Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

(1)

Hasil Penelitian

Program Pendidikan Magister Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

PROFIL KADAR

VASCULAR ENDOTHELIAL

GROWTH FACTOR

(VEGF) SERUM BERDASARKAN

KARAKTERISTIK PENDERITA PSORIASIS

VULGARIS

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

OLEH :

Peneliti

: dr. Grace

Pembimbing 1

: Prof. Dr. dr. Irma D Roesyanto, SpKK(K)

Pembimbing 2

: dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN

KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : PROFIL KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH

FACTOR (VEGF) SERUM BERDASARKAN

KARAKTERISTIK PENDERITA PSORIASIS VULGARIS DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Nama PPDS : Grace Nomor CHS :

NIM : 117041213

Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Kategori : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui,

Pembimbing I: Pembimbing II:

(Prof. Dr. dr. Irma D Roesyanto, SpKK(K)) (dr. Chairiyah Tanjung , SpKK(K)) NIP: 194712241976032001 NIP: 195012111978112001

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,

(Prof. Dr. dr. Irma D Roesyanto, SpKK(K)) (dr. Chairiyah Tanjung , SpKK(K)) NIP: 194712241976032001 NIP: 195012111978112001


(3)

Sudah diperiksa penelitian,

JUDUL : PROFIL KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH

FACTOR (VEGF) SERUM BERDASARKAN

KARAKTERISTIK PENDERITA PSORIASIS VULGARIS DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

PENELITI : dr. GRACE

DEPARTEMEN : ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA

MEDAN, 2014

KONSULTAN METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN USU

( Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes. ) NIP:19690609 199903 2 001


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... v

DAFTAR TABEL, GAMBAR, DIAGRAM DAN KURVA ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... vii

Abstrak ... viii

Abstract ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1.Tujuan umum ... 5

1.3.2.Tujuan khusus ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Psoriasis ... 7

2.1.1.Definisi dan Sejarah ... 7

2.1.2.Epidemiologi... 8

2.1.3.Etiologi dan Patogenesis ... 10

2.1.4.Gambaran Klinis ... 13

2.1.5.Diagnosis ... 14

2.1.6.Histopatologi ... 14

2.1.7.Vascular Endotelial Growth Factor (VEGF) ... 15

2.1.8.Peran VEGF dalam angiogenesis dan hubungannya dengan psoriasis ... 15

2.2 Kerangka Teori ... 17

2.3 Kerangka Konsep ... 18

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Rancangan Penelitian ... 19

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 19

3.3.1Populasi target ... 19

3.3.2Populasi terjangkau ... 19

3.3.3Sampel Penelitian ... 20

3.4 Cara Pengambilan Sampel Penelitian ... 21


(5)

3.5.1Pencatatan Data Dasar ... 21

3.5.2Pengumpulan dan Penyimpanan Sampel Darah ... 21

3.5.3Pengolahan Sampel Darah ... 22

3.6 Definisi Operasional ... 31

3.7 Kerangka Operasional ... 37

3.8 Pengolahan Data ... 38

3.9 Etika Penelitian ... 38

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 39

4.1.1Karakteristik Sosiodemografik ... 40

4.1.2Karakteristik Penyakit………...48

4.2. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) ... 54

4.2.1VEGF Dibedakan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

4.2.2.VEGF Dibedakan Berdasarkan Kelompok Usia ... 61

4.2.3.VEGF Dibedakan Berdasarkan Suku... 63

4.2.4.VEGF Dibedakan Berdasarkan Durasi Penyakit ... 64

4.2.5.VEGF Dibedakan Berdasarkan Onset Penyakit ... 66

4.2.6.VEGF Dibedakan Berdasarkan BSA ... 67

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. : Naskah Penjelasan kepada Bapak / Ibu / Saudara / i Lampiran 2. : Persetujuan Setelah Penjelasan

Lampiran 3. : Status Penelitian Lampiran 4. : Data Penelitian Lampiran 5. : Analisis Statistik Lampiran 6 : Dokumentasi Penelitian

Lampiran 7. : Persetujuan Komite Medik Tentang Penatalaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan

Lampiran 8. : Curriculum Vitae


(7)

DAFTAR TABEL, GAMBAR, DIAGRAM DAN KURVA

Halaman

Tabel 4.1. : Karakteristik sosiodemografik penderita psoriasis vulgaris Tabel 4.2. : Karakteristik penyakit penderita psoriasis vulgaris

Tabel 4.3. : Analisis deskriptif (VEGF)

Tabel 4.4. : VEGF berdasarkan karakteristik penderita psoriasis vulgaris

Diagram 4.1. : Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Diagram 4.2. : Frekuensi Berdasarkan Grup Usia Diagram 4.3 : Frekuensi Berdasarkan Suku Diagram 4.4. : Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Diagram 4.5. : Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Diagram 4.6. : Frekuensi Berdasarkan Durasi Penyakit Diagram 4.7. : Frekuensi Berdasarkan Onset Penyakit Diagram 4.8 : Frekuensi Berdasarkan BSA

Gambar 4.1. : Tampilan micro-wells sebelum pengukuran dengan ELISA analyzer Gambar 4.2. : Box Plot distribusi VEGF

Gambar 4.3. : Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan Jenis Kelamin Gambar 4.4. : Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan Kelompok Usia Gambar 4.5. : Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan Suku

Gambar 4.6. : Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan Durasi Penyakit Gambar 4.7. : Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan Onset Penyakit Gambar 4.8. : Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan BSA

Kurva 4.1. : Kurva Standar untuk Menentukan Konsentrasi VEGF

40 48 56 60 41 43 46 47 48 49 50 53 55 56 61 62 63 65 66 68 55


(8)

DAFTAR SINGKATAN

APC : Antigen Presenting Cells BSA : Body Surface Area CD : Cluster Differentiation

DLQ1 : The Dermatology Life Quality Index EGF : Epidermal Growth Factor

ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay FGF : Fibroblast Growth Factor

GMCSF : Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor HEV : High Endotelial Venules

HLA : Human Leukocyte Antigen HIF : Heat Induced Factor IFN : Interferon

IL : Interleukin

KGF : Keratinocyte Growth Factor NFkB : Nuclear Factor KappaB

NICE : National Institute for Health and Clinical PASI : Psoariasis Area Severity Index

PDGF : Platelet Derived Growth Factor PIGF : Placental Growth Factor PSORS : Psoriasis Susceptibility Locus PIGF : Placental Growth Factor

SCID : Severe Combined Immunodefficient

Th : T Helper

TGFα : Transforming Growth Factor α TGF β : Transforming Growth Factor β TNFα : Tumor Necrosis Factor α

VEGF : Vascular Endotelial Growth Factor

VEGFR : Vascular Endotelial Growth Factor Receptor VPF : Vascular Permeability Factor


(9)

PROFIL KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) SERUM BERDASARKAN KARAKTERISTIK PENDERITA

PSORIASIS VULGARIS DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Grace

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, , Chairiyah Tanjung, Irma D. Roesyanto - Mahadi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP Haji Adam Malik Medan, Indonesia

Email:

Abstrak Pendahuluan :

Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang dikarakteristikkan dengan adanya hiperproliferasi keratinosit, gangguan diferensiasi, neoangiogenesis, dan inflamasi. Patogenesis dari penyakit ini dianggap kompleks, namun dicurigai terdapat peran Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang merupakan regulator paling poten dalam proses angiogenesis.

Tujuan:

Untuk mengetahui profil VEGF serum penderita psoriasis vulgaris.

Metode:

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif rancangan potong lintang. Pengukuran kadar VEGF serum pada pasien psoriasis vulgaris dilakukan menggunakan metode ELISA.

Hasil :

Pada 25 penderita psoriasis vulgaris didapatkan dominasi sampel berjenis kelamin pria yaitu sebanyak 17 orang (68%). Rerata usia adalah 40.84 tahun dengan subyek penelitian terbanyak pada kelompok usia kurang dari 40 tahun sebanyak 14 orang (56%).Suku terbanyak adalah suku Batak, sebanyak 12 orang (48%). Angka kejadian psoriasis vulgaris memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada kelompok durasi <5 tahun sebesar 17 orang (68%). Berdasarkan onset penyakit, kelompok onset 15-30 tahun merupakan yang terbanyak dengan frekuensi sebesar 11 orang (44%). Rerata BSA subyek penelitian adalah 10.60% dengan frekuensi terbanyak pada BSA >10% yaitu sebesar 11 orang (48%).

Kesimpulan :

Profil VEGF serum pada 25 pasien psoriasis vulgaris yaitu, mean VEGF serum sebesar 393.53 pg/mL. Predominasi pada jenis kelamin laki-laki, dengan frekuensi terbanyak pada kelompok usia kurang dari 40 tahun.


(10)

LEVELS OF SERUM VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) BASED ON THE CHARACTERISTICS OF PSORIASIS VULGARIS PATIENTS PROFILE IN H. ADAM MALIK GENERAL

HOSPITAL MEDAN

Grace

Departmen of Dermatology and Venerology , Chairiyah Tanjung, Irma D. Roesyanto – Mahadi Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital, Medan - Indonesia

Email:

Abstract

Background:

Psoriasis is a chronic inflammatory skin diseases characterized by the hyperproliferation of keratinocytes, impairement of cellular differentiation, neoangiogenesis, and inflammation. The pathogenesis of the disease is considered to be complex, but there is a suspicion of the role of Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), which is the most potent regulator of angiogenesis.

Objective:

To determine VEGF serum profile of psoriasis vulgaris patients.

Method:

The design of this study is a cross-sectional descriptive. Measurement of serum VEGF levels in patients with psoriasis vulgaris was performed using ELISA method.

