Kedudukan Ombudsman Sebagai Lembaga Pengawas Pelayanan Publik Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Naufal El Ramadhian

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

NAUFAL EL RAMADHIAN NIM:109048000037

KONSENTERASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 09 Januari 2014


(5)

iv

OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. xi + 91 halaman + halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia serta tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach) pada norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjelaskan mengenai kedudukan Ombudsman lembaga pengawas pelayanan publik dan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sudah jelas dan final dengan dikeluarkannya UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan diperkuat dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, sehingga tugas dan wewenang ORI dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan optimal. Kata kunci: Kedudukan Ombudsman, Lembaga Pengawas pelayanan Publik, Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan Tugas serta Wewenang Ombudsman Republik Indonesia, Dugaan Pelanggaran, Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum Dwi Putri Cahyawati, SH, MH. Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2014


(6)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam nikmat yang diantaranya nikmat iman, islam, ihsan dan nikmat sehat wal-afiat serta rahmatnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan, nasehat, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. K.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. Ketua dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.


(7)

vi

4. Nur Rohim Yunus, LLM., dan Fitria SH, MR., dosen penguji 1 dan 2 yang telah memberikan saran, masukan, serta arahan dalam proses penyusunan skripsi ini. 5. Segenap staf Perputakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf Perpustakaan Universitas Indonesia, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum, yang telah memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat, mendapat rahmat dari Allah SWT dan menjadikan keberkahan bagi penulis. Semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau dengan menjadikan semua kebaikan dan keikhlasan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.

7. Kedua orang tuaku ayahanda Ateng Sukmayadi dan Ibunda Cucun Sunoarti yang ku sayangi dan ku hormati, terimakasih tak terhinga atas kasih sayang, do’a, bimbingan, nasehat, materi serta segala yang telah diberikan untuk ananda. Serta Adik-adikku Nawafi El Bikri, Naila Aufa El Silmi dan Ryhan Maulana Akbar yang selalu menghibur, memotivasi dan memberikan arti penting sebagai seorang putra sulung.


(8)

vii

8. Keluarga besar alm. H. Aswad Bin Saih, H. Ujang Djumhaedin, pak Budi, dan pak Odih Hendramadji serta Keluarga Besar alm. Moh. Syafei baik itu Uwa, para Om dan tante yang selalu memberikan doa dan dukungan baik moril, materil dan spiritual bagi penulis.

9. Sahabat hatiku Dwi Astuti Handayani Putri (Wiwid) yang selalu disampingku, memberikan perhatiannya kepadaku, memberikan motivasi dan dukungan serta do’a dalam proses penyusunan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum yang kucintai, khususnya prodi Ilmu Hukum angkatan 2009 (Ilham, Fajri, Fandi, Wawan, Fuji, Budi, Rizky,Taufan, Silmi, Iffah, Alin, Affidah, Sisca, Vera, Luspina, Gagat, Zaki, Jajang, Holil Imam, Maul, Saddam dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu). Terimakasih yang tak terhingga atas kebersamaannya, memotivasi, dan selalu menghibur dikala sedang gelisah.

11. Sahabat-sahabat Futsal Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sahabat Futsal Kecret-Kocrot FC yang selalu memberikan dorongan dalam proses skripsi.

12. Sahabat-sahabat kosan Inun, Ilham, Wawan, Daqoiq, Lili, Doblenk, Fiman, Oye, Rezha, Riko, Teqie, Radi, Indra, Soleh, Taufik, Zay, Long, dan semua sahabat kosan inun yang tidak bisa penulis sampaikan satu-persatu. Karena selalu menghibur dengan candaan, bantuan dan motivasi selama proses pembuatan skripsi ini.


(9)

viii

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, 31 Desember 2013 Penulis,


(10)

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI………. ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 5

E. Kerangka Konseptual ... 7

F. Metode Penelitian... 9

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan ... 16

B. Konsep Checks and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 30


(11)

x

INDONESIA

A. Tinjauan Umum tentang Ombudsman ... 44

B. Sejarah Berdirinya Ombudsman Republik Indonesia ... 48

C. Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia ... 55

D. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia... 56

BAB IV KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA A. Ombudsman Republik Indonesia dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ... 64

B. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam Menangani Kasus Berupa Dugaan Pelanggaran Pelayanan Publik Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara ... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Bagan alur penyelesaian laporan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia

2. Alur penanganan laporan masyarakat atas tindakan maladministrasi oleh penyelenggara negara kepada Ombudsman Republik Indonesia

3. Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa ini, hukum merupakan sebuah instrumen untuk memperoleh sebuah keadilan. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang yang berisi perintah ataupun larangan untuk mengatur tingkah laku manusia guna mencapai keadilan, keseimbangan dan keselarasan dalam hidup serta untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam hidup.

Sesuai dengan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.1 Bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.2 Sebagaimana ada dalam makna alinea ke-4 pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik

1

A. Abdullah dan Abdul Rozak, Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani), (Jakarta: ICCE bekerja sama dengan Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. 3), h. 68.

2Makna alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


(14)

2

Indonesia. Ironisnya, pada saat ini hukum tidak berjalan sesuai dengan das sein (apa yang seharusnya).

Pada dasarnya yang bertanggung jawab atas ketidaksesuaian hukum yang telah terjadi saat ini adalah pemerintah, karena pemerintah merupakan organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta Undang-undang di wilayah tertentu. Fungsi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan, menyelenggarakan pembangunan dan menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya, dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan mensejahterakan masyarakatnya3. Selaras dengan prinsip-prinsip pokok Good & Clean Governance bertujuan merealisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel, baik, bersih dan berwibawa. Kemudian sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan tujuan utama dari implementasi good and clean governance.

Pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah

3

Lihat Hardiyansyah Ahmad, dalam Artikel Pelayanan Publik, di akses pada 24 Agustus 2013 melalui www.google.com,


(15)

dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap Penyelenggara Negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.4

Namun peraturan yang mengatur Ombudsman ini telah banyak menuai kontroversi yang mengakibatkan kurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah yang mengatur semua jenis pengawasan peyelenggaraan pelayanan publik. Seperti halnya UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang substansi materi muatan hukumnya hampir sama dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang secara kontinuitas akan menimbulkan dualisme kewenangan.

Masyarakat memiliki peranan dalam proses membangun penegakan Hukum untuk memperoleh keadilan, karena mereka adalah bagian, dan juga sasaran, dari keadilan itu sendiri. Masyarakat adalah komponen yang semestinya merasakan keadilan, dan bukan sebaliknya, menjadi obyek serta korban ketidakadilan.

Masyarakat juga memiliki hak untuk melakukan pengawasan karena penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang berdasarkan atas mandat yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pengawasan oleh Ombudsman adalah pengawasan riil, yaitu pengawasan untuk memperoleh pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintah.

4

Antonius Sujata, dkk, Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 14.


(16)

4

Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah dijelaskan, penulis tertarik untuk membahas penelitian ini dengan judul “KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM

STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, Penulis akan membatasi permasalahan yang akan dibahas hanya Kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia kemudian tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan ulasan yang penulis paparkan dalam latar belakang dan permasalahan yang penulis sudah batasi, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia ?


(17)

b. Bagaimana tugas dan wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Selaras dengan pembatasan dan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

a. Untuk mengetahui kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. b. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Ombudsman dalam

menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan tugas dan wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, Penulis melakukan penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini di beberapa sumber yang Penulis temukan, penelitian tersebut yaitu :


(18)

6

1. Judul Skripsi : PERAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA PERWAKILAN PROPINSI JAWA TIMUR DALAM PENYELESAIAN LAPORAN ATAS DUGAAN MAL ADMINISTRASI PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK. (Studi Kasus di Wilayah Kerja Kota Surabaya). Penulis : Heru Prasetyo / Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur / 2012 Penelitian ini didasarkan Permasalahan tentang Peran Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Laporan Atas Dugaan Mal-administrasi Penyelenggara Pelayanan Publik. Sedangkan penulis, menitikberatkan permasalahan tentang Kedudukan Ombudsman Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik

2. Judul Skripsi : PERANAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA. Penulis : Lina Rubiyanti/ UMY/ 2010

Penelitian ini didasarkan pada permasalahan Peranan Ombudsman RI Untuk mewujudkan Good Governance di Indonesia dan mengkaji Ombudsman RI dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam kinerja penanganan laporan. Sedangkan penulis didasarkan pada permasalahan tentang Kedudukan Ombudsman Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta


(19)

wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

E. Kerangka Konseptual

Institusi pengawasan yang bernama “Ombudsman” pertama kali lahir di Swedia, namun demikian sebenarnya Swedia bukanlah Negara pertama yang membangun Sistem pengawasan Ombudsman. Pada zaman Romawi telah terdapat intitusi “Tribunal Plebis” yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak masyarakat lemah dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Model yang demikian juga dapat dijumpai pada kekaisaran Cina Dinasty Tsin pada tahun 221 SM.5

Ombudsman menurut Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia adalah Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau

5

Jeremi Pope, Pengembangan Sistem Integritas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999) h. 115.


(20)

8

seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Kemudian dalam menaungi Lembaga Ombudsman yang pada awalnya telah dibentuk Komisi Ombudsman Nasional, yang diuraikan pada Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional yang dikatakan “Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan Negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maka hal-hal yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional sudah dihapus dan digantikan dengan Undang-undang terbaru.

Dalam literatur peraturan perUndang-undangan, Perbedaan Keputusan Presiden dengan Peraturan, yakni suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus (dauerhaftig). Keputusan Presiden adalah norma Hukum yang bersifat


(21)

konkret, individual, dan sekali selesai. Begitupun dengan Ombudsman yang menurut Undang-undang terbaru Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia membaharui Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, Sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; Sistematis adalah berdasarkan suatu Sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.6

Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.7

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif/normatif yuridis, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, Cet. III), h. 42.

7Ibid.,


(22)

10

perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.8

2. Pendekatan penelitian

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan yaitu:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perndang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.9 Penelitian ini dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya tentang Kedudukan Ombudsman dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Pendekatan konsep (conceptual approach)

Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sehingga diharapkan penormaan

8

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.

9

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2008, Cet. IV), h. 303.


(23)

dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang bermakna ganda.

c. Pendekatan historis (historical approach), dan

Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu lembaga. Dengan mengetahui latar belakang dan sejarah suatu lembaga, maka dapat diketahui permasalahan apa saja yang dihadapi dan mempengaruhi lembaga tersebut.10

d. Pendekatan perbandingan (comparative approach).

Setiap kegiatan ilmiah lazimnya menerapkan metode perbandingan. Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang lain.11

Dari perbandingan itu, maka dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua Sistem hukum itu. Persamaan-persamaan akan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan disebabkan oleh adanya

10Ibid

., h. 318.

11

Hal tersebut karena sejak semula seorang ilmuwan harus dapat mengadakan identifikasi terhadap masalah-masalah yang akan ditelitinya. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, Cet.VII), h. 81.


