BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Laju Angkutan Sedimen untuk Perencanaan Kantong Lumpur pada D.I. Perkotaan Kabupaten Batubara”

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

  Air adalah zat atau materi atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang di ketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain dalam sistem tata surya dan hampir menutupi 71% permukaan bumi (Suripin, 2001).

  Manusia mutlak membutuhkan air, begitu juga tumbuhan dan binatang. Air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi di bumi. Semua makhluk hidup di bumi mutlak membutuhkan air, tanpa air semua akan mati. Bisa dikatakan bahwa air merupakan salah satu sumber kehidupan.

  Untuk tanaman, kebutuhan air juga mutlak dibutuhkan. Pada kondisi tidak ada air terutama pada musim kemarau tanaman akan segera mati. Sehinggga dalam pertanian disebutkan bahwa kekeringan merupakan merupakan bencana terparah dibandingkan dengan bencana lainnya. Bila kebanjiran tanaman masih bisa hidup, kekerungan pupuk juga masih bisa hidup.

  Air bersifat sumber daya alam yang terbarukan dan dinamis. Artinya sumber utama air yang berupa hujan akan selalu turun sesuai dengan waktunya atau musimnya sepanjang tahun.

  Sebagian air hujan yang turun ke permukaan tanah mengalir ke tempat- tempat yang rendah dan setelah mengalami bermacam perlawanan akibat gaya berat, akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari air hujan disebut alur

  7 sungai. Perpaduan antara alur sungai dengan aliran air di dalamnya disebut sungai (Sosrodarsono, 1984).

  Daerah Aliran Sungai disingkat DAS adalah air yang mengalir pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana air tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul pada kawasan tersebut. Adapun DAS berguna untuk menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya melalui sungai.

  Sumber daya air adalah air, sumber air dan daya air yang terkandung didalamnya. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah (UU No. 7 2004).

  Dalam proses perjalanannya sumber daya air dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Daya air dipakai untuk energi misalnya pembangkit tenaga air (PLTA). Mata air dipakai sebagai salah satu sumber air, demikian pula waduk dipakai sebagai wadah air yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Air baku digunakan untuk irigasi, air bersih dipakai untuk keperluan domestik dan nondomestik. Secara alami dipakai tumbuhan (flora) dan binatang (fauna) untuk melangsungkan kehidupannya.

  Sungai sebagai sumber air merupakan sumber alam yang memiliki multi fungsi bagi kehidupan manusia, salah satunya adalah penyediaan air untuk pengairan/irigasi. Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Jaringan irigasi dalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, dan penggunaannya. Suatu kesatuan wilayah yang mendapatkan air dari suatu jaringan irigasi disebut dengan Daerah Irigasi.

2.2 Erosi

  Secara umum erosi dan sedimentasi proses terjadinya perlepasan butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut oleh gerakan air dan angin kemudian diikuti dengan preoses pengendapan pada tempat yang lain (Suripin, 2001).

  Lahan pertanian paling rentan terjadinya erosi. Lahan-lahan pertanian yang ditanami terus-menerus tanpa istirahat (fallow), dan tanpa disertai pengelolaan tanaman, tanah, dan air yang baik dan tepat, khususnya daerah yang curah hujannya mencapai 1500 mm per tahun, akan mengalami penurunan produktif tanah. Penurunan kesuburan tanah ini bisa disebabkan oleh menurunnya tingkat kesuburan tanah, yang dikarenakan unsur hara dalam tanah hilang bersamaan dengan terjadinya proses erosi.

  Bahaya erosi ini banyak terjadi pada daerah-daerah lahan kering yang memiliki kemiringan lereng sekitar 15% atau lebih. Keadaan ini sebagai akibat dari pengelolaan tanah yang keliru, tidak mengikuti kaidah-kaidah air dan tanah, dan akibat pola pertanian yang berpindah-pindah setiap tahunnya (shifting

  cultivation) (Suripin, 2001).

  Dua sebab utama terjadinya erosi adalah karena sebab alamiah dan aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena adanya pembentukan tanah dan proses yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Sedangkan erosi karena ativitas manusia disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidah-

kaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak

keadaan fisik tanah.

2.2.1 Mekanisme Erosi

  Erosi tanah terjadi melalui tiga tahapan, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari massa tanah dan tahap pengankutan oleh media yang erosif seperti pada aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap ke tiga yaitu pengendapan (Suripin, 2001).

  Percikan air hujan merupakan penyebab terjadinya erosi tanah. Tetesan air hujan adalah media utama pelepasan partikel tanah. Pada saat butiran air hujan mengenai permukaan tanah yang gundul, partikel tanah dapat terlepas dan terlempar sampai beberapa centimeter ke udara. Pada lahan datar partikel-partikel tanah tersebar lebih kurang merata ke segala arah, tapi untuk lahan miring terjadi dominasi kearah bawah searah lereng. Partikel-partikel tanah yang terlepas ini akan menyumbat pori-pori tanah sehingga akan menurunkan kapasitas dan laju infiltrasi. Pada kondisi dimana intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan terjadi genangan air di permukaan tanah, yang kemudian akan menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan ini menyediakan energi untuk mengangkut partikel-partikel yang terlepas baik oleh tetesan air hujan maupun oleh adanya aliran permukaan itu sendiri. Pada saat aliran permukaan menurun dan tidak mampu lagi mengangkut partikel tanah yang terlepas, maka partikel tanah tersebut akan diendapkan (Suripin, 2001).

