut, ligan berada di antara sumbu-sumbu x, y dan z. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, orbital-orbital t2g

(dxy, dxz, dan dyz) berada di antara sumbu x, y dan z, sementara orbital-orbital

eg (dx2-y2 dan dz2) berada dalam posisi yang berimpit dengan sumbu x, y dan z.

Oleh karena itu, pada kompleks tetrahedron, ligan berada lebih dekat dengan orbital-orbital t2g, meskipun posisi ligan tidak tepat berimpit dengan

orbital-orbital tersebut. Oleh karena itu, pada kompleks tetrahedron terjadi pemecahan energi yang berkebalikan dengan pemecahan energi pada kompleks oktahedron.

Pada kompleks tetrahedron, terjadi pemecahan tingkat energi dimana orbital t2g mengalami kenaikan tingkat energi (karena berada dalam posisi

yang lebih berdekatan dengan ligan) sementara orbital eg mengalami

Logam pusat

Ligan Y

X Y


(15)

penurunan tingkat energi. Pemecahan tingkat energi dalam kompleks tetrahedron ditunjukkan dalam Gambar (h).

(h)

Gambar (h) Pemecahan tingkat energi yang terjadi dalam kompleks tetrahedron

Untuk membedakannya dengan kompleks oktahedron, selisih energi antara orbital eg dan t2g dalam kompleks tetrahedron diberi notasi ∆t

Setiap elektron yang menempati orbital eg maupun t2g dalam kompleks

tetrahedron memberikan kontribusi terhadap harga CFSE dari kompleks tetrahedron. Setiap elektron pada orbital eg akan menurunkan energi sebesar

0,6∆t, sementara setiap elektron yang menempati orbital t2g akan menaikkan

energi sebesar 0,4 ∆t. Secara sederhana, harga CFSE dari suatu kompleks

tetrahedral dapat dirumuskan sebagai berikut :

CFSE tetrahedron = -0,6∆t + 0,4∆t

Besarnya CFSE dari suatu kompleks tetrahedron diramalkan lebih kecil dibandingkan CFSE kompleks oktahedron. Hal ini dikarenakan jumlah ligan yang terikat dalam kompleks tetrahedron juga lebih sedikit, hanya ada empat ligan, sementara pada kompleks oktahedron ada 6 ligan yang terikat pada logam pusat. Selain itu, berbeda dengan kompleks oktahedron dimana arah orbital tepat berimpit dengan arah datangnya ligan, ligan yang terikat pada kompleks tetrahedron tidak tepat berimpit dengan orbital.

c. Teori Orbital Molekul (Molecular Orbital Theory)

Teori Medan Kristal didasarkan atas asumsi bahwa interaksi yang terjadi antara ligan dan logam pusat murni merupakan interaksi elektrostatik. Teori ini dapat menjelsakan bentuk geometris; spektra; dan kemagnetan dari senyawa kompleks dengan memuaskan. Meskipun demikian, teori ini

Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks ∆E (∆t)


(16)

mengabaikan kemungkinan terbentuknya ikatan kovalen dalam kompleks, hal ini ternyat bertentangan dengan fakta yang diperoleh sdari sejumlah eksperimen. Beberapa kelemahan dari Teori Medan Kristal adalah sebagai berikut :

1. Sejumlah senyawa dengan tingkat oksidasi nol (misalnya pada kompleks [Ni(CO)4] tidak mengalami gaya tarik-menarik

elektrostatik antara logam dengan ligan, sehingga dapat dipastikan bahwa ikatan yang terbentuk dalam kompleks merupakan suatu ikatan kovalen

2. Urutan ligan dalam spektrokimia tidak dapat dijelaskan hanya dengan berdasarkan pada keadaan elektrostatik

3. Bukti dari spektrum resonansi magnetik inti dan resonansi spin elektron menunjukkan keberadaan densitas elektron tidak berpasangan pada ligan, hal ini mengindikasikan adanya pembagian elektron bersama, sehingga dapat diasumsikan terjadi kovalensi dalam kompleks

Teori Orbital Molekul (Molecular Orbital Theory) melibatkan pembentukan ikatan kovalen. Dalam Teori Orbital Molekul (TOM), ikatan dalam kompleks terjadi melalui pembentukan orbital molekul. Orbital molekul merupakan orbital yang terbentuk sebagai kombinasi antara orbital atom yang dimiliki logam dengan orbital atom yang dimiliki oleh ligan. Oleh karena itu orbital molekul dapat dipelajari dengan menggunakan pendekatan Linear Combination Atomic Orbital (LCAO).

