REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ DALAM INTEGRASI KEILMUAN Membangun Pendidikan Integratif Nondikotomik RECONSRTRUCTION OF MULLĀ SADRĀ THOUGHTS IN INTEGRATION OF KNOWLEDGE Building a Non-dichotomous Integrative Education
REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ DALAM INTEGRASI KEILMUAN
Membangun Pendidikan Integratif Nondikotomik RECONSRTRUCTION OF MULLĀ SADRĀ THOUGHTS IN INTEGRATION OF KNOWLEDGE
Building a Non-dichotomous Integrative Education
Suparto dan Ahmad Zamakhsari
Fak. Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat Tangeran Selatan Email: suparto71@hotmail.com
Naskah diterima 21 Juni 2015. revisi pertama, 12 Juli 2015. revisi kedua, 21 Juli 2015 dan revisi terahir 1 Agustus 2015
Abstrak
Integrasi ilmu dan agama adalah integrasi yang bersifat integratif-holistik yaitu, eksistensi ilmu umum dan ilmu agama saling bergantung satu sama lain. Eksistensi (wujūd)yang ada pada pelajaran umum dan agama dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama, yang membedakan satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. pemikiran Mullā Sadrā tentang integrasi keilmuan yang tertuang dalam prinsip Tauḥid, maka untuk membangun pendidikan integratif diperlukan Konsep pendidikan Islam yang dirancang sebagai pendidikan yang benar-benar holistik dan terpadu. Holistik dalam hal visi, isi, struktur dan proses. Terpadu dalam pendekatannya baik terhadap kurikulum (bagaimana dan apa yang harus diajarkan), pengetahuan yang menyatupadukan dengan praktik, aplikasi dan pelayanan. Pendidikan holistik inilah mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren kepada pemahaman terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Ilmu-ilmu agama yang berbasis pada wahyu (al-Qur’ān dan al-Ḥadith) sebagai ayat- ayat qauliyyah dan ilmu-ilmu umum berbasis pada akal, penalaran terhadap fenomena alam
sebagai ayat-ayat kauniyyah. Kata Kunci : Mullā Sadrā, Integrasi, Holistik, Tauḥid
dan Pendidikan Integratif
Abstract
The integration of science and religion is an integrative-holistic integration meaning the existence of general science and religious studies depend on each other. The form of general science and religion with all their forms and character is essentially one and the same, what distinguishes it one from another is just the gradation (tashkīk al-form) caused by differences in the essence. Mulla Sadra thoughts on the integration of science is embodied in the principle of Tawheed, then it is necessary to build an integrative educational concept of Islamic education that is designed as an education that is truly holistic and integrated in terms of vision, content, structure and processes and well integrated in its approach to the curriculum (how and what to teach), integrated knowledge and practice, applications and services. This holistic education includes philosophical and methodological concepts that are structured and coherent to the understanding of the world and all aspects of life. Religious knowledge based on revelation (the Qur’an and al-Hadith) is qauliyyah verses and general sciences based on senses, reasoning against natural phenomena is kauniyyah verses.
Keywords: Mulla Sadra, Integration, Holistic, Tawhid and Integrative Education
S U PA r to DA N A h m A D Z A m A K h S A r I
PENDAHULUAN
meng alami dikotomisasi akibat gerakan sekularisasi barat sehingga ada pemisahan
Islam sebagai ajaran yang bersifat antara ilmu umum dan ilmu agama.Ilmu
universal dan berlaku sepanjang zaman umum diidentikkan dengan ilmu yang
bukan hanya mengatur urusan akhirat, sumber pengambilannya dari alam semesta,
tetapi juga urusan dunia. Demikian pula sedangkan ilmu agama yang bersumber
Islam mengatur ilmu-ilmu yang berkaitan dari wahyu, padahal semua itu berasal
dengan Tuhan dan ilmu-ilmu yang berkaitan dari sumber yang sama yaitu Tuhan
dengan keduniaan. Islam mengatur Yang Maha Esa karena wahyu dan alam
keduanya secara integrated. Di dalam al- Qur’ān dan as-Sunnah sesungguhnya tidak semesta semuanya adalah ayat-ayat Allah,
maka kalau melihat perkembangan ilmu ada istilah ilmu agama dan ilmu umum, yang
pengetahuan dalam Islam tidak dijumpai ada hanya ilmu itu sendiri dan seluruhnya
adanya dikotomi antara ilmu keagamaan bersumber dari Allah SWT. Apa yang
dan ilmu non keagamaan. 3
disebut sebagai ilmu agama sebenarnya di dalamnya juga mengatur ajaran tentang
Islam adalah agama yang memiliki ber -
bagaimana sesungguhnya hidup yang baik bagai macam pengetahuan, baik itu pe- dan beradab di dunia ini dan apa yang nge tahuan agama maupun pengetahuan disebut ilmu umum, sebenarnya amat umum. Dalam Islam pengetahuan tidak dibutuhkan dalam rangka berhubungan dibedakan, bahkan Islam menganggap kedua dengan Tuhan. Namun, jika dilihat dari pengetahuan tersebut ibarat mata uang yang sifat dan jenisnya sulit dihindari adanya paradigma ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
Inggris pada tahun 1870 dalam satu kuliah umum
umum, atau paling tidak paradigma tersebut
Max Muller telah mengejutkan audiensnya ketika
hanya untuk kepentingan teknis dalam ia mempromosikan apa yang ia sebut sebagai ilmu
agama ( science of religion). Satu kombinasi yang pada
mengklasifikasikan antara satu ilmu dengan
saat itu dianggap aneh karena pasca Origin of Species-
ilmu lainnya. 1 nya Darwin, kebenaran ilmu dan agama semakin tidak dapat dipertemukan. Yang satu meyakini bahwa
Hubungan ilmu (sains) dan agama, alam semesta terjadi karena diciptakan langsung oleh
baik dalam ranah ontologis, epistemologis Tuhan ( kreasionisme) dan yang lain menganggap alam maupun aksiologis selalu menyisakan per-
semesta semata-mata merupakan proses alamiah yang sangat panjang ( evolusionisme). Lihat Daniel
soalan yang tidak pernah selesai dibicara-
L. Pals. 2001. Seven Theories Of Religion, terj. Ali Noer
kan. 2 Ilmu pengetahuan dewasa ini Zaman. Yogyakarta: Penerbit Kalam. h. 6.
3 Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Ada juga
1 M. Hasbi Amiruddin dan Usman Husen. 2007. yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian Integrasi Ilmu dan Agama. Banda Aceh: Yayasan PENA,
di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara h. 35.
terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan 2 Berawal dari temuan Copernicus (1473-1543)
antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang yang kemudian diperkuat oleh Galileo Galilei (1564-
menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, 1642) tentang struktur alam semesta yang heliosentris
seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi (matahari sebagai pusat tata surya) berhadapan
dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dengan gereja yang geosentris (bumi sebagai pusat
dalam diri muslim itu sendiri ( split personality). Lihat tata surya), telah melahirkan ketegangan antara
M. Rusydi, “Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan ilmu dan agama. Penerimaan atas kebenaran ilmu
Islam dan Pengaruhnya.” 2006. Jurnal: Al-Banjari,Vol.5, dan agama menjadi satu pilihan yang dilematis. Di
No.9. h: 23.
EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan
ReKonstRuKsi PemiKiRAn mullā sAdRā dAlAm integRAsi KeilmuAn
memiliki dua sisi yang berbeda, namun tidak
5 6 fiqh(Uṣūl fiqh) 7 , Filsafat , Taṣawuf , Tafsīr dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dewasa
(Ulūm al-Tafsīr) 8 , Hadith (Ulūm Hadith), ini,banyak orang yang sudah terbiasa
dengan sebutan Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum.Ilmu Agama Islam yang berbasiskan pada wahyu, hadith Nabi, penalaran dan
5 Ilmu Fiqh (Ushul Fiqh) secara harfiah adalah
fakta sejarah sudah berkembang demikian ilmu yang membahas hukum-hukum
shara’ yang
pesat, misalnya Ilmu Kal ām (Teologi) , Ilmu
diproses melalui dalil-dalil terperinci. Ilmu yang amat “sibuk” mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam ini termasuk ilmu yang paling menonjol dan amat besar pengaruhnya dalam Dunia Islam. Sebagaimana dalam Ilmu Kal ām, Ilmu Fiqh ( Uṣūl Fiqh) termasuk Ilmu yang sarat dengan nuansa perbedaan pendapat yang melelahkan. Lihat Abd. Wahab Khalaf. 1978. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: Dar al-
Fikr. Cet. II, h. 34.
Ilmu kalām (Teologi) termasuk ilmu Agama 6 Filsafat Islam adalah istilah yang mengacu Islam yang paling pertama kali muncul dalam
kepada pemikiran-pemikiran filsafat yang ditulis Islam. Kemunculan ilmu ini ada hubungannya
oleh para filosof muslim, seperti al-Kindi, ar-Rāzi, denga peristiwa politik yang terjadi antara pasukan
al-Far ābi, Ibnu Maskawaih dan Ibnu Sīna di dunia yang dipimpin Khalīfah Alī bin Abī Ṭalib (Khalīfah
Islam belahan timur, serta Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail,
al-Ghazāli dan Ibnu Rushdy di belahan Barat. Filsafat itu menjadi penguasa di Damaskus. Mu‘ āwiyah
IV) dengan Mu‘āwiyah bin Abī Sufyan yang saat
Islam mulai muncul bersamaan dengan munculnya yang merasa memiliki pengaruh yang cukup besar
filosof muslim pertama, al-Kindi pada pertengahan di kalangan pengikutnya mencoba menghimpun
abad ke-9 M (parohan pertama abad ke-3 H). Filsafat kekuatan untuk memberontak melawan Khalīfah
Islam mencapai puncaknya di tangan al- Farābi dan Alī bin Abī Ṭalib. Menghadapi yang demikian itu
Ibnu Sīna (abad ke-4 dan ke-5 H). Kedua filosof itu Alī bin Abī Ṭalib memutuskan untuk menumpas
merupakan dua bintang terkemuka dalam filsafat pemberontakan tersebut dan karenanya terjadilah
Islam, sedangkan para filosof muslim lainnya peperangan disuatu tempat yang namanya Siffin.
dianggap sebagai satelit-satelitnya. Lihat Abdul Aziz Peperangan yang hampir saja dimenangkan oleh
Dahlan. 2012. Teologi, Filsafat, Tasawuf dalam Islam pasukan Alī bin Abī Ṭalib ini terpaksa dihentikan,
Jakarta: Ushul Press. h. 108.
karena dari pihak Mu‘āwiyah menawarkan cara 7 Taṣawuf menurut bahasa Arab, berarti memakai penyelesaian melalui damai ( Arbitrase). Tawaran
pakaian dari ṣuf (bulu domba yang kasar, belum ini disetujui oleh Al ī secara terpaksa, hingga secara
diolah) orang yang memakainya dapat disebut ṣufi politis pihak Alī bin Abī Ṭalib dikalahkan. Keadaan
atau mutaṣawwif. Memakai pakaian dari bulu domba ini menyebabkan timbulnya kelompok yang tidak
yang kasar itu merupakan praktek yang lumrah puas dan keluar dari Alī bin Abī Ṭalib. Kelompok
dikalangan orang-orang miskin atau di kalangan ini selanjutnya disebut Aliran Khaw ārij, Murji‘ah
mereka yang masa lalu (jauh sebelum datangnya dan berbagi aliran teologi lainnya. Dalam upaya
Islam dan juga pada masa setelah datangnya Islam saling menyalahkan atas kekalahan politis tersebut,
itu di abad ke-7 M). Lihat Abdul Aziz Dahlan. 2012. alirannya tersebut menggunakan terminologi Teologi, Filsafat, Tasawuf dalam Islam, h. 169. teologi, seperti Imān, kāfir, mushrik dan seterusnya.
8 Tafsīr (Ilmu Tafsīr) adalah ilmu yang mem- Perkembangan munculnya aliran teologi ini juga
bantu orang yang mempelajari untuk memahami dipengaruhi oleh pemikiran filsafat yunani yang
kandungan al- Qur’ān secara benar sesuai dengan terjadi di zaman Abbasiyah. Atas pengaruh aliran
ajaran al-Qur’ ān itu sendiri. Di dalam ilmu ini- filsafat ini munculah aliran Mu‘tazilah, Ash‘ariyah,
pun banyak sekali cabang dan alirannya, ada yang Māturīdiyah dan sebagainya. Lihat Harun Nasution.
bercorak teologi, falsafi, sufistik, fiqhiyah dan 1978, Teologi (Ilmu Kalam). Jakarta: UI Press., Cet. 1, 45.
sebagainya. Lihat Abuddin Nata, Suwito, Masykuri dan Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf.
Abdillah, Armai Arief. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan 1982. Jakarta: Rajawali, Cet. 1, 15-20.
Ilmu Umum Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. h. 2. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015
S U PA r to DA N A h m A D Z A m A K h S A r I
Sejarah dan Peradaban Islam, Pendidikan Banyak faktor yang menyebabkan
ilmu-ilmu tersebut tidak harmonis atau di- Konferensi Pendidikan Islam Sedunia kotomis. Pada inter ilmu agama misalnya,
Islam, Dakwah Islam 9 dan lain sebagainya.
