PANCASILA sebagai Dan PARADIGMA PEMBANGUNAN

PANCASILA
sebagai
PARADIGMA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Disusun guna memenuhi tugas Pendidikan Pancasila
Dosen Pengampu: Mohammad Idris .P, DRS, MM

STIMIK ”AMIKOM” YOGYAKARTA

Di susun oleh :
Muhammad Arifin

11.12.5842

Kelompok I ”NUSA”
Jurusan Sistem Informasi

STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA
2011

KATA PENGANTAR


Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih
diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing
Bapak Mohammad Idris .P, DRS, MM dan pengarang buku yang telah memberikan referensi dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis
angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Amin...

i

DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I
1.1 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan 1
1.2 Rumusan Masalah 2

BAB II
2.1 Pendekatan Historis

Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 5
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 5
Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) 5
Intruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 6
2.2 Pendekatan Sosiologis 6
2.3 Pendekatan Yuridis 7
Pembahasan 9
BAB III
Kesimpulan 10
Saran 10
Referensi 11

ii

BAB I
1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan
/ keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan / keahlian, menurut Notonegoro ( 1973 ) merupakan
sifat dwi tunggal pendidikan nasional.

Pendidikan sebagai bagian dari Ilmu Humaniora memperlihatkan proses yang terus-menerus
mengarah pada kesempurnaan, yang semakin manusiawi. Pendidikan pada dasarnya ialah pemanusiaan , dan
ini membuat hominisasi dan humanisasi. Hominisasi proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan
manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh,
kelanjutan hominisasi. Dalam proses ini, manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi, seperti
nampak dalam kemajuan – kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan ( Driyakara, 2006 ).
Salah satu agenda pending dalam mengatasi krisis dalam kehidupan bangsa kita adalah melalui
pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan ahlak, pendidikan budi pekerti. Dalam penerapan
pendidikan karakter, pendidikan nilai atau pendidikan moral, sebagai mana di kemukakan oleh D. Purpel &
K. Ryan (Esd) dalam Colin J. Marsh ( 1996 ), hendaknya memperhitungkan baik kemampuan peserta didik
untuk berfikir tentang persoalan – persoalan moral, maupun di mana seorang peserta didik benar – benar
bertindak dalam situasi – situasi yang menyangkut benar dan salah.
Pendidik (guru) adalah vital bagi kemajan dan juga keselamatan bangsa. Guru tidak hanya
menyampaikan idea-idea, tetapi hendaknya menjadi sutu wakil dari suatu cara hidup yang kreatif, suatu
simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang di cemaskan dan di aniaya. Ia menjadi penjaga
peradaban dan pelindung kemajuan ( Frederick Mayer, 1963 ). Keteladanan pendidik adalah suatu
keniscayaan yang harus di wujudkan. Perilaku pendidik aka lebih di ikuti oleh para peserta didik dari pada
yang di katakan guru.
Pendidik (guru) yang memiliki ahlak, budi pekerti, karakter yang baik, akan sangat kondusif
dalammewujudkan keberhasilan pendidikan moral, yang muaranya akan mendukung bagi peserta didik untuk

memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik mencakup secara organis harmonis dan dinamis komponen
– komponen pengetahuan moral yang baik, perasaan moral yang baik, dan tindakan moral yang baik. Oleh
karena itu, Lickona (1991) daam I Wayan Koyan (1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter
yang baik, memerlukan pendidikan moral yang komperhensif.
Komponen – komponen karakter yang baik mencakup pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral
(moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Untuk pendidikan anak usia dini pendekatan ini perlu di
sesuaikan dengan karakteristik anak, yang dalam pendidikannya lebih mengedepankan bentuk – bentuk
bermain. Denagn bermain anak mengalami kegembiraan dalam mengekspresikan atau mengaktualisasikan
dirinya.

