FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

(1)

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI

( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember) FACTORS THAT CAUSE PARENTS TO MARRY OF GIRLS IN EARLY

CHILDHOOD

(Study Deskriptif on Tempurejo Village, Tempurejo Subdistrict, Jember Regency)

SKRIPSI

Oleh:

Retno Sulistyowati 080910301044

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JEMBER 2014


(2)

i

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI

( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember) FACTORS THAT CAUSE PARENTS TO MARRY OF GIRLS IN EARLY

CHILDHOOD

(Study Deskriptif on Tempurejo Village, Tempurejo Subdistrict, Jember Regency)

SKRIPSI

Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial (S1)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember dan mencapai gelar Sarjana Sosial

Oleh:

Retno Sulistyowati NIM 080910301044

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JEMBER 2014


(3)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini banyak memberikan inspirasi-inspirasi dan banyak pula yang medukung didalamnya, dipersembahkan kepada :

Kedua orang tua tercinta, Bapak Juhri dan Ibu Nanik takkan pernah bisa

membalas budi mereka selama ini, terimakasih atas segala do’a dan

dukungannya.

Saudara Kandungku, Kakak-kakakku Agus Sofyan, Fitriatur Rohma dan adikku Moch. Arif Kurniawan, serta kakak iparku Puri dan keponakanku Natasya dan Agri yang selalu memberi semangat dalam hidupku.

Almamater Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember yang telah memberikan ilmu dan wawasan yang sangat luas. Semoga almamaterku semakin berjaya dari masa ke masa.


(4)

iii MOTTO

Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, Dia (Allah) menciptakan buatmu dari jenismu sendiri pasang-pasangan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah (tentram), dan menjadikan di antara kamu jalinan cinta kasih. Sesungguhnya dalam

hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah untuk kaum yang berfikir. (Ar- Rum 21)

Hai para pemuda, barang siapa di antara kamu ada yang sudah memilki kemampuan untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu lebih memelihara mata (dari pandangan yang tidak halal ) dan lebih memelihara kebutuhan seks. dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsu

terhadap wanita akan terkendali ( H.R. Bukhori muslim)

*)


(5)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Retno Sulistyowati NIM : 080910301044

Jurusan : Ilmu Kesejahteraan Sosial

Judul Skripsi : “Faktor-faktor Penyebab Orang Tua menikahkan Anak Perempuannya Pada Usia Dini (Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)”.

Menyatakan bahwa Skipsi yang telah saya baut merupakan hasil karya sendiri, Apabila ternyata dikemudian hari skipsi ini merupakan hasil penjiplakan maka saya bersedia mempertanggung jawabkan dan sekaligus menerima sanksi berdasarkan aturan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, April 2014 Yang menyatakan

Retno Sulistyowati NIM 080910301044


(6)

v SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI

( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

FACTORS THAT CAUSE PARENTS TO MARRY OF GIRLS IN EARLY CHILDHOOD

(Study Deskriptif on Tempurejo Village, Tempurejo Subdistrict, Jember Regency)

Oleh

Retno Sulistyowati NIM 080910301044

Dosen Pembimbing

Kris Hendrijanto, S.Sos, M.Si NIP. 19700103 199802 1 001


(7)

PENGESAHAN

Skripsi berjudul Faktor- Faktor Penyebab Orang Tua Menikahkan Anak Perempuannya Pada Usia dini ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember) telah diuji dan disahkan oleh Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Jember pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 03 April 2014 Pukul : 09.00

Tempat : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember

Tim penguji

Ketua,

Drs.Djoko Wahyudi, M.Si NIP. 19560901 198503 1 004

Sekretaris,

Kris Hendrijanto, S.Sos, M.Si NIP. 19700103 199802 1 001

Anggota I,

Kusuma Wulandari, S.Sos, M.Si NIP. 19770605 200312 2 002

Anggota II,

Drs. Sama’i, M.Si_________ NIP. 19571124 198702 1 001

Mengesahkan

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Jember

Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA NIP 19520727 198103 1 003


(8)

vii RINGKASAN

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember) . Retno Sulistyowati: 080910301044, 2014, 97 halaman. Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.

Pernikahan usia dini merupakan fenomena sosial yang seringkali terjadi di masyarakat, Pernikahan dini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada dasarnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis, psikologi maupun sosial, ekonomi. Sebab seseorang dikatakan mulai dewasa dimulai pada umur 21 tahun dimana dari segi kematangan fisiologis, psikologi, sosial, khususnya sosial ekonomi bisa dikatakan cukup matang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan dan menganalisis tentang faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penyebab orang tua menikahkan anak perempuannya diusia dini. Obyek yang diteliti adalah orang tua yang menikahkan anak perempuan pada usia dini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan Jenis penelitian deskriptif. Arah penelitian ini mengenai faktok-faktor penyebab orang tua menikahkan anak perempuan pada usia dini dimana faktor-faktor ini di pengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Tekhnik pengambilan sampel menggunakan metode Snowball dengan jumlah Informan 9 orang yang terdiri dari Informan pokok sebanyak 5 orang dan informan tambahan sebanyak 4 orang. Metode analisa yang digunakan berdasarkan triangulasi sumber. Hasil analisis data menujukkan bahwa pernikahan dini yang terjadi di daerah perdesaan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor Internal dan faktor Eksternal dimana Faktor Internal terdiri dari faktor ekonomi orang tua, pendidikan orang tua dan agama, sedangkan faktor Eksternal terdiri dari faktor budaya dan faktor Sosial yang menyangkut tentang kebiasaan yang ada lingkungan masyarakat sekitar seperti adanya perjodohan dan adanya ketakutan pada diri orang tua apabila mempunyai seorang anak perempuan


(9)

yang mengijak usia remaja belum menikah takut di bilang sebagai perawan tua. Faktor internal dan faktor eksternal mempunyai peran yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat diperdesaan sehingga membentuk suatu pola pikir orang tua untuk menikahkan anak perempuannya pada diusia dini, kedua faktor ini mempunyai keterkaitan antara faktor satu dengan faktor yang lain.


(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor Penyebab Orang Tua menikahkan Anak Perempuan Pada Usia Dini ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)” skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jember.

Melalui penyusunan skripsi ini, penulis berharap dapat memperoleh wawasan pengetahuan, dan hal-hal yang baru untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan penelitian. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan-bantuan dari berbagai pihak proses penelitian dan penyususnan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik, pada kesempatan kali ini penulis akan meyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.

2. Bapak Drs. Partono, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

3. Bapak Kris Hendrijanto, S.SoS, Msi selaku dosen pembimbing skripsi

4. Bapak Drs. Iervan Hendaryanto, M.si, selaku dosen pembimbing akademik bagi penulis

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial yang telah mendidik penulis selama perkuliahan;

6. Seluruh Staf Akademik dan Kemahasiswaan, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya terutama kepada bapak Ali selaku pegawai bagian pelayanan mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, yang telah sabar dan membantu banyak kepada penulis dalam kelengkapan prosedur akademik dan administrasi penulis.


(11)

7. Semua keluarga yang telah memberikan do’a dan dorongan semangat dalam menyelesaikan Skripsi ini. Ayah tersayang (Moch. Juhri), ibu terkasih (Nanik Suciati), adikku tersayang (Moch. Arif Kurniawan), dan kakak-kakakku (Fitriatur Rohmah, Agus Sofyan) terima kasih atas doa, motivasi, dan pembelajarannya yang kalian berikan terhadap penulis selama ini.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini terutama kepada KUA Tempurejo, dan masyarakat Desa Tempurejo yang telah membantu memberikan informasi.

9. Teman-teman ku NYO-NYO (Aybol, Cibol, Debol, Sabol, Rabol ) dan semua teman-teman satu Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial 2008, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk persahabatan, kasih sayang dan kekeluargaan kita selama ini. Kalian tidak akan pernah terlupakan.

10.Teman-teman Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial angkatan 2007, 2009 dan 2010.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT selalu memberikan Hidayah dan Rahmat kepada semua pihak yang telah membantu dengan ikhlas sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis sadar akan keterbatasan dan kurang sempurnanya penulisan Skripsi ini, oleh karena itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun akan sangat penulis harapan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan tambahan pengetahuan bagi yang membacanya.

