PRIVATISASI WAJAH BARU PENYULUHAN PERTAN
Privatisasi: Wajah Baru Penyuluhan Pertanian di Indonesia
Kadhung Prayoga1
1
Program Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada
Email: [email protected]
ABSTRAK
Privatisasi penyuluhan menjadi isu yang sangat hangat untuk diangkat dalam rangka
proses pembangunan pertanian. Privatisasi menjadi bahasan yang penting karena mengingat
minimnya dukungan dan dana yang digelontorkan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka
operasionalisasi kegiatan penyuluhan pertanian. Sehingga, penulisan paper ini bertujuan untuk
melihat apa sebenarnya privatisasi penyuluhan itu dan apa implikasinya. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif dan analisis
wacana. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan lewat metode studi
pustaka. Hasil menunjukkan bahwasanya penyuluhan seyogyanya mengubah paradigma untuk bisa
bekerja sama dengan banyak pihak terutama dari sektor private. Pemerintah sudah tidak bisa lagi
bekerja sendiri dan tidak mengikutsertakan stakeholder eksternal. Dana yang terbatas di tingkat
nasional dan daerah dalam mendukung kegiatan penyuluhan dirasa perlu mendapat sokongan dari
pihak private. Kerja sama yang integral dengan pihak private bisa menjadi salah satu solusi untuk
dapat membangkitkan kembali kegiatan penyuluhan. Privatisasi penting dilakukan karena
berakibat pada beberapa hal, yaitu: (1) penyuluh dari sektor public bisa mengembangkan kapasitas
dirinya lewat bantuan sektor private, (2) sektor private dapat memberikan suatu kontribusi untuk
quality control bagi sistem penyuluhan yang efektif dan efisien, dan (3) menurunkan anggaran
belanja pemerintah karena keterbatasan dana. Namun di satu sisi privatisasi yang tidak dikelola
dengan baik oleh pemerintah bisa menimbulkan beragam masalah seperti agen penyuluhan
pertanian swasta akan lebih berorientasi pada komersialisasi dan kurang bertanggungjawab
terhadap arah kebijakan yang dibuat pemerintah. Sehingga perlu adanya suatu upaya untuk
mencapai suatu kondisi yang harmoni antara sektor public dan private terkait pembagain perannya
dalam kegiatan penyuluhan.
Kata kunci: privatisasi, penyuluhan, pertanian, public, private
PENDAHULUAN
Privatisasi penyuluhan menjadi
isu yang sangat hangat untuk diangkat
dalam rangka proses pembangunan
pertanian. Privatisasi menjadi bahasan
yang penting karena mengingat
minimnya dana yang digelontorkan
oleh pemerintah pusat dan daerah
dalam
rangka
operasionalisasi
kegiatan
penyuluhan
pertanian.
Disamping itu, menurut Subejo (2002)
perkembangan global yang setiap hari
mengalami perubahan mendorong
penyuluhan
pertanian
untuk
melakukan transformasi, salah satunya
adalah lewat sistem privatisasi. Saat
ini, sudah dirasa perlu masuknya
sektor private untuk memberikan
sokongan dana guna menutupi
kebutuhan dana dalam kegiatan
penyuluhan.
Isu privatisasi menjadi penting
karena penyuluhan menjadi salah satu
pilar penting dalam mempercepat
tujuan
pembangunan
pertanian.
Penyuluhan masih dirasakan menjadi
ujung tombak dalam memberikan
pelayanan kepada petani. Namun,
akhir-akhir ini penyuluhan pertanian
menunjukkan kinerja yang menurun
karena berbagai keterbatasan yang
ada, baik dari segi tenaga kerja,
kelembagaan, dana, maupun kapasitas
penyuluhnya. Jadi, perlu adanya
dukungan penuh dari pemerintah
terkait isu privatisasi penyuluhan guna
mendukung rencana dan tujuan
pembangunan.
Pemerintah
perlu
segera mengambil langkah dalam
merumuskan
kebijakan
untuk
menyikapi isu ini.
METODE
Pendekatan yang digunakan
dalam penulisan paper ini adalah
pendekatan kualitatif. Sedangkan,
metode yang digunakan adalah metode
deskriptif dan analisis wacana.
Penulisan paper ini berusaha untuk
menjelaskan
tentang
privatisasi
penyuluhan di Indonesia. Teknik
pengumpulan
datanya
sendiri
menggunakan metode studi pustaka
untuk
mendapatkan
data-data
sekunder. Data sekunder dalam
penulisan paper ini berupa bahanbahan tertulis yang berasal dari
penelitian terdahulu, jurnal, buku,
tesis, disertasi, dan berbagai informasi
digital yang ada di internet. Analisis
menggunakan interpretasi peneliti
dengan mengacu pada berbagai
literatur atau referensi yang relevan
dengan objek kajian dalam penulisan
paper ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menyikapi berbagai macam
perubahan yang terjadi dan zaman
yang semakin maju maka dunia
penyuluhan juga perlu memikirkan
diri untuk bagaimana merestrukturisasi
sistem yang sudah ada. Sistem
penyuluhan di Indonesia harus
bergerak maju jika tidak ingin
tertinggal dan tidak mampu memenuhi
ekspektasi petani sebagai seorang
user. Penyuluhan sudah seyogyanya
mengubah paradigma untuk bisa
bekerja sama dengan banyak pihak
terutama
dari
sektor
private.