  Ada beberapa bentuk erosi tanah yang dapat terjadi, yaitu:

  1. Erosi Percikan Erosi percikan (splash erosion) adalah proses terlepas dan terlemparnya

partikel-partikel tanah dari massa tanah akibat tenaga kinetik air hujan bebas atau

  

sebagai air lolos secara langsung. Tenaga kinetik tersebut ditentukan oleh dua hal,

massa dan kecepatan jatuhan air. Tenaga kinetik bertambah besar dengan

bertambahnya besar diameter air hujan dan jarak antara ujung daun penetas (driptis) dan permukaan tanah (pada proses erosi di bawah tegakan vegetasi).

  

Ada tiga tahapan terjadinya erosi percikan, antara lain (Suripin, 2002) :

 Terjadinya pengemburan yang cepat pada permukaan tanah sehingga

kohesinya munurun, akibatnya laju erosi percikan meningkat.

   Terjadi pemadatan permukaan akibat pukulan air hujan yang jatuh sehingga tebentuk lapisan kerak tipis yang akan menurunkan jumlah partikel tanah yang terlempat ke udara dan meningkatkan air permukaan.

   Terjadinya turbulensi aliran permukaan yang mampu mengangkut sebagian lapisan kerak pada permukaan tanah.

  2. Erosi Kulit Erosi kulit (sheet erosion) adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air limpasan (runoff). Tipe erosi ini disebabkan oleh kombinasi air hujan dan air limpasan yang mengalir ke tempat yang lebih rendah. Berdasarkan sumber tenaga penyebab erosi kulit, tenaga kinetik air hujan lebih penting karena kecepatan air jatuhan lebih besar, yaitu antara 0,3 sampai 0,6 m/dtk. Tenaga kinetik air hujan

akan menyebabkan lepasnya partikel-partikel tanah dan bersama-sama dengan

pengendapan sedimen di atas permukaan tanah, menyebabkan turunnya laju infiltrasi karena pori-pori tanah tertutup oleh kikisan partikel tanah. Bentang lahan dengan komposisi lapisan permukaan tanah atas yang rentan/lepas terletak diatas

  

lapisan bawah permukaan yang solid merupakan bentang lahan dengan potensi

terjadinya erosi kulit besar. Besar kecilnya tenaga penggerak terjadinya erosi kulit ditentukan oleh kecepatan dan kedalaman air limpasan.

  3. Erosi Alur Erosi alur (rill erosion) adalah pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh aliran air limpasan yang terkonsentrasi sehingga membentuk alur-alur kecil. Hal ini terjadi ketika air limpasan masuk ke dalam cekungan permukaan tanah, kecepatan air limpasan meningkat dan akhirnya terjadilah laju angkutan sedimen.

  Tipe erosi alur umumnya dijumpai pada lahan-lahan garapan dan

dibedakan dari erosi parit (gully erosion) dalam hal erosi alur dapat diatasi dengan

pengerjaan/pencangkulan tanah. Tipe erosi ini terbentuk oleh tanah yang

kehilangan daya ikat partikel-partikel tanah sejalan dengan meningkatnya

kelembapan tanah di tempat tersebut. Kelembapan tanah yang berlebihan akan mengakibatkan tanah longsor. Bersama dengan longsornya tanah, kecepatan air

limpasan meningkat dan juga terkonsentrasi di tempat tersebut. Limpasan ini akan

mengangkut sedimen hasil erosi dan ini menandai awal dari terjadinya erosi parit.

  4. Erosi Parit Erosi parit (gully erosion) akan membentuk jajaran parit yang lebih dalam

dan lebar dan merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur. Erosi parit dapat

diklasifikasikan sebagai parit bersambungan dan parit terputus-putus. Erosi parit terputus dapat dijumpai di daerah yang bergunung. Erosi tipe ini biasanya diawali oleh adanya gerusan yang melebar dibagian atas hamparan tanah miring yang berlangsung dalam waktu relatif singkat akibat adanya air limpasan yang besar. Kedalaman erosi parit ini menjadi berkurang pada daerah yang kurang terjal.

Erosi parit bersambungan berawal dari terbentuknya gerusan-gerusan permukaan

tanah oleh air limpasan kearah tempat yang lebih tinggi dan cenderung berbentuk jari-jari tangan. Pada tahap awal, proses pembentukan erosi parit tampak mempunyai kecenderungan kearah keseimbangan dinamis. Pada tahap lanjutan,

proses pembentukan erosi parit tersebut akan kehilangan karekteristik dinamika

perkembangan gerusan-gerusan pada permukaan tanah oleh aliran air dan pada akhirnya terbentuk pola aliran-aliran kecil atau besar yang bersifat permanen. Namun demikian, proses pembentukan erosi parit tidak selalu beraturan seperti

yang disebut diatas. Pada kondisi tertentu, terutama oleh perubahan-perubahan

geologis karena pengaruh aktivitas manusia, proses erosi parit tidak pernah

sampai pada tahap lanjutan. Secara umum erosi parit dapat terjadi serentak atau

pada waktu yang berbeda.

  5. Erosi Tebing Erosi tebing (stream bank erosion) adalah erosi yang terjadi akibat pengikisan tebing tanah oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh

terjangan air sungai yang kuat terutama pada daerah tikungan-tikungan sungai.

  Dua proses berlangsungnya erosi tebing sungai adalah oleh adanya gerusan aliran sungai dan oleh adanya longsoran tanah pada tebing sungai. Proses yang pertama berkorelasi dengan kecepatan aliran sungai. Semakin cepat laju aliran sungai

(debit puncak atau banjir) semakin besar kemungkinan terjadinya erosi tebing.

