Faktor faktor Penyebab Munculnya Perilak
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA PERILAKU AGRESI
ANAK JALANAN DI KOTA MALANG
Oleh
Ryan Alif Syahrial
Yoyon Supriyono
Ari Pratiwi
[email protected]
ABSTRACT
The aim of this research is to describe caused of aggression behavior in street children
in Malang. This phenomenological qualitative research used data reduction as analysis
method. This research use interview, focus group discussion, and observations method for
data collections. The subjects for this research consist of three street children in Malang and
age range is 12-20 years old. From the research and data analysis, can obtained that the
caused of internal factors of aggresion behavior in street children are: for all of three
respondens, have a factor limited economics needs, easily provoked, and self defense instinct.
In addition, the first responden have a factor for defend themself when self-estem were
humbled and betrayed, and try to look impingement. The third responden have the another
internal factors like the self pressure was deemed and complex, and hatred feeling againts
another person or group. While, for the external factors of aggresion behavior in street
children are: for all of three respondens, have a factors imitating behavior of their role model,
provocation by other, motivating by others, the existence of prejudice, dishonored, and
rejection by society. In addition, the first and second respondens have another external factor
like often see and experiences as victims of violence.
Keyword: street children, aggresion behavior caused factors, Malang
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab munculnya perilaku
agresi anak jalanan di Kota Malang. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi ini
menggunakan reduksi data sebagai metode analisis data. Pengumpulan data menggunakan
metode wawancara, focus group discussion, dan observasi. Responden dalam penelitian ini
adalah anak jalanan di kawasan Kota Malang dan berjumlah tiga orang dan berumur antara
12-20 tahun. Dari pembahasan dan analisis data, dapat diperoleh kesimpulan bahwa, faktorfaktor internal penyebab munculnya perilaku agresi anak jalanan antara lain: pada ketiga
responden sama-sama memiliki faktor kebutuhan ekonomi yang terbatas, mudah terpancing
emosi, dan naluri pertahanan diri. Selebihnya responden pertama memiliki faktor membela
diri ketika harga diri direndahkan dan dikhianati teman serta ingin mencari pelampiasan.
Sementara, responden ketiga sendiri memiliki faktor internal lain yaitu tekanan dalam diri
yang dirasa sangat kompleks dan perasaaan benci. Sedangkan untuk faktor-faktor eksternal
penyebab munculnya perilaku agresi yaitu: pada ketiga responden sama-sama memiliki faktor
meniru perilaku role model, adanya provokasi, adanya motivasi dari orang lain, serta adanya
prasangka negatif, direndahkan dan tidak dihiraukan masyarakat. Selebihnya, responden
pertama dan kedua memiliki faktor eksternal lain yaitu setiap hari melihat perkelahian atau
tawuran.
Kata kunci : Anak jalanan, faktor penyebab perilaku agresi, Malang
1
LATAR BELAKANG
Kasus anak jalanan tidak bisa dianggap sebelah mata. Isu-isu anak jalanan menjadi
masalah sosial yang cukup mengkhawatirkan khususnya bagi kehidupan sosial masyarakat.
Dari situlah dimungkinkan berbagai masalah-masalah seperti tindak kriminalitas,
meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Menurut UUD 1945 Pasal 34 ayat 1, anakanak terlantar itu dipelihara oleh negara. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab
terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak
asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia
pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
tentang hak-hak Anak (Convention the Right of the Child) .Mereka perlu mendapatkan hakhaknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil
righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment
and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and
welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and cultureactivites), dan
perlindungan khusus (special protection) (Armai, 2004). Hasil Lokakarya Nasional Anak
Jalanan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial pada bulan Oktober 1995, anak
jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Ismudiyati, 2003).
Bagi anak-anak, jalanan bukanlah lingkungan yang baik untuk tumbuh dan
berkembang karena jalanan lebih banyak memberikan hal negatif dibandingkan hal positif.
Resiko yang mereka alami di jalanan adalah penyiksaan fisik, kecelakaan lalu lintas,
ditangkap polisi, korban kejahatan, penggunaan obat, konflik dengan anak-anak jalanan lain,
dan terlibat dalam pelanggaran hukum baik sengaja ataupun tidak (Agustian dan Prasadja,
2000).
Gambaran tersebut mengenai tindakan agresi yang pernah dilakukan juga diperkuat
hasil wawancara peneliti dengan salah satu anak jalanan berinisal NO bahwa, jika dirinya
sudah berkumpul di jalan bersama anak jalanan lain dan di sisi lain terdapat anak jalanan dari
kelompok lain yang berkumpul di kesempatan yang sama, biasanya yang terjadi adalah
2
perkelahian. Ketika situasi perkelahian tersebut banyak anak jalanan yang membawa pisau,
bekas gear sepeda, hingga senjata api. Berdasarkan wawancara tersebut, diketahui bahwa
anak jalanan dan perilaku agresi sangat erat kaitannya mengingat kehidupan di jalanan itu
sangat keras dan penuh tekanan. Sehingga gesekan kepentingan antar anak jalanan dan
dengan lingkungannya sangat mungkin menimbulkan perilaku agresi.
Perilaku agresi itu sendiri menurut Baron adalah tingkah laku yang ditunjukkan untuk
melukai dan mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut. Lebih lanjut agresi merupakan tingkah laku kekerasan baik secara verbal maupun
fisik terhadap individu maupun objek lain yang ditujukan untuk melukai atau mencelakai.
(Sobur, 2003).
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti sangat tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku agresi anak jalanan.
Mengingat perilaku seperti berkelahi, penganiayaan, kekerasan verbal dan fisik kerap terjadi
di kehidupan anak jalanan.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan munculnya perilaku
agresi anak jalanan.
C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan munculnya perilaku agresi anak
jalanan.
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANAK JALANAN
1. Definisi Anak Jalanan
Konsep anak jalanan dipahami dan didefinisikan berbeda sesuai dengan
kepentingan dan sudut pandang yang beragam. Menurut hasil Lokakarya Nasional Anak
Jalanan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial pada bulan Oktober 1995, anak
jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah
3
atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Ismudiyati, 2003).
Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak,
anak adalah seseorang yang berusia 21 tahun dan belum menikah (Armai, 2004).
Pengertian Anak jalanan atau sering juga disebut dengan gelandangan menurut beberapa
tokoh yang diantaranya adalah, Artidjo (Sutrisno, 2011) mengartikan anak jalanan atau
gelandangan sebagai orang yang tidak mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian
yang tetap dan layak atau mereka sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang
lain..
2. Karakteristik Anak Jalanan
Menurut Sadli (Sudarsono, 2009) anak jalanan memiliki karakteristik khas baik
secara psikologisnya maupun kreativitasnya, antara lain: a) mudah tersinggung
perasaannya; b) mudah putus asa dan cepat murung; c) nekat tanpa dapat dipengaruhi
secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya; d) tidak berbeda dengan anakanak yang lainnya yang selalu menginginkan kasih sayang; e) tidak mau bertatap muka
dalam arti bila mereka diajak bicara, mereka tidak mau melihat orang lain secara terbuka;
f) Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak, mereka sangatlah
labil; g) mereka memiliki suatu keterampilan, namun keterampilan ini tidak selalu sesuai
bila diukur dengan ukuran normatif masyarakat umumnya (Zakarya, 2011).
3. Jenis Anak Jalanan
Berdasarkan kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam
tiga kelompok (Suyanto, 2010).
a. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka.
b. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik
secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka masih mempunyai
hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak
menentu.
c. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga
yang hidup di jalanan.
4
4. Masalah Yang Dihadapi Anak Jalanan
Ada beberapa sumber permasalahan pokok yang sering dihadapin anak
jalanan. Permasalahan itu antara lain :
a. Aspek pendidikan
b. Intimidasi
c.
d.
e.
f.
g.
NAPZA
Kesehatan
Tempat tinggal
Hubungan keluarga
Makanan
Permasalahan yang dihadapi misalnya putus sekolah karena
waktunya sering habis di jalan
Menjadi sasaran tindal kekerasan anak jalanan lain, terkena
razia
Ngelem, minuman keras, pil BK, ganja
Rentan penyakit kulit, PMS, paru-paru, TBC
Umumnya di sembarang tempat, gubuk atau kolong jembatan
Umumnya renggang atau sama sekali tidak berhubungan
Seadanya, kadang beli atau mengais dari tempat sampah
Sumber : Hadi Utomo (Suyanto, 2010)
5.
Faktor Penyebab Turunnya Anak Ke Jalanan
Sesunguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus dalam
kehidupan di jalanan (Suyanto, 2010), hal itu antara lain :
a. Kesulitan keuangan keluarga atau tekanan kemiskinan
b. Ketidakharmonisan rumah tangga orang tua
c. Dan masalah khusus yang menyangkut hubungan anak dengan orang tua
B. AGRESI
1. Definisi Agresi
Agresi, menurut Baron
(Sobur, 2003) adalah tingkah laku individu yang
ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut. Berkowitz mendefinisikan agresi sebagai segala
bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik
maupun mental. Bagi Berkowitz (Sobur, 2003), perasaan negatif yang ditimbulkan
oleh suatu tekanan dapat menghasilkan kecenderungan amarah dan perilaku agresi.