Result:

From 25 samples of patients with psoriasis vulgaris, male predomination was found (68%). The mean age was 40.84 years with the majority in the age group less than 40 years as many as 14 people (56%). The largest tribe was Batak, as many as 12 people (48%). The incidence of psoriasis vulgaris had the highest frequency of occurrence in the group of duration <5 years by 17 people (68%). Based on the onset of disease, onset group 15-30 years was the highest with a frequency of 11 people (44%). The mean BSA was 10.60% with the highest frequency in the BSA> 10% in the amount of 11 people (48%).

Conclusion:

Mean serum VEGF was 393.53 pg / mL with male predominance and highest frequency in the age group less than 40 years.


(11)

PROFIL KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) SERUM BERDASARKAN KARAKTERISTIK PENDERITA

PSORIASIS VULGARIS DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Grace

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, , Chairiyah Tanjung, Irma D. Roesyanto - Mahadi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP Haji Adam Malik Medan, Indonesia

Email:

Abstrak Pendahuluan :

Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang dikarakteristikkan dengan adanya hiperproliferasi keratinosit, gangguan diferensiasi, neoangiogenesis, dan inflamasi. Patogenesis dari penyakit ini dianggap kompleks, namun dicurigai terdapat peran Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang merupakan regulator paling poten dalam proses angiogenesis.

Tujuan:

Untuk mengetahui profil VEGF serum penderita psoriasis vulgaris.

Metode:

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif rancangan potong lintang. Pengukuran kadar VEGF serum pada pasien psoriasis vulgaris dilakukan menggunakan metode ELISA.

Hasil :

Pada 25 penderita psoriasis vulgaris didapatkan dominasi sampel berjenis kelamin pria yaitu sebanyak 17 orang (68%). Rerata usia adalah 40.84 tahun dengan subyek penelitian terbanyak pada kelompok usia kurang dari 40 tahun sebanyak 14 orang (56%).Suku terbanyak adalah suku Batak, sebanyak 12 orang (48%). Angka kejadian psoriasis vulgaris memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada kelompok durasi <5 tahun sebesar 17 orang (68%). Berdasarkan onset penyakit, kelompok onset 15-30 tahun merupakan yang terbanyak dengan frekuensi sebesar 11 orang (44%). Rerata BSA subyek penelitian adalah 10.60% dengan frekuensi terbanyak pada BSA >10% yaitu sebesar 11 orang (48%).

Kesimpulan :

Profil VEGF serum pada 25 pasien psoriasis vulgaris yaitu, mean VEGF serum sebesar 393.53 pg/mL. Predominasi pada jenis kelamin laki-laki, dengan frekuensi terbanyak pada kelompok usia kurang dari 40 tahun.


(12)

LEVELS OF SERUM VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) BASED ON THE CHARACTERISTICS OF PSORIASIS VULGARIS PATIENTS PROFILE IN H. ADAM MALIK GENERAL

HOSPITAL MEDAN

Grace

Departmen of Dermatology and Venerology , Chairiyah Tanjung, Irma D. Roesyanto – Mahadi Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital, Medan - Indonesia

Email:

Abstract

Background:

Psoriasis is a chronic inflammatory skin diseases characterized by the hyperproliferation of keratinocytes, impairement of cellular differentiation, neoangiogenesis, and inflammation. The pathogenesis of the disease is considered to be complex, but there is a suspicion of the role of Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), which is the most potent regulator of angiogenesis.

Objective:

To determine VEGF serum profile of psoriasis vulgaris patients.

Method:

The design of this study is a cross-sectional descriptive. Measurement of serum VEGF levels in patients with psoriasis vulgaris was performed using ELISA method.

Result:

From 25 samples of patients with psoriasis vulgaris, male predomination was found (68%). The mean age was 40.84 years with the majority in the age group less than 40 years as many as 14 people (56%). The largest tribe was Batak, as many as 12 people (48%). The incidence of psoriasis vulgaris had the highest frequency of occurrence in the group of duration <5 years by 17 people (68%). Based on the onset of disease, onset group 15-30 years was the highest with a frequency of 11 people (44%). The mean BSA was 10.60% with the highest frequency in the BSA> 10% in the amount of 11 people (48%).

Conclusion:

Mean serum VEGF was 393.53 pg / mL with male predominance and highest frequency in the age group less than 40 years.


(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis yang tidak mengancam jiwa,

namun menyebabkan morbiditas yang hebat dan tidak dapat disembuhkan.

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya hiperproliferasi keratinosit,

gangguan diferensiasi, neoangiogenesis, dan inflamasi.1 Prevalensi psoriasis

dikatakan berkisar antara 0.1% sampai 11,8% dengan estimasi kejadian 60 kasus

per 100,000 per tahun di seluruh dunia. Sedangkan prevalensi penyakit ini di

Indonesia belum terdata secara jelas, namun insidensi di Asia sendiri dikatakan

cenderung rendah (0.4%). Psoriasis terjadi umumnya pada ras Kaukasia, dan

dikatakan 7 juta orang di Amerika Serikat terkena penyakit psoriasis ini dan 1,5

juta manusia setiap tahunnya berobat ke dokter dengan keluhan psoriasis.2-4

Psoriasis mengenai pria dan wanita secara seimbang. Namun beberapa

studi mengatakan bahwa prevalensi psoriasis sedikit lebih tinggi pada pria

dibandingkan wanita.4,5 Data dari rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik-Medan periode Januari hingga Desember 2011 adalah dari total

5.644 orang yang datang berobat ke Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit

dan Kelamin, 46 pasien (0.81%) diantaranya didiagnosis sebagai psoriasis

vulgaris. Dari jumlah tersebut 25 pasien (54.3%) berjenis kelamin pria dan 21


(14)

Onset usia terjadinya psoriasis secara rata-rata pada berbagai studi adalah

berkisar 15 sampai 30 tahun dan 75% pasien psoriasis menderita psoriasis

sebelum usia 46 tahun. Namun studi lainnya mengatakan bahwa onset terjadinya

psoriasis ini bisa pada dua puncak, yaitu pada usia 16-22 tahun dan puncak

lainnya adalah usia 57-60 tahun.4,7

Psoriasis adalah penyakit kulit kronis yang memiliki tingkat rekurensi

yang tinggi, sehingga pengobatan yang penting adalah mengurangi kejadian dari

penyakit dengan mengkontrol gejala, membantu pasien untuk mengatasi sifat

penyakit yang kronis tentunya juga dengan pendekatan secara holistik. Gejala

klinis dari psoriasis ini dikatakatan bervariasi dari yang minimal sampai dengan

keterlibatan kulit yang luas.8

Patogenesis psoriasis merupakan suatu mekanisme kompleks, dan sampai

saat ini mekanisme patogenesis utama dari psoriasis masih belum diketahui.

Keratinosit, fibroblas, antigen-presenting cells (APC), sel T, dan sel endotel dikatakan memiliki kandidat sebagai defek utama dari psoriasis. Penelitian dan

telaah literatur ilmiah yang bertujuan menjelaskan penyebab terjadinya psoriasis

telah dilakukan.9,10

Chang et al, membuat hipotesis bahwa kerusakan utama terletak pada

keratinosit, dan bahwa sitokin yang dilepaskan dari sel keratinosit epidermis

psoriasis memungkinkan aktivasi limfosit yang lebih besar dibandingkan sitokin

yang disekresikan pada sel epidermis normal. Kerusakan keratinosit epidermis

dapat diaktivasikan oleh trauma fisik maupun kimiawi yang akan meningkatkan


(15)

menstimulasi inflamasi dan proliferasi dari keratinosit. Bos et al, juga

mempostulasikan bahwa hanya keratinosit psoriatik yang berespon terhadap

sinyal sel T yang teraktivasi dengan hiperproliferasi, karena adanya reseptor

spesifik. Sedangkan Bata-Csorgo et al. mendemonstrasikan keratinosit yang

normal tidak berespon terhadap sel T psoriatik supernatan.10-12

Saiag et al, mendemonstrasikan fibroblas yang berasal dari lesi psoriatik

atau lesi non-psoriatik (namun bukan dari kulit normal). Dimana fibroblas ini juga

dikatakan menginduksi hiperproliferasi dari keratinosit normal pada studi in

vitro.12

Pemikiran lain juga dicetuskan dalam studi-studi psoriasis yang

menyatakan bahwa kerusakan utama berada pada sistem kekebalan tubuh.

Menurut Bos et al, persisten limfosit T dapat menyebabkan hiperproliferasi

epidermis dengan interaksinya secara langsung terhadap keratinosit atau secara

tidak langsung melalui autoantigen, superantigen, atau antigen presenting cells

(APC).10

Sebagian peneliti lainnya mencurigai adanya peran Vascular Endothelial

Growth Factor (VEGF) yang mencetuskan angiogenesis dan berpengaruh pada proses terjadinya psoriasis. Christophers et al. menyatakan bahwa keratinosit

dianggap sebagai sumber utama sitokin pro-angiotik (VEGF, Interleukin (IL-8)),

namun mekanisme pasti dari angiogenesis pada psoriasis masih belum diketahui.

Pada psoriasis plak yang berkembang, sel endotel mengalami pembengkakan dan

menjadi lebih aktif yang dengan apparatus Golgi yang menonjol. Longo et al.