  Erosi tebing sungai dalam bentuk gerusan dapat berubah menjadi tanah longsor ketika permukaan sungai surut (meningkatnya gaya tarik kebawah) sementara

pada saat bersamaan tanah tebing sungai telah jenuh. Dengan demikian, longsoran tebing sungai terjadi setelah debit yang kedua lebih ditentukan oleh keadaan kelembapan tanah di tebing sungai menjelang terjadinya erosi. Dengan kata lain, erosi tebing sungai dalam bentuk longsoran tanah terjadi karena beban meningkat

oleh adanya kelembapan tanah yang tinggi dan beban ini lebih besar dari pada

gaya yang mempertahankan tanah tetap pada tempatnya.

  6. Erosi Internal Erosi internal (internal or surface erosion) adalah proses tersangkutnya

partikel-partikel tanah masuk ke celah-celah atau pori-pori akibat adanya aliran

bawah permukaan. Akibat erosi ini tanah menjadi kedap air dan udara, sehingga

menurunkan kapasitas infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan atau erosi

alur.

  Erosi bawah permukaan juga berupa erosi terowongan (piping), diman tanah tersangkut kebagian ke bagian bawah dan terbentuk semacam pipa dan terowongan dari permukaan ke bawah tanah. Erosi jenis ini hanya terjadi di tanah- tanah tertentu yang kurang baik untuk pertanian.

  7. Tanah Longsor Tanah longsor (land slide) merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan dan pergerakan massa tanah pada suatu saat dalam volume yang relatif besar.

Berbeda dengan jenis erosi yang lain, pada tanah longsor pengangkutan tanah

terjadi sekaligus dalam jumlah yang besar.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi

  Pada dasarnya erosi adalah akibat dari interaksi kerja antara faktor iklim,

topografi, tumbuh-tumbuhan dan manusia terhadap lahan. adapun faktor-faktor

tersebut antara lain:

  2.2.2.1 Iklim Pengaruh iklim terhadap erosi dapat bersifat langsung atau tidak langsung.

  Pengaruh langsung adalah melalui tenaga kinetis air hujan, terutama intensitas dan

diameter butiran air hujan. Pada hujan yang intensif dan berlangsung dalam waktu

pendek, erosi yang terjadi biasanya lebih besar daripada hujan dengan intensitas lebih kecil dengan waktu yang lebih lama. Pengaruh iklim tidak langsung ditentukan melalui pengaruhnya terhadap pertumbuhan vegetasi.

  Di daerah beriklim basah, faktor yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, sehingga jumlah dan kecepatan aliran permukaan

meningkat dan kerusakan oleh erosi juga meningkat. Besarnya curah hujan adalah

volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Besarnya curah hujan dapat

dinyatakan dalam meter kubik per areal atau dinyatakan tinggi jumlah air yaitu

mm. Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau massa

tertentu seperti per hari, per bulan, per musim atau per tahun. Kemampuan hujan untuk menyebabkan erosi disebut daya erosi atau erosivitas hujan.

  Intensitas curah hujan adalah menyatakan besar curah hujan yang jatuh

dalah waktu yang singkat yaitu 5, 10, 15, atau 30 menit, yang dinyatakan dalam

mm/jam atau cm/jam (Rauf A, 2011).

  2.2.2.2 Topografi Kemiringan lereng dan panjang lereng adalah dua unsur karakteristik

topografi yang paling menentukan terhadap aliran permukaan dan erosi. Selain memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan dengan demikian memperbesar energi angkut air. Kecepatan air limpasan yang besar umumnya ditentukan oleh kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang serta terkonsentrasi pada saluran-saluran sempit yang mempunyai potensi besar terjadinya erosi alur dan

erosi parit. Kedudukan lereng juga menentukan besar kecilnya erosi. Lereng

bagian bawah lebih mudah tererosi daripada lereng bagian atas karena momentum air limpasan lebih besar dan kecepatan dan terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah.

  Daerah tropis vulkanik dengan topografi bergelombang dan curah hujan tinggi sangat potensial untuk terjadinya erosi dan tanah longsor. Oleh karena itu,

dalam program konservasi tanah dan air di daerah tropis, usaha-usaha pelandaian

permukaan tanah seperti pembuatan teras di lahan-lahan pertanian, peruntukan

tanah-tanah dengan kemiringan lereng besar untuk kawasan lindung seringkali dilakukan. Usaha tersebut dilakukan terutama untuk menghindari terjadinya erosi yang dipercepat dan meningkatnya tanah longsor.

2.2.2.3 Vegetasi

  Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat kurang.

  Adapun pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah sebagai berikut (Asdak, 2007):

  1. Melalui fungsi melindungi permukaan tanah dari tumbuhan air hujan

  2. Menurunkan kecepatan air limpasan

  3. Menahan partikel-partikel tanah agar tetap pada tempatnya 4. Mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air.

  Dalam meninjau vegetasi terhadap mudah-tidaknya tanah tererosi, harus dilihat apakah vegetasi penutup tanah tersebut mempunyai struktur tajuk yang berlapis sehingga dapat menurunkan kecepatan terminal air hujan dan memperkecil diameter tetesan air hujan. Telah dikemukakan bahwa yang lebih

berperan dalam menurunkan besarnya erosi adalah tumbuhan bawah karena

tumbuhan bawah merupakan stratum vegetasi terakhir yang akan menentukan

besar kecilnya erosi percikan. Dengan kata lain, semakin rendah dan rapat tumbuhan bawah semakin efektif pengaruh vegetasi dalam melindungi permukaan

tanah terhadap ancaman erosi karena akan menurunkan besarnya tumbukan

tetesan air hujan ke permukaan tanah. Oleh karena itu dalam melaksanakan program konservasi tanah dan air melalui vegetasi, sistem pertanaman (tanah

pertanian) dan pengaturan struktur tegakan (vegetasi hutan) diusahakan agar

tercipta struktur pelapisan tajuk yang serapat mungkin. Hutan yang terpelihara dengan baik, terdiri dari pepohonan yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah, seperti rerumputan, semak atau perdu, dan belukar merupakan pelindung tanah yang ideal terhadap bahaya erosi.