2.
Teori atau asumsi dasar mengenai perilaku agresi
Freud (Sobur, 2003) mempercayai bahwa kita semua lahir ke dunia disertai
dengan naluri kematian (thanatos). Dimana di dalamnya termasuk segala perilaku
5
kekerasan dan pengerusakan. Dalam mekanisme pertahanan diri, ego memanfaatkan
drive agresif untuk menyerang obyek yang menimbulkan frustasi. Menutupi
kelemahan diri dengan menunjukkan kekuatan drive agresinya, baik yang ditujukan
kepada obyek yang asli, obyek pengganti, maupun ditujukan kepada diri sendiri
(Alwisol, 2007).
Teori naluri yang kedua tentang agresi berasal dari ethologist Konrad Lorenz
(Sobur, 2003) yang memiliki pandangan bahwa agresi sebagai suatu sistim hidrolik
dimana dapat menghasilkan energi sendiri. Semua jenis naluri termasuk agresi,
mempunyai dasar tujuan untuk memastikan dapat bertahan hidup secara perseorangan
dan atau kelompok. Agresi yang bersifat survival ini, menurut Lorenz bersifat adaptif
(menyesuaikan diri terhadap lingkungan), bukan destruktif (merusak lingkungan).
Menurut Bandura (Sobur, 2003), teori Pembelajaran Sosial Bandura
memperlakukan agresi sebagai suatu jenis yang spesifik dari tingkah laku sosial yang
diperoleh dari peninjauan atau penelitian yang langsung (hasil belajar). Teori belajar
sosial, menjelaskan bahwa terdapat empat proses yang satu sama lain berkaitan, yaitu
proses atensional, retensional, reproduksi, dan motivasional.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresi
Agresivitas, (Sarwono, 2005) dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang dapat
merangsangnya, rangsangan atau pengaruh terhadap agresi itu dapat datang dari luar
diri sendiri (yaitu kondisi lingkungan atau pengaruh kelompok) atau dari pelaku
sendiri (pengaruh kondisi fisik dan kepribadian). Berikut ini uraian ketiga jenis
pengaruh tersebut terhadap agresi:
a. Kondisi Lingkungan
Agresi dapat muncul baik karena sakit yang dialami oleh fisik juga sakit yang
dirasakan hati (psikis). Demikian pula udara yang sangat panas lebih cepat memicu
kemarahan dan agresi, selain itu adanya serangan juga cenderung memicu agresi
karena perilaku yang diserang akan cenderung membalas.
6
b. Pengaruh kelompok
Pengaruh kelompok terhadap agresi antara lain adalah menurunkan hambatan
dari kendali moral. Ketika seseorang melihat orang lain melakukan sesuatu yang
dianggap menguntungkan maka kebanyakan orang akan mengikutinya tanpa harus
melihat apa dan bagaimana.
c. Pengaruh kepribadian dan kondisi fisik
Salah satu teori sifat (trait) menyatakan bahwa orang yang tipe kepribadiannya
A (yang bersifat kompetitif, selalu buru-buru, ambisius, cepat tersinggung, dan
sebagainya) lebih cepat menjadi agresif dari pada orang dengan tipe kepribadian B
(Ambisinya tidak tinggi, sudah puas dengan keadaannya yang sekarang, cenderung
tidak buru-buru, dan sebagainya).
4. Faktor penyebab agresi
Agresi (Sarwono, 2005) adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain
atau merusak milik orang lain, adapun yang menjadi penyebab terjadinya agresi adalah :
a. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf
parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat,
biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata terjadi pada saat
marah, ada perasaan ingin menyerang, menghancurkan atau melempar sesuatu dan
biasanya timbul pikiran kejam bila hal itu disalurkan maka terjadilah agresi
b. Faktor biologis
Adapun bebarapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi :
1. Gen, tampaknya berpengaruh pada pembentukan system neural otak yang
mengatur perilaku agresi.
2. Sistem otak, marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem
limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul
hubungan timbal balik antara kenikmatan dengan kekejaman.
3. Kimia darah, khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor
keturunan juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Misalnya pada wanita yang
7
sedang mengalami masa haid, perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah,
tegang dan bermusuhan, kenyataannya banyak wanita yang mengalami
pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya
siklus haid ini.
c. Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan
orang tuanya menyebabkan bentuk hubungan komunikasi menjadi minim dan tidak
nyambung, kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu
penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.
d. Lingkungan
Faktor-faktor yang disebabkan oleh lingkungan ini mencakup :
1. Kemiskinan. Bila seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang serba kurang
perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan.
2. Anonimitas, Dikota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung terlalu
banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal
dalam artian, antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau
mengetahui secara baik, lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim
(tidak mempunyai identitas diri).
3. Suhu udara yang panas, bila diperhatikan, kekerasan dan tawuran yang terjadi
seringkali pada siang hari, diterik panas matahari, dan peristiwa tersebut relatif
menurun pada musim hujan.
e. Frustasi
Frustasi terjadi ketika seseorang terhalangi oleh sesuatu dalam mencapai suatu
tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu sedangkan agresi
merupakan salah satu bentuk respon terhadap frustasi.
f. Pendisiplinan yang keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama yang
dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh
yang buruk. Pendidikan disiplin yang seperti itu akan membuat para individu menjadi
8
penakut, tidak ramah kepada orang lain dan pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
g. Tontonan kekerasan
Selain di televisi, model kekerasan juga dapat disaksikan secara langsung
dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang sering menyaksikan tawuran di jalan,
mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi.
5. Hubungan perilaku agresi dengan emosi negatif
Ketika seseorang mengalami satu kondisi emosi tertentu, yang sering terlihat adalah
emosi marah. Perasaan marah berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam
satu bentuk tertentu dan pada objek tertentu (Sarwono dan Meinarno, 2009). Reivich dan
Shatté (2002) mendefinisikan individu dengan pengendalian impuls rendah sering
mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan
pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah,
impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting.
Sementara itu Schatchcer dengan teori emosi menekankan bahwa kemungkinan
tercetusnya agresi akan lebih besar apabila individu yang menerima provokasi mengalami
peningkatan emosi (Koeswara, 1988).
Hal lain yang bisa dikaitkan dengan agresi yaitu prasangka.
Prasangka
(prejudice) adalah sebuah sikap (biasanya negatif) yang ditujukan kepada anggota
kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.
Dengan kata lain, jika seseorang memiliki prasangka kepada orang lain, maka prasangka
yang muncul didasarkan kepada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompok dan
bukan oleh karakteristik lain yang dimilikinya (Sarwono dan Meinarno, 2009)
6. Tipe-tipe dan Bentuk Agresi
Leonard Berkowitz menuturkan bahwa agresi terbagi menjadi dua jenis yaitu: a)
instrument Aggression, agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat
atau cara untuk mencapai tujuan tertentu; b) hostile Aggression (agresi benci) atau
Impulsive Aggression (agresi impulsif). Agresi yang dilakukan semata-mata sebagai
9
pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain
untuk menimbulkan efek kerusakan, atau kematian pada sasaran atau obyek. (Sobur,2003).
7. Perilaku Yang Dikategorikan Sebagai Perilaku Agresif
Peran kognisi sangat besar dalam menentukan apakah suatu perilaku dianggap agresif
(jika diberi atribusi internal) atau tidak agresif (dalam hal atribusi eksternal). Dengan
atribusi internal, yang dimaksud adalah adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan untuk
menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam atribusi eksternal, perbuatan dilakukan
karena desakan situasi, tidak ada pilihan lain, atau disengaja (Sobur, 2003).
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan model pendekatan
fenomenologi. Menurut Bogdan dan Biklen (Alsa, 2003) penelitian dengan pendekatan
fenomenologi berusaha memahami makna dari suatu peristiwa atau fenomena yang saling
berpengaruh dengan manusia dalam situasi tertentu. Adapun subjek atau responden yang
terlibat dalam penelitian sebanyak tiga anak jalanan. Data dalam peneitian ini menggunakan
dua jenis data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden anak jalanan
dengan kriteria pernah melihat, melakukan (baik terbiasa maupun sudah jarang), ataupun
menerima tindakan agresi dari orang lain melalui teknik wawancara, FGD, dan observasi.