Jember, April 2014


(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN PEMBIMBINGAN .... ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

RINGKASAN ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

Landasan Teori ... 11

2.1 Konsep pernikahan ... 12

2.1.1 Pernikahan Menurut Undang-Undang Perkawinan ... 12

2.1.2 Perkawinan Dipandang Secara Agama ... 13

2.1.3 Pernikahan Dini ... 15


(13)

2.2 Faktor-Faktor Terjadinya Pernikahan Diusia Dini ... 21

2.2.1 Faktor Internal ... 22

2.2.1.1 Faktor Ekonomi ... 22

2.2.1.2 Faktor Pendidikan ... 23

2.2.1.3 Faktor Agama ... 25

2.2.2 Faktor Eksternal ... 26

2.2.2.1 Faktor budaya ... 26

2.2.2.2 Faktor Sosial ... 28

2.3. Konsep Motivasi ... 30

2.3.1 Peran Orang Tua ... 31

2.3.1.1 Peran Ayah... 31

2.3.1.2 Peran Ibu ... 32

2.4. Konsep Remaja ... 33

2.5. Konsep Kesejahteraan Sosial... 36

2.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Metode penelitian... 39

3.2 Jenis Penelitian... 40

3.3 Penentuan Lokasi Penelitian ... 41

3.4 Penentuan Informan ... 42

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 43

3.5.1 Observasi ... 44


(14)

xiii

3.5.3 Dokumentasi ... 49

3.6 Metode Analisis Data ... 50

3.7 Teknik Keabsahan Data ... 54

3.8 Road Map/ Alur Pikir Penelitin ... 52

BAB 4. PEMBAHASAN ... 56

4.1 Gambaran umum Lokasi Penelitian ... 56

4.1.1 Kondisi geografis Jember ... 56

4.1.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Tempurejo ... 58

4.1.3 Kondisi Sosial Ekonomi ... 59

4.2 Deskripsi Informa ... 62

4.2.1 Umur Informan ... 63

4.2.2 Pendidikan Terakhir Informan ... 65

4.2.3 Jumlah anak Informan...67

4.2.4 Pekerjaan Informan...68

4.2.5 Faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini ... 70

4.3 Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Dini ... 71

4.3.1 Faktor Internal ... 71

4.3.1.1 Faktor Ekonomi ... 71

4.3.1.2 Faktor Pendidikan ... 75

4.3.1.3 Faktor Agama ... 79


(15)

4.3.2.1 Faktor Budaya ... 82 4.3.2.2 Faktor Sosial ... 87

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 91

5.2 Saran ... 93


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 3.1 Alur Analisis Data ... 51 3.2 Alur Pikir Penelitian ... 54


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

4.1 Luas Wilayah Desa Tempurejo... 59

4.2 Dusun-dusun di Desa Tempurejo ... 59

4.3 Mata Pencarian Penduduk Desa Tempurejo... 60

4.4 Usia penduduk Desa Tempurejo... 61

4.5 Tingkat Pendidikan masyarakat Desa Tempurejo... 62

4.6 Umur Informan Pokok... 64

4.7 Umur Informan tambahan ... 65

4.8 Tingkat Pendidikan Informan Pokok ... 65

4.9 Tingkat Pendidikan Informan Tambahan ... 66

4.10 Jumlah Anak Informan ... 67

4.11 Jumlah anak Informan Tambahan... 68

4.12 Pekerjaan Informan ... 69

4.13 Pekerjaan Informan Tambahan ... 69


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Taksonomi Penelitian Lampiran B. Guide Interview Lampiran C. Transkip Wawancara Lampiran D. Foto dokumentasi

Lampiran E. Surat Pengantar Pengambilan Data Lampiran F. Surat Tugas

Lampiran G. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas Lampiran H. Surat Penelitian dari lembaga Penelitian

Lampiran I. Surat Rekomendasi dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Lampiran J. Surat Ijin Penelitian dari Camat Tempurejo

Lampiran K. Surat Ijin Penelitian dari Kepala desa Tempurejo

Lampiran L. Data dari KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan Tempurejo Lampiran M. Form Pelaksanaan Seminar


(19)

BAB 1 . PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak akan terlepas dari berbagai macam peristiwa yang terus menerus dialami seperti kelahiran, perkawinan maupun kematian. Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya yang belum dewasa. Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya, oleh karena itu dalam suatu perkawinan tidak akan lepas dari tujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang kekal abadi. Dalam Hukum Islam mengatakan perkawinan supaya manusia itu butuh hidup berpasangan suami isteri guna membangun rumah tangga yang tenteram, damai dan bahagia, maka haruslah diadakan ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaan perkawinan tersebut, diperlukan norma hukum yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan. Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam


(20)

perkawinan itu. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah. Azas-azas atau prisip-prisip yang terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan maksud yang jelas tentang perkawinan itu sendiri tetapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, azas-azas atau prisip-prisip perkawinan dalam pelaksanaan kaidah hukum perkawinan masih belum bisa terlaksana dengan baik bahkan seringkali terjadi benturan dalam pelaksanaannya, contoh masih ada perkawianan anak dibawah umur.

Pernikahan usia dini merupakan fenomena sosial yang seringkali terjadi di masyarakat, hal ini tidak terlepas dari peran serta orang tua sebagai perlindung dan pendidik bagi anak. Orang tua harus bisa menjaga pergaulan dan mengikuti serta memantau perkembangan anaknya. Sebagaimana diketahui bahwa dengan semakin pesatnya teknologi dan informasi akan berdampak positif sekaligus negatif bagi masyarakat terutama remaja. Perkawinan anak di bawah umur yang masih banyak terjadi pada masyarakat perdesaan di Indonesia merupakan suatu fenomena yang menjadi rahasia umum dan menjadi suatu kebiasaan pada masyarakat itu sendiri. Kemiskina, sosial ekomoni yang lemah, pekerjaan yang sulit di dapat, sarana pendidikan yang tebatas, serta pola pikir dari masyarakat itu sendiri telah menyuburkan perkawinan anak di bawah umur, Padahal secara implisit UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada pasal 6 ayat (2) menyebut seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun masih dalam kategori anak. Sementara perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang terjadi pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun (pasal 7 ayat 1). Anehnya UU tersebut mengesahkan apabila mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (pasal 7 ayat 2). Hal ini terjadi tidak tepas dari sikap para orang tua yang mengginkan anaknya untuk segera menikah. Mereka tidak perduli bahwa anak-anak mereka masih membutuhkan kebebasan, kesempatan belajar maupun bermain diusianya. Para Orang tua beranggapan dengan


(21)

terjadinya dan terlaksanaanya suatu perkawinan walaupun yang dinikahkan usianya masih belasan tahun maka beban tangung jawab sebagai orang tua terhadap anak berkurang sudah padahal anggapan tersebut tidaklah benar demikian, karena masih akan ada beban yang lainya jika nantinya terjadi suatu persoalan pada perkawianan tersebut.

Anak adalah seseorang yang terbentuk sejak masa konsepsi sampai akhir masa remaja. Definisi umur anak dalam Undang-undang (UU) Pemilu No.10 tahun 2008 (pasal 19, ayat1) hingga berusia 17 tahun. Sedangkan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 menjelaskan batas usia minimal menikah bagi perempuan 16 tahun dan lelaki 19 tahun. Definisi anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk dalam anak yang masih berada dalam kandungan. Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. Masalah anak serta hal yang berkaitan dengan perlindungan anak maupun kesejahteraan anak itu sendiri di Indonesia telah diundangkan pada tanggal 22 Oktober Tahun 2002, melalui Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pelindungan anak menurut pengertian yang terdapat dalam pasal 1 angka (2) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlidungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melidungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dengan adanya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlidungan anak, pemeritah mempunyai harapan bahwa kehidupan anak khususnya anak-anak Indonesia dapat terjamin sesuai dengan yang diamatkan dan perkawianan anak-anak di bawah umur dapat dicegah lebih lanjut.

Menurut Badan Pemberdayaan Perempuan Jawa Timur pada tahun 2010, Kabupaten Jember mencapai 56 persen dari angka pernikahan pertama penduduk perempuan kurang dari 20 tahun sudah melangsungkan pernikahan. Sedangkan


(22)

menurut Laporan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Juni 2011 saja untuk usia kawin pertama penduduk wanita kurang dari usia 20 tahun di seluruh Jawa Timur mencapai 6.847 orang atau 19,88 persen dari seluruh perkawinan pertama penduduk wanita di semua usia sebesar 34.443 orang. Seperti di Kabupaten Jember saja hampir 56 persen penduduk perempuan dibawah umur 17 tahun telah melakukan perkawinan yang pertama (http; // www.WydII.Org/ Index. Php/ Pulication/ WydII-on-id Diakses 21 Juli 2013). Umur mempunyai peranan yang penting dalam perkawinan, namun sampai sejauh mana kaitanya umur dalam keluarga yang terbentuk sebagai akibat dari perkawinan itulah yang perlu dibahas, umur dalam hubungannya dengan perkawinan tidaklah cukup dikaitkan dengan segi fisiologis semata-mata, tetapi juga perlu dikaitkan dengan segi psikologis dan segi sosial, karena dalam perkawinan hal-hal tersebut tidak dapat ditinggalkan, tetapi selalu ikut berperan. Dalam Undang-Undang Perkawianan dengan tegas dinyatakan bahwa dalam perkawinan pria harus sudah berumur 19 tahun, sedangkan wanita sudah harus berumur 16 tahun. Karena diduga bila anak wanita berumur 16 tahun dan pria umur 19 tahun melangsungkan pernikahan maka pasangan tersebut secara umum telah dapat menghasilkan keturunan, jika tidak ada faktor penghambatnya. Dengan demikian sekali lagi dapat ditekankan bahwa batasan umur tersebut lebih menitik beratkan pada segi fisiologis. Dilihat dari segi fisiologis sebenarnya anak wanita umur 16 tahun, belumlah dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah dewasa secara psikologis. Demikian pula pada anak pria umur 19 tahun, belum dapat dikatakan bahwa mereka sudah matang secara psikologis. Pada umur 16 tahun maupun 19 tahun pada umumnya masih digolongkan pada umur remaja, seseorang dikatakan mulai dewasa dimulai pada umur 21 tahun. Dari rentang usia remaja tampak bahwa rentang usia remaja antara 21 tahun yang juga di bagi dalam masa remaja awal antara 13-17 tahun, dan remaja akhir 13-17-21 tahun (Hurlock dalam Al-Mighwar, 2006 : 61).