(16)

menjadi jaringan pembuluh. Sedangkan Creamer et al, menyatakan aktivasi dan

pembengkakkan dari sel endotel akan menyebabkan pelebaran ruang interseluler,

dilatasi pembuluh darah dermis, lesional capillary loops akan mengadopsi

fenotipe vena, termasuk membentuk bridged fenestrations, dan mengekspresikan

E-selektin, yang semakin mempermudah leukosit bermigrasi ke dalam kulit.14-16

Walaupun angiogenesis mungkin bukan merupakan kejadian utama dalam

patogenesis psoriasis, pengertian dalam jalur yang mengarah kepada

angioproliferasi mungkin berguna dalam penemuan obat-obatan antipsoriasis.

Bahkan pengobatan seperti vitamin D, siklosporin yang biasa digunakan dalam

pengobatan psoriasis menunjukkan sifat anti-angiogenik, selain sifatnya sebagai

antiproliferasi dan antiinflamasi.16,17

Sampai saat ini penulis belum dapat menemukan publikasi penelitian yang

spesifik mengenai VEGF serum berdasarkan karakteristik pasien psoriasis

vulgaris di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Dengan adanya proses

perjalanan kronis, tingkat kekambuhan yang tinggi, proses pengobatan yang

cukup sulit dan kompleksitas dari patogenesis psoriasis ini, menyebabkan topik


(17)

1.2.

Rumusan Masalah

Penelitian yang ada selama ini belum ada yang membahas mengenai kadar

VEGF serum berdasarkan karakteristik penderita psoriasis vulgaris khususnya di

Sumatera Utara. Dengan demikian masalah pada penelitian ini: bagaimanakah

profil kadar VEGF serum berdasarkan karakteristik penderita psoriasis vulgaris di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan?

1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui profil kadar VEGF serum penderita psoriasis vulgaris

berdasarkan karakteristik penderita psoriasis vulgaris di Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan khusus

a. Mengetahui karakteristik sosiodemografik penderita psoriasis

vulgaris seperti jenis kelamin, kelompok usia, suku, pendidikan,

pekerjaan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

b. Mengetahui karakteristik penyakit penderita penderita psoriasis

vulgaris seperti durasi penyakit, onset penyakit, riwayat keluarga

dengan psoriasis, BSA di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik Medan.


(18)

suku, pendidikan, pekerjaan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik Medan.

d. Mengetahui kadar VEGF berdasarkan karakteristik penyakit

penderita psoriasis vulgaris seperti durasi penyakit, onset penyakit,

riwayat keluarga dengan psoriasis, BSA di Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.4.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

a. Bagi praktisi medis:

Bertambahnya pemahaman mengenai patogenesis psoriasis

vulgaris yang akan meningkatkan strategi penatalaksanaan dalam

pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan.

b. Bagi pengembangan keilmuan:

1. Meningkatkan pengetahuan di dalam bidang biologi molekuler

dalam lingkup Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, khususnya

mengenai peran VEGF dalam psoriasis vulgaris.

2. Memberikan gambaran dan data awal untuk penelitian di masa

mendatang mengenai VEGF dan karakteristik penderita


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Psoriasis

2.1.1. Definisi dan Sejarah

Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang di mediasi

oleh sistem imunitas sel T dan dikarakteristikkan sebagai perubahan pada

pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta akumulasi dari berbagai subpopulsi

leukosit yang berbeda, dengan gambaran berupa plak yang berbatas tegas, merah,

dan menebal disertai sisik yang berwarna putih keperakan.3,4 Faktor predisposisi

yang dapat mencetuskan timbulnya penyakit ini, seperti trauma, infeksi, atau

pengobatan.18-20

Psoriasis adalah sebuah nama yang diberikan oleh seorang dermatologi

asal Vienna, Ferdinand von Hebra pada tahun 1841. Psoriasis berasal dari bahasa

Yunani “ psora” yang artinya gatal. Dahulu penyakit ini sering dikaitkan dengan

penyakit lepra dan dikenal sebagai Willan’s lepra (pada abad ke 18 akhir) oleh

dermatologi asal Inggris, Robert Wilan dan Thomas Bateman. Bentuk klinisnya

yang mirip dengan lepra membuatnya sulit dibedakan dengan lepra dan

menggolongkan penyakit ini sebagai varian dari lepra, sampai pada tahun 1841,


(20)

2.1.2. Epidemiologi

a. Ras

Prevalensi psoriasis adalah luas dan bervariasi bergantung pada

ras, dikatakan berkisar antara 0.1% sampai 11.8% atau 125 juta manusia

di seluruh dunia (National Psoriasis Foundation). Psoriasis terjadi

umumnya pada ras Kaukasia, dengan estimasi kejadian 60 kasus per

100,000 per tahun. Sedangkan pada populasi Eropa Utara dan Skandinavia

adalah sebesar 1.5-3%. Kejadiannya dikatakan umum pada ras Jepang,

namun pada ras Tiongkok, Eskimo, Afrika Barat dan Amerika Utara yang

berkulit gelap tidak terlalu umum ditemukan, sedangkan pada ras Amerika

Utara dan Amerika Selatan (warga asli) serta Aborigin Australia adalah

sangat jarang ditemukan. Sampai saat ini belum ada data yang akurat

mengenai prevalensi penyakit ini di Indonesia, namun insidensi di Asia

sendiri dikatakan cenderung rendah (0.4%).3,4,7

b. Usia

Onset dari psoriasis dapat terjadi pada segala usia, namun rata-rata

usia dikatakan berkisar 15 sampai 30 tahun. Dikatakan bahwa 75% pasien

psoriasis menderita psoriasis sebelum usia 46 tahun. Namun studi lain

mengenai psoriasis mengemukakkan adanya onset yang bersifat bimodal,

dengan puncak pada usia 16-22 tahun dan puncak lainnya adalah usia

57-60 tahun, dan onset yang lebih awal ditemukan pada wanita dibandingkan


(21)

Menurut Henseler et al, terdapat dua tipe psoriasis yang dibedakan

berdasarkan onset usia. Dimana psoriasis tipe I, adalah ketika psoriasis

muncul pada usia sebelum atau pada 40 tahun, dan tipe II, adalah ketika

psoriasis muncul setelah usia 40 tahun Angka kejadian tipe I ini dikatakan

lebih dari 75% dan memiliki gejala yang lebih berat serta kerterlibatan

genetik yang kuat. Dikatakan terdapat hubungan antara Human Leukocyte

Antigen (HLA) antigen kelas I khususnya HLA-Cw6 serta riwayat keluarga dengan onset penyakit yang dini pada psoriasis tipe I ini.3,4,7

Data prevalensi menemukan penurunan frekuensi psoriasis pada

individu yang tua. Pada studi prevalensi psoriasis di Spanyol dan Inggris,

dikatakan adanya penurunan psoriasis pada usia diatas 70 tahun. Juga

dikatakan pada suatu studi di Norwegia, rata-rata prevalensi menunjukkan

penurunan dengan peningkatan usia mendekati 49 tahun.5

c. Jenis kelamin

Psoriasis mengenai pria dan wanita secara seimbang. Namun

beberapa studi mengatakan bahwa prevalensi psoriasis sedikit lebih tinggi

pada pria dibandingkan wanita. Namun pada pasien usia muda (<20 tahun)

prevalensi adalah lebih besar pada wanita dibandingkan pria, yang

membuktikan adanya onset psoriasis yang lebih awal pada wanita

dibandingkan pria. Penemuan ini merefleksikan adanya interaksi antara


(22)

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis

Penyebab pasti dari psoriasis belum diketahui, namun dikatakan adanya

peranan dari genetik, lingkungan maupun respon imun pada penyakit ini. Banyak

penelitian yang mengungkap pentingnya peranan genetik terutama pada psoriasis

tipe I, namun peranan genetik ini dalam patogenesis psoriasis belum dimengerti

sepenuhnya. Psoriasis tipe I dihubungkan dengan HLA-Cw6, B5, B13, B57,

DRB1*0701 dan DR7, sedangkan psoriasis tipe II memiliki hubungan dengan

HLA-Cw2 and B27. Kedua tipe tersebut dibedakan berdasarkan usia dari

penderita. Kerentanan lokus Psoriasis Susceptibility Locus (PSORS) terhadap psoriasis ditemukan pada beberapa jenis kromosom: : PSORS1 pada 6p21.3,

PSORS2 pada 17q, PSORS3 pada 4q, PSORS4 pada 1q21, PSORS5 pada 3q21,

PSORS6 pada 19p, PSORS7 pada 1p, PSORS8 pada 16q, PSORS9 pada 4q31,

PSORS10 pada 18p11, PSORS11 pada 5q31-q33 dan PSORS12 pada 20q13.

Dimana PSORS1 yang berlokasi 6p21 dalam kompleks HLA merupakan yang

paling utama dan berkorelasi dengan gen HLA-Cw6.21,22

Selain faktor genetik, terdapat pengaruh dari lingkungan terhadap psoriasis

seperti cuaca, sosioekonomi, infeksi, stress mental, penggunaan dari berbagai

jenis obat (lithium, β-blockers, angiotensin-converting enzyme inhibitors, agen anti malaria, Interferon alfa (IFN-α)), kebiasaan merokok, dan trauma fisik (bedah insisi dan tattoo) sebagai pencetus kejadian psoriasis yang lebih berat.23

Sedangkan peran protektif dari sinar matahari menjelaskan rendahnya frekuensi

dari psoriasis di negara Afrika, namun hal ini masih membutuhkan penelitian


(23)

polyunsaturated fats dan rendah asam arakidonat berkontribusi dalam menurunkan prevalensi dari penyakit inflamasi seperti psoriasis.24

Berdasarkan temuan klinis, psoriasis dikarakteristikkan dengan

hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi dari keratinosit epidermis, inflitrasi

limfosit dan berbagai perubahan pembuluh darah endotel pada lapisan dermis.

