BAB I PENDAHULUAN - Kedudukan Dan Kewenangan Lembaga Ombudsman Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ciri negara demokrasi berdasarkan hukum, antara lain adalah jaminan bagi
setiap orang untuk “memperkarakan” pemerintah atau negara yang melakukan atau dianggap melakukan tindakan yang merugikan baik secara materil ataupun immaterial. Memperkarakan pemerintah adalah dalam pengertian luas, yaitu mulai dari keluhan, keberatan, sampai kepada tingkat mempersengketakan secara hukum.
Jaminan memperkarakan ini disertai dengan tersedianya kelembagaan dan mekanisme penyelesaian yang tidak memihak, walaupun yang dihadapi adalah pemerintah atau negara.
Jaminan yang memberikan hak seperti diutarakan di atas sangat penting disebabkan ; Pertama : secara preventif, jaminan dan hak tersebut akan memberikan dorongan yang kuat kepada pemerintah atau negara untuk bertindak hati-hati. Agar negara atau pemerintah tidak melakukan suatu tindakan yang tidak perlu, sehingga menimbulkan kerugian apalagi sewenang-wenang terhadap warganya. Kedua : secara represif, jaminan dan hak tersebut bertalian pula dengan salah satu watak kekuasaan yang selalu melekat pada pemerintah atau negara. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu, pada kekuasaan sangat besar potensi watak hitam, yaitu mengandung sifat tamak. Setiap pemegang kekuasaan cenderung ingin membesarkan
1 Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Madju, Bandung, 2002, hal. 105.
kekuasaan dan menggunakannya menurut kemauannya. Karl Marx lebih tegas menyatakan, bahwa kekuasaan dapat merupakan alat penindas.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, sangat penting jaminan hak, serta mekanisme dan kelembagaan yang dapat mencegah dan melakukan pemulihan dari tindakan negara atau pemerintah yang salah atau keliru. Pada saat seseorang mengeluh atau menerima keluhan atas suatu tindakan pemerintah atau negara yang merugikan atau mengurangi hak-haknya secara sewenang-wenang, baginya tersedia berbagai pilihan :
a.
Pemeriksaan melalui pengadilan yang akan menggunakan dasar tuntutan seperti pengujian (judicial review), perbuatan melawan hukum (onrect
matigedaad ), penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir),
sewenang-wenang (willekeur, arbitrary), atau dasar-dasar lain. Dalam hubungan yang bersifat keperdataan dapat dilakukan atas dasar cidera janji (wanprestasi).
b.
Penyelesaian di luar pendadilan dengan menggunakan pranata alternative dispute resolution (ADR) seperti arbitrase, mediasi, konsiliasi.
c.
Penyelesaian melalui badan peradilan semu (quasi administratief rechtsprak, tribunal ) seperti sengketa pajak melalui peradilan pajak.
2
2 d.
Penyelesaian melalui upaya administrative, hal ini terbatas pada sengketa kepegawaian.
e. Mahkamah Konstitusi (MK);
3
lainnya, seperti:
Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. viii- ix.
importance)
2. Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki konstitusi penting (constitutional
f. Mahkamah Agung (MA); g. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
d. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e.
c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
a. Presiden dan Wakil Presiden;
1. Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu:
Pascaperubahan (amandemen) UUD 1945, banyak undang-undang yang lahir hanya dalam periode lima tahun. Muncul pula banyak konstitusi-konstitusi independen karena dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan kepada eksekutif yang konon di waktu yang lalu memiliki kekuatan yang besar. Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi independen dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan sebagai berikut.
Penyelesaian melalui Ombudsman.
3 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
a. Komisi Yudisial (KY);
b. Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;
4
c. Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e. Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f. Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki konstitusi penting (constitutional importance) yang sama dengan kepolisian; g. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat konstitusi penting (constitutional importance) berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) yang dibentuk berdasarkan undang-undang tetapi juga memiliki sifat konstitusi penting
(constitutional importance) .
3. Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang- undang, seperti: a. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
b. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
4. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti:
a. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);
b. Komisi Pendidikan Nasional;
c. Dewan Pertahanan Nasional;
d. Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);
e. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g. Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h. Badan Kepegawaian Nasional (BKN); i. Lembaga Administrasi Negara (LAN); j. Lembaga Informasi Nasional (LIN).
5. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti: a. Menteri dan Kementerian Negara;
b. Dewan Pertimbangan Presiden; c. Komisi Hukum Nasional (KHN);
5
d. Komisi Ombudsman Nasional (KON);
e. Komisi Kepolisian; f. Komisi Kejaksaan.
6. Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti:
a. Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;
b. Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);
d. BHMN Perguruan Tinggi;
e. BHMN Rumah Sakit;
f. Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g. Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h. Persatuan Advokat Indonesia (Peradi); Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri atau apa pun namanya di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam
menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.
Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak adanya kredibilitas 4 T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,
(makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara
Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004), hal. 2. lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak 6 independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas(institutional
watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-
lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki.Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk
lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
Institusi Ombudsman telah memiliki sejarah yang cukup lama, dilahirkan pertama kali di Stockholm, Swedia pada tahun 1809. Selanjutnya Ombudsman modern yaitu Parliamentary Ombudsman (Folketing) pertama kali diintrodusir oleh
6 Denmark pada tahun 1955 , kemudian New Zealand pada tahun 1962 dan saat ini
telah berkembang menjadi institusi sekurang-kurangnya di 107 negara. Pada akhir
5 6 Ibid., hal. 59-60.
Summary Annual Report 1996, Folketingets Ombudsman (Copenhagen, September 1997), tahun 2000 institusi Ombudsman di seluruh Afrika telah mencapai 26 buah dan
7
segera menyusul pembentukan Ombudsman di Ethopia dan Maroko.
Istilah Ombudsman pertamakali dikenalkan dalam konstitusi Swedia pada tahun 1718 dengan sebutan umbudsman yang berarti “perwakilan”, yaitu menunjuk seorang pejabat atau badan yang independen bertugas menampung keluhan warga negara atas penyimpangan atau pekerjaan buruk yang dilakukan pejabat atau lembaga pemerintah. Sebelumnya, fungsi pengawasan atas tindakan penyelenggara negara dan perlindungan terhadap hak-hak warga juga telah diperkenalkan dalam sistem tata negara kekaisaran Romawi dengan Tribunal Plebis melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan, kekaisaran China 221 SM dengan membentuk Control Yuan bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan bertindak sebagi perantara bagi masyarakat yang ingin melaporkan keluhan dan aspirasi kepada Kaisar, kekhalifahan Umar Bin Khathab (634-644 M) yang memposisikan diri sebagai muhtasib (orang yang menerima keluhan) kemudian membentuk Qadi al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan mandat khusus melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-
wenang dan penyalahgunaan kekuasaan pemerintah.
Contoh dari negara-negara di atas menunjukkan bahwa lembaga yang berfungsi menjalankan mandat untuk pengawasan dan menerima keluhan masyarakat 7 Antonius Sujata dan RM Surachman, Comparative Study on The Ombudsman System in
Africa and Europe – Kajian Komparatif atas Sistem Ombudsman di Afrika dan Eropa (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2000). 8 usianya sudah tua, hanya saja Swedia negara yang pertama kali memasukkan dalam konsitusinya. Sekarang Ombudsman telah berkembang dan menjadi kecenderungan ketatanegaraan sebagai pilar demokrasi dan perlindungan terhadap HAM dimana
8 lebih dari 140 negara telah memilikinya. Negara-negara seperti Philipina, Afrika Selatan, Thailand juga telah memasukkannya dalam konstitusi. Sistem Parliamentary Ombudsman disebut juga sebagai Ombudsman Klasik karena sejak mula yaitu di Swedia (1809), Finlandia (1911) dan Denmark (1955) memang merupakan Ombudsman Parlementer. Beberapa ciri model Ombudsman Parlementer adalah : 1.
Pemilihannya dilakukan oleh parlemen (meskipun pengangkatan ditetapkan oleh Kepala Negara/Raja).
2. Menyampaikan laporan kepada parlemen.
3. Sasaran pengawasan adalah mal-administrasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan ataupun aparat peradilan.
Bentuk lain adalah model yang dianut oleh Perancis dan negara-negara
jajahannya (Francophone Countries) yang disebut sebagai Le Médiateur de la
République . Para anggotanya tidak dipilih oleh parlemen (dipilih oleh kabinet) dan
dalam menyelesaikan pengaduan boleh melakukan mediasi. Persamaannya dengan Parliamentary Ombudsman adalah mengenai sasaran pengawasan yaitu mal- administrasi.
