Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum pada Wanita dengan Endometriosis

(1)

KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR

(VEGF) SERUM PADA WANITA DENGAN

ENDOMETRIOSIS

OLEH :

M. FAISAL FAHMI

PEMBIMBING :

dr. ICHWANUL ADENIN, M.Ked(OG), Sp.OG(K)

dr. HENRY SALIM SIREGAR, Sp.OG(K)

PENYANGGAH :

1.

dr. DERI EDIANTO, M.Ked(OG), Sp.OG(K)

2.

dr. HOTMA PARTOGI PASARIBU, M.Ked(OG),Sp.OG

3.

DR.dr. BINARWAN HALIM, M.Ked(OG), Sp.OG(K)

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhaanahu wa ta’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat karunia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :

“KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) SERUM PADA WANITA DENGAN ENDOMETRIOSIS”

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H (CTM&H), SpA.(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Siregar, SpPD, KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinis dan Program Pendidikan Dokter Spesialis

Obstetri dan Ginekologi di Fakultas Kedokteran USU Medan.

2. Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG.K, Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; Dr. dr. Fidel Ganis Siregar, M.Ked(OG) SpOG.K, Sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; dr. Henry Salim Siregar, SpOG.K, Ketua Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; dr. M.


(3)

3. Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, Sp.OG(K) dan dr. Deri Edianto, M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri Dan Ginekologi FK-USU Medan, pada saat saya diterima.

4. Kepada Prof. Dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG.K; Prof. dr. Djafar Siddik, SpOG.K; Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG.K, Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG.K; Prof. Dr. dr. Thamrin Tanjung, SpOG.K; Prof. dr. R Haryono Roeshadi, SpOG.K; Prof. dr. T.M. Hanafiah, SpOG.K; Prof. dr. Budi Hadibroto, SpOG.K, Prof. Daulat H Sibuea, SpOG.K; Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG.K yang berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis di Depatemen Obstetri dan Ginekologi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, membalas kebaikan budi guru-guru besar saya tersebut.

5. Terimakasih kepada dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) selaku Bapak Angkat yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan nasehat-nasehat yang bermanfaat kepada saya dalam menghadapi masa-masa sulit selama pendidikan.

6. Terimakasih kepada dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG.K, dan dr. Henry Salim Siregar, Sp.OG(K), selaku pembimbing tesis saya, Juga terimakasih kepada dr. Deri Edianto, M.Ked(OG), SpOG.K, dr. Hotma Partogi Pasaribu, M.ked(OG), SpOG. Dan DR. Dr. Binarwan Halim, M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku penyanggah. Terima kasih kepada guru saya di tim-5, yang telah memberikan kesempatan dan meluangkan waktu membimbing saya dalam melakukan penelitian ini, serta memberikan


(4)

perbaikan, kritik dan saran hingga penyusunan dan penyelesaian tesis ini dapat terlaksana dengan baik.

7. Terimakasih kepada dr. Dudy Aldiansyah, M.Ked(OG), SpOG selaku pembimbing Referat Fetomaternal saya yang berjudul “Cell-Free Fetal DNA (cffDNA) sebagai prenatal diagnosis non-invasif”, kepada dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG.K selaku pembimbing Referat Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi saya yang berjudul “Abortus Berulang dengan Hidrosalfing” dan kepada dr. Deri Edianto,

M.Ked(OG), SpOG.K selaku pembimbing Referat Onkologi saya yang berjudul “Laparoscopic Assisted Radical Vaginal Hysterectomy”

8. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, khususnya dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG), SpOG.K, (Kadiv Fetomaternal RSHAM), dr. Ichwanul Adenin, M.Ked (OG), SpOG.K (Kadiv FER RSHAM), Prof dr. M. Fauzie Sahil, SpOG.K (Kadiv Onkologi RSHAM) yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan. Semoga Yang Maha Pengasih membalas budi baik guru-guru saya tersebut.

9. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana kepada saya untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan Magister Kedokteran di Departemen Obstetri dan Ginekologi.

10. Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan dan Kepada dr. Syamsul A Nasution, SpOG.K sebagai Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU Dr. Pirngadi Medan beserta para guru saya di SMF Obgyn RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan saya bimbingan serta


(5)

11. Direktur RSU PTPN II Tembakau Deli; Kepala SMF Obgyn RSU PTPN II Tembakau Deli, dr Sofyan Abdul Ilah, SpOG dan dr Nazaruddin Jaffar, SpOG.K beserta Staf.

12. Direktur RUMKIT Tk. II/ Kesdam I BB Medan, Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RUMKIT, dr. Yazim Yakub, SpOG, Mayor CKM dr Gunawan Rusuldi, SpOG, dr Agnes DH, SpOG, dr Santa MJ Sianipar, SpOG, beserta staf.

13. Direktur RSU Sundari, dr H.M Hadir, SpOG dan ibu Hj Sundari, yang membimbing saya selama statse di RSU tersebut.

14. Direktur RSU Haji Mina Medan, Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU Haji Medan, dr. Muslich Perangin-angin, SpOG, dr Anwar Siregar, SpOG; Alm. dr Syahrizal Daud, SpOG; dr Ahmad Khuwalid, SpOG; dr Siti Sahrini, SpOG; berserta staf yang telah memberi kesempatan dan sarana kepada saya untuk bertugas di RSU tersebut. 15. Direktur RSUD Sibuhuan Padang Lawas, berserta staf yang telah

memberi kesempatan dan sarana kepada saya untuk bertugas di RSUD tersebut.

16. Kepada senior-senior saya dr Gorga Ujung, SpOG; dr Siti S Silvia, SpOG; dr. Rony Pumala Bangun, Sp.OG, dr. Ilham Sejahtera, SpOG, dr Anggia Melanie L, SpOG; dr Maya Hasmita, SpOG; SpOG; dr. Riza H Nasution, SpOG; dr. Lili Kuswani, SpOG; dr. M. Ikhwan, SpOG; dr.


(6)

R, SpOG; dr Benny Marpaung, SpOG; dr. M Rizky Yaznil, SpOG; dr Yuri Andriansyah, SpOG; dr. Reynanta, Sp.OG, dr T. Jeffrey A, SpOG; dr. Made S Kumara, SpOG; dr Sri Jauharah L, SpOG; dr. M Jusuf Rahmatsyah, M.Ked(OG), SpOG; dr. Boy P Siregar, SpOG; dr. Firman SpOG; dr Aidil A, SpOG; dr. Rizka H, SpOG; dr. Hatsari SpOG; dr. Andri P Sawar, SpOG; dr. Alfian SpOG; dr. Errol, SpOG, dr. T Johan A, M.Ked(OG), SpOG; dr. Tigor, M.Ked(OG), SpOG; dr. Elvira, M.Ked(OG), SpOG; dr Hendry Adi, M.Ked(OG), SpOG; dr. Heika NS, M.Ked(OG), SpOG; dr. Riske, M.Ked(OG), Sp.OG; dr. Ali Akbar, M.Ked(OG), SpOG; dr. Arjuna, M.Ked(OG), SpOG; dr. Janwar, M.Ked(OG), SpOG; dr. Irwansyah, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ulfah, M.Ked(OG), SpOG; dr Ismail, M.Ked(OG), SpOG; dr. Aries Misrawaty, dr. Hendri Ginting, M.Ked(OG), SpOG; dr. Robby Pakpahan,

M.Ked(OG), dr. Meity Elvina, M.Ked(OG), SpOG; dr. M.Yusuf, M.Ked(OG), SpOG; dr. Fatin Atifa, M.Ked(OG), SpOG; dr. Dany Ariyani, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Pantas Saroha,M.Ked(OG), dr. Morel Sembiring, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Eka handayani, M.Ked(OG),

Sp.OG, dr. Sridamayana, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. M.Rizky, M.Ked(OG), dr. Arief, M.Ked(OG), SpOG, dr. Ferdiansyah, M.Ked(OG) SpOG, dr. Liza Marosa, M.Ked(OG), dr. Yudha, M.Ked(OG), SpOG, dr. Henry Gunawan, M.Ked(OG), dr. Ika Sulaika, dr. H. Edi Rizaldi, dr. Hotbin purba, M.Ked(OG), dr. Kiko Marpaung, M.Ked(OG),SpOG, dr. Erwin Edi Sahputra Harahap, dr. Abdur Rohim Lubis, M.Ked(OG),SpOG, dr. Ricca Puspita Rahim, M.Ked(OG), dr. M. Rizal Sangadji, M.Ked(OG),


(7)

M.Ked(OG), SpOG, dr. Ivo Fitrian C, M.Ked(OG), SpOG, dr. Ray Christy Barus, M.Ked(OG), SpOG dr. Nureliani Amni, dr. Fifianti Putri Adela, dr. Hiro Hidaya Danial Nasution, M.Ked(OG), SpOG dr. Anindita Novina, M.Ked(OG), SpOG saya menyampaikan terima kasih atas dukungan dan bantuan yang diberikan selama ini.

17. Kepada PPDS yang pernah menjadi tim jaga saya dengan kebersamaan, suka duka bersama, saling mendukung dan memberikan semangat, dr. Meifi Elfira, dr. Masithah T, dr. Eva, dr. Luthfi,

saya ucapkan terimakasih.

18. Seluruh teman seangkatan PPDS dr. Masitah Thaharuddin, dr. Chandra F. Saragih, dr. Hendrik Tarigan Tua, dr. Dezarino, M.Ked(OG), SpOG, dr. Renny A, M.Ked(OG), SpOG, dr. Apriza prahatama, dr. Rahmanita Sinaga, M.Ked(OG), dr. Alfred H. Sinuhaji, dr. Ninong Ade Putri, dr. Dona Wirniaty, dr. Hilma Putri Lubis, M.Ked(OG), terimakasih atas dukungan dan kebersamaan selama ini.

19. Kepada sejawat PPDS dr. Bandini, dr. Dina, dr. Hamima, dr. Indra, dr. Dewi, dr. Yasmin, dr. Jesurun, dr. Johan, dr Gamal, dr. Juhriyani, dr. Aliya,

dr. Arvitamuriany, dr. Rizal A, dr. Obed, dr. Aurora, dr. Servin, dr. Sugeng, dr. Nafon, dr. Renny J, dr. Daniel, dr. Adrian, dr. Trisna, dr. Wahyu U, dr. Yufi, dr. Mario, dr. Ade Ayu, dr. Putra, dr. Heikal, dr Ratih, dr. Eunike, dr. Yusrizal, dr. Syafiq, dr. Iman, dr. Imran, dr. Doni, dr. Dalmy, dr. Larry, dr. Lidya, dr. Citra, dr. Gafur, dr. Irfan Hamidi, dr. Sofwatul, dr.


(8)

Muhar, dr. Tonny, dr. Titi, dr. Irsat, dr. Azano, dr. Anisya, dr. Zulkarnain, dr. Ebta, dr. Dahler, dr. Hendry S, dr. Devy, dr. Dyah, dr. Irvan, dr. Marissa, dr. Isnayu, dr. A Syauki, dr. Ria, dr. Qisthi, dr. Almh Kartika, dr. Wardi, dr. Nutrisia, dr. Rizky Fachriza, dr. Fachurozy, Dr. Vina, dr. Rina, dr. Ajeng, dr. Fifi., dr Roy, dr. Cerry, dr Levana, dr. Mashdarul dan dr. Novi terima kasih atas kebersamaan, dorongan semangat dan doa yang telah diberikan selama ini.

20. Kepada Ibu Hj. Sosmalawaty, Ibu Zubaedah, Ibu As, Mimi, Vina, Anggi, Dewi, Yus, Ibu Mawan, Kak Nani dan semua pegawai di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSHAM dan RSPM, terimakasih atas bantuannya selama ini.

21. Dokter muda, bidan, paramedik, karyawan/karyawati di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU, terimakasih atas bantuannya selama ini.