Setiap penggabungan orbital atom menjadi orbital molekul akan menghasilkan orbital bonding (orbital ikatan) dan orbital antibonding (orbital anti ikatan). Bagaimana orbital molekul ini terbentuk akan dibahas lebih terperinci dalam Ikatan Kimia.


(17)

1s 1s

1s 1s

Pembentukan ikatan melalui orbital σ yang paling sederhana dapat dicontohkan dalam pembentukan ikatan antar atom hidrogen dalam molekul H2.

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa tiap atom H memiliki masing-masing satu buah elektron pada orbital 1s. kedua orbital atom H tersebut kemudian bergabung membentuk orbital molekul σ, sehingga terbentuk dua macam orbital, orbital σ yang merupakan orbital bonding, dan orbital σ* yang merupakan orbital antibonding. Sesuai dengan aturan Hund, maka mula-mula elektron dari salah satu atom H mengisi orbital molekul σ yang terbentuk, kemudian elektron dari atom H yang lain juga mengisi orbital σ tersebut. Dengan terbentuknya orbital molekul yang diisi oleh elektron dari kedua atom H, maka terbentuklah ikatan antar atom H tersebut menjadi molekul H2. Molekul H2 ini merupakan molekul yang stabil, karena

elektron-elektronnya berada pada orbital molekul σ yang tingkat energinya lebih rendah dibandingkan tingkat energi orbital atom pembentuknya.

Pembentukan orbital molekul ini dapat digunakan untuk menjelaskan ketidakstabilan dari molekul He2. Perhatikan diagram berikut :

Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks orbital σ* (orbital molekul antibonding)

orbital σ (orbital molekul bonding)

H H

H2


(18)

Setiap atom Helium memiliki dua elektron pada setiap orbital 1s. saat orbital-orbital atom 1s dari kedua atom Helium tersebut membentuk orbital molekul, terbentuk 2 macam orbital molekul pula, orbital σ dan σ*. Elektron-elektron mula-mula mengisi orbital bonding σ yang tingkat energinya lebih rendah, kemudian mengisi orbital antibonding σ*. Karena baik orbital bonding maupun orbital antibonding sama-sama terisi elektron, maka keduanya akan saling meniadakan, sehingga molekul He2 menjadi sangat tidak stabil.

Kedua contoh diatas menunjukkan pembentukan orbital molekul untuk molekul diatomik yang heterogen, sehingga orbital atom yang digunakan dalam pembentukan orbital molekul memiliki tingkat energi yang sama. Pada molekul diatomik yang heterogen, atom yang lebih elektronegatif orbital atomnya memiliki tingkat energi yang lebih rendah. Perbedaan tingkat energi antar orbital atom dari dua atom berbeda yang saling berikatan merupakan ukuran dari sifat ionik ikatan yang terbentuk antara kedua atom tersebut. Sedangkan perbedaan tingkat energi antara orbital bonding molekul yang terbentuk dengan orbital atom (dari atom yang tingkat energinya lebih rendah) merupakan ukuran sifat kovalen ikatan yang terbentuk. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi yang diberikan dalam diagram berikut :

orbital σ (orbital molekul bonding)

He He

He2

1s

1s A

orbital σ*

a


(19)

Pada diagram tersebut, atom B memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan orbital atom A. Oleh karena itu, orbital molekul (OM) σ yang terbentuk memiliki karakteristik yang lebih mirip dengan orbital atom B. Selisih energi antara orbital atom A dan orbital atom B, dinotasikan dengan a, menunjukkan ukuran sifat ionik ikatan yang terbentuk antara A dan B. Sedangkan selisih energi antara OM σ dengan orbital atom B, dinotasikan dengan b, menunjukkan sifat kovalen ikatan AB.