2.2.2.4 Tanah Tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda.

  Kepekaan erosi tanah yaitu mudah tidaknya tanah tererosi adalah fungsi berbagai

interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi

kepekaan erosi adalah sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi,

permeabilitas, dan kapasitas menahan air dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi

ketahanan struktur tanah disperse dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh

dan aliran permukaan.

2.2.2.5 Manusia Manusia sangat berperan dalam mempercepat proses terjadinya erosi.

  Manusia merupakan faktor sangat menentukan apakah suatu tanah yang

diusahakannya akan rusak atau produktif secara berkelanjutan. Banyak faktor

yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijak sehingga menjadi lebih baik dan dapat

memberikan pendapatan yang cukup dalam jangka waktu yang tidak terbatas.

Adapun faktor yang berkenaan dengan fungsi manusia terhadap tanah yang

diusahakannya dengan erosi antara lain (Rauf A, 2011):

   Luas tanah pertanian yang diusahakan  Sistem pengusaha tanah  Status pengusahaan tanah  Tingkat pengetahuan dan keterampilan  Harga hasil usaha tani  Ikatan hutan  Pasar dan sumber keperluan usaha tani  Infrastruktur dan fasilitas kesejahteraan  Mentalitas manusia itu sendiri Meskipun faktor-faktor tersebut dapat diprediksi menggunakan teknologi canggih yang berkembang saat ini, tapi fenomena alam merupakan rahasia alam

yang sangat sulit untuk diprediksi dengan tepat. Menurut Wischemeier dan Smith

dalam Asdak (2007) menyebutkan bahwa ada empat faktor utama yang dianggap

terlibat dalam proses erosi, yaitu; sifat tanah, topografi, dan vegetasi penutup

tanah. Keempat faktor tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menentukan laju

erosi tanah melalui sebuah persamaan umum yang dikenal sebagai USLE (Universal Soil Loss Equation).

2.2.3 USLE Sebagai Model Perkiraan Besarnya Erosi

  Untuk menghitung prediksi erosi yang terjadi pada suatu DAS dapat

menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Prediksi erosi

adalah suatu pendugaan besarnya erosi yang dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, topografi dan penggunaan lahan. Menyadari adanya keterbatasan dalam

memperkirakan besarnya erosi untuk tempat-tempat di luar lokasi yang telah

diketahui spesifikasi tanahnya tersebut, maka di kembangkan cara untuk memperkirakan besarnya erosi dengan menggunakan persamaan matematis seperti dikemukakan oleh Wischemeier dan Smith (1978) (Asdak, 2007).

  USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata- rata erosi jangka panjang dari erosi alur di bawah keadaan tertentu. USLE

dikembangkan di USDA-SCS (United State Departemen of Agriculture-Soil

Conservation Service) bekerja sama dengan Universitas Purdue oleh Wischemeier

dan Smith, 1965. Berdasarkan analisis statistic terhadap lebih dari 10.000 tahun

data erosi dan aliran permukaan, parameter fisik, dan pengelolaan di kelompokkan

menjadi lima variabel utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan dengan numeris (Suripin, 2001).

  Rumus USLE dapat dinyatakan sebagai: Ae = R x K x LS x C x P …………………………………………(2.1) Dimana:

  Ae = perkiraan besarnya jumlah erosi (ton/ha/tahun) R = faktor erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (mm) K = indeks erodibilitas tanah LS = indeks panjang dan kemiringan lereng C = indeks pengelolahan lahan P = indeks upaya konservasi tanah atau lahan

2.2.3.1 Faktor Erosivitas Hujan (R)

  Faktor erosivitas hujan adalah kemampuan air hujan sebagai penyebabkan

timbulnya erosi yang bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan.

  Erosivitas hujan tahunan yang dapat dihitung dari data curah hujan yang diperoleh

dari pengukuran hujan. Erosivitas hujan merupakan fungsi dari energi kinetik total

hujan dengan intensitas hujan maksimum Selama 30 menit. Perlu diperhatikan

juga bahwa curah hujan bulanan rata-rata yang digunakan adalah data jangka panjang minimal 5 tahun dan akan lebih baik jika 20 tahun atau lebih. Faktor erosivitas hujan bulanan (R ) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: m

1.36 R m = 2.21 (Rain) m

  ………………………………………………… (2.2) Untuk memperoleh nilai R dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan sebagai berikut: R = 2.21

  ∑ ……………………………………………………(2.3) Dimana: R = Erosivitas Curah Hujan Tahunan Rata-rata (mm) R m = Erosivitas Curah Hujan Bulanan (cm) (Rain) m = Curah hujan bulanan (cm) Nilai erosivitasi hujan setahun dihitung dihitung dengan menjumlahkan erosivitas hujan bulanan selama satu tahun (12 bulan).