(24)

12

perbedaan suasana, iklim, budaya, dan sejarah masing-masing bangsa yang bersangkutan.12

3. Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim13. Dalam penelitian ini yang termasuk bahan Hukum primer adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Pubik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, naskah akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ombudsman Republik Indonesia, dan Peraturan Perundang-undangan terkait dengan Ombudsman Republik indonesia.

b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

12

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum (Malang: Bayumedia Publishing, 2006, Cet. II),h. 313.

13


(25)

meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.14

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.15

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam mengumpulkan Bahan hukum, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih Sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu

14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 141.

15


(26)

14

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi16. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana Kedudukan Hukum dalam Sistem kelembagaan Negara dan Tugas dan Wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun penulis berdasarkan buku petunjuk “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012” dengan Sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah; Batasan dan Rumusan Masalah; Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu; Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan.

BAB II : KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN

Bab ini Menjelaskan Mengenai Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan; Konsep Checks and Balances Dalam Sistem

16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2006, Cet. II), h. 393.


(27)

Ketatanegaraan Indonesia; dan Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

Pada bab ini akan diuraikan mengenai sejarah berdirinya Ombudsman; yang terdiri atas pengertian, sejarah singkat sifat, asas dan tujuan, falsafah, visi dan misi, kemudian struktur organisasi; serta fungsi tugas dan wewenang lembaga Ombudsman.

BAB IV: OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS

PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR

KETATANEGARAAN INDONESIA

Dalam bab ini menjelaskan tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran terhadap penyelengaraan pelayanan publik.

BAB V : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran penulis yang didapatkan berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya.


(28)

16

BAB II

KEKUASAN LEMBAGA INDEPENDEN

A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan

Salah satu ciri Negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraaan kekuasaaaan Negara. Meskipun kedua istilah rechstsstaat dan rule of law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.17

Pada awalnya, teori pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikenal sekarang merupakan pengembangan atas reformasi dari teori “pemisahan kekuasaan”. Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali di Eropa barat sebagai antitesa terhadap kekuasaan raja yang absolute sekitar abad pertengahan, yaitu antara abad 14 samapai dengan abad ke 15. Kemudian pada abad ke 17 dan ke 18, lahirlah suatu konsep atau gagasan untuk menarik kekuasaan membuat peraturan dari raja dan selanjutya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang berdiri

17

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 281.


(29)

sendiri. Begitu pula pada akhir abad pertengahan terhadap kekuasaan kehakiman telah diserahkan kepada suatu badan perwakilan.18

Istilah “Pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing.19

Kemunculan teori pemisahan kekuasaan mengalami proses yang cukup panjang. Hal itu dapat dicermati mulai dari penggunaan istilah “Trias Politica”. Istilah trias politica awalnya oleh Emmanuel Kant, begitu pula secara substansi pemikiran yang melandasinya sudah terlebih dahulu dan ditulis oleh Aristoteles.

1. Teori Pemisahan Kekuasaan John Locke

John Locke dilahirkan 26 Agustus 1632 dalam suatu keluarga dengan kelas ekonomi menengah di Wrington, Inggris Barat. Ayahnya adalah seorang tuan tanah dan pengacara. Ia memberikan pengaruh sangat besar pada cara berfikir Locke.20

18

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1990), h. 2.

19

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 285.

20

Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 13.


(30)

18

John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari inggris, dia hidup pada tahun 1632-1704, di bawah kekuasaan pemerintahan willem III, yang bersifat pemerintahanya adalah monarki yang sudah agak terbatas.21 Memang demikianlah, bahwa seluruh ajaran John Locke terutama ajarannya tentang negara dan hukum.

John Locke dalam bukunya “Two Tritieses of Government” yang terbit Tahun 1690. Locke adalah seorang filusuf Inggris yang pertama kali menggagaskan pentingnya kekuasaan dalam negara dipisahkan menjadi tiga bidang: pertama, kekuasaan membentuk Undang-Undang (legislatif), kedua, kekuasaan eksekutif, dan ketiga, kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang mencakup juga kekuasaan mengadili. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua kekuasaan yang tidak termasuk dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif.22

2. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu

Montesquieu adalah seorang ahli pemikir besar yang pertama diantara ahli-ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari perancis. Nama lengkapnya adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu. Dia adalah seorang sarjana hukum, hidup pada tahun 1688-1755. Dia adalah seorang autodidact, yaitu

21

Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), h. 106.

22

Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988), h. 140.


(31)

seorang yang dengan pemikiran dan tenaganya sendiri telah memperoleh kemajuan terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan.23

Montesquieu berpendapat bahwa negara dalam bangunannya seperti Undang-Undang, kebiasaan dan tradisinya adalah berlainan. Yang menyebabkan berlainannya hal-hal di atas negara yang pernah dan masih ada itu adalah perbedaan yang terdapat dalam situasi bangsa masing-masing, sifat kebudayaannya, dan lain-lain syarat mengenai alam dan kebudayaannya seperti iklim, tanah, kebiasaan, dan lain-lain.24

Montesquieu membangun suatu ajaran atau teori pemisahan kekuasaan yang mengilhami teori John Locke. Hal itu tergambar dengan jelas dalam bukunya

De L’esprit Des Lois” yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut

dirumuskan “The Doctrine Of Separation Of Power States That The Legislative, Executive, And Judicial Functions Of Government Should Be Independent”. (doktrin pemisahan kekuasaan negara ke dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang independen: legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

3. Teori Pembagian Kekuasaan C. van Vollenhoven Donner

Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur

23

Soehino, Ilmu Negara, h. 116.

