Kebijakan Air dan Ekonomi Lingkungan

Mata Kuliah
Perihal
Topik
Nama
Prodi
NIM
Tanggal

KEBIJAKAN AIR DAN LINGKUNGAN EKONOMI
UJIAN AKHIR SEMESTER
Ulasan Paper
Muhammad Rizki Sya’bani
Pengelolaan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi (PIAS)
25714003
15 Desember 2014

PENDAHULUAN
Seluruh kehidupan di dunia tidak dapat terlepas dari air. Air menjadi prasyarat bagi
kelangsungan hidup setiap makhluk. Ketersediaan air adalah hak mutlak yang harus diterima
oleh setiap warga negara di Indonesia. Hak tersebut bagi setiap warga negara harus
mendapatkan jaminan dan perlindungan. Negara harus mampu mengaturnya seperti yang

telah diamanatkan di dalam Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ”. Berdasarkan amanat konstitusi

tersebut, negara mengamanatkan kepada pemerintah melalui UU No.7 Tahun 2004 untuk
mengatur dan menjamin kebutuhan dan memberikan perlindungan hak setiap individu bangsa
untuk

mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok

memenuhi kehidupan yang sehat,

bersih,

dan produktif,

minimal sehari-hari guna

termasuk pula memberikan


perlindungan terhadap resiko yang timbul akibat potensi dan daya air.
Saat ini terdapat banyak sekali masalah yang berkaitan dengan air di berbagai wilayah di
Indonesia, tidak terkecuali di DKI Jakarta. Ancaman banjir dan Rob menjadi salah satu
masalah besar yang kini dihadapi Ibukota Negara RI kita ini. Perubahan iklim, konversi lahan
dan laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta yang sangat tinggi akibat urbanisasi tidak
diimbangi dengan manajemen pengelolaan air yang baik menjadi tiga komponen utama yang
menyebabkan banjir di DKI Jakarta. Dalam paper yang berjudul “Perubahan Iklim,
Konversi Lahan, Ancaman Banjir dan Rob Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta ” yang

ditulis oleh Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Prof. Dr. Ir.Arwin
Sabar, telah dijelaskan dengan sangat baik perihal penyebab mengapa ancaman dan masalah
banjir tersebut melanda DKI Jakarta. Dalam tulisan ini, saya akan mereview kembali paper
ancaman banjir dan rob di DKI Jakarta tersebut dan mencoba mengulasnya dalam pendekatan
Kebijakan Air dan Lingkungan Ekonomi.

ULASAN ANCAMAN BANJIR DAN ROB DKI JAKARTA

Skema ini menggambarkan apa yang terjadi di DKI Jakarta yang menjadi sebab ancaman
banjir dan rob, serta bagaimana rencana pemerintah DKI Jakarta dalam mengatasinya.
Berikut ini adalah uraian penyebab-penyebab ancaman banjir dan rob di DKI Jakarta

tersebut, dengan hal-hal yang menjadi masalah lanjutan setelahnya.
A. Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena yang santer didengar saat ini. Banyak sekali
pendapat yang memberikan penjelasan tentang bagaimana hal tersebut bisa terjadi.
Kaitannya dengan masalah air ialah, perubahan iklim menyebabkan ekstrimitas hujan,
pada saat hujan terjadi, debit air yang turun dalam jumlah sangat besar, sebaliknya saat
musim kemarau terjadi kekurangan air yang diakibatkan buruknya manajemen air di
musim hujan. Selain mempengaruhi curah hujan, perubahan iklim juga menyebakan
naiknya permukaan laut dan mempengaruhi watak aliran pembuangan air dari daratan ke
laut di pesisir pantai.

Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air laut,
sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan meningkat.
Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar pulau

Greenland (di sebelah utara Kanada), sehingga akan meningkatkan volume air laut.
Kejadian tersebut menyebabkan tinggi muka air laut meningkat antara 10 - 25 cm selama
abad ke-20. Hal ini tercatat pula di DKI Jakarta, yakni peningkatan muka laut (sea level
rise/SLR) di Teluk Jakarta diketahui sebesar 0,575 cm/tahun. Perubahan tinggi muka laut
akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pesisir pantai DKI Jakarta. Dengan

naiknya permukaan air laut, peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan bukit pasir juga akan
meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka banjir akibat air pasang akan
meningkat di daratan DKI Jakarta. Bahkan dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut
sudah cukup mempengaruhi ekosistem pesisir pantai DKI Jakarta, dan menenggelamkan
sebagian daerah pesisir pantai DKI Jakarta.
Meningkatnya suhu di atmosfer akan berpengaruh terhadap kelembaban udara. Pada
daerah-daerah beriklim hangat seperti DKI Jakarta akan menjadi lebih lembab karena
lebih banyak air yang menguap dari lautan, sehingga akan meningkatkan curah hujan. Hal
inilah yang terjadi di DKI Jakarta, hasil analisa akademik dipos Hujan ITB (1987-2007)
Intensitas hujan (IDF) DKI Jakarta semakin ekstrim, sementara hasil pengolahan data
hujan wilayah di DAS Ciliwung Bopunjur didapatkan pula distribusi hujan semakin
ekstrim dimana hujan wilayah pada bulan Februari semakin meningkat sedangkan debit
minimum pada bulan Agustus dan September semakin menurun.
B. Konversi Lahan

P=I+R
I = P-R
ΔS = (P-R) – E – B* – B**
Maka, keandalan kuantitas air
akan terjamin di musim

kemarau ialah apabila I > E
(Arwin, 2009)

Sejak dahulu, lahan resapan air seperti hutan dan kawasan terbuka hijau memiliki peran
penting dalam konservasi air. Keberadaannya memungkinkan terjadinya siklus hidrologi
normal yang seimbang. Saat hujan turun (P), air akan jatuh ke permukaan dan terinfiltrasi
ke dalam tanah (I) melalui daerah resapan, sebagian lagi melimpas di permukaan tanah (R)

dan terakumulasi di badan air (DAS, danau, dan laut) menjadi air permukaan. Air yang
terinfiltrasi di dalam tanah akan menjadi cadangan air (ΔS) dan mengalir melalui lapisan
akuifer berupa aliran air tanah kemudian bermuara di DAS sebagai best flow (B).
Sedangkan air yang tersisa di daratan akan mengalami proses evaporasi (E) dan menguap
ke atmosfer. Dengan jumlah yang besar, air yang terinfiltrasi (I) ke dalam tanah menjadi
cadangan air (ΔS) dan Best flow (B) akan menjamin keandalan air di musim kering.
Berdasarkan skema tersebut, maka lahan resapan merupakan salah satu hal yang amat
penting fungsinya bagi keberlanjutan air. Sejak tahun 1970, di DKI Jakarta terjadi
peningkatan pembangunan, industri dan urbanisasi yang sangat signifikan, menyebabkan
terjadi konversi lahan resapan menjadi kawasan terbangun (industri dan budidaya). Hal
tersebut mengakibatkan menurunnya Infiltrasi (I) air ke dalam tanah saat hujan (P),
pasokan air tanah (ΔS) sebagai best flow (B) menurun drastis, limpasan air permukaan (R)

di daratan tidak terkendali, peningkatan suhu menambah besaran jumlah evaporasi air
permukaan sehingga dari kesemua hal tersebut akan mengancam banjir dan kekeringan di
down Stream (I < E). Gambar di bawah ini menunjukkan konversi lahan di wilayah DKI
Jakarta sejak tahun 1970-2005.