Perlu diketahui bahwa umur bukan merupakan suatu patokan yang mutlak, tetapi dapat menjadi sebuah ancar-ancar. Artinya, perkawinan pada umur usia dini akan sering menuai masalah yang tidak diinginkan, karena segi psikologisnya yang belum


(23)

matang. Tidak jarang pasangan yang mengalami keruntuhan dalam rumah tangganya, karena perkawinan yang terlalu dini. Perkawinan cerai biasanya terjadi pada pasangan yang secara umum, umurnya pada waktu kawin relatif masih sangat dini. Namun inipun tidak berarti bahwa kalau kawin pada umur yang telah dewasa akan tidak menghadapi permasalahan dalam keluarga, tetapi minimal dapat menghadapi permasalahan keluarga akan lebih dewasa.

Jadi dalam perkawinan yang perlu diperhatikan tidak hanya dari segi kematangan fisiologis dan psikologi, tetapi juga dari segi sosial, khususnya sosial ekonomi. kematangan sosial ekonomi pada umumnya juga berkaitan erat dengan umur individu. Makin bertambah umur seseorang, kemungkinan kematang dalam bidang sosial ekonomi juga akan makin nyata. Pada umumnya dengan bertambahnya umur seseorang makin mendorong untuk mencari nafkah sebagai penompang dalam kehidupan rumah tangga, karena itu dalam perkawinan masalah kematangan ekonomi perlu juga mendapatkan pemikiran, sekalipun dalam batas yang minimal. Anak yang masih dini misalnya pada umur 19 tahun pada umumnya belum mempunyai sumber penghasilan atau penghidupan sendiri. Kalau pada umur yang demikian dini telah melangsungkan perkawinan, maka dapat diperkirakan bahwa kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan sosial ekonomi akan segera muncul yang dapat membawa akibat yang cukup rumit dalam kehidupan keluarga. Walaupun pemerintah telah menetapkan minimal usia pasangan yang akan melangsungkan pernikahan tetapi hal tersebut tetap tidak menjadi jaminan bahwa rumah tangga yang akan mereka bina tersebut bisa berjalan baik mempertimbangkan bahwa di usia yang masih belia tersebut, kedewasaan dan kemandirian mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga masih belum dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh (Imsiyah, 2009:104 dalam Jurnal Eduksaintek, STKIP PGRI Situbondo) menjelaskan sebagai berikut:

“ bagaimana mungkin dari anak-anak muda yang masih mentah dari segi mental, fisik dan emosionalnya dapat diharapkan suatu perkawinan yang sukses. Perkawinan menuntut tanggung jawab dan kedewasaan yang sulit diemban oleh anak muda. Anak-anak muda biasanya masih memilki sifat


(24)

cepat tersinggung, mau menang sendiri dan selalu tidak puas sehingga amat sulit untuk memikul tugas rumah tangga yang memerlukan tenggang rasa, sabar dan kedewasaan”.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pernikahan usia dini pada hakikatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi sehingga akan berdampak pada aspek psikologis dan medis dengan demikian pernikahan usia dini jelas akan menciptakan keluarga yang kurang harmonis dan berakibat anak-anak yang terlahirkan dalam keluarga tersebut akan mengalami perkembangan kejiwaan yang kurang baik, sedang dalam aspek medis akan berdampak pada berbagai resiko bagi sang ibu.

Masa remaja masa yang menyenangkan bagi anak, pada masa tersebut seorang anak remaja mulai mengalami masa purbertas, pertama kali mengenal rasa suka pada lawan jenis dan merupakan masa untuk bersenang-senang. Masa remaja masa untuk bermain, sehingga remaja tersebut tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang memberatkannya. Masa remaja masa transisi atau pencarian identitas diri, dimana pada masa tersebut remaja tidak dapat disebut sebagai anak-anak karena bukan lagi menjadi anak-anak tetapi tidak dapat juga disebut sebagai orang dewasa. Masa remaja merupakan masa dimana anan-anak sedang menuju masa dewasa dan pada masa tersebut remaja sering mengalami kondisi psikis yang tidak menentu dan gampang berubahan. Hal ini membuat remaja tidak mau direpotkan dengan urusan orang dewasa, yang belum mampu untuk dipikulnya.

Kemajuan zaman yang semakin pesat telah menyentuh masyarakat desa, secara perlahan-lahan masyarakat mulai menerima suatu perubahan yang terjadi dan tidak lagi terpacu pada aturan-aturan yang ada dimasyarakat. Kemajuan pendidikan bagi anak-anak juga telah mempengaruhi orang tua sehingga orang tua tidak lagi melarang anaknya terutama perempuan untuk menikmati pendidikan dan tidak terburu-buru untuk menikahkan anaknya pada usia dini. Dengan melihat kenyataan tersebut bahwa pada zaman yang semakin maju dan berkembang, orang tua tidak lagi terburu-buru


(25)

untuk menikahkan anaknya dan anak tersebut dapat melewati tahapan-tahapan perkembangannya dengan baik, tetapi disisi lain masih ada fenomena-fenomena yang masih terjadi dimasyarakat kita terutama di daerah-daerah perdesaan yang sering masih kita jumpai terdapat Pernikahan pada usia dini yang dilakukan oleh orang tua yang menikahkan anak perempuannya di usia dini. Hal ini masih banyak terjadi di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember. Menurut data KUA Tempurejo Jember Tahun 2012, perkawinan pada usia 19 s.d. 24 tahun bagi laki-laki mencapai 365 orang dari total pernikahan yang terjadi dari delapan (8) Desa yang diantaranya Desa Tempurejo 100 orang, Desa Sidodadi 29 orang, Desa Curahnongko 42 orang, Desa Sanenrejo 35 orang, Desa Curahtakir 63 orang, Desa Wonoasri 30 orang, Desa Pondokrejo 41 orang, Desa Andongrejo 25 orang. Selanjutnya data Perkawinan yang terjadi pada wanita yang usianya masih 16 s.d 20 tahun sebanyak 413 orang dari delapan (8) Desa yang diantaranya Desa Tempurejo 109 orang, Desa Sidodadi 35 orang, Desa Curahnongko 44 orang, Desa Sanenrejo 44 orang, Desa Curahtakir 68 orang, Desa Wonoasri 34 orang, Desa Pondokrejo 51 orang, Desa Andongrejo 28 orang. Dengan demikian berarti Kabupaten Jember dalam perkawinan usia dini masih cukup tinggi dan paling banyak adalah kaum Perempuan dengan jumlah 413 orang dari jumlah pasangan yang melaksanakan perkawinan setiap tahunnya. Perkawinan usia dini tersebut sampai saat ini daerah tersebut masih menjadi tradisi yang dipertahankan dengan presentase yang cukup besar yakni laki-laki mencapai 365 orang, dan perempuan 413 orang dari jumalah yang menikah setiap tahunnya. Fenomen tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti,” Faktor -faktor apakah yang menjadi menyebabkan orang tua menikahkan anaknya perempuan

di usia remaja”. Sehingga orang tua terburu-buru untuk menikahkan anak perempuannya di usia Dini.

Kesejahteraan Sosial merupakan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Didalamnya tercangkup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti, jaminan


(26)

sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, budaya dan sebagainya. Fenomena perkawinan usia dini mengindikasikan masih adanya masalah sosial di masyarakat, karena pernikahan dini dapat memicu munculnya masalah-masalah baru seperti: Kekerasan dalam rumah tangga, perceraian,dan lain-lain. Disinilah letak releransi antara topik penelitian ini dengan disiplin ilmu Kesejahteraan Sosial.