2.2.3.2 Faktor Erodibilitas Tanah (K)

  Faktor erodibilitas tanah, atau faktor kepekaan erosi tanah (K) merupakan daya tahan tanah baik terhadap pengelepasan dan pengangkutan, terutama

tergantung pada sifat-sifat tanah, seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan geser,

kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan kimiawi. Atau faktor

erodibilitas tanah adalah jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun per satuan indeks daya erosi. Faktor erodibilitas tanah adalah indeks kuantitatif kerentanan tanah terhadap erosi air. Indeks erodibilitas tanah ini ditentukan untuk tiap satuan lahan. Indeks ini memerlukan data ukuran partikel tanah, % bahan organik, struktur tanah dan permeabilitas tanah. Data tersebut didapat dari hasil

analisis laboratorium contoh tanah yang diambil di lapangan atau dari data dalam

laporan survei tanah yang dilampirkan pada peta tanah. Ketersediaan peta satuan tanah pada penelitian ini sangat membantu dalam efisiensi waktu dan biaya dalam

menentukan faktor K. Apabila tidak tersedianya peta satuan tanah maka faktor K

dapat ditentukan dari penyelidikan lapangan dan menentukan nilai K dengan menggunakan nomograf seperti gambar 2.1 berikut.

  Sumber: (Suripin, 2001)

Gambar 2.1 Nomograf untuk Menghitung Nilai Erodibilitas Tanah (K)

  Dalam Satuan Metrik (Wischmeier, et.al., 1971) x 12

  1,14 .M (10

  2 Lambat sampai sedang 2,0

  Atau nilai K secara pendekatan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Rauf A, 2011): K = {2.713

  satuan metrik pada gambar 2.1.

Tabel 2.1 dan tabel 2.2 digunakan untuk menentukan nilai kode yang terdapat pada nomograf untuk menghitung nilai erodibilitas tanah (k) dalam

  6 Sumber: Wischmeier dan Smith, 1978, dalam Suripin 2001

  5 Cepat > 25,4

  4 Sedang sampai cepat 12,7

  3 Sedang 6,3

  1 Lambat 0,5

Tabel 2.1 Kode Struktur Tanah Kelas Struktur Tanah (ukuran diameter) Kode

  Sangat lambat < 0,5

Tabel 2.2 Kode Permeabilitas Profil Tanah Kelas Permeabilitas Kecepatan Kode

  4 Sumber: Wischmeier dan Smith, 1978, dalam Suripin, 2001

  3 Berbentuk blok, pelat, masif

  2 Granuler sedang sampai kasar (2 sampai 10 mm)

  1 Granuler halus (1 sampai 2 mm)

  Granuler sangat halus (< 1 mm)

  • – 2,0
  • – 6,3
  • – 12,7
  • – 25,4
    • 4

  • – a) + 3,25 (b - 2)+2,5(c - 3)} /100 ……...(2.4) Dimana: K = Factor erodibilitas tanah M = Persentase ukuran partikel a = Persentase bahan organik b = Kode kelas struktur tanah c = kode Kelas permeabilitas tanah

Tabel 2.3 Nilai M untuk Beberapa Tekstur Tanah Kelas Tekstur Tanah Nilai M

  Lempung Berat 210 Lempung Sedang 750 Lempung Pasiran 1213 Lempung Ringan 1685 Geluh Lempung 2160 Pasir Lempung Liatan 2830 Geluh Lempungan 2830 Pasir 3035 Pasir Geluhan 1245 Geluh Berlempung 3770 Geluh Pasiran 4005 Geluh 1390 Geluh Liatan 6330 Liat 8245 Campuran merata 4000

  Sumber: Suripin (2001)

Tabel 2.3 digunakan untuk menentukan nilai m (persentase ukuran partikel) dalam menghitung nilai k pada persamaan 2.4.

  Nilai erodibilitas tanah dapat ditentukan berdasarkan identifikasi jenis

tanah dalam satuan pemetaan tanah. Tabel 2.4 memperlihatkan besaran nilai K

untuk berbagai jenis tanah di Indonesia.

  • – 0,16

  12 Gley humic (Aquic entroopept) 0,26

  Faktor LS, merupakan kombinasi antara faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) yang mana merupakan nisbah besarnya erosi dari suatu lereng dengan panjang dan kemiringan tertentu terhadap besarnya erosi dari plot

  21 Mediteran (Tropudalfs) 0,23 Sumber: (Asdak, 2007dan Rauf A, 2011)

  20 Mediteran (Tropaqualfs) 0,22

  19 Mediteran (Tropohumults) 0,10

  18 Podsolik Merah Kuning (Tropudults) 0,32

  17 Podsolik (Tropudults) 0,16

  16 Hydromorf abu-abu (Tropofluent) 0,20

  15 Grumosol (Chromudert) 0,21

  14 Lithosol (Orthen) 0,29

  13 Lithosol (Litic eutropept) 0,16

  11 Gley humic (Tropaquept) 0,20

Tabel 2.4 Nilai K untuk Berbagai Jenis Tanah NO Jenis Tanah Nilai K Rataan

  10 Gley humic (Typic tropoquept) 0,13

  9 Regosol (Typic dystropept) 0,31

  8 Regosol (Typic entropept) 0,29

  7 Regosol (Oxic dystropept) 0,12

  6 Regosol (Troporthents) 0,14

  5 Latosol (Epiaquic tropodult) 0,31

  4 Latosol coklat (Typic tropodult) 0,23

  3 Latosol merah kuning (Typic haplorthox) 0,26

  2 Latosol merah (Humox) 0,12

  1 Latosol (Haplorthox) 0,09

2.2.3.3 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

  lahan. Nilai LS untuk sembarang panjang dan kemiringan lereng dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: z