1

Dan pemerintah bertanggung jawab atas rakyat sebagai wakil mereka untuk mengatur berbagai hal
yang berkaitan dengan kenegaraan. Dalam pancasila sila ke empat yang berbunyi ”Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia” yang di mana di dalamnya mengandung makna: Kemakmuran yang merata bagi
seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi
kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing. Melindungi yang lemah agar kelompok warga
masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Yang mana yang di maksud bukan lain merupakan hak
yang sama yang di dapatkan warga negara indonesia yang berkaitan dengan pendidikan, baik dari kota, desa,
maupun pelosok kaya maupun miskin. Mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan

yang layak agar mereka tidak kalah dengan daerah, wilayah, bahkan negara tetangga kita.
Selanjutnya dalam makalah ini akan di bahas mengenai :
1. Moral knowing
2. Moral Feeling
3. Moral Action

2. Rumusan Masalah
a. Moral Knowing
- ”Moral awareness”, kesadaran moral atau hati nurani, yang terdiri dari dua aspek yaitu :
pertama, tanggung jawab moral, ialah menggunakan kecerdasan untuk melihat jika situasi meminta penilaia
atau pertimbangan moral, dan berfikir secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut ; aspek
kedua, ialah “is taking trouble to be informed”.
- ”Knowing moral values”, atau pengetahuan tentang nilai-nilai moral. Nili-nilai tersebut
antara lain : rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan,
toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikian, perasaan kasihan dan keteguhan hati. Deangan
mengetahui nilai-nilai, berarti mngerti bagaimana mengaplikasikan dalam berbagai situasi.
- “Perspectives-taking”, atau perspektif yang mengikat hati, adalah kemampuan untuk
memberi pandangan pada orang lain, melihat situasi seperti yang dia lihat, membayangkan bagaimana dia
harus berfikir, berkreasi, dan merasakan. Ini merupakan syarat memberi pertimbangan moral. Kita tidak
dapat memberi rasa hormat kepada orang lain dan berbuat sesuai kebutuhannya, jika tidak memahami

mereka. Tujuan fundamental dari pendidikan moral adalah untuk membantu peserta didik memahami
keadaan dunia dan bagaimana memandang orang lain, khususnya dalam keadaan yang berbeda dengan diri
mereka sendiri.
- ”Moral reasoning”, atau pertimbangan – pertimbangan moral, adalah pengertian tentang apa
yang di maksud dengan bermoral, dan mengapa kita harus bermoral. Alasan-alasan atau pertimbanganpertimbangan moral untuk berperilaku tertentu dalam berbagai situasi. Untuk ini di perlukan berbagai
simulasi yang relevan dengan karakteristik anak usia dini.

2

- ”Decision-making”, atau pengambilan keputusan, adalah kemampuan mengambil keputusan
dalam menghadapi masalah-masalah moral. Apabila saya ; apakah akibat yang tmbul dari keputusan yang di
ambil, dan keputusan mana yang membawa akibat baik paling banyak.
- ”Self-knowledge”, atau mengenal diri sendiri, adalah kemampuan mengenal atau memahami
diri sendiri, dan hal ini paling sulit di capai, tetapi hal ini penting untuk pengembangan moral. Untuk menjadi
bermoral, dituntut adanya kemampuan untuk dapat melihatkembali perilaku yang pernah di perbuat, dan
menilainya.

b. Moral Feeling
- “Conscience”, kata hati atau hati nurani, yang memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif (
pengetahuan tentang apa yang benar ), dan sisi emosi ( rasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu).

Banyak orang tahu tentang kebenaran tetapi sedikit yang merasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu,
- “Self-esteem”, atau harga diri. Mengukur harga diri kita sendiri berarti kita menilai diri
sendiri. Jika kita menilai diri sendiri, berarti kita merasa hormat terhadap diri kita sendiri, dan dengan
demikian kita aka mengurangi penyalahgunaan pikiran atau badan kita sendiri. Jika kita memiliki harga diri,
kita akan mengurangi ketergantungan pada persetujuan orang lain. Tugas para pendidik adalah membantu
peserta didik untuk mengembangkan secara positif harga diri atas dasar nilai – nilai, seperti tanggung jawab,
kejujuran, dan kebaikan atas dasar keyakinan kemampuan mereka untuk berbuat baik.
- ”Empathy”, atau empati, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, seolah – olah
mengalami sendiri apa yang di alami orang lain, atau merasakan apa yang oarang lain rasakan. Ini bagian dari
emosi, yaitu kemampuan memandang orang lain. Bagi pendidik moral, tugasnya adalah mengembangkan
empari yang bersifat umum.
- ”Loving the good” , atau cinta pada kebaikan, jika orang cinta akan kebaikan, maka mereka
akan berbuat baik, dan mereka akan memiliki moralitas.
- ”Self-control”, atau kontrol diri, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan
hal ini di perlukan juga untuk mengekang kesenangan diri sendiri.
- ”Humility”, atau kerendahan hati (”lembah manah” ), adalah merupakan kebaikan moral
yang kadang – kadang di lupakan atau di abaikan, padahal ini merupakan hal terpenting dari karakter yang
baik. Kerendahan hati merupakan bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri sendiri. Ini
merupakan keterbukaan dan ketertarikan terhadap kebenaran serta kemampuan bertindak untuk mengkoreksi
kelemahan atau kekurangan.