1.2Perumusan Masalah

Menurut (Sugiyono, 2011: 206) masalah adalah merupakan penyimpangan antara yang seharusnya dengan yang terjadi. Sedangkan rumusan masalah adalah pertanyaan penelitian yang disusun berdasarkan masalah yang harus dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Suatu penelitian ilmiah yang dilakukan karena adanya fenomena-fenomena yang sering dijumpai didalam kehidupan masyarakat, hal tersebut akan mendorong seorang peneliti untuk mencoba menganalisis serta mendiskripsikan fenomena tersebut didalam sebuah karya tulis ilmiah. Di mana masih banyak orang tua yang menikahkan anak perempuan diusia remaja terutama yang masih berusia 16 samapi 19 tahun, mungkin Undang-Undang pernikahan memperbolehkan hal itu terjadi tetapi secara Undang- undang perlindungan anak dan perempuan yang dicantumkan dalam pasal 1 angka (2) Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak di mana di dalam undang-undang ini telah mengatur perlidungan anak dalam segala kegiatan untuk menjamin dan melidungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dengan adanya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlidungan anak, pemeritah mempunyai harapan bahwa kehidupan anak-anak khususnya anak-anak-anak-anak Indonesia dapat terjamin sesuai dengan yang diamatkan dan perkawianan anak di bawah umur dapat dicegah lebih lanjut. Sebab seseorang dikatakan mulai dewasa dimulai pada umur 21 tahun dimana dari segi kematangan fisiologis, psikologi, sosial, khususnya sosial ekonomi bisa dikatakan cukup matang.


(27)

Pernikahan usia dini tidak hanya terjadi di pedesaan saja tetapi pernikahan diusia remaja masih banyak di jumpai di perkotaan meskipun jumlah di kota lebih sedikit dari pada di desa, dengan berkembangnya zaman dan teknologi pada saat ini tidak mempengaruhi dan mengubah pola pikir orang tua untuk menikahkan anaknya diusia dini padahal dengan menikahkan anaknya di usia dini banyak dampak yang akan ditimbulkan baik dari segi fisiologis, psikologis, sosial ekonominya belum matang, juga kawin cerai biasanya terjadi pada pasangan yang umum umurnya relatif masih sangat dini, tetapi masih banyak orang tua yang menikahakan anaknya di usia remaja padahal anak yang masih dini, misalnya pada umur 19 tahun pada umumnya belum mempunyai sumber penghasilan atau penghidupan sendiri. Kalau pada umur yang demikian dini telah melangsungkan perkawinan, maka dapat diperkirakan bahwa kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan sosial ekonomi akan segera muncul yang dapat membawa akibat yang cukup rumit dalam kehidupan keluarga (Walgito dalam Pujiati, 2007:11).

Maka dari itu peneliti mengambil desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember sebab fenomena-fenomena tersebut masih banyak perkawinan yang terjadi di usia dini yang usianya masih berumur antara 16 samapai 19 tahun. Melihat fenomena yang ada pada latar belakang tersebut maka rumusan masalah penelitian ini yaitu:

“ Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan orang tua menikahkan anak perempuannya Pada Usia Dini? ”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian hendaknya mempunyai tujuan yang jelas dan tegas jika tidak ada tujuan yang jelas maka seorang peneliti akan mengalami hambatan dalam pengumpulan data, sehingga terjadi penyimpangan yang membuat penelitian tersebut tidak relevan lagi. Menurut (Bungin dalam Sugiono, 2007), “mengemukakan


(28)

pendapatnya bahwa tujuan penelitian harus dinyatakan secara jelas, tegas dan bereksplisit”. Sedangkan menurut (Hadi, 1997: 4) :

“Penelitian pada umumnya adalah bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau mengkaji sesuatu untuk mengisi kekurangan, mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam apa yang sudah ada sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika yang sudah ada diragukan kebenarannya”.

Berdasarkan uraian diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: mendiskripsikan dan menganalisis tentang faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penyebab orang tua menikahkan anak perempuannya diusia dini di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dan kegunaan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut;

a) Manfaat bagi Pemerintah hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan disusunnya suatu kebijakan untuk memberikan informasi dan masukkan bagi masyarakat terutama orang tua yang memilki anak perempuan dan para remaja akan dampak-dampak yang diakibatkan oleh adanya pernikanan usia dini

b) Manfaat bagi Akdemik hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya dan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik umumnya tentang faktor internal dan faktor eksternal apakah yang penyebab orang tua menikahkan anak perempuannya diusia dini yang terjadi di dusun, dan diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dan masukan bagi penelitian lain yang mengambil tema atau permasalahan yang sama atau sejenis.

c) Manfaat bagi masyarakat, dapat menjadi bahan untuk mempertimbangkan secara lebih jauh bila ingin mengambil keputusan untuk menikahkan anaknya di usia dini.


(29)

BAB 2 .TINJAUAN PUSTAKA

Landasan Teori

Dalam suatu penelitian perlu adanya suatu tinjauan pustaka yang dapat menjadi pertunjuk bagi peneliti. Kerangka teoritik adalah menjelaskan secara ilimiah tentang konsep-konsep kunci yang akan digunakan dalam penelitian menurut (Irawan, 2006:38). Fenomena yang terjadi dalam masyarakat semakin kompleks, masalah yang sering terjadi didalam masyarakat banyak disebabkan oleh faktor ekternal dan faktor internal yang merupakan awal terjadinya suatu permasalahan didalam masyarakat. Keberadaan konsep dalam suatu penelitian sangat penting karena konsep merupakan definisi yang dipakai oleh peneliti untuk menerangkan suatu fenomena yang ditemui secara teoritis, seorang peneliti tidak akan mampu menerangkan suatu fenomena yang baik apabila tidak memakai konsep-konsep tentang fenomena tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh (Susanto, 1998:67) menyatakan sebagai berikut bahwa;

“Setelah melakukan perumusan masalah, langkah selanjutnya dalam

penelitian ilmiah adalah mencari teori-teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan. Oleh karenanya landasan teoritis memang perlu ditegakkan sehingga penelitian itu mempunyai dasar kokoh dan bukan sekedar untuk coba-coba (trial and error) dalam melakukan penelitian.” Dalam melakukan sebuah penelitian, seorang peneliti perlu menggunakan konsep dasar untuk menjelaskan asumsi-asumsi yang ada. Konsep dasar pada hakekatnya merupakan titik tolak untuk berpijak bagi langkah berikutnya dari pembahasan yang sampaikan pada topik yang dijadikan objek penelitian. Berikut ini akan menguraikan konsep-konsep yang sesuai dengan judul penelitian yang diangkat oleh penelitian.


(30)

2.1 Konsep pernikahan

2.1.1 Pernikahan Menurut Undang-Undang Perkawinan

Di dalam lingkungan peradaban Barat dan di dalam sebagaian lingkungan peradaban bukan Barat, pernikahan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yaitu yuridis dan kebanyakkan juga “religieus”, menurut tujuan suami istri dan undang-undang, dan dilakukan untuk selama hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan (Soetojo, 2002:22). Dasar-dasar perkawinan itu dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan itu sendiri; kebutuhan dan fungsi biologik, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut dan mendidik anak-anak itu untuk menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (berharga).

Pernikahan menurut Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 Mengatakan perkawinan sebagai berikut:

“ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kelak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa” (Soetojo, 2002:38).

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan antara lain dinyatakan, bahwa suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadikan pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. Berarti dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, “

keanekaragaman” hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri. Kelahiran Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku


(31)

mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntunan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik. Dalam kaitan ini, Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 antara lain menyatakan:“ Dalam Undang-undang ini ditentukan prisip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman” ( Usman, 2005: 230).

2.1.2 Perkawinan Dipandang Secara Agama a. Pandangan Agama Islam

Didalam agama Islam Perkawinan disebut dengan Nikah. Nikah secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yaitu melaksanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama (Soetojo, 2002:27). Sedangkan menurut Ahmad dalam (Eoh, 1996: 105) mengatakan Perkawian menurut Hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa tentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridohhi Allah. Dalam Hukum Islam mengenal istilah kawin siri yang berarti perkawinan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan di saksikan oleh para saksi tetapi tidak dilakukan dihadapan pertugas pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintahan atau perkawinan yang tidak dicatatkan di kantor urusan agama bagi yang beragama Islam atau dikantor catatan sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta nikah yang di keluarkan oleh pemerintah, (http://www.hukum.kompasianan.com diakses pada 13 Febuari 2013.)

b. Pandangan Agama Katholik

Menurut pandangan Katholik bahwa perkawinan adalah sakramen, karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai suatu yang suci serta persatuan


(32)

cinta dan hidup antara seorang pria dan seorang wanita adalah merupakan persatuan yang luhur. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita untuk saling mengikatkan diri sampai salah seorang dari meraka meninggal dunai dan hanya pada seorang itu saja untuk memperoleh keturunan. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sakramen adalah perjanjian yang diadakan oleh Tuhan dan dipercayanakan kepada Gereja sebagai tanda dan sarana yang mengungkapkan dan menguatkan iman, mempersembahkan penghormatan kepada Allah serta menghasilkan pengudusan manusia ( Eoh , 1996: 108).

c. Pandangan Agama Hindu

Dalam masyarakat Hindu soal perkawianan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam kehidupan mereka. Menurut kitab Manusmriti Perkawianan bersifat religious karena kawianan adalah ibadah dan obligatoir sifatnya karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra. Perkawinan (wiwaha) diindentikkan dengan sakramen (samskara) yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dari hukum agama (dharma). perkawianan sebagai samskara adalah suatu ritual yang memberikan kedudukan sah tidaknya suatu perkawianan menurut hukum Hindu (Eoh, 1996: 113) d. Pandangan Agama Budha

Dalam buku nasihat perkawianan Agama Budha dari Departemen Agama (1976: 15), disebut bahwa agama Budha memandang perkawinan merupakan suatu ikatan yang suci yang harus dijalin dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh sang Budha. Perkawianan yang berdasarkan cinta kasih dipersatukan dalam ikatan lahir batin bertujuan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik dalam kehidupan sekarang maupun masa yang akan datang. Keabsahan suatu perkawinan menurut agama Budha apabila dilakukan dihadapan Romo Pandito (Bikhu) (Eoh , 1996: 114).