9 Junaidi Suwartoyo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan
Dalam perkembangan lebih lanjut Parliamentary Ombudsman dalam arti penambahan area tugas/fungsi yang tidak hanya mencakup pengawasan terhadap mal-administrasi tetapi juga pengawasan atas pelanggaran HAM (Negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur) serta menangani kasus korupsi (Philipina, Uganda,
9 Zambia, Ghana, Macao). Parliamentary Ombudsman yang tidak semata-mata melakukan pengawasan mal-administrasi yang memiliki mandat serta fungsi yang bersifat operasional substansial karena itu merupakan model Ombudsman parlemen yang non-klasik.
Bentuk lain yang sedikit berbeda adalah institusi semacam Ombudsman di Jerman yang disebut Petitiobsausschus atau Petition Commission atau Komisi Petisi Permanen Parlemen Federal yang menampung pengaduan dari para pelapor dan kemudian menanganinya (di Inggris disebut: Public Commission for
Administration =Komisi Administrasi Publik). Dalam prakteknya, di dunia terdapat
tiga macam Ombudsman, Executive Ombudsman (Ombudsman Eksekutif),
Parliementary Ombudsman (Ombudsman Parlementer), dan Civil Society
Ombudsman (Ombudsman Masyarakat Sipil). Perbedaaan utamanya terdapat padapembentukannya dan kedudukannya. Executive Ombudsman (Ombudsman Eksekutif) kedudukannya berada di bawah presiden sebagai pemerintah, seperti di Indonesia sekarang ini.
10 Perlu UU Freedom of Information untuk Efektifkan
Ombudsman, hari Sabtu, 06 April 2002
Parliementary Ombudsman (Ombudsman Parlementer) adalah ombudsman
yang kedudukannya berada di bawah parlemen, sedangkan Civil Society
Ombudsman (Ombudsman Masyarakat Sipil) adalah ombudsman yang dibentuk atas
inisiatif masyarakat sipil dengan wilayah kerja yang khusus. Di negara-negara yang urusan pemerintahannya sudah dialihkan kepada swasta, jenis Civil Society
10 Ombudsman lah yang perlu dikedepankan. Di Indonesia sendiri, menurut Ketua Badan Pekerja Indonesian Corruption
Watch (ICW) dan anggota KON, Teten Masduki, sudah ada contoh ombudsman yang
dibentuk oleh masyarakat sipil. Di bidang pers, sudah ada ombudsman seperti yang dibentuk oleh Kompas di Jakarta dan Jawa Pos di Surabaya. Tugasnya adalah mengawasi penggunaan standar yang lazim di media pers dalam penyajian karya jurnalistik, mengawasi penataan media pers dan wartawan terhadap etika pers. Serta menyelesaikan kasus gugatan atau pengaduan masyarakat terhadap sajian pers yang dianggap merugikan mereka. Hal ini tentu menjadi peringatan bagi wartawan agar
tidak sembarang membuat berita.
Di masa yang akan datang, saat Indonesia mulai menyerahkan pelayanan publiknya pada swasta, diperlukan jenis Civil Society Ombudsman (Ombudsman Masyarakat Sipil) untuk menyelesaikan masalah yang timbul antara masyarakat dengan penyedia layanan publik. Namun, harus dengan jaminan bahwa kasus ditangai secara jujur, transparan, akuntabel, dan diselesaikan. 11
Upaya pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia oleh pemerintah dimulai ketika Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yakni K.H. Abdurrahman Wahid. Masa pemerintahan dapat disebut sebagai masa K.H. Abdurrahman Wahid, yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia, sedangkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie dapat disebut sebagai masa rintisan dalam pembentukan lembaga
11 Ombudsman di Indonesia. Lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan pada tahun 1998, menyebabkan keinginan untuk membentuk lembaga Ombudsman seolah-olah mendapatkan momentum. Pemerintah pada waktu itu nampak sadar akan perlunya lembaga Ombudsman di Indonesia menyusul adanya tuntutan masyarakat yang amat kuat untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan penyelenggaraan negara yang baik
atau clean government dan good governance.
Setelah Presiden B.J. Habibie lengser, pemerintahan dilanjutkan oleh Gus Dur dan Mega yang pada saat itu harus menanggung politik dan sejarah masa lalu yang cukup berat. Korupsi tetap merajalela dan bahkan cenderung tanpa kendali. Penegak hukum juga mengalami kesulitan mewujudkan cita-cita reformasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi. Masyarakat dan mahasiswa kembali melontarkan kritik atas ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara. Pemerintah juga
hari Jum’at, 23 April 2010 semakin kehilangan kewibawaan karena terus-menerus terlibat polemik kontroversial sehingga tidak sempat mengurusi kebutuhan dasar masyarakatnya.
