MEMBANGUN DESA Perspektif Desa Atas Pemb

MEMBANGUN DESA
Perspektif Desa Atas Pembangunan Kawasan Perdesaan
Sutoro Eko

Sebelum UU Desa lahir, pemerintah memiliki dua konsep (pembangunan desa dan pembangunan
perdesaan) yang tidak dikonseptualisasikan dan dikonsolidasikan secara baik. Pembangunan desa
merupakan urusan internal desa, yang diselenggarakan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa,
yang ditopang dengan biaya APBDesa, swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah. Namun
pembangunan desa, yang pada umumnya bias pada pembangunan fisik, tidak dilandasi dengan
kewenangan desa yang jelas dan kemampuan fiskal yang memadai. Pada saat yang sama banyak
Kementerian/Lembaga mempunyai program-program pembangunan di desa (masuk ke desa),
yang hanya menempatkan desa sebagai lokasi dan obyek penerima manfaat. Akibatnya desa
sebagai kesatuan masyarakat tidak pernah tumbuh menjadi entitas dan institusi yang kuat dan
mandiri dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan.
Karena bersifat mikro-lokal, pembangunan desa tidak dilembagakan ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang maupun Menengah Nasional. RPJMN 2004-2009 dan 2009-2014
tidak mengenal pembangunan desa, melainkan pembangunan perdesaan. Secara teoretis
pembangunan perdesaan (rural development) memadukan pendekatan ruang (spasial), sektoral
dan institusi (desa). Pembangunan perdesaan juga memasukkan dimensi pembangunan desa, tetapi
tidak menyentuh dimensi posisi dan hakekat penguatan desa, sebab pembangunan perdesaan lebih
banyak berbicara tentang aspek-aspek sektoral (pendidikan, kesehatan, pertanian, energi, dan

sebagainya) dalam ruang desa dan masyarakat desa.
Karena itu UU Desa tidak memakai lagi konsep pembangunan perdesaan, melainkan
mengedepankan pembangunan desa (dalam desa atau skala lokal desa) dan pembangunan kawasan
perdesaan (antardesa). Konsep kawasan perdesaan diambil dari UU No. 26/2007 tentang Tata
Ruang, yang menegaskan bahwa kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi. UU Desa juga menegaskan bahwa pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan
dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat desa di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan
partisipatif.
Pada dasarnya kawasan perdesaan merupakan sebuah ruang (spatial) atau area yang mempunyai
fungsi pelayanan, pemukiman, pembangunan dan pemberdayaan. Pengertian dan praktik
pembangunan kawasan perdesaan seperti ini tentu bukan hal baru, karena sudah lama dijalankan
oleh pemerintah. Tetapi UU Desa menambahkan aspek pemberdayaan masyarakat dan yang lebih
penting adalah pendekatan pembangunan partisipatif. Dengan lebih bersemangat, UU Desa

1

menyebut pembangunan desa sebagai “desa membangun” dan pembangunan kawasan perdesaan

sebagai “membangun desa”.
Apa visi, misi dan platform pembangunan kawasan perdesaan? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan
spirit “membangun desa” dan pendekatan “pembangunan partisipatif” yang terdapat dalam
pengertian pembangunan kawasan perdesaan. “Membangun desa” adalah menghadirkan negara ke
ranah desa, bukan dalam pengertian negara melakukan campur tangan secara berlebihan ke dalam
desa seperti yang sudah terjadi di masa lalu, bukan pula negara melaksanakan pembangunan
kawasan perdesaan dari atas (top down) tanpa memperhatikan partisipasi desa dan masyarakat
desa.
Dalam konsep “membangun desa” terdapat perspektif pembangunan dan perspektif desa. Melihat
“membangun desa” dengan perspektif pembangunan melahirkan misi dan platform pemerataan
pembangunan yang menyentuh ranah perdesaan, desa dan masyarakat. Sedangkan melihat
“membangun desa” dengan perspektif desa berarti memperkuat desa dalam memanfaatkan,
mengakses dan memiliki ruang dan sumberdaya kawasan perdesaan. Dalam dua perspektif itu
terdapat misi dan platform pembangunan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat.
Perspektif “membangun desa” tersebut juga bermakna sebagai pengarustamaan desa (village
mainstreaming) dalam pembangunan kawasan perdesaan. Misalnya ada pertanyaan: apa yang
membedakan otoritas-peran Kementerian Desa dengan Kementerian lain (misalnya Pertanian,
UKM dan Koperasi, Perdagangan, Perindustrian, Pariwisata) dalam ekononomi lokal dan
pembangunan kawasan perdesaan? Berbagai Kementerian sektoral itu selain berkiprah dalam
ekonomi sektoral juga melakukan pemberdayaan masyarakat. Lantas, apa perbedaan

