Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia)

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Supandri NIM 1111048000014

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

INDONESIA (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia). Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara. Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2105 M. + 77 halaman + lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. Hal ini terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara bantu khususnya KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia. Kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengedapankan pendekatan perundangan, yaitu menggali data dan mencari sumber informasi melalui undang-undang. Selain itu, data dari penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa lembaga negara bantu yaitu KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan konstitusional. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi. Namun, bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terjadi kekosongan hukum.

Kata Kunci : Kedudukan, Sengketa Lembaga Negara

Pembimbing : Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zainal Muttaqin, SH.I, LLM


(6)

v Assalamualaikum Wr, Wb

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak ujian yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (ANALISIS SENGKETA LEMBAGA KPK DENGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA)” ini dengan baik. Selesaianya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Asep Syaifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vi

4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.

6. Orang tua, khususnya Ibunda tersayang Ipah dan ayahanda Narin serta sanak saudara, terima kasih atas dukungan semangat yang tidak pernah

padam serta do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril,

materiil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. 7. Kekasih tercinta Ike Apriliyani yang memberi semangat dan dukungan

penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi.

8. Teman-teman yang memberi semangat dan dukungan Amy Nurul Azmi, Puguh Try, Rudi Hartono yang memberi dukungan dan semangat penulis.


(8)

vii

Semoga skripsi ini ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umunya bagi pembaca. Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 22 Juni 2015


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Negara Hukum ... 14

B. Konsep Pemisahan Kekuasaan ... 18

C. Konsep Lembaga Negara ... 21

1. Lembaga Negara Bantu ... 24

2. Sengketa Lembaga Negara ... 29

BAB III TINJAUAN UMUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI A. Latar Belakang Pembentukan KPK ... 32


(10)

ix

BAB IV SENGKETA LEMBAGA NEGARA

A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga

Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 48 B. Sengketa Kewenangan Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian

Republik Indonesia... 58 C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan POLRI ... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77


(11)

1

Salah satu hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara sehingga semua lembaga Negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggaraan negara.1

Sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organ, principal state organ). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan perlembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama, sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, atau main state

1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 2-3


(12)

institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip checks and balances.2

Disamping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud diatas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya selain Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk KY, harus dipahami dalam pengertian lembaga tinggi negara sebagai lembaga utama (main organs).

Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan sebagai salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara sebagaimana disebutkan diatas, dalam ketatanegaraan disebut dengan auxiliary state organs (lembaga negara bantu).3 Walaupun tugasnya melayani atau membantu, akan tetapi menurut Sri Soemantri M, secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional.4

2 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 178

3Ibid, h. 179

4 Sri Soemantri M. “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, (Surabaya: Airlangga University Press,) h. 204


(13)

Salah satu lembaga negara bantu yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu agenda penting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.5 Cita-cita gerakan reformasi akan adanya suatu pemerintah yang bersih (clean government) dari korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien, terbuka, dan bertanggung jawab kepada rakyat (good governance), didorong oleh semakin menguatnya tuntutan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. Akibat korupsi, rakyat harus membayar mahal untuk pelayanan publik yang buruk.

Di dalam suatu rezim yang memiliki mesin otoritas yang kuat, sudah harus disadari bahwa pendekatan pemberantasan korupsi secara konvensional yang berbasis pada penegakan hukum dan perbaikan pengawasan melalui institusi kenegaraan, seperti yang sekarang tengah ditempuh, terbukti sudah tidak efektif lagi. Di sinilah rakyat, yang merupakan korban sesungguhnya dari perbuatan penyalahgunaan kekuasaan harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan pengawasan massal, yang melibatkan peran serta masyarakat di semua lapisan sosial dan profesi.6

Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai

5 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia, 2004), h. 33


(14)

respon atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin merajarela. Adanya KPK diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).7

Kekuasaan KPK yang dianggap sangat besar dalam praktiknya tidak jarang menimbulkan masalah atau bahkan konflik dengan lembaga negara lain, terutama lembaga kepolisian sebagaimana dapat dilihat dari beberapa konflik antar dua lembaga ini. Konflik ini muncul karena masing-masing lembaga memiliki kewenangan untuk menangani kasus korupsi tertentu.