Pengertian mengenai patogenesis molekular psoriasis berdasarkan atas dua

hubungan interaktif “yin/yang relationship” yaitu keseimbangan imunitas bawaan

serta didapat dan faktor-faktor yang diproduksi oleh keratinosit epidermis yang

secara langsung berefek pada sel T dan sel dendritik. 21,25

Peneliti saat ini menganggap psoriasis sebagai penyakit kulit inflamasi

yang dipengaruhi oleh sel T. Onset awal penyakit psoriasis ditandai dengan

teraktivasinya sel dendritik epidermis dan dermis yang akan memproduksi

substansi seperti Tumor Necrosis Factor (TNF-α), dan IL-23 yang akan mempromosikan perkembangan dari sel T helper (Th)1, dan sel Th17. Sel T ini

akan mensekresikan mediator-mediator yang berkontribusi dalam perubahan

pembuluh darah dan epidermis dari psoriasis. Keterlibatan limfosit T pada

patogenesis psoriasis ini digambarkan dalam tiga bentuk kejadian: aktivasi awal

dari limfosit T, migrasi limfosit T ke dalam kulit, dan berbagai peran dari sitokin

yang dilepaskan dari limfosit T. Selain limfosit T , sitokin dan kemokin juga

memiliki peranan dalam perkembangan dan persistensi lesi. Penelitian dengan

menggunakan mencit severe combined immunodefficient (SCID) pada lesi

psoriasis menemukan infiltrasi didominasi oleh Cluster Differentiation (CD)4-positive T-cells (T-helper [Th] cells) yang akan memproduksi berbagai sitokin


(24)

proinflamasi seperti interferon-gamma (IFN ɣ) dan IL-17. Sel endotelial, netrofil, sel natural killer T, molekul adhesi (ICAM-1) dikatakan juga berperan.21,22

Elder et al. menyatakan adanya hubungan yang erat antara keratinosit dan

sel pada sistem imunitas sebagai langkah awal dalam patogenesis proriasis. Pada

percobaan mencit transgenik, aktivasi ubiquitous dari faktor transkripsi Nuclear

Factor KappaB (NFkB), yang merupakan inducer poten respon inflamasi, dianggap berperan dalam perkembangan penyakit kulit yang menyerupai

psoriasis, termasuk akantosis, hiperkeratosis, parakeratosis dan dilatasi dari

pembuluh darah dermis. Dimana mekanisme ini sangat bergantung pada aktivasi

faktor NFkB di keratinosit dan sel T. Pada psoriasis lapisan dermis dipenuhi

dengan sel sitokin proinflamasi seperti IFN-ɣ, TNF dan IL-17, serta faktor-faktor pertumbuhan seperti Transforming Growth Factor Alpha (TGF- α) yang semakin memperjelas hubungan antara sel imunitas dan keratinosit dalam patogenesis

psoriasis. Pernyataan tersebut didukung dengan penemuan di awal 1979, yang

menunjukkan bahwa pengobatan yang banyak digunakan pada psoriasis seperti

analog vitamin D, retinoid, siklosporin dan sikrolimus dikatakan memiliki efek

dari anti-inflamasi dan antiproliferasi. Selain itu dikatakan juga bahwa

obat-obatan tersebut memiliki efek dari aktivitas anti-angiogenik yang kemudian

menjadikan proses angiogenesis ini penting dalam patogenesis psoriasis.19,21,26

Lebih lanjut penelitian mengenai pengobatan Efalizumab yang

mentargetkan pada interaksi antar sel T dan sel endotel menunjukkan adanya

interaksi yang kompleks diantara respon imunitas, inflamasi dan angiogenesis.


(25)

angiogenesis sendiri akan mempromosikan serta menjaga proses imunitas dan

inflamasi. Sehingga angiogenesis bukan hanya sebagai ko-faktor namun juga

inducer perkembangan dari psoriasis. Dikatakan mediator pro-angiogenik banyak ditemukan pada kulit psoriasis, seperti TNF, VEGF, hypoxia inducible Factor

(HIF), IL-8 atau angiopoetin.26

2.1.4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis Psoriasis klasik berupa plak merah berbatas tegas dengan

sisik putih pada permukaannya. Ukuran lesi dapat bervariasi dari papul pin point

sampai plak diseluruh tubuh. Psoriasis umumnya muncul secara simetrik, namun

dapat juga unilateral, umumnya pada aspek ekstensor dari ekstremitas, khususnya

siku, lutut, kulit kepala, lumobsakral bawah, bokong, dan kelamin.4

Secara klinis psoriasis muncul sebagai penyakit papuloskuamosa dengan

berbagai jenis morfologi, distribusi, keparahan, dan perjalanan klinis. Terdapat

lima tipe psoriasis yaitu jenis plak (psoriasis vulgaris), gutata, inversa (fleksural),

pustular, dan eritrodermik. Dari kelima tipe tersebut, tipe plak (psoriasis vulgaris)

adalah yang paling sering ditemukan, sekitar 80% dari pasien psoriasis. Juga

dikatakan mungkin ditemukannya kelima tipe psoriasis ini pada waktu yang

bersamaan. Durasi dari psoriasis dikatakan bervariasi dari 1 sampai 13 tahun.27

Terdapat berbagai tipe psoriasis, yaitu lokalisata ataupun menyebar, serta

dapat bervariasi keparahannya dari yang ringan sampai berat, dimana tingkat

keparahan dapat dinilai menggunakan berbagai cara, salah satunya dengan Body


(26)

nyaman untuk digunakan. Namun terdapat variabilitas yang tinggi dan biasanya

terjadi estimasi berlebihan dari luasnya lesi psoriasis yang terlibat. 27-29

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis dari psoriasis meliputi pengenalan gejala klinis dari lesi kulit

yang khas serta dikatakan lokasi dapat menjadi pengarah diagnostik pada penyakit

ini. Penanda lain, dapat ditemukan tanda Auspitz (titik-titik perdarahan ketika

sisik dihilangkan, akibat trauma pada kapiler yang berdilatasi), fenomena tetesan

lilin (penggoresan skuama dengan pinggir object glass akan menyebabkan

perubahan warna menjadi lebih putih seperti tetesan lilin, fenomena Koebner

(induksi traumatik psoriasis pada lesi yang bukan psoriasis), umumnya muncul

7-14 hari setelah luka. Fenomena Koebner ini tidak spesifik untuk psoriasis namun

dapat membantu menentukan diagnosis. Pemeriksaan penunjang lainnya yang

dapat menyokong diagnostik psoriasis vulgaris adalah pemeriksaan histopatologi.4

2.1.6. Histopatologi

Secara histologipatologi, psoriasis dikarakteristikkan dengan perubahan

yang khas pada epidermis dan dermis. Penemuan epidermis berupa

hiperploriferasi dan keratinosit yang menyebabkan penebalan epidermis dan

elongasi rete ridges yang membentuk “fingerlike” protusi ke dalam dermis. Lapisan granular epidermis yang merupakan lokasi diferensiasi keratinosit

dikatakan jelas berkurang ataupun menghilang. Adanya parakeratosis, epidermis

terinfiltrasi oleh netrofil dan limfosit T CD8 yang teraktivasi. Pada dermis, adanya


(27)

pembuluh darah pada papila dermis merupakan tanda histologi yang khas pada

lesi kulit psoriasis.26

2.1.7. Vascular Endotelial Growth Factor (VEGF)

Vascular Endotelial Growth Factor adalah suatu angiogenik poten, yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan merupakan mitogen

spesifik terhadap pembuluh darah sel endotel.30

VEGF pertama kali dideskripsikan oleh Senger et al. pada tahun 1983,

sebagai protein homodimerik 34-42 kDa yang dapat meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah di kulit. Dahulu protein ini disebut sebagai vascular permeability

factor (VPF) dan diisolasi dari cairan asitik dan kultur sel supernatan dari sel guinea-pig hepatocarcinoma. Pada tahun 1989, peneliti lainnya mengidentifikasi substansi pertumbuhan yang diberi nama VEGF, dimana VEGF ini identik dengan

VPF. Terdapat 7 anggota keluarga VEGF: A, B, C,

VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F, dan Placenta Growth Factor (PIGF), yang memiliki

kesamaan struktur (8 residu sistein pada domain homolog VEGF).30

VEGF ini dapat dihasilkan oleh sel endotel, fibroblas, sel otot polos, dan

makrofag. Anggota VEGF memiliki berbagai sifat fisiologi dan biologik dan

bekerja melalaui reseptor tirosin kinase yang spesifik Vascular Endothelial

Growth Factor Reseptor (VEGFR-1, VEGFR-2 dan VEGFR-3).30

2.1.8. Peran VEGF dalam angiogenesis dan hubungannya dengan psoriasis

Angiogenesis adalah pertumbuhan pembuluh darah baru dari pembuluh


(28)

kondisi patologi terhadap respon langsung akan kebutuhan jaringan, seperti

inflamasi kronis, fibrosis, dan pertumbuhan tumor. Terdapat beberapa inducer

angiogenesis yang telah teridentifikasi, seperti keluarga Fibroblast Growth Factor

(FGF), VEGF, angiogenin, TGF-α, TGF-β, platelet-derived growth factor (PDGF), TNF-α, hepatocyte growth factor, GM-CSF, interleukin, kemokin, dan angiopoietin 1 dan 2. Dikatakan VEGF adalah regulator paling poten untuk

angiogenesis, dan sering ditemukannya ekspresi VEGF pada inflamasi kronis, dan

keganasan.31

Dikatakan bahwa angiogenesis dan inflamasi kronis memiliki hubungan

yang erat, dimana angiogenesis adalah suatu pertanda dari sebagian besar

penyakit inflamasi, termasuk psoriasis dan artritis rheumatoid. Pembuluh darah

angiogenik pada lokasi inflamasi membesar dan hiperpermeabel untuk menjaga

aliran darah dan adanya peningkatan kebutuhan metabolisme dari jaringan.