1983

1992

1972

2005

2000

Tidak cukup sampai disitu, limpasan air permukaan yang meningkat juga menyebabkan
terjadinya erosi lahan dan mengikis lapisan top soil sehingga mengurangi kesuburan tanah.
Pengikisan lapisan top soil yang dibawa oleh limpasan air tersebut berupa partikel diskrit
yang mana ketika terakumulasi badan air (sungai, danau, dll) akan mengendap di dasar


sebagai sedimen, sehingga akan berakibat pada pendangkalan sungai dan penurunan
kualitas air terutama kekeruhan.
Peningkatanya luas genangan banjir di kawasan pesisir DKI Jakarta tidak lepas dari laju
degradasi lahan di DAS kemudian bermuara di Teluk Jakarta dan DAS Ciliwung hulu–
Bopuncur sehingga menyebabkan debit banjir meningkat. Terjadinya Konversi lahan
suksesif berupa alih fungsi lahan dari hutan, budidaya pertanian, pemukiman pedesaan,
urbanized land cover mengakibatkan limpasan air permukaan semakin tinggi dan debit

aliran dasar semakin kecil (fenomena ekstrimitas debit air). Kemudian dengan pasang
surut laut ditambah kenaikan muka air laut, maka ancaman banjir semakin besar di daratan
landai DKI Jakarta .

C. Pertumbuhan Penduduk
Seperti yang kita ketahui bersama, DKI Jakarta adalah sebuah kota urban metropolitan
yang populasinya lebih dari 1 (satu ) juta jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk dan
mobilitas yang tinggi. Sejak tahun 1970 DKI Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
memasuki proses industrialisasi dan urbanisasi dengan cepat. Tercatat hingga tahun 1990
pertumbuhan penduduk di kawasan tersebut mencapai 4% per tahun dan pada kurun waktu
(1990-2000) pertumbuhan penduduk


turun menjadi 2,4% per tahun namun laju

peningkatan jumlah penduduk tersebut tetaplah tinggi. Jumlah penduduk pada tahun 1970
adalah 8,3 juta dan meningkat hingga mencapai 20 juta jiwa pada tahun 2000. Berdasarkan
kecenderungan pertumbuhan tersebut, pada tahun 2025 jumlah penduduk di kawasan
tersebut diperkirakan akan mencapai lebih dari 50 juta (Tamin, 2008). Sementara itu laju
pertumbuhan

DKI

Jakarta

menuju

megapolitan,

tidak

diimbangi dengan


besaran

konservasi air dan laju pelayanan air minum, dengan populasi DKI yang mencapai
9.234.978 Jiwa (BPS, 2009) dan akses terhadap sumber Air Minum hanya 34,81 %
(susesnas, 2009), maka hal tersebut membuka peluang terjadinya eksplotasi air tanah
berlebih, berimplikasi terhadap penurunan muka tanah & merusak profil bentangan alam
berdampak pada sistem drainase perkotaan tergantung pepompaan.
Dampak akibat fakta dan perilaku tersebut diatas, maka menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan antara air yang masuk tersimpan di dalam tanah ( Recharge) dengan air
yang di ambil dari dalam tanah oleh masyarakat (Discharge). Secara logis hal tersebut
menyebabkan air yang tersimpan di lapisan akuifer menurun, kemudian menyebabkan

tekanan oleh air terhadap tanah diatasnya akan menurun pula. Maka pada situasi ini akan
menyebabkan penurunan muka tanah, dan berpotensi terhadap timbulnya genangan air
(banjir) di daratan akibat luapan badan air permukaan.

Pengaruh

Perubahan


Iklim naiknya

muka laut,

semakin ekstrimnya limpasan air

permukaan, proses eksploitasi air tanah berjalan terus diringi permukaan tanah subsidens
dan proyek reklamasi pantai mempunyai kekuatan hukum, mengakibatkan kawasan pesisir
lama Jakarta rentan terhadap ancaman banjir di musim hujan dan rob pada periode pasut
amplitudo maksimum (Arwin, Pidato GB 27 Feb 2009). Berikut adalah peta penurunan
tanah di DKI Jakarta 1982-1997 (Meliana, 2009).