Konflik yang pernah terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polisi Republik Indonesia terkait kewenangan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM) yang melibatkan kedua lembaga tersebut. berawal dari adanya perbedaan penafsiran terkait wewenang yang dimiliki oleh kedua lembaga antara KPK dan POLRI, perbedaan penafsiran tersebut menjadi latar belakang timbulnya overlapping (tumpang tindih) kewenangan penyidikan terhadap kasus tersebut. Secara garis besar, Polri berwenang terhadap semua tindak pidana yang berlaku dalam KUHP maupun diluar KUHP (termasuk tindak pidana korupsi) namun, perlu disadari adanya asas lex specialis derogate lex generalis membuat kedudukan KPK semakin kuat dalam penyelidikan, penyidikan bahkan penuntutan.

7 Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN), 2005), h. 88


(15)

Konflik antara institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) telah beberapa kali terjadi, dan setiap kasusnya itu terjadi memberi dampak yang cukup luas dalam perpolitikan dan hukum di Indonesia. Masing-masing pihak dan pendukungnya memegang dasar argumentasi yang mengacu pada kewenangan institusi yang dijamin oleh hukum. Baik Polri maupun KPK merupakan institusi yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. KPK yang khusus bertugas di area tindak pidana korupsi ditambah dengan wewenang penuntutan. Selain Polri dan KPK, ada pula Kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Selintas, ada potensi konflik kewenangan antara ketiga institusi tersebut. Belakangan ini terjadi buntut dari penetapan status

“tersangka” bagi calon tunggal Kapolri oleh KPK, bukan hanya beraroma

benturan kewenangan antara Polri dan KPK, tetapi juga penggunaan kewenangan untuk kepentingan masing-masing institusi. KPK dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan Polri, dan Polri dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan KPK. Kedua pihak ini membawa dasar hukumnya masing-masing.8

Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia masih menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan, Karena lembaga negara bantu ini adalah sebagai salah satu institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam


(16)

pembahasan ini. Sebab, secara filosofis maupun praktis kedudukan dan legitimasi penegakan hukum merupakan pintu masuk baik bagi penegakan hukum maupun tata kelola kenegaraan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat pembatasan masalah yakni kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945. Serta sengketa kelembagaan KPK dengan lembaga negara Kepolisian Republik Indonesia, dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan permasalahan kedudukan lembaga negara bantu khususnya KPK dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia dan sengketa kelembagaan antara KPK dengan Kepolisian RI.

 Bagaimana penyelesaian sengketa yang telah dilakukan


(17)

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah, secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui kedudukan lembaga KPK sebagai negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

b. Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik kelembagaan antara KPK dan lembaga Kepolisian.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan hukum tata negara dalam bidang lembaga-lembaga negara bantu (auxiliary state organs) dalam hal ini studi analisis kedudukan KPK, utamanya yang mengenai sengketa kelembagaan antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia dan segala aspek yang menyangkut kedudukan serta kewenangan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain dari pada itu adanya tulisan ini dapat menambah perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi juga bagi perkembangan hukum tata negara Indonesia.


(18)

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan mengenai sengketa kelembagaan KPK sebagai lembaga negara bantu dengan Polri, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan penelitian ini diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi perdebatan dan argumen yang cenderung negatif terkait kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu serta hubungan kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain di negara indonesia.

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Adapun skripsi dan buku yang terkait dengan judul diatas sebagai berikut:

1. Buku berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK yang ditulis oleh Dr. Ermansjah Djaja. Didalam buku ini Ermansjah Djaja menjelaskan tentang pemberantasan korupsi versi KPK, karena masih banyaknya masyarakat atau kelompok masyarakat yang belum mengetahui dan memahami tentang tugas dan kewajiban serta independensi KPK. 2. Buku berjudul Seri Hukum Kepolisian dan Good Governance yang


(19)

mendalam tentang landasan filosofis, teoritis dan yurudis penyelenggaraan kepolisian dan mengaji konsep-konsep dasar untuk mewujudkan kepolisian yang baik serta konsep penyelenggaraan kepolisan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik.