Dalam kondisi mendapat tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang
12 berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap penyelenggara negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional (untuk selanjutnya disingkat dengan KON).
Pengawasan terhadap pemerintah dapat diuraikan sebagai berikut : 1.
Bentuk Pengawasan Pengawasan atau control terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan. Berdasarkan bentuknya pengawasan dapat dibedakan, sebagai berikut : a.
Pengawasan Internal Pengawasan internal, adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan atau organ yang secara organisatoris/structural termasuk dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri. Misalnya pengawasan yang dilakukan pejabat atasan terhadap bawahannya sendiri, contoh : suatu 13 instansi membentuk inspektorat, tim verifikasi atau panitia pemeriksa.
Pengawasan jenis ini termasuk pengawasan teknis administrative atau “built-in control”.
b.
Pengawasan Eksternal Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris/structural berada di luar Pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya, pengawasan keuangan yang dilakukan oleh Badan
13 Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengawasan politis yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk hearing dan hak bertanya.
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat melalui pers/media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pengawasan yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan apabila timbul sengketa terhadap pemerintah, misalnya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Jenis-jenis Pengawasan
Penyelenggaraan pengawasan dapat dilakukan berdasarkan jenis-jenis pengawasan, yaitu : a.
Pengawasan dari segi waktunya Pengawasan ditinjau dari segi waktunya dibagi dalam dua kategori : (1)
Pengawasan a-priori atau pengawasan preventif yaitu, pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang lebih tinggi terhadap keputusan-keputusan dari aparatur pemerintah yang lebih rendah.
Pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan administrasi Negara atau peraturan lainnya, dengan cara pengesahan terhadap ketetapan atau peraturan tersebut. Apabila ketetapan atau peraturan tersebut belum disahkan maka ketetapan atau peraturan tersebut belum mempunyai kekuatan hokum. (2)
Pengawasan a-posteriori atau pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang lebih tinggi terhadap 14 keputusan aparatur pemerintah yang lebih rendah. Pengawasan dilakukan setelah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah atau sudah terjadinya tindakan pemerintah. Tindakan dalam pengawasan represif dapat berakibat pencabutan apabila ketetapan pemerintah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Dalam keadaan yang mendesak tindakan dapat dilakukan dengan cara menangguhkan ketetapan yang telah dikeluarkan sebelum dilakukan pencabutan.
b.
Pengawasan dari segi sifatnya Pengawasan terhadap aparatur pemerintah apabila dilihat dari segi sifat pengawasan itu, terhadap obyek yang diawasi dapat dibedakan dalam dua kategori :
(1) Pengawasan dari segi hukum (rechtmatigheidstoetsing), misalnya pengawasan yang dilakukan oleh badan peradilan pada prinsipnya hanya menitik beratkan pada segi legalitas. Contoh : Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas menilai sah tidaknya suatu ketetapan pemerintahan. Selain itu tugas hakim adalah memberikan perlindungan (law protection) bagi rakyat dalam hubungan hukum yang ada di antara Negara/pemerintah dengan warga masyarakat.
(2) Pengawasan dari segi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing), yaitu pengawasan teknis administrative intern dalam lingkungan pemerintah
15 sendiri (builtincontrol) selain bersifat legalitas juga lebih menitik beratkan pada segi penilaian kemanfaatan dari tindakan yang bersangkutan.
Sistem pengawasan secara internal yang diterapkan oleh suatu lembaga
cenderung tidak objektif. Karena itulah suatu lembaga, khususnya badan-badan peradilan, tetap membutuhkan lembaga-lembaga pengawas yang bersifat eksternal.
Sebenarnya jika dilakukan sesuai aturan, pengawasan yang dilakukan secara internal oleh suatu lembaga cukup efektif. Pasalnya, pihak yang menyelenggarakan pengawasan dalam lembaga tersebut merupakan bagian dari struktur organisasi yang diawasi oleh para aparatnya. Terlebih lagi, badan atau pejabat yang diserahi 14
, Seminar Sehari tentang Pengawasan Lembaga Peradilan di menangani pengawasan lebih mengenali sistem dan mekanisme kerja tatanan organisasi lembaga tersebut. Hal tersebut berpengaruh positif bagi aspek subordinasi dan koordinasi dari penyelenggaraan tugas-tugas pengawasan.