Data sekunder diperoleh dari teman-teman, keluarga, atau orang-orang lain yang mengenal
responden. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik
reduksi data. Tahapan dalam anlisis data penelitian ini adalah reduksi data, display data, dan
verifikasi (Emzir, 2012)
HASIL
a. Faktor internal
1) Kebutuhan ekonomi yang terbatas
Bentuk-bentuk perilaku agresi yang dilakukan ketiga responden tersebut
muncul karena adanya ketegangan dan kecemasan sebagai tuntutan pemenuhan
insting dasar atau id. Pemenuhan kebutuhan dan bertahan hidup di jalanan
10
memerlukan
uang, disatu sisi keterbatasan akan materi yang dimiliki oleh para
responden, maka perilaku-perilaku
agresi tersebut muncul sebagai usaha untuk
pemenuhan kebutuhan.
2) Membela diri ketika harga diri direndahkan dan dikhianati
Pada kasus responden NO, perasaan harga diri direndahkan dan dikhianati
oleh sahabatnya sendiri dapat diartikan sebagai sebuah ancaman harga diri dan
penghinaan. Situasi seperti ini akhirnya mendorong responden kepada pelepasan suatu
perilaku agresi yaitu berupa memukul dan berkelahi dengan sahabat yang dinilai
mengkhianati responden sendiri.
3) Naluri pertahanan diri
Ketiga responden dalam penelitian ini diketauhi memiliki naluri bertahan, baik
dari berbagai ancaman maupun serangan yang mengarah pada dirinya sendiri, anggota
kelompok, dan individu di sekitar responden sendiri yang dirasa memang perlu untuk
dilindungi. Pertahanan diri yang dilakukan responden NO dan AB misalnya, adalah
ketika mempertahankan wilayah ngamennya selama ini dari pihak lain yang ingin
menguasainya yaitu sekumpulan anak punk. NO menuturkan bahwa dirinya berujuang
mempertahankan wilayahnya dan tidak peduli jika harus cedera ataupun melukai
musuhnya karena ditempat itu responden biasanya mencari uang untuk bertahan
hidup dari hasil mengamen
4) Mudah terpancing emosi
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls termasuk emosi
negatif sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta
tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls
rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung
mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Dari penjelasan Reivich dan Shatte di
atas, ketiga responden memiliki kemampuan yang rendah dalam mengendalikan
impuls, termasuk emosi negatif yang dapat berakibat munculnya perilaku agresi.
Lebih lanjut, ketiga responden juga mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, dan
berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting misalnya saja
11
ketika salah satu responden berpapasan dengan orang yang melihat kepada dirinya
atau ketika ada orang lain yang berusaha menasehati dan memarahi responden.
5. Ingin mencari pelampiasan
Permasalahan yang dialami seperti ketergantugan narkoba dan minuman
beralkohol, intimidasi, tindak perkelahian, tawuran dengan kelompok preman, serta
jauh dari keluarga cukup membuat responden berada dalam situasi yang tertekan.
Permasalahan tersebut sedikit banyak mempengaruhi responden dalam mencapai
tujuan-tujuan atau situasi yang diinginkan. Akibatnya perasaan frustasi mungkin saja
bisa muncul, dan lebih lanjut dalam kasus NO, adanya pelampiasan ketegangan
dengan cara memukuli orang lain. Bahkan NO mengutarakan melakukan tindak
penganiayaan sebagai pelampiasan dibawah pengaruh minuman beralkohol dan obatobatan. Perilaku agresi seperti ini, berdasarkan konsep reaksi agresi Freud dapat
diartikan sebagai ego yang memanfaatkan drive agresif untuk menyerang obyek yang
menimbulkan frustasi, menutupi kelemahan diri karena berbagai permasalahan yang
dijumpai dijalanan kemudian menunjukkan kekuatan drive agresinya kepada obyek
pengganti yaitu orang lain yang menjadi korban.
6) Adanya tekanan dalam diri yang dirasa sangat kompleks
Responden AB dalam melakukan suatu perilaku agresi, salah satunya
berdasarkan pengakuan, didasari karena adanya tekanan dalam diri atau masalah
yang dirasa begitu banyak dan kompleks. Sebagai anak jalanan, berbagai masalah
yang dihadapi tentunya dapat menimbulkan suatu tekanan, ketegangan bahkan
kecemasan. Perilaku agresi seperti ini, berdasarkan konsep reaksi agresi Freud dapat
diartikan sebagai ego yang memanfaatkan drive agresif untuk menyerang obyek yang
menimbulkan frustasi, menutupi kelemahan diri karena berbagai permasalahan yang
dijumpai dijalanan kemudian menunjukkan kekuatan drive agresinya kepada obyek
pengganti yaitu orang lain yang menjadi korban.
7) Perasaan benci terhadap orang lain atau suatu kelompok
Hostile Aggression (agresi benci) atau Impulsive Aggression (agresi impulsif)
adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk
12
melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek
kerusakan, atau kematian pada sasaran atau obyek. Selama ini masyarakat sering
mengira bahwa kelompok anak jalanan seperti AB dianggap juga sebagai anak punk,
padahal hal itu merupakan dua kelompok berbeda. Hal ini akhirnya membuat AB
begitu membenci anak punk. Tidak jarang ketika AB dan kelompoknya dan
sekumpulan anak punk bertemu di jalan, tawuran dan perkelahian yang terjadi.
Perkelahian yang dilakukan responden tersebut merupakan pelampiasan dari perasaan
benci dan murni karena ingin menyakiti serta melukai kelompok anak punk.
b. Faktor eksternal
1) Sering melihat dan menjadi korban kekerasan
Responden bisa melihat dan belajar bagaimana ketika berkelahi atau diserang
orang lain di jalan, bisa mencari uang dari hasil mencopet setelah melihat dan diajari
oleh temannya sesama anak jalanan. Responden pada kesempatan ini dapat
mengamati dan memperhatikan perilaku dari role model. Ketika dihadapkan pada
situasi tertentu, responden yang sebelumnya mengamati tingkah laku role model,
kemudian menyimpannya dalam ingatan akan menampilkan perilaku agresinya jika
memang dirasa dibutuhkan.
2) Meniru perilaku sosok role model
Perilaku dari role model seperti memalak, mencopet, dan nyartok dapat
menjadi sebuah stimulus bagi responden itu sendiri. Dari stimulus yang teramati
tersebut akan ditransformasikan dalam
ingatan
responden dan menjadi suatu
ketrampilan kognitif sebagai hasil belajar dan dalam situasi tertentu misalnya ketika
dalam keadaan tertekan butuh uang, ketrampilan kognitif dari responden tersebut akan
menghasilkan suatu perilaku seperti mencopet, memalak, dan nyartok.
3) Adanya motivasi dari orang lain
Individu lebih tertarik untuk mengamati dan mencontoh tingkah laku yang
menghasilkan penguatan yang besar dibanding dengan tingkah laku yang menghsilkan
penguatan kecil (Sobur, 2003). Responden NO dan RK selama ini mendapatkan
semangat atau motivasi dari teman-temanya sesama anak jalanan. Pada responden
13
NO, motivasi tersebut misalnya didapatkan ketika akan tawuran. Dari motivasi
tersebut responden mengutarakan bahwa dirinya menjadi semakin berani berkelahi
ketika tawuran. Dari proses mengamati teman-temannya sendiri ketika berkelahi dan
tawuran, responden akhirnya mendapatkan motivasi agar bisa lebih berani dalam
tawuran dan harus melawan ketika ada orang lain yang sengaja “menginjak-injak”
responden.
4) Adanya provokasi dari orang lain
Berbagai provokasi kadang ditemui responden dalam beraktifitas di jalanan,
tidak terkecuali anak jalanan seperti responden RK dan AB. Tidak jarang provokasi
seperti ancaman, umpatan, hinaan, ataupun perbuatan yang dapat menyakiti dari orang
lain memancing amarah dari responden RK dan AB yang memang dikenal oleh
teman-temannya merupakan individu yang sulit mengontrol emosi.
5) Adanya
prasangka
negatif,
direndahkan
dan
tidak
dihiraukan
keberadaannya oleh masyarakat
Dari prasangka serta penolakan terhadap responden baik NO, RK, dan AB
mengakibatkan mereka menampikan atau melakukan perilaku agresi seperti seperti
sering menggoda wanita, memalak, berkelahi, serta nyartok, sebagai sasaran rasa
frustasi dan amarah disamping untuk mencari perhatian dari lingkungan sekitar. Hal
itu lebih karena selama ini masyarakat lebih memandang aktifitas anak jalanan seperti
dari sisi atau perilaku negatif saja.