PEMBENTUKAN ORBITAL MOLEKUL σ DALAM SENYAWA KOMPLEKS

Pada senyawa kompleks, orbital molekul terbentuk sebagai gabungan/kombinasi dari orbital atom logam dengan orbital atom dari ligan. Orbital atom logam dapat bergabung dengan orbital atom ligan jika orbital-orbital atom tersebut memiliki simetri yang sama.

Untuk logam transisi pertama, orbital yang dapat membentuk orbital molekul adalah orbital-orbital eg (dx2-y2 dan dz2), 4s, 4p, 4px, 4py dan 4pz.

Orbital-orbital t2g (dxy, dxz dan dyz) dari logam tidak dapat membentuk orbital σ

karena orientasi arahnya yang berada di antara sumbu x, y dan z. Oleh karena itu ketiga orbital tersebut disebut sebagai orbital nonbonding. Meskipun tidak dapat membentuk oribtal σ, orbital-orbital t2g tersebut dapat

membentuk orbital molekul π dengan orbital atom dari ligan yang tidak searah dengan orbital atom logam.

Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks B

AB orbital σ


(20)

Ligan dapat membentuk orbital molekul dengan orbital logam jika posisinya segaris dengan logam, atau berada tepat pada sumbu/garis penghubung ion pusat dan ligan. Adapun orbital atom dari ligan yang dapat bergabung dengan orbital atom dari logam adalah orbital s atau orbital hasil hibridisasi antara orbital s dan p.

Karena jauh lebih banyak orbital dan elektron yang terlibat, maka diagram pembentukan orbital molekul dalam senyawa kompleks lebih rumit dibandingkan diagram pembentukan orbital molekul untuk molekul diatomik sederhana. Umumnya orbital atom dari ligan tingkat energinya lebih rendah dibandingkan orbital atom dari logam pusat, sehingga karakteristik dari orbital molekul yang terbentuk lebih mirip dengan karakteristik orbital atom ligan dibandingkan orbital atom logam. Berikut ini contoh diagram pembentukan orbital molekul untuk kompleks [Co(NH3)6]3+

3d

x2-y2 z2 xy xz yz

4s 4p

orbital non bonding σ*s

σ*p

σ*d

6 orbital px dari 6 ligan


(21)

Pada kompleks [Co(NH3)6], orbital-orbital 4s, 4px, 4py, 4pz, 3dx2-y2, dan

3dz2 dari logam Co bergabung dengan keenam orbital px dari atom ligan NH3

membentuk orbital molekul. Orbital molekul σ yang terbentuk masing-masing diisi dengan sepasang elektron dari ligan NH3. Orbital 3dxy, 3dxz, dan 3dyz dari

Co3+ tidak bergabung membentuk orbital molekul, ketiga orbital tersebut

merupakan orbital nonbonding (non ikatan) dalam kompleks ini. Selisih antara tingkat energi nonbonding dengan orbital σ* (orbital antibonding) merupakan harga Δ0 dari kompleks tersebut. Dalam TOM, splitting/pemecahan tingkat

energi yang terjadi merupakan akibat dari kovalensi. Makin besar kovalensi,makin besarpula harga Δ0. Dalam kompleks [Co(NH3)6]3+ tersebut,

harga Δ0 cukup besar, sehingga semua elektron lebih memilih untuk mengisi

orbital nonbonding, kompleks merupakan kompleks low spin. Karena semua elektron dalam kompleks berpasangan, maka dapat diramalkan bahwa kompleks tersebut bersifat diamagnetik.