2 LS = (L/22) (0,006541S + 0,0456S + 0,065)

  ………………… (2.5) Dimana: L = panjang lereng (m) S = kemiringan lereng (%), dan

z = konstanta yang besarnya bervariasi tergantung besarnya S.

z = 0,5 jika S > 5% z = 0,4 jika 5% > S > 3% z = 0,3 jika 3% > S > 1% z = 0,2 jika S < 1%

  2.2.3.4 Faktor Pengolahan Lahan (C) Faktor menggambarkan nisbah antara besarnya erosi dari lahan yang

bertanaman tertentu dan dengan manajemen tertentu terhadap besarnya erosi yang

tidak ditanami dan diolah bersih. Factor ini mengukur kombinasi pengaruh tanaman dan pengelolaannya. Faktor C ditunjukkan sebagai angka perbandingan yang berhubungan dengan tanah hilang tahunan pada areal yang bervegetasi dengan areal yang sama jika areal tersebut kosong dan ditanami secara teratur.

  Nilai faktor C berkisar antara 0.001 pada hutan tak terganggu hingga 1.0 pada tanah kosong.

  2.2.3.5 Faktor Konservasi Tanah (P) Faktor konservasi tanah ialah tindakan pengawetan yang meliputi usaha- usaha untuk mengurangi erosi tanah yaitu secara mekanis maupun biologis/vegetasi. Nilai P berkisar dari 0 untuk tanah praktek pengendalian erosi sempurna, sampai bernilai 1 untuk tanah tanpa tindakan pengendalian erosi.

  

Indeks penutupan vegetasi (C) dan Indeks pengolahan lahan atau tindakan

  

konservasi tanah (P) dapat digabung menjadi faktor CP. Tabel 2.5 menjelaskan

nilai CP untuk berbagai macam penggunaan lahan.

Tabel 2.5 Nilai CP untuk Berbagai Macam Penggunaan Lahan Nilai Faktor

  No. Macam Penggunaan Lahan CP

  1 Tanah terbuka, tanpa tanaman

  1

  2 Belukar rawa

  0.01

  3 Rawa

  0.01

  4 Semak/belukar

  0.3

  5 Sawah

  0.01

  6 Pertanian lahan kering campur

  0.19

  7 Pertanian lahan kering

  0.28

  8 Hutan lahan kering sekunder

  0.01

  9 Hutan mangrove sekunder

  0.01

  10 Hutan rawa sekunder

  0.01

  11 Hutan tanaman

  0.05

  12 Pemukiman

  0.95

  13 Perkebunan

  0.5

  14 Tambak 0.001

  15 Tumbuh air 0.001 Sumber: BPDAS Wampu-Sei Ular dalam Jayusri (2012)

  Hasil perhitungan faktor erosi metode USLE akan diperoleh suatu prediksi

erosi yang mempunyai nilai-nilai indeks yang kemudian di klasifikasikan

berdasarkan jumlah tanah yang hilang akibat erosi tersebut. Nilai faktor P dalam berbagai tindakan konservasi di jelaskan di Tabel 2.6, yaitu:

Tabel 2.6 Nilai Faktor P untuk berbagai Tindakan Konservasi Tanah No. Tanpa Tindakan Pengendalian Erosi Nilai P

  Tanpa tindakan

  1 1 pengendalian erosi

  • konstruksi baik

  0.04

  • konstruksi sedang

  0.15

  2 Terras bangku:

  • konstruksi kurang baik

  0.35

  • Terras tradisional

  0.45

  • rumput bahia

  0.4

  3 Strip tanaman: - crotalaria

  0.64

  • dengan kontur

  0.2

  • kemiringan 0

  0.5

  • – 8% Pengelolaan tanah dan 4 penanaman menurut - kemiringan 8

  0.75

  • – 20% garis kontur:
    • kemiringan > 20%

  0.9 Sumber: Suripin (2002)

2.3 Sedimentasi

  Proses sedimentasi meliputi proses erosi, transportasi (angkutan), pengendapan (deposition), dan pemadatan (compaction) dari sedimen itu sendiri.

  Proses tersebut berjalan sangat kompleks, dimulai dari jatuhnya hujan yang menghasilkan energi kinetik yang merupakan permulaan dari proses erosi. Begitu tanah menjadi partikel tanah menjadi partikel halus lalu menggelinding bersama aliran permukaan, sebagian akan tertinggal diatas tanah dan sebagian yang lain akan masuk kedalam sungai dan akan terbawa aliran menjadi angkutan sedimen (Loebis, 1993).

  Sungai juga menggerus tanah dasarnya secara terus-menerus sepanjang masa existensinya dan terbentuklah lembah-lembah sungai. Volume sedimen yang sangat besar yang dihasilkan dari keruntuhan tebing-tebing sungai di daerah pegunungan dan tertimbun di dasar sungai tersebut, terangkut kehilir oleh aliran sungai. Karena di daerah pegunungan kemiringan sungai curam, gaya tarik aliran airnya cukup besar. Tetapi setelah aliran sungai mencapai daratan, maka gaya tariknya sangat menurun. Dengan demikian beban yang terdapat dalam arus sungai berangsur-angsur diendapkan. Karena itu ukuran butiran sedimen yang mengendap di bagian hulu sungai lebih besar dari pada di bagian hilir sungai (Sosrodarsono, 1984).