(33)

e. Pandangan Agama Protestan

Nikah adalah suatu penetapan atau peraturan Allah, maksudnya ialah bahwa nikah adalah suatu pemberian Allah kepada manusia. Hal ini sesuai dengan firman

Tuhan dalam kejadian 2 ayat 18 yaitu; “ Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadi penolong baginya yang sepadan dengan dia”. Di dalam ayat ini kita melihat permulaan suatu pernikahan dan alasan mengapa Tuhan merencanakan/ menciptakan lembaga pernikahan, yaitu karena;

1. Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja

2. Manusia memerlukan kalau seorang penolong yang sepadan dengan dia

Dengan kedua alasan itu Tuhan memberikan seorang wanita kepada setiap lelaki untuk menjadi istrinya supaya ia tidak hidup seorang diri. Istrinya adalah seorang penolong yang sepadan dengan dia, yang dapat berbicara dengan dia, membuat rencana bersama-sama dan menjadi teman hidupnya. Menurut (Eoh, 1996: 111), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu tiap-tiap perkawian dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian nikah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Nikah adalah persetujuan/perjanjian ataupun suatu akad antara seorang pria dan seorang wali pihak wanita

2. Untuk ada/terjadinya nikah harus ada kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak yang akan melakukan pernikahan

3. Nikah dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama yang dapat didalam hukum fiqh.

2.1.3 Pernikahan Usia Dini

Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada Profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau kota. Pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena diusia itu organreproduksi perempuan secara psikologis


(34)

perempuan sudah berkembangan dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menompang kehidupan keluarga untuk melindungi baik, secara psikis, emosional, ekonomi dan sosial. Pernikahan Dini adalah suatu bentuk ikatan perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi (Imsiyah, 2009:101) dalam Jurnal Eduksaintek, STKIP PGRI Situbondo). Sedangkan Menurut ( Koro, 2011:119) dalam artikel yang ditulis pada majalah Hukum Nasional No.1 Tahun 2011, medefinisikan pernikahan diusia dini atau dibawah umur dapat diartikan dua macam yaitu:

1. Suatu perkawinan dini usia muda yang belum mencapai umur baligh (laki-laki belum mimpi dan perempuan belum haid/mens). Inilah yang dimaksud dalm kitab-kitab fiqih. (untuk digunakan istilah Perkawinan dibawah umur baligh)

2. Suatu perkawinan dini usia muda yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Pengertian ini sesuai dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 7.

Dari penjelasan diatas merupakan Ketentuan Pasal 7 ayat (1) mengenai batas umur 19 tahun dan 16 tahun adalah merupakan batas umur minimal yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai yang akan mengadakan perkawinan karena UU Perkawianan menganut prinsip bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk itu harus dicegah adanya perkawianan antara calon suami istri yang masih di bawah umur, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.

Sedangkan disamping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Sebab ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Dalam rangka mendukung program pemerintah di bidang kependudukan, menteri Dalam Negeri telah


(35)

mengeluarkan instruksi No 27 tahun 1983 tentang usia perkawinan dalam rangka mendukung progaram kependudukan dan keluarga berencana. Pertimbangan dikeluarkannya Instruksi ini karena bangsa Indonesia diharapkan pada masalah kependudukan antara lain tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi disebabkan cukup tingginya tingkat kelahiran. Salah satu penyebab adalah masih banyakanya perkawinan usia muda dan di bawah umur. Dalam Instruksi ini yang dimaksud dengan:

1. Perkawinan Usia Muda adalah Perkawinan yang dilakukan pada Usia dibawah 20 tahun bagi wanita dan dibawah 25 tahun bagi pria

2. Perkawinan di bawah umur adalah perkawianan yang dilakukan pada usia 16 tahun bagi wanita dan di bawah 19 tahun bagi pria (Eoh , 1996: 83).

Instrusi ini ditujuakan kepada para Gubenur Bupati/Wali kotamadya seluruh Indonesia yang pada pokonya berisi;

1. Melakukan langkah-langkah dan usaha yang mendukung pelaksanaan program kependudukan dan keluarga berencana untuk mempercepat pelembagaan norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera dilingkungan masyarakat

2. Mendukung usaha-usaha berbagai instansi baik pemerintah, swasta maupun lembaga masyarakat serta melakukan usaha untuk menghindarkan terjadinya perkawianan usia muda dan perkawianan di bawah umur

3. Memberikan penerangan dan motivasi kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan dan kesempatan

4. instruksi ini mulai berlaku sejak tanggal dikeluarkan yaitu tanggal 24 juli 1983 Pada dasarnya pernikahan usia dini merupakan pernikahan yang terjadi pada pasangan suami istri yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang perkawinan di mana pernikahn usia dini terjadi pada pasangan yang belum mencapai umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Dari penjelasan diatas pernikahan dini disini suatu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada dasarnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis, psikologi maupun sosial, ekonomi. Sebab apabila dilihat dari segi umur mereka belum matang karena


(36)

usia mereka masih terlalu dini untuk melangsungkan suatu perkawinan dalam penjelasan sebelumnya seseorang dikatakan dewasa apabila seseorang tersebut sudah mencapai umur 21 tahun. Sebab Menurut Hurlock (dalam Pujiati 2007: 10) bahwa seseorang dikatakan mulai dewasa dimulai pada umur 21 tahun. Hal ini juga dijelaskan oleh peraturan MA No 11 tahun 2007 tentang pencatatan nikah Bab IV Pasal 7, apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (dua satu tahun) maka harus mendapatkan ijin tertulis dari kedua orang tua, ijin ini sifatnya wajib karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua atau wali. Dalam Format Model N5 orang tua atau wali harus mensertakan tanda tangan dan nama jelas sehingga ijin dijadikan dasar PPN/penghulu bawah kedua

mempelai sudah mendapatkan izin atau restu orang tua”.

Walaupun UU perkawinan dan instruksi Mentri Dalam Negeri telah menentukan batas umur minimal untuk mengadakan perkawianan, ini tidak berarti bahwa kalau calon mempelai belum mencapai umur tersebut sama sekali tidak dapat kawin, sebab ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU perkawinan memungkinkan untuk meminta dispen pada pengadilan atau penjabat lain yang ditunjukkan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Yang dimaksud dengan pengadilan disini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri yang beragama lain selain Agama Islam.

2.1.4 Persyaratan Perkawinan

Dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tuahun 1974 Pasal 7 ayat (1) dijelaskan tentang syarat-syarat perkawinan yaitu “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Jadi ada sebuah batasan usia yang harus

diperhatikan dalam melaksanakan suatu perkawinan, yaitu pada pria harus berusia 19 tahun sedangkan pada perempuan berusia 16 tahun. Persyaratan perkawinan menurut (Usman, 2005:272) ada dua macam syarat perkawinan yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak


(37)

yang melangsungkan perkawinan, disebut juga “ syarat-syarat subjektif”. Adapun syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut juga” syarat-syarat objektif”.

Sedangkan (Sudarsono, 1991:3) memberikan beberapa syarat terjadinya suatu perkawinan yaitu;

“ Syarat perkawinan terdiri dari syarat materiil absolut dan syarat materiil relatif, adapun yang maksud dengan syarat materiil absolut adalah syarat-syarat yang menyangkut pribadi seseorang yang terdiri dari 1) Persetujuan antara kedua calon suami istri. 2) Memenuhi Syarat umur minimal. Sedangkan syarat materiil yang relatif yaitu berkaitan dengan larangan bagi seseorang untuk melakukan perkawinan dengan orang tertentu seperti orang yang mempunyai hubungan sangat dekat didalam kekeluargaaan sedarah”. Persyaratan perkawinan diatur secara limitatif di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UUP, yang meliputi persyaratan materiil maupun persyaratan formal. Perlu diingat selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut UUP, bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing, termasuk ketentuan dalam peeundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan itu.

Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan, meliput:

a) Persyaratan orangnya:

1. Berlaku umum bagi semua perkawinan

i.Adanya persetujuan kedua Calon mempelai

ii.Adanya izin dari orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun

iii.Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun

iv.tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang


(38)

v.Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum lewat waktu tunggu atau masa iddah

2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu

i. tidak terkenak larangan/halangan melakukan perkawinan, baik menurut undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu

ii. tidak terkenak larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya setelah kawin dan bercerai lagi untuk kedua kalinya berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannnya itu.

b) Izin yang harus diperoleh:

1. Izin orang tua/wali calon mempelai

2. Izin pengadilan baik mereka yang hendak beristri lebih dari seorang (berpoligami) (Usman, 2005: 273).

Di dalam Pasal 8 Undang-Undang Kawinan menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yaitu antara lain orang-orang:

1. Berhubungan Darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antra seorang dengan saudara orang tua, dan seorang dengan saudara nenek

3. Berhubungan semendak yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri

4. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seseorang

6. Mempunyai hubungan agama oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (Usman, 2005:276).


(39)

2.2 Faktor-faktor yang memperngaruhi terjadinya pernikahan di usia Dini

Menurut (Daryanto, 1998:184) yang dimaksud faktor adalah “Hal yang ikut menyebabkan terjadinya sesuatu”. Sedangkan di dalam kamus besar Bahasa Indonesia faktor diartikan sebagai, Hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan

(mempengaruhi) terjadinya sesuatu”. Jadi faktor merupakan segala sesuatu yang

mendasari terjadinya suatu peristiwa yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Faktor dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Eksternal dalam

kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai, “hal-hal yang datang dari luar, yang bersangkutan dengan hal-hal luar” seperti faktor lingkungan, budaya dan adat istiadat yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan internal faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, yang mencangkup beberapa hal antara lain seperti: fisiologis, minat, pengalaman, dan ingatan (http://www. dunia psikologi.com/persepsi-pengertian-definisi-dan faktor-yang mempengaruhi diakses pada 16 Januari 2014 ). Menurut (Sjarkawi, 2009: 19) faktor internal faktor yang berasal dari diri orang itu sendiri, faktor ini merupakan bawakan atau genetik yaitu faktor yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari salah satu sifat yang dimiliki salah satu dari kedua orang tuanya. Faktor eksternal faktor yang berasal dari luar orang tersebut, biasanya pengaruh dari lingkungan tempat mereka tinggal. Dalam Penelitian ini faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi pola pikir orang tua untuk mengambil keputusan untuk menikahkan anak mereka di usia dini terutama anak perempuan dimana anak perempuan yang selalu menjadi sasaran karena orang tua menganggap menjaga anak perempuan lebih berisiko dari pada anak laki-laki sebab anak perempuan setelah dia lulus sekolah mereka hanya berdiam diri dirumah tanpa melakukan apa-apa sedangkan anak laki-laki dianggap mampu menompang perekonomian orang tua sehingga bisa membantu meringankan perekonomian orang tua, hal ini yang menyebabkan orang tua untuk mengambil keputusan agar segera menikahkan anak perempuan mereka diusia dini.

Pemikiran-pemikiran seperti ini yang masih melekat pada masyarakat perdesaan dimana pendidikan itu tidak terlaku penting bagi kaum perempuan disisi lain juga


(40)

keterbatasan ekonomi orang tua sehingga orang tua selalu berfikir menikahkan anak perempuan diusia dini bisa membantu meringankan beban ekonomi orang tua. Faktor internal sangat memperngaruhi pola pikir orang tua dimana faktor ini timbul dari dalam diri setip individu, maka dari itu pernikahan usia dini banyak terjadi diperdesaan dari pada pekotaan. Sedangkan faktor eksternal banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti faktor lingkungan, budaya dan agama di mana faktor ini sangat berhubungan erat dengan masyarkat. Berikut faktor- faktor yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya penyebab orang tua menikahkan anak perempuan pada usia dini.

2.2.1 Faktor Internal 2.2.1.1 Faktor Ekonomi.

Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara yang memiliki pulau terbanyak di dunia, akan tetapi masalah kependudukan yang sangat melekat dalam perekonomian Indonesia adalah masalah pengangguran dan kemiskinanan. Permasalahan ini apalagi tidak diperhatikan akan berdampaknya pada timbulnya masalah sosial dan keamanan. Masalah demografi yang sangat penting untuk diselesaikan adalah masalah jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (Hamid, 2005:4). Ekonomi merupakan sebuah bidang kajian tentang pengurusan sumber daya material individu, masyarakat dan Negara untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, karena ekonomi merupakan ilmu tentang prilaku dan tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bervariasi dan berkembang sesuai dengan sumber daya yang ada. (http: //www. carapedia. com/ pengertian_definisi_ekonomi diakses pada tanggal 12 maret 2013). Pada dasarnya ekonomi sangat memperngaruhi kehidupan setiap individu sebab semakin tinggi pendapatan individu maka semakin sejahtera kehidupnya tetapi sebaliknya jika semakin rendah pendapatan seseorang maka semakin banyak beban hidupnya yang akan di tanggung. Ekonomi keluarga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak-anak. Apabila perekonomian keluarga cukup, lingkungan material anak di dalam keluarga lebih luas. Anak


(41)

mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang mungkin tidak dapat ia kembangkan apabila keadaaan ekonomi keluaga tidak baik (Menurut Soetarno1994:48). Seperti yang di jelaskan juga oleh (Subadio 1994: 198) alasan orang tua menikahkan anaknya pada usia muda seperti berikut:

“ Alasan-alasan utama bagi orang tua untuk mengawinkan anaknya pada usia muda dapat di golongkan sebagai berikut: Pertimbangan ekonomis terhadap diri sendiri dan keturunan, melepas diri dari tanggungngan memelihara anak-anak tentu saja, terutama karena orang tua tidak mampu dan mempunyai banyak anak-anak”

Jika dilihat dari segi ekonomi, kehidupan masyarakat di Desa Tempurejo masih berada dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Hal ini dapat dilihat pekerjaan masyarakat yang sebagian besar adalah buruh tani dan buruh perkebunan. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab yang mendorong orang tua mengawinkan anak perempuannya di usia remaja, karena orang tua menganggap bahwa apabila anak perempuannya menikah maka beban didalam keluarga tersebut akan berkurang karena anaknya telah memiiki suami yang bertanggung jawab terhadap kehidupan selanjutnya. Dengan mengawinkan anaknya, orang tua berharap ananya dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi orang tuanya, tetapi biasanya suaminya dari anak tersebut kondisi ekonominya tidak jauh berbeda dengan kondisi ekonomi orang tua sehingga tidak ada perubahan yang terjadi terhadap anaknya dan tidak dapat membantu menompang kehidupan orang tua.

2.2.1.2 Faktor Pendidikan.

Sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak terutama untuk kecerdasannya. Pendidikan pada anak-anak sangat mempunyai peran yang besar untuk menentukan kehidupannya, sebab Pendidikan merupakan suatu proses pengembangan potensi, kemampuan dan kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat (media) yang tersusun


(42)

sedemikian rupa, sehingga pendidikan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Suwarno, 2006: 20). Tidak terlepas itu juga peran orang tua juga sangat dibutuhkan sebagai pendorong atau motivasi anak agar selalu mengembangkan potensi pada dirinya, seperti yang dijelaskan oleh (Ratnawati, 2000:41) sebagai berikut:

“Pendidikan yang utama adalah keluarga. Dibadingkan sekolah keluarga

sangat berperan bagi perkembangan anak. Pendidikan dalam keluarga sangat menentukan sikap seseorang karena orangtua menjadi basis nilai bagi anak karena itu orang tua harus meluangkan waktu dan menyiasatinya agar setiap waktu yang diberikan untuk anak-anak menjadi bermakna”. Jadi orang tua merupakan peranan pertama dan utama dalam hal pendidikan bagi anak, karena orang tua yang pertama yang mendidik dan mempunyai pengaruh besar sekali terhadap perkembangan anak kelak. Apabila pendidikan orang tua rendah maka tingkat pengetahuannyapun juga rendah sebab orang tua harus menyadari tanggung jawab yang harus mereka lakukan diantara lain bagaimanan ngasuh, memelihara, membesarkan, melindungi, mendidik, menjamin kesehatan anak dan bagimana membahagiakan kehidupan anak. Orang tua memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pendidikan anak. Orang tua perlu membekali anaknya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan anaknya kelak, sehingga pada masa dewasa mampu mandiri dan bermanfaat bagi kehidupan sosial, bangsa, dan agamanya. Jika tingkat pendidikan orang tua rendah maka tidak heran angka perkawinanpun juga tinggi sebab pengetahuan orang tua tentang dunia pendidikan juga rendah orang tua beranggapan pendidikan tidak terlalu penting bagi anak mereka terutama anak perempuan, adanya kecendrungan orang tua maupun masyarakat mengawinkan anaknya masih dibawah umur karena terbatasnya pendidikan dan pengetahuan mereka akan pentingnya pendidikan.