Pemerintah sudah sepatutnya bekerja
sama dengan pihak swasta untuk
mengoptimalisasikan
kegiatan
penyuluhan lewat berbagai macam
bentuk kerja sama. Pemerintah sudah
tidak bisa lagi bekerja sendiri dan
tidak mengikutsertakan stakeholder
eksternal. Dana yang terbatas di
tingkat nasional dan daerah dalam
mendukung kegiatan penyuluhan
dirasa perlu mendapat sokongan dari
pihak swasta. Kerja sama yang
integral dengan pihak private bisa
menjadi salah satu solusi untuk dapat
membangkitkan kembali kegiatan
penyuluhan.
Dalam konteks dewasa ini,
penyuluhan pertanian harus dipandang
sebagai suatu hal yang tidak bisa
ditangani secara mandiri oleh satu
pihak, namun perlu ikut serta dari
berbagai stakeholder, seperti peneliti,
akademisi, dan swasta sebagai pelaku
bisnis. Pihak private seperti pelaku
pemasaran, transportasi, penyimpanan,
penyedia modal, dan institusi lain
yang terkait harus saling dipadukan
untuk
mencapai
privatisasi
penyuluhan.
Privatisasi
harus
ditujukan untuk mencapai suatu
kondisi yang harmoni antara sektor
public dan private terkait pembagain
perannya dalam kegiatan penyuluhan.
Privatisasi menurut Rivera
(1997) adalah suatu transfer penuh
dalam
hal
kepemilikan
dari
pemerintah kepada pihak swasta, di
mana pihak tersebut selanjutnya akan
menanggung seluruh biaya dan
menerima
seluruh
keuntungan.
Namun, Indonsia sepetinya masih
belum siap jika harus sepenuhnya
memberikan
kontrol
penyuluhan
kepada pihak swasta. Jadi, solusi yang
bisa digunakan adalah membuka kerja
sama dengan pihak swasta tanpa harus
mendelegasikan kekuasaan secara
penuh. Pihak swasta perlu diberi ruang
untuk bergerak di bawah pengawasan
pemerintah.
Pemerintah
bisa
menangani kegiatan penyuluhan yang
sifatnya umum atau birokrasi,
sedangkan sektor private akan masuk
di dari sisi penyuluhan yang akan
menghasilkan keputusan yang bersifat
komersial. Pembagian peran seperti ini
diperlukan agar bisa meningkatkan
pelayanan dan membuka partisipasi
banyak pihak dalam penyuluhan.
Kidd, et al. (2000) dalam
Subejo (2006) memandang arti
pentingnya
kegiatan
privatisasi
penyuluhan. Penyuluh dari pemerintah
atau public bisa mengembangkan
kapasitas dirinya lewat bantuan sektor
private.
Sektor
private
bisa
menyediakan
berbagai
macam
pembaharuan informasi bagi penyuluh
dari sektor public yang selama ini
jarang diupdate. Sehingga penyuluh
sektor public bisa memenuhi harapan
masyarakat. Sementara itu, sektor
private dapat memberikan suatu
kontribusi untuk quality control bagi
sistem penyuluhan dalam pelaksanaan
kerangka sistem pengaturan. Sektor
private
juga
bisa
mendorong
percepatan penggunaan teknologi
informasi untuk kegiatan penyuluhan
dan bisa sesuai dengan konteks
perkembangan zaman yang terjadi hari
ini.
Subejo
(2006)
juga
menuturkan
bahwa
privatisasi
penyuluhan memungkinkan iklim
kompetisi yang sehat dalam pelayanan
penyuluhan pertanian antara sektor
public dan private. Keunggulan
penyuluhan private yang umumnya
berorientasi
profit
antara
lain
penggunaan media dan teknik
penyuluhan yang lebih menarik,
kemampuan technical assistant yang
tinggi akan bisa membantu pemerintah
dalam
memperbaiki
sistem
penyuluhan. Disini juga muncul suatu
harapan agar sektor public bisa belajar
dari sektor private tentang bagaimana
mendayagunakan sumber daya yang
dimiliki bisa berfungsi secara efektif
dan efisien. World Bank (2003) dalam
kajiannya bahkan memandang penting
adanya privatisasi penyuluhan karena
dianggap bisa meningkatkan tingkat
kualifikasi
pendidikan
untuk
penyuluh-penyuluh publik.
Hal
senada
diungkapkan
Amanah (2007) yang memberikan
penekanan bahwasanya penyuluhan
pertanian harus senantiasa mengalami
perubahan transisi seperti perubahan
organisasi, perencanaan strategi, reorganisasi, dan menetapkan prioritas
baru guna menyelesaikan berbagai
masalah
petani
yang
semakin
kompleks dan adanya tuntutan zaman
yang memaksa hal itu terjadi. Senada
dengan apa yang diungkakan Subejo
(2002) bahwa harus terjadi suatu
transformasi penyuluhan pertanian
dari berbagai segi, termasuk di
dalamnya memperkenalkan suatu
sistem baru pada sisi organisasi,
sistem penugasan, dan praktek sistem
penyuluhan pertanian dan pedesaan.