N
W

E

Penjaringan

Kalideres


Koja
Pademangan
Cilincing
Tanjung Priok
Taman Sari
Tambora
Cengkareng
Sawah Besar
Kemayoran Kelapa Gading
Grogol Petamburan
Gambir
Cempaka Putih
Senen
Cakung
Kebon Jeruk
Pulo Gadung
Menteng
Kembangan
Palmerah
Tanah Abang

Matraman

Setiabudi
Kebayoran Baru Tebet Jatinegara
Pesanggrahan
Kebayoran BAru
Pancoran
Kebayoran Lama
Mampang Prapatan

Duren Sawit

Makasar

Kramatjati
Pasar Minggu
Cilandak
Cipayung

S

2

0

2

4 Km

KETERANGAN :
Administrasi Kecamatan
Sungai
Penurunan Muka Tanah (Meter) :
0.012 - 0.024
0.024 - 0.036
0.036 - 0.048
0.048 - 0.06
0.06 - 0.072
0.072 - 0.084
0.084 - 0.096
0.096 - 0.108
0.108 - 0.12
No Data
Wilayah DKI Jakarta

DAMPAK BANJIR DAN ROB DKI JAKARTA

Banjir dan rob yang terjadi di
DKI Jakarta selalu menimbulkan
kerugian
secara

bagi masyarakat baik
langsung

langsung.
dialami

maupun

Dampak

tidak

banjir akan

langsung

oleh

mereka

yang rumah atau lingkungannya
terkena air banjir.
berlangsung

lama

Jika banjir
akan

sangat

merugikan karena aktivitas akan banyak terganggu. Segala aktivitas masyarakat akan terasa
tidak nyaman dan lingkungan menjadi kotor yang berdampak kurangnya sarana air bersih dan
berbagai penyakit mudah sekali menjangkiti warga yang terserang banjir.
Lebih parah lagi jika penduduk yang memiliki usaha rumahan bisa terganggu aktivitas
produksinya

sehingga

mengakibatkan

kerugian.

Kerugian akibat tidak

bisa produksi

berdampak pada karyawan yang bergantung nasib pada usaha tersebut. Kerugian tidak
berjalannya produksi bisa kehilangan pelanggan, kemacetan modal serta kerusakan alat garagara banjir. Jika terus menerus situasi terjadi demikian mengakibatkan macetnya ekonomi
kerakyatan yang kemudian berdampak pada semakin meningkatnya masalah sosial di
lingkungan masyarakat yang sering di landa banjir.
Dampak banjir yang terjadi di DKI sering
kali menganggu kesehatan lingkungan dan
kesehatan warga. Lingkungan tidak sehat
karena segala sampah dan kotoran yang
hanyut

seringkali

mencemari

lingkungan.

Sampah-sampah terbawa air dan membusuk
mengakibatkan penyakit gatal-gatal di kulit,
dan lalat banyak beterbangan karena sampah
yang membusuk sehingga sakit perut juga banyak terjadi. Sumber air bersih tercemar
sehingga mereka yang terkena banjir kesulitan air bersih dan mengkonsumsinya karena
darurat, sebagai penyebab diare.

Kemudian

dari

banjir

DKI

di

matinya

sisi ekonomi,
Jakarta

musibah

mengakibatkan

aktivitas ekonomi Jakarta dan

sekaligus
pertumbuhan

menjadi
ekonomi

stimulus

bagi

Jakarta.

Apalagi

notabennya DKI Jakarta adalah Ibukota
negara RI, maka secara langsung juga akan
menghambat aktivitas ekonomi kenegaraan
RI. Aktivitas perdagangan yang bisa mencapai miliaran rupiah dalam sehari, khususnya di
daerah pusat perbelanjaan, tiba-tiba hanyut seketika terbawa arus air yang sangat hebat.
Sarana dan prasarana publik maupun swasta rusak akibat terpaan air.