(43)

2.2.1.3Faktor Agama

Dalam sebuah masyarakat terdapat norma-norma yang harus ditaati dalam menjalani kehidupan sebagai manusia yang saling membutuhkan, agar tidak ada penyimpangan di dalam masyarakat tersebut dan dapat hidup dengan rukun sebagai mahkluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri, tetapi saling membutuhkan. Salah satu norma yang masih melekat pada sebuah masyarakat yaitu norma agama. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama. Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk meningkatkan keimanan kita melalui rutiritas beribada, maencapai rohani yang sempurna (http://id.m.Wikipeddia.org/wiki agama. Diaskes 4 November 2013). Peran agama yang sangat kuat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang tua menikahkan anak perempuannya di usia remaja, sebab ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama sebab perbuatan anak yang saling suka sama suka dengan anak laki-laki adalah merupakan

“zina”, dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera

menikahkan anak-anak tersebut. Dalam sebda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist,

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia berduaan dengan wanita yang tidak didampingi muhrimnya, sebab bila demikian setanlah yang

menjadi pihak ketiga”, HR.Ahmad (dalam Al-ghifani, 2003:139-140). Dari hadist dan ayat tersebut orang tua akhirnya memutuskan untuk menikahkan anak perempuannya di usia remaja, agar anak tersebut tidak melakukan perbuatan yang dianggap melanggar agama. Dengan berpegangan pada hadist tersebut para orang tua beranggapan bahwa lebih baik anaknya menikah pada usia yang masih remaja dari pada akhirnya akan terjerumus pada pergaulan yang tidak baik, yang justru pada pergaulan yang tidak baik.


(44)

2.2.2 Faktor Eksternal 2.2.2.1 Faktor budaya.

Menurut Koentjaraningrat (dalam Soelaeman 2001: 21) kebudayaan berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau

“akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan

dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berati” daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang

berarti “daya dari budi’ yang berupa cipta, karsa dan rasa dengan “kebudayaan” yang

berarti hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Budaya suatu cara hidup yang berkembang dan memiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan dan karya seni (http:// id.m.wikipedia.org/wiki/budaya Diaskes 28 April 2014). Budaya sendiri merupakan bagian tak terlepaskan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggap diwariskan secara genetis, pada hakikatnya manusia di dalam hidunya membutuhkan bantuan dan pertolongan. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa sebagai makhluk yang lemah sehingga tidak dapat hidup menyendiri dalam memenuhi hidupnya. Hubungan kebudayaan masyarakat dan individu mempunyai hubungan yang sangat erat sebab masyarakat dalam arti yang sepenuhnya terdiri dari individu-individu. Tiap-tiap individu yang membentuk kelompok menjadi pendukung kebudayaan. Seperti yang dikata sebelumnya individu adalah bagian dari kelompok, angota masyarakat. Individu tidak dapat hidup sendiri, tidak dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya sendiri. Sejak dilahirkan seorang individu membutuhkan pergaulan dengan orang lain. Dalam pergaulan ini tentu pikiran dan perasaannya tersalur ke luar. Dengan kata lain individu memperngaruhi masyarakat dan kebudayaan tempat dia berada dan berkembang. Faktor budaya di sini faktor yang banyak memperngaruhi kehidupan dalam masyarakat dimana faktor budaya bisa membentuk pola pikir masyarakat tentang suatu tradisi yang sudah lama ada tetap untuk dipertahankan sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dipertahankan hingga


(45)

saat ini. Seperti dibeberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU. (Purwowibowo, 2000:35) menjelaskan tentang kedudukan anak dalam menentukan sebuah penikahan di perdesaan.

Didalam praktek perjodohan anak, kedudukan orang tua sangat dominan, keputusan menikah tidaknya seorang anak ditentukan oleh orang tua. Kedudukan orang tua dalam perjodohan anak ini sangat aktif, sedangkan kedudukan anak sangat pasif. Anak hanya menerima, patuh dan mengikuti apa yang dikatakan atau diperintahakan oleh orang tuanya. Keputusan anak kepada orang tuanya juga dipengaruhi oleh sistem kepemimpinan orang tua, anak tidak berani menentang keinginan dan keputusan orang tuanya. Dan apabila seorang anak mampu menentang keputusan orang tuanya mereka akan mendapat sanksi dari orang tuanya, seakan-akan terdapat magic yang memperngaruhi keputusan orang tua mengenai jodohananya.

Hal ini yang menyebabkan terjadinya pernikahan, ketika seorang perempuan telah meninjak usia remaja maka orang tua akan menikahkan anaknya karena telah di anggap cukup umur untuk membentuk rumah tangga sendiri. Jadi dalam pernikahan yang terjadi dipedesaan lebih banyak terjadi karena adanya peranan orang tua yang sangat kuat, yaitu karena adanya perjodohan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya terutama anak perempuannya. Faktor budaya di sini dapat kita lihat dari sikap dan prilaku anak yang patuh pada orang tua, karena seorang anak akan dianggap durhaka apabila tidak patuh terhadap orang tua, yang pada akhirnya memutus sesuatu orang tua tidak bermusyawarah dengan anaknya karena orang tua menganggap bahwa anaknya akan melaksanakan apa yang menjadi keputusanya.Adanya anggapan-anggapan tersebut sangat memperngaruhi orang tua, sehingga orang tua ingin segera menikahkan anak perempuanya di usia remaja agar


(46)

anaknya diakui oleh masyarakat sebagai sosok perempuan yang telah dianggap sebagai bagian dari masyarakat tersebut.

2.2.2.2Faktor Sosial

Sosial berasal dari kata latin societas, yang artinya masyarakat. Kata societas dari kata socius, yang artinya teman, dan selanjutnya kata sosial berarti hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam bentuknya yang berlain-lain, misalnya keluarga, sekolah, organisasi dan sebagainya ( Sujanto 2004: 236). Dalam konteks sosial manusia merupakan makhluk sosial. Pada hakikatnya manusia di dalam hidunya membutuhkan bantuan dan pertolongan. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa sebagai makhluk yang lemah sehingga tidak dapat hidup menyendiri dalam memenuhi hidupnya. Tetapi keistimewaan manusia ialah bahwa manusia mempunyai akal. Akal itulah yang merupakan senjata manusia yang terpenting dalam kehidupannya di alam ini. Dengan adanya akal ini manusia menjadi makhluk yang bersosial dan berderajat tinggi. Ia dapat mengatasi kelemahan-kelemahannya dengan jalan hidup bersama (berkelompok) demi terwujudnya kehidupan sosial atau kehidupan bermayarakat.

Manusia sebagai makhluk individu artinya manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya (keseimbangan jasmani dan rohani) dan harus bertanggung jawab terhadap Tuhannya (sebagai penciptanya). Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat internsitasnya apabila ia memilki kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya juga muncul sebagaimana akibat keyakinan terhadap suatu nilai. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab, disebut demikian karena manusia merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan (Soelaeman 2001:102).

Faktor Masalah sosial adalah suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokkan antara unsur-unsur yang dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat


(47)

(http://nissaajah91.wordpress.com Diaskes 19 febuari 2014). Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada, masalah sosial menimbulkan prasangka sosial dimana prasangka soasial adalah sikap negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap individu, golongan ras atau kebudayaan tertentu yang berlainan dengan orang yang berprasangka itu ( Soetarno 1994: 44 ). Prasangka sosial memperngaruhi tingka laku orang yang berprsangka terhadap golongan lain, dan akhirnya muncul dalam bentuk tindakan-tindakan diskiriminatif tanpa disertai alasannya yang objektif. Tindakan diskriminatif diartikan sebagai tindakan yang cenderung menghambat perkembangan bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang tertentu hanya karena mereka kebetulan termasuk golongan yang mendapat prasangka itu. Seperti ketakutan orang tua apabila orang tua yang mempunyai anak perempuan yang telah mengijak usia remaja masih belum menikah orang tua takut anaknya dibilang sebagai perawan tua maka dari itu orang tua segera mungkin untuk menikahkan anak tersebut di usia dini. Adanya ketakutan dalam diri orang tua yang menyebabkan timbul masalah sosial sebab adanya perasaan malu jika anaknya belum menikah padahal umurnya telah menginjak usia remaja dan adanya ketakutan dalam diri orang tua bahwa anaknya tersebut dibilang perawan tua atau tidak laku. Hal-hal seperti ini yang masih melekat dalam pemikiran orang tua terutama pada masyarakat perdesaan yang bisa menimbulkan masalah sosial didalam keluarga, orang tua hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan anaknya, padahal suatu pernikahan tidak hanya dilihat dari segi fisik tetapi dilihat dari segi umur sebab umur mempunyai peranan yang penting dalam perkawinan, umur dalam hubungannya dengan perkawinan tidaklah cukup dikaitkan dengan segi fisiologis semata-mata, tetapi juga perlu dikaitkan dengan segi psikologis dan segi sosial, karena dalam perkawinan hal-hal tersebut tidak dapat ditinggalkan, tetapi selalu ikut berperan. Sebab seseorang dikatakan mulai dewasa dimulai pada umur 21 tahun dimana dari segi kematangan fisiologis, psikologi, sosial, khususnya sosial ekonomi bisa dikatakan cukup matang.