pemberdayaan masyarakat antara Kementerian Desa dengan Kementerian lain? Jawaban atas
pertanyaan ini adalah “pengarustamaan desa” yang menjadi cirikhas pembeda Kemendesa dengan
kementerian lain. Pengarustamaan desa berkayakinan, meskipun ujung dari pembangunan
kawasan perdesaan adalah ekonomi, tetapi aktor dan institusi juga penting untuk diperhatikan agar
kue pembangunan tidak secara timpang hanya dinikmati oleh investor besar tetapi desa hanya
terkena dampak buruh dan hanya menjadi penonton. Oleh karena itu pembangunan kawasan
perdesaan tidak hanya berbicara tentang lokasi, ruang, lokus, perencanaan, produk dan komoditas
unggulan, tetapi juga berbicara tentang eksistensi dan partisipasi desa, pembangunan partisipatif
dan pemberdayaan masyarakat.

1.. Memeratakan Pembangunan
Pembangunan kawasan perdesaan bukan hanya berbentuk kegiatan tetapi juga sebagai pendekatan
untuk mengimbangi pembangunan perkotaan. Mengapa demikian? Selama ini ada ketimpangan
antara perkotaan dan perdesaan, karena pembangunan yang bias perkotaan (urban bias). Kota
merupakan pusat pemerintahan, pelayanan publik, industri, jasa, perdagangan, keuangan dan pusat
pertumbuhan. Sebaliknya desa merupakan ranah pertanian dan perkampungan yang selalu identik
dengan keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan. Desa menghadapi kekurangan input dan
output pertumbuhan sehingga merupakan sumber dan hulu kemiskinan. Desa menghadapi
keterbatasan dalam hal infrastruktur, transportasi, komunikasi, dan lain sebagainya yang membuat
desa terisolasi dari kemajuan dan pertumbuhan. Karena ketimpangan itu kota menjadi “daya tarik”

2

dan desa menjadi “daya dorong” urbanisasi orang desa ke kota. Secara demografis, urbanisasi terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yang membuat pengurangan penduduk desa dan
penambahan penduduk kota. Pada tahun 1995, penduduk desa masih sebesar 64%, kemudian turun
menjadi 58% pada tahun 2000, 52% pada tahun 2005 dan menurun lagi menjadi 46% pada tahun
2010. Sebaliknya penduduk kota mengalami peningkatan dari 36% pada tahun 1995 menjadi 54%
pada tahun 2010. Saat ini ada prediksi bahwa penduduk kota akan mencapai 68% pada tahun 2025.
Fakta ketimpangan pembangunan dan urbanisasi itu selalu menjadi pembicaraan publik, kajian
akademik dan perhatian pemerintah. Kini pemerintahan Jokowi-JK menaruh perhatian terhadap
isu ketimpangan pembangunan dan urbanisasi, yang mengedepankan resolusi membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa dan daerah. Pembangunan desa (desa
membangun) melalui dana desa dan pembangunan kawasan perdesaan (membangun desa)
Pembangunan kawasan perdesaan dalam konteks ini berarti menghadirkan negara ke ranah
perdesaan, melakukan pemerataan pembangunan, untuk mengurangi ketimpangan dan urbanisasi.
Pusat-pusat pertumbuhan (agroindustri, agrobisnis, agropolitian, agrowisata, industrialisasi,
minapolitan, dan sebagainya) yang berskala menangah dan besar merupakan bentuk nyata
pemerataan pembangunan. Arena ini akan mendatangkan dua keuntungan langsung bagi
masyarakat desa, yaitu lapangan pekerjaan dan kesempatan bisnis bagi pelaku (wirausaha)
ekonomi loka (setempat) yang berasal dari desa.