3. Buku berjudul Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945 yang ditulis oleh Dr. Patrialis Akbar, S.H. M.H. didalam buku ini dibahas mengenai sejarah kelembagaan sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 juga membahas tentang hubungan antar cabang kekuasaan negara menurut UUD 1945.

4. Skripsi Sri Hayati Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan judul skripsi

“Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”. Sri Hayati membahas tentang bagaimana tugas dan wewenang serta perbandingan tugas dan wewenang antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia, adapun perbedaanya dalam skripsi ini membahas tentang kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia studi analisis KPK sebagai lembaga negara bantu dan membahas sengketa KPK dengan lembaga Polri.

5. Skripsi Lintang Octiariska pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan judul skripsi “Eksistensi Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga Negara Independen dalam Sistem


(20)

Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Lintang Octiariska membahas tentang eksistensi KPK dan membahas tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu 10 tahun berdirinya komisi KPK. Adapun perbedaannya dengan judul skripsi yaitu membahas tentang kedudukan KPK dan analisis sengketa KPK dengan Polisi Republik Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan jenis penelitian hukum terkait dengan kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya analisis kedudukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penulis mencari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.

2. Pendekatan

a. Pendekatan Perundang-undangan


(21)

2) Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

3) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

3. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama, yang diperoleh dari UUD NRI 1945, Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, makalah, skripsi, jurnal hukum dan sebagainya.

4. Metode Pengumpulan Data

Penuli menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan hukum kelembagaan negara dan lembaga negara bantu (KPK), pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.

5. Metode Pengelolaan dan Analisa Data

Penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu metode analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi


(22)

objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

6. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.

Bab II, Landasan Teori. Dalam bab ini dibahas mengenai negara hukum, konsep pemisahaan kekuasaan, lembaga negara dan lembaga negara bantu serta sengketa kelembagaan negara.

Bab III, Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas dan wewenang KPK, tugas dan wewenang Polri, hubungan KPK dengan lembaga negara lainnya.


(23)

Bab IV, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada bab ini merupakan inti atau subtansi dari keseluruhan penelitian skripsi, bab ini membahas kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sengketa kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya, dan upaya penyelesaian sengketa lembaga KPK dengan Polri.


(24)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Negara Hukum

Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur dalam penjelasan UUD 1945, dalam perubahanya telah diangkat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah

negara hukum”, konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Bahkan, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk.

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh

para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato dalam bukunya “the statesman” dan “the law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik yang dapat dicapai (the best life possible) dengan supremasi hukum. Hukum merupakan wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya.1

1

George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart and Winston, 1961), h. 35


(25)

Konsep rechstaat lahir dari satu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria rechstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Konsep the rule of law dalam karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan common law adalah judicial.2 Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintahan diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya hubungan antara paham negara hukum dan kerakyatan sehingga ada sebutan negara hukum demokratis atau democratische rechstaat.3

Sebagai ciri negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Untuk ciri ini dapat dilihat pada Pasal 24 Undang-Undang Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Di dalam penjelasan

terhadap Pasal 24 ini dijelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah

kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah”. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan di dalam

undang-undang tentang kedudukan para hakim. Dengan begitu maka untuk ciri negara hukum dapat dipenuhi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ciri lain dari negara hukum adalah legalitas dalam arti hukum dalam

2

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 72

3

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), h. 67


(26)

bentuknya. Ini dimaksudkan bahwa untuk segala tindakan seluruh warga negara, baik rakyat biasa maupun penguasa haruslah dbenarkan oleh hukum, di Indonesia berbagai peraturan untuk segala tindakan sudah ada ketentuannya, sehingga untuk setiap tindakan itu harus sah menurut aturan hukum yang telah ada.