SOLUSI PEMERINTAH DKI JAKARTA
DALAM PENANGANAN MASALAH BANJIR DAN ROB

Seiring dampak perubahan iklim, konversi lahan, dan pertumbuhan penduduk terhadap rezim
hidrologi yang tercatat dalam arsip pustaka P (Curah hujan) dan Q (Pos debit air)
berkarateristik acak dan seterusnya konversi lahan dari bentangan alam menjadi bentangan
terbangun (lahan budidaya, permukiman pedesaan, perkotaan) maka pengendalian air yang
pada langkah konkritnya berupa pengembangan Infrastruktur Sumber Daya Air direspon
dengan dua langkah utama, yaitu adaptasi dan mitigasi (Kuliah Kebijakan Air dan
Lingkungan Ekonomi 2014 : Prof. Dr, Ir. Arwin Sabar. MS) :
1. Adaptasi
Didasarkan pada ketidakpastian besaran hujan & debit air dalam proses waktu, mengantar
para ahli hidrolologi dan Manajemen sumber air untuk melakukan proses penyesuaian
dengan memperhatikan resiko ekonomi fungsi infarstruktur sumber air berdasarkan pada
pentingnya

fungsi kawasan

terbangun,

dengan

membangun konsep

debit rencana

banjir/kekeringan
2. Mitigasi
Merupakan upaya mempertahankan keberlanjutan sumber air di daerah aliran sungai.
Bentuk konkrit upaya mitigasi terhadap pengendalian air (kuantitas / kualitas) secara
undirect: penerbitan peraturan / UU pengendalian
Insentif (reward) & dissentif.(pinalti,denda)

limpasan / pencemaran air dan direct:

Pengendalian kawasan terbangun Keppres No.114 1999 tentang Kawasan Bopuncur, UU
Kehutanan No 41 tahun 1999, pengendalian badan air diterbitkan PP 82 tahun 2001.
Pengendalian Air di kawasan terbangun :
a) Undirect (tak langsung) berupa penerbitan UU dan Peraturan terkait pengendalian
lingkungan air. Yaitu :






UUD Pasal 33 ayat 3
UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
UU Kehutanan No.41 Tahun 1999 Pasal 18 Ayat 2
PP Nomor 16 tahun 2005 Tentang Pengembangan SPAM Pasal 8 ayat 2
Keppres Nomor 114 tahun 1999

b) Direct (Langsung) berupa Insentif (Reward) dan Dissentif (Pinalti, denda).
Sementara itu dalam pelaksanaan teknis, solusi kongkrit dalam penanganan banjir dan rob di
DKI Jakarta meliputi substitusi air tanah dengan air permukaan, revitalisasi sistem utama
pengendalian banjir (sungai, waduk dan floodway), revitalisasi sistem drainase di DKI
Jakarta, revitalisasi pengendalian air di kawasan bopuncur, pengetrapan lebih luas drainase
Eco Friendly (Panen air hujan, sumur resapan, waduk & polder) di kawasan terbangun.
Disamping itu, terdapat 2 (dua) rencana strategis khusus dalam mengendalikan Banjir & Rob
pantura DKI Jakarta pada dasarnya mempunyai kesamaan, yakni memutuskan sistem
drainase daratan dengan laut (Jakarta Coastal Defence Strategy) dan DAM Lepas Pantai.
Untuk kedua pendekatan tsb tentunya sangat diperlukan pengendalian keberlanjutan sumber
daya air dan penanganan sampah di daratan, serta di sempurnakan dengan konsep Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM) Berkelanjutan.

SINERGITAS ANTARA BANJIR DAN ROB DKI JAKARTA TERHADAP
KEBIJAKAN AIR DAN LINGKUNGAN EKONOMI

Menurut

saya,

kebijakan

pada

dasarnya

merupakan konstruksi pikiran yang dirancang
berdasarkan

konseptualisasi

dan

spesifikasi

keadaan yang bermasalah baik yang telah
terjadi maupun yang diprediksi terjadi di masa
mendatang.