  Proses sedimentasi pada alur sungai adalah sebagai berikut (Fadlun, 2009):

  a. Bagian Hulu Bagian hulu sungai merupakan daerah sumber sedimen yang tererosi. Pada bagian ini kecepatan aliran menjadi lebih besar karena umumnya alur sungai yang dilalui pada daerah pegunungan, bukit, atau lereng gunung yang kadang-kadang mempunyai ketinggian yang cukup besar dari muka air laut.

  b. Bagian Tengah Bagian ini merupakan daerah peralihan dari bagian hulu dan hilir.

  Kemiringan dasar sungai lebih landai dari bagian hulu sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil. Bagian ini merupakan daerah keseimbangan antara proses erosi dan sedimentasi yang sangat bervariasi dari musim ke musim. c. Bagian Hilir Alur sungai dibagian hilir biasanya melalui dataran yang mempunyai kemiringan dasar sungai yang landai sehingga kecepatan alirannya lambat. Keadaan ini sangat memudahkan terbentuknya pengendapan atau sedimen. Endapan yang terbentuk biasanya berupa endapan pasir halus, lumpur, endapan organik, dan jenis endapan lain yang sangat labil.

Gambar 2.2 Sketsa Profil Memanjang Alur Sungai (Fadlun, 2009)

  Bahan sedimen hasil erosi seringkali bergerak menempuh jarak yang pendek sebelum akhirnya diendapkan. Sedimen ini masih tetap berada di lahan atau diendapkan di tempat lain yang lebih datar atau sebagian masuk ke sungai. Persamaan umum untuk menghitung sedimentasi suatu DAS belum tersedia, untuk lebih memudahkan dikembangkan pendekatan berdasarkan luas area. Rasio sedimen terangkut dari keseluruhan material erosi tanah disebut Nisbah Pelepasan Sedimen/NLS (Sediment Delivery Ratio/SDR) yang merupakan fungsi dari luas area.

  Nilai NLS mendekati satu artinya semua tanah yang terangkut erosi masuk ke dalam sungai. Kejadian ini hanya terjadi pada DAS atau Sub DAS kecil yang tidak memiliki daerah-daerah datar, tetapi memiliki lereng yang curam, banyak butir halus (liat) yang terangkut, memiliki kerapatan yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menyebabkan pengendapan sedimen diatas lahan DAS tersebut. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen (NLS) adalah perhitungan untuk memperkirakan besarnya hasil sedimen dari suatu daerah tangkapan air. Perhitungan besarnya NLS dianggap penting dalam menentukan perkiraan realitas besarnya hasil sedimen total berdasarkan perhitungan erosi total yang berlangsung didaerah tangkapan air. Besarnya NLS dalam perhitungan-perhitungan erosi atau hasil sedimen untuk suatu daerah aliran sungai umumnya ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan luas DAS dan besarnya NLS seperti dikemukakan oleh Roehl (1962) dalam Asdak C. (2007). Nilai NLS sebagai fungsi luas daerah aliran sungai dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Pengaruh Luas DAS terhadap NLS

  Nisbah Pelepasan Sedimen Luas Daerah Aliran Sungai (NLS)

  2 (km ) %

0,1 53,0

0,5 39,0

1,0 35,0

5,0 27,0

  10,0 24,0 50,0 15,0 100,0 13,0 200,0 11,0 500,0 8,5 26.000,0 4,9

  Sumber: Arsyad S (2012)

  Sedang cara lain untuk menentukan besarnya NLS adalah dengan menggunakan persamaan: …………………………… (2.6)

  LS S Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh aliran air akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau berhenti. Peristiwa mengendap ini dikenal dengan proses sedimentasi, yaitu proses yang bertanggung jawab atas terbentuknya dataran-dataran aluvial yang luas dan banyak terdapat di dunia. Ini merupakan suatu keuntungan karena memberikan lahan untuk perluasan pertanian dan permukiman. Akan tetapi, sedimen yang dihasilkan oleh erosi yang cepat pada tanah salah kelola lebih banyak kerugian bagi kehidupan manusia. Sedimen yang terendapkan di dalam saluran, sungai, waduk, dan muara sungai akan menyebabkan pendangkalan badan air tersebut, yang dapat menimbulkan kerugian karena mengurangi fungsi badan air itu sendiri.

  Besarnya perkiraan hasil sedimen menurut Asdak C.2007 dapat ditentukan berdasarkan persamaan sebagai berikut : Y

  ( LS) W ……………………………………………… (2.7) Dimana: Y = hasil sedimen persatuan luas A = Erosi total Ws = Luas Daerah Aliran Sungai NLS = Nisbah Pelepasan Sedimen Besarnya nilai NLS dalam perhitungan hasil sedimen suatu daerah aliran sungai umumnya ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.8 hubungan antara luas DAS denganbesarnya NLS.

2.3.1 Pembagian Sedimen

  Dasar sungai biasanya tersusun oleh endapan dari material angkutan sedimen yang terbawa oleh aliran sungai, material tersebut dapat terangkut kembali apabila kecepatan aliran cukup tinggi. Besarnya volume angkutan sedimen tergantung dari kecepatan aliran dan adanya kegiatan di palung sungai.

  Sebagai akibat dari perubahan volume angkutan sedimen adalah terjadinya pergerusan di beberapa tempat dan akan mengendap di tempat lain pada dasar sungai. Sehingga denga demikian bentuk dasar sungai akan selalu berubah. Untuk memperkirakan perubahan dasar sungai tersebut telah dikembangkan banyak rumus berdasarkan percobaan di lapangan maupun di laboratorium. Walaupun demikian perhitungan angkutan sedimen tidak teliti, karena (Loebis, 1993):

  1. Interaksi antara aliran air dan angkutan sedimen adalah sangat komplek dan oleh karena itu sulit untuk dirumuskan secara matematis.