KESIMPULAN
Dari pembahasan dan analisis data, dapat diperoleh kesimpulan bahwa, faktor-faktor
internal penyebab munculnya perilaku agresi anak jalanan antara lain: pada ketiga responden
sama-sama memiliki faktor kebutuhan ekonomi yang terbatas, mudah terpancing emosi, dan
naluri pertahanan diri. Selebihnya responden pertama memiliki faktor membela diri ketika
harga diri direndahkan dan dikhianati teman serta ingin mencari pelampiasan. Sementara,
responden ketiga sendiri memiliki faktor internal lain yaitu tekanan dalam diri yang dirasa
sangat kompleks dan perasaaan benci. Sedangkan untuk faktor-faktor eksternal penyebab
14
munculnya perilaku agresi yaitu: pada ketiga responden sama-sama memiliki faktor meniru
perilaku role model, adanya provokasi, adanya motivasi dari orang lain, serta adanya
prasangka negatif, direndahkan dan tidak dihiraukan masyarakat. Selebihnya, responden
pertama dan kedua memiliki faktor eksternal lain yaitu setiap hari melihat perkelahian atau
tawuran.
DISKUSI
Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut
yang nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya antara lain sebagai berikut:
1. Pada saat pembuatan guide interview maupun FGD yang akan digunakan pada
proses wawancara kepada responden sebagai metode pengambilan data primer,
peneliti menggunakan teori-teori dari beberapa tokoh seperti Freud, Lorenz, dan
Bandura. Akan tetapi asumsi dasar dari teori-teori tersebut kurang membahas
secara mendalam dan spesifik mengenai faktor-faktor penyebab munculnya
perilaku agresi. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya, agar dihasilkan suatu
hasil dan pembahasan yang lebih mendalam mengenai faktor penyebab munculnya
perilaku agresi, sebaiknya ketika membuat guide interview dan FGD disertakan
juga teori-teori ataupun penelitian-penelitian yang secara khusus dan spesifik
membahas tentang faktor-faktor penyebab agresi.
2. Anak jalanan dalam memiliki karakteristik atau sifat yang mudah tersinggung dan
terkadang labil. Dalam penelitian terutama yang menggunakan responden anak
jalanan, kiranya diperlukan keahlian dari peneliti untuk melakukan pendekatan
awal secara baik. Beberapa anak jalanan mengaku sempat diwawancarai oleh
beberapa mahasiswa, tetapi anak jalanan tersebut mengungkapkan bahwa beberapa
mahasiswa menempatkan dirinya hanya sebatas subyek penelitian, tidak lebih.
Dalam kasus ini, penolakan yang dilakukan anak jalanan karena mereka sudah
hafal dan paham mengenai kegiatan peneliti terutama beberapa mahasiswa yang
menjadikan mereka sebagai responden penelitian. Setelah peneliti berhasil
memperoleh data penelitian dari anak jalanan, sebagian besar anak jalanan
ditinggal begitu saja tanpa adanya komunikasi lebih lanjut. Padahal sejujurnya
15
beberapa anak jalanan memerlukan orang lain diluar komunitas atau kelompok
anak jalanan untuk berintaraksi, menceritakan permasalahan pribadi, hingga
meminta saran atau solusi untuk permasalahannya.
3. Ketika peneliti bertemu
dalam berbagai kesempatan, responden sering
menceritakan mengenai harapan kedepan yang ingin dicapai oleh yang
bersangkutan. Lebih lanjut responden ini ingin membahagiakan orang tua serta
keluarga yang dia sayangi kelak, ketika sudah mempunyai penghasilan sendiri.
Bahkan responden berkeinginan agar anaknya bisa bersekolah setinggi mungkin
agar tidak bernasib sama seperti dirinya yaitu hidup sebagi anak jalanan. Dari hal
ini, peneliti dapat mengambil sebuah pemahaman bahwa meskipun saat ini anak
jalanan erat dengan berbagai permasalahan, keterbatasan, serta tekanan
yang
mereka dapatkan di jalanan, sejujurnya mereka memiliki motivasi dan harapan
hidup yang positif.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, M., Prasadja, H. (2000). Anak Jalanan dan Kekerasan. Pusat Kajian
Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya: Jakarta artemen Sosial RI.
Anggraeni, Rina. Perilaku Agresi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol Pp) Dalam
Menertibkan Pedagang Kaki Lima (Pkl). Jakarta: Universitas Gunadarma
repository.gunadarma.ac.id [diakses 12 Juni 2012]
Alsa, Asmadi. (2003). Pendekatan Kuantitaif dan Kualitatif Serta Kombinasinya dalam
Penelitian Psikologi. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Alwisol. (2007). Psikologi Kepribadian. Yogyakarta:UMM Press
Armai, Arif Dr. MA. (2004). Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan.
http://anjal.blogdrive.com/archive/11.html (diakses tanggal 4 Mei 2012)
Atwarbajari, (2009). Studi Fenomenologi: Peran Diri Dan Perilaku Komunikasi Anak
Jalanan. : http://atwarbajari.wordpress.com/2009/06/26/studifenomenologiperan-diridan-perilaku-komunikasi-anak-jalanan.
[Diakses tanggal 12
Mei 2012]
Baron, R, A dan Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial Edisi 10. Jakarta: Erlangga
Byrne, Donn. (2005). Psikologi Sosial. Edisi 10. Jakarta : Erlangga.
Byrne, Donn. (2003). Social Psychology. Edisi 9. Boston. Allyn and Bacon.
Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Emzir. (2012). Metodelogi Penelitian Kualitatif Analsis Data. Jakarta : Rajawali Pers.
http://id.wikisource.org/wiki/Undang_Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_
tahun_1945/Perubahan_IV [Diakses tanggal 2 Mei 2012]
Iskandar. (2009). Metodologi penelitian kualitatif : aplikasi untuk penelitian pendidikan,
hukum, ekonomi dan manajemen, sosial, humaniora, politik, agama dan filsafat.
Jakarta : Gaung Persada.
Irwanto. (2006). Focus Group Discussion: A simple manual. Jakarta: Yayasan Obor.
Ismudiyati,, Y.S. (2003). Perilaku Coping Dan Depresi Anak Jalanan Di Kota
Bandung
Ditinjau
Dari Dukungan Sosial Dan Lamanya Mendapatkan Pelayanan
Di
Rumah Singgah. Jurnal Psikologi, Vol no.3 Yogyakarta : Program Pasca Sarjana
UGM.
Khavari, Khalil A. (2000). The art Of Heppiness. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Koeswara, C. (1988). Agresi Manusia. Bandung: PT. Eresco
Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
17
Mulandar. (1996). Dehumanisasi Anak Marjinal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan,
Bandung : AKATIGA dan Gugus Analisis.
Noor. Y. A. (2012). Perbedaan Tingkat Perilaku Agresi Berdasarkan Strategi Koping Pada
Remaja. Skripsi, Malang: Fakultas Psikologi UIN
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia
LPSP3: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor ; 7 Essential Skill For Overcoming
Life’s Inevitable Obstacle. New York, Broadway Books
Sarwono, S. W. dan Meinarno, E. A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika
Satori, Djam’an, Komariah, dan Aan. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung :
Alfabeta.
Shalahudin,
Odi.
(2012).
230.000
Anak
Jalanan
Di
Indonesia.
http://odishalahuddin.wordpress.com/2012/01/06/230000-anak-jalanan-di-indonesia.
[Diakses 20 Mei 2012]
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung; Pustaka Setia
Sudarsono, (2009), Kenakalan Remaja Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi,
Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. (2012). Metodologi Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
Bandung: Alfabeta
dan R&D.
Supono, H. S. E. Perilaku Agresif Pada Remaja Putri Yang Berbeda Status Sosial
Ekonomi. www.gunadarma.ac.id/library/.../artikel_10502102 [diakses tanggal
2
Juli 2012]
Suprihatin, Titin. Agresivitas Anak (Suatu Studi Kasus). Psikologi Unissula.
http://psikologi-unissula.com/article/88565/agresivitas-anak--suatu-studi- kasus.html
[diakses tanggal 14 Juli 2012]
Sutrisno, Edy. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana
Suyanto, Bagong. (2010). Masalah Sosial Anak. Jakarta : Kencana.
Utomo, Y. M. S. Hubungan Antara Kebutuhan Akan Kekuasaan (Need For Power)
Dengan Kecenderungan Agresi Pada Preman Di Desa S Kecamatan Sy Kabupaten
Demak. office.unissula.ac.id/Lontar/opac/.../abstrak.jsp [diakses tanggal 3 Agustus
2012]
Waluyo, E. D. (2000). Karakteristik Sosial Ekonomi Dan Demografi Anak Jalanan
Kotamadya Malang. Malang: JIPTUMM. http://digilib.itb.ac.id
[diakses
tanggal 4 Juni 2012]
18
Di
Winarsih, Sri.
Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional Denganperilaku Agresif
Pada Anak
Jalanan
di
Alun-Alun
Kota
Malang.
http://www.scribd.com/doc/88707277/Hubungan-Tingkat-Kecerdasan
[Diakses
tanggal 25 Mei 2012]
Winarto,
Joko.
(2011).