Salah satu transformasi system yang
bisa dilakukan adalah lewat privatisasi
penyuluhan. Privatisasi penyuluhan
menjadi salah satu opsi mengingat
kurangnya komitmen pemerintah
terhadap
kegiatan
penyuluhan.
Lemahnya peran aktif pemerintah ini
harus diimbangi dengan adanya pihak
luar yang bisa mengontrol kegiatan
penyuluhan pertanian.
Masalah lain yang mendorong
lahirnya privatisasi penyuluhan adalah
lemahnya
komitmen
politik,
ketergantungan pada complementary
policies, dan kadangkala kegiatan
penyuluhan
pertanian
memiliki
akuntabilitas yang rendah serta
keterbatasan untuk mengelola sistem
penyuluhan yang luas dan komplek
(Subejo, 2006). Diharapkan dengan
masuknya sektor swasta dalam
kegiatan
penyuluhan
akan
meningkatkan kinerja dan efisiensi
penyuluhan
dalam
menangani
berbagai masalah di atas. Lebih dari
itu, Amanah (2007) memandang
kegiatan privatisasi bisa dilakukan
karena
lemahnya
dukungan
pemerintah terhadap penyuluhan.
Pemerintah selama ini memiliki
paham
bahwasanya
penyuluhan
merupakan aktivitas yang tidak
memberikan nilai tambah bagi
keuangan daerah, tidak bisa secara
cepat dilihat hasilnya, dan hanya
dilihat kepentingannya di saat genting.
Sehingga pemerintah juga enggan
menginvestasikan banyak dana untuk
kegiatan
penyuluhan.
Akibatnya
penyuluhan
lebih
banyak
dimanfaatkan sebagai alat pencapaian
target-target kuantitatif semacam
produksi komoditas dan kurang
difokuskan kepada perbaikan mutu
hidup petani dan keluarganya. Dengan
adanya sektor private yang masuk
diharapkan masalah dana ini bisa
terselesaikan dan mengembalikan arti
penyuluhan untuk dapat membantu
petani menolong dirinya sendiri.
Manfaat yang diharapkan
dengan adanya privatisasi penyuluhan
menurut Rivera (1997) adalah agar
pelayanan dan penyampaian lebih
efisien, menurunkan anggaran belanja
pemerintah karena keterbatasan dana
dari pemerintah untuk operasionalisasi
penyuluhan bisa ditutup dengan dana
dari sektor private, dan pelayanan
dengan kualitas tinggi. Sektor private
yang tidak terjerat dengan birokrasi
diharapkan bisa dengan mudah
mengalokasikan sumber daya naik
manusia maupun modal untuk
mendukung kemajuan penyuluhan.
Namun di satu sisi privatisasi yang
tidak dikelola dengan baik oleh
pemerintah
bisa
menimbulkan
beragam masalah. Dalam suatu kajian
yang dilakukan Subejo (2006)
menyebutkan bahwa privatisasi bisa
menyebabkan akses terhadap sumber
penyuluhan menjadi tidak sama karena
keberagaman agency dan kesulitan
berkoordinasi dengan kelompok luar
dan departemen pemerintah. Agen
penyuluhan pertanian swasta akan
lebih berorientasi pada komersialisasi
dan
kurang
bertanggungjawab
terhadap arah kebijakan yang dibuat
pemerintah.
Syahyuti (2014) menambahkan
akan timbulnya implikasi dari
privatisasi penyuluhan yang perlu
diwaspadai di antaranya adalah: (1)
mereduksi keterkaitan petani dan
organisasi petani secara horizontal, (2)
berpeluang
menyebabkan
ketimpangan, di mana perusahaan
pertanian tempat penyuluh pertanian
swasta bekerja akan memperoleh
keuntungan lebih besar sehingga akan
menyebabkan akumulasi keuntungan
dan modal, serta skala perusahaan
semakin besar, (3) mengurangi
tersedianya informasi yang tergolong
sebagai public-good information yang
tersedia untuk semua orang dan
menyebabkan
informasi
menjadi
komoditas (knowledge as a saleable
commodity), (4) mengurangi peran
pemerintah dan konflik kepentingan,
(5) merubah arah pembangunan
pertanian. Karena petani membayar
jasa penyuluhan, maka mereka merasa
berhak mengendalikan tujuan-tujuan
pembangunan, termasuk target-target
penyuluhan, dan (6) dikhawatirkan
akan menyingkirkan petani kecil yang
kurang mampu membayar jasa
penyuluh swasta, atau juga karena
memproduksi barang yang kurang
menarik untuk pasar sehingga tidak
mendorong
penyuluh
swasta
melayaninya.
Sehingga untuk meminimalisir
ancaman privatisasi yang timbul
Subejo (2006) menyarankan agar
pemerintah bisa melakukan beberapa
kegiatan
strategis
seperti:
(1)
mengenalkan komersialisasi pelayanan
dengan tetap menguasai lembaga
penyuluhannya, (2) memindahkan
pelayanan penyuluhan pada private
dengan tetap memberikan basis
pendanaan, dan (3) mencari alternatif
biaya untuk membayar layanan
penyuluhan komersial. Langkah lain
yang ditawarkan Subejo adalah
pembagian peran antara penyuluh
public dan private dengan skema
sebagai berikut: (1) untuk komoditas
dengan tingkat profitabilitas tinggi
maka bisa dilayani oleh penyuluh dari
sektor
private
karena
client
dimungkinkan menanggung sebagian
dan atau seluruh biaya layanan
penyuluhan,
namun
(2)
untuk
komoditas dengan profitabilitas rendah
dengan luas pengusahaan yang ratarata kecil bisa diambil alih oleh
penyuluh dari sektor public yang tanpa
biaya.