Pada kompleks [CoF6]3-, selisih tingkat energi antara orbital

nonbonding dengan orbital antibonding /orbital σ* yang terbentuk relatif cukup kecil, sehingga elektron dapat mengisi orbital σ* terlebih dahulu. Kompleks ini merupakan kompleks high spin. Diagram pembentukan orbital molekul pada kompleks [CoF6]3- dapat dilihat berikut ini :

Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks σs

σp

3d 4s 4p

σ*s

σ*p

σ*d


(22)

--

+

-

+

+

+

+

-

-Orbital-orbital 3dx2-y2; 3dz2; 4s; 4px; 4py; dan 4pz dari logam bergabung

dengan 6 buah orbital px dari keenam ligan F- yang mengelilingi logam pusat

tersebut. Orbital-orbital t2g dari logam membentuk orbital nonbonding atau

non-ikatan. Selisih tingkat energi antara orbital nonbonding ini dengan orbital antibonding σ* yang terbentuk dinotasikan dengan Δ0. Pada kompleks

[CoF6]3-, karena harga Δ0 relatif cukup kecil, maka sebelum mengisi orbital

nonbonding secara berpasangan, elektron dari ligan mengisi orbital σ* terlebih dahulu. Akibatnya setiap orbital σ* yang merupakan orbital antibonding masing-masing terisi satu buah elektron. Terisinya orbital antibonding ini mengakibatkan ikatan antara logam Co dengan ligan NH3

tersebut menjadi lebih lemah. Karena dalam kompleks terdapat sejumlah elektron yang tidak berpasangan, maka dapat diramalkan bahwa kompleks [CoF6]3- merupakan kompleks yang bersifat paramagnetik.

PEMBENTUKAN ORBITAL π

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, orbital σ dapat terbentuk antar orbital atom dengan simetri yang sama. Adapun orbital π dapat terbentuk antara orbital px, py, pz, dxy, dxz, dan dyz dari logam dengan orbital

atom dari ligan yang tidak searah dengan orbital logam. Salah satu contoh bagaimana orbital π dapat terbentuk antara orbital atom dari logam dengan orbital atom yang dimiliki ligan ditunjukkan dalam gambar berikut :

x2-y2 z2

xy xz yz orbital non bonding

σs

σp

σd

6 orbital px dari 6 ligan F-,


(23)

+

-

+

-+

-+

-

+

-Gambar (i)

Gambar (i) Kombinasi orbital dxz dari logam dengan orbital py dan pz dari ligan

Dari Gambar (i) di atas dapat dilihat bahwa orbital dxz berada sejajar

dengan orbital py dan pz dari ligan, sehingga kombinasi dari orbital atom

logam dan orbital atom ligan tersebut dapat menghasilkan orbital molekul π. Selain dari penggabungan orbital dxz dari logam dengan orbital py dan pz,

orbital molekul π juga dapat terbentuk dari penggabungan antara orbital pz

dari logam dengan orbital pz dari ligan. Ilustrasi kedua orbital atom tersebut

dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(j)

Gambar (j) Posisi orbital atom pz dari logam dan orbital pz ligan berada dalam posisi yang

sejajar, sehingga juga dapat bergabung dan menghasilkan orbital molekul π.


(24)

Jika pada pembentukan ikatan σ ligan berperan sebagai Basa Lewis yang menyumbangkan pasangan elektron, maka dalam pembentukan ikatan π ini, ligan dapat bertindak sebagai asam Lewis yang menerima pasangan elektron yang didonorkan oleh logam.

Adanya ikatan π akan memperkuat ikatan antara logam dengan ligan, sehingga meningkatkan kestabilan kompleks. Selain itu, konsep mengenai pembentukan ikatan π juga dapat menjelaskan urutan kekuatan ligan dalam Deret Spektrokimia.

Ligan dapat berperan sebagai akseptor π atau donor π, tergantung keterisian orbital π yang dimiliki oleh ligan tersebut.

(a) Ligan akseptor π

Sejumlah ligan seperti CO, CN- dan NO+ memiliki orbital π kosong yang

dapat bertumpang tindih dengan orbital t2g dari logam, membentuk

ikatan π. Interaksi semacam ini seringkali disebut sebagai pembentukan ikatan balik (backbonding). Tingkat energi dari orbital π yang dimiliki ligan ini seringkali lebih tinggi dibandingkan tingkat energi dari logam, sehingga dapat menaikkan harga ∆0. Ligan-ligan semacam

ini merupakan ligan medan kuat dan pada Deret Spektrokimia berada di sebelah kanan.