Hormat dan terimakasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada kedua Orang Tua Saya yang tersayang ayahanda H.M. Syafii dan Ibunda Hj. Salmiah terkasih yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik saya dengan penuh kasih sayang dari masa kanak-kanak. Saya ucapkan Terimakasih yang tak terhingga juga kepada kedua mertua saya H. Ahmad Saidin dan Hj.Rosmainiwaty. Dan saya ucapkan terimakasih banyak yang tak terhingga kepada istri saya tercinta penyejuk hati, dr. Nadia Amalia, yang telah mendukung sepenuhnya dalam pendidikan saya selama ini, dan kepada putri saya tercinta Nawra Azkia Fitri. Dan saya ucapkan terima kasih juga kepada kakak dan abang ipar saya Juli Novita,ST dan Ardi Satya Indrarto, ST, Enna Fitriani,ST dan Berlian Firmansyah, SE, dr. Emilia Salfi, Mked(ORL-HNS),


(9)

Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan banyak bantuan, baik moril maupun materil, Saya ucapkan banyak terima kasih.

Semoga Tuhan Yang Maha Baik senantiasa memberikan berkah-Nya kepada kita semua.

Medan, Juli 2014


(10)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis Penelitian ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 5

1.5.2 Manfaat Aplikatif ... 6

1.5.2.1 Manfaat Bagi Praktisi ... 6

1.5.2.2 Manfaat Bagi Masyarakat ... 6

BAB II. TINJUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Endometriosis ... 7


(11)

2.5 Penatalaksanaan ... 18

2.6 Patogenesis ... 21

2.6.1 Teori Transplantasi Dan Regurgitasi ... 21

2.6.1 Teori Metaplasia Sel-Sel Coelom ... 22

2.6.3 Teori Induksi ... 23

2.7 Faktor Genetik Dan Inflamasi ... 23

2.8 Angiogenesis ... 25

2.9 Peranan VEGF Pada Endometriosis ... 27

2.10 Konsep Teori ... 34

2.11 Kerangka Konsep ... 35

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 36

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian ... 36

3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian ... 36

3.3.1 Populasi Penelitian ... 36

3.3.2 Sampel Penelitian ... 37

3.4 Besar Sampel ... 37

3.5 Kriteria Penelitian ... 39

3.5.1 Kriteria Inklusi ... 39

3.5.1.1 Kasus ... 39

3.5.1.2 Kontrol ... 40


(12)

3.6 Etika Penelitian ... 40

3.7 Bahan Dan Cara Kerja ... 41

3.7.1 Bahan ... 41

3.7.1.1 Histopatologi Jaringan ... 41

3.7.1.2 Serum VEGF ... 41

3.7.2 Cara Kerja ... 42

3.8 Definisi Operasional ... 43

3.9 Alur Penelitian ... 46

3.10 Analisis Statistik ... 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 60

Daftar Pustaka ... 62


(13)

Tabel 2.1 Klasifikasi Endometriosis Menurut American Fertility Society (AFS)/ Revisi American Society for Reproductive Medicine (ASRM) .. 10 Tabel 2.2 Beberapa faktor pro-angiogenesis endogen ... 26 Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian ... 48 Tabel 4.2 Perbandingan Kadar VEGF serum Berdasarkan Umur pada Endometriosis ... 51 Tabel 4.3 Perbandingan kadar VEGF serum endometriosis berdasarkan derajat nyeri ... 52 Tabel 4.4 Perbandingan kadar VEGF serum non endometriosis dengan endometriosis berdasarkan stadium ... 54 Tabel 4.5 Perbandingan kadar VEGF serum untuk masing-masing stadium ... 55 Tabel 4.6 Perbandingan kadar VEGF serum berdasarkan stadium .... 56 Tabel 4.7 Perbandingan kadar VEGF serum pada kasus endometriosis dan non endometriosis ... 58


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Endometriosis pada ligamen uterosakral ... 8

Gambar 2. Endometriosis pada kedua ovarium dengan perlengketan ke rektum sampai ke kavum douglasi ... 8

Gambar 3. Lembar klasifikasi endometriosis berdasarkan klasifikasi American Society for reproductive Medicine yang direvisi ... 11

Gambar 4. Gambaran Ultrasound transvaginal pada endometrioma ovarium ... 15

Gambar 5. Gambaran endometrioma ovarium pada pemeriksaan MRI 16 Gambar 6. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan endometriosis 20 Gambar 7. Menstruasi retrograd pada endometriosis ... 21

Gambar 8. Tempat implantasi sel endometriosis ... 22

Gambar 9. Struktur gen VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D. ... 28

Gambar 10. Signal transduksi dan fosforilasi VEGFR ... 30


(15)

AFS : American Fertility Society

ASRM : American Society for Reproductive Medicine

CA-125 : Cancer Antigen 125 COX-2 : Cyclooxygenase-2 DAG : Diacylglycerol EC : endothelial cell

EEC : Endoscopic Endometriosis Clasification

EGF : Epidermal Growth Factor

eNOS : endothelial nitric oxide synthase EPO : Erythropoietin

FAK : focal adhesion kinase

GnRH : Gonadotropin-Releasing Hormone HIF-1 : Hypoxia-Inducible Protein-1

HPC : hematopoietic progenitor cell HSP27 : heat shock protein-27

IFN- γ : Interferon- γ IL-6 : Interleukin 6

LH : Luteinizing Hormone

LNG-IUS : Levonorgestrel-Releasing Intrauterine System MAPK : Mitogen-Activated Protein Kinase

MCP-1 : Monocyte Chemoattractant Protein-1 MDGF : Macrophage-Derived Growth Factor


(16)

MMP : Matrix Metalloproteinase MRI : Magnetic Resonance Imaging mRNA : messenger Ribonucleic acid

NSAIDs : Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs PDGF-BB : Platelet Derived Growth Factor – BB PGE2 : Prostaglandin E-2

PH : Prolyl Hydroxylase

PI3K : phosphatidylinositol 3-kinase PKC : protein kinase C

PLC- γ : phospholipase C- γ PlGF : Placental Growth Factor

RANTES : Regulated on Activation Normal T-cell Expressed dan Secreted

Sck : Shc-related protein TGF-β : Tissue growth Factor-β TNF-α : Tumor Necrosi Factor TSAd : T-cell-specific adaptor VAS : Visual Analog Scale

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor


(17)

Muhammad Faisal Fahmi, Ichwanul Adenin, Henry Salim Siregar, Deri Edianto, Hotma Partogi Pasaribu, Binarwan Halim

Departemen Obstetri Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, 2014

Korespondensi : dr. M.Faisal Fahmi, Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas Kedoketeran Universitas Sumatera Utara, email : phah_me@yahoo.com

ABSTRAK

Pendahuluan: Angiogenesis mempunyai peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan endometriosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar VEGF serum wanita yang menderita endometriosis dibandingkan dengan non endometriosis

Metode: Penelitian ini merupakan analisis komparatif dengan rancangan case control. Dengan consecutive random sampling didapatkan 33 kasus endometriosis dan 33 non endometriosis yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Stadium endometriosis dinilai berdasarkan ASRM (American Society of Reproductive Medicine), dan derajat nyeri dinilai dengan menggunakan VAS (Visual Analog Scale). Jaringan endometriosis dan jaringan peritoneum non endometrosis dari laparoskopi maupun laparatomi diperiksa histopatologi untuk konfirmasi diagnosis. VEGF serum diperiksa dengan reagen kit (Human VEGF Immunoassay) (Quantikine®; R&D system, Minneapolis, MN, USA) oleh Laboratorium Klinik Prodia.

Hasil: Ditemukan perbedaan bermakna kadar VEGF serum endometriosis dibandingkan non endometriosis dengan rerata 436,64±176,87 vs 182,22±57,23 dengan nilai p < 0,0001. Berdasarkan umur, derajat nyeri tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar serum VEGF endometriosis dibandingkan kelompok non endometriosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar VEGF serum pada stadium sedang-berat lebih tinggi dibandingkan dengan stadium minimal-ringan dengan rerata adalah adalah 464,51±175,91 vs

280,54 ±74,05.

Kesimpulan: terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan kadar VEGF serum wanita dengan endometriosis dibandingkan non endometriosis.


(18)

“LEVELS OF VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) IN SERUM OF WOMEN WITH ENDOMETRIOSIS”

Muhammad Faisal Fahmi, Ichwanul Adenin, Henry Salim Siregar, Deri Edianto, Hotma Partogi Pasaribu, Binarwan Halim

Department of Obstetrics and Gynecology Faculty of Medicine - University of Sumatera Utara

Medan, 2014

Corresponding author: dr. M.Faisal Fahmi, Obstetry and Gynecology Departement Faculty of Medicine – University of Sumatera Utara, email : phah_me@yahoo.com

ABSTRACT

Introduction: Angiogenesis has a role in growth and development of endometriosis. The objective this study was to determine the level VEGF serum women with endometriosis compared to non endometriosis.

Methods: this comparative analytical case control designed study obtained 33 endometriosis and 33 non-endometriosis cases through consecutive random sampling based on inclusion and exclusion criterias. Stage of endometriosis was assessed based on the ASRM (American Society of Reproductive Medicine), and pain severity was assessed using the VAS (Visual Analog scale). Endometriosis and peritoneum tissues of non endometrosis subjects were obtained by laparoscopy or laparatomy, afterwhich the diagnosis was confirmed histopathologically. VEGF serum was measured using the reagan kit (Human VEGF Immunoassay) (Quantikine®; R&D system, Minneapolis, MN, USA) by Prodia Laboratory.

Results: VEGF serum levels of endometriosis signifacantly differed from non endometriosis subjects with mean values 436.64±176.87 vs 182.22±57.23, respectively and p value < 0.0001. Based on age groups, the severity of pain, VEGF serum levels of the endometriosis group did not differ to the non-endometriosis group. Results showed that the means Moderate-Severe stage was higher than Minimal-Mild stage with means 464.51±175.91 vs 280.54 ±74.05.

Conclusion: Level of VEGF in serum of women with endometriosis signifacantly differed from non endometriosis.


(19)

Muhammad Faisal Fahmi, Ichwanul Adenin, Henry Salim Siregar, Deri Edianto, Hotma Partogi Pasaribu, Binarwan Halim

Departemen Obstetri Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, 2014

Korespondensi : dr. M.Faisal Fahmi, Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas Kedoketeran Universitas Sumatera Utara, email : phah_me@yahoo.com

ABSTRAK

Pendahuluan: Angiogenesis mempunyai peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan endometriosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar VEGF serum wanita yang menderita endometriosis dibandingkan dengan non endometriosis

Metode: Penelitian ini merupakan analisis komparatif dengan rancangan case control. Dengan consecutive random sampling didapatkan 33 kasus endometriosis dan 33 non endometriosis yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Stadium endometriosis dinilai berdasarkan ASRM (American Society of Reproductive Medicine), dan derajat nyeri dinilai dengan menggunakan VAS (Visual Analog Scale). Jaringan endometriosis dan jaringan peritoneum non endometrosis dari laparoskopi maupun laparatomi diperiksa histopatologi untuk konfirmasi diagnosis. VEGF serum diperiksa dengan reagen kit (Human VEGF Immunoassay) (Quantikine®; R&D system, Minneapolis, MN, USA) oleh Laboratorium Klinik Prodia.

Hasil: Ditemukan perbedaan bermakna kadar VEGF serum endometriosis dibandingkan non endometriosis dengan rerata 436,64±176,87 vs 182,22±57,23 dengan nilai p < 0,0001. Berdasarkan umur, derajat nyeri tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar serum VEGF endometriosis dibandingkan kelompok non endometriosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar VEGF serum pada stadium sedang-berat lebih tinggi dibandingkan dengan stadium minimal-ringan dengan rerata adalah adalah 464,51±175,91 vs

280,54 ±74,05.