Ditegaskan pula dalam laporan
penelitian World Bank (2003),
sebaiknya privatisasi penyuluhan lebih
banyak memainkan peran untuk subsektor
lahan
kering
penghasil
pertanian yang mendatangkan uang di
daerah timur Indonesia, serta produksi
komoditas ekspor yang lebih didukung
oleh sektor swasta.
Privatisasi
penyuluhan
pertanian harus dimaknai sebagai
pembagian peran yang serasi dan
wahana
demokratisasi
karena
membuka peluang partisipasi aktif dari
stakeholders
terkait
untuk
berkontribusi
dalam
proses
penyuluhan
pertanian.
Monopoli
sepihak dalam penyuluhan pertanian
bisa dihindari, meskipun penyuluhan
private akan semakin menguat karena
efektifitas dan efisiensinya, namun
bagaimanapun juga penyuluhan public
tetap penting sebagai penyedia public
goods. Nampaknya perlu segmentasi
layanan, untuk komoditas yang
melibatkan orang banyak dengan
profitabilitas dan harga produk rendah
tetap menjadi tanggung jawab sektor
public yang memungkinkan client
mendapat layanan tanpa dipungut
biaya. Penyuluh public juga dapat
berfungsi sebagai mediator dan
koordinator penyuluhan (Subejo,
2010).
PENUTUP
Dalam konteks dewasa ini,
penyuluhan pertanian harus dipandang
sebagai suatu hal yang tidak bisa
ditangani secara mandiri oleh satu
pihak, namun perlu ikut serta dari
berbagai stakeholder, termasuk sektor
private lewat suatu privatisasi
penyuluhan. Privatisasi penyuluhan
dipandang perlu karena adanya
beragam masalah seperti: (1) dana
yang terbatas di tingkat nasional dan
daerah dalam mendukung kegiatan
penyuluhan, (2) kurangnya komitmen
pemerintah
terhadap
kegiatan
penyuluhan,
dan
(3)
di
era
desentralisasi, penyuluhan belum
menjadi prioritas utama daerah karena
dipandang tidak mampu memberikan
sumbangsih secara cepat dalam
peningkatan
pendapatan
daerah.
Sedangkan manfaat yang diharapkan
dengan adanya privatisasi penyuluhan
adalah: (1) penyuluh dari sektor public
bisa
mengembangkan
kapasitas
dirinya lewat bantuan sektor private,
(2) sektor private dapat memberikan
suatu kontribusi untuk quality control
bagi sistem penyuluhan, dan (3)
menurunkan
anggaran
belanja
pemerintah untuk operasionalisasi
kegiatan penyuluhan.
Jadi,
solusi
yang
bisa
digunakan adalah membuka kerja
sama dengan pihak private tanpa harus
mendelegasikan kekuasaan secara
penuh. Pihak private perlu diberi
ruang untuk bergerak di bawah
pengawasan pemerintah. Pemerintah
bisa menangani kegiatan penyuluhan
yang sifatnya umum atau birokrasi,
sedangkan sektor private akan masuk
di dari sisi penyuluhan yang akan
menghasilkan
keputusan-keputusan
komersial. Pembagian peran seperti ini
diperlukan agar bisa meningkatkan
pelayanan dan membuka partisipasi
banyak pihak dalam penyuluhan.
DAFTAR PUSTAKA
Amanah,
Siti.
2007.
Makna
Penyuluhan dan Transformasi
Perilaku
Manusia.
Jurnal
Penyuluhan Vol. 3 No. 1.
Institut Pertanian Bogor. p.6367.
Rivera, W.M and Cary, J.W.
“Privatizing
Agricultural
Extension” dalam Burton et.al.
(ed).
1997.
Improving
Agricultural Extension: A
Reference Manual. FAO.
Subejo. 2002. Penyuluhan Pertanian
Indonesia: Isu Privatisasi dan
Implikasinya. Jurnal Agro
Ekonomi Vol.9 No.2. Jurusan
Sosial Ekonomi, Fakultas
Pertanian UGM.
Subejo. 2006. Penyuluhan Pertanian
Indonesia di Tengah Isu
Desentralisasi, Privatisasi, dan
Demokratisasi.
Jurnal
Penyuluhan Vol. 2 No. 2.
Institut Pertanian Bogor. p.6976.
Subejo.
2010.
Demokratisasi
Pembangunan Pertanian di Era
Otonomi Daerah: Tinjauan dari
aspek Penyuluhan Pertanian.
http://subejo.staff.ugm.ac.id/w
p-content/cultivar-juni2007.pdf. Diakses pada tanggal
25 Oktober 2016.
Syahyuti. 2014. Potensi Hebat
Penyuluh Swasta.
http://m.tabloidsinartani.com/i
ndex.php?id=148&tx_ttnews[tt
_news]=1484&cHash=8e69a9
06235efd09b6a82ac49ae086aa.
Diakses pada tanggal 16
November 2016.
World Bank. 2003. Prioritas Masalah
Pertanian
di
Indonesia.