Beberapa faktor proangiogenik termasuk di dalamnya adalah VEGF dan beberapa

anggota kemokin, yang dikatakan meningkat pada kejadian inflamasi.31

Karakteristik yang ditunjukkan pada penyakit psoriasis semakin

mendukung peranan dari angiogenesis, baik dalam patogenesis penyakit maupun

perkembangan dari penyakit itu sendiri. Dimana terjadi perubahan pada pembuluh

darah di dermis dari lesi psoriasis berupa dilatasi, tortuousity dari kapiler dan

pembentukan HEV, dilatasi dari kapiler ini akan menutrisi kulit yang


(29)

2.2Kerangka Teori Sel Langerhans Sel T

Proliferasi

keratinosit

Pe

↑an angiogenesis

(mitosis dan

survival

sel

pembuluh darah

endotel)

Abnormalisasi

struktur pembuluh

darah

dermis(dilatasi,

peningkatan

permeabilitas)

Psoriasis vulgaris

GENETIK

LINGKUNGAN

IMUNOLOGI

Produksi sitokin

pro-inflamasi (IFN-

γ,

TNF-

α)

Pe

↑an kadar IL

-6,

KGF, TGF-

α

Pe

↑an Komplemen

Pe

↓an IL

-4, IL-10

Pe

↑an ICAM

-1,

Molekul adhesi

Aktivasi NF-kB

Produksi sitokin

pro-angiogenik


(30)

2.3Kerangka Konsep

Karakteristik penderita Psoriasis Vulgaris

• Sosiodemografik

• Penyakit


(31)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif rancangan potong lintang

(cross sectional)

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

1. Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014,

bertempat di Poliklinik Divisi Alergi Dep/SMF IK RSUP. H. Adam Malik

Medan.

2. Pengambilan dan pemeriksaan sampel dilakukan di SMF Patologi Klinik

RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi target

Pasien-pasien yang menderita psoriasis vulgaris.

3.3.2 Populasi terjangkau

Pasien-pasien penderita psoriasis vulgaris yang berobat ke Poliklinik

Divisi Alergi Dep/SMF IK RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Oktober


(32)

3.3.3 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi :

1) Pasien yang telah didiagnosis dengan psoriasis vulgaris

2) Penderita psoriasis vulgaris yang telah menandatangani informed consent

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi :

1) Penderita psoriasis vulgaris yang sedang hamil atau menyusui

2) Penderita psoriasis vulgaris yang sedang mengkonsumsi

obat-obatan yang bersifat imunosupresi dalam kurun waktu 4 minggu

terakhir seperti : retinoid, siklosporin, kortikosteroid, ataupun

obat-obatan lainnya seperti obat antiinflamasi dan antihistamin.

3) Penderita psoriasis vulgaris yang menggunakan obat kortikosteroid

atau imunomodulator topikal dalam kurun waktu 2 minggu terakhir

4) Penderita psoriasis vulgaris yang menderita penyakit fibrosis,


(33)

3.4 Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Pada penelitian ini akan digunakan pengambilan sampel secara total

sampling.

3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Pencatatan Data Dasar

Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik Divisi Alergi

Dep/SMF IK RSUP. H. Adam Malik Medan. Pencatatan data dasar meliputi

identitas pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologis yang

meliputi fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz. Kemudian diagnosis klinis

ditegakkan oleh peneliti bersama dengan pembimbing di Poliklinik Divisi Alergi

Dep/SMF IK RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.5.2 Pengumpulan dan Penyimpanan Sampel Darah

Sampel darah akan diambil oleh petugas di Instalasi Patologi Klinik

RSUP. H. Adam Malik Medan. Cara pengambilan darah adalah dari vena mediana

cubiti dengan menggunakan alat suntik steril ukuran 10 cc sesuai dengan prosedur

phlebotomi yang telah baku. Darah diambil sebanyak sekitar 6 cc. Setelah sampel darah diambil, sampel tersebut segera diberi kode sesuai urutannya, dan

dipersiapkan untuk diproses menjadi serum. Setelah sampel mengalami

penggumpalan, sampel kemudian akan disentrifugasi dengan kekuatan 2.500 rpm

selama 15 menit, dan supernatan dipindahkan ke dalam tabung aliquot dan


(34)

3.5.3 Pengolahan Sampel Darah

Serum yang tersimpan akan dicairkan pada suhu ruangan sekitar lima

menit dan akan dilakukan pemeriksaan assay VEGF. Pemeriksaan tersebut adalah

suatu pemeriksaan kuantitatif dengan menggunakan teknik Sandwich Enzyme

Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Sebuah antibodi monoklonal spesifik terhadap VEGF telah dilekatkan pada sumur-sumur dalam microplate. Standar

dan sampel dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang tersedia dengan

menggunakan pipet mikro dan keberadaan VEGF akan diikat dengan antibodi

imobilisasi. Setelah dilakukan teknik pencucian untuk membuang

substrat-substrat yang tidak berikatan, sebuah antibodi poliklonal VEGF yang berikatan

dengan enzim ditambahkan pada sumur-sumur tersebut. Setelah dilakukan

pencucian kembali, untuk membuang reagen antibodi-enzim yang tidak berikatan,

sebuah larutan substrat ditambahkan pada sumur-sumur sehingga menimbulkan

reaksi yang mengeluarkan warna. Warna yang muncul akan sesuai dengan

proporsi keberadaan VEGF yang terikat pada tahap awal. Perkembangan warna

dihentikan dan intensitas warna tersebut diukur dengan menggunakan alat


(35)

a. Langkah-langkah Pengolahan Sampel Darah:

1) Persiapan Buffer, Biotin, Streptaviridin, Standar VEGF-A

Konsentrat buffer sebaiknya berada dalam temperatur ruangan dan

sebaiknya dilarutkan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan. Jika

terbentuk kristal di dalam konsentrat buffer, dapat dihangatkan sedikit

hingga terlarut secara menyeluruh.

Buffer pencuci

Dituangkan 50 ml konsentrat buffer pencuci (20x) ke dalam tabung

1000 ml. Dilarutkan hingga mencapai volume 1000 ml dengan air

de-ionisasi atau akuades, dicampurkan perlahan untuk menghindari

pembentukan busa. Kemudian dipindahkan ke dalam botol pencuci

dan disimpan pada temperatur 2o hingga 25oC. Larutan buffer pencuci

ini (1x) stabil selama 30 hari.

Buffer penguji

Dituangkan semua isi (5 ml) kosentrat buffer penguji (20x) ke dalam

tabung 100 ml, dan dilarutkan hingga mencapai volume 100 ml dengan

akuades. Kemudian dicampurkan perlahan untuk menghindari

pembentukan busa dan disimpan pada temperatur 2o hingga 8oC.


(36)

Konjugat Biotin

Larutan konjugat Biotin harus digunakan dalam waktu 30 menit

setelah dilakukan pengenceran. Dibuatlah larutan 1:100 dari konsentrat

konjugat Biotin dengan Buffer penguji (1x) dalam tabung plastik

bersih. (0,06 ml konsentrat ditambahkan 5,94 ml buffer penguji atau

0,12 ml konsentrat ditambahkan 11,88 ml buffer penguji).

Streptavidin-HRP

Larutan Streptavidin HRP harus digunakan dalam waktu 30 menit

setelah dilakukan pengenceran. Kemudian dibuat larutan 1:100 dari

konsentrat Streptavidin-HRP dengan Buffer penguji (1x) dalam tabung

plastik bersih. (0,06 ml konsentrat ditambahkan 5,94 ml buffer penguji

atau 0,12 ml konsentrat ditambahkan 11,88 ml buffer penguji).

Standar VEGF-A manusia

Rekonstitusi VEGF-A manusia standar dengan menambahkan

akuades. Volume rekonstitusi ditentukan dari label tabung standar.

Digoyangkan atau dicampurkan perlahan untuk memastikan proses

pelarutan yang homogen (konsentrasi standar rekonstitusi = 2 ng/ml).

Rekonstitusikan standar selama 30 menit, dan dicampurkan dengan

baik sebelum melakukan pelarutan berikutnya. Setelah digunakan,

larutan standar yang tersisa tidak dapat disimpan dan harus dibuang.


(37)

mikro atau secara alternatif pada tabung lain. Kemudian diambil

dengan menggunakan pipet sejumlah 225µl pengencer sampel pada setiap tabung. Setelah itu ambil sebanyak 225µl standar ter-rekonstitusi (2ng/ml) dengan menggunakan pipet ke dalam tabung

pertama, berikan tanda S1 dan kemudian dicampurkan (konsentrasi

1ng/ml), kemudian dengan pipet sejumlah 225µl larutan S1 ke dalam tabung kedua, berikan label S2 dan kemudian dicampurkan.

Selanjutnya dilakukan dilusi serial lima kali lagi sehingga dapat

membentuk kurva standar.Pengencer standar digunakan sebagai


(38)

2) Prosedur pengujian:

a) Ditentukan jumlah sumur yang akan dibutuhkan untuk melakukan

pengujian (jumlah sampel ditambahkan dengan blanko dan standar.