I di Makkah pada 1977 mengklasifikasikan ketidak harmonisan tersebut banyak di- ilmu kepada ilmu naqli(wahyu) dan ilmu ‘aqli
se babkan oleh kepentingan politik ke- (dicari dengan akal). Ilmu aqli itu kemudian
lom pok, metode berfikir serta aliran diklasifikasikan lagi kepada sains-sains alam
yang diyakininya, situasi dan kondisi di (natural science) dan sains kemanusiaan (social
mana seorang mujtahid ber ada, ke cer- science and humanities). 10
dasan dan latar belakang pendidikan serta hubungan sosial lainnya. Sedangkan da-
Selanjutnya ilmu-ilmu umum yang lam inter ilmu umum perbedaan terjadi
berbasiskan pada penalaran akal dan data antara lain karena perbedaan metode
empirik juga mengalami perkembangan yang dan pendekatan yang digunakan, situasi
lebih pesat lagi dibandingkan dengan ilmu- sosial politik, kecenderungan individual,
ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di kecerdasan dan keterbatasan pengetahuan,
dalam Islam. Ilmu-ilmu umum ini secara serta ideologi yang diyakininya. Adapun
garis besar dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, ilmu umum yang bercorak Naturalis terjadinya dikotomi antara ilmu agama
dengan alam raya dan fisik sebagai objek Islam dengan ilmu umum antara lain
karena adanya perbedaan pada dataran kajiannya, yang termasuk kedalam ilmu
ontologi, epistemologi dan aksiologi ini antara lain; Fisika, Biologi, Kedokteran,
kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut. Astronomi, Geologi, Botani dan sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu agama Ilmu-ilmu tersebut selanjutnya disebut
Islam bertolak dari wahyu yang mutlak sains. Kedua, ilmu umum yang bercorak benar dan dibantu dengan penalaran yang
Sosiologis dengan perilaku sosial/manusia dalam proses penggunaannya tidak boleh
sebagai objek kajiannya, yang termasuk bertentangan dengan wahyu. Sementara
ke dalam ilmu ini antara lain; Antropologi, itu, ilmu pengetahuan umum yang ada
Sosiologi, Politik, Ekonomi, Pendidikan, selama ini berasal dari barat dan berdasar
Komunikasi, Psikologi dan sebagainya. pada pendangan filsafat yang ateistik,
Ketiga, ilmu umum yang bercorak Filosofis meterialistik, sekularistik, empiristik,
Penalaran, yang termasuk kedalam ilmu ini rasionalistik, bahkan hedonistik. Dua hal
antara lain; Filsafat, Logika, Seni dan ilmu- ilmu Humaniora lainnya. 11
9 Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama & Ilmu didukung oleh etos ilmiah yang tinggi, dana yang Umum, h. 2.
berlimpah serta alat bantu penelitian yang canggih 10 Untuk laporan lebih lengkap tentang konferensi
dan lengkap. Ilmu pengetahuan yang dahulunya ini, lihat Hamid H. Bilgrami dan S. Ali Ashraf (Eds.). 1989.,
dikuasai oleh umat Islam, kini sebagai besar dikuasai The Concept of Islamic University, terj. Machnun Husein
masyarakat Barat dan Eropa. Lihat Poeradisastra. dengan judul Konsep Universitas Islam. Yogyakarta: Tiara
1980. Sumbangan Islam terhadap Peradaban Eropa dan Wacana.
Barat. Jakarta: P3M. Cet. 1, h.76.
11 Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan Muhammad R. Mirza dan Muhammad Iqbal umum bergerak amat cepat dan luar biasa sebagai
Siddiqi. 1986. Muslim Contribution to Science. Pakistan: akibat dari intensifnya kegiatan penelitian yang
Kazi Publications. Cet.1, h.17-29.
EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan
ReKonstRuKsi PemiKiRAn mullā sAdRā dAlAm integRAsi KeilmuAn
yang menjadi dasar kedua ilmu ini jelas amat Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam berbeda dan sulit ditemukan. 12 pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan Salah satu upaya untuk mengatasi dunia sekitar abad ke-7 M sampai abad ke- keadaan tersebut adalah dengan cara
15 M. Setelah itu, masa keemasan itu mulai
mengintegrasikan intern ilmu agama dan melayu, statis, bahkan mundur hingga intern ilmu umum, serta integrasi antara 15 abad ke-21 M ini. Ketika menjadi kiblat
ilmu agama dengan ilmu umum. Upaya ini ilmu pengetahuan, pendidikan Islam yang
perlu dilakukan jika tidak menginginkan berkembang adalah pendidikan Islam non- keadaan yang lebih membahayakan dikotomis yang akhirnya mampu melahirkan masa depan umat manusia. Upaya untuk intelektual muslim yang memiliki karya mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu sangat besar dan berpengaruh positif umum tersebut mulai diperkenalkan para terhadap eksistensi kehidupan manusia. Menurut Harun Nasution, ahli yang visioner sejak akhir abad ke-20, 16 cendekiawan- yang menimbulkan pro-kontra. Di satu cendekiawan Islam tidak hanya mempelajari pihak ada yang setuju tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dan filsafat dari buku
ilmu 13 tersebut dan di pihak lain ada yang yunani, tetapi menambahkan ke dalam tidak setuju. Sikap ini mirip dengan sikap hasil-hasil penyelidikan yang mereka
yang ditunjukkan oleh umat Islam ketika lakukan dalam lapangan ilmu pengetahuan
merespons pelbagai masalah sosial politik. 14 dan hasil pemikiran mereka dalam ilmu filsafat. Dengan demikian, lahirlah ahli-ahli
ilmu pengetahuan dan filosof-filosof Islam,
Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan
seperti Ibnu Haytham (w. 1039) pelopor
Ilmu Umum. h. 5-6. 13 Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang
dibidang optik dengan kamus optiknya
sekelompok pemikir hanya sebagai proses penerapan
( kitāb al-Manaẓir), al-Tūsi (w.1274) astronom
etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan
kawakan dari Damaskus yang melakukan
dan kriteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain,
penelitian tentang gerakan planet-planet,
Islam hanya berlaku sebagai kriteria etis di luar
membuat model planet (planetarium), al-
struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasarnya, bahwa
Far āzi (astronom Islam), Ibnu Sīna (ahli
ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil muncul
kedokteran, sehingga dijuluki dengan doctor
ilmu pengetahuan Islami, sebagaimana mustahilnya pemunculan ilmu pengetahuan Marxistis. Lihat Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” dalam
sedangkan politik mengatur hubungan manusia Moeflich Hasbullah. 2000. Gagasan dan Perdebatan
dengan manusia, sebagaimana diperlihatkan oleh Ali
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LSAF, Iris, Abd. Razak dan lain-lain. Kelompok ketiga, berpendapat Cidesindo. Cet. 1, h. 17-18.
bahwa agama memiliki hubungan yang erat dengan 14 Paling kurang terdapat tiga kelompok yang
politik dalam hal memberikan prinsip-prinsip etis
berpandangan berbeda-beda dalam merespons tentang ke arah mana politik tersebut dibawa. Lihat hubungan agama dan politik. Kelompok pertama,
Munawir Sadzali. 1996. Islam dan Ketatanegaraan. mereka yang mengatakan bahwa agama mengatur
Jakarta: UI Press. Cet.1, 34. A. Malik Fadjar. 2000. segala hal yang berkaitan dengan politik dan
Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Grafiti. Cet. 1. h. kenegaraan, sebagaimana diperlihatkan oleh Abul
26-26.
A’la al-Maud 15 ūdi, Hasan al-Bana dan lain-lain. Kelompok Syamsul Ma’arif. 2007. Revitasi Pendidikan Islam kedua, mereka yang mengatakan bahwa antara agama
Yogyakarta: Graha Ilmu. h. 18.
dan politik tidak ada hubungannya sama sekali. 16 Harun Nasution. 1979. Islam Ditinjau dari Agama mengaur hubungan manusia dengan Tuhan,
berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. h. 71.
Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015
S U PA r to DA N A h m A D Z A m A K h S A r I
of doctors (Avicena), al-Bīruni (ahli filsafat, mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi astronom, geografi, matematika, juga
buta” hingga mengharamkan filsafat dan sejarah), Ibnu Rushdy (filosof dan ahli fiqh,
mengkafirkan orang yang mempelajari dan sehingga dijuluki Averous), al-Khawārizmi
mengajarkannya. Ditangannya, dunia Islam
(ahli matematika, sehingga dijuluki dipenuhi dengan sisi mistis (taṣawuf). Dalam Algorismus), Ibn al-Haitham (ahli astronomi,
hal ini, bagi Sayyed Hossein Nasr serangan
sehingga dijuluki al-Hazen). Sedangkan al-Ghaz āli terhadap filsafat dianggap telah dalam ilmu agama, terdapat para ulama melumpuhkan filsafat rasionalistik dan yang mengembangkan ilmu hadith (Bukh āri
menghabisi karier filsafat sebagai disiplin Muslim abad ke-9 M), Ilmu hukum Islām
yang berbeda dari gnosis dan teknologi di (Imam Ab ū Hanīfah, Imām Mālik, Imām
seluruh wilayah Arab pada dunia Islam. 19 Shafi’i dan Ibn Hambal abad ke-7, ke-9) dan
Walaupun sikap al-Ghaz āli tersebut akhirnya lain-lain.
mendapatkan jawaban dan serangan frontal Sementara itu, pada masa dan pasca al-
dengan evaluasi kritis-akademis dari Ghaz 17 āli (w. 1111 M) dan Ibnu Khaldun (w.
Ibn Rusdy dalam Tahāfut al-Tahāfut(rancu
1406)mulailah terjadi diskursus dikotomi dalam kerancuan). Bahkan kalau dikaji ilmu yang disebabkan oleh pendapat al-
secara “nakal”, al-Ghaz āli merupakan orang Ghaz āli yang memandang sebagai farḍu ‘ain
yang paling bertanggungjawab terhadap untuk menuntut“ilmu agama” dan “ farḍu
ambruknya kecemerlangan peradaban Islam,
kifāyah” untuk “ilmu-ilmu non agama” sehingga wajar jika orientalis Philip K. Hitti mencapnya sebagai orang anti intelektual. yang telah menimbulkan ketimpangan 20
yang nyata antara kedua klasifikasi ilmu Di sisi lain, jika ditelusuri dari data tersebut. 18 Bukan itu saja al-Ghaz āli pun sejarah, sebenarnya dikotomi terhadap dalam bukunya “ Tahāfut al-falāsifah”
ilmu tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam itu sendiri, tetapi juga sudah terjadi
17 Al-Ghaz āli merupakan tokoh intelektual yang
sebelumnya, khususnya dikalangan umat
menjadi ikon khazanah keilmuan dalam Islam. Gelar
Kristen dimasa kegelapan Eropa ( the dark
yang disandangkan kepada al-Ghazāli seperti Hujjat
age). Pada masa itu eropa berada dalam
al-Islām, Zain al-Dīn, Sharaf al-Ummah dan Mujaddid merupakan simbol pengakuan terhadap kebesaran namanya dan kapasitas keilmuannya sebagai salah
19 Seyyed Hossein Nasr. 1981. Islamic Life and
seorang cendekiawan muslim ternama dalam Thought. Albany: SUNNY Press. h. 72. Sementara sejarah. Kefenomenalannya tersebut membuat ia
itu, pada karyanya yang lain Seyyed Hossein Nasr dianggap oleh banyak orang sebagai orang yang
menyatakan bahwa sekalipun al- Ghazāli telah mempunyai otoritas keagamaan terbesar setelah
menyerang filsafat, namun pengarang Tahāfut al- Nabi Muhammad SAW. Bahkan, menurut al-Subki
Falāsifah ini dianggap sebagai “filosof” juga. Kerena (w. 1370 H), seperti yang dikutip oleh Azyumardi
dia mengerti persoalan filsafat dan melakukan Azra, yang mengatakan “Seandainya ada lagi Nabi
kritik atasnya secara filosofis. Meskipun membatasi setelah Nabi Muhammad, maka manusianya adalah
ruang gerak rasionalisme Muslim, al-Ghazāli telah al- Ghazāli”. Lihat Azyumardi Azra. 2002. Historiografi
meratakan jalan bagi penyebar doktrin iluminasionis Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah
( ishrāqi) Suhrawardi (w. 587/1191) dan gnosis (‘Iirfani) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. h. 383.
mazhab Ibnu ‘Arabi (w.638/1240). Lebih detailnya 18 Baharuddin, Umiarso, Sri Minarti. 2011.
lihat dalam Seyyed Hossein Nasr. 1968. Three Muslim Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas dan Implikasi pada
Sages. Cambridge: Harvard University Press. h.55. Masyarakat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. h.
20 Philip K. Hitti. 1974. History of The Arabs. ix.
London: Macmilan Press Ltd. h.432.
EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan
ReKonstRuKsi PemiKiRAn mullā sAdRā dAlAm integRAsi KeilmuAn
kekuasaan otoriter gereja, terutama setelah Disisi lain, ada ilmuan yang memiliki
raja Roma constantine memeluk agama konsep dalam mengatasi dikotomi tersebut, Kristen. Agama Kristen resmi menjadi agama
ia adalah Mullā Sadrā 22 tokoh yang hidup negara dan agama yang berkuasa, sehingga
sezaman dengan Galileo Galilei (1564- lama kelamaan kekuasaan Paus dan pemuka
1642). Artinya ketika di Barat sedang terjadi agama kristen menjadi sedemikian besarnya,
kebuntuan pemahaman tentang ilmu dan
sehingga para raja di barat wajib tunduk agama, Mullā Sadrā telah mempunyai konsep kepada mereka, dan pada abad pertengahan
yang cemerlang untuk menjawab kebuntuan
ini manusia dianggap kurang dihargai, itu. Satu kondisi atmosfir keilmuan yang sedangkan kebenaran diukur berdasarkan sangat kontras, karena di Barat sedang ukuran dari Gereja (Kristen), bukan ukuran
terjadi konfrontasi antara ilmu dan agama. yang dibuat oleh manusia.
Sedangkan di dunia Islam hubungan ilmu Pada stadium ini kemudian Paus dan dan agama justru mengalami penguatan.
pemuka-pemuka agama Kristen kala itu Refleksi awal tentang pemikiran Mullā Sadrā menetapkan beberapa teori ilmu penge-
dapat dikemukakan bahwa ia menempatkan
tahuan dan mensucikannya men jadi teori ilmu dan agama tidak dalam posisi “konflik”, atau bahkan postulat yang “kebe narannya keduanya mempunyai tolok ukur kebenaran tidak terbantahkan”. Dengan otoritas yang
sendiri tetapi kebenaran yang diperoleh
dipak sakan melahirkan sikap otoriter dari tidaklah saling bertentangan. Metode yang gereja sendiri dalam menancapkan kuku-
digunakan untuk menemukan kebenaran
kuku kekuasaannya, sehingga siapa saja ilmu dan agama bersifat kooperatif-saling yang menentangnya akan menghadapi mendukung. Ini terlihat dari pandangannya pengadilan di mahkamah Gereja ( inkuisisi).