Indonesia Policy Briefs – Ideide Program 100 Hari. Jakarta.
Kadhung Prayoga1
1
Program Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada
Email: [email protected]
ABSTRAK
Privatisasi penyuluhan menjadi isu yang sangat hangat untuk diangkat dalam rangka
proses pembangunan pertanian. Privatisasi menjadi bahasan yang penting karena mengingat
minimnya dukungan dan dana yang digelontorkan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka
operasionalisasi kegiatan penyuluhan pertanian. Sehingga, penulisan paper ini bertujuan untuk
melihat apa sebenarnya privatisasi penyuluhan itu dan apa implikasinya. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif dan analisis
wacana. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan lewat metode studi
pustaka. Hasil menunjukkan bahwasanya penyuluhan seyogyanya mengubah paradigma untuk bisa
bekerja sama dengan banyak pihak terutama dari sektor private. Pemerintah sudah tidak bisa lagi
bekerja sendiri dan tidak mengikutsertakan stakeholder eksternal. Dana yang terbatas di tingkat
nasional dan daerah dalam mendukung kegiatan penyuluhan dirasa perlu mendapat sokongan dari
pihak private. Kerja sama yang integral dengan pihak private bisa menjadi salah satu solusi untuk
dapat membangkitkan kembali kegiatan penyuluhan. Privatisasi penting dilakukan karena
berakibat pada beberapa hal, yaitu: (1) penyuluh dari sektor public bisa mengembangkan kapasitas
dirinya lewat bantuan sektor private, (2) sektor private dapat memberikan suatu kontribusi untuk
quality control bagi sistem penyuluhan yang efektif dan efisien, dan (3) menurunkan anggaran
belanja pemerintah karena keterbatasan dana. Namun di satu sisi privatisasi yang tidak dikelola
dengan baik oleh pemerintah bisa menimbulkan beragam masalah seperti agen penyuluhan
pertanian swasta akan lebih berorientasi pada komersialisasi dan kurang bertanggungjawab
terhadap arah kebijakan yang dibuat pemerintah. Sehingga perlu adanya suatu upaya untuk
mencapai suatu kondisi yang harmoni antara sektor public dan private terkait pembagain perannya
dalam kegiatan penyuluhan.
Kata kunci: privatisasi, penyuluhan, pertanian, public, private
PENDAHULUAN
Privatisasi penyuluhan menjadi
isu yang sangat hangat untuk diangkat
dalam rangka proses pembangunan
pertanian. Privatisasi menjadi bahasan
yang penting karena mengingat
minimnya dana yang digelontorkan
oleh pemerintah pusat dan daerah
dalam
rangka
operasionalisasi
kegiatan
penyuluhan
pertanian.
Disamping itu, menurut Subejo (2002)
perkembangan global yang setiap hari
mengalami perubahan mendorong
penyuluhan
pertanian
untuk
melakukan transformasi, salah satunya
adalah lewat sistem privatisasi. Saat
ini, sudah dirasa perlu masuknya
sektor private untuk memberikan
sokongan dana guna menutupi
kebutuhan dana dalam kegiatan
penyuluhan.
Isu privatisasi menjadi penting
karena penyuluhan menjadi salah satu
pilar penting dalam mempercepat
tujuan
pembangunan
pertanian.
Penyuluhan masih dirasakan menjadi
ujung tombak dalam memberikan
pelayanan kepada petani. Namun,
akhir-akhir ini penyuluhan pertanian
menunjukkan kinerja yang menurun
karena berbagai keterbatasan yang
ada, baik dari segi tenaga kerja,
kelembagaan, dana, maupun kapasitas
penyuluhnya. Jadi, perlu adanya
dukungan penuh dari pemerintah
terkait isu privatisasi penyuluhan guna
mendukung rencana dan tujuan
pembangunan.
Pemerintah
perlu
segera mengambil langkah dalam
merumuskan
kebijakan
untuk
menyikapi isu ini.
METODE
Pendekatan yang digunakan
dalam penulisan paper ini adalah
pendekatan kualitatif. Sedangkan,
metode yang digunakan adalah metode
deskriptif dan analisis wacana.
Penulisan paper ini berusaha untuk
menjelaskan
tentang
privatisasi
penyuluhan di Indonesia. Teknik
pengumpulan
datanya
sendiri
menggunakan metode studi pustaka
untuk
mendapatkan
data-data
sekunder. Data sekunder dalam
penulisan paper ini berupa bahanbahan tertulis yang berasal dari
penelitian terdahulu, jurnal, buku,
tesis, disertasi, dan berbagai informasi
digital yang ada di internet. Analisis
menggunakan interpretasi peneliti
dengan mengacu pada berbagai
literatur atau referensi yang relevan
dengan objek kajian dalam penulisan
paper ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menyikapi berbagai macam
perubahan yang terjadi dan zaman
yang semakin maju maka dunia
penyuluhan juga perlu memikirkan
diri untuk bagaimana merestrukturisasi
sistem yang sudah ada. Sistem
penyuluhan di Indonesia harus
bergerak maju jika tidak ingin
tertinggal dan tidak mampu memenuhi
ekspektasi petani sebagai seorang
user. Penyuluhan sudah seyogyanya
mengubah paradigma untuk bisa
bekerja sama dengan banyak pihak
terutama
dari
sektor
private.