3

c. Moral Action
- ”Competence”, atau kompetrensi moral, adalah kemampuan untuk menggunakan
pertimbangan-pertimbangan moaral dan perasaan dalam perilaku moral yang efektif. Sebagai contoh untuk
mengatasi pertentangan atau konflik memerlukan ketrampilan praktis, seperti ketrampilan mendengarkan,
ketrampilan berkomunikasi dengan jelas, dan memutuskan suatu bersama suatu pemecahan masalah yang
dapat di terima secara timbale-balik.
- ”Will” atau kemauan, adalah kemauan yang sering menuntut tindakan nyata dari kemauan,
memobilisasi energ moral untuk bertindak tentang apa yang kita pikirkan, apa yang harus kita kerjakan.
Kemauan berada pada keberanian moral inti.
- ”Habit” atau kebiasaan. suatu kebiasaan untuk bertinda secara baik dan benar perlu
senantiasa di kembangkan. Peserta didik perlu di berikan kesempatan yang cukup untuk mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktekanya bagaimana menjadi orang yang baik.

BAB II
Pendekatan :
A. Historis
Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila

sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan
ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:
1) Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat
dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI);
2) Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan
Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi.
Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja.
Hal ini tampaknya belum terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini,
pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya
penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih „alamiah‟. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya
pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel.
Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang
memadai tentang proses dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu dilakukan
mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila yang otentik dan pola
hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu kebulatan yang utuh.

4

a. Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang

dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri
Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap lima
(5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara
sebagai berikut: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4)
Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita
itu, ia mengatakan: “… saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli bahasa, namanja ialah
Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26).
b. Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim
disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam
dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno
Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr.
Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu naskah
Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu: 1) Ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah
hukum dasar (konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar

negara (Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan
beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercantum
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
c. Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950)
Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara „lebih
singkat‟ menjadi: 1) Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4)
Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan
alasan praktis/ pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2)
Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan sosial. Keanekaragaman
rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang secara implisit tentu mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

5

d. Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap
konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang
membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah
mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

B. Pendekatan Sosiologis
Pancasila bukanlah dasar negara yang hanya bersifat statis, melainkan dinamis karena ia pun menjadi
pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional, kepribadian bangsa, sumber dari segala sumber tertib
hukum, tujuan negara, perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan pengamanannya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praksis kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara Indonesia, peranan atau implementasi Pancasila secara multidimensional itu dapat dijelaskan secara
singkat sebagai berikut:
Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara penyelenggaraan negara dalam
usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa Indonesia dalam
seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa dan karyanya terhadap ada dan
keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan
hidup yang memberikan arah sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa
Indonesia.
Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh dan mendalam
mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan yang tepat dan satu-satunya untuk
bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilainilai budaya bangsa yang terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum, azasi dan
fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam proses mengada dan menjadi manusia Indonesia
seutuhnya.
Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia Indonesia, namun
telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta pedoman pencapaian tujuan nasional yang diyakini
oleh seluruh bangsa Indonesia.
Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi bangsa Indonesia,
karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri sejak adanya di bumi Nusantara. Secara
integral, Pancasila adalah meterai yang khas Indonesia.





Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan tertinggi dalam tata
perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan, undang-undang, hukum positif harus
bersumber dan ditujukan demi terlaksananya (sekaligus pengamanan) Pancasila.
Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai Pancasila itu melekat erat
dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga
kini dan di masa depan. Pola pembangunan nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara
Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri, disepakati
bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang harus diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilainilai Pancasila kepada generasi penerus adalah kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya
berarti mengingkari perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat dan harkat diri kita
sebagai manusia.