Kesimpulan: terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan kadar VEGF serum wanita dengan endometriosis dibandingkan non endometriosis.


(20)

“LEVELS OF VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) IN SERUM OF WOMEN WITH ENDOMETRIOSIS”

Muhammad Faisal Fahmi, Ichwanul Adenin, Henry Salim Siregar, Deri Edianto, Hotma Partogi Pasaribu, Binarwan Halim

Department of Obstetrics and Gynecology Faculty of Medicine - University of Sumatera Utara

Medan, 2014

Corresponding author: dr. M.Faisal Fahmi, Obstetry and Gynecology Departement Faculty of Medicine – University of Sumatera Utara, email : phah_me@yahoo.com

ABSTRACT

Introduction: Angiogenesis has a role in growth and development of endometriosis. The objective this study was to determine the level VEGF serum women with endometriosis compared to non endometriosis.

Methods: this comparative analytical case control designed study obtained 33 endometriosis and 33 non-endometriosis cases through consecutive random sampling based on inclusion and exclusion criterias. Stage of endometriosis was assessed based on the ASRM (American Society of Reproductive Medicine), and pain severity was assessed using the VAS (Visual Analog scale). Endometriosis and peritoneum tissues of non endometrosis subjects were obtained by laparoscopy or laparatomy, afterwhich the diagnosis was confirmed histopathologically. VEGF serum was measured using the reagan kit (Human VEGF Immunoassay) (Quantikine®; R&D system, Minneapolis, MN, USA) by Prodia Laboratory.

Results: VEGF serum levels of endometriosis signifacantly differed from non endometriosis subjects with mean values 436.64±176.87 vs 182.22±57.23, respectively and p value < 0.0001. Based on age groups, the severity of pain, VEGF serum levels of the endometriosis group did not differ to the non-endometriosis group. Results showed that the means Moderate-Severe stage was higher than Minimal-Mild stage with means 464.51±175.91 vs 280.54 ±74.05.

Conclusion: Level of VEGF in serum of women with endometriosis signifacantly differed from non endometriosis.


(21)

1.5.2 Manfaat Aplikatif

1.5.2.1 Manfaat bagi Praktisi

1 Dengan adanya peranan VEGF dalam patogenesis endometriosis, VEGF dapat menjadi salah satu biomarker pendukung endometriosis.

2 Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.

3 Dengan dibuktikan bahwa VEGF berperan dalam patogenesis endometriosis, maka pemberian anti-VEGF dapat menjadi salah satu terapi alternatif pada endometriosis.

1.5.2.2 Manfaat bagi Masyarakat

Memberi informasi bahwa penanganan endometriosis kepada masyarakat dapat berdasarkan patogenesisnya, sehingga pemeriksaan-pemeriksaan yang berkaitan dengan patogenesis endometriosis dapat dimaklumi.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Endometriosis

Endometriosis didefinisikan sebagai adanya kelenjar dan stroma endometrium ektopik atau di luar dari kavum uterus dan dihubungkan dengan nyeri pelvik dan infertilitas. (3), (14) Endometriosis pertama sekali diidentifikasi oleh Von Rokitansky tahun 1860. Endometriosis paling sering berimplantasi pada permukaan peritoneum pada pelvis wanita, namun terkadang dapat juga ditemukan pada ovarium, septum rektovaginal, ureter, terkadang dapat juga ditemukan pada kandung kencing, pericardium, pleura dan otak. (4), (5) Walaupun patogenesis endometriosis tetap kurang dimengerti, namun pandangan baru yang didapat dari penelitian-penelitian terakhir dengan menggunakan metode genetik, molekular, dan biokimia yang baru seperti : adanya polimorfisme beberapa gen yang berhubungan dengan endometriosis, pengaruh dari endokrin dan reseptornya, peranan apoptosis, sistem imunitas, angiogenesis, suasana lingkungan di peritoneum, telah membantu untuk menjelaskan dengan lebih baik mekanisme yang menyebabkan penyakit tersebut dan konsekuensi klinisnya dan telah memberikan pendekatan baru terhadap diagnosis dan pengobatan kelainan yang kompleks dan rumit ini. (3), (14), (20)


(23)

Gambar 1. Endometriosis pada ligamen uterosakral (20)

Gambar 2. Endometriosis pada kedua ovarium dengan perlengketan ke

rektum sampai ke cavum douglas (20)

2.2 Insidensi Endometriosis

Secara umum prevalensi endometriosis terjadi pada 6-10% populasi wanita. Angka kejadian endometriosis ini meningkat, pada 60 – 80 % penderita dismenorea, 30 – 50 % penderita nyeri perut, 25 – 40 % penderita dengan keluhan dispareunia, 30 – 40 % pasutri infertilitas, dan 10 – 20 % pada penderita dengan siklus menstruasi tidak teratur. Dalam 2 dekade terakhir ini kelihatanya insiden endometriosis cenderung


(24)

27

meningkat, terutama dengan semakin meluasnya penggunaan laparoskopi. Pada wanita yang dilakukan tindakan laparoskopi diagnostik ternyata 10 – 15 % didiagnosa sebagai endometriosis. (3), (11)

Di Indonesia ditemukan 15 – 25 % wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis, sedang infertilitas idiopatik mencapai 70 – 80 %. Sedangkan angka kejadian kista coklat ini adalah sebesar 30 – 40 % dari semua populasi endometriosis. (21)

2.3 Klasifikasi Endometriosis

Sangat penting dalam menentukan stadium endometriosis terutama untuk menetapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Ada beberapa klasifikasi yang dianjurkan dalam menentukan stadium endometriosis, seperti klasifikasi yang dianjurkan oleh American Fertility Society (AFS) dan klasifikasi yang dianjurkan oleh Kurt Semm berupa Endoscopic Endometriosis Clasification (EEC).

Klasifikasi endometriosis pada awalnya yang dibuat oleh American Fertility Society (AFS) yang kemudian diganti namanya menjadi American Society for Reproductive Medicine (ASRM) pada tahun 1979 kemudian direvisi pada tahun 1985. Revisi ini memberikan gambaran endometriosis secara tiga dimensi dan dapat membedakan antara lesi yang superfisial ataupun lesi yang invasif. Namun klasifikasi ini tidak memberikan manfaat untuk memberikan prognostik berkaitan dengan fertilitas dan derajat nyeri.

(20), (22)

Kemudian klasifikasi ini direvisi kembali tahun 1997 yang sekarang banyak digunakan untuk menentukan stadium endometriosis, dimana klasifikasi endometriosis dibagi pada empat klasifikasi. (2), (20), (23)


(25)

Tabel 2.1. Klassifikasi Endometriosis Menurut American Fertility Society (AFS) / Revisi American Society for Reproductive Medicine (ASRM)

Endometriosis NILAI

1 cm 1-3 cm 3 cm

Peritoneum

- Superfisial 1 2 4 - Dalam 2 4 6

Ovarium

Kanan dan kiri

- Superfisial 1 2 4 - Dalam 4 16 20

Ovarium perlengketan 1/3 bagian 1/3-2/3 bagian 2/3 bagian Kanan ; - Tipis 1 2 4 - Tebal 4 8 16 Kiri ; - Tipis 1 2 4 - Tebal 4 8 16

Tuba

Kanan ; - Tipis 1 2 4 - Tebal 4 8 16 Kiri ; - Tipis 1 2 4 - Tebal 4 8 16

Kavum Douglas Sebagian Seluruhnya 4 40

- Berdasarkan hasil laparoskopi diagnostik (LD) / laparatomi didapatkan jumlah skor :

(1) stadium I (minimal) : 1-5 (2) stadium II (mild ) : 6-15 (3) stadium III (moderate) : 16-40 (4) stadium IV (severe) : > 40


(26)

29

Gambar 3. Lembar klasifikasi endometriosis berdasarkan klasifikasi American Society for Reproductive Medicine yang direvisi. (20)


(27)

2.4 Diagnosis Endometriosis

Diagnosis endometriosis secara pasti ditegakkan berdasarkan hasil histopatologi dengan ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium yang berasal dari jaringan diluar kavum uteri. Namun secara klinis, endometriosis dapat dikenali berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan. Salah satu keluhan umum para wanita yang menderita gejala endometriosis adalah nyeri pelvik. Gejala-gejala mencakup dismenore, nyeri intermenstruasi, dan dyspareunia. Dismenore merupakan gejala yang paling umum dilaporkan, tetapi bukan alat prediksi endometriosis yang terpercaya. Dismenore yang berkaitan dengan endometriosis seringkali dimulai sebelum aliran menstruasi muncul dan biasanya bertahan selama menstruasi berlangsung, bahkan terkadang lebih lama dari itu. Nyeri biasanya menyebar, berada dalam pelvik, dan dapat menjalar ke punggung, paha, atau berhubungan dengan tekanan usus, kegelisahan, dan diare episodik. Dyspareunia terkait endometriosis biasanya terjadi sebelum menstruasi, lalu terasa semakin nyeri tepat di awal menstruasi. Nyeri ini seringkali berhubungan dengan penyakit yang melibatkan cul-de-sac dan sekat rektovagina. (14), (20)

Dari data cross-sectional survey pada tahun 2008 dari 1000 wanita dengan endometriosis ditemukan gejala dismenore pada 79%, nyeri pelvik 69%. Dengan membandingkan derajat minimal-ringan dengan derajar sedang-berat, dispareunia lebih banyak ditemukan dengan 51% pada derajat sedang-berat dan 31% pada derajat minimal-ringan. Sedangkan berdasarkan pasien dengan infertilitas ditemukan 22% pada derajat


(28)

31

minimal-ringan dan 30% pada derajat sedang-berat dan dengan adanya massa diovarium ditemukan 7% pada derajat minimal-ringan dan 29% pada derajat sedang-berat. (24)

Nyeri pelvik kronik 70 – 80 % disebabkan endometriosis. Yang dimaksud nyeri pelvik kronik adalah nyeri pelvik hebat yang dialami lebih 6 bulan. Siklik maupun asiklik, tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari dan memerlukan pengobatan. Mekanisme terjadinya nyeri mungkin disebabkan peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan jaringan, terlepasnya prostaglandin dan perlengketan. (2), (14), (20) Sementara itu, endometriosis ekstrapelvik dapat berkaitan dengan bermacam-macam gejala siklik yang merefleksikan organ-organ terkait: parut (goresan bekas luka) abdominal, saluran gastrointestinal dan urinaria, diafragma, pleura, dan saraf perifer. (14)

Sebesar 50% wanita yang infertil ditemukan endometriosis. Dan pada 15% wanita dengan infertilitas sekunder ditemukan adanya endometriosis. (2) Infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis dapat dikaitkan pada tiga mekanisme yakni: (14)

- Gangguan secara anatomi pada adnexa yang menghalangi atau mengaggu proses penangkapan ovum pada saat ovulasi.

- Mempengaruhi pada perkembangan oosit atau saat embriogenesis.