Pemerintah sudah sepatutnya bekerja
sama dengan pihak swasta untuk
mengoptimalisasikan
kegiatan
penyuluhan lewat berbagai macam
bentuk kerja sama. Pemerintah sudah
tidak bisa lagi bekerja sendiri dan
tidak mengikutsertakan stakeholder
eksternal. Dana yang terbatas di
tingkat nasional dan daerah dalam
mendukung kegiatan penyuluhan
dirasa perlu mendapat sokongan dari
pihak swasta. Kerja sama yang
integral dengan pihak private bisa
menjadi salah satu solusi untuk dapat
membangkitkan kembali kegiatan
penyuluhan.
Dalam konteks dewasa ini,
penyuluhan pertanian harus dipandang
sebagai suatu hal yang tidak bisa
ditangani secara mandiri oleh satu
pihak, namun perlu ikut serta dari
berbagai stakeholder, seperti peneliti,
akademisi, dan swasta sebagai pelaku
bisnis. Pihak private seperti pelaku
pemasaran, transportasi, penyimpanan,
penyedia modal, dan institusi lain
yang terkait harus saling dipadukan
untuk
mencapai
privatisasi
penyuluhan.
Privatisasi
harus
ditujukan untuk mencapai suatu
kondisi yang harmoni antara sektor
public dan private terkait pembagain
perannya dalam kegiatan penyuluhan.
Privatisasi menurut Rivera
(1997) adalah suatu transfer penuh
dalam
hal
kepemilikan
dari
pemerintah kepada pihak swasta, di
mana pihak tersebut selanjutnya akan
menanggung seluruh biaya dan
menerima
seluruh
keuntungan.
Namun, Indonsia sepetinya masih
belum siap jika harus sepenuhnya
memberikan
kontrol
penyuluhan
kepada pihak swasta. Jadi, solusi yang
bisa digunakan adalah membuka kerja
sama dengan pihak swasta tanpa harus
mendelegasikan kekuasaan secara
penuh. Pihak swasta perlu diberi ruang
untuk bergerak di bawah pengawasan
pemerintah.
Pemerintah
bisa
menangani kegiatan penyuluhan yang
sifatnya umum atau birokrasi,
sedangkan sektor private akan masuk
di dari sisi penyuluhan yang akan
menghasilkan keputusan yang bersifat
komersial. Pembagian peran seperti ini
diperlukan agar bisa meningkatkan
pelayanan dan membuka partisipasi
banyak pihak dalam penyuluhan.
Kidd, et al. (2000) dalam
Subejo (2006) memandang arti
pentingnya
kegiatan
privatisasi
penyuluhan. Penyuluh dari pemerintah
atau public bisa mengembangkan
kapasitas dirinya lewat bantuan sektor
private.
Sektor
private
bisa
menyediakan
berbagai
macam
pembaharuan informasi bagi penyuluh
dari sektor public yang selama ini
jarang diupdate. Sehingga penyuluh
sektor public bisa memenuhi harapan
masyarakat. Sementara itu, sektor
private dapat memberikan suatu
kontribusi untuk quality control bagi
sistem penyuluhan dalam pelaksanaan
kerangka sistem pengaturan. Sektor
private
juga
bisa
mendorong
percepatan penggunaan teknologi
informasi untuk kegiatan penyuluhan
dan bisa sesuai dengan konteks
perkembangan zaman yang terjadi hari
ini.
Subejo
(2006)
juga
menuturkan
bahwa
privatisasi
penyuluhan memungkinkan iklim
kompetisi yang sehat dalam pelayanan
penyuluhan pertanian antara sektor
public dan private. Keunggulan
penyuluhan private yang umumnya
berorientasi
profit
antara
lain
penggunaan media dan teknik
penyuluhan yang lebih menarik,
kemampuan technical assistant yang
tinggi akan bisa membantu pemerintah
dalam
memperbaiki
sistem
penyuluhan. Disini juga muncul suatu
harapan agar sektor public bisa belajar
dari sektor private tentang bagaimana
mendayagunakan sumber daya yang
dimiliki bisa berfungsi secara efektif
dan efisien. World Bank (2003) dalam
kajiannya bahkan memandang penting
adanya privatisasi penyuluhan karena
dianggap bisa meningkatkan tingkat
kualifikasi
pendidikan
untuk
penyuluh-penyuluh publik.
Hal
senada
diungkapkan
Amanah (2007) yang memberikan
penekanan bahwasanya penyuluhan
pertanian harus senantiasa mengalami
perubahan transisi seperti perubahan
organisasi, perencanaan strategi, reorganisasi, dan menetapkan prioritas
baru guna menyelesaikan berbagai
masalah
petani
yang
semakin
kompleks dan adanya tuntutan zaman
yang memaksa hal itu terjadi. Senada
dengan apa yang diungkakan Subejo
(2002) bahwa harus terjadi suatu
transformasi penyuluhan pertanian
dari berbagai segi, termasuk di
dalamnya memperkenalkan suatu
sistem baru pada sisi organisasi,
sistem penugasan, dan praktek sistem
penyuluhan pertanian dan pedesaan.
Salah satu transformasi system yang
bisa dilakukan adalah lewat privatisasi
penyuluhan. Privatisasi penyuluhan
menjadi salah satu opsi mengingat
kurangnya komitmen pemerintah
terhadap
kegiatan
penyuluhan.