Setiap sampel, standar, blanko, dan sampel kontrol sebaiknya diuji

sebagai duplo. Dilepaskan sumur-sumur yang tidak dipakai dari

pemegang dan simpan dalam kantong aluminium dengan

pengering yang telah disediakan pada temperatur 2o-8o dengan

pengemasan ketat.

b) Sumur mikro dicuci dua kali dengan sekitar 400µl, buffer pencuci pada setiap sumur dengan aspirasi berulang di antara pencucian.

Didiamkan buffer pencuci selama sekitar 10-15 detik sebelum

aspirasi. Perhatikan ujung pipet agar tidak menggores permukaan

sumur mikro. Dikosongkan sumur dan ketukkan perlahan sumur

mikro pada handuk kertas/ kertas penghisap untuk menghilangkan

buffer pencuci yang berlebihan. Digunakan sumur mikro segera

setelah pencucian. Cara lain: sumur mikro dapat diletakkan terbalik

pada handuk kertas/tissue penghisap tidak lebih dari 15 menit.

Sumur mikro tidak boleh mengalami pengeringan.

c) Pengenceran standar:

Ditambahkan 100 µl pengencer sampel duplo terhadap semua sumur standar. Pipetkan 100 µl larutan standar (2000 pg/ml) duplo pada sumur A1 dan A2. Dicampurkan kandungan sumur A1 dan


(39)

= 1000 pg/ml), dan pindahkan 100µl ke dalam tabung B1 dan B2. Dilakukan proses pengenceran serial sebanyak lima kali,

membentuk dua baris standar VEGF-A standar dengan konsentrasi

1000 hingga 15,6 pg/ml.

d) Ditambahkan 100 µl pengencer sampel duplo pada sumur kosong (blanko).

e) Ditambahkan 50 µl pengencer sampel pada sumur sampel.

f) Ditambahkan 50 µl sampel-sampel secara duplo pada sumur sampel.

g) Ditutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada temperatur

ruangan 18-25oC selama dua jam pada pengaduk plat mikro

dengan 100 rpm.

h) Dipersiapkan konjugat biotin.

i) Dilepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro sebanyak enam

kali seperti pada tahap kedua dari protokol pengujian.

j) Ditambahkan 100 µl konjugat biotin.

k) Ditutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada temperatur

ruangan 18-25oC selama satu jam pada pengaduk plat mikro

dengan 100 rpm.

l) Dipersiapkan Streptavidin-HRP.

m) Dilepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro sebanyak enam


(40)

n) Ditambahkan 100 µl Streptavidin-HRP yang telah diencerkan pada semua sumur, termasuk sumur blanko.

o) Ditutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada temperatur

ruangan 18-25oC selama satu jam pada pengaduk plat mikro

dengan 100 rpm.

p) Dilepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro sebanyak enam

kali seperti pada tahap kedua dari protokol pengujian.

q) Dimasukkan dengan menggunakan pipet sebanyak 100 µl larutan substrat TMB pada semua sumur.

r) Ditutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada temperatur

ruangan 18-25oC selama 30 menit. Dihindari paparan terhadap

cahaya.

s) Pengembangan warna pada plat sebaiknya terus diperhatikan dan

reaksi substrat distop sebelum tidak dapat diukur lagi. Penentuan

waktu yang ideal untuk setiap pengembangan warna harus

dilakukan secara individual terhadap setiap pengujian.

t) Direkomendasikan untuk menambahkan larutan stop ketika standar

tertinggi telah berwarna biru gelap. Cara lain dengan menggunakan

reader ELISA pada 620 nm. Reaksi substrat sebaiknya distop

ketika standar 1 mencapai OD 0,9 – 0,95.

u) Stop reaksi enzimatik dengan memberikan 100µl larutan stop secara cepat pada setiap sumur. Hasil harus dibaca segera setelah


(41)

larutan stop diberikan atau dalam satu jam jika disimpan pada suhu

2-8oC dalam keadaan gelap.

v) Pembacaan absorbansi dilakukan di setiap sumur mikro pada

spektrofotometer dengan menggunakan 450 nm sebagai gelombang

cahaya primer (dapat juga menggunakan 610 - 650nm).

Alat Ukur : Pengukuran dilakukan dengan menggunakan ELISA analyser

Chemwell 2910 (Awareness Technology, Inc.)

Hasil Ukur : Hasil ukur akan didapat dalam satuan pg/ml.

3) Prinsip Pengujian :

Coating antibody anti-VEGF-A

manusia ditempelkan pada sumur-sumur mikro.

Keberadaan VEGF-A manusia pada sampel atau standar akan berikatan dengan antibodi yang telah ditempelkan pada sumur-sumur mikro.


(42)

Setelah dilakukan inkubasi, komponen-komponen biologis dibuang dengan melakukan tahap pencucian. Antibodi terhadap VEGF-A manusia yang telah dikonjugasikan dengan biotin ditambahkan dan akan berikatan dengan VEGF-A yang telah ditangkap oleh antibodi yang telah ditambahkan pertama kali.

Setelah dilakukan inkubasi, antibodi anti-VEGF-A manusia yang terkonjugasi dengan biotin yang tidak berikatan akan dibuang dengan tahap pencucian. Streptavidin-HRP ditambahkan dan berikatan pada antibodi anti-VEGF-A manusia yang terkonjugasi dengan biotin.

Setelah dilakukan inkubasi, streptavidin-HRP yang tidak berikatan dibuang dengan tahap pencucian, kemudian larutan substrat reaktif terhadap HRP ditambahkan pada sumur-sumur


(43)

pemeriksaan.

Reaksi antara substrat reaktif yang berikatan dengan HRP akan menghasilkan produk berwarna berhubungan dengan proporsinya terhadap keberadaan VEGF-A manusia yang terkandung dalam sampel atau standar. Reaksi ini dihentikan dengan menambahkan larutan bersifat asam. Kandungan VEGF-A didapat dengan mengukur absorbansi pada 450 nm. Kurva standar dibuat dari 7 standar VEGF-A dengan beberapa pengenceran, sehingga kadar VEGF-A sampel dapat ditentukan.

3.6Definisi Operasional

1. Psoriasis vulgaris

Definisi : Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kulit kronis

yang ditandai dengan adanya gambaran berupa plak yang

berbatas tegas, merah, dan menebal disertai sisik yang


(44)

Diagnosis : Diagnosis psoriasis ditegakkan bila dijumpai gejala klinis

yaitu adanya plak eritematosa yang ditutupi skuama tebal dan

berwarna putih keperakan, dibantu dengan pemeriksaan

tambahan berupa fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz

yang positif.

• Fenomena tetesan lilin : Adanya gambaran perubahan warna menjadi lebih putih seperti tetesan lilin pada lesi

yamg digoreskan dengan pinggir gelas obyek

• Tanda Auspitz : Adanya gambaran bintik-bintik perdarahan pada lesi, ketika dilakukan penggoresan

dengan menggunakan gelas obyek

2. VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor)

Definisi : VEGF adalah suatu faktor pertumbuhan dengan aktivitas

mitogenik spesifik terhadap endotel, berbentuk protein

terglikosilasi berbentuk dimer dengan ikatan disulfida,

berukuran 34 – 46 kD. Terdapat beberapa jenis dari VEGF,

dimana VEGF-A merupakan jenis dari VEGF yang akan

diperiksa.

Cara Ukur : Kadar VEGF akan diukur dengan cara Sandwich ELISA

(Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dengan perangkat


(45)

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan ELISA

analyser Chemwell 2910 (Awareness Technology, Inc.).

3. Hamil

Merupakan keadaan dimana seorang wanita membawa embrio atau fetus

di dalam tubuhnya. Diagnosis kehamilan dilakukan oleh dokter ahli

kandungan dengan adanya pemeriksaan test pack yang positif pada urin.

4. Menyusui

Proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu ibu

(ASI) dari payudara ibu.

5. Obat imunosupresif

Obat-obatan yang memiliki sifat penekanan terhadap respon alami sistem

kekebalan tubuh.

6. Retinoid

Obat yang secara kimia berikatan dengan vitamin A, dan bekerja dengan

mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Retinoid juga memiliki

aksi imunomodulator, dan dalam sediaan oral dapat digunakan untuk


(46)

7. Siklosporin

Peptida siklik dari ekstrak jamur tanah yang selektif menghambat fungsi

sel T, digunakan sebagai imunosupresan untuk mencegah penolakan pada

penerima transplantasi organ dan untuk mengobati psoriasis berat serta

arthritis yang parah.

8. Kortikosteroid

Obat yang memiliki efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan

berbagai penyakit seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai

kasus inflamasi lainnya. Termasuk di dalamnya, hidrokortison,

metilprednison, prednison, dan deksametason (oral ataupun topikal).

9. Antiinflamasi

Obat-obatan yang mengurangi tanda-tanda dan gejala peradangan.

Termasuk didalamnya, aspirin, celecoxib, meloxicam, diclofenac,

ibuprofen, piroxicam, ketorolac, asam mefenamat.

10.Antihistamin

Obat-obatan yang menghambat efek histamin, suatu kimiawi yang

dilepaskan dalam tubuh selama reaksi alergi. Termasuk di dalamnya,

golongan antagonis reseptor-H1: cetirizin, klorfeniramin, loratadin,


(47)

11.Obat Imunomodulator

Pengobatan penyakit dengan merangsang, meningkatkan, atau menekan

respon imun. Immunoterapi yang dirancang untuk memperkuat respon

imun diklasifikasikan sebagai aktivasi immunoterapi sedangkan

immunoterapi yang mengurangi atau menekan diklasifikasikan sebagai

reduksi immunoterapi.