yang tidak menolak rasio dan empiris sebagai Orang-orang yang diadili hingga mencapai
sarana untuk memperoleh kebenaran, Di
300.000 orang, 32.000 orang Di antaranya samping ia juga menambahkan metode mendapatkan punisment dengan ganjaran sufistik untuk mencapai kebenaran hakiki. dibakar hidup-hidup. Dia antara mereka Mullā Sadrā melakukan sintesis terhadap terdapat dua ahli ilmu pengetahuan yang sumber pengetahuan yang meliputi ilu-
terkenal, yaitu Giordano Bruno dan Galileo minasi intelektual ( kashf, dhauq atau ishrāq), Galilei. Giordano Bruno dianggap menentang
penalaran atau pembuktian rasional (‘aql, gereja karena mengatakan bahwa alam ini
burhān, atau istiḍlāl) dan agama atau wahyu banyak jumlahnya. Sedangkan Galileo Galilei
shar’i atau waḥy). 23
mengatakan bahwa bumi berputar di sekitar matahari ( Heliocentris). Kedua temuan ilmiah tersebut mendapat sambutan konfrontatif h.7.
dari gereja yang mengindikasikan ototritas 22 Sadr al-Dīn Muhammad Ibnu Ibrāhīm, dikenal pengaruhnya takut terganggu oleh fakta sebagai Mullā Sadrā, lahir di Shīraz (sekarang Iran)
pada Tahun 979 H/1572 M dan meninggal dunia pada
tersebut. 21 tahun pada tahun 1050 H/1641 M. Lihat Mull ā Sadrā. 1981. Al-Ḥikmah al-Muta’āliyah fī Asfar al-’Aqliyah al- Arba’ah. Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāts Al’Arabī. h. 13.
21 Syahminan Zaini. 1989. Integrasi Ilmu dan 23 Syaifan Nur. 2002. Filsafat Wujud Mullā Sadrā. Aplikasinya menurut Al-Qur’an. Jakarta: Kalam Mulia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h.5.
Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015
S U PA r to DA N A h m A D Z A m A K h S A r I
PEMBAHASAN
meskipun secara eksplisit ia tidak pernah
Hubungan Ilmu Agama dan Ilmu Umum
membahas secara langsung hubungan sains
dalam Perspektif Mullā Sadrā
dan agama. Konsep Tauḥīd Mullā Sadrā yang berimplikasi pada kesatuan ciptaan, yakni
Apakah hubungan ilmu dan agama berada pada posisi konflik, independensi, keterhubungan (interrelatedness) bagian-
bagian alam, dan selanjutnya berimplikasi dialog atau integrasi masih menjadi per-
debatan hingga saat ini. Banyak kalangan pula pada kesatuan pengetahuan. Tauḥīd
bukan saja menjadi kerangka keimanan mengambil sikap aman pada posisi inde-
pendensi. Mereka berpendapat bahwa ilmu (frame of faith) yang menjadi dasar keyakinan
umat Islam kepada Allah, namun juga dan agama memang dua hal yang berbeda,
merupakan kerangka pemikiran baik metodologi, ukuran kebenaran dan
(frame
tujuan yang hendak dicapai, sehingga of thought) yang membangun integrasi
menempatkan keduanya pada posisi saling Pandangan Tauḥīd ini didasar-
kebenaran. 25
tidak mencampuri urusan satu dengan kan atas beberapa fiman Allah dalam al- yang lain menjadi pilihan yang terbaik. Qur’ān, yaitu Pilihan dialog sekali-kali diambil manakala
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha ada persoalan yang membutuhkan jawaban Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang segera atau sementara ketika ilmu belum Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (QS. menemukan jawabannya. Di tengah kebim-
Al Baqarah: 163)
bangan untuk memahami pada posisi mana
24 sesungguhnya ilmu dan agama berada. “Berkata Rasul-rasul mereka: “Apakah
ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta Konsep Mullā Sadrā secara ontologis
langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk terdiri atas tiga prinsip yang fundamental,
memberi ampunan kepadamu dari dosa- yaitu: Waḥdah al-Wujūd, Tashkīk al-Wujūd dan
dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu Aṣālah al-Wujūd. Mullā Sadrā mempunyai
sampai masa yang ditentukan?” mereka pandangan filosofis, terutama dalam bidang
berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia ontologi dan epistemologi yang memiliki
seperti Kami juga. kamu menghendaki untuk karakter yang kuat pada tipe integrasi
menghalang-halangi (membelokkan) Kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang
24 Secara umum terdapat tiga kajian penting
Kami, karena itu datangkanlah kepada Kami,
filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan axiologi.
bukti yang nyata”. (QS. Ibrāhīm: 10)
Ontologi membicarakan keadaan sesuatu (metafisik), Epistemologi membicarakan sumber dan cara
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak,
memperoleh sesuatu dan Axiologi membicarakan
dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain)
kegunaan dari sesuatu. Dalam filsafat Barat ketiga
beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya,
sudut pandang ini harus senantiasa dijadikan tolok ukur mengenai sesuatu. Misalnya A adalah titik-
masing-masing Tuhan itu akan membawa
titik, bersumber dari titik-titik, diperoleh dengan cara titik-titik dan gunanya untuk titik-titik. Dengan cara ini keberadaan A akan diketahui secara utuh.
25 Mustofa, “Tauḥid: Akar Tradisi Intelektual Uraian yang relatif memadai terhadap ketiga bidang
Masyarakat Muslim” dalam Intelektualisme Islam, tersebut dapat dilihat pada; Jujun S. Suriasumantri.
Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, editor 1999. Filsafat Umum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Lutfi Mustofa dan Helmi Syaifuddin. 2007. UIN h. 30.
malang: LKQS. h. 12.
EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan
ReKonstRuKsi PemiKiRAn mullā sAdRā dAlAm integRAsi KeilmuAn
makhluk yang diciptakannya, dan sebagian mereka sebut Al-ḥaqq (Sang Kebenaran, Sang dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan
Realitas Sejati).
sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa Sejalan dengan itu, para filosof Muslim, yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui
khusus Ibn Sīnā juga mengatakan bahwa semua yang ghaib dan semua yang nampak,
pada dirinya alam adalah mumkin al-wujūd Maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang
artinya wujud-wujud yang mungkin dan mereka persekutukan”. (QS. Al-Mu’minūn:
dengan itu dia maksudkan sebagai wujud 91-92)
potensi. Jadi, dalam pandangan tokoh utama peripatetik Muslim ini pada dirinya alam
Keesaan Tuhan menurut Mullā Sadrā
26 disebut sebagai ajaran hanyalah sebuah potensi bukan aktualitas, “waḥdah al-wujūd”.