(b) Ligan Donor π

Sejumlah ligan tertentu memiliki orbital π yang telah terisi elektron dan mengalami overlap dengan orbital t2g dari logam, menghasilkan ikatan

π. Rapatan elektron akan ditransfer dari ligan menuju logam melalui ikatan π ini. Selain dari ikatan π yang terbentuk tadi, transfer elektron dari ligan ke logam juga terjadi melalui ikatan σ. Interaksi semacam ini lebih sering terjadi pada kompleks dari logam dengan bilangan oksidasi yang tinggi, sehingga logam tersebut ”kekurangan elektron”. Orbital π dari ligan biasanya memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan orbital t2g logam, sehingga delokalisasi elektron π dari

ligan melalui cara ini akan memperkecil harga ∆0. Ligan yang


(25)

LATIHAN

1. Berdasarkan Teori Ikatan Valensi, jelaskan bentuk geometris dari ion kompleks [HgI3]-!

2. Berdasarkan Teori Ikatan Valensi, ramalkan jumlah elektron tidak berpasangan dalam kompleks [NiCl4]2-; [Ni(CN)4]2-; dan [Cu(NH3)4]2+! 3. Jelaskan dengan menggunakan Teori Ikatan Valensi, mengapa kompleks

[NiCl4]2- dan [Ni(CO)4] sama-sama memiliki bentuk geometris tetrahedral,

tetapi momen magnetiknya berbeda!

4. Untuk masing-masing kompleks [Fe(CN)6]4- dan [Fe(CN)]3-, dengan

menggunakan Teori Ikatan Valensi, jelaskan : a. hibridisasi yang terjadi!

b. Apakah kompleks yang terbentuk kompleks orbital dalam atau kompleks orbital luar!?

c. Ramalkan sifat kemagnetan kompleks-kompleks tersebut! d. Hitung momen magnetik dari setiap kompleks tersebut!

5. Jika diketahui momen magnetik dari [Fe(H2O)5(NO)]2+ adalah sebesar 3,89

BM, tentukan tingkat oksidasi dan jenis hibridisasi yang terjadi!

6. Ion Fe3+ dalam larutan berair tidak berwarna, akan tetapi penambahan ion

NCS- ke dalam larutan akan mengubah warna larutan menjadi merah.

Jelaskan mengapa!

7. Hitunglah jumlah elektron tidak berpasangan dan harga CFSE dari kompleks :

a. [Fe(H2O)6]3+ b. [Cr(NH3)6]3+ c. [CoCl4] 2-8. Berikan alasan mengapa semua kompleks oktahedral dari ion Co3+

merupakan kompleks spin rendah yang bersifat diamagnetik!

9. Kompleks Co(II) stabil dalam geometris tetrahedral, akan tetapi Ni(II) lebih stabil dalam geometris segi empatplanar. Jelaskan!

10.Ion Co3+ membentuk kompleks oktahedral amonia yang lebih stabil

dibandingkan kompleks amonia oktahedral dari ion Co2+. Akan tetapi

kompleks Co3+ dengan ligan H

2O dalam geometris oktahedral kurang

stabil dibandingkan ion Co2+ yang membentuk kompleks dengan ligan

dan geometris yang sama. Jelaskan mengapa!


(1)

hibridisasi antara orbital s dan p.

Karena jauh lebih banyak orbital dan elektron yang terlibat, maka diagram pembentukan orbital molekul dalam senyawa kompleks lebih rumit dibandingkan diagram pembentukan orbital molekul untuk molekul diatomik sederhana. Umumnya orbital atom dari ligan tingkat energinya lebih rendah dibandingkan orbital atom dari logam pusat, sehingga karakteristik dari orbital molekul yang terbentuk lebih mirip dengan karakteristik orbital atom ligan dibandingkan orbital atom logam. Berikut ini contoh diagram pembentukan orbital molekul untuk kompleks [Co(NH3)6]3+

3d

x2-y2 z2 xy xz yz

4s 4p

orbital non bonding σ*s

σ*p

σ*d

6 orbital px dari 6 ligan


(2)