Teori
Belajar
Sosial.
http://
edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori belajar sosial albert bandura. [Diakses
tanggal 14 Juni 2012]
Zakarya, A. T, (2011). Makalah Sisi Kehidupan Anak Jalanan. Yogyakarta :
Departemen Pendidikan Nasional Indonesia STMIK Amikom
19
ANAK JALANAN DI KOTA MALANG
Oleh
Ryan Alif Syahrial
Yoyon Supriyono
Ari Pratiwi
[email protected]
ABSTRACT
The aim of this research is to describe caused of aggression behavior in street children
in Malang. This phenomenological qualitative research used data reduction as analysis
method. This research use interview, focus group discussion, and observations method for
data collections. The subjects for this research consist of three street children in Malang and
age range is 12-20 years old. From the research and data analysis, can obtained that the
caused of internal factors of aggresion behavior in street children are: for all of three
respondens, have a factor limited economics needs, easily provoked, and self defense instinct.
In addition, the first responden have a factor for defend themself when self-estem were
humbled and betrayed, and try to look impingement. The third responden have the another
internal factors like the self pressure was deemed and complex, and hatred feeling againts
another person or group. While, for the external factors of aggresion behavior in street
children are: for all of three respondens, have a factors imitating behavior of their role model,
provocation by other, motivating by others, the existence of prejudice, dishonored, and
rejection by society. In addition, the first and second respondens have another external factor
like often see and experiences as victims of violence.
Keyword: street children, aggresion behavior caused factors, Malang
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab munculnya perilaku
agresi anak jalanan di Kota Malang. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi ini
menggunakan reduksi data sebagai metode analisis data. Pengumpulan data menggunakan
metode wawancara, focus group discussion, dan observasi. Responden dalam penelitian ini
adalah anak jalanan di kawasan Kota Malang dan berjumlah tiga orang dan berumur antara
12-20 tahun. Dari pembahasan dan analisis data, dapat diperoleh kesimpulan bahwa, faktorfaktor internal penyebab munculnya perilaku agresi anak jalanan antara lain: pada ketiga
responden sama-sama memiliki faktor kebutuhan ekonomi yang terbatas, mudah terpancing
emosi, dan naluri pertahanan diri. Selebihnya responden pertama memiliki faktor membela
diri ketika harga diri direndahkan dan dikhianati teman serta ingin mencari pelampiasan.
Sementara, responden ketiga sendiri memiliki faktor internal lain yaitu tekanan dalam diri
yang dirasa sangat kompleks dan perasaaan benci. Sedangkan untuk faktor-faktor eksternal
penyebab munculnya perilaku agresi yaitu: pada ketiga responden sama-sama memiliki faktor
meniru perilaku role model, adanya provokasi, adanya motivasi dari orang lain, serta adanya
prasangka negatif, direndahkan dan tidak dihiraukan masyarakat. Selebihnya, responden
pertama dan kedua memiliki faktor eksternal lain yaitu setiap hari melihat perkelahian atau
tawuran.
Kata kunci : Anak jalanan, faktor penyebab perilaku agresi, Malang
1
LATAR BELAKANG
Kasus anak jalanan tidak bisa dianggap sebelah mata. Isu-isu anak jalanan menjadi
masalah sosial yang cukup mengkhawatirkan khususnya bagi kehidupan sosial masyarakat.
Dari situlah dimungkinkan berbagai masalah-masalah seperti tindak kriminalitas,
meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Menurut UUD 1945 Pasal 34 ayat 1, anakanak terlantar itu dipelihara oleh negara. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab
terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak
asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia
pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
tentang hak-hak Anak (Convention the Right of the Child) .Mereka perlu mendapatkan hakhaknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil
righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment
and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and
welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and cultureactivites), dan
perlindungan khusus (special protection) (Armai, 2004). Hasil Lokakarya Nasional Anak
Jalanan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial pada bulan Oktober 1995, anak
jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Ismudiyati, 2003).
Bagi anak-anak, jalanan bukanlah lingkungan yang baik untuk tumbuh dan
berkembang karena jalanan lebih banyak memberikan hal negatif dibandingkan hal positif.
Resiko yang mereka alami di jalanan adalah penyiksaan fisik, kecelakaan lalu lintas,
ditangkap polisi, korban kejahatan, penggunaan obat, konflik dengan anak-anak jalanan lain,
dan terlibat dalam pelanggaran hukum baik sengaja ataupun tidak (Agustian dan Prasadja,
2000).
Gambaran tersebut mengenai tindakan agresi yang pernah dilakukan juga diperkuat
hasil wawancara peneliti dengan salah satu anak jalanan berinisal NO bahwa, jika dirinya
sudah berkumpul di jalan bersama anak jalanan lain dan di sisi lain terdapat anak jalanan dari
kelompok lain yang berkumpul di kesempatan yang sama, biasanya yang terjadi adalah
2
perkelahian. Ketika situasi perkelahian tersebut banyak anak jalanan yang membawa pisau,
bekas gear sepeda, hingga senjata api. Berdasarkan wawancara tersebut, diketahui bahwa
anak jalanan dan perilaku agresi sangat erat kaitannya mengingat kehidupan di jalanan itu
sangat keras dan penuh tekanan. Sehingga gesekan kepentingan antar anak jalanan dan
dengan lingkungannya sangat mungkin menimbulkan perilaku agresi.
Perilaku agresi itu sendiri menurut Baron adalah tingkah laku yang ditunjukkan untuk
melukai dan mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut. Lebih lanjut agresi merupakan tingkah laku kekerasan baik secara verbal maupun
fisik terhadap individu maupun objek lain yang ditujukan untuk melukai atau mencelakai.
(Sobur, 2003).
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti sangat tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku agresi anak jalanan.
Mengingat perilaku seperti berkelahi, penganiayaan, kekerasan verbal dan fisik kerap terjadi
di kehidupan anak jalanan.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan munculnya perilaku
agresi anak jalanan.
C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan munculnya perilaku agresi anak
jalanan.
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANAK JALANAN
1. Definisi Anak Jalanan
Konsep anak jalanan dipahami dan didefinisikan berbeda sesuai dengan
kepentingan dan sudut pandang yang beragam. Menurut hasil Lokakarya Nasional Anak
Jalanan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial pada bulan Oktober 1995, anak
jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah
3
atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Ismudiyati, 2003).
Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak,
anak adalah seseorang yang berusia 21 tahun dan belum menikah (Armai, 2004).
Pengertian Anak jalanan atau sering juga disebut dengan gelandangan menurut beberapa
tokoh yang diantaranya adalah, Artidjo (Sutrisno, 2011) mengartikan anak jalanan atau
gelandangan sebagai orang yang tidak mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian
yang tetap dan layak atau mereka sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang
lain..
2. Karakteristik Anak Jalanan
Menurut Sadli (Sudarsono, 2009) anak jalanan memiliki karakteristik khas baik
secara psikologisnya maupun kreativitasnya, antara lain: a) mudah tersinggung
perasaannya; b) mudah putus asa dan cepat murung; c) nekat tanpa dapat dipengaruhi
secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya; d) tidak berbeda dengan anakanak yang lainnya yang selalu menginginkan kasih sayang; e) tidak mau bertatap muka
dalam arti bila mereka diajak bicara, mereka tidak mau melihat orang lain secara terbuka;
f) Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak, mereka sangatlah
labil; g) mereka memiliki suatu keterampilan, namun keterampilan ini tidak selalu sesuai
bila diukur dengan ukuran normatif masyarakat umumnya (Zakarya, 2011).
3. Jenis Anak Jalanan
Berdasarkan kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam
tiga kelompok (Suyanto, 2010).
a. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka.
b. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik
secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka masih mempunyai
hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak
menentu.
c. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga
yang hidup di jalanan.
4
4. Masalah Yang Dihadapi Anak Jalanan
Ada beberapa sumber permasalahan pokok yang sering dihadapin anak
jalanan. Permasalahan itu antara lain :
a. Aspek pendidikan
b. Intimidasi
c.
d.
e.
f.
g.
NAPZA
Kesehatan
Tempat tinggal
Hubungan keluarga
Makanan
Permasalahan yang dihadapi misalnya putus sekolah karena
waktunya sering habis di jalan
Menjadi sasaran tindal kekerasan anak jalanan lain, terkena
razia
Ngelem, minuman keras, pil BK, ganja
Rentan penyakit kulit, PMS, paru-paru, TBC
Umumnya di sembarang tempat, gubuk atau kolong jembatan
Umumnya renggang atau sama sekali tidak berhubungan
Seadanya, kadang beli atau mengais dari tempat sampah
Sumber : Hadi Utomo (Suyanto, 2010)
5.
Faktor Penyebab Turunnya Anak Ke Jalanan
Sesunguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus dalam
kehidupan di jalanan (Suyanto, 2010), hal itu antara lain :
a. Kesulitan keuangan keluarga atau tekanan kemiskinan
b. Ketidakharmonisan rumah tangga orang tua
c. Dan masalah khusus yang menyangkut hubungan anak dengan orang tua
B. AGRESI
1. Definisi Agresi
Agresi, menurut Baron
(Sobur, 2003) adalah tingkah laku individu yang
ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut. Berkowitz mendefinisikan agresi sebagai segala
bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik
maupun mental. Bagi Berkowitz (Sobur, 2003), perasaan negatif yang ditimbulkan
oleh suatu tekanan dapat menghasilkan kecenderungan amarah dan perilaku agresi.