dan karena itu belum lagi memiliki realitas Tentu saja konsep waḥdah al-wujūd Mullā Sadrā seperti yang kita lihat sekarang. Sebagai
ini diadopsi dari konsep sufi, khususnya Ibn potensi, alam tidak bisa mewujudkan dirinya
‘Arabi (w. 1240). Tetapi, di antara keduanya sendiri oleh dirinya. Ia membutuhkan terdapat beberapa perbedaan yang cukup (karena itu Suhrawardī menyebut alam al- mendasar. Berbeda dengan para teolog faqīr ) wujud lain yang senantiasa aktual, yaitu yang mengartikan kata “Ilāh” dalam formula Tuhan yang mandiri untuk keberadaannya. “Lā Ilāha Illallāh” dengan “Tuhan yang wajib Jadi wujud alam bukanlah milik dirinya
disembah”, para sufi mengartikan kata melainkan diberi Tuhan atau dipinjamkan “Ilāh” sebagai “hakikat” (realitas) sehingga Tuhan untuk suatu saat nanti diambil bagi mereka “Lā Ilāha Illallāh” bisa berarti
kembali. Dapat disimpulkan bahwa, baik
“tidak ada realitas yang betul-betul sejati bagi sufi maupun filosof pemilik sejati wujud kecuali Allah”. Ibn Arabī mengatakan bahwa
adalah Tuhan, Dia-lah realitas sejati ( al-ḥaqq) alam ini tidak lain daripada manifestasi- menurut para sufi dan wajib wujud menurut manifestasi ( tajalliyāt ) Allah, atau lebih para filosof, yang wujud-Nya senantiasa tepatnya manifestasi sifat- sifat, nama- aktual. Sedangkan alam, apabila dilepaskan nama, dan afāl Allah. Pada dirinya alam tidak kaitannya dengan Tuhan hanya memiliki memiliki realitas, Tuhanlah yang memberi potensi murni yang oleh Aristoteles disebut realitas tersebut kepada alam. Tuhanlah
dengan materi awal. 27
satu-satunya realitas sejati, karena itu Penjelasan Mullā Sadrā tentang waḥdah
al-wujūd ini, tampaknya telah ia adopsi dari ajaran Suhrawardī Al-Maqtūl (w.1191) tentang
26 ُّلُكَو . ِةَطا َسَبلا ُةَياَغ ِةَقْيِقَحلا ُطْي ِسَب ِدوُجُولا َبِجاَو َّنِإ cahaya. Menurutnya, cahaya pada hakikatnya ُّلُك ِدوُجُولا ُبِجاَوَف . ِءاَيْشَلأا ُّلُك َوُهَف ، َكِلَذَك ِةَقْيِقَحلا ِطْي ِسَب adalah satu, tetapi ia menjadi berbeda-beda tingkat dan intensitasnya . ِءاَيْشَلأا َنِم ٌئْيَش ُهْنَع ُجُرْخَي َلا ِءاَيْشَلأا beda tingkat dan
Wujud yang wajib ada bersifat murni, karena ada
intensitasnya karena adanya barzakh-barzakh
murni bersifat wajib ada, yang mencakup segala sesuatu
( barāzikh ) yang menyela di antaranya. Dengan
dan tidak keluar dari-Nya sesuatu apapun/ tidak bisa
demikian, semakin jauh sebuah cahaya dari
dikaitkan dengan materi dan forma. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah Al-Mutā’aliyah fi’ al-Asfār al-‘Aqliyyah al- Arba’ah(Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāth, 1981), Jilid 2,
27 Mulyadhi Kartanegara. Integrasi Ilmu; Sebuah 49.
Rekonstruksi Holistik, h.34-35.
Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015
S U PA r to DA N A h m A D Z A m A K h S A r I
sumbernya, yaitu Allah, sang Nūr al-Anwār, Dengan demikian konsep “waḥdah al- maka akan semakin redup sinarnya karena
wujūd” Mullā Sadrā dapat dijadikan sebagai
sebagian diserap oleh rangkaian barzakh basis integrasi ilmu, terutama bagi status yang amat panjang, yang seperti kaca riben
ontologis objek-objek penelitiannya.
dapat merambatkan cahaya itu pada yang Menurutnya, segala wujud yang ada di bawahnya, tetapi sebagian lagi teredam
dengan segala bentuk dan karakternya pada dirinya. Semakin jauh, semakin suram
pada hakikatnya adalah satu dan sama yang
dan ketika mencapai alam materi maka membedakan satu dengan yang lainnya cahaya itu pun telah hampir kehilangan hanyalah gradasinya ( tashkīk al-wujūd) sinarnya dan kegelapanlah yang kemudian
yang disebabkan oleh perbedaan dalam mendominasinya. Dengan mengganti “ca-
esensinya. Oleh karena itu, mereka pada haya” dengan “wujūd”, Mullā Sadrā dapat
dasarnya satu dan sama, wujud apapun yang
dengan relatif mudah mengatakan bahwa kita ketahui yang bersifat spiritual atau yang wujud seperti halnya “cahaya” dalam filsafat
materil tetntu mempunyai status ontologis Suhrawardi adalah satu dan sama dan hanya
yang sama-sama kuatnya dan sama-sama berbeda dalam derajat dan intensitasnya oleh
riilnya. Segala tingkat wujud boleh menjadi
barzakh-barzakh pada hakikatnya adalah objek yang valid bagi ilmu, karena realitas satu dan sama. Mereka berbeda hanya dalam
ontologis mereka telah ditetapkan ( fixed). gradasi disebabkan oleh modus tindakan
Integrasi antara ilmu dan agama. Ilmu esensi yang berbeda-beda. Wujūd tentu telah
dan agama bukan sesuatu yang terpisah menimbulkan rangkaian wujud-wujud yang
dan bukan pula sesuatu yang berada di berbeda derajatnya, dari Tuhan, Sang Wujūd
atas yang lain. Pandangan bahwa agama
Murni, yang tentu saja bersifat immateriil lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari ( mujarad) melalui entitas-entitas immateriil konsep tentang dikotomi ilmu dan agama. lainnya yang lebih rendah (para malaikat) Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia ke benda-benda langit ( heavenly bodies ) yang
yang memiliki kebenaran relatif yang
merupakan campuran antara benda-benda oleh karenanya memiliki posisi yang lebih materi dan entitas-entitas immateriil (jiwa
rendah di banding agama sebagai ciptaan dan akal-akal dalam pengertian Avicenna)
Tuhan yang memiliki kebenaran absolut. sampai ke benda-benda materiil seperti yang
Dalam konteks gradasi Wujūd Sadrā, ilmu kita lihat di dunia fisik. Konsep kesatuan
dapat bersifat absolut, demikian pula
wujud telah mengintegrasikan berbagai sebaliknya agama dapat bersifat relatif, wujūd yang berbeda-beda ini ke dalam
tergantung keduanya berada pada tingkat
kesatuannya yang kukuh dan memberi gradasi yang mana. Dalam tingkat dunia segala tingkat wujūd ini status ontologis
Inteleksi ilmu bersifat absolut, karena
mereka solid. Sehingga mereka tidak bisa kebenarannya menyatu dengan kebenaran dipisahkan dengan kategori riil dan tidak riil
Tuhan, demikian pula dalam tingkat dunia nyata atau ilusi. 28 indera agama bersifat relatif, karena agama
28 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Kartanegara. 2006. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Rekonstruksi Holistik, h.36. Lihat Juga Mulyadhi
Filsafat Islam. Lentera Hati: Jakarta. h. 72-73. 188
EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan
ReKonstRuKsi PemiKiRAn mullā sAdRā dAlAm integRAsi KeilmuAn
dipahami sejauh yang mampu dikonsepsikan ilmu Tuhan. Adanya pembedaan ilmu
oleh manusia. Kesatuan ilmu dan agama naqliyah (berasal dari wahyu) dan aqliyah berada pada tingkat dunia Inteleksi yang (berasal dari akal) tidak menunjukkan merupakan kebenaran Absolut. Pada bahwa ilmu naqliyah adalah ilmu Tuhan tingkatan ini ilmu dan agama berada dalam
sedangkan aqliyah adalah ilmu manusia.