Pengawasan internal MA sendiri, menurut Laica, sekarang ini tengah menangani kasus-kasus yang diduga merupakan pelanggaran administratif dan disiplin. Di antaranya, terdapat juga kasus-kasus dengan dugaan pelanggaran yang bersifat kriminalitas. Tugas pengawasan ini dilaksanakan oleh Ketua Muda MA urusan Pengawasan dan Pembinaan.
Pengawasan internal juga mempunyai sisi negatif. Menurut Laica, pengawasan internal kadang kala rentan dirasuki solidaritas. Faktor tenggang rasa dan 16 kesetiakawanan serta belas-asih kepada rekan-rekan. Terutama, rekan seprofesi dan bawahan ada kalanya menguasai pertimbangan pengenaan sanksi. Pengawasan internal tidak efektif dalam suatu tatanan organisasi yang korup. Seperti istilah “tidak mungkin membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. Penyelenggara pengawasan harus pertama-tama bersih tatkala melakukan pengawasan. Karena itulah dalam kondisi lembaga peradilan saat ini, maka pengawasan dari lembaga eksternal tetap diperlukan. Lembaga-lembaga ekternal yang dimaksud Laica misalnya seperti KON, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Anti Korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan lain-lain.
Keberadaan lembaga pengawas eksternal memang sedikit banyak bisa menciptakan kondisi yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih transparan. Namun, yang perlu juga diketahui adalah bahwa lembaga pengawasan eksternal hanya mempunyai kewenangan untuk mengawasi proses pelaksanaan prosedur saja. Jadi, belum mempunyai kekuatan untuk menentukan output yang seharusnya dikeluarkan suatu lembaga.
Dalam sambutannya yang dibacakan oleh stafnya, ketua KON Antonius
Sujata mengatakan bahwa Ombudsman sebagai salah satu lembaga pengawas berwenang untuk melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara. Ombudsman bukanlah pelaksana
17 kekuasaan, wewenang yang dimiliki hanyalah aspek pengawasannya saja. Misalnya, pada proses pengadilan. Ombudsman tidak mempunyai wewenang untuk menilai putusan yang dihasilkan oleh majelis hakim. Pasalnya, hal itu adalah kewenangan dari majelis hakim. Namun jika dalam pelaksanaan fungsi tersebut hakim melakukan penyimpangan, lalai, meminta uang, atau cenderung memihak, maka masyarakat melalui Ombudsman masuk untuk melakukan pengawasan. Jadi yang diawasi bukan output dari aparatur penyelenggara negara, tetapi proses yang dilakukan olehnya.
Walaupun, tidak jarang proses tersebut mempengaruhi output.
Pada awal November 1999, Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Diskusi tersebut 15
, Kata sambutan dari Ketua Komisi Ombudsman Nasional
Antonius Sujata dalam Seminar Sehari tentang Pengawasan Lembaga Peradilan di Jakarta, Senin, 22 Juli 2002. juga melibatkan calon ketua yang diusulkan Presiden yaitu Antonius Sujata (Jaksa bidang tindak pidana khsusus). Akhirnya pada tanggal 17 November 1999 diadakan pertemuan dan menyepakati untuk membentuk sebuah lembaga pengawasan yang bersifat independen. Lembaga yang dimaksud itu dinamakan “ombudsman” dengan
alasan, nama itu sudah dikenal secara internasional.
Kemudian pada tanggal 20 Maret 2000 Ombudsman didirikan di Indonesia berdasarkan Keppres No. 44 Tahun 2000 dengan sekaligus mengangkat anggota
18 Ombudsman sebanyak 8 orang yang diketuai oleh mantan ketua tim pengkajian
pembentukan lembaga Ombudsman, Antonius Sujata. Keberadaan Ombudsman Nasional dilandasi oleh filosofi dasar sebagai berikut : 1.
Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
2. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang atupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;
3. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khusunya penyelenggaraan pemerintah memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mencptakan keadilan dan kesejahteraan; 4. Adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk membuka suatu
institusi pengawasan oleh masyarakat yang bersifat mandiri.
16 Sedangkan menurut Solly Lubis, Filosofi dasar KON dilandasi : Muchsin, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Ombudsman menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 28 Mei 2009, hal. 10. 17 18 Konsiderans Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi
1. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan Negara yang jujur, bersih, transparansi, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat dalam penyelenggaraan Negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi.
2. Bahwa dalam penyelenggaraan Negara khususnya penyelenggaraan pemerintah memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Pengawasan yang dilakukan oleh KON adalah pengawasan riel, yaitu
19 pengawasan untuk memperoleh pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintahan. KON dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun
2000, dengan tujuan untuk : 1.
Menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah.
2. Membantu aparatur Negara dalam melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil.
3. Memaksa para pemegang kekuasaan untuk melaksanakan pertanggung jawaban dengan baik.
Dalam praktek pemerintahan dapat terjadi keputusan-keputusan pejabat publik berupa tindakan yang janggal (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate), 19 20 Solly Lubis, Op. Cit. hal. 110. penyalahgunaan wewenang (abuse of power), atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay), merupakan bentuk-bentuk maladministration. Selain itu jika terjadi pelanggaran kepatutan (equity) yaitu sekalipun menurut hukum dapat dibenarkan, akan tetapi nyata-nyata atau dapat dirasakan ketidakadilan, maka dalam situasi ini Komisi Ombudsman sebagai Magistrate of Influence akan memberikan pertimbangan dan rekomendasi.
Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional tidak secara spesifik mengatur fungsi Ombudsman, fungsi tersebut
terintegrasi dalam wewenang sub komisi, yaitu :
20 1. Sub Komisi Kalarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan.
a.
Melaksanakan klarifikasi atau monitoring terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan berdasarkan laporan serta informasi mengenai dugaan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan umum, tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukum.
b.
Meminta bantuan, melakukan kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat terkait dalam melaksanakan klarifikasi atau monitoring.
c.
Melakukan pemeriksaan terhadap petugas atau pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat serta pihak lain yang terkait guna memperoleh keterangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
d.
Menyampaikan hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk ditindaklanjuti.
e.
Melakukan tindakan-tindakan lain guna mengungkap terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
2. 21 Sub Komisi Penyuluhan dan Penyidikan
a.
Menyelesaikan penyusunan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional dalam waktu paling lambat enam bulan sejak ditetapkannya Keputusan Presiden ini.
Melakukan tugas-tugas yang ditentukan secara khusus oleh Rapat Paripurna. Konsep model yang diusulkan oleh KON adalah Sistem Parliamentary
b.
Menyusun dan mempersiapkan laporan rutin dan insidentil.
4. Sub Komisi Khusus a.
Memonitoring dan mengawasi tindak lanjut rekomendasi Ombudsman Nasional kepada lembaga terkait.
b.
Melakukan kerjasama dengan perseorangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan Negara.
3. Sub Komisi Pencegahan a.
f.
Melakukan penyuluhan guna mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat.
Meningkatkan kemampuan dan keterampilan para petugas Ombudsman Nasional.
e.
Menyebarluaskan pemahaman mengenai Ombudsman Nasional.
d.
Mendorong anggota masyarakat untuk lebih menyadari akan hak-haknya dalam memperoleh pelayanan.
c.
Mengajak masyarakat melakukan kampanye dan tindakan konkrit anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
b.
Ombudsman dengan kewenangan yang bersifat independen untuk melakukan pengawasan mal-administrasi aparat pemerintah dan peradilan. Kewenangannya hanya mencakup pengawasan dan tidak mengenai teknis fungsional ataupun operasional substansial demi menghindari ekses-ekses yang disebabkan oleh besarnya kewenangan. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Ombudsman harus
independen. Artinya, tidak ada seorang pun atau satu institusi apapun yang boleh mengendalikan atau mengarahkan Ombudsman.
Setelah lebih dari 10 tahun Ombudsman telah didirikan di Indonesia, masih banyak penyelenggara negara yang belum memahami tentang peran dan arti penting institusi Ombudsman. Di mana pemahaman akan tugas dan fungsi Ombudsman sangat mempengaruhi tingkat partisipasi mereka guna mendukung eksistensi dan perkembangan Ombudsman pada masa yang akan datang demi terwujudnya cita-cita bangsa yang menjadi latar belakang perumusan judul “Kedudukan dan Kewenangan Lembaga Ombudsman dalam Sistem Ketatanegaraan RI”.
Sejak ditetapkannya Keppres No. 44 Tahun 2000 pada tanggal 20 Maret 2000 berdirilah lembaga Ombudsman Indonesia dengan nama KON. Menurut Keppres Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam
22
konsiderannya, yakni:
a. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peranserta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
b. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi; c. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak 22 anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan
Antonius Sujata dan RM Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional ., hal. 67. 23 http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/kedudukan-dan-kewenangan- merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Pada lampiran Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, Pembangunan Hukum BAB III Pembangunan Hukum, terdapat beberapa argumentasi yang mendasar berkaitan dengan kebutuhan untuk mendirikan lembaga Ombudsman Nasional. Arah kebijakan pembangunan hukum dalam GBHN 1999-2004 yang
relevan dengan eksistensi Ombudsman adalah:
1. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai Hak Asasi Manusia;
2. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.