24


(32)

20

(penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.25

Catur praja yang pertama adalah regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu, Bestuur yang identik fungsi pemerintahan eksekutif, rechtspraak (peradilan) dan politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan peri kehidupan bernegara.26

Dari 3 teori di atas ada beberapa perbedaan antara teori John Locke dengan Montesquieu27 kemudian perbedaan pendapat dengan C. van Vollenhoven Donner, diantaranya pada kekuasaan kehakiman atau pengadilan, perbedaan yang mendasar antara Locke dan Montesquieu. Bagi John Locke, berpendapat bahwa kehakiman atau pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan oleh John Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai pelaksanaan Undang-undang.

Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan dua-duanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari,

25

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 34.

26

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 284.

27

Nama lengkap Montesquieu yang sebenarnya adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu.


(33)

sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak.

Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut Van Vollenhoven tidak hanya melaksanakan Undang-undang saja tugasnya, karena dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg), mengadili (menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling).28

Di samping itu, dalam studi ilmu administrasi publik atau public administration dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan ke dalam dua fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah : (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy making function); dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function).29

Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila

28

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988), h.147.

29

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 284.


(34)

22

diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang.30 Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional.

Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental organization).

Lembaga negara bantu sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik,31 membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya.32 Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam

30

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006 ). h. 8.

31 31

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 11.


(35)

ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan, seperti yang dinyatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp :33

Regulatory and monitoring bodies are a new type autonomous administration which has been most widely develoved in the United States

(where it is sometimes referred to as the headless fourth branch’ of the

government). It takes the form of what are generally known as

Independent Regulatory Commisions”

Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya.

33

Yves Meny dan Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition, (Oxford: Oxford University Press, 1998), h. 281.


(36)

24

Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:

(1) Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan

(2) Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah;34

Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut.35

1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.

2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.

34

John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD, 1989), h. 232-233.


(37)

3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.

4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.

5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ alternatif penyelesaian sengketa).

Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antar lembaga negara.

Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam tiga kelompok.36 Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah

36

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca AmandemenUUD 1945, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 184


(38)

26

UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power). Ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden.37

Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.38

Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu yang bersifat mandiri dan independen di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang mengakar dan sulit diberantas

37 Jimly Asshidiqie, “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca-Perubahan UUD 1945 dan

Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Nasional”. (makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya nasional perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 dan pembaruan pendidikan hukum Indonesia, Jakarta, 7 September 2004), h. 7

38 T.M. Lutfhi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,

(makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004), h. 2.


(39)

2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu.

3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada dalam melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan pada masa transisi menuju demokrasi, baik karena persoalan internal maupun persoalan eksternal. 4. Adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan

beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan, baik yang disebut sebagai state auxiliary institutions/organs/agencies maupun institutional watchdog (lembaga pengawas), yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga negara yang telah ada merupakan bagian dari sistem yang harus diperbaiki. 5. Adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk

lembaga-lembaga negara tambahan tersebut sebagai prasyarat menuju demokratisasi.

Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.


(40)

28

Lembaga Negara adalah merupakan lembaga-lembaga atau organ publik yang menjalankan pemerintahan dan tidak berada dibawah kendali presiden. Bersifat “mandiri” secara etimologis berarti menunjukan kemampuan berdiri sendiri. Ini menjelaskan bahwa istilah mandiri menunjuk pada tidak adanya pengaruh dari luar atau bebas dari campur tangan kekuasaan lain atau ketidaktergantungan dengan suatu lembaga kepada lembaga lainnya.

Menurut Jimly Asshidiqie bahwa independensi lembaga-lembaga Negara sangat diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Kemudian beliau menyebutkan lembaga-lembaga sekarang ini menikmati kedudukan independen, diantaranya pada tingkatan pertama, yaitu Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan Bank Indonesia sebagai Bank Central. Pada tingkatan kedua juga muncul lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (sekarang Ombudsman Republik Indonesia), Komisi Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan Komisi peniyaran Indonesia (KPI).

Secara garis besar Lembaga Negara di Indonesia terbagai dalam dua kelompok, yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD dan lembaga negara yang dibentuk di luar UUD. Lembaga Negara yang pembentukannya diluar UUD seringkali disebut lembaga negara tambahan (ekstra auxiliary) atau lembaga


(41)

negara secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang (regulatory body).

Keberadaan Ombudsman di Indonesia memang sangat dibutuhkan masyarakat dewasa ini dengan pertambahan penduduk dan beragamnya masalah yang dialami oleh masyarakat dalam mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sehingga masyarakat dapat melaporkan keluhan yang dialaminya dengan cepat kepada lembaga yang independen dan dengan tanpa biaya yaitu Ombudsman Republik Indonesia.

Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki kekuatan memaksa (subpoena power), rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam menangani laporan.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang muncul, bahwa semuanya memiliki makna pemisahan kekuasaan bertujuan agar penguasa atau pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsi pemerintahan mengindari dan tidak melakukan tindakan sewenang-wenang, menjamin hak-hak warga negara, dan


(42)

30

memberikan ruang gerak terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan dan kemerdekaan.39

B. Konsep Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga, aliansi antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing.

Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Baron Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica. Dalam teorinya, kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan

39

Juanda, Hukum PemerintahanDaerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah, (Bandung: Alumni, 2009), h. 31.


(43)

eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman.

Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan Negara tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam.

Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan Monstesquieu tersebut tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dewasa ini. Kenyataannya ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari sinilah dikembangkan teori checks and balances.

Check and balances mengacu pada variasi atau aturan prosedur yang memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya.40 Judicial review adalah bukti pelanggaran batas atas prinsip pemisahan kekuasaan, demikian juga impeachment presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling mengimbangi dan mengawasi yang sekarang ini dipahami sebagai check and balances.