12.Penyakit fibrosis

Fibrosis adalah pembentukan jaringan ikat fibrosa yang berlebihan dalam

suatu organ atau jaringan baik dalam proses reparatif atau reaktif.

Termasuk di dalamnya, keloid, skar, skleroderma. Penyakit fibrosis

ditegakkan oleh dokter spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

13.Penyakit inflamasi kronis

Inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga

bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera

jaringan, dan penyembuhan. Termasuk di dalamnya adalah dermatitis

kontak alergi, dermatitis kontak iritan, dermatitis atopi. Penyakit inflamasi

kronis ditegakkan oleh dokter spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

14.Penyakit keganasan

Penyakit yang ditandai dengan suatu kondisi di mana sel telah kehilangan


(48)

pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali. Termasuk di

dalamnya adalah tumor-tumor ganas. Penyakit keganasan didiagnosis oleh

dokter ahli onkologi.

15.BSA (Body Surface Area)

Pengukuran BSA menggunakan telapak tangan pasien (telapak tangan, jari

dan ibu jari). Dimana telapak tangan digunakan untuk mengukur seberapa

banyak kulit yang terlibat psoriasis, satu telapak tangan menggambarkan

1% dari area permukaan tubuh. Psoriasis ringan: melibatkan sampai

dengan 3% permukaan tubuh, sedang : melibatkan 3 sampai 10%


(49)

3.7 Kerangka Operasional

Karakteristik psoriasis

vulgaris:

sosiodemografik dan penyakit

Kriteria eksklusi Pasien

Psoriasis vulgaris

Sampel Kriteria inklusi


(50)

3.8 Pengolahan Data

Data yang didapat akan diolah dan selanjutnya dinyatakan dalam tabel

distribusi frekuensi. Profil kadar VEGF serum serta karakteristik penderita dan

penyakit psoriasis vulgaris ditampilkan dengan menggunakan diagram batang dan

kue. Kadar VEGF serum akan dideskripsikan sebagai Mean, Standar Deviasi,

Minimum-Maksimum. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak statistik.

3.9 Etika Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan sampel biologis, yang

selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan

kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari Komisi Etika Penelitian Fakultas


(51)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan pada Oktober 2013 sampai dengan Juni 2014. Dalam

kurun waktu tersebut didapatkan sebanyak dua puluh lima penderita psoriasis

vulgaris yang didiagnosis melalui pemeriksaan klinis.

4.1Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan

karakteristik sosiodemografik yaitu jenis kelamin, kelompok umur, suku bangsa,

pendidikan, pekerjaan. Sedangkan karakteristik penyakit terdiri dari durasi


(52)

4.1.1 Karakteristik Sosiodemografik

Tabel 4.1. Karakteristik sosiodemografik penderita psoriasis vulgaris (n=25) Karakteristik sosiodemografik

Jenis Kelamin n %

Pria 17 68.0

Wanita 8 32.0

Kelompok Usia n %

< 40 14 56.0

40-60 8 32.0

> 60 3 12.0

Mean (SD), Min-Max 42.8 (14.8), 20 - 88

Suku n %

Batak 12 48.0

Jawa 7 28.0

Lainnya 6 24.0

Pendidikan n %

SD 1 4.0

SMP 2 8.0

SMA 5 20.0

Perguruan Tinggi 17 68.0

Pekerjaan n %

Dokter umum 2 8.0

Pegawai swasta 2 8.0

PNS 5 20.0

Tidak bekerja 8 32.0

Wiraswasta 8 32.0

a. Jenis Kelamin

Setelah dilakukan pendataan dan memasukkan data tersebut ke dalam

tabel, didapatkan sampel berjenis kelamin pria lebih banyak dibandingkan dengan

sampel wanita, yaitu sampel pria sebanyak tujuh belas orang (68%) dan wanita


(53)

Diagram 4.1. Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin

Secara umum diyakini bahwa kejadian psoriasis secara umum sama baik

pada pria dan wanita.32 Namun, studi sebelumnya yang dilakukan di Taiwan

meyakini bahwa psoriasis lebih sedikit ditemukan pada wanita.33-35 Studi yang

dilakukan oleh Chen et al menunjukkan dari 5864 pasien psoriasis yang berobat

ke klinik mereka, 3243 adalah pria dan 2621 wanita. Rata-rata angka prevalensi

satu tahun adalah 0.19%; 0.23% untuk pria dan 0.16% wanita. Terdapat

perbedaan jenis kelamin yang signifikan pada prevalensi psoriasis di Taiwan.

Prevalensi pasien usia dibawah 30 tahun adalah sama pada kedua jenis kelamin,

namun meningkat lebih cepat pada pasien pria usia 30 tahun atau lebih.35

Studi lain yang dilakukan oleh Sinniah et al, bahwa dari total 5607 pasien

yang berobat ke Rumah Sakit Tengku Ampuan Rahimah, Klang, Malaysia dari

Januari 2003 sampai dengan Desember 2005, terdapat 9.5% pasien dengan

Jenis Kelamin

P W


(54)

psoriasis. Dimana jumlah pasien pria sebesar 11.6% (316/2613) dan wanita 7.2%

(215/2994).36

Studi lain melaporkan prevalensi yang sedikit lebih tinggi pada pasien

psoriasis anak-anak wanita dibandingkan pria di Swedia (0.5% vs 0.1%) dan di

Jerman (0.76% vs 0.66%); di Amerika Serikat (2.5% vs 1.9%).37-39 Sedangkan

psoriasis ditemukan lebih sering pada pria dibandingkan wanita pada populasi di

Denmark (4.2% vs 3.3.%) dan di Australia, dimana dilaporkan pria dua kali lebih

banyak dibandingkan wanita (8.9% vs 4.5%), dan pada individu semua usia di

Swedia (2.3% vs 1.5%) dan Tiongkok (0.17% vs 0.12%).40-42

Adam melaporkan terdapat lebih dari dua kali jumlah pria (145/203)

dibandingkan wanita (58/203) dengan psoriasis, yang bertolak belakang dengan

studi lainnya yang menyatakan bahwa angka kejadian psoriasis adalah sama pada

pria maupun wanita.43-47 Belum ditemukan adanya kata sepakat apakah prevalensi

psoriasis berbeda pada jenis kelamin pria dan wanita. Dikatakan tidak

ditemukannya perbedaaan frekuensi antar jenis kelamin pada anak-anak dengan

psoriasis di Taiwan, pada orang dewasa di Amerika Serikat dan Norwegia dan

juga pada segala kombinasi usia para penderita psoriasis di Amerika Serikat,

Inggris, Norwegia, Spanyol, Skotland, dan Taiwan.47,48

b. Usia

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap usia diperoleh bahwa mean

adalah 40.84 dengan nilai minimal 18 tahun dan maksimal 67 tahun.

Terhadap sampel dilakukan pengelompokkan berdasarkan usia. Kejadian


(55)

kurang dari 40 tahun sebanyak empat belas orang (56%). Diikuti kelompok usia

40-60 tahun sebanyak delapan orang (32%), dan >60 tahun sebanyak tiga orang

(12%).

Diagram 4.2. Frekuensi Berdasarkan Grup Usia

Psoriasis dapat terjadi pada segala usia, namun dikatakan insidensinya

tidak umum pada anak-anak (0.71%) dan mayoritas dari kasus terjadi sebelum

usia 35 tahun.49 Pada penelitian kami hal serupa terlihat, dimana insidensi

terbanyak pada kelompok usia dibawah 40 tahun. Sedangkan pada populasi

psoriasis di Arab Saudi yang dilakukan oleh Fortune at al, dilaporkan insidensi

psoriasis berat pada usia 22 sampai dengan 26 tahun.50 Kundakci et al melaporkan

kasus pada anak-anak yang jarang ditemukan (<10 tahun; 5.7%).51 14

8

3

<40 40-60 >60

Grup Usia

Frekuensi


(56)

Studi pertama mengenai insidensi psoriasis pertama kali dilakukan di

Olmsted County, Minnesota, pada tahun 1980. Dikatakan bahwa insidensi

psoriasis meningkat bersamaan dengan bertambahnya usia pada pria, dimana

insidensi tertinggi untuk wanita terjadi pada kelompok usia 60-69 tahun.52 Di

Norwegia, tingkat insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pria usia 24-27

tahun (300/100.000) dan pada kelompok wanita usia 16-19 tahun (290/100.000).53

Suatu studi yang dilakukan di unit Dermatologi Rumah Sakit Universitas

Treichville, menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien adalah 39.6 tahun dengan

minimal 4 tahun dan maksimal 77 tahun. Terdapat 3 anak-anak (5.3%) dan 53

dewasa (94.7%). Dimana pada kelompok dewasa, 38 pasien (67%) berada pada

usia antara 30 sampai 50 tahun.54 Sinniah et al melaporkan insidensi tertinggi

pada grup pasien usia 40-60 tahun (17.2%).36

Studi lainnya, mendemonstrasikan penurunan prevalensi dari psoriasis

pada grup usia yang lebih lanjut terutama pada usia diatas 70 tahun.5,47,48

Penurunan prevalensi psoriasis dikatakan sebesar 28% pada pasien usia 70

sampai 79 tahun, dan 60% pada usia 80 sampai 89 tahun. Penemuan ini

menunjukkan bahwa psoriasis dapat mengalami remisisi pada pasien lansia atau

pasien tidak cukup peduli untuk mencari pengobatan medis. Studi di Spanyol juga

mendemonstrasikan penurunan prevalensi dari psoriasis pada individu yang lebih

tua, khususnya diatas usia 70 tahun.48

Namun studi-studi tersebut bertolak belakang dengan studi yang dilakukan

pada populasi di Taiwan. Chang et al menunjukan bahwa rata-rata prevalensi


(57)