Untuk mengamankan ketentuan-ketentuan tersebut maka di Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan untuk memberi pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang dianggap melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh hukum. Jadi semua landasan yang menjadi cirii dari negara hukum dapat ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup memberikan jaminan. Yang sering menjadi persoalan adalah pelaksanaanya di lapangan yang kerapkali menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya.4

Paham negara hukum harus dibuat jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri, pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).5

4 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 86-87

5Yusril Ihza Mahendra, “Dinamika Tata Negara Indonesia”, (Jakarta: Gema Insani Press


(27)

Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Professor Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formal atau negara hukum klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undang tertulis. Tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan istilah negara penjaga malam. Negara hukum material mencakup pengertian yang lebih luas termasuk keadilan didalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate).6

Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda. Negara hukum adalah suatu pengertian yang berkembang, terwujud sebagai respon atas masa lampau. Oleh karena itu, unsur negara hukum berakar pada sejarah dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki sejarah tersendiri yang berbeda.7

6 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar 1962), h. 9 7 Marwan Effendi, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 30-32


(28)

B. Konsep Pemisahan Kekuasaan

Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Doktrin ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsikan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power). Filsuf inggris John Locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul Two Treatis on Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (the Gloriuos Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif, yang masing-masing terpisah satu sama lain.8

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1748, filsuf prancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Espirit des Lois (the Spirit of the Laws). Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan

8Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977), h.


(29)

penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahkan untuk menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik yang tertekan di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah secara absolut.. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahaan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di satu orang atau badan karena dikhawatirkan akan melaksanakan pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini dimaksud agar hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Ketiga kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya.

Pendapat tersebut tentu berbeda dengan John Locke yang memasukan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena kekuasaan tersebut dianggapnya sangat berbeda dengan kekuasaan eksekutif. Sebaliknya oleh Montesquieu, kekuasaan hubungan luar negeri


(30)

yang disebut oleh John Locke “federatif” dimasukannya ke dalam

kekuasaan eksekutif.9

Kenyataannya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih efektif.10 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat). Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai dari state auxiliary organ (U.S.A), quasi outonomous governmental organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya menggunakan istilah komisi untuk menyebut lembaga ini.11

9 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h.11

10Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 217

11 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 9


(31)

C. Konsep Lembaga Negara

Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang dalam bahasa inggris disebut Government Organization atau Non-Governmental Organization (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara.

Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri dari atas interaksi sosial yang berstruktur.12 Dalam kamus hukum Belanda-Indonesia,13 kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Oleh

12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S. Natabaya, dalam Jimly Asshiddiqie dkk. (editor Refly Harun dkk.)., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h. 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga-Lembaga Negara, Sekretariat Jendral MKRI dan KRHN, Jakarta, 2005, h. 29-30

13 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan cet-2, 2002), h. 390


(32)

karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, dan alat perlengakapan sering kali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, menurut Natabaya, penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) Tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara.

Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the Staate-Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever ful lls a Function determined by the legal order is an organ”.14 Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentuka oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of

14 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell and Russell, 1961), h. 192


(33)

a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”.

Lembaga-lembaga negara yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 tampaknya perumus UUD NRI Tahun 1945 dalam BPUPKI dan PPKI sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sejenis yang ada dalam sistem ketatanegaraan kerajaan Belanda. Kecuali MPR, lembaga-lembaga negara lain dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat dibandingkan dengan lembaga-lembaga di negeri belanda, yaitu Kepala Negara (Ratu), Kepala Pemerintahan Eksekutif (Perdana Menteri), Staten Generaal (parlemen) Rekenkamer (pemeriksaan Keuangan), Raad van State (Dewan Pertimbangan Negara), dan Hogerechtshof (Mahkamah Agung).15

Lembaga negara terkadang disebut sebagai istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga negara saja. ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau ranking kedudukanya tentu saja tergantung pada derajat pengaturanya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk

15 Jimly Asshiddiqie, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 5


(34)

Karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.

Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih efektif.16 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat). Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai dari state auxiliary organs (U.S.A), quasi outonomous governmental organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya digunakan istilah komisi untuk menyebut lembaga ini.17

1. Lembaga Negara Bantu

Kemunculan lembaga negara yang dalam pelakasanaan fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad

16Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 217

17Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 9


(35)

ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Prancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang.18

Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum

digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada

kenyataanya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi pemerintah) atau NGO non-governmental organization).