40


(44)

32

Ketika gerakan reformasi berhasil menjebol sakralisasi UUD 1945, banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi, berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD 1945 agar mampu membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini menjadi niscaya karena berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik ternyata di Indonesia tak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga selalu timbul korupsi dalam berbagai bidang kehidupan.41

Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances didalam sistem politik dan ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada. Dalam pembuatan UU misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun pengesahannya. Selama era Orde Baru, tak pernah ada RUU datang dari inisiatif DPR. Bahkan RUU yang semula berasal dari presiden pun pernah ditolak untuk disahkan oleh presiden sendiri setelah disetujui oleh DPR melalui pembahasan bersama pemerintah selama tak kurang dari 8 bulan. Dominasi eksekutif dalam membuat, melaksanakan, dan menafsirkan UU menjadi begitu kuat didalam sistem politik yang executive heavy42 karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan UU. Waktu itu, tidak ada peluang pengujian oleh lembaga yudisial dalam apa yang

41

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Ke-2011), h. 67.

42Executive heavy,

adalah kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif dan kekuasaan legislatif). melalui http://www.siputro.com/2012/09/sejarah-amandemen-uud-1945/, diakses pada tanggal 14 Januari 2014.


(45)

dikenal sebagai judicial review atau (constitutional review) seperti sekarang. Review atas UU hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislative melalui legislative review atau political review, padahal lembaga tersebut didominasi oleh presiden.43

Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 tidak mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi diantara lembaga-lembaga lainnya. Yang mana berbeda dengan ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh dipimpin atau dikuasai oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut sehingga menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di bawah MPR yang berkewajiban menjalankan haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR serta tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan diturunkan dari kursi kepresidenannya.

Sistem check and balance mulai diterapkan setelah amandemen UUD 1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan

43

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Ke-2011), h. 68.


(46)

34

lainnya. Kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga tinggi lainnya.

Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara presiden dan DPR, maka dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan jika dalam waktu 30 hari sejak (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai UU dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka gagasan checks and balances mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 yang mengatur bukan pengujian isi (uji materi) saja, tetapi juga pengujian prosedur (uji formal). Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan undangan dibawah UU terhadap perundang-undangan yang diatasnya.44


(47)

C. Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan (yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang) adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.45

Sedangkan pengawasan, Secara harfiah dari segi tata bahasa, kata “kontrol” berarti pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian.46 George R.Terry memberi arti dari pengawasan (control) adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil yang sesuai dengan rencana.47

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang

45

Prajudi Atmosudirdja, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII (edisi revisi) cet. Ke-10, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 78.

46

Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4, Perum dan Percetakan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1955), h. 523 dan 1134.

47

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: PT.Alumni, 2004), h.89.


(48)

36

berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi seluas apa kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.

Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai

bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai: “pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.” atau “suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.”

Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang


(49)

muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnyadengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).

Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah:

a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan; b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;

c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.

Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu juga terdapat Organisasi Non Pemerintah ataupun Lembaga Swadaya


(50)

38

Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara.

Berbagai lembaga negara, Aparatur Pengawas Struktural, Pengawas Fungsional serta Organisasi Non Pemerintah tersebut dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut:48

1. Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan terkait. Dalam menghadapi dan ataupun menindaklanjuti laporan sangat ditentukan oleh atasan. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri.

2. Lembaga Pengawas Fungsional meskipun tidak bersifat intern namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan. Dengan kata lain Aparat Pengawas Fungsional selain cakupannya sangat sempit juga kurang memperhatikan penyimpangan-penyimpangan yang sering menjadi

48

Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 70.


(51)

keluhan langsung masyarakat kerena pengawasan yang dilakukan merupakan kegiatan rutin.

3. Lembaga Pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi memang melakukan pengawasan namun pada satu sisi substansi yang diawasi terlalu luas dan bersifat politis karena memang secara kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan Lembaga Politik serta mewakili kelompok-kelompok politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan pada satu sisi substansi yang diawasi cukup luas yaitu mengenai Keuangan Negara yang mencakup kebijakan ataupun pengelolaannya, namun dari sisi lain juga dapat dikatakan terlalu sempit karena hanya mengenai segi keuangannya saja, sementara aspek-aspek lain dalam penyelenggaraan negara belum disentuh, apalagi kepentingan-kepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan penyimpangan sistem ataupun kebijakan jelas belum terakomodasikan. 4. Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah

menjadi trend dan berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan kurang terfokus maka lebih banyak ditanggapi dengan sikap “acuh tak acuh”. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan fakta perlu lebih memperoleh perhatian. Terdapat jarak ataupun “jurang” yang cukup jauh dan dalam antara aparat pemerintah dengan organisasi non


(52)

40

pemerintah yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan mereka masing-masing. Lembaga Swadaya Masyarakat eksistensinya berasal dari masyarakat itu sendiri sementara lembaga negara secara formal dilandasi oleh perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan bertitik tolak dari landasan yang berbeda tersebut muncul sikap resistensi satu sama lain. Resistensi tersebut makin dalam manakala menghadapi suatu permasalahan konkrit di mana Lembaga Pemerintah menggunakan parameter pranata yang bersifat formil serta prosedur yang struktural hierarkis sementara Organisasi Non Pemerintah mendekati permasalahan berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dengan prosedur yang tidak hierarkis karena LSM memang bukan merupakan institusi struktural.

Memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa ternyata masih terdapat celah-celah secara mendasar yang belum merupakan sasaran pengawasan dari Ombudsman Republik Indonesia. Dari aspek kelembagaan juga belum ada lembaga yang secara optimal memperoleh pengakuan dan diterima sebagai pengawas. Bahkan juga belum ada prosedur yang dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akibat sistem struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme pendek dari suatu organisasi yang tidak struktural hierarkis.

Dengan demikian diperlukan suatu jalan keluar yang diharapkan pada satu sisi merupakan jalan tengah bagi kepentingan pengemban sistem struktural hierarkis serta kepentingan pengemban sistem non struktural, namun pada sisi lain


(53)

mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku.

Oleh karena itu, Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.

Dilandasi oleh kondisi baik yang mencakup substansi pengawasan, prosedur maupun kelembagaan maka Ombudsman Republik Indonesia merupakan salah satu alternatif. Tentu di dunia ini tidak ada satu lembagapun yang dapat merupakan obat ajaib dalam arti menyembuhkan segala macam penyakit dengan seketika. Tetapi setidak-tidaknya sekarang ini sudah kurang lebih 130 negara memiliki Ombudsman (dengan sebutan bermacam-macam) baik Ombudsman Nasional maupun Ombudsman Daerah dan lebih dari 50 negara telah mencantumkannya dalam konstitusi. Apabila banyak negara telah memiliki Ombudsman tentunya mereka merasakan perlunya institusi ini dalam penyelenggaraan negara demi kesejahteraan masyarakat.49

Sekarang ini Ombudsman Republik Indonesia telah menjadi salah satu ciri dari suatu negara yang ingin menegakkan demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan yang baik, menghormati Hak Asasi Manusia serta memberantas praktek-praktek korupsi.

49

Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, h. 72.


(54)

42

Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan Ombudsman Republik Indonesia memiliki kapasitas dalam bentuk pengawasan terhadap pelayanan publik oleh penyelenggara Negara. Karena pengawasan merupakan indikator pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sejatinya seperti apa.

Dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia selain melakukan pengawasan juga memiliki kewenangan sebagai berikut:

- Memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pihak pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait dengan suatu laporan, keluhan, atau informasi yang disampaikan kepada Ombudsman Daerah. - Memeriksa semua keputusan dan atau dokumen-dokumen lainnya yang ada

pada pihak pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait, untuk mendpatkan kebenaran dari laporan, keluhan, dan atau informasi.

- Atas inisiatif sendiri memanggil dan meminta keterangan secara lisan atau tertulis, kepada penyelengggara negara, pemerintah daerah atau penegak hukum berkaitan dengan dugaan pelanggaran asas-asas penyelenggaraan negara, pemerintah daerah atau penegak hukum yang bersih dan bebas dari KKN, penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakan yang sewenang-wenang. - Membuat rekomendasi atas usul-usul dalam rangka penyelesaian masalah

antara pihak pelapor dan pihak terlapor serta pihak-pihak lainnya yang terkait.


(55)

- Mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi untuk diketahui oleh masyarakat.

Kemudian kewenangan Ombudsman Republik Indonesia relevan dengan konsep Islam yang menjelaskan tentang kewenangan yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia yang dengan kata lain dikatakan sebagai aparatur penyelenggaraan Negara yang seharusnya melihat rencana apa yang akan dilakukan dikemudian hari, agar tidak menyalahgunakan kewenangannya, sebagaimana Firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al Hasyr (59): 18 yang berbunyi:



















































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah


(56)

44

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

A. Tinjauan Umum tentang Ombudsman

Istilah Ombudsman pertamakali dikenalkan dalam konstitusi Swedia pada tahun 1718 dengan sebutan Ombudsman yang berarti “perwakilan”, yaitu menunjuk seorang pejabat atau badan yang independen bertugas menampung keluhan warga negara atas penyimpangan atau pekerjaan buruk yang dilakukan pejabat atau lembaga pemerintahan. Sebelumnya, fungsi pengawasan atas tindakan penyelenggara negara dan perlindungan terhadap hak-hak warga juga telah diperkenalkan dalam sistem tata negara kekaisaran Romawi dengan Tribunal Plebis melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan.50 Model seperti ini terjadi pula pada Kekaisaran China 221 SM dengan membentuk Control Yuan bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintahan) dan bertindak sebagi perantara bagi masyarakat yang ingin melaporkan keluhan dan aspirasi kepada Kaisar, kekhalifahan Umar Bin Khathab (634-644 M) yang memposisikan diri sebagai muhtasib (orang yang menerima keluhan) kemudian membentuk Qadi al Quadat (Ketua Hakim

50

Jeremi Pope, Pengembangan Sistem Integritas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999) h. 115.


(57)

Agung) dengan mandat khusus melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan.51

Pada mulanya institusi Ombudsman dikenal di Swedia, dan baru setengah abad belakangan ini sistem Ombudsman menyebar ke seluruh penjuru dunia.52 Ombudsman parlementer kedua dibentuk 1919 di Finlandia, dan tahun 1955 di Denmark. Sistem Ombudsman telah mencantumkan institusi Ombudsman kedalam konstitusinya.53

Berdasarkan beberapa aspek Ombudsman dapat dibagi menjadi beberapa jenis.54 Dari kurun waktu pembentukannya, dapat dibedakan menjadi Ombudsman klasik dan Ombudsman modern. Ombudsman klasik dapat ditelusuri sejak pertama kali Raja Charles XII membentuk Highest Ombudsman, Chief Justice di Turki dan Qadi Al Qudat di zaman Umar Bin Khattab. Ombudsman modern berdiri sejak 1953 di Denmark dan 1962 di New Zealand. Ombudsman di Swedia di kategorikan sebagai Ombudsman modern.

Apabila dilihat dari mandat dan mekanisme pertanggungjawabannya, dibedakan menjadi dua jenis, yakni pertama Ombudsman parlementer, yakni

51

Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h. 45.