(48)

2.3 Konsep Motivasi

Menurut (Sardiman, 2005:23) motif diartikan sebagai daya upaya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif diartikan sebagai daya penggerak dari dalam dan dari diluar subjek untuk melalukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan. Motivasi diartikan sebagai penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat tertentu mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak. Dengan demikian, motivasi memengaruhi adanya kegiatan. Ada tiga fungsi motivasi diantaranya yaitu:

1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagaia penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

2) Menentuakn arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya

3) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisikan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaianan prestasi. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang mendorong penyebab orang tua untuk menikahkan anaknya di usia dini. Jadi dalam pernikahan yang terjadi lebih banyak karena adanya peranan orang tua yang sangat kuat, yaitu karena adanya faktor-faktor yang menyebabkan mengubah pola pikir orang tua terhadap nilai-nilai baik dari segi ekonomi, agama, budaya, maupun pendidikan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya terutama anak perempuannya. Faktor-faktor inilah yang mengubah pola pikir orang tua sehingga terjadi pernikah di usia dini.


(1)

3.5.3 Dokumentasi

(Sugiyono, 2011:240) menyatakan bahwa study dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Sedangkan menurut (Bungin, 2011: 113) Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan menelusuri data historis. Dengan demikian, pada penelitian sejarah, maka bahan dokumenter memegang peranan yang amat penting. Walau metode ini terbanyak diguakan pada penelitian ilmu sejarah, namun kemudian ilmu-ilmu sosial lain secara serius menggunakan metode dokumenter sebagai sebagai metode pengumpulan data. Oleh karena sebenarnya sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagai besar data tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cendera mata, laporan dan sebagainya. Sifat utama dari data tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Kumpulan data bentuk tulisan ini disebut dokumen dalam arti luas termasuk monumen, artefak, foto, tape, mikrofilm, disc, CD, harddisk, Falshdisk, dan sebagainya”.

Dalam bentuk dokumentasi terdapat dokumentasi tertulis, lisan dan dokumentasi tergambar. Hal ini peneliti akan memanfaatkan dokumentasi tertulis berupa profil Desa Tempurejo visi dan misi lembaga terkait dan data dari KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan Tempurejo untuk meminta data pernikahan, sedangkan untuk dokumentasi tergambar penelitian akan memanfaatkan foto-foto yang sedang melakukan wawancara dan keadaan sekitar lingkungan tempat tinggal informan baik informan pokok dan informan tambahan


(2)

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis data secara kualitatif, yaitu Segala sesuatu yang dinyatakan responden, baik secara tertulis maupun lesan serta perilaku nyata yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Pengunaan teknik analisis kualitatif dalam penelitian adalah dengan cara membahas pokok permasalan berdasarkan data mentah yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari hasil penelitian di lapangan yang kemudian dianalisa secara kualitatif untuk pemecahan. Analisis ini dilakukan dengan bersamaan proses data. Banyak cara untuk memproses data agar terdapat nilai validitas antara lain adalah transkrip data. Jadi hasil dari wawancara yang dilakukan oleh penulis diubah menjadi tulisan verbatif, setelah itu penulis melakukan pembuatan koding dari transkip yang telah dibuat.

Untuk menyederhanakan data yang telah diperoleh penulis akan mengkategorikan data dengan cara mengikat konsep-konsep kunci dalam satu besaran kategoti yang sama. Dari data yang telah disederhanakan maka penulis akan menarik kesimpulan sementara, kesimpulan tersebut harus dijaga agar tidak bercampur aduk dengan pemikiran dan penafsiran penulis. Sebelum mendapatkan kesimpulan akhir penulis akan melakukan cross check terlebih dahulu dari data-data yang telah diperoleh penulis. Terakhir adalah penyimpulan akhir.

Dalam bukunya (Irawan, 2006:76) membagi proses analisis data menjadi tujuh tahapan, untuk lebih mudah dipahami maka dapat dibuat bagan alur sebagai berikut:


(3)

Gambar 3.1 Alur Analisis Data

Sumber : (Irwan, 2006:76)

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa langkah dalam analisis data adalah sbb: a. Pengumpulan Data Mentah

Pengumpulan data mentah dalam hal ini dilakukan dari hasil wawancara, observasi lapangan, kajian pustaka yang dengan bantuan alat elektronik telepon. Handphone

dipilih untuk mendokumentasi realita lapangan dalam bentuk foto serta merekam hasil wawancara yang selanjutnya akan dilakukan penulisan hasil rekaman tersebut dalam bentuk transkip wawancara. Transkip wawancara dicatat dengan apa adanya (Verbatim).

b. Transkrip Data

Pada tahap ini, peneliti merubah catatan ke bentuk tertulis (apakah itu berasal dari hasil rekaman hand phone atau catatan tulisan tangan).

c. Pembuatan Koding

Pada tahap ini peneliti membaca seluruh data yang sudah ditrasnkip. Pada bagian-bagian tertentu dari transkip itu peneliti menemukan hal-hal penting yang perlu dicatat untuk proses berikutnya. Dari hal-hal penting ini, diambil kata kunci dari realita yang ada.

Pengumpulan data mentah

Transkrip data

Pembuatan koding

Kategorisasi data

Penyimpulan akhir Trigulasi

Penyimpulan sementara


(4)

d. Kategorisasi Data

Pada tahap ini peneliti mulai menyederhanakan data dengan cara mengikat konsep-konsep (kata-kata) kunci dalam suatu dalam satu besaran yang di sebut kategori.

e. Penyimpulan Sementara

Dalam tahap ini peneliti mengambil kesimpulan sementara berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti. Pada tahap ini data yang diperoleh masih mentah dan murni tanpa merubah apapun.

f. Triangulasi

Pada tahap trigulasi ini dilakukan dengan proses check dan recheck antara satu sumber data dengan sumber data lainnya. Pada tahapan ini peneliti mencocokkan beberapa sumber dari sumber data satu dengan sumber data lainnya. Trigulasi ini berfungsi untuk mengetahui tentang kecocokan dan ketidak cocokan asumsi dari sumber data tersebut.

g. Penyimpulan Akhir

Sebelum melakukan tahap ini, peneliti harus memeriksa dan mengulangi langkah-langkah pada tahap sebelumnya untuk memastikan kebenarannya. Setelah dirasa cukup dan data telah dianggap sudah jenuh, peneliti mengambil kesimpulan akhir dan mengakhiri penelitian.

3.7 Teknik Keabsahan Data

Analisis-analisis kualitatif cenderung menggunakan pendekatan logika induktif, dimana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal khusus atau data dilapangan dan bermuara pada kesimpulan-kesimpulan umum. Kesahan dan kevalidan data merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam setiap penelitian. Pengujian kevalidan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara triagulasi. Dalam proses triangulasi, peneliti bisa mengecek datanya dengan cara membandingkan sumber datanya. Menurut (Moleong, 2008:330), teknik triangulasi data dibedakan menjadi tiga macam yaitu:


(5)

1. Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal itu dapat dicapai denga jalan: (a) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (b) membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; (c) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu; (d) membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan; (e) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

2. Pada trianggulasi dengan metode, terdapat dua strategi, yaitu: (a) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan (b) penegecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.

3. Trianggulasi dengan teori dinamakan penjelasan banding (riva explanation).

Dalam hal ini jika analisis telah menggunakan pola, hubungan dan menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis, maka penting sekali untuk mencari tema atau penjelasan pembanding atau penyaing.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan mespesifikasikan sumber data untuk mempermudah dalam memperoleh hasil penelitian yang falid. Oleh sebab itu penelitian dilakukan dengan cara membandingkan apa yang dilihat secara langsung yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan dengan informan pokok yaitu orang tua yang menikahkan anak perempuannya pada usia dini, kemudian data yang diperoleh dari informan pokok dikroscekkan dengan data yang diperoleh dari hasil wawacara dengan informan tambahan yaitu Muddin dan anak dari informan pokok yang dianggap mengetahui tentang keadaan yang terkait dengan penelitian, dari data yang sudah diperoleh kemudian didiskusikan dengan orang yang lebih kompeten yaitu


(6)

dosen pembimbing untuk mengecek ulang kebenaran hasil penelitian, untuk kemudian divalidkan dengan teori yang berkaitan agar data yang dirumuskan benar-benar valid. Data kemudian dianalisis dari gabungan hasil pengamatan, wawacara dengan informanterkaid teori, konsep, dan dokumentas.

3.8 Road Map/ Alur Pikir Penelitian

Road Map atau alur pikir penelitian menjelaskan arah penelitian sehingga nantinya dapat tergambar tujuan sesuai dengan faokus penelitian. Road map atau alur pikir penelitian bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor penyebab orang tua menikahkan anak perempuan di usia dini. Gambar alur pirir penelitian berdasarkan judul penelitian sebagai berikut:

Gambar 3.2 Alur Pikir Penelitian

Orang Tua

Motivasi Orang Tua Peran Orang tua

Faktor Eksternal Faktor Internal