Perumusan

masalah

merupakan

aspek yang paling penting dalam membuat
kebijakan, tetapi hal yang satu ini ternyata paling sulit dilakukan karena seringkali kompleks
dan memerlukan dukungan data dan informasi yang akurat. Permasalahan Sumber Daya Air
memang sangat luas cakupannya. Tidak hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan air,
sumber-sumber air dan daya yang terkandung di dalamnya, tetapi mencakup semua unsur
yang berkaitan dengan unsur yang berpengaruh terhadap kondisi SDA dan unsur yang
dipengaruhinya, seperti aspek ekonomi dan sosial.
Permasalahan
Indonesia,

banjir

khususnya

dan
di

kekeringan
DKI

di

Jakarta

memang merupakan masalah yang terus
menerus berdampak buruk apabila tidak
segera dihentikan. Diperlukan sinergi antar
semua pihak. Untuk itu selain penanganan
struktural dalam Jakarta Coastal Defense
Strategy, diperlukan juga sebuah kebijakan yang dapat mengatur segala macam tentang

penggunaan Sumber Daya Air (SDA), mulai dari pendekatan preventif pencegahan masalah
maupun pemecahan masalah. Rumusan kebijakan air tersebut harus dibuat berdasarkan
pendekatan yang bersifat antisipatif terhadap permasalahan SDA yang terjadi hingga saat ini
dan yang mungkin akan muncul di waktu yang akan datang yang ditempuh melalui
penerapan kebijakan yang pada intinya bertujuan menurunkan atau menekan resiko kerugian
yang timbul akibat keadaan bermasalah dengan cara mengelola tingkat kerentanan kawasan
terhadap lima jenis bahaya, yaitu Keandalan air (Kualitas dan Kuantitas), Banjir, Kekeringan,
Erosi dan sedimentasi, Tanah longsor dan Intrusi air laut.

Kebijakan air diciptakan untuk mencapai visi pengelolaan SDA yakni terwujudnya SDA
yang terkelola secara adil,

menyeluruh,

terpadu,

dan berwawasan lingkungan untuk

kesejahteraan masyarakat. Rumusan visi tersebut dinspirasi oleh amanat yang terkandung di
dalam Pasal 3 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Menyeluruh , berarti mencakup semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi SDA,

pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air, serta mencakup seluruh tahapan
pengelolaan SDA yaitu : perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi. Terpadu ,
berarti pengelolaannya melibatkan semua pemilik kepentingan baik antarsektor maupun
antarwilayah administrasi. Berwawasan lingkungan hidup, maksudnya memperhatikan
keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Berkelanjutan , maksudnya tidak
hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi juga termasuk untuk generasi
yang akan datang.
Dalam

indikator

keberhasilannya

sebuah

kebijakan,

menurut

saya

dilihat

melalui

pencapaiannya berdasarkan 3 kriteria, yaitu :
1) Efisiensi ekonomi.
Didepan mata, permintaan jasa pelayanan air kian meningkat, sementara itu di
berbagai tempat terjadi kelangkaan atau keterbatasan air bersih dan sumber daya
finansial. Dalam situasi seperti itu, efisiensi ekonomi dalam pendayagunaan SDA
harus menjadi perhatian.

Agar dalam pengelolaan air dan pendistribusiannya,

masyarakat dapat menerima air secara kontinu dan tentunya dengan Harga yang
kompetitif. (Kuliah Kebijakan Air dan Lingkungan Ekonomi 2014 : Prof. Dr. Ir.

Arwin Sabar, MS)
2) Keadilan
Air adalah salah satu kebutuhan dasar yang mutlak diperlukan oleh setiap orang,
karena itu akses untuk memperoleh air yang bersih perlu diupayakan bagi setiap orang
untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup yang sehat dan produktif.
3) Keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.
Pendayagunaan SDA tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi jangka pendek,
tetapi harus memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, karena itu setiap
upaya pendayagunaan harus diimbangi dengan upaya konservasi yang memadai.