Pada kompleks [Co(NH3)6], orbital-orbital 4s, 4px, 4py, 4pz, 3dx2-y2, dan

3dz2 dari logam Co bergabung dengan keenam orbital px dari atom ligan NH3

membentuk orbital molekul. Orbital molekul σ yang terbentuk masing-masing diisi dengan sepasang elektron dari ligan NH3. Orbital 3dxy, 3dxz, dan 3dyz dari

Co3+ tidak bergabung membentuk orbital molekul, ketiga orbital tersebut

merupakan orbital nonbonding (non ikatan) dalam kompleks ini. Selisih antara tingkat energi nonbonding dengan orbital σ* (orbital antibonding) merupakan harga Δ0 dari kompleks tersebut. Dalam TOM, splitting/pemecahan tingkat energi yang terjadi merupakan akibat dari kovalensi. Makin besar kovalensi,makin besarpula harga Δ0. Dalam kompleks [Co(NH3)6]3+ tersebut,

harga Δ0 cukup besar, sehingga semua elektron lebih memilih untuk mengisi orbital nonbonding, kompleks merupakan kompleks low spin. Karena semua elektron dalam kompleks berpasangan, maka dapat diramalkan bahwa kompleks tersebut bersifat diamagnetik.

Pada kompleks [CoF6]3-, selisih tingkat energi antara orbital

nonbonding dengan orbital antibonding /orbital σ* yang terbentuk relatif cukup kecil, sehingga elektron dapat mengisi orbital σ* terlebih dahulu. Kompleks ini merupakan kompleks high spin. Diagram pembentukan orbital molekul pada kompleks [CoF6]3- dapat dilihat berikut ini :

σs

σp

4s 4p

σ*s


(3)

--

+

-

+

+

+

+

-

-Orbital-orbital 3dx2-y2; 3dz2; 4s; 4px; 4py; dan 4pz dari logam bergabung

dengan 6 buah orbital px dari keenam ligan F- yang mengelilingi logam pusat

tersebut. Orbital-orbital t2g dari logam membentuk orbital nonbonding atau

non-ikatan. Selisih tingkat energi antara orbital nonbonding ini dengan orbital antibonding σ* yang terbentuk dinotasikan dengan Δ0. Pada kompleks

[CoF6]3-, karena harga Δ0 relatif cukup kecil, maka sebelum mengisi orbital

nonbonding secara berpasangan, elektron dari ligan mengisi orbital σ* terlebih dahulu. Akibatnya setiap orbital σ* yang merupakan orbital antibonding masing-masing terisi satu buah elektron. Terisinya orbital antibonding ini mengakibatkan ikatan antara logam Co dengan ligan NH3

tersebut menjadi lebih lemah. Karena dalam kompleks terdapat sejumlah elektron yang tidak berpasangan, maka dapat diramalkan bahwa kompleks [CoF6]3- merupakan kompleks yang bersifat paramagnetik.

PEMBENTUKAN ORBITAL π

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, orbital σ dapat terbentuk antar orbital atom dengan simetri yang sama. Adapun orbital π dapat terbentuk antara orbital px, py, pz, dxy, dxz, dan dyz dari logam dengan orbital

atom dari ligan yang tidak searah dengan orbital logam. Salah satu contoh bagaimana orbital π dapat terbentuk antara orbital atom dari logam dengan orbital atom yang dimiliki ligan ditunjukkan dalam gambar berikut :

σs


(4)

+

-

+

-+

-+

-

+

-Gambar (i)

Gambar (i) Kombinasi orbital dxz dari logam dengan orbital py dan pz dari ligan

Dari Gambar (i) di atas dapat dilihat bahwa orbital dxz berada sejajar

dengan orbital py dan pz dari ligan, sehingga kombinasi dari orbital atom

logam dan orbital atom ligan tersebut dapat menghasilkan orbital molekul π. Selain dari penggabungan orbital dxz dari logam dengan orbital py dan pz,

orbital molekul π juga dapat terbentuk dari penggabungan antara orbital pz

dari logam dengan orbital pz dari ligan. Ilustrasi kedua orbital atom tersebut

dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(j)


(5)

Adanya ikatan π akan memperkuat ikatan antara logam dengan ligan, sehingga meningkatkan kestabilan kompleks. Selain itu, konsep mengenai pembentukan ikatan π juga dapat menjelaskan urutan kekuatan ligan dalam Deret Spektrokimia.