2.. Memperkuat Desa
Memperkuat desa merupakan jantung membangun desa. Dalam formasi pembangunan partisipatif,
pembangunan kawasan perdesaan bukan hanya menempatkan desa sebagai lokasi dan obyek
penerima manfaat, tetapi juga memperkuat posisi desa sebagai subyek yang terlibat mengakses
dalam arena dan kegiatan pembangunan kawasan perdesaan.
Ada dua ranah yang menjadi arena partisipasi desa dalam pembangunan kawasan perdesaan.
Pertama, sumberdaya milik bersama (common pool resources) yang secara alamiah (by nature)
merupakan kawasan perdesaan dan dalam kehidupan sehari-hari menjadi sumber kehidupanpenghidupan masyarakat setempat. Sumberdaya kategori ini antara lain meliputi sungai, mata air,
mineral nonlogam atuan (galian tambang C), pesisir dan lain-lain. Kedua, kawasan yang sengaja
disiapkan (by design) oleh pemerintah sebagai arena investasi pembangunan kawasan perdesaan
baik oleh pemerintah maupun pihak swasta seperti agropolitan, minapolitan, agroindustri,
pertambangan dan sebagainya.
UU Desa mengharuskan ruang partisipasi desa (pemerintah desa dan masyarakat) dalam dua ranah
kawasan perdesaan itu. Dilihat dari perspektif desa, ada tiga platform penting memperkuat desa
dalam pembangunan kawasan perdesaan. Pertama, kerjasama (kolaborasi) desa. Perspektif dan
formasi “desa membangun” sangat penting tetapi tidak cukup. Pola ini bisa menjebak desa
tersilosasi dengan dunianya sendiri atau seperti katak dalam tempurung. Karena itu kerjasama desa
harus dibangun, yang didasarkan pada kesamaan kepentingan dan tujuan. Kerjasama desa bisa
berbentuk kerjasama antara satu desa dengan desa lain maupun kerjasama desa dengan pihak

ketiga. Kerjasma antardesa, baik yang diwadahi dengan Badan Kerjasama Antar Desa maupun
yang non-BKAD, membentang dari kegiatan pembangunan desa hingga kegiatan bisnis untuk
3

ekonomi produktif dengan skala yang lebih besar-luas. Ada sejumlah desa bekerjasama
membangun jalan poros desa dengan dana desa, sejumlah desa menangkap air sungai untuk
keperluan irigasi dan budidaya perikanan darat, sejumlah desa membangun minapolitan secara
bersama, sejumlah desa bersama warga petani menanam sawit secara mandiri, sejumlah desa
bersama perajin membangun pasar dan distribusi, dan sebagainya. Kerjasama antardesa juga
penting untuk keperluan proteksi, negosiasi dan advokasi dalam dunia bisnis. Kolaborasi antara
organisasi (asosiasi) pelaku ekonomi desa berskala kecil-lokal dengan asosiasi desa menjadi jalan
baik untuk proteksi, negosiasi dan advokasi.
Kedua, Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) Bersama sebagai lembaga ekonomi desa yang
berbasis pada kerjasama antardesa. Kenapa BUMDesa Bersama? Bukankah sudah ada koperasi
dan UMKM? Antara BUMDesa Bersama dengan koperasi dan UMKM mempunyai watak,
konteks, relevansi dan keterbatasan yang berbeda. Koperasi merupakan institusi ekonomi yang
secara swadaya (mandiri) berbasis dan digerakkan oleh anggota untuk kepentingan privat dan
kolektif anggota itu. UMKM berupakan bisnis privat, baik oleh seorang individu, keluarga maupun
kongsi beberapa orang, yang memberikan keuntungan privat dan lapangan pekerjaan bagi orang
lain. Berbeda dengan koperasi dan UMKM, BUMDesa Bersama merupakan representasi desa

yang mempunyai otoritas langsung untuk memiliki dan mengelola sumberdaya publik (tanah desa,
dana desa, dana bergulir, hibah pemerintah, sumberdaya alam bersama) sebagai modal untuk
menjalankan bisnis. BUMDesa Bersama dapat menjadi wadah dan patron yang menyatukan
sekaligus melindungi banyak pelaku ekonomi kecil menjadi bisnis yang lebih besar, tanpa harus
mencaplok usaha bisnis yang sudah berkembang.
Ketiga, keterlibatan desa dalam bagi saham dan bagi hasil (shareholding) dalam investasi
pembangunan kawasan perdesaan. NAWACITA maupun RPJMN sudah mengamanatkan hal ini.
Selama ini investasi pembangunan kawasan perdesaan menempatkan desa sebagai pemangku
kepentingan (stakeholder) yang sebenarnya hanya menempatkan desa sebagai “teman diskusi”.
Sedangkan investor dari luar yang bertindak sebagai shareholder utama. Tetapi karena teori
stakeholding itu merugikan desa, maka sekarang berubah menjadi shareholding. Desa, maupun
orang desa, tidak hanya sebagai lokasi, buruh, dan penerima manfaat tetapi juga sebagai pemilik
atas investasi melalui bagi saham dan bagi hasil. Tanah desa maupun tanah warga tidak dibeli
habis oleh investor, melainkan disertakan sebagai modal/saham dalam investasi. Sebagai contoh,
Desa Panggungharjo Bantul membangun shareholding dengan swasta dalam bisnis SPBU. Desa
menyertakan tanah desa seluas 3000 meter untuk saham/modal yang dinilai sebesar 20% dari total
saham. Hasil ini dari investasi ini mendatangkan Pendapatan Asli Desa yang digunakan untuk
membiayai pemerintahan, pelayanan publik, sekaligus juga pembangunan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa.
Pola shareholding berbasis desa itu memang tidak memberikan keuntungan langsung kepada