Lemahnya peran aktif pemerintah ini
harus diimbangi dengan adanya pihak
luar yang bisa mengontrol kegiatan
penyuluhan pertanian.
Masalah lain yang mendorong
lahirnya privatisasi penyuluhan adalah
lemahnya
komitmen
politik,
ketergantungan pada complementary
policies, dan kadangkala kegiatan
penyuluhan
pertanian
memiliki
akuntabilitas yang rendah serta
keterbatasan untuk mengelola sistem
penyuluhan yang luas dan komplek
(Subejo, 2006). Diharapkan dengan
masuknya sektor swasta dalam
kegiatan
penyuluhan
akan
meningkatkan kinerja dan efisiensi
penyuluhan
dalam
menangani
berbagai masalah di atas. Lebih dari
itu, Amanah (2007) memandang
kegiatan privatisasi bisa dilakukan
karena
lemahnya
dukungan
pemerintah terhadap penyuluhan.
Pemerintah selama ini memiliki
paham
bahwasanya
penyuluhan
merupakan aktivitas yang tidak
memberikan nilai tambah bagi
keuangan daerah, tidak bisa secara
cepat dilihat hasilnya, dan hanya
dilihat kepentingannya di saat genting.
Sehingga pemerintah juga enggan
menginvestasikan banyak dana untuk
kegiatan
penyuluhan.
Akibatnya
penyuluhan
lebih
banyak
dimanfaatkan sebagai alat pencapaian
target-target kuantitatif semacam
produksi komoditas dan kurang
difokuskan kepada perbaikan mutu
hidup petani dan keluarganya. Dengan
adanya sektor private yang masuk
diharapkan masalah dana ini bisa
terselesaikan dan mengembalikan arti
penyuluhan untuk dapat membantu
petani menolong dirinya sendiri.
Manfaat yang diharapkan
dengan adanya privatisasi penyuluhan
menurut Rivera (1997) adalah agar
pelayanan dan penyampaian lebih
efisien, menurunkan anggaran belanja
pemerintah karena keterbatasan dana
dari pemerintah untuk operasionalisasi
penyuluhan bisa ditutup dengan dana
dari sektor private, dan pelayanan
dengan kualitas tinggi. Sektor private
yang tidak terjerat dengan birokrasi
diharapkan bisa dengan mudah
mengalokasikan sumber daya naik
manusia maupun modal untuk
mendukung kemajuan penyuluhan.
Namun di satu sisi privatisasi yang
tidak dikelola dengan baik oleh
pemerintah
bisa
menimbulkan
beragam masalah. Dalam suatu kajian
yang dilakukan Subejo (2006)
menyebutkan bahwa privatisasi bisa
menyebabkan akses terhadap sumber
penyuluhan menjadi tidak sama karena
keberagaman agency dan kesulitan
berkoordinasi dengan kelompok luar
dan departemen pemerintah. Agen
penyuluhan pertanian swasta akan
lebih berorientasi pada komersialisasi
dan
kurang
bertanggungjawab
terhadap arah kebijakan yang dibuat
pemerintah.
Syahyuti (2014) menambahkan
akan timbulnya implikasi dari
privatisasi penyuluhan yang perlu
diwaspadai di antaranya adalah: (1)
mereduksi keterkaitan petani dan
organisasi petani secara horizontal, (2)
berpeluang
menyebabkan
ketimpangan, di mana perusahaan
pertanian tempat penyuluh pertanian
swasta bekerja akan memperoleh
keuntungan lebih besar sehingga akan
menyebabkan akumulasi keuntungan
dan modal, serta skala perusahaan
semakin besar, (3) mengurangi
tersedianya informasi yang tergolong
sebagai public-good information yang
tersedia untuk semua orang dan
menyebabkan
informasi
menjadi
komoditas (knowledge as a saleable
commodity), (4) mengurangi peran
pemerintah dan konflik kepentingan,
(5) merubah arah pembangunan
pertanian. Karena petani membayar
jasa penyuluhan, maka mereka merasa
berhak mengendalikan tujuan-tujuan
pembangunan, termasuk target-target
penyuluhan, dan (6) dikhawatirkan
akan menyingkirkan petani kecil yang
kurang mampu membayar jasa
penyuluh swasta, atau juga karena
memproduksi barang yang kurang
menarik untuk pasar sehingga tidak
mendorong
penyuluh
swasta
melayaninya.
Sehingga untuk meminimalisir
ancaman privatisasi yang timbul
Subejo (2006) menyarankan agar
pemerintah bisa melakukan beberapa
kegiatan
strategis
seperti:
(1)
mengenalkan komersialisasi pelayanan
dengan tetap menguasai lembaga
penyuluhannya, (2) memindahkan
pelayanan penyuluhan pada private
dengan tetap memberikan basis
pendanaan, dan (3) mencari alternatif
biaya untuk membayar layanan
penyuluhan komersial. Langkah lain
yang ditawarkan Subejo adalah
pembagian peran antara penyuluh
public dan private dengan skema
sebagai berikut: (1) untuk komoditas
dengan tingkat profitabilitas tinggi
maka bisa dilayani oleh penyuluh dari
sektor
private
karena
client
dimungkinkan menanggung sebagian
dan atau seluruh biaya layanan
penyuluhan,
namun
(2)
untuk
komoditas dengan profitabilitas rendah
dengan luas pengusahaan yang ratarata kecil bisa diambil alih oleh
penyuluh dari sektor public yang tanpa
biaya.