2.
Teori atau asumsi dasar mengenai perilaku agresi
Freud (Sobur, 2003) mempercayai bahwa kita semua lahir ke dunia disertai
dengan naluri kematian (thanatos). Dimana di dalamnya termasuk segala perilaku
5
kekerasan dan pengerusakan. Dalam mekanisme pertahanan diri, ego memanfaatkan
drive agresif untuk menyerang obyek yang menimbulkan frustasi. Menutupi
kelemahan diri dengan menunjukkan kekuatan drive agresinya, baik yang ditujukan
kepada obyek yang asli, obyek pengganti, maupun ditujukan kepada diri sendiri
(Alwisol, 2007).
Teori naluri yang kedua tentang agresi berasal dari ethologist Konrad Lorenz
(Sobur, 2003) yang memiliki pandangan bahwa agresi sebagai suatu sistim hidrolik
dimana dapat menghasilkan energi sendiri. Semua jenis naluri termasuk agresi,
mempunyai dasar tujuan untuk memastikan dapat bertahan hidup secara perseorangan
dan atau kelompok. Agresi yang bersifat survival ini, menurut Lorenz bersifat adaptif
(menyesuaikan diri terhadap lingkungan), bukan destruktif (merusak lingkungan).
Menurut Bandura (Sobur, 2003), teori Pembelajaran Sosial Bandura
memperlakukan agresi sebagai suatu jenis yang spesifik dari tingkah laku sosial yang
diperoleh dari peninjauan atau penelitian yang langsung (hasil belajar). Teori belajar
sosial, menjelaskan bahwa terdapat empat proses yang satu sama lain berkaitan, yaitu
proses atensional, retensional, reproduksi, dan motivasional.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresi
Agresivitas, (Sarwono, 2005) dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang dapat
merangsangnya, rangsangan atau pengaruh terhadap agresi itu dapat datang dari luar
diri sendiri (yaitu kondisi lingkungan atau pengaruh kelompok) atau dari pelaku
sendiri (pengaruh kondisi fisik dan kepribadian). Berikut ini uraian ketiga jenis
pengaruh tersebut terhadap agresi:
a. Kondisi Lingkungan
Agresi dapat muncul baik karena sakit yang dialami oleh fisik juga sakit yang
dirasakan hati (psikis). Demikian pula udara yang sangat panas lebih cepat memicu
kemarahan dan agresi, selain itu adanya serangan juga cenderung memicu agresi
karena perilaku yang diserang akan cenderung membalas.
6
b. Pengaruh kelompok
Pengaruh kelompok terhadap agresi antara lain adalah menurunkan hambatan
dari kendali moral. Ketika seseorang melihat orang lain melakukan sesuatu yang
dianggap menguntungkan maka kebanyakan orang akan mengikutinya tanpa harus
melihat apa dan bagaimana.
c. Pengaruh kepribadian dan kondisi fisik
Salah satu teori sifat (trait) menyatakan bahwa orang yang tipe kepribadiannya
A (yang bersifat kompetitif, selalu buru-buru, ambisius, cepat tersinggung, dan
sebagainya) lebih cepat menjadi agresif dari pada orang dengan tipe kepribadian B
(Ambisinya tidak tinggi, sudah puas dengan keadaannya yang sekarang, cenderung
tidak buru-buru, dan sebagainya).
4. Faktor penyebab agresi
Agresi (Sarwono, 2005) adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain
atau merusak milik orang lain, adapun yang menjadi penyebab terjadinya agresi adalah :
a. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf
parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat,
biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata terjadi pada saat
marah, ada perasaan ingin menyerang, menghancurkan atau melempar sesuatu dan
biasanya timbul pikiran kejam bila hal itu disalurkan maka terjadilah agresi
b. Faktor biologis
Adapun bebarapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi :
1. Gen, tampaknya berpengaruh pada pembentukan system neural otak yang
mengatur perilaku agresi.
2. Sistem otak, marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem
limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul
hubungan timbal balik antara kenikmatan dengan kekejaman.
3. Kimia darah, khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor
keturunan juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Misalnya pada wanita yang
7
sedang mengalami masa haid, perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah,
tegang dan bermusuhan, kenyataannya banyak wanita yang mengalami
pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya
siklus haid ini.
c. Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan
orang tuanya menyebabkan bentuk hubungan komunikasi menjadi minim dan tidak
nyambung, kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu
penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.
d. Lingkungan
Faktor-faktor yang disebabkan oleh lingkungan ini mencakup :
1. Kemiskinan. Bila seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang serba kurang
perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan.
2. Anonimitas, Dikota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung terlalu
banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal
dalam artian, antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau
mengetahui secara baik, lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim
(tidak mempunyai identitas diri).
3. Suhu udara yang panas, bila diperhatikan, kekerasan dan tawuran yang terjadi
seringkali pada siang hari, diterik panas matahari, dan peristiwa tersebut relatif
menurun pada musim hujan.
e. Frustasi
Frustasi terjadi ketika seseorang terhalangi oleh sesuatu dalam mencapai suatu
tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu sedangkan agresi
merupakan salah satu bentuk respon terhadap frustasi.
f. Pendisiplinan yang keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama yang
dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh
yang buruk. Pendidikan disiplin yang seperti itu akan membuat para individu menjadi
8
penakut, tidak ramah kepada orang lain dan pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
g. Tontonan kekerasan
Selain di televisi, model kekerasan juga dapat disaksikan secara langsung
dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang sering menyaksikan tawuran di jalan,
mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi.
5. Hubungan perilaku agresi dengan emosi negatif
Ketika seseorang mengalami satu kondisi emosi tertentu, yang sering terlihat adalah
emosi marah. Perasaan marah berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam
satu bentuk tertentu dan pada objek tertentu (Sarwono dan Meinarno, 2009). Reivich dan
Shatté (2002) mendefinisikan individu dengan pengendalian impuls rendah sering
mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan
pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah,
impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting.
Sementara itu Schatchcer dengan teori emosi menekankan bahwa kemungkinan
tercetusnya agresi akan lebih besar apabila individu yang menerima provokasi mengalami
peningkatan emosi (Koeswara, 1988).
Hal lain yang bisa dikaitkan dengan agresi yaitu prasangka.
Prasangka
(prejudice) adalah sebuah sikap (biasanya negatif) yang ditujukan kepada anggota
kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.
Dengan kata lain, jika seseorang memiliki prasangka kepada orang lain, maka prasangka
yang muncul didasarkan kepada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompok dan
bukan oleh karakteristik lain yang dimilikinya (Sarwono dan Meinarno, 2009)
6. Tipe-tipe dan Bentuk Agresi
Leonard Berkowitz menuturkan bahwa agresi terbagi menjadi dua jenis yaitu: a)
instrument Aggression, agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat
atau cara untuk mencapai tujuan tertentu; b) hostile Aggression (agresi benci) atau
Impulsive Aggression (agresi impulsif). Agresi yang dilakukan semata-mata sebagai
9
pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain
untuk menimbulkan efek kerusakan, atau kematian pada sasaran atau obyek. (Sobur,2003).
7. Perilaku Yang Dikategorikan Sebagai Perilaku Agresif
Peran kognisi sangat besar dalam menentukan apakah suatu perilaku dianggap agresif
(jika diberi atribusi internal) atau tidak agresif (dalam hal atribusi eksternal). Dengan
atribusi internal, yang dimaksud adalah adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan untuk
menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam atribusi eksternal, perbuatan dilakukan
karena desakan situasi, tidak ada pilihan lain, atau disengaja (Sobur, 2003).
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan model pendekatan
fenomenologi. Menurut Bogdan dan Biklen (Alsa, 2003) penelitian dengan pendekatan
fenomenologi berusaha memahami makna dari suatu peristiwa atau fenomena yang saling
berpengaruh dengan manusia dalam situasi tertentu. Adapun subjek atau responden yang
terlibat dalam penelitian sebanyak tiga anak jalanan. Data dalam peneitian ini menggunakan
dua jenis data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden anak jalanan
dengan kriteria pernah melihat, melakukan (baik terbiasa maupun sudah jarang), ataupun
menerima tindakan agresi dari orang lain melalui teknik wawancara, FGD, dan observasi.
Data sekunder diperoleh dari teman-teman, keluarga, atau orang-orang lain yang mengenal
responden. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik
reduksi data. Tahapan dalam anlisis data penelitian ini adalah reduksi data, display data, dan
verifikasi (Emzir, 2012)
HASIL
a. Faktor internal
1) Kebutuhan ekonomi yang terbatas
Bentuk-bentuk perilaku agresi yang dilakukan ketiga responden tersebut
muncul karena adanya ketegangan dan kecemasan sebagai tuntutan pemenuhan
insting dasar atau id. Pemenuhan kebutuhan dan bertahan hidup di jalanan
10
memerlukan
uang, disatu sisi keterbatasan akan materi yang dimiliki oleh para
responden, maka perilaku-perilaku
agresi tersebut muncul sebagai usaha untuk
pemenuhan kebutuhan.
2) Membela diri ketika harga diri direndahkan dan dikhianati
Pada kasus responden NO, perasaan harga diri direndahkan dan dikhianati
oleh sahabatnya sendiri dapat diartikan sebagai sebuah ancaman harga diri dan
penghinaan. Situasi seperti ini akhirnya mendorong responden kepada pelepasan suatu
perilaku agresi yaitu berupa memukul dan berkelahi dengan sahabat yang dinilai
mengkhianati responden sendiri.
3) Naluri pertahanan diri
Ketiga responden dalam penelitian ini diketauhi memiliki naluri bertahan, baik
dari berbagai ancaman maupun serangan yang mengarah pada dirinya sendiri, anggota
kelompok, dan individu di sekitar responden sendiri yang dirasa memang perlu untuk
dilindungi. Pertahanan diri yang dilakukan responden NO dan AB misalnya, adalah
ketika mempertahankan wilayah ngamennya selama ini dari pihak lain yang ingin
menguasainya yaitu sekumpulan anak punk. NO menuturkan bahwa dirinya berujuang
mempertahankan wilayahnya dan tidak peduli jika harus cedera ataupun melukai
musuhnya karena ditempat itu responden biasanya mencari uang untuk bertahan
hidup dari hasil mengamen
4) Mudah terpancing emosi
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls termasuk emosi
negatif sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta
tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls
rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung
mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Dari penjelasan Reivich dan Shatte di
atas, ketiga responden memiliki kemampuan yang rendah dalam mengendalikan
impuls, termasuk emosi negatif yang dapat berakibat munculnya perilaku agresi.
Lebih lanjut, ketiga responden juga mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, dan
berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting misalnya saja
11
ketika salah satu responden berpapasan dengan orang yang melihat kepada dirinya
atau ketika ada orang lain yang berusaha menasehati dan memarahi responden.
5. Ingin mencari pelampiasan
Permasalahan yang dialami seperti ketergantugan narkoba dan minuman
beralkohol, intimidasi, tindak perkelahian, tawuran dengan kelompok preman, serta
jauh dari keluarga cukup membuat responden berada dalam situasi yang tertekan.
Permasalahan tersebut sedikit banyak mempengaruhi responden dalam mencapai
tujuan-tujuan atau situasi yang diinginkan. Akibatnya perasaan frustasi mungkin saja
bisa muncul, dan lebih lanjut dalam kasus NO, adanya pelampiasan ketegangan
dengan cara memukuli orang lain. Bahkan NO mengutarakan melakukan tindak
penganiayaan sebagai pelampiasan dibawah pengaruh minuman beralkohol dan obatobatan. Perilaku agresi seperti ini, berdasarkan konsep reaksi agresi Freud dapat
diartikan sebagai ego yang memanfaatkan drive agresif untuk menyerang obyek yang
menimbulkan frustasi, menutupi kelemahan diri karena berbagai permasalahan yang
dijumpai dijalanan kemudian menunjukkan kekuatan drive agresinya kepada obyek
pengganti yaitu orang lain yang menjadi korban.
6) Adanya tekanan dalam diri yang dirasa sangat kompleks
Responden AB dalam melakukan suatu perilaku agresi, salah satunya
berdasarkan pengakuan, didasari karena adanya tekanan dalam diri atau masalah
yang dirasa begitu banyak dan kompleks. Sebagai anak jalanan, berbagai masalah
yang dihadapi tentunya dapat menimbulkan suatu tekanan, ketegangan bahkan
kecemasan. Perilaku agresi seperti ini, berdasarkan konsep reaksi agresi Freud dapat
diartikan sebagai ego yang memanfaatkan drive agresif untuk menyerang obyek yang
menimbulkan frustasi, menutupi kelemahan diri karena berbagai permasalahan yang
dijumpai dijalanan kemudian menunjukkan kekuatan drive agresinya kepada obyek
pengganti yaitu orang lain yang menjadi korban.
7) Perasaan benci terhadap orang lain atau suatu kelompok
Hostile Aggression (agresi benci) atau Impulsive Aggression (agresi impulsif)
adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk
12
melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek
kerusakan, atau kematian pada sasaran atau obyek. Selama ini masyarakat sering
mengira bahwa kelompok anak jalanan seperti AB dianggap juga sebagai anak punk,
padahal hal itu merupakan dua kelompok berbeda. Hal ini akhirnya membuat AB
begitu membenci anak punk. Tidak jarang ketika AB dan kelompoknya dan
sekumpulan anak punk bertemu di jalan, tawuran dan perkelahian yang terjadi.
Perkelahian yang dilakukan responden tersebut merupakan pelampiasan dari perasaan
benci dan murni karena ingin menyakiti serta melukai kelompok anak punk.
b. Faktor eksternal
1) Sering melihat dan menjadi korban kekerasan
Responden bisa melihat dan belajar bagaimana ketika berkelahi atau diserang
orang lain di jalan, bisa mencari uang dari hasil mencopet setelah melihat dan diajari
oleh temannya sesama anak jalanan. Responden pada kesempatan ini dapat
mengamati dan memperhatikan perilaku dari role model. Ketika dihadapkan pada
situasi tertentu, responden yang sebelumnya mengamati tingkah laku role model,
kemudian menyimpannya dalam ingatan akan menampilkan perilaku agresinya jika
memang dirasa dibutuhkan.
2) Meniru perilaku sosok role model
Perilaku dari role model seperti memalak, mencopet, dan nyartok dapat
menjadi sebuah stimulus bagi responden itu sendiri. Dari stimulus yang teramati
tersebut akan ditransformasikan dalam
ingatan
responden dan menjadi suatu
ketrampilan kognitif sebagai hasil belajar dan dalam situasi tertentu misalnya ketika
dalam keadaan tertekan butuh uang, ketrampilan kognitif dari responden tersebut akan
menghasilkan suatu perilaku seperti mencopet, memalak, dan nyartok.
3) Adanya motivasi dari orang lain
Individu lebih tertarik untuk mengamati dan mencontoh tingkah laku yang
menghasilkan penguatan yang besar dibanding dengan tingkah laku yang menghsilkan
penguatan kecil (Sobur, 2003). Responden NO dan RK selama ini mendapatkan
semangat atau motivasi dari teman-temanya sesama anak jalanan. Pada responden
13
NO, motivasi tersebut misalnya didapatkan ketika akan tawuran. Dari motivasi
tersebut responden mengutarakan bahwa dirinya menjadi semakin berani berkelahi
ketika tawuran. Dari proses mengamati teman-temannya sendiri ketika berkelahi dan
tawuran, responden akhirnya mendapatkan motivasi agar bisa lebih berani dalam
tawuran dan harus melawan ketika ada orang lain yang sengaja “menginjak-injak”
responden.
4) Adanya provokasi dari orang lain
Berbagai provokasi kadang ditemui responden dalam beraktifitas di jalanan,
tidak terkecuali anak jalanan seperti responden RK dan AB. Tidak jarang provokasi
seperti ancaman, umpatan, hinaan, ataupun perbuatan yang dapat menyakiti dari orang
lain memancing amarah dari responden RK dan AB yang memang dikenal oleh
teman-temannya merupakan individu yang sulit mengontrol emosi.
5) Adanya
prasangka
negatif,
direndahkan
dan
tidak
dihiraukan
keberadaannya oleh masyarakat
Dari prasangka serta penolakan terhadap responden baik NO, RK, dan AB
mengakibatkan mereka menampikan atau melakukan perilaku agresi seperti seperti
sering menggoda wanita, memalak, berkelahi, serta nyartok, sebagai sasaran rasa
frustasi dan amarah disamping untuk mencari perhatian dari lingkungan sekitar. Hal
itu lebih karena selama ini masyarakat lebih memandang aktifitas anak jalanan seperti
dari sisi atau perilaku negatif saja.
KESIMPULAN
Dari pembahasan dan analisis data, dapat diperoleh kesimpulan bahwa, faktor-faktor
internal penyebab munculnya perilaku agresi anak jalanan antara lain: pada ketiga responden
sama-sama memiliki faktor kebutuhan ekonomi yang terbatas, mudah terpancing emosi, dan
naluri pertahanan diri. Selebihnya responden pertama memiliki faktor membela diri ketika
harga diri direndahkan dan dikhianati teman serta ingin mencari pelampiasan. Sementara,
responden ketiga sendiri memiliki faktor internal lain yaitu tekanan dalam diri yang dirasa
sangat kompleks dan perasaaan benci. Sedangkan untuk faktor-faktor eksternal penyebab
14
munculnya perilaku agresi yaitu: pada ketiga responden sama-sama memiliki faktor meniru
perilaku role model, adanya provokasi, adanya motivasi dari orang lain, serta adanya
prasangka negatif, direndahkan dan tidak dihiraukan masyarakat. Selebihnya, responden
pertama dan kedua memiliki faktor eksternal lain yaitu setiap hari melihat perkelahian atau
tawuran.