Secara teoritis lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan di biayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu

18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 8


(36)

sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Adanya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:

a. Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan b. Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada

pemerintah;

Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.19

19T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,

(makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004), h. 2


(37)

Colin Talbot, Profesor Kebijakan Publik dari Universitas Nottingham Inggris mengemukakan pendapat mengenai kriteria-kriteria terbentuknya lembaga-lembaga independen20 :

a. Merupakan kepanjangan tangan dari lembaga pemerintahan utama/pusat

b. Pejabat yang mengisinya tidak termasuk PNS tetapi melayani publik

c. Keuangannya berasal dari anggaran negara

d. Tidak bisa membuat peraturan yang mengikat ke luar, tetapi mereka diatur oleh aturan tertentu.

Apabila ditelaah kriteria yang diberikan oleh Colin Talbot mengenai lembaga independen ini dan menerapkanya pada keberadaan lembaga KPK maka dapat terlihat bahwa KPK memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Keberadaan KPK yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sebenarnya merupakan kepanjangan tangan dari kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai lembaga Utama (Polri) dianggap kurang efektif menjalankan tugasnya dengan wewenangnya yang luas maka dibentuklah lembaga baru yang mempunyai spesialisasi tugas tertentu dengan mengambil sebagian kewenangan lembaga utama agar lebih bersifat independen.

Berikut pembagian lembaga negara berdasarkan Pembentukanya ;

a. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

20 Christopher Pollit and Colin Talbot, Unbundled Government; A Critical Analysis of The Global Trend to Agencies, Quangos and Contractualisation, (London: Routledge, 2004), h.5


(38)

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 4. Presiden dan Wakil Presiden 5. Mahkamah Agung (MA) 6. Mahkamah Konstitusi (MK) 7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 8. Komisi Yudisial

b. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 7. Komisi Kepolisian Nasional

8. Komisi kejaksaan 9. Dewan Pers

c. Lembaga Negara Menurut Peraturan Di Bawah Undang-Undang 1. komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas

Perempuan)

2. Dewan Maritim Nasional (DMN) 3. Komisi Ombudsman Nasional (KON)


(39)

4. Dewan Ekonomi Nasional (DEN)

5. Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) 6. Dewan Riset Nasional (DRN)

7. Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS)

8. Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga non departemen.

Lembaga negara yang disebutkan dalam kelompok 2 dan 3, dapat dikatakan sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Selain lembaga tersebut di atas, masih terdapat banyak lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan perppu. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah dan berkurang mengingat lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan bergantung pada kebutuhan Negara.

2. Sengketa Lembaga Negara

Hubungan antar satu lembaga dengan lembaga negara yang lainnya diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut, lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat dan saling mengimbangi satu sama lain.

Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang


(40)

diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi.21

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, disamping melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD, pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakan ketentuan yang terdapat dalam UUD. Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD; dan (2) kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya bersumber dari UUD.22

Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara/organ negara: a. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara

atribusi (oleh UUD 1945);

b. Lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan (termasuk komisi

21 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010), h. 150

22 Harjono, Transformasi dan Demokrasi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2009), h. 140


(41)

independen, independent regulatory agencies) yang tidak bertanggung jawab kepada siapapun.

c. Lembaga negara yang wewenangnya diberika secara delegasi pembuat peraturan perundang-undangan termasuk komisi negara eksekutif (executive branch agencies) yang bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.23

Lembaga negara organ kategori pertama dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara kategori kedua dapat pula berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas, lembaga negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.

23 Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lmebaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 3, Juni 2010), h. 41


(42)

32

A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada sejak era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan efektif, perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak hukum yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.1

Korupsi sudah dianggap sebagai masalah internasional. Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Secara umum, tindak pidana ini tidak hanya mengakibatkan kerugian negara (keuangan negara), tetapi dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial, ekonomi, keamanan, politik, dan budaya.2

Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UU KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK didirikan untuk mengatasi permasalahan tentang korupsi yang selama ini dirasa gagal dalam

1 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h. 31.