(29)

Pemeriksaan fisik pada genitalia eksterna biasanya tidak ditemukan kelainan terutama pada derajat minimal-ringan biasanya tidak ditemukan kelainan apapun. Pada pemeriksaan spekulum terkadang bisa tampak implant yang khas berwarna biru atau lesi proliferatif merah yang berdarah bila terkena sentuhan, biasanya pada forniks posterior. Sementara endometriosis pada wanita dengan endometriosis yang menginfiltrasi dalam yang mengenai septum rektovagina sering dapat diraba, tetapi sangat jarang terlihat. Uterus seringkali terfiksasi atau terjadi peneurunan mobilitas uterus. Wanita dengan endometrioma mungkin memiliki massa adneksa yang terfiksasi. Nyeri tekan lokal dan nodularitas ligamentum uterosakral menyokong kuat ke arah diagnosis endometriosis dan sering menjadi satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas diagnostik tertinggi bila dilakukan selama menstruasi tetapi tidak selalu dapat menyingkirkan diagnosa endometriosis pada hasil pemeriksaan fisik adalah normal. Secara keseluruhan dibandingkan dengan baku emas diagnosa endometriosis dengan pembedahan, pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga yang yang lebih rendah. (14), (20)

Ultrasonografi transvaginal mungkin sangat membantu mendiagnosis endometriosis tahap lanjut yang biasanya digunakan untuk mendeteksi endometrioma ovarium, tetapi tidak dapat digunakan untuk pencitraan adhesi pelvik atau superficial peritoneal foci dari penyakit. Endometrioma dapat menghasilkan berbagai citra ultrasonografi, tetapi biasanya tampak sebagai struktur kista dengan internal berdifusi rendah


(30)

33

yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp echogenic capsule). Beberapa mungkin mempunyai sekat internal atau dinding nodular yang menebal. Ketika keberadaan karakteristik gejala ditemukan, ultrasound transvaginal diketahui mempunyai sensitivitas 90% bahkan lebih dan hampir mempunyai spesifisitas 100% untuk mendeteksi endometrioma.

(14), (20)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) mungkin berguna bagi deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari massa ovarium kistik lain, tetapi tidak dapat diterapkan bagi pencitraan lesi kecil peritoneum. Untuk deteksi implan peritoneum, MRI lebih baik terhadap ultrasonografi transvaginal, namun hanya dapat mengidentifikasi 30% - 40% lesi yang teramati pada saat operasi. Untuk deteksi penyakit yang terdokumentasi oleh histopatologi, MRI mempunyai sensitivitas mendekati 70% dan spesifisitas mendekati 75%. (14)

Gambar 4. Gambaran Ultrasound Transvaginal pada endometrioma ovarium. (20)


(31)

Gambar 5. Gambaran endometrioma ovarium pada pemeriksaan MRI. (25) Saat ini tidak ada biomarker terpercaya untuk diagnosa dan prognosa endometriosis. Berbagai marker yang berbeda pada cairan serum dan peritoneum, termasuk cancer antigen 125 (CA-125) dan sitokin seperti interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosi factor (TNF)-α telah diusulkan. Walaupun hasil yang menjanjikan telah ditunjukkan, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi relevansi biomarker ini untuk diagnosis. Pada penelitian baru-baru ini, Cytokeratin-19 urin mungkin bisa menjadi biomarker untuk endometriosis. (7)

Secara umum, sensitivitas CA-125 terlalu rendah sebagai uji seleksi yang efektif bagi diagnosis endometriosis. Kadar CA-125 seringkali meningkat pada para wanita penderita endometriosis tingkat lanjut. Akan tetapi kenaikan kadar juga dapat diamati di tahap awal kehamilan selama menstruasi normal, dan pada para wanita dengan penyakit radang pelvik akut atau leiomyoma. Kadar CA-125 serum bervariasi hingga terkadang melewati siklus menstruasi. CA-125 serum telah dianjurkan sebagai uji selektif bagi diagnosis endometriosis. Akan tetapi meta-analisis yang meliputi 23 penelitian terpisah menggunakan penyakit terdiagnosis


(32)

35

dengan operasi sebagai standar emas, mengarahkan pada kesimpulan bahwa CA-125 tidak begitu akurat. Cut off value yang memberikan 90% spesifisitas mempunyai sensitivitas kurang dari 30%, dan jika disesuaikan dapat mencapai sensitivitas 50% dengan spesifisitas 70%. Sebagai uji selektif bagi tahap endometriosis lanjutan, nilai-nilai yang berkaitan dengan spesifisitas 90% mempunyai sensitivitas kurang dari 50%. (14) Ekspresi mRNA aromatase p450 juga dapat digunakan dalam mendukung diagnosis endometriosis meskipun pemeriksaan dapat juga terjadi peningkatan pada adenomiosis, leiomioma dan karsinoma endometrium.

(20)

Laparoskopi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosa pasti suatu endometriosis yaitu dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen. Disini akan tampak lesi endometriosis yang berwarna merah atau kebiruan dan berkapsul, juga terlihat lesi endometriosis yang minimal. Implan peritoneum klasik merupakan lesi “bubuk mesiu” biru-hitam (mengandung deposit hemisoderin dari darah yang terperangkap) dengan berbagai jumlah fibrosis di sekelilingnya, tetapi sebagian besar implan tidak biasa (athypical) dan tampak putih pekat, merah seperti api, atau vesikular. Penyakit ini tidak umum ditemui dalam adhesi ovarium, bercak kuning-coklat, atau dalam kerusakan peritoneum. Lesi merah sangat kaya pembuluh darah, proliferatif, dan menandakan tahap awal penyakit. Lesi terpigmentasi merepresentasikan penyakit dalam tahap yang lebih lanjut. Keduanya aktif secara metabolisme dan umumnya berkaitan dengan gejala. Lesi putih kurang


(33)

kaya pembuluh darah dan kurang aktif, serta kurang menimbulkan gejala. Endometrioma biasanya tampak sebagai kista halus dan gelap, khususnya berkaitan dengan adhesi dan mengandung cairan berwarna coklat pekat. Endometrioma yang lebih besar seringkali multilokular. Pemeriksaan visual secara langsung pada ovarium biasanya sangat terpercaya untuk mengenali endometrioma, tetapi ketika dugaan penyakit sangat tinggi dan gejala tidak terlalu tampak, eksplorasi secara cermat dengan penusukan ovarium dan aspirasi dapat dilakukan. Endometrioma ovarium biasanya disertai sejumlah lesi pada peritoneum. Sebaliknya, endometriosis yang menginfiltrasi dalam seringkali tidak tampak dan terisolasi. (2), (14), (25)

2.5 Penatalaksanaan

Pengobatan pada endometriosis tergantung keluhan wanita yang menderita endometriosis. Sehingga penatalaksanaan harus disesuaikan dengan tujuan pengobatan apakah penanganan terhadap keluhan infertilitas atau keluhan nyeri. (26)

Pengobatan terhadap endometriosis yang saat ini dianut adalah berupa pengobatan medikamentosa, pembedahan atau kombinasi keduanya. Pengobatan medikamentosa memang dapat mengurangi lesi endometriosis, namun angka residifnya sangat tinggi. (2)

Penatalaksanaan endometriosis dengan medikamentosa dan/atau pembedahan memiliki tiga tujuan yaitu : untuk mengurangi nyeri, meningkatkan fertilitas/kehamilan dan menunda rekurensi selama mungkin. Kebanyakan pengobatan medikamentosa dengan cara supresi


(34)

37

hormonal, hingga menyebabkan suasana hipoestrogenik sehingga mengurangi ukuran lesi endometriosis. Pengobatan medikamentosa meliputi progestin, danazol, gonadotropin-releasing hormone (GnRH) analogues, levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS) dan pil kontrasepsi. Pengobatan farmakologi lain seperti non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) secara luas digunakan untuk mengobati nyeri kronik pada pasien endometriosis. (7), (27)

Penatalaksanaan bedah untuk penanganan endometriosis bertujuan untuk mengembalikan atau memulihkan hubungan anatomis normal, untuk mengeksisi atau merusak semua lesi endometriosis yang terlihat sebanyak mungkin, dan untuk menunda rekurensi penyakit dan mengurangi nyeri. Untuk wanita yang masih ingin punya anak yang memiliki endometriosis derajat sedang atau berat yang mendistorsi anatomi reproduksi, pembedahan adalah pilihan terapi karena pengobatan farmakologis tidak dapat mencapai tujuan ini. Bila endometriosis kurang berat, pengobatan farmakologis dapat secara efektif mengendalikan nyeri pada mayoritas pasien tetapi tidak memiliki efek perbaikan pada fertilitas; pembedahan sekurang-kurangnya sama efektifnya dengan pengobatan farmakologis untuk meredakan nyeri dan juga dapat memperbaiki fertilitas.

(14), (25)

Pembedahan dapat dilakukan secara laparoskopi atau laparatomi. Prosedur endoskopi spesifik mencakup ablasi implant endometriosis, adesiolisis, kistektomi ovarium, ooforektomi, dan salpingektomi. Laparoskopi memiliki visualisasi yang lebih baik dibandingkan dengan


(35)

laparatomi terhadap kavum Douglasi dan memungkinkan pembesaran tingkat tinggi terhadap permukaan peritoneum yang bisa membantu identifikasi endometriosis yang tersamar. Reseksi konservatif endometriosis dengan laparatomi paling baik pada kasus-kasus endometriosis yang luas, adesi pelvik yang berat atau endometrioma yang lebih dari 5 cm. Tujuan dari prosedur laparatomi adalah eksisi komplit semua endometriosis dan perlengketan untuk mengembalikan anatomi fungsional saluran reproduksi. (28)

Gambar 6. Algortime diagnosis dan penatalaksanaan endometriosis. (25)


(36)

39

Sampai saat ini belum ada patogenesis tunggal yang mendasari terjadinya endometriosis. Ada tiga teori yang dapat menjelaskan endometriosis secara histogenesis.

2.6.1 Teori Transplantasi Dan Regurgitasi

Teori Sampson 1921, menyatakan bahwa darah haid dapat mengalir dari kavum uteri malalui tuba falopii ke rongga pelvis, terjadi adhesi dan tumbuh. Namun tidak dapat dijelaskan mengapa endometriosis terjadi hanya pada sebagian kecil wanita. Kebanyakan wanita mengalami menstruasi retrograde (76-90%) ke dalam kavum peritoneum tetapi endometriosis terjadi hanya 5-10% saja. (2), (6)

Gambar 7. Menstruasi Retrograd pada endometriosis

Endometriosis paling banyak ditemukan pada peritoneum, ovarium, posterior dan anterior cul-de-sac, ligamentum sakrouterina, posterior uterus, dan posterior ligamentum latum. Terjadi peningkatan kejadian menstruasi retrograd pada obstruksi aliran darah haid. Endometriosis


(37)

ovarium dapat dikaitkan pada mentruasi retrograd atau disebabkan oleh aliran limfatik dari uterus ke ovarium. Endometriosis ekstrapelvik sangat jarang terjadi (1-2%) yang mungkin disebabkan oleh penyebaran sel endometrium melalui pembuluh darah ataupun aliran limfatik. (14), (29)

2.6.2 Teori Metaplasia Sel-Sel Coelom

Dikemukakan teori metaplasia coelom sebagai penjelasan dari histogenesis endometriosis. Disimpulkan bahwa mesotelium peritoneal dapat mengalami metaplasia berubah menjadi endometrium sebagai akibat dari iritasi dan infeksi. Secara embriologis hal ini benar karena epitel germinativum ovarium, endometrium, peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama. Transformasi (metaplasia) coelemic epithelium menjadi jaringan endometrium yang menjadi dasar terjadinya endometiosis. (2), (14), (29)

Gambar 8. Tempat implantasi sel endometriosis. (25)


(38)

41

Teori induksi pada dasarnya menjelaskan kelanjutan dari teori metaplasia sel coelom. Bahwa endometrium yang mengalami degenerasi pada kavum abdomen melepaskan faktor-faktor yang menginduksi sebuah proses metaplastik dalam sel-sel mesenkim yang menyebabkan terjadinya endometriosis. Adanya faktor biokimia endogen dapat menginduksi perubahan sel peritoneal menjadi jaringan endometrium. (14)

2.7 Faktor Genetik dan Inflamasi

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa patogenesis endometriosis disebabkan oleh banyak faktor. Oleh karena itu, perkembangan endometriosis kemungkinan tidak hanya melibatkan menstruasi retrograde, adanya metaplasia dan induksi dari faktor endogen, tetapi melibatkan faktor-faktor lain pada tingkat molekuler yaitu defek genetik atau sistem imun atau keduanya. (7)

Tempfer dkk, membagi beberapa polimorfisme gen yang terlibat dalam endometriosis, seperti polimorfisme gen mediator inflamasi, polimorfisme gen sex hormone dan hormone regulator, polimorfisme gen enzim metabolisme dan biosintesis, polimorfisme gen homeostasis glukosa, fungsi vaskular, tissue remodelling. Termasuk gen-gen inflamasi, sintesis steroid, reseptor hormon, faktor pertumbuhan, adhesion molecules, regulasi siklus sel, apoptosis dan onkogenesis. Asosiasi polimorfisme dalam gen-gen inflamasi seperti 10, 2, 12, 16, IL-18, TGF-β, IFN-γ, TNF-α dan TNF-β telah diobservasi. (30)

Gen yang menjadi predisposisi perkembangan endometriosis berhubungan pada proses molekuler yang mengkontrol pertumbuhan dan


(39)

perkembangan sel endometrium, perlekatan dan invasi pada permukaan peritoneum, proliferasi, neovaskularisasi ataupun respon inflamasi. (14)

Banyak fakta menunjukkan bahwa endometriosis dihubungkan dengan keadaan inflamasi peritoneum subklinis yang ditandai dengan peningkatan volume cairan peritoneum, peningkatan konsentrasi sel darah putih cairan peritoneum (terutama makrofag) dan peningkatan sitokin inflamasi, faktor pertumbuhan, dan substansi penyokong angiogenesis. (31) Jadi endometriosis adalah sebuah kondisi inflamasi dimana sejumlah besar leukosit direkrut dari sirkulasi darah ke dalam lesi endometriosis sehingga terjadi perubahan jumlah dan fungsi dari leukosit ini dalam endometrium eutopik dan cairan peritoneum dan juga dalam lesi endometriosis. Telah ditunjukkan bahwa terdapat perubahan pada populasi sel T, sel B, sel mast, sel dendritik dan makrofag dalam endometrium dan lesi endometriosis ektopik yang mungkin diakibatkan oleh perubahan potensial pada sel T regulator yang mempengaruhi terjadinya endometriosis dan progresifitasnya. (32)

Makrofag atau sel lain bisa menyokong pertumbuhan sel-sel endometrium dengan cara mensekresi growth factor dan angiogenetic factor seperti Vascular endothelial Growth Factor (VEGF), epidermal growth factor (EGF), macrophage-derived growth factor (MDGF),

fibronektin, dan adhesion molecule seperti integrin. Setelah perlekatan sel-sel endometrium ke peritoneum, terjadi invasi dan pertumbuhan lebih lanjut yang tampaknya diregulasi oleh matrix metalloproteinase (MMP)


(40)

43

2.8 Angiogenesis

Pada dasarnya pertumbuhan sel dikontrol berdasarkan kebutuhan pada oksigenasi yang dipengaruhi oleh pertumbuhan dari pembuluh darah melalui proses angiogenesis untuk memastikan adanya suplai oksigen sampai pada jaringan dan sel. Begitu juga dengan pertumbuhan lesi endometriosis yang membutuhkan suplai darah yang adekuat, yang menunjukkan bahwa ada peran penting dari angiogenesis dalam endometriosis. Sel endometrium yang masuk ke peritoneum secara retrograd harus selamat dari proses apoptosis dan mengalami adhesi pada mesothelium dan akhirnya berproliferasi yang membutuhkan pertumbuhan pembuluh darah baru. Angiogenesis dipengaruhi oleh keseimbangan faktor pro-angiogenesis endogen dan antiangiogenesis endogen. Ada sekitar 30 jenis faktor pro-angiogenesis endogen dan sekitar 30 jenis faktor antiangiogenesis endogen yang dikenal. Faktor angiogenesis yang berperan penting pada endometriosis adalah Vascular endothelial Growth Factor (VEGF). (15), (33)


(41)

2.9 Peranan VEGF Pada Endometriosis

Angogenesis didefinisikan sebagai pembentukan baru kapiler pembuluh darah dari pembuluh darah yang ada yang melibatkan interaksi dan regulasi molekular dari VEGF. VEGF yang berisi N-linked glycosylation terdiri dari sembian isoform yang dihasilkan dari transkripsi mRNA dari gen tunggal yang berisikan delapan exon. VEGF mRNA adalah protein yang banyak diekspresikan diberbagai jaringan dan organ. Gen VEGF manusia berlokasi pada kromosom 6p12. (33), (34)

Terdapat beberapa jenis VEGF yang dikenal, diantaranya VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F dan PlGF. VEGF-A adalah


(42)

45

janis VEGF yang banyak ditemukan pada sel glandular epitel dan stroma dari endometrium baik eutopik maupun ektopik endometrium yang diketahui mempunyai peranan pada angiogenesis secara umum dan juga angiogenesis pada proliferasi endometrium. Dalam suatu penelitian juga ditemukan bahwa mRNA VEGF dan ekspresi protein VEGF ditemukan pada lesi endometriosis. (15), (18), (35), (36)


(43)

VEGF-A adalah ikatan glikoprotein disulfida dengan besar molekul 34-42 kDa. VEGF-A predominan berlokasi pada epitel kelenjar dari lesi

endometriosis. Makrofag pada cairan peritoneum merupakan sumber dari pembentukan VEGF-A pada cairan peritoneum. VEGF-A terdiri dari beberapa isoform yang memiliki potensi untuk proses angiogenesis, seperti VEGF 121, 145, 165, 183, 189 dan 206. Isoform terbesar yang paling banyak berikatan dengan komponen matrix ekstraselular, sedangkan VEGF 121 dan VEGF 165 merupakan isoform yang bebas berdifusi dalam ekstraselular dan dapat diidentifikasi pada cairan peritoneum dan serum darah. (7),(15), (36)

Gambar 9. Struktur gen VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D. VEGF-A yang terdiri dari 8 exon menghasilkan tujuh isoform. (35)


(44)

47

VEGF-A menimbulkan efek biologisnya dengan berikatan dengan dua reseptor tyrosin kinase yaitu VEGFR-1 atau VEGFR-2. Ekspresi gen VEGF paling banyak diregulasi oleh keadaan hipoksia, hormon seks steroid dan beberapa sitokin. Sebuah penelitian mengobservasi bahwa produksi VEGF oleh makrofag dalam cairan peritoneum meningkat setelah stimulasi dengan estrogen dan progesterone. (7),(15), (36)

Ketika VEGF berikatan dengan reseptor targetnya, akan mengakibatkan peningkatan yang cepat Ca2+ intraselular dan konsentrasi inositol triphosphate di sel endotel. Fungsi fisiologis dari VEGF adalah untuk menginduksi angiogenesis untuk perbaikan sel endometrium secara sendiri pada saat menstruasi. VEGF juga memodulasi pembuluh darah yang baru dibentuk dengan mengkontrol permeabilitas mikrovaskular, pembentukan matriks fibrin untuk migrasi sel endotel dan juga proliferasi.

(33), (35)

Teraktifasinya VEGFR1 berimplikasi dalam meningkatkan ekspresi dari tipe urokinase dari plasminogen activator dan plasminogen activator inhibitor-1 di sel endotel, dimana molekul ini berperan pada degradasi matriks ekstraselular dan migrasi sel. VEGFR1 juga berperan pada kemotaksis dari monosit. VEGFR2 merupakan mediator yang predominan dari VEGF dalam menstimulasi migrasi sel endotel, proliferasi, ketahanan sel dan juga meningkatkan permeabilitas vaskular. VEGF menginduksi dimerisasi dari VEGFR2 yang menyebabkan autofosforilasi, aktifasi dan meningkatkan aktifitas kinase. Proses ini akan melibatkan berbagai enzim


(45)

dan protein yang kemudian akan berfungsi sesuai dengan efeknya masing-masing. (33)

Gambar 10. Signal transduksi dan fosforilasi VEGFR. (33)

Neoangiogenesis secara fisiologis pada wanita berkaitan dengan siklus menstruasi. VEGF-A penting pada angiogenesis fase luteal. mRNA VEGF-A dapat dideteksi pada sel granulosa yang mengelilingi oosit dan


(46)

49

sel theca pada folikel sebelum ovulasi. Setelah ovulasi, mRNA VEGF-A dapat ditemukan pada sel luteal yang berasal dari sel granulosa. Ekspresi VEGF-A pada korpus luteum ditemukan lebih tinggi pada fase luteal dan menurun setelah fase mid-luteal dan sangat sedikit bahkan tidak dijumpai pada fase late-luteal. (37) Dalam hal ini berarti VEGF dipengaruhi oleh steroid ovarium. Hormon gonadotropin, Luteinizing Hormone (LH) diketahui juga dapat meregulasi angiogenesis di ovarium. LH yang menstimulasi luteinisasi pada sel granulosa pada saat ovulasi berhubungan dengan peningkatan ekspresi VEGF di ovarium. (38)

Ekspresi VEGF-A dapat diinduksi dengan keadaan hipoksia. Kebutuhan oksigen ditransportasikan oleh eritrosit yang bersirkulasi, yang produksinya dikontrol oleh glycoprotein hormone erythropoietin (EPO). Dengan adanya peningkatan kebutuhan oksigen akan membutuhkan pertumbuhan pembuluh darah baru. Keadaan hipoksia akan meningkatkan dan mengaktifkan Hypoxia-Inducible Protein-1 (HIF-1) yang akan meningkatkan ekspresi gen VEGF dan gen reseptor VEGF. HIF-1 merupakan faktor transkripsi yang paling penting untuk gen regulasi-hipoksia. HIF-1 merupakan heterodimer yang terdiri dari HIF-1α dan HIF


(47)

keadaan hipoksia. Dalam keadaan normal HIF-1α akan dihidroksilasi oleh prlyl hydroxylase (PH), kemudian akan berikatan dengan Von Hippel Lindau Protein (VHL) yang selanjutnya akan didegradasi. (35), (39)

Gambar 11. Regulasi gen VEGF yang dinduksi oleh HIF-1 (35)

Beberapa sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan dapat meningkatkan ekspresi VEGF. Tumor Necrosis Factor – α (TNF-α) merupakan sitokin inflamasi yang mempunyai aktifitas biologis yang kuat untuk meningkatkan VEGF. Sitokin lain seperti IL-1α, IL-1β dan IL-6 dapat menstimulasi VEGF. Faktor-faktor pertumbuhan seperti Tissue Growth Factor-β (TGF-β), Epidermal Growth Factor (EGF) dan Platelet Derived Growth Factor – BB (PDGF-BB) juga dapat menginduksi VEGF. (35), (40)

Pada suatu penelitian yang membandingkan antara wanita yang menderita endometriosis dengan wanita non-endometriosis, diketahui bahwa ekspresi VEGF-A lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis. Ekspresi VEGFR-1 dan VEGFR-2 lebih rendah pada sel stroma dari wanita yang mengalami endometriosis dibandingkan wanita non-endometriosis. Sedangkan ditemukan bahwa ekspresi VEGFR-2 pada pada pembuluh darah lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis pada fase sekresi. (36)

Lebih lanjut pada penelitian tersebut menemukan bahwa kadar VEGF-A di cairan peritoneum lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan non-endometriosis. (282,65 pg/mL vs 125,17 pg/mL ; p<0,05). Namun kadar VEGF-A pada serum ditemukan


(48)

51

tidak berbeda bermakna secara statistik antara wanita dengan endometriosis dan non-endometriosis. (36)

Suatu keadaan yang berbeda didapatkan pada penelitian lain bahwa ditemukan perbedaan kadar serum VEGF pada wanita dengan endometriosis (rerata kadar VEGF serum 241,6±164 pg/mL) dibandingkan wanita non-endometriosis (rerata kadar VEGF serum 221,6±128 pg/mL). Seperti yang sudah dijelaskan bahwa endometriosis dipengaruhi oleh sistem imun dan adanya peningkatan sitokin pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis yang dapat juga ditemukan peningkatan pada serum darah. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat meningkatkan modulasi VEGF pada peritoneum juga akan dapat meningkatkan kadar VEGF pada serum darah. (15)

Pada penelitian lain yang membandingkan kadar VEGF serum pada wanita dengan severe endometriosis yang dibandingkan dengan wanita non-endometriosis mendapatkan hasil yang jauh berbeda. Dimana pada wanita dengan endometriosis didapatkan rerata kadar VEGF serum 735,1±100,6 pg/mL sedangkan wanita non-endometriosis didapatkan rerata kadar VEGF serum 97,1±12,1 pg/mL. (41)

Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat risiko terjadinya endometriosis akibat adanya polimorfisme dari gen VEGF. Dari beberapa gen VEGF seperti gen +936TC, gen -460CT, +405CG, -2578AC dan -1154GA, ternyata gen +936TC +405CG yang diindikasikan mempunyai hubungan terhadap risiko terjadinya endometriosis. (42), (43), (44)


(49)

2.10 Konsep Teori

2.11 Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Menstruasi Retrograd

Sel endometrium di rongga peritoneum

Apoptosis ↓↓

Adhesi pada peritoneum Implantasi dan Invasi

Pertumbuhan dan Perkembangan sel endometrium ektopik

Perdarahan secara siklik pada rongga

peritoneum Inflamasi Kronik /

Pembentukan peritoneal fibrosis Angiogenesis Makrofag Faktor Genetik, Hormonal dan Lingkungan VEGF, MMP, Growth factor

ENDOMETRIOSIS VEGF SERUM

Faktor Perancu : • Inflamasi

• Pemakaian obat-obatan hormonal (estrogen, progesteron)


(50)

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian analitik komparatif dengan menggunakan rancangan case control studi 2 populasi pada kasus endometriosis dan non endometriosis.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP. H. Adam Malik, RS. Permata Bunda, RS. Stella Maris dan Kinik Mantap Medan mulai bulan Juli 2013 – Maret 2014. Pemeriksaan histologi jaringan dilakukan oleh Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan pemeriksaan serum darah dilakukan oleh Laboratorium Prodia.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Seluruh kasus endometriosis berdasarkan pemeriksaan histopatologi dari jaringan peritoneum atau ovarium yang datang ke poliklinik ginekologi di RSUP. H. Adam Malik, RS. Jejaring, RS. Pirngadi, RS. Swasta, dan Klinik Mantap di Medan. Untuk kontrol adalah wanita yang merencanakan kontrasepsi mantap (tubektomi)


(52)

55

dengan laparoskopi. Sebagai kasus endometriosis adalah wanita usia reproduksi dengan keluhan nyeri haid, benjolan di perut, dan/atau infertilitas yang datang ke poliklinik ginekologi di RSUP. H. Adam Malik, RS Dr. Pirngadi Medan, RS jejaring dan RS swasta di Medan

3.3.2 Sampel Penelitian

Penentuan subjek penelitian dilakukan secara consecutive sampling. Subjek kasus endometriosis adalah wanita penderita endometriosis yang sesuai denga kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek non endometriosis adalah wanita yang menjalani kontap laparoskopi yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4. Besar Sampel

Besar sampel dengan menggunakan rumus besar sampel untuk penelitian analitik numerik data tidak berpasangan

N = Besar sampel

Zα = Nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan (α = 0,05) Zα = 1,96

Zβ = Nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai β yang ditentukan (β = 0,20) Zβ = 0,84

S = Simpangan baku gabungan Kadar VEGF endometriosis dan VEGF non-endometriosis


(53)

oleh peneliti.

Peneliti menetapkan besar selisih rerata minimal adalah 50

Parameter yang berasal dari kepustakaan adalah S (simpangan

baku gabungan), sedangkan yang ditetapkan peneliti adalah Zα, Zβ dan

X1– X2. Dalam penelitian analitik, yang dimaksud dengan simpang baku adalah simpang baku gabungan dari kelompok yang dibandingkan. Simpang baku gabungan ini diperoleh dengan rumus berikut :

S = Simpangan

baku gabungan

s1 = Simpangan baku kelompok 1 pada penelitian sebelumnya n1 = Besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya s2 = Simpangan baku kelompok 2 pada penelitian sebelumnya n2 = Besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Mohamed et al. pada tahun 2012, diperoleh nilai mean±SD pada kelompok endometriosis adalah 735.1 ± 100.6 dan non endometriosis adalah 97.1 ± 12,1 dengan jumlah sampel masing-masing 30 sampel. (41) Maka perhitungan dalam rumus :

� = �100,6

2(301) + 12,12(301)

30 + 30−2 = 71,64

Setelah didapatkan simpangan baku gabungan dan menetapkan selisih minimal rerata, maka perhitungan dalam rumus besar sampel :

�1 =�2 = 2 �(1,98 + 0,84)71,64

50 �

2


(54)

57

Maka didapatkan besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok adalah 32,18  33 sampel.

3.5. Kriteria Penelitian 3.5.1. Kriteria Inklusi 3.5.1.1. Kasus

1. Wanita usia antara 18 - 50 tahun.

2. Wanita dengan diagnosa endometriosis yang dikonfirmasi dengan laparoskopi atau laparatomi dan dibuktikan secara histopatologi.

3. Tidak sedang menggunakan medikasi hormonal sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum rekrutmen.

4. Tidak mempunyai riwayat operasi bedah pelvik sebelumnya

5. Tidak dalam keadaan demam atau dengan leukosit yang tinggi 6. Bersedia mengikuti penelitian dan mensetujui informed consent

tertulis

3.5.1.2. Kontrol

1. Wanita usia antara 20-50 tahun

2. Wanita non-endometriosis yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan laparoskopi, misalnya seperti wanita yang ingin ditubektomi

3. Tidak sedang menggunakan medikasi hormonal sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum rekrutmen.


(55)

5. Tidak dalam keadaan demam atau dengan leukosit yang tinggi 6. Bersedia mengikuti penelitian dan mensetujui informed consent

tertulis

3.5.2. Kriteria Eksklusi :

1. Memiliki kelainan ginekologi seperti kista ovarium yang bukan endometriosis, tumor ovarium, dan fibroid yang dibuktikan secara histopatologi.

3.6. Etika Penelitian

Penelitian ini diajukan ke Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan, Fakultas Kedoketeran – Universitas Sumatera Utara untuk mendapatkan ethical clearance. Sebelum penelitian dilakukan subjek penelitian diberitahu mengenai latar belakang, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Jika subjek penelitian menyetujui untuk ikut penelitian ini maka subjek penelitian diminta menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan.

3.7. Bahan Dan Cara Kerja 3.7.1. Bahan

3.7.1.1. Histopatologi Jaringan

Sampel jaringan diperiksakan pada laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU. Sampel jaringan pada kasus endometriosis dan non endometriosis yang dibiopsi secara laparoskopi atau laparotomi kemudian difiksasi dengan formalin buffer 10%. Jaringan yang sudah difiksasi kemudian didehidrasi dengan alkohol selama 1 jam 30 menit, kemudian penjernihan dengan xylene, kemudian dibuat blok paraffin. Blok


(56)

59

parafin dipotong setebal 4 μm dengan mikrotom, lalu dimasukkan kedalam waterbath dan diletakkan di atas objek glass yang telah diolesi gliserin. Dilakukan defarafinisasi memakai xylol, kemudian rehidrasi dengan alkohol dibersihkan dengan air mengalir kemudian diwarnai dengan pewarnaan Haemotoxyline-Eosin. Pemeriksaan histopatologis dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali.

3.7.1.2. Serum VEGF

Sampel darah pada kasus dan kontrol diambil dengan venipuncture dari vena antecubiti sebanyak 5 cc dimasukkan kedalam tabung. Dibiarkan mengendap selama 30 menit kemudian dilakukan sentrifuge selama 15 menit pada 1000 x g. Serum dapat disimpan pada suhu ≤ -20 0C sampai kemudian dianalisa dengan reagen kit (Human VEGF Immunoassay) (Quantikine®; R&D system, Minneapolis, MN, USA) oleh Laboratorium Klinik Prodia.

3.7.2. Cara Kerja

1. Pasien yang datang ke poliklinik ginekologi dilakukan anamnese, pemeriksaan fisik/ginekologi dan ultrasonografi transvaginal untuk mencari apakah terdapat indikasi untuk dilakukan laparoskopi/laparatomi.

2. Derajat nyeri di nilai dengan menggunankan lembar skala nyeri “Visual Analoq Scale” yang menampilkan tingkatan nyeri 1-10 dan ekspresi wajah yang ditampilkan pada lembaran isian. Derajat nyeri dinilai berdasarkan riwayat nyeri yang dirasakan oleh subjek penelitian.


(57)

3. Bila terdapat indikasi untuk dilakukan laparoskopi/laparatomi seperti riwayat infertilitas, dismenore, ingin tubektomi, kista endometriosis dan lain-lain pasien dijadwalkan laparoskopi pada saat fase proliferasi dari siklus haid.

4. Pada waktu laparoskopi/laparatomi dilakukan penilaian apakah terdapat endometriosis atau tidak yang dibuktikan dengan hasil histopatologi jaringan peritoneum. Pasien dengan endometriosis dimasukkan sebagai kelompok kasus, dimana dilakukan penderajatan berat ringannya berdasarkan ASRM 1997. Pasien non endometriosis dimasukkan sebagai kelompok kontrol berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

• Stadium 1 (Derajat Minimal ) : Skor ASRM 1-5 • Stadium 2 (Derajat Ringan) : Skor ASRM 6-15 • Stadium 3 (Derajat Sedang) : Skor ASRM 16-40 • Stadium 4 (Derajat Berat) : Skor ASRM >40

5. Dilakukan pengambilan sampel darah sebelum operasi laparoskopi/laparatomi dengan venipuncture pada vena antecubiti sebanyak 5 cc.

6. Sebelum operasi laparoskopi/laparatomi dilakukan pengambilan sampel jaringan endometriosis dan jaringan peritoneum pada pasien kontap sebagai kontrol (non endometriosis)

7. Pada sampel darah dilakukan pemeriksaan kadar serum VEGF dan pada sampel jaringan dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk konfirmasi diagnostik.


(58)

61

3.8. Definisi Operasional

1. Endometriosis adalah adanya kelenjar dan stroma endometrium ektopik atau di luar dari kavum uterus yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan laparoskopi dan histopatologi.

2. Non-endometriosis adalah tidak adanya kelenjar dan stroma endometrium ektopik atau di luar kavum uteri yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan laparoskopi.

3. Laparoskopi adalah prosedur endoskopi dengan menggunakan teleskop kecil untuk visualisasi langsung kavum peritoneum.

4. VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor)

Faktor pertumbuhan pro-angiogenik. Diperiksa kadarnya dari spesimen darah subjek penelitian. Kadar VEGF diukur dalam satuan pg/mL.

5. Nyeri adalah rasa sakit pada perut bagian bawah yang dirasakan oleh subjek penelitian baik siklik bersamaan dengan siklus menstruasi maupun tidak. Dinilai dengan visual analoq scale.

Penilaian derajat nyeri dikelompokkan dengan : • Tidak Nyeri : bila skor 0

• Nyeri Ringan : bila skor 1-2 • Nyeri Sedang : bila skor 3-6 • Nyeri Berat : bila skor 7-8 • Nyeri Sangat Berat : bila skor 9-10


(59)

6. Stadium Endometriosis dinilai berdasarkan ASRM 1997 • Stadium 1 (Derajat Minimal ) : Skor ASRM 1-5 • Stadium 2 (Derajat Ringan) : Skor ASRM 6-15 • Stadium 3 (Derajat Sedang) : Skor ASRM 16-40 • Stadium 4 (Derajat Berat) : Skor ASRM >40

7. Kelompok umur dibagi dalam 3 kelompok seperti pada penelitian sebelumnya dilakukan oleh Wang dkk. (19)

• 18 – 30 tahun • 31 – 40 tahun • > 40 tahun


(60)

63

3.9. Alur Penelitian

3.10. Analisis Statistik

Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian ini disajikan ke dalam tabel distribusi frekuensi. Analisis data univariat dalam bentuk frekuensi, kadar rata-rata (Mean) dan standar deviasi (SD). Analisis bivariat adalah analisis komparatif variabel numerik (kadar serum VEGF) 2 kelompok data tidak berpasangan dengan menggunakan uji t-independen jika data berdistribusi normal dan dengan uji Mann-Whitney U jika data tidak berdistribusi normal. Sedangkan untuk data lebih

PASIEN DENGAN INDIKASI

LAPAROSKOPI/LAPARATOMI BERDASARKAN ANAMNESE, PEMERIKSAAN GINEKOLOGI DAN

PEMERIKSAAN SONOGRAFI (MEMENUHI

KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI)

PASIEN LAPAROSKOPI KONTAP TIDAK DIJUMPAI LESI

ENDOMETRIOSIS

ENDOMETRIOSIS STADIUM BERDASARKAN

ASRM 1997

NON-ENDOMETRIOSIS

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

PEMERIKSAAN VEGF DENGAN ELISA KIT ANALISA DATA LAPAROSKOPI/LAPARATOMI DIAGNOSTIK-TERAPEUTIK DGN DIAGNOSA SANGKAAN ENDOMETRIOSIS PENGAMBILAN SAMPEL DARAH PENGAMBILAN SAMPEL DARAH PENGAMBILAN SAMPEL JARINGAN PENGAMBILAN SAMPEL JARINGAN


(61)

dari dua kelompok yang tidak berpasangan digunakan uji Kruskal Wallis, dengan derajat kepercayaan 95% (p<0,05).


(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk memastikan diagnosa didapatkan 33 subjek penelitian kelompok endometriosis. Sedangkan 33 subjek untuk kelompok non endometriosis diambil dari pasien yang menjalani tubektomi laparoskopi di Klinik Kontrasepsi Mantap Medan setelah dinilai secara laparoskopi tidak ditemukan lesi endometriosis.

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil sebagai berikut :

4.1 Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Endometriosis Non endometriosis

Umur, n (%)

- 18 - 30

- 31 - 40

- > 40

16 (48,5) 10 (30,3) 7 (21,2) 6 (18,2) 20 (60,6) 7 (21,2) Rerata Umur, Mean±SD 32.97±7.892 35.76±5.368 Paritas, n (%)

- 0 - 1 – 2 - ≥ 3

33 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 3 (9,1) 30 (90,9) Derajat Nyeri, n (%)

- Ringan - Sedang - Berat

5 (15,2) 26 (78,7) 2 (6,1) - - - Stadium Endometriosis, n (%)

- Stadium II

- Stadium III

- Stadium IV

5 (15,2) 10 (30,3) 18 (54,4) - - -


(63)

Kelompok endometriosis pada penelitian ini sebagian besar dijumpai pada kelompok usia dibawah 40 tahun, 48,5% pada usia 18-30 tahun dan 30,3% pada usia 31-40 tahun. Sedangkan pada kelompok di atas 40 tahun ditemukan 21,2%. Pada kelompok non endometriosis sebagian besar dijumpai pada kelompok umur 31 – 40 tahun (60,6%). Hal ini sama yang dijelaskan pada literatur dimana sekitar 10% wanita usia reproduksi didapati menderita endometriosis. (1) Penelitian lain yang dilakukan menunjukkan bahwa endometriosis sering terjadi pada umur antara umur 25 dan 35 tahun, dengan rata-rata umur terjadinya endometriosis adalah 32,7 tahun. (12), (13) Hal yang sama ditemukan pada penelitian ini, dimana rerata umur penderita endometriosis adalah 32.97 tahun. Pada wanita usia dibawah 20 tahun endometriosis sering didiagnosa berhubungan dengan keluhan nyeri pelvik kronik, dengan rata-rata terjadi pada usia 18,6 tahun. (45), (46) Sedangkan pada kelompok non endometriosis dipastikan secara laparoskopi tidak ditemukan endometriosis. Namun demikian, endometriosis terkadang dapat ditemukan secara tidak sengaja pada kontap laparoskopi (1-7%). (14) Oleh Mahmood TA dan Templeton A, menemukan endometriosis asimptomatis pada 6% wanita yang menjalani laparoskopi sterilisasi. (47)

Berdasarkan paritas, pada penelitian ini mendapatkan bahwa keseluruhan kelompok endometriosis adalah infertil (100%). Data tersebut mendukung keberadaan endometriosis yang sering dikaitkan dengan permasalahan infertilitas. Dari literatur disebutkan bahwa 20-40% wanita infertil disebabkan oleh endometriosis. (14) Di Indonesia ditemukan 15 – 25


(64)

67

% wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis. (2) Infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis dikaitkan dengan proses inflamasi yang terjadi pada endometriosis sehingga dapat menyebabkan gangguan pada tuba fallopian, menurunnya reseptivitas endometrium, mengganggu perkembangan oosit dan embrio. (6), (48) Pada endometriosis juga dapat menyebabkan halangan pada tuba fallopian untuk menangkap sel telur pada saat ovulasi oleh karena perlengketan. (6), (14), (22)

Pada penelitian ini didapatkan derajat nyeri sedang yang paling banyak 78,7%, sedangkan nyeri ringan 15,2% dan nyeri berat 6,1%. Nyeri perut bagian bawah sering sekali merupakan keluhan endometriosis. 60-80% wanita dengan endometriosis mengalami nyeri haid, 30-50% mengalami nyeri pelvik, dengan derajat nyeri yang bervariasi. (20) Pada Penelitian ini semua subjek mempunyai keluhan nyeri perut bagian bawah, baik siklik ataupun tidak. Hal yang sama ditemukan oleh Mohamed ML. dkk, dimana 100% (30/30) wanita dengan endometriosis mengalami nyeri pelvik kronik dan 86,8% (26/30) mengalami nyeri haid. (41) Sedangkan Wang H. dkk, hanya menemukan 41% yang mengalami nyeri pelvik. (19)

Pada penelitian ini didapatkan tidak ditemukan pasien dengan endometriosis stadium 1, stadium 2 (ringan) 15,2%, stadium 3 (sedang) 30,3% dan stadium 4 (berat) 54,4%. Pada penelitian ini ditemukan sebagian besar pasien endometriosis ditemukan pada stadium lanjut. Hal ini dapat dikarenakan kebanyakan pasien datang berobat oleh karena keluhan-keluhan yang menyertai seperti infertilitas, nyeri pelvik, atau


(65)

benjolan di perut. Pada penelitian ini semua pasien yang dilakukan operasi adalah pasien dengan kista endometriosis dan infertil. Pasien dengan keluhan nyeri yang ringan terkadang mengabaikan keluhan terutama dapat dihilangkan dengan analgetik. Dan jika massa diperut masih berukuran kecil, biasanya pasien tidak menyadari atau tidak mengabaikannya. Sehingga jarang ditemukan pasien dengan stadium 1. Hal yang sama ditemukan oleh penelitian lain dimana pasien endometriosis dengan keluhan dismenorea ringan dan sedang ditemukan 20% pada stadium 2, 63% pada stadium 3 dan 17% pada stadium 4 dan tidak ditemukan pada stadium 1. Sedangkan pada pasien dengan keluhan dismenore berat yang tidak respon dengan pemberian analgetik dengan atau tanpa dispareunia dan nyeri pelvik kronik masing-masing stadium 2, 3 dan 4 adalah 13%, 53% dan 33% dan tidak ditemukan pasien dengan stadium 1. (49)

4.2 Perbandingan Kadar VEGF Serum Berdasarkan Umur Pada Endometriosis

Karakteristik VEGF Serum (pg/mL) CI 95% *p value Mean Median SD Lower Upper

Umur

- 18 – 30 441.44 431.00 123.18 375.50 506.78 0.141

- 31 – 40 403.99 329.25 262.07 216.51 591.46

- > 40 473.0 435.90 150.03 334.23 611.76

* Uji Kruskal Wallis.

Dari tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa tidak ditemukan perbedaan rerata VEGF serum yang signifikan berdasarkan kelompok umur (p = 0,141). Meskipun dari tabel tersebut yang paling tinggi adalah


(66)

69

pada kelompok umur > 40 tahun (473,0±150,03) diikuti kelompok umur 18 – 30 tahun (441,44±123,18) dan kelompok umur 31 – 40 tahun (403,99±262,07). Penelitian lain yang dilakukan oleh Gagne D. dkk, juga menunjukkan hal yang sama dimana diantara kelompok umur (18-30 thn, 31-40 thn dan > 40 thn) ditemukan kadar VEGF serum yang tidak berbeda bermakna secara statistik. (15), Begitu pula dengan penelitian oleh Wang H. dkk, antara kelompok umur tidak ditemukan perbedaan kadar serum VEGF yang bermakna. (19)

VEGF merupakan faktor angiogenesis yang dapat dipengaruhi oleh steroid ovarium, keadaan hipoksia, sitokin-sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan. (35), (38), (39), (40) Sehingga kadar VEGF tidak dipengaruhi oleh umur. Lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor internal secara fisiologis hormonal dan polimorfisme genetik ataupun faktor lingkungan dengan adanya keadaan hipoksia ataupun inflamasi.

4.3 Perbandingan kadar VEGF serum endometriosis berdasarkan derajat nyeri

Derajat Nyeri

VEGF Serum (pg/mL) CI 95%

*p value Mean Median SD Lower Upper

Ringan 348.40 337.70 120.38 198.92 497.87 0.618 Sedang 449.66 428.50 182.87 375.80 523.53

Berat 487.90 487.90 241.68 - 1683.59 2659.39

*Uji Kruskal Wallis.

Dari tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar serum VEGF berdasarkan derajat nyeri (p 0,618). Hal ini sama penelitian yang didapatkan oleh Garcia-Manero M. dkk, bahwa tidak ada perbedaan bermakna kadar serum VEGF pada kelompok


(67)

endometriosis dengan nyeri ringan-sedang dibandingkan kelompok dengan derajat nyeri berat. (49)

Nyeri sering dikaitkan dengan beberapa mekanisme, antara lain : efek langsung atau tidak langsung pada perdarahan lokal pada implant endometriosis, pengaruh dari inflamasi dan sitokin pada rongga peritoneum dan juga iritasi ataupun infiltrasi langsung pada syaraf di dasar panggul. Serabut syaraf diperitoneum ini dapat distimulasi oleh bahan-bahan inflamasi seperti prostaglandin, TNF-α, EGF, TGF-β, dimana sitokin-sitokin ini banyak sekresi oleh makrofag yang aktif pada endometriosis. (14), (50) Nyeri juga dipengaruhi oleh produksi prostaglandin lokal oleh lesi endometriosis yang dipengaruhi oleh estrogen lokal dari proses aromatase. Pada endometrium wanita dengan endometriosis, ada peningkatan sedikit aktivitas COX-2 dan aktivitas enzim aromatase dapat dideteksi. Pada jaringan endometriosis ektopik, terdapat abnormalitas molekuler yang jelas, termasuk kadar COX-2 dan enzim aromatase yang tinggi. Peningkatan PGE2 dalam jaringan endometrium dan endometriosis

dapat menyebabkan kram menstrual yang berat dan nyeri pelvis kronik. Kadar estradiol jaringan akan tinggi, karena estradiol diproduksi berlebihan oleh enzim aromatase dan tidak dimetabolisme karena

defisiensi aktivitas 17β-hydroxysteroid dehydrogenase 2. (6)

4.4 Perbandingan Kadar VEGF Serum Non Endometriosis dengan Endometriosis berdasarkan Stadium


(68)

71

Stadium Endometriosis

VEGF Serum (pg/mL) CI 95%

*p value Mean Median SD Lower Upper

Non

endometriosis 182.22 221.10 57.23 161.92 202.51 0.02 2 (Ringan) 280.54 257.90 74.05 188.58 372.49

3 (Sedang) 393.31 339.95 115.10 310.97 475.64 4 (Berat) 504.07 479.80 193.64 407.78 600.37

*Uji Kruskal Wallis.

Dari tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa ditemukan adanya perbedaan yang bermakna secara signifikan dari keseluruhan subjek penelitian (kasus endometriosis dan non endometriosis) dengan nilai p adalah 0,02. Tampak adanya peningkatan rerata dari tiap-tiap stadium dimana pada stadium 4 (berat) didapatkan rerata kadar VEGF serum yang paling tinggi (504,07±193,64). Namun jika dilakukan uji post-hoc Mann-Whitney U untuk melihat antara stadium mana yang memiliki perbedaan bermakna, ternyata hanya antara non endometriosis dan masing-masing stadium endometriosis yang mempunyai perbedaan secara bermakna terhadap rerata kadar serum VEGF. Sedangkan jika dibandingkan masing-masing stadium, misalkan antara stadium 2 dibandingkan stadium 3, atau stadium 2 dibandingkan stadium 4 dan stadium 3 dibandingkan stadium 4 maka tidak dijumpai perbedaan bermakna antara masing-masing stadium. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.5.


(69)

Stadium Endometriosis Mean VEGF Serum

(pg/mL) *p value

Non Endometriosis vs Std. 2 Non Endometriosis vs Std. 3 Non Endometriosis vs Std. 4 Std. 2 vs Std. 3

Std. 2 vs Std. 4 Std. 3 vs Std. 4

182,22 vs 280,22 182,22 vs 393,31 182,22 vs 504,07 280,54 vs 393,31 280,54 vs 504,07

393,31vs 504,07 0,01 <0,0001 <0,0001 0,178 0,09 0,108

* Uji Post-hoc Mann-Whitney U.

Perkembangan dan pertumbuhan sel endometriosis tergantung pada pembentukan pembuluh darah ke lesi endometriosis untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi bagi kehidupan sel. VEGF yang dihasil dari sel glandular epitel dan stroma endometrium ektopik ini berperan penting pada histogenesis endometriosis itu sendiri. Selain berperan pada angiogenesis, VEGF dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan keluarnya produk fibrin ke ekstraselular. Produk fibrin ini akan meningkatkan penarikan makrofag sehingga meningkatkan sekresi TNF-α yang akan menstimulasi angiogenesis dan implantasi sel endometriosis. Sel endometriosis yang aktif ini secara siklik akan menghasilkan konsentrasi VEGF yang tinggi, dimana bersama dengan Matrix Metalloproteinase-1 (MMP-1) dan Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) akan memicu perluasan implantasi dan perlengketan yang lebih luas. (18),

(51), (52)

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna jika dibandingkan rerata kadar serum VEGF dari masing-masing stadium. Hal yang sama ditemukan pada penelitian-penelitian


(70)

73

sebelumnya, dimana penilaian skor AFS endometriosis yang dikaitkan dengan perlengketan pelvik akibat endometriosis terutama pada endometriosis derajat berat ternyata mempunyai korelasi yang negatif. Disebutkan bahwa peningkatan kadar VEGF berhubungan dengan menurunnya pembentukan perlengketan pelvik. (53) Hal yang sama ditemukan oleh Garcia-Manero M. dkk, bahwa tidak ditemukan perbedaan bermakna kadar serum VEGF berdasarkan stadium endometriosis. (49) Oleh Gagnea D. dkk, Kim JG. dkk, dan Othman ER. dkk, juga menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna kadar serum VEGF berdasarkan stadium endometriosis dan skor AFS. Pada penelitian yang dilakukan tersebut stadium endometriosis dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu stadium I-II (Minimal-Ringan) dan stadium III-IV (Sedang-Berat). (15) (54), (55)

4.6 Perbandingan Kadar VEGF Serum berdasarkan Stadium

Stadium Endometriosis

VEGF Serum (pg/mL) CI 95%

*p value Mean Median SD Lower Upper

Minimal-Ringan 280,54 257.90 74.05 188.58 372.49 0,02 Sedang-Berat 464,51 431.00 175.91 396.30 532.71

* Uji Mann-Whitney U

Dengan mengelompokkan stadium menjadi 2 kelompok, Minimal-Ringan dan Sedang-Berat berdasarkan stadium endometriosis ternyata terdapat perbedaan yang bermakna rerata kadar serum VEGF (280,54 ±74,05 vs 464,51±175,91 dengan nilai p = 0,02. Hal yang sama juga ditemukan oleh Wang H. dkk, yang menemukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kadar serum VEGF terhadap stadium


(1)

39. Kimura H, Weisz A, Ogura T, Hitomi Y, Kurashima Y, et al. Identification of hypoxia-inducible factor-1 ancillaty sequence and its function in vascular endothelial growth factor gene induction by hypoxia and nitric oxide. Biol Chem. 2001 Jan; 276(3): p. 2292-2298. 40. Enholm B, Paavonen K, Ristimaki A, Kumar V, Gunji Y, et al.

Comparison of VEGF, VEGF-B, VEGF-C and Ang-1 mRNA regulation by serum, growth factors, oncoproteins and hypoxia. Oncogene. 1997 May; 14(20): p. 2475-2483.

41. Mohamed ML, El Behery MM, and Mansour SA. Comparative study between VEGF-A and CA-125 in diagnosis and follow-up of advanced endometriosis after conservative laparoscopic surgery. Arch Gynecol Obstet. 2013 Jan; 287(1): p. 77-82.

42. Liang S, Huang Y and Fan Y. Vascular Endothelial Growth Factor Gene Polymorphisms and endometriosis risk: a meta-analysis. Arch Gynecol Obstet. 2012 Jul; 286(1): p. 139-146.

43. Vanaja MC, Rozati R, Nassaruddin K and Vishnupriya S. Association of VEGF +405G>C polymorphism with endometriosis. Front Biosci (Elite Ed). 2013 Jan; 5: p. 748-754.

44. Emamifar B, Salehi Z, Mehrafza M and Mashayekhi F. The vascular endothelial Growth Factor (VEGF) polymorphisms and the risk of endometriosis in Northtern Iran. Gynecol Endocrinol. 2012 Jun; 28(6): p. 447-450.

45. Reese KA, Reddy S and Rock JA. Endometriosis in an adolescent population: the Emory experience. J Pediatr Adolesc Gynecol. 1996 Aug; 9(3): p. 125-128.


(2)

Young Women: The Experience of GISE. J Pediatr Adolesc Gynecol. 2010 Aug; 23(4): p. 223-225.

47. Mahmood TA and Templeton A. Prevalence and Genesis of endometriosis. Hum Reprod. 1991 Apr; 6(4): p. 544-549.

48. Barnhart K, Dunsmoor-Su R and Coutifaris C. Effect of Endometriosis on in vitro fertilization. Fertil Steril. 2002 Jun; 77(6): p. 1148-1155. 49. Garcia-Manero M, Alcazar JL and Toledo G. Vascular endothelial

growth factor (VEGF) and ovarian endometriosis: correlation between VEGF serum levels, VEGF cellular expression, and pelvic pain. Fertil Steril. 2007 Aug; 88(2): p. 513-515.

50. Tran LV, Tokushige N, Berbic M, Markham R and Fraser IS. Macrophages and nerve fibres in peritoneal endometriosis. Hum reprod. 2009 Apr; 24(4): p. 835-841.

51. Machado DE, Berardo PT, Palmero CY and Nasciutti LE. Higher express of vascular endothelial growth factor (VEGF) and its receptor VEGFR-2 (Flk-1) and metalloproteinase-9 (MMP-9) in a rat model of peritoneal endometirosis is similar to cancer. J Exp Clin Cancer Res. 2010 Jan; 29(4).

52. Di Carlo C, Bonifacio M, Tommaselli G, Bifulco G, Guerra G, et al. Metalloproteinases, vascular endothelial growth factor and angiopoietin 1 and 2 in eutopic and ectopic endometrium. Fertil Steril. 2009 Jun; 91(6): p. 2315-2323.

53. Barcz E, Milewski L, Dziunycz P, Kaminski P, Ploski R, et al. Peritoneal cytokines and adhesion formation in endometriosis: an inverse association with vascular endothelial growth factor concentration. Fertil steril. 2012 Jun; 97(6): p. 1380-1386.


(3)

54. Kim JG, Kim JY, Jee BC, Suh CS, Kim SH, et al. Association between endometriosis and polymorphisms in endostatin and vascular endothelial growth factor and their levels in Korean women. Fertil Steril. 2008 Jan; 89(1): p. 243-245.

55. Othman ER, Hornung D, Salem HT, Khalifa EA, El-Metwally TH, et al. Serum cytokines as biomarkers for nonsurgical prediction of endometriosis. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2008 Apr; 137(2): p. 240-246.

56. Eisenberg VH, Zolti M, and Soriano D. Is there an association between autoimmunity and endometriosis? Autoimmun Rev. 2012 Sep; 11(11): p. 806-814.

57. Ilie I and Ilie R. Cytokines and Endometriosis – the Role of Immunological Alterations. Biothecnology, Molecular biology and Nanomedicine. 2013 Dec; 1(2): p. 8-19.

58. Valentine JE. Macrophage Involvement In The Remodelling Of An Extracelluler Matrix Scaffold. In Materials Science and Engineering, University of Florida; 2003. p. 11-16.

59. Murdoch C, Giannoudis A and Lewis CE. Mechanisms regulationg the recruitment of macrophages into hypoxic areas of tumor and other ischemic tissue. Blood. 2004; 104(8): p. 2224-2234.

60. Coussens, LM,Tinkle CL,Hanahan D and Werb Z. MMP-9 supplied by bone marrow-derived cells contributes to skin carcinogenesis. Cell. 2000; 103(3): p. 481-490.

61. Matalliotakis IM, Goumenou AG, Koumantakis GE, Neonaki MA, Koumantakis EE, et al. Serum concentration of growth factors in


(4)

endometriosis medicines. Int Immunopharmacol. 2003 Jan; 3(1): p. 81-89.

62. Pellicer A, Albert C, Mercader A, Bonilla-Musoles F, Remohi J, et al. The Follicular and endocrine environment in women with endometriosis: local and systemic cytokine production. Fertil Steril. 1998 Sep; 70(3): p. 425-431.

63. Ricci AG, Olivares CN, Bilotas MA, Meresman GF and Baranao RI. Effect of vascular endothelial growth factor inhibition on endometrial implant development in a murine model of endometriosis. reprod Sci. 2011 Jul; 18(7): p. 614-622.


(5)

STATUS PENELITIAN

“KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) SERUM PADA WANITA DENGAN ENDOMETRIOSIS”

1. REGISTRASI

a. Nomor penelitian : b. Nomor Rekam Medik : c. Asal Rumah Sakit : 2. IDENTITAS PASIEN

a. Nama :

b. Umur :

c. Paritas :

d. Alamat :

e. Suku :

3. DERAJAT NYERI

4. SKOR ASRM ENDOMETRIOSIS / STADIUM ENDOMETRIOSIS: A. 1 (Minimal)

B. 2 (Ringan) C. 3 (Sedang) D. 4 (Berat)


(6)