rakyat. Rakyat hanya memperoleh manfaat tidak langsung karena pelayanan yang diberikan oleh
desa. Karena itu perlu juga shareholding berbasis warga yang bisa dikonsolidasikan oleh desa.
Tanah warga merupakan saham yang disertakan untuk modal bisnis yang berkongsi dengan
perusahaan. Pola serupa ini sudah lama terjadi dalam perkebunan inti-plasma. Perusahaan sebagai
inti dan petani menjadi plasma. Tetapi skema inti-plasma ini mengandung dua masalah. Pertama,
inti-plasma bukan model bisnis shareholding yang sempurna, sebab perusahaan inti memperoleh
konsesi dari pemerintah untuk menanam kebun di tanah negara, tanah adat dan tanah desa. Orang
4

desa bukan sebagai shareholder yang menyertakan tanahnya secara mandiri dan kuat. Pemerintah
mengatur perusahaan inti itu untuk berbagai sebagian lahan kebun kepada petani plasma. Dengan
demikian petani plasma – yang sering mereklaim sebagai pemilik atas tanah adat – hanya
memperoleh residu dari bisnis itu. Kedua, dalam praktik pembagian lahan-hasil dan proses bisnis
tidak adil, yang merugikan para petani plasma. Ketiga, konsesi perkebunan itu telah menciptakan
aneksasi wilayah yurisdiksi desa menjadi yurisdiksi perkebunan.
3.. Memberdayakan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dari bawah (bottom up) merupakan komponen penting pendekatan
pembangunan partisipatif dalam pembangunan kawasan perdesaan. Dalam konteks ini ada
pertanyaan penting: siapa yang disebut masyarakat, bagaimana memberdayakan masyarakat, dan
apa keterkaitan antara memberdayakan masyarakat dengan memperkuat desa?

Pemberdayaan masyarakat sebenarnya merupakan sebuah teori canggih, tetapi dalam praktik
hanya berbentuk pengembangan kapasitas dan pembentukan kelompok masyarakat (terdiri dari
sejumlah orang) sebagai kanalisasi program pemerintah. Pembentukan kelompok ini merupakan
pendekatan usang sejak 1990-an, yang hanya mampu membuahkan institusi prematur penerima
manfaat proyek pemerintah. Setelah proyek berakhir kelompok masyarakat juga berakhir.
Dalam pemberdayaan masyarakat yang lebih progresif, pembentukan kelompok oleh pengelola
program harus diakhiri. Ada agenda penting pemberdayaan masyarakat desa dalam pembangunan
kawasan pedesaan.
1. Pengorganisasian pelaku ekonomi desa (petani, nelayan, peternak, perajin dan lain-lain)
yang memiliki kesamaan kepentingan dan tujuan. Organisasi ini menjadi tempat untuk
pembelajaran, konsolidasi kepentingan dan tujuan, institusi bisnis, kerjasama ekonomi dan
yang lainnya.
2. Pengorganisasian kolaborasi antardesa yang memiliki potensi, kepentingan dan tujuan
yang sama, termasuk untuk membentuk BUMDesa Bersama.
3. Pengorganisasian kolaborasi antara desa, BUMDesa Bersama, dengan asosiasi pelaku
ekonomi desa.
4. Pengembangan kapasitas terhadap asosiasi/organisasi kolobarasi yang telah diorganisir.
Tentu pengembangan kapasitas tidak hanya berhenti pada pelatihan, misalnya pelatihan
tentang kapasitas wirasaha desa. Agenda ini mencakup tiga level: (a) sistem (visi,
kebijakan, aturan main yang dimiliki organisasi); (b) institusi (manajemen organisasi,

SDM, keuangan, bisnis yang dimiliki organisasi); (c) individu (komitmen, kemauan,
kemampuan, motivasi orang per orang dalam organisasi).

Pendekatan pengarusutamaan desa juga penting untuk diterapkan dalam pemberdayaan
masyarakat. Artinya pemberdayaan masyarakat tidak hanya secara sektoral dalam bentuk pelatihan
para pekerja maupun pelatihan wirausaha seperti yang dilakukan kementerian terkait, tetapi juga
menghadirkan institusi desa ke dalam ranah pemberdayaan masyarakat, atau merajut kolaborasi
antara desa dengan asosiasi pelaku ekonomi desa maupun kerjasama antara BUMDesa dengan
institusi ekonomi lainnya.
5

6