52

Antonius Sujata dan Surachman, Ombudsman Indonesia ditengah Ombudsman Internasional (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2007), h. 29.

53

Budi Masthuri, Urgensi Pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, diakses pada tanggal 15 Januari 2014 melalui www.hukumonline.com.

54


(58)

46

Ombudsman yang dipilih oleh parlemen, dan bertanggungjawab (laporan) kepada parlemen. Contohnya Swedia, Finlandia, dan Denmark. Dan kedua, Ombudsman eksekutif, yakni yang dipilih oleh Presiden, Perdana Menteri atau Kepala Daerah. Contohnya Indonesia dan Australia.

Sekarang ini institusi Ombudsman di seluruh dunia telah diakui sebagai ciri negara yang penuh semangat untuk memberantas korupsi, sebagai ciri negara yang ingin menegakkan demokrasi serta sebagai ciri negara yang bertekad menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, bukan hanya perbuatan administrasi pemerintahan yang bertentangan dengan hukum dan undang-undang yang merupakan tindakan/perilaku “mal-administrasi” tetapi juga perilaku, yang sekalipun berdasarkan dan sesuai dengan undang-undang, namun yang menimbulkan akibat ketidakadilan (injustice) atau hardship (kesulitan yang sangat besar dan/atau tidak seimbang). Intinya, setiap negara yang memiliki Ombudsman, ingin melindungi hak rakyatnya.

Sebagaimana dikatakan oleh Dennis Pearce, Ombudsman Australia:55 the Ombudsman is undoubtedly the most valuable institution from the viewpoint of both citizen and bureaucrat that has evolved during this century (Ombudsman tanpa ragu-ragu merupakan lembaga yang paling berharga yang berkembang di abad ini; baik dari sudut pandang warga negara, amupun dari sudut pandang birokrat). Sebabnya ialah karena :

55

Linda C. Reif, The International Ombudsman Anthology (Netherlands: International Ombudsman Institute, 1999), h. 97.


(59)

The office of Ombudsman is (Lembaga Ombudsman adalah):

1. Quick by comparison with other review bodies; (Cepat pelayanannya dibanding lain-lainnya lembaga pengawasan).

2. Informal and therefore more accessible to complainants. (Informal, dan karena itu lebih mudah terjangkau oleh pelapor).

3. Cheap for both complainant and decision maker; and (Murah untuk pelapor maupun terlapor; dan)

4. Not threatening to decision makers-or not as threatening as other review mechanism. (Tidak mengancam pengambil keputusan/aparat negara, atau Tidak sebegitu mengancam dibanding dengan lain-lain mekanisme pengawasan).

Jadi, sebab mengapa di lain-lain negara lembaga Ombudsman segera diterima sebagai lembaga pengawas, adalah karena Ombudsman:

1. Lebih cepat hasilnya dari pada penyelidikan atau investigasi oleh lain-lain lembaga yang ada;

2. Caranya tidak berbelit-belit, tidak formal dan lebih mudah dicapai/didatangi oleh para pelapor;

3. Murah (gratis), baik bagi pelapor maupun pengambil keputusan; 4. Tidak mengancam, tetapi menghimbau (merekomendasi) alat atau


(60)

48

tangan Ombudsman sebagai ancaman, tetapi justru sebagai bantuan bagi birokrasi untuk memperbaiki kinerja para penyelenggara negara pemerintahan.

B. Sejarah Berdirinya Ombudsman Republik Indonesia 1. Pengertian Ombudsman Republik Indonesia

Menurut pasal 2 keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, yang dimaksud dengan “Ombudsman Nasional adalah Lembaga Pengawasan masyarakat yang berasaskan pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.”

Sedangkan menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud dengan “Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggaraan negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta Badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah.”


(61)

2. Sejarah Singkat Ombudsman Republik Indonesia

Ombudsman di Indonesia sudah ada sejak 2000, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang membentuk Komisi Ombudsman Nasional (KON) melalui Keppres Nomor 44/2000, sebagai bagian dari program pembangunan demokrasi di Tanah Air dengan jalan menghidupkan mekanisme Checks and Balances, di mana setiap warga negara (civil society) diberi kesempatan berperan dalam melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sebagai tokoh yang sangat pro demokrasi, dan di masa pemerintahannya (yang singkat) itu telah dilahirkan berbagai gagasan, program dan lembaga untuk membangun dan memperkuat demokrasi di Indonesia.

Pada 2001 dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan KKN yang menyebutkan bahwa sebagai upaya pemberantasan KKN direkomendasikan antara lain membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Ombudsman melalui undang-undang. Berdasarkan fakta tersebut, jika ditinjau dari perspektif politik hukum, maka eksistensi KPK dan Ombudsman adalah amanat rakyat untuk memberantas korupsi.

Sebagai tindak lanjut dari Tap MPR tersebut dibentuklah UU Nomor 30/2002 tentang KPK dan UU Nomor 37/2008 tentang Ombudsman RI.


(1)

.,.0 !

A.).& 1 ' +# .,.0 $

A.).& 1 ' +# .,.0

A.).& 1 ' +# .,.0 1

! * )+.* * ! B& !.,.+ & ,- &2' - )C * ' $ & !.,.+ $ , ) * - !) - &.+ - .&. * - !) - * , $#

( , - - * ) 1 * & !.,.+ & ,- &2' - ) * ' ).)

* ! +., - & , ( - ) + * . -.)