  2. Pengukuran angkutan sedimen sulit dilaksanakan dengan teliti, sehingga rumus angkutan sedimen tidak dapat dicek dengan baik.

  Angkutan sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan pembagian sebagai berikut (Loebis, 1993): Angkutan material

  Bed load dasar Berdasarkan

  Berdasarkan sumber asal mekanisme sedimen sedimen

  Suspended Wash load load

Gambar 2.3 Diagram Klasifikasi Angkutan Sedimen Aliran air akan membawa hanyut bahan-bahan sedimen, yang menurut mekanisme pengangkutannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu (Sosrodarsono, 1984):

  a. Muatan dasar (bed load) Pergerakan partikel di dalam aliran air sungai dengan cara menggelinding, meluncur dan meloncat-loncat di atas permukaan dasar sungai.

  b. Muatan melayang (suspended load) Terdiri dari butiran halus yang ukurannya lebih kecil dari 0,1 mm dan senantiasa melayang di dalam aliran sungai. Partikel cendrung mengendap apabila kecepatan aliran melambat dan akan bergerak kembali karena turbulen aliran air sungai. Lebih-lebih butiran yang sangat halus, walaupun air tidak lagi mengalir, tetapi butiran tersebut tetap tidak mengendap dan airnya akan tetap saja keruh dan sedimen semacam ini disebut muatan kikisan (wash load) Untuk membedakan muatan laying dan muatan dasar cukup sulit. Kriteria umum untuk menentukan muatan layang ialah perbandingan antara kecepatan gesek (U*) dan kecepatan jatuh (W), yaitu apabila U*/W > 1,5 maka termasuk sebagai muatan melayang. Sedangkan untuk muatan dasar dibatasi bahwa elevasi partikel pada saat pergerakannya di dalam air maksimum 2 sampai 3 kali dari ukuran diameter butirnya, jika lebih dari itu maka termasuk muatan melayang (Fadlun, 2009).

  Sedimen dari sungai harus dielakkan pada tubuh bendung beserta bangunan-bangunan pelengkapnya, sehingga tidak mencapai saluran pembawa (primer, sekunder, maupun tersier). Penumpukan sedimen di saluran irigasi akan mempersingkat umur pelayanan jaringan irigasi karena pendangkalan dan penurunan kapasitas. Selanjutnya, penumpukan sedimen di petak sawah akan menaikkan permukaan sawah, sehingga mempersulit air untuk mencapai permukaan sawah dan mengairi sawah. Partikel sedimen yang halus bahkan bisa menyumbat pori-pori tanah dan menghambat penyerapan air oleh tanaman.

  Meskipun demikian tidak semua fraksi sedimen berpotensi merusak jaringan irigasi.

  Fraksi sedimen batuan dan bed load biasanya sudah teratasi dengan konstruksi pembilas bawah (under sluice) sehingga tidak masuk ke intake. Dalam kondisi debit normal. Tetapi fraksi pasir, lanau, dan lempung akan terbawa melewati pintu intake dan dapat mencapai saluran irigasi dan petak sawah. Fraksi lanau dan lempung (< 70 µm) diperbolehkan masuk ke sawah, karena dapat meningkatkan kesuburan tanah (Puslitbang Pengairan, 1986). Fraksi pasir (> 0.063 mm), disisi lain, harus ditahan jangan sampai masuk ke sawah. Fraksi pasir ini diusahakan untuk mengendap di penangkap sedimen (sediment

  trap/settling basin), yang berada di hilir pintu pengambilan (intake) (Hanwar dan Herdianto, 2007).

  Pada kenyataannya pada tiap satu satuan waktu pergerakan angkutan sedimen yang dapat diamati adalah bed load dan suspended load, sehingga penjumlahan keduanya dapat didefinisikan sebagai total load transport. Beban total inilah yang disebut dengan angkutan sedimen (Ritonga, 2011).

2.3.2 Angkutan Sedimen

  Pengertian umum angkutan sedimen adalah sebagai pergerakan butiran- butiran material dasar saluran yang merupakan hasil erosi yang disebabkan oleh gaya dan kecepatan aliran sungai. Di dalam perhitungan sifat-sifat sedimen yang dipakai adalah: ukuran, kerapatan atau kepadatan, kecepatan jatuh dan porositas.

  Laju angkutan sedimen, perubahan dasar dan tebing saluran, perubahan morfologi sungai dapat diterangkan jika sifat sedimennya diketahui (Ronggodigdo, 2011).

  Prinsip dasar angkutan sedimen ayaitu untuk mengetahui perilaku sedimen pada kondisi tertentu, apakah keadaan sungai seimbang, erosi, maupun sedimentasi. Juga untuk prediksi kuantitas sedimen dalam proses tersebut. Proses yang terjadisecara alami ini kuantitasnya ditentukan oleh gaya geser aliran serta diameter butiran sedimen.

  Angkutan sedimen dapat menyebabkan terjadinya perubahan dasar sungai. Angkutan pada suatu ruas sungai akan mengalami erosi atau pengendapan tergantung dari besar kecilnya angkutan sedimen yang terjadi sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.8.

Table 2.8 Klasifikasi Kondisi Dasar Sungai

  Perubahan dasar sungai Angkutan Sedimen, (T) Sedimen Dasar T1 = T2 Seimbang Stabil

T1 < T2 Erosi Degradasi

T1 > T2 Sedimentasi Agradasi

  Sumber: Fadlun (2009) Beberapa faktor yang mempengaruhi angkutan sedimen adalah: