BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Penyakit Ginjal Kronis dengan Kondisi Higiene Oral pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Stabil di RSUP H.Adam Malik Medan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ginjal
Ginjal adalah organ utama sistem kemih atau uriner (tractus urinarius) yang berperan menyaring dan membuang cairan sisa metabolisme dari dalam tubuh agar darah tetap bersih, dan pembuangan sampah metabolik agar sel-sel tubuh tidak keracunan. Tubuh akan memakai makanan sebagai energi dan perbaikan jaringan sel tubuh, maka sisanya akan dikirim melalui
4 darah untuk disaring di ginjal.
2.1.1 Struktur Ginjal
Ginjal manusia adalah sepasang organ berbentuk kacang yang berada pada retroperitoneum pada daerah pinggang. Ginjal kiri berada pada bagian atas vertebra lumbal I, dan bagian bawah vertebra lumbal IV dimana pada posisinya ginjal kanan letaknya lebih rendah dari ginjal kiri. Setiap ginjal beratnya ±160 gram; panjangnya 10 – 15 sentimeter; tebalnya 2,5 – 3,0 cm. Apabila dibuat irisan memanjang dari medial ke lateral maka akan nampak dua bagian yaitu kortex di sebelah luar dan medula di sebelah dalam. Medula terdiri dari bangunan berbentuk piramid disebut piramida renalis dan ujung piramida akan menjadi kaliks minor. Beberapa kaliks minor bergabung menjadi kaliks major dan beberapa kaliks major bergabung menjadi pelvis renalis dan berlanjut membentuk ureter. Ginjal mendapat darah dari arteri renalis yang
11-12 merupakan cabang dari aorta abdominalis.
```````````````````` Gambar 1 : Anatomis ginjal th dari aspek koronal. ( Sumber: FH.
``````````````````````````````````` Netter. Atlas of Human Anatomy 4 ed. 2006 . ``````````````````````````````````` Philadelphia.: 335) Unit fungsional ginjal adalah nefron, dan setiap ginjal memiliki ± 1 juta unit nefron.
Setiap unit nefron terdiri dari Bowman’s capsule, yang menutupi seluruh kapiler glomerular,
proximal convoluted tubule , loop of Henle, dan distal convoluted tubule. Glomerulus
merupakan suatu struktur yang sangat unik, terletak di antara arteriol aferen dan eferen yang ditutupi oleh Bowman’s capsule yang berfungsi sebagai penyaring. Zat-zat yang disaring dikeluarkan dari glomerulus ke tubulus. Diikuti langkah kedua dalam pembentukan urin yaitu
11-12 selective reabsorption sepanjang tubulus melalui proses transportasi aktif atau pasif. Gambar 2 : Skema nefron dan tubulus pengumpul. (Sumber: FH.Netter. Atlas th `````````````````````` Of Human Anatomy 4 ed . 2006. Philadelphia.:336)
Dan setiap hari, tubuh mungkin menghasilkan 1,5 – 2,0 liter urin. Walaupun pembuangan toksik dan zat-zat dari darah merupakan fungsi utamanya, ginjal juga penting dalam menghasilkan hormon seperti vitamin D dan eritropoeitin, regulasi garam serta eskresi air. Nefron merupakan jaringan yang tidak akan bertumbuh kembali atau beregenerasi apabila sudah rusak, tetapi masih mampu melakukan fungsi-fungsi utama dengan hipertrofi unit
11,12 fungsional nefron yang sisa.
2.1.2 Fungsi ginjal
Secara umum ginjal memiliki 4 fungsi regulasi yang utama dan secara relatif dilakukan melalui filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi di nefron. Fungsi pertama yaitu homeostasis di mana
- regulasi air dan elektrolit serta mengontrol konsentrasi bikarbonat (HCO
3 ) dengan keseimbangan asam-basa (pH). Fungsi kedua adalah proses excretory melalui pembuangan bahan sisa dan toksin seperti urea, asam urik dan sebagainya dari tubuh, ketiga adalah proses
endocrine di mana tekanan darah diregulasi dengan kerja renin pada sistem angiotensin.
Proses endokrin juga penting dalam memastikan produksi eritropoietin yang optimal dan produksi prostaglandin dalam mengontrol vasodilatasi. Fungsi keempat merupakan
metabolisme . Ginjal merupakan organ yang penting untuk produksi bentuk aktif vitamin D
yaitu kalsitriol, dan turut berperan sebagai situs untuk proses katabolik beberapa hormon
12 seperti insulin, hormon paratiroid, dan kalsitonin.
2.2 Penyakit Ginjal Kronis
Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai keadaan patologis sistemik yang progresif dan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) secara ireversibel, yang berperan dalam peningkatan serum kreatinin dan nitrogen urik darah penderita. Penyakit ginjal kronis dahulu sering disebut dengan gagal ginjal kronis (GGK). Menurut National Kidney Foundation
Kidney Disease Outcome Quality Initiative , penyakit ginjal kronis didefinisikan melalui 2
keadaan berikut yaitu (1) serum marker untuk penyakit ginjal muncul lebih dari 3 bulan, dan munculnya abnormalitas struktural atau fungsional dari ginjal dengan atau tanpa munculnya bersama abnormalitas patologis dalam komposisi darah atau abnormalitas sewaktu
2
pemeriksaan, (2) Nilai glomerulus filtration rate (GFR) adalah <600cc/min/1,73m body
2 surface area (nilai normal untuk dewasa adalah 100-120ml/min/1,73m body surface area )
1,2,4 selama atau lebih dari 3 bulan. Penyakit ginjal kronis timbul secara perlahan dan sifatnya progresif. Apabila pembuangan bahan toksik sistemik terhalang, maka akan menyebabkan kondisi intoksikasi yaitu uremia yang memiliki karakteristik klasik seperti peningkatan protein fase akut, sitokin
1 dan makrofag.
Etiologi utama berkembangnya penyakit ginjal kronis adalah diabetes melitus (40- 60%), hipertensi (15-30%) dan penyakit nefrovaskular seperti glomerulonefritis (10%).
Established chronic kidney disease merupakan tahap terakhir (tahap 5) dari klasifikasi
penyakit ginjal kronis, di mana kondisi ini bersifat ireversibel dan pasien harus menjalani perawatan khusus yaitu renal replacement therapy yang terbagi ke dalam 2 tipe yaitu
1,2,13 hemodialisis dan transplantasi organ.
2.2.1 Klasifikasi
2.2.1.1 Tahapan Penyakit Ginjal Kronis Penyakit ginjal kronis diklasifikasikan menurut tahapan keparahan atau mengikut GFR.
Klasifikasinya terdiri dari 5 tahapan yaitu tahap yang paling ringan (tahap 1) dan tahap yang paling parah atau ireversibel (tahap 5). Secara umum, penyakit ginjal kronis termasuk di dalam 5 tahapan namun tahap 5 sering dikenali dengan nama khusus yaitu established chronic
2 kidney disease atau end stage renal disease. Tabel 1 : Nomenklatur dan definisi tahap keparahan penyakit ginjal kronis menurut
.... Kidney/ Dialysis Outcome Quality Initiative Guidelines (DeRossi dkk. .... Renal
Disease . 2008. Burkett’s Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc: .... 368Tahapan Definisi Tahap 1 GFR normal atau meningkat dengan sedikit bukti adanya kerusakan ginjal berdasarkan perubahan pada albuminurea/ proteinurea, hematuria atau histologi. Tahap 2 Gagal ginjal kronis yang ringan, 60 – 89 GFR milliliter per menit per
2
1,73m body surface area Tahap 3 Gagal ginjal kronis yang moderat, 30 - 59 GFR milliliter per menit
2
per 1,73m body surface area Tahap 4 Gagal ginjal kronis yang parah, 15 - 29 GFR milliliter per menit per
2
1,73m body surface area, renal replacement therapy dikonsiderasi Tahap 5 Established chronic kidney disease di mana renal replacement
therapy merupakan penyelesaian, <15 GFR milliliter per menit per
2
1,73m body surface area Untuk mendiagnosis fungsi ginjal atau glomerulus filtration rate, parameter yang paling utama adalah konsentrasi serum kreatinin. Pada penderita penyakit ginjal kronis tahap 1 dan tahap 2, glomerulus filtration rate (serum kreatinin dan urea nitrogen darah hampir tidak berubah) biasanya menurun namun tidak signifikan tetapi eskreksi protein albumin dalam urin meningkat. Menurut peneliti, nilai protein albumin dalam urin hanya berguna sebagai indikator penyakit ginjal kronis pada tahap awal. Pada tahap ini penderita tidak mengalami
1,4 gangguan biokemis dan biasanya asimtomatik.
Tabel 2 : Pengukuran fungsi ginjal dan parameter untuk tahap penyakit ginjal kronis yang berbeda. (Alba JC dkk. Dental Management in Renal Failure : .... Patients on
Dialysis . Med Oral Ptol Oral Cir Bucal. 2008; 13 (7):E419-26)
Persentase Fungsi Filtrasi Pembuangan Serum Kreatinin Kondisi Klinis
Glomerulus Kreatinin (Kreatinin Darah) 100% 90-120ml/menit 0,5-1,3mg/dL Normal >50% >45-60ml/menit <1,3 mg/dL Kompensasi ginjal
25-50% 20-60ml/menit 1,3-2,5mg/dL Manifestasi klinis ginjal kronis timbul
10-25% 10-25ml/menit 2,5-10mg/dL Kondisi klinis ginjal parah <10% <10ml/min >10mg/dL Hemodialisis
Apabila nilai serum kreatinin adalah 10mg/dL dan glomerulus filtration rate lebih
2
rendah dari 15ml /menit /1,73m body surface area, maka seseorang individual itu diduga menderita penyakit ginjal kronis tahap 5. Pada tahap ini, penderita menjadi simptomatik dan
2,15 akan diserang simtom uremik.
2.2.1.2 Berdasarkan Kebutuhan Renal Replacement Therapy
Pada penderita penyakit ginjal kronis dari tahap 1 sampai dengan tahap 4 disebut non
dialysis dependant chronic kidney disease , yang pada dasarnya penderita tidak membutuhkan
15 terapi hemodialisis dan transplantasi ginjal. Penderita yang memasuki tahap 5 yaitu established chronic kidney disease wajib menjalani renal replacement therapy yang terdiri dari dialisis jangka panjang (hemodialisis
1,3 Gambar 3 : Mekanisme atau peritoneal dialisis) bahkan sampai harus transplantasi ginjal. hemod ialisis.
(Sumb er: Instala si
Hemo dialisi s R.S.U. H.Ada m Malik, Medan
.) Gambar 4 : Aliran darah dari arteri penderita dan aliran darah yang
``````````````` siap didialisis kembali ke vena penderita. (Sumber: ``` Instalasi hemodialisis R.S.U.H.Adam Malik, Medan) Gambar 5 : Dialyzer. (Sumber : Instalasi Hemodialisis ``````````````` R.S.U.H.Adam Malik, Medan)
2.3 Epidemiologi
Prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia mencapai 29,1% pada populasi yang berisiko tinggi seperti penderita hipertensi, diabetes dan proteinuria. Insidensi established
chronic kidney disease mencapai 30,7 per juta populasi dan prevalensi pada 23,4 per juta
populasi. Pada tahun 2006, terdapat 10,000 pasien yang menjalani hemodialisis. Masalah keuangan, tidak cukupnya fasilitas dialisis, dan kurangnya tenaga medis yang seringkali menjadi masalah utama dari ketidakberhasilan perkembangan terapi renal replacement di
7 Indonesia.
2.4 Etiologi
Menurut data yang diperoleh dari United States Renal Data System report, pada persentase 44,4% dan 26,6%, diabetes dan hipertensi dikategorikan sebagai 2 penyebab utama berkembangnya suatu penyakit ginjal ke tahapan terakhirnya atau tahapan 5. Sedangkan glomerulonefritis menduduki posisi ketiga dengan persentase 12,2% dari kasus established
chronic kidney disease yang tercatat. Kondisi- kondisi yang jarang seperti systemic lupus
erythematosus (SLE) dan uropati obstruktif menyebabkan 9,6% dari kejadian established
4,13 chronic kidney disease.Usia, ras, jenis kelamin dan riwayat keluarga turut tercatat sebagai faktor risiko. Usia rerata penderita established chronic kidney disease umumnya 61,1 tahun, dan 53,1% dari jumlah penderita established chronic kidney disease adalah laki-laki. Kejadian berdasarkan faktor risiko di atas dapat dijelaskan karena hipertensi dan diabetes membawa efek yang parah pada fungsi ginjal serta berlanjutnya kondisi kronis menjadi terminal. Penelitian yang baru juga menjelaskan kebiasaan merokok menambah risiko nefropati dan melipatkalikan progresi
7,10 penyakit ginjal kronis ke tingkat terminal (tahap 5).
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronis amat kompleks. Apabila jaringan ginjal mengalami kerusakan, tekanan intraglomerular akan meningkat dan jaringan ginjal akan berkompensasi dengan hipertrofi glomerular untuk mengembalikan fungsi filtrasinya. Pada saat yang sama, permeabilitas glomerulus terhadap molekul makro seperti transforming growth factor- beta (TGF-beta), fatty acid, pro-inflammatory markers of oxidant stress serta protein (albumin) akan meningkat. Peningkatan permeabilitas molekul menyebabkan toksisitas pada matriks
3,10 mesangial yang kemudian dilanjutkan dengan inflamasi.
Menurut teori nefron utuh (intact nephron theory) , kehilangan fungsi ginjal normal terjadi akibat dari penurunan jumlah nefron yang berfungsi dengan tepat. Gambaran dari teori ini adalah bahwa keseimbangan antara glomerulus dan tubulus yang dipertahankan nilai jumlah nefron akan berkurang sampai menjadi tidak adekuat dalam mempertahankan keseimbangan homeostasis sehingga menyebabkan terjadinya gangguan fisiologis. Penyakit ginjal kronis akhirnya mempengaruhi semua sistem tubuh karena tidakmampuan ginjal
16 melaksanakan fungsi metaboliknya dan untuk membersihkan toksin dari darah.
2.6 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronis
2.6.1 Gejala Klinis
Di Indonesia, masih ditemukan cukup banyak penderita dengan gejala klinis yang lanjut dan berat. Umumnya gejala baru timbul bila faal ginjal sudah terganggu sehingga ureum darah lebih dari 100-150 ml/dL. Pada penderita lanjut ditemukan keadaan umum pasien yang buruk, pucat, hiperpigmentasi kulit, mulut dan bibir yang kering, spasme otot, dan
1 kesadaran menurun sehingga koma.
Tabel 3 : Gejala klinis penyakit ginjal kronis (Proctor R dkk. Oral and Dental ...... Aspects
of Chronic Renal Failure . J Dent Res. 2005;84-199)
Sistem Gejala Hematologis Anemia (akibat penurunan eritopoietin), disfungsi platelet, gangguan imunitas yang diperantarai sel Kardiovaskular Hipertrofi ventrikel kiri (sekunder dari anemia/ hipertensi), gagal jantung, perikarditis, hipertensi, arteriosklerosis yang progresif Neurologis Konfusi, paranoid, apati, konvulsi, koma, neuropati perifer,
twitching dan fasikulasi
Gastrointestinal Serostomia, malodor, sialosis, anoreksia, sedakan, muntah, pendarahan gastrointestinal, konstipasi, esofagitis, gastritis, duodenitis, dan ulserasi peptik
Dermatologis Pruritis, hiperpigmentasi kutan, hiperpigmentasi kuku Respiratori Infeksi, hiperventilasi, edema pulmonari Endokrin Disfungsi tiroid, penurunan sekresi hormon pertumbuhan, amenorrhea, oligomenorrhea, peningkatan luteinizing hormone dan follicle-stimulatory hormone, disfungsi seksual pada laki (penurunan testosterone)
2.6.2 Sindroma Uremik
Sindroma uremik merupakan sekelompok gangguan toksik sistemik akibat penyakit ginjal dan terjadi pada tingkat established chronic kidney disease. Apabila ginjal masih sehat, tahap serum kreatinin adalah normal. Tetapi apabila glomerulus fliltration rate di bawah 10ml/menit, penderita akan mengalami suatu simptom yang tipikal yaitu uremia. Efek sindroma uremia yang paling parah adalah multiple organ failure dan metabolism failure.
1,4
Tabel 4 : Gangguan sistemik pada penderita penyakit kronis (sindroma uremia) (Scott
... SD dkk. Renal Disease. 2008. Burkett’s Oral Medicine. Hamilton: BC ... Decker
Inc: 368)
2 .7 Penya kit Period ontal
P enyakti period ontal merup akan gejala yang diinduksi serangan bakteri secara akut atau kronik pada gingiva, ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolar oleh bakteri gram negatif. Patogenesis dari penyakti periodontal Sistem badan Manifestasi Gastrointestinal Nausea, muntah, anoreksia, penciuman dan kecap logam dalam rongga mulut, stomatitis, parotitis, esofagitis, gastritis dan pendarahan gastrointestinal
Neuromuskular Sakit kepala, neuropati perifer, paralisis, dan kejang Hematoimunogik Anemia normositik dan normokromik, gangguan koagulasi, bertambahnya kerentanan terhadap infeksi, produksi eritropoietin menurun, limfositopenia
Metabolik endokrin Osteodistrofi ginjal (osteomalasia, osteoporosis, osteosklerosis), hiperparatiroidisme sekunder, gangguan pertumbuhan, penurunan libido, amenorrhea kardiovaskular Hipertensi arteriol, gagal jantung kongestif, kardiomiopati, pericarditis, aritmia
Dermatologik Pallor, hiperpigmentasi, ekimosis, uremic frost, pruritus, kuku terpigmentasi perang kemerahan pada distal yang klasik melibatkan respons immunogenik yang berlanjut menjadi destruksi jaringan dan paling signifikan, destruksi tulang alveolar. Mayoritas dari kandungan plak adalah bakteri seperti Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans dan lain lain yang
1,17 beradhesi pada permukaan gigi dalam beberapa saat setelah kita menyikat gigi.
Plak merupakan faktor etiologi penyakit periodontal. Plak supragingiva mengandungi produk bioaktif yang bervariasi, seperti asam organik, komponen sulfur, enzim pemakan jaringan, peptidoglikan, dan liposakarida (endotoksin). Komponen tersebut akan berdiffusi dari struktur plak ke permukaan epitelium gingiva dan meningkatkan pengaliran cairan inflamatori ke jaringan periodontal. Bakteri proteolitik akan mengembangkan niche ekologi
4,17 dan memproduksi protease yang dapat merusakan jaringan.
Konsep dasar yang menghubungkan penyakit sistemik seperti penyakit ginjal kronis dengan kondisi rongga mulut, terutama periodontitis sangat membutuhkan penelitian yang lanjut. Teori infeksi fokal muncul hasil dari hasil pemikiran para ilmuwan terhadap hubungan tersebut. Infeksi fokal merupakan suatu infeksi kronis yang membebaskan mikroorganisme atau produk toksik ke jaringan yang jauh dari daerah asal infeksi sehingga secara tidak langsung menginfeksi organ lain melalui respons inflamasi dan kerja sitokin. Pernyataan demikian walaupun bersifat hipotetik, namun menjadi dasar yang substansial untuk membuktikan hubungan bi-directional antara penyakti sistemik dan patogenesis penyakit periodontal. Hal ini karena infeksi rongga mulut seperti penyakit periodontal berkaitan dengan peningkatan prevalensi komplikasi arterosklerotik dan peningkatan serum C-reactive protein yang berperan dalam destruksi ligamen periodontal, hiperplasia gingiva dan destruksi tulang
17 alveolar.
2.8 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronis pada Rongga Mulut
Apabila aspek fungsional ginjal terganggu pada tahap terminal, maka fungsi ginjal hampir tidak ada sehingga glomerulus filtration rate terus menurun dan retensi dari berbagai produk buangan sistemik akan menberikan gambaran penyakit ginjal kronis pada rongga mulut apabila kondisi tubuh dari azotemik menjadi uremik. Berikut merupakan manifestasi
4
penyakit ginjal kronis di rongga mulut, yaitu :
2.8.1 Oral Malodor
Simtom yang paling sering muncul dan paling awal terjadi apabila ginjal gagal berfungsi adalah oral malodor atau timbulnya rasa kecap logam akibat alterasi sensasi pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap logam ini berupa bau ammonia, dan kondisi ini sering dialami oleh penderita yang menjalani hemodialisis. Uremic fetor atau ammoniacal
odor ini terjadi karena konsentrasi urea yang tinggi dalam rongga mulut, dan pecah menjadi
1,4,8 ammonia pada penderita dengan simptom uremia.2.8.2 Serostomia
Serostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan penderita yang menjalani hemodialisis, simtom ini amat sering dan signifikan. Hal ini sering terjadi sebagai hasil dari manifestasi beberapa faktor seperti inflamasi khemis, dehidrasi, pernafasan melalui mulut (Kussmaul’s respiration) dan keterlibatan langsung kalenjar salivarius, restriksi
4 konsumsi cairan saliva, dan efek samping dari obat. Serostomia cenderung menambah kerentanan penderita terhadap karies dan inflamasi gingiva, kandidiasis, sialadenitis suppuratif serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan
18,21 retensi gigi palsu, kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman.
2.8.3 Karies
Secara umum terdapat berbagai teori dan hasil penelitian terhadap korelasi karies dan penyakit ginjal kronis. Sebagian penelitian menunjukkan bahwa penyakit ginjal kronis tidak meningkatkan kerentanan penderita terhadap karies, namun kebanyakkan dari penelitian memberikan hasil positif terhadap hal ini. Penelitian Klassen dkk menunjukkan bahwa penderita penyakit ginjal kronis memiliki higiene oral yang buruk dengan kalkulusnya banyak
8,10,13 dan lesi karies yang tinggi.
2.8.4 Plak dan Kalkulus
Secara umum, plak adalah lapisan tipis yang mengandungi bakteri, sisa makanan serta produk saliva seperti amilase dapat menjadi faktor pembentukan kalkulus. Pembentukan plak pada tahap ultrastruktural terbagi kepada 3 fase utama yaitu pembentukan pelikel, adhesi
22,23 inisial oleh bakteri, dan akhirnya kolonisasi dan maturasi plak.
2.8.4.1Fase Pembentukan Pelikel
Kurang dari beberapa saat setelah menyikat gigi, saliva-derived acquired pellicle layer (terdiri dari glikoprotein, fosfoprotein, proline-rich protein, histidine-rich protein dan amilase) akan menutupi permukaan gigi memlalui daya elektrostatik, van der waals dan daya hidrofobik untuk membentuk dasar plak yang akan terus menebal apabila koloni bakteri
22 beradhesi padanya.
2.8.4.2 Fase Adhesi Inisial oleh Bakteri
Mengikuti fase pembentukan pelikel adalah fase adhesi inisial oleh bakteri. Pada fase ini terjadi adhesi bakteri dalam kondisi akuatik melalui 4 sub-fase yaitu transportasi bakteri ke permukaan acquired pellicle layer, kemudian diikuti dengan bakteri yang akan beradhesi secara inisial pada permukaan acquired pellicle layer dengan daya elektrostatik dan van der
waals . Apabila adhesi inisial terjadi, akan terjadi subfase ketiga yang dinamai attachment.
Pada sub-fase ini, interaksi bakteri dengan permukaan gigi akan diperkuatkan dengan adanya daya spesifik seperti pengikatan ionik, hidrogen dan kovalen. Tetapi metode pengikatan setiap bakteri berbeda, contohnya Actinomyces viscosus menggunakan fimbriae untuk beradhesi dengan proline-rich protein pada permukaan acquired pellicle layer; Streptococcus sanguis tidak hanya berikat pada proline-rich protein tetapi juga pada amilase dan asam sialik. Sub- fase keempat mengambarkan kolonisasi bakteri pada permukaan gigi dan terbentuknya
22 biofilm .
2.8.4.3 Kolonisasi dan Maturasi Plak Pada fase ini, ketebalan plak akan bertambah apabila bakteri mulai berproliferasi.
Biofilm terbentuk apabila koloni bakteri yang beradhesi dengan acquired pellicle layer diikat
oleh koloni bakteri baru. Proses ini terjadi dengan koaggregasi, dan interaksi intramikrobial yang kompleks jugs terbentuk. Setiap koloni bakteri yang ditambah ke lapisan sebelumnya akan menambah ketebalan biofilm, berproliferasi dan menjadi permukaan baru untuk koaggregasi koloni baru. Siklus ini berulang sehingga suatu matriks intramikrobial yang terdiri dari produk saliva, eksudat gingiva, dan substansi multipel mikrobial bermaturasi dan mulai
22 menganggu kesehatan struktur enamel gigi sehingga terbentuk lesi karies.
2.8.4.4 Kalkulus
Selain plak, kalkulus juga sering ditemukan pada rongga mulut penderita penyakit ginjal kronis. Kalkulus merupakan deposit mineral organik yang kuning-keputihan dengan 80% isinya mineral inorganik dan 20% sisanya adalah mineral organik seperti lipid, saliva dan protein. Pembentukan kalkulus merupakan lanjutan dari proses maturasi plak, ditambah proses kalsifikasi yang mulai terjadi dalam 4-8 jam setelah plak bermaturasi. Apabila plak bertransformasi menjadi kalkulus, koloni bakteri akan bertukar dari mayoritas gram positif ke mayoritas gram negatif anaerob dan tumbuhnya struktur dendritik plak ke permukaan
22,23 sementum setelah 5 hari sehingga menambah keutuhan kalkulus.
2.8.4.5 Korelasi antara Penyakit Ginjal Kronis dengan Plak dan ```````````````````` Kalkulus
Terdapa berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari penyakit ginjal kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Menurut Reeves dalam penelitiannya, ESRD
induced serostomia akan meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies karena retensi
produk urea serta pengaliran dan produksi saliva yang sedikit. Menurut Klassen dkk proses dialisis dapat memperburukkan kondisi rongga mulut di mana jumlah kalkulus meninggi, dan banyaknya dijumpai lesi karies. Deposit kalkulus dapat bertambah akibat dari hemodialisis,
10 menurut penelitian Epstein dkk, Jaffe dkk dan Gavalda dkk. Namun menurut Kho dkk, hidrolisis urea akan menghasilkan konsentrasi ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada penderita established chronic kidney
disease sehingga meningkatkan substansi fosfat dan ammonia dalam saliva dan hasilnya
kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko karies menurun. Hal ini turut didukung oleh peneliti, di mana hidrolisis urea mampu meningkatkan kapasitas antibakteri akibat peningkatan urea nitrogen dalam saliva. Kebenaran teori inin terus diperkuat terutama pada anak anak walaupun konsumsi gula yang tinggi dan kurang penjagaan kesehatan rongga mulut, risiko
1,12,14,24-25 karies tetap rendah dan terkontrol.
Peneliti juga menemukan bahwa pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan rapat dengan gangguan homeostasis kalsium-fosfor. Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong oleh pH yang buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva menjadi ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi basa.
Secara langsung, retensi urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan meningkatkan pembentukan kalkulus terutamanya pada penderita yang menjalani hemodialisis. Selain itu, penderita yang menjalani hemodialisis memiliki nilai magnesium saliva yang sangat rendah. Peneliti menemukan bahwa pada kalkulus penderita yang menjalani hemodialisis mengandung
4,10,25 oksalat, dan pada kondisi uremia turut menyebabkan retensi oksalat.
2.8.5 Perubahan pada Gingiva dan Mukosa
Perubahan gingiva termasuk hiperplasia gingiva yang diinduksi oleh obat seperti Siklosporin, perubahan warna gingiva, dan lesi mukosa turut diteliti pada rongga mulut
1 apabila fungsi ginjal menurun dan parah seperti hiperplasia gingiva, lesi mukosa dan lain lain.
2.8.5.1 Hiperplasia Gingiva yang Diinduksi oleh Siklosporin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Seymour dkk, kondisi ini cenderung tidak terjadi pada orang dewasa. Skeling terbukti dapat memperbaiki kondisi tersebut menurut Thomason dkk, tetapi tindakan pembersihan ini hanya untuk mengurangi inflammasi akibat plak dan bukan
1
inflamasi jaringan akibat Siklosporin.
`````````````````````````` Gambar 6 : Hiperplasia gingiva akibat obat Siklosporin. ````````````````````````````````````````` (Sumber : Periodontology for the Dental rd ````````````````````````````````````````` Hygienist 3 ed. 2007. Missouri:112)
2.8.5.2 Lesi Mukosa
Spektrum lesi yang luas dapat timbul pada rongga mulut tetapi lebih cenderung terjadi plak atau ulserasi keputih-putihan, yang sering didapat pada penderita yang menjalani allograf dan hemodialisis. Plak ini disebut uremic frost, dan terjadi apabila sisa kristal urea terdeposit
4 pada permukaan epitel dari evaporasi respirasi, juga karena aliran saliva yang berkurang.
Menurut Chau dkk dan Hogan dkk, penyakit lichenoid juga dapat terjadi akibat efek dari terapi obat, dan oral hairy leukoplakia yang juga dapat bermanifestasi sekunder dari efek
1,4,10,26 imunosupresi obat.
Gambar 7 : Uremic Frost pada penderita penyakit ````````````````````````` ````````````````````````````````````````````` ginjal kronis pada sublingual. (Sumber : th ````````````````````````````````````````````` Burket’s Oral Medicine 11 ed. 2008.
````````````````````````````````````````````` Hamilton:374)
Stomatitis uremik turut diobservasi dan dapat muncul sebagai daerah berpigmentasi putih, merah maupun keabuan pada mukosa oral. Pada stomatitis uremik tipe eritematous, suatu lapisan pseudomembran keabuan yang akan melapisi lesi eritema dan lesi ini selalu menyakitkan. Stomatitis uremik tipe ulseratif memiliki gambaran merah dan ditutupi lapisan yang pultaceous. Secara umumnya, gambaran stomatitis uremik amat luas tetapi unik dan tidak paralel secara klinis. Menurut Larato, manifestasi klinis ini dapat terjadi akibat peningkatan nitrogen yang membentuk trauma kemis secara langsung akibat gagal
1,4,14,26 ginjal.
Suatu penelitian oleh Dencheva dkk pada tahun 2010 menunjukkan manifestasi oral
hairy leukoplakia pada penderita penyakit ginjal kronis pada permukaan dorsal seiring dengan
observasi yang dibuat oleh peneliti dari China ditemukan melalui korelasi daerah lingual yang
18 ditutupi oral hairy leukoplakia dengan organ sistemik yang berkaitan.
`````````
` Gambar 8 : Oral Hairy Hyperplasia padadaerah dorsal lidah dan korelasinya dengan ```````````````````````````` organ sistemik yang berkaitan. (Sumber : Oral Findings in Patients with `````````````````````````` Replaced Renal Function –a Pilot Study . 2010. Bulgaria)
2.8.5.3 Perubahan Warna Mukosa
Mukosa rongga mulut penderita gagal ginjal sering terlihat lebih pucat. Hal ini disebabkan karena pengaruh anemia dari penderita tersebut dan kondisi ini disebut pallor.
Gejala lain yang sering terlihat adalah warna kemerahan pada mukosa akibat deposit beta-
1,14 carotene .
````````````````````` Gambar 9 : Mukosa rongga mulut yang kepucatan. (Sumber : Burket’s th `````````````````````````````````` Oral Medicine 11 ed. 2008. Hamilton :375)
2.8.5.4 Perdarahan pada Gingiva
Pada penderita penyakit ginjal kronis sering dilihat gejala seperti petechiae dan ekimosis karena disfungsi platelet serta efek dari antikoagulasi turut dilihat pada rongga mulut penderita penyakit ginjal kronis. Perdarahan apabila tubuh diserang sindroma uremia sering
21,27 terjadi apabila penderita diberikan rawatan invasif pada mukosa rongga mulut.
2.8.6 Malignansi Rongga Mulut
Menurut Farge dkk, sarkoma kaposi dapat dilihat pada rongga mulut penerima transplantasi akibat terjadi penekanan pada sistem imun. Namun, sampai saat ini kondisi tersebut mungkin terjadi akibat imunosupresi iatrogenik. Berdasarkan teori ini, imunosupresi iatrogenik secara langsung akan meningkatkan kerentanan terhadap virally associated tumor seperti sarkoma kaposi dan Hodgkin’s lymphoma. Perkembangan tumor juga bisa berkaitan erat dengan penderita AIDS yang menderita penyakit ginjal kronis, sebagai faktor risiko
1 primer maupun sekunder.
2.8.7 Infeksi Rongga Mulut
Menurut King dkk, angular chelitis ditemukan pada sebanyak 4% penderita sedangkan lesi pseudomembranous ditemukan pada 1,9%, eritematous pada 3,8% dan kandidiasis atropik kronis ditemukan pada 3,8% dari jumlah penerima allograf ginjal dan penderita yang
1,4,19 menjalani hemodialisis.
2.8.8 Anomali Gigi
Beberapa anomali struktur gigi seperti hipoplasia enamel, erosi gigi, peningkatan mobiliti gigi, dan maloklusi dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal kronis. Menurut Davidovich dkk, hipoplasia enamel sekunder berasal dari perubahan metabolisme kalsium dan fosfor yang akan mempengaruhi struktur dan bentuk gigi decidui dan permanen. Selain itu, pada gigi penderita tampak juga adanya erosi. Menurut beberapa penelitian, erosi yang parah
1- pada gigi tersebut merupakan hasil nausea dan muntah setelah menjalani perawatan dialisis. 4,27
Manifestasi klinis lain termasuk mobiliti gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan lunak terjadi secara metastatik. Peningkatan mobiliti dan drifting pada gigi tanpa pembentukan poket periodontal yang patologis bisa terjadi dan dapat mengakibatkan pelebaran pada ligamen
1,4 periodontal. Apabila keadaan ini semakin berlanjut maka dapat terjadi maloklusi.
2.8.9 Lesi pada Tulang Alveolar
Abnormalitas pada tulang seperti renal osteodystrophy terjadi akibat destruksi tulang alveolar yang penting sebagai fondasi gigi serta gambaran yang merefleksikan perubahan metabolisme kalsium termasuk gangguan prosedur dialisis terhadap biokemis fosfat dan
1,14 kegagalan aktivasi vitamin D.
Tulang kompak pada rahang akan menipis dan akhirnya hilang. Fraktur spontaneous dapat terjadi saat pergerakan motorik yaitu pada saat mastikasi, dan sering menyulitkan dalam
4 melakukan perawatan bedah pada rongga mulut terutama yang membutuh ekstraksi.
2.9 Perawatan Dental pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis
Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis berhak mendapatkan perawatan gigi yang khas, bukan karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi karena efek samping dan karasteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan agar tidak
1,25,28 menambah beban dan rasa sakit pada penderita.
Pertama, dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam penderita, jika tiada harus mendapatkan rujukan yang menyeluruh dari spesialis nefrologi sehingga rekam medis, kondisi fisiologis dan komplikasi penderita sebelum perawatan gigi dilakukan demi mempertahankan atau memperbaiki kesehatan rongga mulut dan umum
1,27 penderita.
Dua kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan yang berlebihan dan anemia pada populasi uremia dan penyakit ginjal kronis shingga disarankan agar tes hematologi seperti blood count dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif dilakukan. Menurut Levy dkk, infeksi rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus dipertimbangkan apabila risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani hemodialisis) dan septimia meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi, perawatan periodontal dan bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah penderita harus diperhatikan dan
1,27 disaran untuk mengurangi perasaan cemas pada penderita dengan sedasi.
Serostomia mungkin terjadi karena penurunan intake air pada pasien penyakit ginjal kronis menyebabkan pasien tidak selera makan, susah makan dan menelan makanan. Peningkatan plak akan menjadi konstan dan memperburukan kesehatan rongga mulut penderita. Dokter gigi dapat memberikan mouth-moisturizing paste, permen karet bebas gula yang menstimulasi saliva (saliva-stimulating chewing gum atau chew sugar-free gum), dan
4 obat kumur non-alkohol serta bila perlu dilakukan pemberian saliva substitute.
Kesehatan jaringan periodontal dan hygiene oral pasien perlu dijaga. Pasien dianjurkan berkumur-kumur dengan obat kumur chlorhexidine 0,12 % atau chlorhexidine digluconate 0,2% dan mengajarkan pasien cara menjaga kebersihan rongga mulutnya dengan baik. Untuk mencegah sepsis, amoxicillin 2 gram 1 jam direkomendasi sebelum prosedur dental atau clindamycin 600 mg digunakan sebagai antibiotik profilaksis. Selain itu, clarithromycin oral dipakai untuk penderita yang berhipersensitivitas terhadap penisilin.
Penatalaksanakan pembesaran gingiva akibat efek obat disarankan dengan menggunakan obat kumur antimikrobial seperti Metranidazole untuk menurunkan konsentrasi Siklosporin serta meminimalisasikan nefrotoksisitas. Rekurensi sering terjadi sehingga disarankan agar melakukan kontrol plak yang efektif dan dapat dibantu dengan pemberian klorheksidin
1,4,9,27 glukonat topikal atau triklosan.
2.10 Indeks pengukuran Kondisi Higiene Oral
Untuk mengetahui kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal kronis maka dilakukan pengukuran dengan pelbagai indeks yaitu : Indeks Gingiva (IG), Indeks Oral
22-23 Higiene (OHIS), dan Indeks Pendarahan.
2.10.1 Indeks Gingiva (IG)
Indeks yang diperkenalkan oleh Loe dan Silness ini digunakani untuk menilai derajat keparahan inflamasi. Pengukuran dilakukan pada gingiva di dua sisi gigi geligi yang diperiksa
22-23 yaitu vestibular dan oral.
22-23
Kriteria untuk penentuan skornya adalah sebagai berikut: Tabel 5 : Kriteria penentuan Skor Indeks Gingiva (Sumber: Perry
rd ............. DA.Periodontology for the Dental ` hygienist 3 ed.2007: 48)
Gingiva normal S
1 Inflamasi ringan pada gingiva yang ditandai dengan perubahan warna, kor sedikit oedema; pada palpasi tidak terjadi pendarahan untuk
2 Inflamasi gingiva sedang, gingiva berwarna merah, oedema, dan berkilat; setiap pada palpasi terjadi pendarahan. gigi
3. Inflamasi gingiva parah, gingiva berwarna merah menyolok, oedematus, diperole gingiva cenderung berdarah spontan, mudah terjadi ulserasi. h dengan menjumlahkan skor dari keempat sisi yang diperiksa lalu dibagi dengan dua (jumlah gigi yang diperiksa per gigi). Skor Indeks Gingiva untuk individu diperoleh dengan membagi jumlah skor dari semua gigi yang diperiksa dengan jumlah gigi yang diperiksa. Keparahan inflamasi
27
gingiva secara klinis dapat ditentukan dari skor Indeks Gingiva dengan kriteria berikut: Tabel 6: Kriteria Skor Indeks Gingiva (Sumber: Sumber: Perry DA. Periodontology ... for
rd
the Dental Hygienist 3 ed.2007: 48) Skor Indeks Gingiva Kondisi Gingiva
0,1-1,0 Gingivitis ringan 1,1-2,0 Gingivitis sedang
2,1-3,0 Gingivitis parah
2.10.2 Indeks Higiene Oral (OHIS)
Indeks Higiene Oral merupakan salah satu indeks yang paling popular untuk menentukan status kebersihan mulut pada penelitian epidemiologis. Indeks ini bertujuan mengukur permukaan gigi yang ditutupi oleh debris dan kalkulus. Indeks ini terdiri atas dua
23,29 komponen yaitu Indeks Debris dan Indeks Kalkulus.
Pemeriksaan dilakukan pada enam gigi yaitu gigi 16, 21, 24, 36, 41, dan 44. Pada gigi 16, 21, 36 dan 41 dilihat permukaan bukalnya sedangkan pada gigi 36 dan 44 permukaaan lingualnya. Apabila gigi 11 tidak ada maka diganti dengna gigi 21 dan sebaliknya. Alat yang digunakan adalah kaca mulut dan sonde. Setiap permuakaan gigi dibagi secara horizontal atas sepertiga gingiva, sepertiga tengah dan sepertiga insisal. Untuk mengukur skor indeks debris, sonde diletakkan pada sepertiga insisal permukaan gigi lalu digerakkan ke arah gingiva dan
29 skor diberikan sesuai dengan kriteria berikut. 23,29
Skor indeks debris: Tabel 7 : Kriteria Pengukuran Skor Indeks Debris (Sumber: Sumber: Perry DA.
rd ...... Periodontology for the Dental Hygienist 3 ed.2007: 46-47) Tidak ada debris/stein.
Debris lunak menutupi tidak lebih dari sepertiga permukaan gigi atau adanya ` stein
1 ekstrinsik tanpa debris pada daerah tersebut.
Debris lunak menutupi lebih dari sepertiga tapi kurang dari dua pertiga permukaan
2 gigi.
Debris lunak menutupi lebih dari dua pertiga permukaan gigi.
3
Gambar 10: Indeks Debris (Sumber: Reddy S. Essential of Clinical ```````````````` Periodontology and Periodontics 2 nd ed. 2008:45)
Skor Indeks Kalkulus menurut
Green dan Vermillion :
29 Tabel 8 :
Kriteria Skor Indeks Kalkulus menurut Green dan
Vermillion (Sumber: ..
Perry DA. Periodontology for the Dental Hygienist 3
rd
ed.2007: 46-47) 0 : Tidak ada kalkulus 1 : Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan 2 : Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 dan tidak lebih dari 2/3
``````` permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva di daerah servikal gigi atau ``````` keduanya.
3 : Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi atau ``````` kalkulus subgingiva yang melingkari servikal gigi.
Skor akhir indeks debris dan kalkulus individual dihitung dengan membagi jumlah skor indeks debris dan kalkulus dari semua gigi yang diperiksa dengan jumlah permukaan gigi yang diperiksa. Skor indeks debris dan kalkulus dijumlahkan untuk mendapatkan Skor Higiene Oral. Kemudian skor ini dimasukkan ke dalam 3 kategori untuk menentukan level
23,29
Higiene Oral yaitu: a.
0,0 – 1,2 : baik b.
1,3 – 3,0 : sedang c. 3,1 – 6,0 : buruk
2.10.3 Indeks Perdarahan Papila Gingiva Dimodifikasi (IPPD)
Perdarahan gingiva dicatat dengan indeks perdarahan papila dan gingiva dimodifikasi
30
dari Saxer dan Muhlemann dengan kriteria berikut: Tabel 9 : Kriteria Skor Indeks Perdarahan Papila Gingiva Dimodifikasi (Sumber: ..
nd
Reddy S. Essential of Clinical Periodontology and Periodontics 2 ed. ... 2008:41) 0 : Tidak ada perdarahan 1 : Perdarahan berupa titik kecil
2 : Perdarahan berupa titik yang besar atau berupa garis
3 : Perdarahan menggenang di interdental
2.11 Profil Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
Pada saat awal didirikan, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik merupakan Rumah Sakit Umum Kelas A di Medan yang berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 335/Menkes/SK/VII/1990. Namun nama rumah sakit ini mengalami perubahan yang pada mulanya bernama Rumah Sakit Umum Kelas A di Medan menjadi Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik. Perubahan ini berdasarkan pada Keputusan Menteri Republik Indonesia Nomor: 775/MENKES/SK/IX/1992. Adapun pergantian nama rumah sakit ini disebabkan karena perlunya pencantuman nama Pahlawan Nasional sebagai
35 penghargaan dan kebanggaan terhadap Pahlawan Nasional.
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik beralamat di Jalan Bunga Lau No.17, Medan, terletak di kelurahan Kemenangan, kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Selain itu berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991 RSUP H. Adam Malik ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan dan untuk pelayanan rawat inap mulai berfungsi tepatnya pada tanggal 2 Mei 1992. Rumah Sakit ini mulai beroperasi secara total pada tanggal 21 Juli 1993 yang diresmikan oleh mantan Presiden RI H. Soeharto.
35
2.11.1 Visi dan Misi RSUP H. Adam Malik Medan
Visi Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik medan adalah sebagai “Pusat Rujukan Kesehatan Regional”, dengan Misi sebagai berikut: (1) Melaksanakan pelayanan kesehatan yang paripurna, bermutu dan terjangkau oleh lapisan masyarakat. (2) Menyelenggarakan pendidikan dan latihan yang bermutu untuk menghasilkan sumber daya manusia yang profesional di bidang kesehatan. (3) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan. (4) Menyelenggarakan pelayanan penunjang kesehatan yang berkualitas
35 dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan.
2.11.2 Kedudukan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 547/MENKES/SK/VI/1994, pada BAB 1 pasal 2 disebutkan tentang kedudukan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Adapun kedudukan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan adalah sebagai berikut: (1) Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan adalah unit organik di lingkungan Departemen Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada direktur Jenderal Pelayanan Medik. (2) Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan berlokasi di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan Provinsi Sumatera Utara dan Merupakan Pusat Rujukan Regional Sumatera Bagian Utara dan Sumatera Bagian Tengah. (3) Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dipimpin oleh
35 seorang kepala yang disebut direktur.
2.11.3 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
Menurut Undang-undang Rumah Sakit pasal 4 dan 5, suatu rumah sakit harus mempunyai tugas dan fungsi. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik medan memiliki tugas sebagai berikut: (1) Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. (2) Bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Sumatera Utara dan lembaga lainnya dalam menyelenggarakan pendidikan klinik calon dokter dan pendidikan dokter keahlian,
35 calon dokter spesialis dan serta tenaga kesehatan lainnya.
Fungsi Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan adalah sebagai berikut: (1) Menyelenggarakan pelayanan medis. (2) Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis. (3) Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan. (4) Menyelenggarakan pelayanan dan rujukan. (5) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. (6) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan. (7) Menyelenggarakan administrasi
35 umum dan keuangan. Kerangka Teori