Ligan dapat berperan sebagai akseptor π atau donor π, tergantung keterisian orbital π yang dimiliki oleh ligan tersebut.

(a) Ligan akseptor π

Sejumlah ligan seperti CO, CN- dan NO+ memiliki orbital π kosong yang

dapat bertumpang tindih dengan orbital t2g dari logam, membentuk

ikatan π. Interaksi semacam ini seringkali disebut sebagai pembentukan ikatan balik (backbonding). Tingkat energi dari orbital π

yang dimiliki ligan ini seringkali lebih tinggi dibandingkan tingkat energi dari logam, sehingga dapat menaikkan harga ∆0. Ligan-ligan semacam

ini merupakan ligan medan kuat dan pada Deret Spektrokimia berada di sebelah kanan.

(b) Ligan Donor π

Sejumlah ligan tertentu memiliki orbital π yang telah terisi elektron dan mengalami overlap dengan orbital t2g dari logam, menghasilkan ikatan π. Rapatan elektron akan ditransfer dari ligan menuju logam melalui ikatan π ini. Selain dari ikatan π yang terbentuk tadi, transfer elektron dari ligan ke logam juga terjadi melalui ikatan σ. Interaksi semacam ini lebih sering terjadi pada kompleks dari logam dengan bilangan oksidasi yang tinggi, sehingga logam tersebut ”kekurangan elektron”. Orbital π dari ligan biasanya memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan orbital t2g logam, sehingga delokalisasi elektron π dari

ligan melalui cara ini akan memperkecil harga ∆0. Ligan yang


(6)

LATIHAN

1. Berdasarkan Teori Ikatan Valensi, jelaskan bentuk geometris dari ion kompleks [HgI3]-!

2. Berdasarkan Teori Ikatan Valensi, ramalkan jumlah elektron tidak berpasangan dalam kompleks [NiCl4]2-; [Ni(CN)4]2-; dan [Cu(NH3)4]2+!

3. Jelaskan dengan menggunakan Teori Ikatan Valensi, mengapa kompleks [NiCl4]2- dan [Ni(CO)4] sama-sama memiliki bentuk geometris tetrahedral,

tetapi momen magnetiknya berbeda!

4. Untuk masing-masing kompleks [Fe(CN)6]4- dan [Fe(CN)]3-, dengan

menggunakan Teori Ikatan Valensi, jelaskan : a. hibridisasi yang terjadi!

b. Apakah kompleks yang terbentuk kompleks orbital dalam atau kompleks orbital luar!?

c. Ramalkan sifat kemagnetan kompleks-kompleks tersebut! d. Hitung momen magnetik dari setiap kompleks tersebut!

5. Jika diketahui momen magnetik dari [Fe(H2O)5(NO)]2+ adalah sebesar 3,89

BM, tentukan tingkat oksidasi dan jenis hibridisasi yang terjadi!

6. Ion Fe3+ dalam larutan berair tidak berwarna, akan tetapi penambahan ion

NCS- ke dalam larutan akan mengubah warna larutan menjadi merah.

Jelaskan mengapa!

7. Hitunglah jumlah elektron tidak berpasangan dan harga CFSE dari kompleks :

a. [Fe(H2O)6]3+ b. [Cr(NH3)6]3+ c. [CoCl4]

2-8. Berikan alasan mengapa semua kompleks oktahedral dari ion Co3+

merupakan kompleks spin rendah yang bersifat diamagnetik!

9. Kompleks Co(II) stabil dalam geometris tetrahedral, akan tetapi Ni(II) lebih stabil dalam geometris segi empatplanar. Jelaskan!

10.Ion Co3+ membentuk kompleks oktahedral amonia yang lebih stabil

dibandingkan kompleks amonia oktahedral dari ion Co2+. Akan tetapi

kompleks Co3+ dengan ligan H

2O dalam geometris oktahedral kurang

stabil dibandingkan ion Co2+ yang membentuk kompleks dengan ligan