Pada matriks Program Nasional pembentukan peraturan perundangan secara eksplisit mencantumkan bahwa ditetapkannya Undang-undang tentang Ombudsman 23 merupakan indikator kerja Kebijakan Program Pembangunan Hukum tahun 1999-
2004. Dengan ditetapkannya penyusunan Undang-undang Ombudsman tersebut maka hal ini menjadi salah satu bagian untuk menilai keberhasilan kinerja Pemerintah.
Selanjutnya pada Sidang Tahunan tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme. 24 Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, Pembangunan Hukum BAB III Pasal 2 Ketetapan tersebut berbunyi sebagai berikut:
Arah kebijakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah:
1. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.
2. Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus-kasus korupsi termasuk korupsi yang terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
3. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara Negara dan anggota masyarakat.
4. Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundangundangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme,
5. Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.
6. Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b. Perlindungan Saksi dan Korban;
c. Kejahatan Terorganisasi;
d. Kebebasan mendapatkan informasi;
24
e. Etika Pemerintahan;
f. Kejahatan Pencucian Uang;
g. Ombudsman
7. Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan atau /nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Menurut Keppres No. 44 Tahun 2000 Tentang KON merupakan dasar hukum bagi operasionalisasi Ombudsman di Indonesia. Pada Keppres ini banyak pengaturan yang masih bersifat umum. Pada Keppres ini kewenangan Ombudsman masih sangat 25 Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara Yang terbatas sehingga ruang geraknya pun sangat sempit. Apalagi Komisi ini, hanya berada di Ibukota Jakarta padahal kewenangannya mencakup seluruh wilayah di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, Ombudsman belum diatur dalam UUD 1945. Sebenarnya desakan agar Ombudsman dimasukkan dalam UUD 1945 saat dilakukan perubahan juga telah ada, namun tidak direspon oleh fraksi-fraksi di MPR saat itu.
Usulan pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukkan dalam Pasal 24 G ayat (1), yang berbunyi : Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat, dan ayat (2) berbunyi : Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan
undang-undang.
Dalam perkembangan terakhir KON dengan suratnya No. 105/KON-
25 Srt/IX/2001 telah mengusulkan kepada Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR untuk memasukkan eksistensi Lembaga Ombudsman ke dalam UUD. Adapun yang menjadi
landasan dasar pertimbangan usul tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, dengan mengutip pendapat seorang Sarjana Hukum Belgia, André
Molitor, yang menyatakan bahwa oleh karena rekomendasi-rekomendasi Ombudsman tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, lembaga ini merupakan “Magistrature of Influence” (Mahkamah Pemberi Pengaruh) bukan 26 27 Antonius Sujata dan RM Surachman, Op. Cit., hal. 68.
Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsprudensi, Jakarta: Ombudsman Republik
“Magitrature of Sanctions” (Mahkamah Pemberi Sanksi). Efektifitasnya sangat tergantung pada kemampuannya melakukan persuasi, kewenangannya yang diberikan kepadanya, serta bobot dan kualitas rekomendasi yang diberikannya. Oleh sebab itu, suatu Ombudsman Nasional harus diberi landasan konstitusional, yaitu dengan dicantumkannya di dalam UUD. Adapun alasannya menyangkut dua hal, yaitu :
(1) Hak para warga untuk memperoleh perlindungan dari lembaga semacam
Ombudsman mendapat pengakuan UUD (constitutional recognition); (2)
Lembaga Ombudsman sendiri memperoleh landasan UUD (constitutional basis ).
Kedua, dalam sistem demokrasi yang menjunjung asas negara hukum (rule of
law ), yang salah satu elemennya adalah “supremasi hukum”, yang dilengkapi dengan
sistem “pengawasan/kontrol dan keseimbangan” (checks and balances), sehingga dengan sendirinya Lembaga Ombudsman perlu diberi landasan konstitusional, yaitu 26 dengan dicantumkannya dalam UUD. Dalam hubungan ini, menurut Montesquieu, bukan sekedar undang-undang, melainkan harus UUD yang digunakan, dalam melakukan pengawasan/kontrol (check) terhadap pemerintahan berdasarkan pemisahan kekuasaan (separation of powers). Ombudsman Nasional Indonesia tidak dapat diragukan lagi merupakan salah satu “pengawas/pengontrol” (checks) yang dimaksud, sehingga dicantumkannya dalam UUD akan memperkokoh stabilitasnya.