2Romli Atmasasmita, “Perspektif Pengadilan Korupsi di Indonesia”. Dalam Seminar, ed.,


(43)

penegakan hukumnya. Melihat dari sifatnya, KPK adalah lembaga ad hoc yang merupakan salah satu komisi negara bersifat membantu dalam mengawal dan mengawasi penegakan hukum serta mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Akan tetapi pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang demikian luas, di samping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana Indonesia. Untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dilaksanakan secara optimal. Badan-badan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi, belum berfungsi secara efektif.3

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dibentuk dengan misi utama melakukan penegakan hukum, yakni dalam pemberantasn korupsi. Dibentuknya lembaga ini dikarenakan adanya pemikiran bahwa lembaga penegak hukum konvensional, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu memberantasan

3 Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasanya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 219


(44)

korupsi.4 Oleh karena itu, perlu dibentuk lembaga khusus yang mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan manapun.

Secara khusus urgensi pembentukan KPK dapat dilihat dari pokok-pokok pikiran pembentukan KPK. Dalam pokok-pokok pikiran tersebut dijelaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sistemik dan meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus dengan metode dan lembaga baru.5 Komisi Pemberantasan korupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang.

B. Tugas dan Wewenang KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Sebagai berikut:

4 Teten Masduki dan Danang Widoyoko, Menunggu Gebrakan KPK, Jantera 8 Tahun III, (T.t., T.p., Maret, 2005), h. 41

5 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia


(45)

1. Melakukan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau lembaga Pemerintah Non-Departemen.

3. Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, komisi pemberantasan Korupsi berwenang:

4. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melakasanakan pelayanan public dan mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.

5. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

6. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. 7. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13


(46)

dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pendukung pelaksana tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang : 1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi yang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pasal 7 berwenang :

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait

d. Melakukan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi e. Meminta laporan instansi terkait pencegahan tindak pidana

korupsi

2. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14 undang-undang nomor 30 tahun 2002

a. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dan diatur dalam Pasal 8, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan


(47)

wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. b. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), komisi pemberantasan korupsi berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian.

c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan dan penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan komisi pemberantasan korupsi.

Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 3 bahwa :

3. Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejakasaan atau komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala rumah tahanan Negara untuk menempatkan di rumah tahanan tersebut. a. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan dengan


(48)

segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada komisi pemberantasan korupsi. b. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 dan diatur dalam Pasal 9, dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan alasan:

1) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti

2) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan 3) Penanganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk

melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya (a) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur

korupsi

(b) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislative atau

(c) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat di pertanggung jawabkan.

4. Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberitahukan kepada


(49)

penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani vii

5. Dalam melakasanaka tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang di atur dalam Pasal 12 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, komisi pemberantasan korupsi berwenang:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk meblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait

e. Memerintahkan kepada pemimpin atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatanya

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait

g. Menghentikan suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;


(50)

h. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa:

Ketentuan ini dimaksud untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan atau untuk menghindari kerugian Negara yang lebih besar.

1) Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri

2) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf I disebutkan:

Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal komisi pemberantasan korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala rutan tahanan Negara untuk menrima penempatan tahananan tersebut dalam rumah tahanan.

3) Dalam melaksanakan tugas pencegahan diatur dalam Pasal 13 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:


(51)

1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan kekayaan penyelenggara Negara

2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi 3. Menyelenggaraan program pendidikan anti korupsi pada

setiap jenjang pendidikan

4. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi

5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum

6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan korupsi

4) Dalam melaksanakan tugas monitor diatur dalam Pasal 14 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:

1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah 2. Memberi saran kepada pemimpin lembaga Negara dan

pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, hasil pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi

3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan


(52)

Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa kehadiran KPK diharapkan menjadi pemicu terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan menjadi terpacu untuk bergerak cepat mengusut kasus-kasus korupsi. Kemudian pembentukan KPK merupakan a temporary way-out, jalan keluar sementara. Sejatinya, KPK bukan bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. KPK tidak didesain untuk menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum, sehingga keberadaanya bersifat temporal. Oleh sebab itu, keberadaan KPK juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap fungsi KPK yang lain, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penegak hukum lainnya.6

C. Tugas dan Wewenang POLRI

Tugas dan wewenag Polri secara umum diamanatkan langsung oleh

UUD NRI Tahun 1945 pada amandemen ketiga, yaitu “sebagai alat negara

yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,

mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Tugas-tugas

6 Fahri Hamzah, Demokrasi Transisi Korupsi: Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik, (Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012), h. 85-86