Ditegaskan pula dalam laporan
penelitian World Bank (2003),
sebaiknya privatisasi penyuluhan lebih
banyak memainkan peran untuk subsektor
lahan
kering
penghasil
pertanian yang mendatangkan uang di
daerah timur Indonesia, serta produksi
komoditas ekspor yang lebih didukung
oleh sektor swasta.
Privatisasi
penyuluhan
pertanian harus dimaknai sebagai
pembagian peran yang serasi dan
wahana
demokratisasi
karena
membuka peluang partisipasi aktif dari
stakeholders
terkait
untuk
berkontribusi
dalam
proses
penyuluhan
pertanian.
Monopoli
sepihak dalam penyuluhan pertanian
bisa dihindari, meskipun penyuluhan
private akan semakin menguat karena
efektifitas dan efisiensinya, namun
bagaimanapun juga penyuluhan public
tetap penting sebagai penyedia public
goods. Nampaknya perlu segmentasi
layanan, untuk komoditas yang
melibatkan orang banyak dengan
profitabilitas dan harga produk rendah
tetap menjadi tanggung jawab sektor
public yang memungkinkan client
mendapat layanan tanpa dipungut
biaya. Penyuluh public juga dapat
berfungsi sebagai mediator dan
koordinator penyuluhan (Subejo,
2010).
PENUTUP
Dalam konteks dewasa ini,
penyuluhan pertanian harus dipandang
sebagai suatu hal yang tidak bisa
ditangani secara mandiri oleh satu
pihak, namun perlu ikut serta dari
berbagai stakeholder, termasuk sektor
private lewat suatu privatisasi
penyuluhan. Privatisasi penyuluhan
dipandang perlu karena adanya
beragam masalah seperti: (1) dana
yang terbatas di tingkat nasional dan
daerah dalam mendukung kegiatan
penyuluhan, (2) kurangnya komitmen
pemerintah
terhadap
kegiatan
penyuluhan,
dan
(3)
di
era
desentralisasi, penyuluhan belum
menjadi prioritas utama daerah karena
dipandang tidak mampu memberikan
sumbangsih secara cepat dalam
peningkatan
pendapatan
daerah.
Sedangkan manfaat yang diharapkan
dengan adanya privatisasi penyuluhan
adalah: (1) penyuluh dari sektor public
bisa
mengembangkan
kapasitas
dirinya lewat bantuan sektor private,
(2) sektor private dapat memberikan
suatu kontribusi untuk quality control
bagi sistem penyuluhan, dan (3)
menurunkan
anggaran
belanja
pemerintah untuk operasionalisasi
kegiatan penyuluhan.
Jadi,
solusi
yang
bisa
digunakan adalah membuka kerja
sama dengan pihak private tanpa harus
mendelegasikan kekuasaan secara
penuh. Pihak private perlu diberi
ruang untuk bergerak di bawah
pengawasan pemerintah. Pemerintah
bisa menangani kegiatan penyuluhan
yang sifatnya umum atau birokrasi,
sedangkan sektor private akan masuk
di dari sisi penyuluhan yang akan
menghasilkan
keputusan-keputusan
komersial. Pembagian peran seperti ini
diperlukan agar bisa meningkatkan
pelayanan dan membuka partisipasi
banyak pihak dalam penyuluhan.
DAFTAR PUSTAKA
Amanah,
Siti.
2007.
Makna
Penyuluhan dan Transformasi
Perilaku
Manusia.
Jurnal
Penyuluhan Vol. 3 No. 1.
Institut Pertanian Bogor. p.6367.
Rivera, W.M and Cary, J.W.
“Privatizing
Agricultural
Extension” dalam Burton et.al.
(ed).
1997.
Improving
Agricultural Extension: A
Reference Manual. FAO.
Subejo. 2002. Penyuluhan Pertanian
Indonesia: Isu Privatisasi dan
Implikasinya. Jurnal Agro
Ekonomi Vol.9 No.2. Jurusan
Sosial Ekonomi, Fakultas
Pertanian UGM.
Subejo. 2006. Penyuluhan Pertanian
Indonesia di Tengah Isu
Desentralisasi, Privatisasi, dan
Demokratisasi.
Jurnal
Penyuluhan Vol. 2 No. 2.
Institut Pertanian Bogor. p.6976.
Subejo.
2010.
Demokratisasi
Pembangunan Pertanian di Era
Otonomi Daerah: Tinjauan dari
aspek Penyuluhan Pertanian.
http://subejo.staff.ugm.ac.id/w
p-content/cultivar-juni2007.pdf. Diakses pada tanggal
25 Oktober 2016.
Syahyuti. 2014. Potensi Hebat
Penyuluh Swasta.
http://m.tabloidsinartani.com/i
ndex.php?id=148&tx_ttnews[tt
_news]=1484&cHash=8e69a9
06235efd09b6a82ac49ae086aa.
Diakses pada tanggal 16
November 2016.
World Bank. 2003. Prioritas Masalah
Pertanian
di
Indonesia.
Indonesia Policy Briefs – Ideide Program 100 Hari. Jakarta.