C. Pendekatan Yuridis
Meskipun nama “Pancasila” tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara,
tetapi pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia
adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila.
Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji Darmodihardjo (1984) bahwa secara yuridiskonstitusional, “Pancasila adalah Dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar mengaturmenyelenggarakan pemerintahan negara. … Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka
mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/ memaksa,
artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk-taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar Pancasila
sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni hukum yang berlaku di Negara Indonesia.”
Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber
dari segala sumber hukum. Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada Pancasila,
sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah
Indonesia „tunduk‟ kepada Pancasila sebagai „kekuasaan‟ tertinggi.
Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau
penjabarannya melalui peraturan-peraturan operasional lain di bawahnya, termasuk kebijaksanaankebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh
warga negara.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh undang-undang, peraturan-peraturan operasional
dan atau hukum lain yang mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila,
sebagaimana dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): “… tetapi sejauh mungkin juga selaras dengan
Pancasila dan dijiwai olehnya …” sedemikian rupa sehingga seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap
penjabaran, pelaksanaan, penerapan Pancasila.

7

Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional secara singkat yang memberikan pengertian
bahwa Pancasila yang otentik (resmi/ sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar negara bersifat imperatif/ memaksa,
karena pelanggaran terhadapnya dapt dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya
merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila.
Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the founding fathers Republik Indonesia patut
disyukuri oleh segenap rakyat Indonesia karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup
bangsa Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut sebagai jiwa bangsa (volkgeist).
Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa bila Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedemkian rupa dengan meletakkan Pancasila secara proporsional
sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya bangsa dan pandangan hidup bangsa.
Pendidikan Pancasila memiliki landasan yuridis yang dapat di lihat rasionalnya di mulai dari tujuan
negara Indonesia yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai konsekuensinya dari tujuan negara tersebut, maka negara berkewajiban untuk menyelenggarakan
pendidikan nasional untuk warga negaranya.
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia di atur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 :
Bab I. Ketentuan Umum :
-

Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang berakar pada nilainilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Bab II. Dasar, Fungsi dan Tujuan
-

Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi pendidik agar menjadi manusia yang beriman, dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bab III. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
-

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan keadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dari uraian pasal-pasal tersebut dapat di simpulkan bahwa pendidikan bangsa indonesia bersumber
pada Pancasila, maka tujuan pendidikan nasional juga mencerminkan terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam
diri anak didik sebagai warga negara Indonesia.

8

Pembahasan
Mengapa

perlu

ada

pengembangan

karakter

yang

baik

dalam

proses

pendidikan?

1. ” Self-disciplinne atau disiplin diri perlu di tanamkan pada para mahasiswa/siswa, dosen/guru, pelatih,
pembimbing, dan semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran.
2. ”Compassion” atau rasa terharu. Rasa terharu yang di sertai rasa kasih sayang dapat di tenamkan melalui
ceritera-ceritera atau peribahasa yang bermanfaat seoptimal mungkin.
3. ”Responsibility” atau tanggung jawab. Orang yang tidak bertanggung jawab adalah suatu cirri bahwa
orang tersebut belum matang, sebaliknya ada rasa tanggung jawab, kita sesngguhnya membantu mereka
untuk menjadi matang. Anak perlu di latih mengerjakan tugas-tugas ruimah, tugas-tugas sekolah dan belajar
bekerja secara suka rela di mana perlu.
4. ”Friendship” atau persahabatan. Ceritera-ceritera yang di sampaikan pada mahasiswa/siswa mengenai
persahabatan yang baik merupakan paradigma moral bagi semua hubungan antar manusia. Kita Harus
mengajarkan kepada siswa bagaimana memilih teman (sahabat) yang baik. Tuntutan suatu persahabatan
adalah kejujuran, keterbukaan, setia, pengorbanan diri, yang ini semua adalah sangat potensial untuk
mendorong terwujudnya kematangan moral dan kejujuran yang mantap.
5.
”Work” atau bekerja. Lngkah pertama dalam mengerjakan sesuatu adalah belajar, bagaimana cara
mengerjakan sesuatu. Dalam hal ini perlu di tanmkan bahwa semua pekerjaan adalah baik dan mulia, cara
menikmati mengerjakan seuatu, cara bekerja sama, memberi dorongan dan apresiasi terhadap usaha-usaha
mereka, bekerja denagn penuh riang gembira, disertai dengan pembeian contoh yang teliti dan cermat.
6. ”Courage” atau keberanian dan keteguhan hati. Hati ini perlu di tanamkan dalam menghadapi perasaan
takut, sifat ragu-agu, gugup, bimbang, dan sifat-sifat lain yang sering mengganggu. Anak perlu di dorong dan
di bangkitkan motivasiny untuk berlatih dengan menggunakan kecerdasan.
7. ”Persevarance” atau ketekunan. Bagaimana caranya mendorong para mahasiswa/siswa supaya tekun dan
tetap melaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya. Mereka perlu di
bimbing dan di arahkan serta di beri contoh-contoh yang positif, denagan mengedepankan prinsip “Tut Wuri
Handayani”.
8. ”Honesty” atau kejujuran. Peserta didik perlu di didik menjadi pribadi yang jujur, berbuat secara nyata,
secara murni, dan dapat di percaya. Kejujuran di wujudkan tau di ekspresikan dalam bentuk rasa hormat
kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Hal ini perlu di latih dan di pelajari, yang hakikatnya sepanjang
hidup, supaya menjadi orang yang memiliki integritas dan kemauan yang mulia. Kejujuran adalah hal yang
sangat penting bagi pemeliharaan hubungan-hubungan kemanusiaan, bagi persahabatan sejati di dalam
masyarakat. Hal ini harus di miliki dan di aplikasikan secara serius supaya menjadi seseorang yang baik dan
bijansana.
9.
“Loyality” atau loyalitas. Loyalitas atau kesetiaan yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan,
persahabatan, afilisiasi keagamaan, kehidupan profesional dan lain-lain, yang kesemuanya itu dapat berubah
dan di kembangkan ke arah yang baik dan mulia.
9