(53)

tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Tugas pokok Polri seperti tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam rangka menyelenggarakan tugas khusus di bidang proses pidana seperti yang diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polri berwenang untuk :

1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;


(54)

9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

10.Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

11.Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

12.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

D. Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Lembaga Negara Lainnya

Mengenai hubungan kewenangan antar lembaga negara pasca amandemen UUD 1945 tercantum dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan atas Perubahan UUD 1945 yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balances, sehingga antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lain bisa saling mengontrol. Prinsip check and balances itu telah memberikan peluang kepada kekuasaan yang satu untuk bisa ikut dalam kekuasaan yang lain.

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki independensi dan kebebasan dalam melakasanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang bekaitan dengan keorganisasian. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002


(55)

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa pimpinan KPK yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil anggota, yang semuanya merangkap sebagai anggota, dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden seperti yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 30 ayat (1).

Segala hal yang berkaitan dengan hubungan kedudukan antara KPK dengan lembaga-lembaga negara lain selalu mengacu kepada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tugas dan kewenangan yang serupa dengan lembaga kejaksaan membuat KPK terkesan lebih dekat dengan cabang kekuasaan eksekutif dibandingkan dengan cabang kekuasaan legislatif maupun yudikatif.

KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan kekuasaan yudikatif. Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi7 mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutanya diajukan oleh KPK. Walaupun berada di lingkungan peradilan umum (terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 53 dan 54

7 Sejak 19 Desember 2006, pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) RI, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun sejak putusan MK RI tersebut dibacakan. Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h. 290


(56)

ayat (1), namun pengadilan Tipikor bersifat khusus karena berhubungan langsung dengan penuntut umum yang berasal dari KPK, bukan kejaksaan. Kedua hal inilah \, yaitu (1) pembentukan pengadilan Tipikor atas amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan (2) pelimpahan perkara oleh KPK kepada pengadilan Tipikor secara langsung tanpa melalui kejakasaan, yang mempertegas kekhususan hubungan kedudukan KPK dengan cabang kekuasaan yudikatif. Keterkaitan kedudukan antara KPK dengan cabang kekuasaan kehakiman juga terlihat pada pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan landasan oleh KPK sebagai dasar hukum yang menjamin eksistensi KPK, yaitu pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa badan-badan selain lembaga peradilan yang memiliki fungsi terkait dengan kekuasaan kehakiman dapat dibentuk dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.

Keberadaan KPK dalam menjalankan tugasnya menjalin hubungan fungsional dan koordinatif dengan lembaga penegak hukum yang telah ada yaitu Kepolisian dan Kejakasaan. Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK seperti yang telah tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut diatas.

Dengan adanya pemberian kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi kepada KPK, maka KPK dapat melaksanakan sebagian kewenangan dari Kepolisian dan


(57)

Kejaksaan di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.8

Hubungan fungsional antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia bersifat timbal balik, hal ini didasari dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga negara tersebut dapat melakukan kerjasama dengan lembaga negara lain yang berfungsi menegakan hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6 huruf a dan b, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berfungsi memberantas korupsi. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan koordinasi, dan supervisi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau dengan Kejaksaan Negara Republik Indonesia. Sedangkan ketentuan mengenai lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan kerjasama denga lembaga atau instansi lain yang berfungsi memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang secara rinci menegaskan bahwa kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan kerjasama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di luar negeri yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi.

8 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), h. 16


(58)

48

A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia UUD 1945

Sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD NRI 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR, dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip

check and balances”.1

Selain lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lambaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD juga diatur lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara

1 Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial


(59)

Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara tersebut dalam UUD NRI 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD NRI 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama (main organs). Misalnya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu dari fungsi kekuasan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara ini hanya bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan lembaga-lembaga negara utama sebagaimana yang disebutkan diatas, yang dalam ketatanegaraan disebut dengan state auxiliary bodies (lembaga negara bantu).