kesatuan eksistensial, karena keduanya Namun konsep naqliyah dan aqliyah adalah berada di dalam dan menjadi bagian dari konsep epistemologis cara bagaimana ma- Tuhan.
nusia menemukan kebenaran. Adapun Integrasi antara ontologi, epistemologi ilmunya sendiri yang berupa ayat qauliyah
dan aksiologi 29 Dalam Islam dikenal konsep dan ayat kauniyah, keduanya merupakan iman, ilmu dan amal. Konsep ini sebenarnya
ilmu Allah. Manusia tidak memiliki ilmu
merupakan konsep teologis bahwa tetapi menguasai ilmu (karena Allah ber- keimanan harus didasarkan atas ilmu dan kuasa untuk mencabut ilmu yang di- diejawantahkan dalam amal perbuatan. kuasai manusia). Demikia pula, tepat untuk Dalam bahasa lain sering di ungkapkan dikatakan bahwa manusia bukan pencipta bahwa keimanan harus membuahkan ilmu
ilmu namun penemu ilmu.
yang amaliyah dan amal yang ilmiah. Konsep Jelaslah kiranya bahwa konsep integrasi ini secara filosofis dapat memberikan
ilmu dan agama sesungguhnya berpusat gambaran tentang hubungan yang integratif
pada Tuhan ( tauḥid),karena darinya semua antara ontologi, epistemologi dan aksiologi.
berasal dan kepadanya semua aka kembali, Ontologi berbicara masalah ada ( Wujūd),
inna lillāhi wa inna ilaihi rāji’un (segala sesuatu
dalam Islam Wujūd tertinggi adalah Allah. berasal dari Allah dan kepada-Nya semua Kenyakinan ontologis yang demikian itulah
akan kembali).
yang disebut dengan iman. Keyakinan
bahwa Wujūd tertinggi adalah Allah akan Kerangka Pendidikan Holistik
memberikan corak keilmuan Islam religius, yang tidak memisahkan antara ilmu dan
Visi pendidikan Islam telah membuat agama (aspek epistemologis). Kenyakinan per bedaan tegas antara mengajarkan ontologis dan epistemologis demikian juga
“hal-hal tentang Islam” (informatif) dan akan mewarnai pandangan aksiologis bahwa
“bagaimana menjadi Muslim sejati” (trans- ilmu tidak bebas nilai.
formatif) . Tujuan dari pendidikan Islam bukanlah untuk memberi informasi
Dengan demikian, pada hakikatnya dalam konteks kesatuan Wujūd, tidak ada tentang Islam kepada anak didik saja,
tetapi lebih menekankan bagaimana dikotomi antara ilmu Tuhan dan ilmu
men adi seorang muslim dan memberi ciptaan manusia, karena dikotomi itu akan
mereka inspirasi sehingga ilmu tersebut mengandaikan bahwa ada ilmu ciptaan
bisa ditransformasikan dalam kehidupan manusia yang seakan-akan berada di luar
mereka. Adanya perubahan paradigma
dari pendidikan yang berorientasi pada
29 M. Said Marsaoly, ia menulis artikel, “Penge-
tahuan dan Spiritualitas Berbasis Agama Sebuah
informasi ke pendidikan yang berorientasi
Tinjauan Epistemologi,” Mullā Sadrā Jurnal Filsafat
pada transformasi adalah esensial untuk
Islam dan Mistisisme. 2011. Vol. 1, No. 4. h. 38. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015
S U PA r to DA N A h m A D Z A m A K h S A r I
dilakukan jika kita benar-benar berharap ada dalam sistem pendidikan untuk dapat membangun paradigma baru pendidikan terwujudnya pendidikan holistik. 31 bagi pembangunan masyarakat muslim ideal. 30
Tabel 1: Komponen Pendidikan Holistik
Reformasi yang menyeluruh amatlah
Kompo nen
Senyatanya
Seharusnya
dibutuhkan dalam sistem pendidikan di Pendidikan dianggap dunia Muslim. Adapun pendekatan ini Pendidikan dipandang
sebagai disiplin
secara holistik
berdasarkan pada empat komponen inti; dan menyeluruh
yang terpisah;
Visi
partikularistik, masih berparadigma
Pertama, kerangka konseptual terpadu
memakai paradigma
rekonstruktif.
mekanistik (model
tentang pendidikan yang berdasarkan
perusahaan) prinsip Tauḥīd dan pendidikan holistik. Kedua, Pembelajaran
Pembelajaran
tinjauan ulang terhadap tujuan pendidikan
bersifat tradisional;
bersifat modern,
sekadar informatif,
transformatif,
dan komponennya bagi pengembangan Isi
tidak relevan dengan realistik, kurikulum
karakter kehidupan riil siswa (character development). Ketiga, berbasis kehidupan fokus pada instruksi/ riil merekonstruksi kurikulum atau gagasan-
pengajaran textbook.
gagasan besar (powerful ideas) yang mempunyai
struktur tidak
gagasan bersifat
kekuatan untuk mentransformasikan kepri-
koheren atau
poweful (powerful
badian. ideas); mampu Keempat , penetapan ulang peng-
disusun oleh disiplin
Struktur akademik yang rigid. memberi inspirasi
alaman mengajar dan belajar ke arah dan transformasi,
mampu membangun
proses pembelajaran penemuan/pencarian
kepribadian.
(discovery learning).
Metode
didaktik (ceramah
discovery learning;
Dalam tabel di bawah ini, penulis terpusat pada siswa,
dan kuliah); guru
meng identifikasi berdasarkan komponen- pengajaran bervariasi,
sebagai pusat, satu
model untuk semua
gaya pembelajaran
siswa, tidak menarik
yang variatif, guru
komponen pendidikan yang seharusnya
dan tidak inspiratif.
sebagai penunjuk (guide), modellling dan mentoring,
30 Jika kita menginginkan posisi yang penting model pembelajaran dalam percaturan dunia saat ini, maka reformasi terpadu/integrated learning model (ilm)
pendidikan mesti dilakukan. Reformasi akan membutuhkan pemikiran ulang dalam penstrukturan
life mastery; terpusat ulang elemen-elemen kunci dari sebuah lembaga
Program terfokus pada masa
pada hal-hal kekinian pendidikan seperti kerangka konseptual, isi, struktur
lampau ‘tentang
Islam’ sebagai
‘tentang menjadi
dan proses pendidikan. Perlu dicatat juga di sini muslim; Islam sebagai
agama, ritual-
bahwa usaha reformasi serupa juga sekarang lagi gaya hidup; Islam untuk pemahaman dilakukan oleh dunia pendidikan Barat. Tuntutan
ceremonial.
atau penguasaan untuk menerapkan pendidikan yang holistik,
hidup/is/am for life pengajaran terpadu, pembelajaran kooperatif,
mastery (ilm) pendidikan karakter, pembelajaran penemuan
(discovery learning), dan penilaian otentik sangat banyak ditemukan dalam literatur pendidikan. Adapun konsep pendidikan Islam merupakan usaha untuk melakukan reformasi yang sesuai dengan tuntutan- tuntutan tersebut (dari model industri ke model humanis), yakni lebih natural, otentik dan efektif. Lihat M. Zainuddin, “Paradigma Pendidikan
31 M. Zainuddin. 2007. Paradigma Pendidikan Islam Holistik,” Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1. 2011.:
Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulūl Albāb. Malang: UIN 83.