!. *.,) * , & ' * !) - 1 * !!2- .*+ #

+ '

.,.0

A.).& 1 ' +# .,.0

! * )+.* * ! C& !.+ $ C * ' $ 2, ! ( ! &. ( .+ $ ( ! * ! .+ $ ( ,&2- +

.') )2 0' ) ) & - ! * ! -.! + *

% % ! .*+ #

.,.0 /

A.).& 1 ' +# .,.0 *

! * )+.* * ! B& ! % ! , C * ' $ & ! %

! , + ! * )+.* * ' & , -.,

& ,. * ! . * ! * * ! ) & ! % # .,.0

$ - & 1 ' + + ' 34 $.,.0 1# .,.0 0

! * )+.* * ! C&,20 + ' ( C - , '

*2)- , ). - *=2) - 2- , + * 1 - .

-)- $# + ' 3

A.).& 1 ' +#


(2)

+ '

( - 839

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

.,.0

A.).& 1 ' +# .,.0

A.).& 1 ' +# .,.0 /

A.).& 1 ' +# .,.0 *

A.).& 1 ' +# .,.0

A.).& 1 ' +# .,.0 0

A.).& 1 ' +# .,.0 !

! * )+.* * ! B ,$ ' ! - - &C

- , ' + ) - - . ' ' ) -.! +# ( - 8 9

A.).& 1 ' +# ( - 859

A.).& 1 ' +# + '

A.).& 1 ' +# + ' 5

( - 839

.,.0

A.).& 1 ' +# .,.0

A.).& 1 ' +# .,.0 /

! * )+.* * ! B+ ! +- ( C

* ' $ & $ ) ,' &2, & ,'

-& ( ' + - * ) * ' ).) & ( ' + .,.- &,2+ *., - , ' * +- + ,' &2,

- !! & - . - * ) ' 1.- '.


(3)

( ' + ) ' * +-, + ( ! - ,1 * - . + + ) ' - * ) & ,2' $ - !! & #

( - 8 9

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

A.).& 1 ' +# ( - 859

! * )+.* * ! B* & - * ). + ) ) & * & $ ) ' C * ' $ * ' ( & ) &2,

' &2, * & - !. + ) ) & * & $ ) ' *

& , ). + - * ) $ ,.+ *=2) - - . 2, !

&. ( ). ' 0 ) + - ,- -. + !

* & ,+( , -) * ' , / , * & ! * ' # + ' 6

A.).& 1 ' +# + ' <

A.).& 1 ' +# + '

A.).& 1 ' +# + '

A.).& 1 ' +# + ' 4

( - 839

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

! * )+.* * ! B% 1 * ! ,) *

& ,- !) & * & - & , & $ )C * ' $ * ' ).) * ! + )+ * & .$ & ,$ - * ! !.- ) & * ) - & ,+. + 0#

+ '

( - 839

! * )+.* * ! B) & - ! . . C * ' $

) & - ! !+ * ! , * ; - . ) & - ! +( , ) - '. +#

( - 8 9

A.).& 1 ' +#


(4)

+ ' 3

A.).& 1 ' +# + '

A.).& 1 ' +# + '

A.).& 1 ' +# + ' 5

A.).& 1 ' +# + ' 6

A.).& 1 ' +# + ' <

( - 839

.,.0

! * )+.* * ! B& $ )C * ' $ & 1

-* ; - . +- + ( ! ,+ !).- #

.,.0

A.).& 1 ' +# .,.0 /

A.).& 1 ' +# .,.0 *

A.).& 1 ' +# .,.0

A.).& 1 ' +# .,.0 0

- -. * )+.*) . -.) !$ * ,

- ,1 * ( & ( & &2, ( ! * ' ).)

2' $ 2, ! ( ! + ! & ,+2 ' ( !

+ ( ! - ' $ * + ' + ) 2' $ .*+

- , ' * ! / , * + * )2 + ' + # .,.0 !

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

A.).& 1 ' +# + '

A.).& 1 ' +#


(5)

+ '

( - 839

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

A.).& 1 ' +# ( - 859

! * )+.* * ! C &. ' ) + ) C * '

) - -. * ' ).) ' '. * + ) / - )

.&. ' )-,2 )# + ' 4

A.).& 1 ' +# + ' 5

A.).& 1 ' +# + ' 53

' ) - -. & ! -., ! - - / ,

& , )+ * & ( ' + &2, ( ! * -., * ! & , -., .*+ - , +.) & ! -., & ' )+

)2 * + #

+ ' 5

( - 839

&2, ( ! * + & ) .*+ .)

,.& ) -.) & ,- !!. !1 % ) ) & *

% ,% ) ' )( - .&. , + * # .

* & - * 1 * ) $ ) ! % ,% ) '

)( - .&. , + * . -.) ! ' ) 1 )

* ' !. & ' ( &. ' ) ( ! ' $ )# ( - 8 9

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

! * )+.* * ! B' &2, )$.+.+C - , ' &2,

( ! 1 * & ,$ - +( , ) - * ' &2, ( !

* + & ) ) & * % ,% ) ' )( - * , + * ( !

+ ! , * - * ) ' 1.- #

( - 859

A.).& 1 ' +#


(6)

( - 869

A.).& 1 ' +# + ' 5

( - 839

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

A.).& 1 ' +# ( - 8 9

A.).& 1 ' +# ( - 859

! * )+.* * ! B .- - + .- * +C * ' $ ) - -.

! 0. !+ -.! + * % % ! .*+ ( ! ,' ).

! .*+ 1.! ,' ). ! & ,% ) ' .*+

* ! ' ).) & ,. $ & ,. $ + & ,'. ( #

+ ' 55

A.).& 1 ' +# + ' 56

A.).& 1 ' +# + ' 5<

A.).& 1 ' +# + ' 5

A.).& 1 ' +#