10.
“Faith” atau keyakinan. Keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan
dimensi yang sangat penting, yang merupakan sumber moral manusia. Keyakinan juga merupakan sumber
disiplin dan kekuatan yang sangat berarti dalam kehidupan manusia, dapat membantu kesetabilan sosial dan
perkembangan moral individu dan masyarakat. Oleh karena itu hal ini perlu di miliki oleh anak-anak sedini
mungkin sesuai dengan tahap-tahap perkembangan mereka.

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas banyak kesimpulan tentang Pancasila sebagai paradigma pembangunan
pendidikan, di antaranya pancasila sebagai pembentuk kepribadian yang baik. Kesadaran/ moral yang
tercermin dalam pancasila sangat lah universal dan dapat di terima semua golongan, karena Pancasila sangat
lah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Selain itu Pancasila merupakan cikal bakal pengembangan moral
yang sangat baik karena Pancasila memiliki asas-asas keadilan yang sesuai dengan hati nurani bangsa
Indonesia sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi gotong
royong. Pendidikan yang selaras dengan Pancasila dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air yang di perlukan
negeri ini, akan terciptanya hati nurani yang bersih yang akan membangun negeri ini denga kejujuran
sehingga dapat meminimalisir kasus yang terjadi di negeri ini. Dan dari hal tersebut maka semua masyarakat
akan mendapatkan tunjangan kesejahteraan pendidikan demi memperbaiki stabilitas ekonomi orang tersebut
dan negara. Pembentukan pribadi yang kontrol diri untuk mencapai kebersihan jasmani rohani yang
bertumpu pada sila ke lima ”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sehingga tercipta keadilan
merata untuk seluruh rakyat Indonesia dalam dunia Pendidikan.
SARAN
Sebagai warga indonesia yang baik, orang tua adalah jembatan utama untuk memberikan pendidikan
pancasila yang benar ke pada anak-anak mereka, sehingga sejak kecil sudah tertanam kebaikan pancasila
untuk memajukan bangsa Indonesia. Sehingga sebuah kebiasaan dari kecil untuk mengilhami Pancasila yang
benar adalah sebuah keputusan yang baik untuk kemajuan pendidikan. Selain itu, perangkat desa juga harus
bertanggung jawab atas warganya tentang masalah pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Karena
sebaiknya perangkat desa mampu memberikan pengarahan dan pembekalan tentang Pendidikan dan
Pancasila kepada warganya, sehingga kepala keluarga ataupun salah satu keluarga dapat menularkan sebuah
kebaikan demi kemajuan Pendidikan di daerahnya masing-masing dan di Indonesia.

10

Referensi
- Nana Sudjana dan Ibrahim, 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.
- L. Andriani Purwastuti ...(et al:), ---Ed. 1, Cet. A,--- Yogyakarta : UNY Pres/2008

11