Ketiga, seorang pakar Ombudsman dari Kalifornia Amerika Serikat, Dean Gottehrer telah meneliti sebanyak 54 konstitusi yang mencantumkan lembaga Ombudsman dalam dua atau tiga pasal, bahkan tidak sedikitnya hanya dalam satu pasal saja, menandaskan bahwa pengaturan konstitusi itu hanya meliputi empat hal,
yaitu : (1)
Alasan atau tujuan pembentukan Ombudsman, (2)
Perintah pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang, (3)
Syarat-syarat pemberhentian Ombudsman, dan (4) Independensi Ombudsman.
Menurut Gottehrer, alasan atau tujuan pembentukan Ombudsman dimaksudkan untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan terhadap perorangan; sedangkan, perintah pengaturan lebih lanjut dalam suatu undang-undang (lebih baik lagi suatu UU Organik tentang Ombudsman) adalah untuk merinci tugas, kekuasaan, dan pertanggungjawaban Ombudsman menurut undang-undang. Mengenai pemberhentian Ombudsman diperlukan suara mayoritas yang besar pula dan hanya atas dasar yang sangat terbatas, yaitu manakala Ombudsman tidak mampu lagi menjalankan jabatannya, baik karena kesehatan jasmani maupun rohani atau sebab lain yang diperinci, biasanya karena berprilaku yang sangat tercela. Akhirnya, di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Ombudsman harus independen. Artinya, tidak ada seorang pun atau satu institusi apapun yang boleh mempengaruhi, mengintervensi, apalagi mendikte Ombudsman di dalam menjalankan tugasnya. 28
Keempat, lembaga Ombudsman yang berasal dari Swedia (1809) melalui Finlandia (1911) dan Denmark (1954) memang didirikan guna memberantas mal- administrasi (maladministration) dan KKN, baik di kalangan aparatur pemerintah (Public Administration), birokrasi (Bureaucracy) dan peradilan (Judiciary), agar aparat pemerintah, birokrasi, dan peradilan tadi (termasuk polisi, jaksa, panitera, hakim, dan petugas lembaga permasyarakatan) senantiasa memperhatikan asas-asas pemerintahan yang baik (good governance), supremasi hukum, keadilan (fairness) dan sikap santun, karena tindak tanduknya selalu dipantau dan diawasi Ombudsman.
Kelima, KON yang sudah berdiri lebih dari 16 bulan, berdasarkan Keppres No. 44 tahun 1999 nampaknya seperti institusi-institusi baru lain di Indonesia (Komnas HAM, KPU, dan lain-lain), baru dianggap sebagai institusi bantuan (auxiliary agency), bukan institusi yang utama (principal agency) dan sangat vital terutama di abad ke 21 ini yang merupakan “abad globalisasi” dan terutama bagi sebuah negara seperti Indonesia, di mana mal-administrasi dan KKN sedang
28 merajalela. Padahal komisi ini tidaklah terlalu jauh berbeda dari lembaga Ombudsman lain di 107 negara, yaitu merupakan salah satu pilar utama pemerintahan yang demokratis.
Kemudian untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang KON, perlu dibentuk Undang-undang tentang Ombudsman Republik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan ORI) sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan Undang-undang. Akhirnya keinginan untuk mempunyai undang-undang tersebut terwujud pada tanggal 7 Oktober 2008 yaitu terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang ORI.
Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang- undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki
29 kekuatan memaksa (subpoena power), rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam
menangani laporan.
Melalui UU No. 37 Tahun 2008, sekarang Indonesia telah memiliki Ombudsman, yang disebut ORI yang telah diperkuat kedudukan dan kewenangannya.
Meskipun sangat lambat, karena tercatat tidak kurang delapan tahun rancangannya “ngendon” di DPR. Setelah berlakunya Undang-Undang ORI, maka KON berubah
29 Muchsin, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Ombudsman menurut Undang-Undang Nomor 37
menjadi ORI. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.
Table 1 Perbandingan antara Komisi Ombudsman Nasional dan Ombudsman Republik
Indonesia
Komisi Ombudsman Nasional Ombudsman Republik Indonesia Landasan Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun Undang-undang Republik Indonesia Hukum 2000 No. 37 Tahun 2008