DISKUSI
Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut
yang nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya antara lain sebagai berikut:
1. Pada saat pembuatan guide interview maupun FGD yang akan digunakan pada
proses wawancara kepada responden sebagai metode pengambilan data primer,
peneliti menggunakan teori-teori dari beberapa tokoh seperti Freud, Lorenz, dan
Bandura. Akan tetapi asumsi dasar dari teori-teori tersebut kurang membahas
secara mendalam dan spesifik mengenai faktor-faktor penyebab munculnya
perilaku agresi. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya, agar dihasilkan suatu
hasil dan pembahasan yang lebih mendalam mengenai faktor penyebab munculnya
perilaku agresi, sebaiknya ketika membuat guide interview dan FGD disertakan
juga teori-teori ataupun penelitian-penelitian yang secara khusus dan spesifik
membahas tentang faktor-faktor penyebab agresi.
2. Anak jalanan dalam memiliki karakteristik atau sifat yang mudah tersinggung dan
terkadang labil. Dalam penelitian terutama yang menggunakan responden anak
jalanan, kiranya diperlukan keahlian dari peneliti untuk melakukan pendekatan
awal secara baik. Beberapa anak jalanan mengaku sempat diwawancarai oleh
beberapa mahasiswa, tetapi anak jalanan tersebut mengungkapkan bahwa beberapa
mahasiswa menempatkan dirinya hanya sebatas subyek penelitian, tidak lebih.
Dalam kasus ini, penolakan yang dilakukan anak jalanan karena mereka sudah
hafal dan paham mengenai kegiatan peneliti terutama beberapa mahasiswa yang
menjadikan mereka sebagai responden penelitian. Setelah peneliti berhasil
memperoleh data penelitian dari anak jalanan, sebagian besar anak jalanan
ditinggal begitu saja tanpa adanya komunikasi lebih lanjut. Padahal sejujurnya
15
beberapa anak jalanan memerlukan orang lain diluar komunitas atau kelompok
anak jalanan untuk berintaraksi, menceritakan permasalahan pribadi, hingga
meminta saran atau solusi untuk permasalahannya.
3. Ketika peneliti bertemu
dalam berbagai kesempatan, responden sering
menceritakan mengenai harapan kedepan yang ingin dicapai oleh yang
bersangkutan. Lebih lanjut responden ini ingin membahagiakan orang tua serta
keluarga yang dia sayangi kelak, ketika sudah mempunyai penghasilan sendiri.
Bahkan responden berkeinginan agar anaknya bisa bersekolah setinggi mungkin
agar tidak bernasib sama seperti dirinya yaitu hidup sebagi anak jalanan. Dari hal
ini, peneliti dapat mengambil sebuah pemahaman bahwa meskipun saat ini anak
jalanan erat dengan berbagai permasalahan, keterbatasan, serta tekanan
yang
mereka dapatkan di jalanan, sejujurnya mereka memiliki motivasi dan harapan
hidup yang positif.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, M., Prasadja, H. (2000). Anak Jalanan dan Kekerasan. Pusat Kajian
Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya: Jakarta artemen Sosial RI.
Anggraeni, Rina. Perilaku Agresi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol Pp) Dalam
Menertibkan Pedagang Kaki Lima (Pkl). Jakarta: Universitas Gunadarma
repository.gunadarma.ac.id [diakses 12 Juni 2012]
Alsa, Asmadi. (2003). Pendekatan Kuantitaif dan Kualitatif Serta Kombinasinya dalam
Penelitian Psikologi. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Alwisol. (2007). Psikologi Kepribadian. Yogyakarta:UMM Press
Armai, Arif Dr. MA. (2004). Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan.
http://anjal.blogdrive.com/archive/11.html (diakses tanggal 4 Mei 2012)
Atwarbajari, (2009). Studi Fenomenologi: Peran Diri Dan Perilaku Komunikasi Anak
Jalanan. : http://atwarbajari.wordpress.com/2009/06/26/studifenomenologiperan-diridan-perilaku-komunikasi-anak-jalanan.
[Diakses tanggal 12
Mei 2012]
Baron, R, A dan Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial Edisi 10. Jakarta: Erlangga
Byrne, Donn. (2005). Psikologi Sosial. Edisi 10. Jakarta : Erlangga.
Byrne, Donn. (2003). Social Psychology. Edisi 9. Boston. Allyn and Bacon.
Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Emzir. (2012). Metodelogi Penelitian Kualitatif Analsis Data. Jakarta : Rajawali Pers.
http://id.wikisource.org/wiki/Undang_Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_
tahun_1945/Perubahan_IV [Diakses tanggal 2 Mei 2012]
Iskandar. (2009). Metodologi penelitian kualitatif : aplikasi untuk penelitian pendidikan,
hukum, ekonomi dan manajemen, sosial, humaniora, politik, agama dan filsafat.
Jakarta : Gaung Persada.
Irwanto. (2006). Focus Group Discussion: A simple manual. Jakarta: Yayasan Obor.
Ismudiyati,, Y.S. (2003). Perilaku Coping Dan Depresi Anak Jalanan Di Kota
Bandung
Ditinjau
Dari Dukungan Sosial Dan Lamanya Mendapatkan Pelayanan
Di
Rumah Singgah. Jurnal Psikologi, Vol no.3 Yogyakarta : Program Pasca Sarjana
UGM.
Khavari, Khalil A. (2000). The art Of Heppiness. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Koeswara, C. (1988). Agresi Manusia. Bandung: PT. Eresco
Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
17
Mulandar. (1996). Dehumanisasi Anak Marjinal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan,
Bandung : AKATIGA dan Gugus Analisis.
Noor. Y. A. (2012). Perbedaan Tingkat Perilaku Agresi Berdasarkan Strategi Koping Pada
Remaja. Skripsi, Malang: Fakultas Psikologi UIN
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia
LPSP3: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor ; 7 Essential Skill For Overcoming
Life’s Inevitable Obstacle. New York, Broadway Books
Sarwono, S. W. dan Meinarno, E. A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika
Satori, Djam’an, Komariah, dan Aan. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung :
Alfabeta.
Shalahudin,
Odi.
(2012).
230.000
Anak
Jalanan
Di
Indonesia.
http://odishalahuddin.wordpress.com/2012/01/06/230000-anak-jalanan-di-indonesia.
[Diakses 20 Mei 2012]
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung; Pustaka Setia
Sudarsono, (2009), Kenakalan Remaja Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi,
Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. (2012). Metodologi Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
Bandung: Alfabeta
dan R&D.
Supono, H. S. E. Perilaku Agresif Pada Remaja Putri Yang Berbeda Status Sosial
Ekonomi. www.gunadarma.ac.id/library/.../artikel_10502102 [diakses tanggal
2
Juli 2012]
Suprihatin, Titin. Agresivitas Anak (Suatu Studi Kasus). Psikologi Unissula.
http://psikologi-unissula.com/article/88565/agresivitas-anak--suatu-studi- kasus.html
[diakses tanggal 14 Juli 2012]
Sutrisno, Edy. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana
Suyanto, Bagong. (2010). Masalah Sosial Anak. Jakarta : Kencana.
Utomo, Y. M. S. Hubungan Antara Kebutuhan Akan Kekuasaan (Need For Power)
Dengan Kecenderungan Agresi Pada Preman Di Desa S Kecamatan Sy Kabupaten
Demak. office.unissula.ac.id/Lontar/opac/.../abstrak.jsp [diakses tanggal 3 Agustus
2012]
Waluyo, E. D. (2000). Karakteristik Sosial Ekonomi Dan Demografi Anak Jalanan
Kotamadya Malang. Malang: JIPTUMM. http://digilib.itb.ac.id
[diakses
tanggal 4 Juni 2012]
18
Di
Winarsih, Sri.
Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional Denganperilaku Agresif
Pada Anak
Jalanan
di
Alun-Alun
Kota
Malang.
http://www.scribd.com/doc/88707277/Hubungan-Tingkat-Kecerdasan
[Diakses
tanggal 25 Mei 2012]
Winarto,
Joko.
(2011).
Teori
Belajar
Sosial.
http://
edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori belajar sosial albert bandura. [Diakses
tanggal 14 Juni 2012]
Zakarya, A. T, (2011). Makalah Sisi Kehidupan Anak Jalanan. Yogyakarta :
Departemen Pendidikan Nasional Indonesia STMIK Amikom
19