Press. h. 97.
EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan
ReKonstRuKsi PemiKiRAn mullā sAdRā dAlAm integRAsi KeilmuAn
Tujuan
Perolehan informasi
Beyond schooling;
menjadi landasan tentang bagaimana kita
ansich, pengetahuan bagaimana belajar dan keterampilan
mendidik anak, termasuk apa yang diajarkan
(how to learn),
hanya untuk
pembelajaran
(isi), bagaimana kita mengorganisir apa
perolehan pekerjaan seumur hidup,
yang harus diajarkan (struktur), dan
pengembangan
manusia seutuhnya
bagaimana kita mengajarkannya (proses).
Penilaian tes formal
Authentic
Akhirnya,
Tauḥīd haruslah membentuk
berdasarkan buku,
assessment; tugas
benar atau salah,
otentik, berhubungan
fondasi pemikiran, metodologi dan praktik
lulus atau tidak lulus, dengan dunia riil, tes standar.
pendidikan kita.
penilaian bersifat
multi intelligensi
Konsep pendidikan Islam mestilah dirancang sebagai pendidikan yang benar-
Wilayah pertama yang perlu direformasi benar holistik dan terpadu. Holistik dalam
adalah visi atau kerangka konseptual hal visi, isi, struktur dan proses dan terpadu
pendidikan secara menyeluruh. Pendidikan dalam pendekatannya baik terhadap
bermula dari prinsip Tauḥīd (keutuhan dan kurikulum (baik bagaimana dan apa yang
keterpusatan pada Tuhan). Hal inilah yang harus diajarkan), pengetahuan yang
menjadi dasar pijakan dalam pandangan menyatupadukan dengan praktik, aplikasi
dunia pendidikan. Prinsip Tauḥīd mencakup dan pelayanan. Konsep ini menegaskan
konsep filosofis maupun metodologis bahwa aspek-aspek integratif secara
yang terstruktur dan koheren terhadap signifikan akan meningkatkan kekuatan, pemahaman kita terhadap dunia dan seluruh
relevansi dan keefektifan pengalaman belajar aspek kehidupan. Tauḥīd mengajarkan
dan mengajar. Konsep ini mengadvokasikan kita untuk menghimpun pandangan
pendekatan holistik dalam pendidikan. yang holistik, terpadu dan komprehensif
terhadap pendidikan. 32 Pendidikan modern
Tabel 2: Aspek Holistik Pendidikan
(baik Islam maupun Barat) secara umum
berdasarkan pandangan pendidikan yang Contoh tidak koheren dan parsial. Akibatnya, siswa
Aspek Holistik
Pembelajaran seumur hidup,
dan guru jarang sekali punya pandangan
Tujuan
bersifat komprehensif, menjadikan
yang sama tentang proses pendidikan anak didik sebagai khairu ummah. secara menyeluruh. Kebanyakan siswa
Pandangan
Pemahaman anak secara utuh;
meninggalkan sekolah sekitar umur 13-17 pikiran, tubuh, jiwa, multi
Terhadap Anak
intelegensi, dan juga gaya belajar.
tahun tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas, bahkan yang mereka pikirkan hanya
Gagasan yang poweful dan
mendapatkan kerja. Lebih dari itu, prinsip
Apa yang harus di pertanyaan-pertanyaan brillian
Tauḥīd terhadap dunia secara utuh menuntut para pendidik mempunyai
ajarkan
(multikultural).
pandangan yang menyeluruh dan tujuan
sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu Kurikulum terpadu; pembelajaran
sendiri. Oleh karena itu, konsep Tauḥīd harus
Bagaimana
Sesuai dengan kemampuan anak
didik, pengajaran yang bervariasi, 32 M. Zainuddin, ia menulis artikel “Paradigma
mengajarkannya
pemanfaatan lingkungan.
Pendidikan Islam Holistik,” Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1. 2011. h. 85.
Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015
S U PA r to DA N A h m A D Z A m A K h S A r I
Adapun prinsip Tauḥīd (holistik, terpadu, fungsi yang berbeda. Suatu rencana atau
terpusat pada Tuhan) adalah prinsip program kurikulum tidak akan bermakna dasar dari pendekatan tarbiyah. Selain manakala tidak diimplementasikan dalam itu, terdapat sejumlah prinsip lainnya pembelajaran. Sebaliknya tanpa kurikulum yang mendukung terbentuknya kerangka yang jelas maka sejatinya pembelajaran teoritis dari pendekatan tersebut. Beberapa
tidak akan berlangsung secara efektif. Hal prinsip itu berasal dari adanya perenungan
ini sesuai yang dikemukakan oleh Saylor,
terhadap proses pertumbuhan dan Alexander dan Lewis, “Without a curriculum
or plan, there can be no efektive instruction and dituangkan melalui konsep Waḥdah al-
perkembangan alam. 33 Prinsip Tauḥīd yang
without instruction the curriculum has little Wujūd Mullā Sadrā sangat berguna untuk
meaning”. Landasan pokok penyusunan mengafirmasi status ontologis objek-objek
kurikulum islami harus memuat prinsip: ilmu yang dalam tradisi ilmiah barat hanya
a) Mengandung nilai kesatuan dasar bagi dibatasi pada objek-objek fisis atau empiris
persamaan nilai Islam pada setiap waktu
dengan alasan bahwa hanya objek-objek dan tempat.b) mengandung nilai kesatuan fisiklah yang status ontologisnya tidak
kepentingan dalam mengembangkan bisa diragukan karena bisa ditngakap oleh
misi ajaran Islam.c) mengandung materi indera, sedangkan objek-objek lainnya yang
yang bermuatan pengembangan spiritual, intelektual dan jasmaniah. nonfisik diragukan satatus ontologisnya 35 karena tidak bisa ditangkap oleh indera.
Bertolak dari rumusan UU Sistem Pen- Dengan demikian, epistemologi Islam telah
didikan Nasional RI No. 20 tahun 2003 mencoba mengintegrasikan seluruh sumber
pasal 339, yang mengisyaratkan bahwa ilmu yang bisa dimiliki manusia dalam satu
tujuan pendidikan Indonesia mengarahkan kesatuan yang utuh dan holistik. 34 warganya kepada kehidupan yang beragama.
Maka sebagai salah satu bentuk realisasi
Kurikulum Berbasis Integrasi
dari UU Sisdiknas tersebut, Integrasi adalah alternatif yang harus di pilih untuk
Kurikulum dan pembelajaran merupa- menjadikan pendidikan lebih bersifat
kan dua hal yang tidak dipisahkan walaupun menyeluruh (integral-holistik). Gagasan keduanya mempunyai kedudukan dan
integrasi (nilai-nilai islami/agama dan umum) ini bukanlah sebuah wacana untuk
33 M. Zainuddin, ia menulis artikel “Paradigma
meraih simpatik akademik, melainkan
Pendidikan Islam Holistik,” Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1. 2011. h. 86.
sebuah kebutuhan mendesak yang harus 34 Prinsip waḥdah al-wujūd dalam filsafat Sadrā