Walaupun tugasnya melayani, akan tetapi menurut Sri Sumantri M,2 secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar juga tidak, boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara

2 Sri Sumantri M, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Mneurut UUD NRI 1945, dalam Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga. Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan. (Surabaya: University Press), h. 204


(60)

yang bersangkutan. Sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian Negara dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD NRI 1945 dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dalam UUD NRI 1945, tidak dapat diartikan bahwa UUD NRI 1945 memandang Kepolisian Negara itu lebih penting ataupun lebih tinggi kedudukanya konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung.

Demikian pula halnya dengan komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang daitur secara umum dalam UUD NRI 1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang belaka, untuk menentukan status hukum kelembagaanya maupun para anggota dan pimpinanya dibidang protokoler dan lain-lain sebagainya, tergantung kepada bentuk undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena itu agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar lembaga negara, pembentuk undang-undang harus berusaha dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang terperinci dan jelas dalam undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga negara dimaksud.

Lahirnya komisi-komisi negara merupakan fenomena kenegaraan baru apabila dilihat dari sisi sistem ketatanegaraan dalam arti tatanan kelembagaanya. Namun dari sisi hakekat bernegara bangsa Indonesia, penting dikaji esensi atau hakekat komisi negara dalam perspektif


(1)

Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan

Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.

Pasal 4

Cukup jelas Pasal 5

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :

a. “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

c. “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

e. “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen.

Pasal 7

Cukup jelas Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i.


(2)

Pasal 9

Cukup jelas Pasal 10

Cukup jelas Pasal 11

Huruf a

Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Huruf b

Cukup jelas Huruf c

Cukup jelas Pasal 12

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau korporasi.

Huruf g

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar.

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan.

Pasal 13

Cukup jelas Pasal 14

Cukup jelas Pasal 15

Huruf a

Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e


(3)

Pasal 16

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 17

Cukup jelas Pasal 18

Cukup jelas Pasal 19

Cukup jelas Pasal 20

Cukup jelas Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas Pasal 23

Cukup jelas Pasal 24

Cukup jelas Pasal 25

Cukup jelas Pasal 26

Cukup jelas Pasal 27

Cukup jelas Pasal 28

Cukup jelas Pasal 29

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g


(4)

Cukup jelas

Huruf i

Yang dimaksud dengan “jabatan lainnya” misalnya komisaris atau direksi, baik pada Badan Usaha Milik Negara atau swasta.

Huruf j

Yang dimaksud dengan “profesinya”, misalnya advokat, akuntan publik, atau dokter.

Huruf k

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas Pasal 31

Yang dimaksud dengan “transparan” adalah masyarakat dapat mengikuti proses dan mekanisme pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 32

Cukup jelas Pasal 33

Cukup jelas Pasal 34

Cukup jelas Pasal 35

Cukup jelas Pasal 36

Cukup jelas Pasal 37

Cukup jelas Pasal 38

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas Pasal 40

Cukup jelas Pasal 41

Yang dimaksud “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana korupsi.

Pasal 42

Cukup jelas Pasal 43

Cukup jelas Pasal 44

Cukup jelas Pasal 45

Cukup jelas Pasal 46

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.

Ayat (2)


(5)

Pasal 47

Cukup jelas Pasal 48

Cukup jelas Pasal 49

Cukup jelas Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan.

Pasal 51

Cukup jelas Pasal 52

Cukup jelas Pasal 53

Cukup jelas Pasal 54

Cukup jelas Pasal 55

Cukup jelas Pasal 56

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menetapkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Ketua Mahkamah Agung dapat menyeleksi hakim yang bertugas pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Berdasarkan ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut.

Pasal 57

Cukup jelas Pasal 58

Cukup jelas Pasal 59

Cukup jelas Pasal 60

Cukup jelas Pasal 61

Cukup jelas Pasal 62

Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan untuk pemeriksaan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.


(6)

Pasal 63

Cukup jelas Pasal 64

Yang dimaksud dengan “biaya” termasuk juga biaya untuk pembayaran rehabilitasi dan kompensasi.

Pasal 65

Cukup jelas Pasal 66

Cukup jelas Pasal 67

Cukup jelas Pasal 68

Cukup jelas Pasal 69

Cukup jelas Pasal 70

Cukup jelas Pasal 71

Cukup jelas Pasal 72

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4250