lanjut. Prevalensi psoriasis meningkat lebih dari 50% pada pasien usia 70 tahun

dan usia lanjut, dibandingkan dengan pasien grup usia 60-69 tahun. Hal ini

mungkin terjadi karena adanya sistem asuransi kesehatan yang baik pada para

lansia asal Taiwan.55

Diperlukan adanya sistem penanganan yang lebih jelas agar dapat

menyimpulkan prevalensi psoriasis yang tepat. Studi sebelumnya yang dilakukan

pada data asuransi kesehatan di Inggris diambil berdasarkan pasien psoriasis yang

dirawat oleh dokter umum. Sedangkan studi yang dilakukan di Taiwan

menunjukan bahwa pasien dapat berobat ke spesialis langsung tanpa konsultasi

terlebih dahulu dengan dokter umum. Hal-hal seperti itu dapat menyebabkan

estimasi berlebih prevalensi suatu studi.55

c. Suku

Berdasarkan suku, diperoleh Suku terbanyak adalah suku Batak, dengan

frekuensi sebesar dua belas orang (48%), diikuti oleh suku Jawa tujuh orang

(28%), suku lainnya sebesar enam orang yang terdiri dari suku Aceh, Minang,


(58)

Diagram 4.3. Frekuensi Berdasarkan Suku

Studi yang dilakukan diantara Indian di Amerika Selatan menyimpulkan

bahwa tidak ada satupun kasus psoriasis yang dilaporkan diantara populasi studi,

yang mengindikasikan baik genetik maupun lingkungan memiliki peranan dalam

kejadian psoriasis. Psoriasis dikatakan lebih jarang ditemukan pada negara Asia

dengan prevalensi di Tiongkok sebesar 0.4%, di Jepang 0.3% dan India 0.8%.56

Frekuensi di Afrika, Afro Amerika dan Asia adalah 0.4% sampai 0.7% yang

menunjukkan adanya variasi geografik antar ras dalam distribusi penyakit.57

Suatu studi yang dilakukan di Singapura mengestimasikan bahwa 40,000 orang

dengan psoriasis dan 10% diantaranya dengan inflamasi pada sendi yang dikenal

dengan psoriasis arthritis.58

Limitasi pada studi kami adalah dikarenakan ini adalah studi yang

dilakukan di Sumatera Utara, perbedaan ras tidak muncul pada studi ini. Hanya

saja tercatat suku yang terlibat pada studi adalah di dominasi oleh suku Batak. 48%

28% 24%

Suku

Batak Jawa Lainnya


(59)

d. Pendidikan

Berdasarkan pendidikan, diperoleh bahwa rata-rata sampel memiliki

pendidikan Perguruan Tinggi yaitu sebanyak tujuh belas orang (68%), SMA

sebanyak lima orang (20%), SMP sebanyak dua orang (8%), SD satu orang (4%).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata sampel pada penelitian ini

memiliki segi intelektual yang baik. Hal ini mungkin disebabkan dari sedikitnya

prevalensi penderita pada anak-anak.

Diagram 4.4. Frekuensi Berdasarkan Pendidikan

e. Pekerjaan

Berdasarkan pekerjaan, diperoleh bahwa sampel bekerja sebagai wiraswasta

sebanyak delapan orang (32%), Dokter umum dua orang (8%), PNS lima orang

(20%), pegawai swasta dua orang (8%), dan yang tidak bekerja sebanyak delapan

orang (32%)

SD SMP SMA Perguruan

Tinggi 1

2 5

17

Pendidikan


(60)

Diagram 4.5. Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan

4.1.2 Karakteristik Penyakit

Tabel 4.2 Karakteristik penyakit penderita psoriasis vulgaris (n=25) Karakteristik penyakit

Durasi Penyakit (tahun) n %

<5 17 68.0

5 – 10 3 12.0

10 - 15 2 8.0

>15 3 12.0

Mean (SD), Min-Max 6.59 (5.64), 0.67- 20.00

Onset Penyakit (tahun) n %

15 - 30 11 44.0

30 - 45 8 32.0

45 - 60 6 24.0

Mean (SD), Min-Max 34.28 (12.48), 15-57

Riwayat keluarga dengan psoriasis

Ada 1 4.0

Tidak ada 24 96.0

BSA (%) n %

< 3 2 8.0

3 – 10 11 44.0

> 10 12 48.0

Mean (SD), Min-Max 10.60 (6.70), 2-24

Dokter umum

Pegawai swasta

PNS Tidak

bekerja

Wiraswasta 2

2

5

8 8

Pekerjaan

Frekuensi


(61)

a. Durasi Penyakit

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap durasi penyakit, diperoleh

bahwa mean adalah 6.59 dengan nilai minimal 0.67 dan maksimal 20.00.

Kejadian psoriasis vulgaris memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada

kelompok durasi <5 tahun dengan nilai sebesar tujuh belas orang (68%). Diikuti

kelompok durasi penyakit 5-10 tahun dan >15 tahun sebesar tiga orang (12%),

dan 10-15 tahun sebesar dua orang (8%).

Diagram 4.6. Frekuensi Berdasarkan Durasi Penyakit

Penelitian yang dilakukan oleh Lin et al melaporkan dari 480 pasien, 175

pasien sudah menderita penyakit psoriasis lebih dari 10 tahun (38.6%), diikuti

durasi penyakit 1-5 tahun yaitu sebanyak 124 pasien (27.4%), 6-10 tahun

sebanyak 121 pasien (26.7%), dan durasi <1 tahun hanya 33 pasien (7.3%).59

<5 5 - 10 10-15 >15

17

3

2 3

Durasi Penyakit

Frekuensi


(62)

b. Onset Penyakit

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap onset penyakit, diperoleh bahwa

mean adalah 34.28 dengan nilai minimal 15 tahun dan maksimal 57 tahun.

Berdasarkan onset penyakit, kelompok onset 15-30 tahun merupakan yang

terbanyak dengan frekuensi sebesar sebelas orang (44%). Diikuti dengan

kelompok onset 35-40 tahun (32%), dan 45-60 (24%).

Diagram 4.7. Frekuensi Berdasarkan Onset Penyakit

Data dari kepustakaan menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien dengan

psoriasis bervariasi dari 10-30 tahun, namun penyakit dapat dimulai pada berbagai

onset usia termasuk saat balita.48,60 Farber dan Nall menemukan bahwa rata-rata

onset usia psoriasis adalah 27.8 tahun dan 10% terjadi sebelum usia 10 tahun. Ia

juga melaporkan bahwa pasien wanita memiliki onset lebih awal dibandingkan

15-30 30-45 45-60

11

8

6

Onset Penyakit


(63)

pria. Penemuan ini menunjukkan adanya interaksi antara jenis kelamin dengan

perkembangan fenotipe pasien psoriasis. Psoriasis dikatakan sebagai penyakit

autoimun yang dimediasi sel T helper 1(Th1) yang menjelaskan kerentanan

perkembangan fenotipe psoriasis pada pasien wanita di usia lebih dini. Observasi

ini juga serupa pada penyakit autoimun lainnya yang dimediasi Th1 seperti lupus

eritematosus, sklerosis multipel, dan rheumatoid artritis, yang mendemonstrasikan

predisposisinya pada pasien wanita.46

Pada studi kami tercatat bahwa terdapat kejadian psoriasis baik pada pria

dan wanita di onset usia yang awal. Hal ini bertolak belakang dengan studi

lainnya dimana wanita dilaporkan memilki onset usia awal untuk terjadinya

psoriasis dibandingkan pria.3,4,7

Penelitian yang dilakukan Neimann et al menyatakan bahwa onset

psoriasis memiliki puncak usia yang bimodal. Mereka menyatakan bahwa

distribusi bimodal pada onset psoriasis menunjukkan adanya dua bentuk

presentasi klinis psoriasis, yaitu tipe 1 dan tipe 2.5 Tipe 1 dikatakan terjadi pada

pasien sebelum usia 40 tahun dan merupakan 75% dari seluruh kasus dan

merupakan bentuk yang lebih berat. Sedangkan tipe 2 terjadi pada pasien setelah

usia 40 tahun.3,4

Studi kami tidak menunjukkan adanya distribusi bimodal dari onset


(64)

c. Riwayat Keluarga dengan Psoriasis

Berdasarkan anamnesis didapatkan hanya satu pasien dengan riwayat

keluarga yang juga menderita psoriasis. Sehingga tidak dapat dilakukan analisis

deskriptif lebih lanjut.

Psoriasis adalah penyakit yang kompleks dan multifaktorial, banyak studi

yang menunjukkan kaitan penyakit dengan genetik. Dikatakan 40% dari

penderita psoriasis memiliki riwayat keluarga positif terhadap psoriasis. Adanya

insidensi psoriasis pada studi kembar menunjukkan dasar kekeluargaan dari

penyakit ini. Konkordasi sebesar 35-75% telah didemonstrasikan pada kembar

monozigot, dibandingkan konkordasi sebesar 12-30% pada kembar dizigotik.

Penemuan tersebut juga disertai dengan onset, distribusi penyakit, tingkat

keparahan, dan klinis yang sama.61

Studi lain yang dilakukan di Korea oleh Kwon et al menunjukkan diantara

129 pasien lansia, 12 pasien (9.3%) memiliki riwayat keluarga dengan psoriasis:

delapan yaitu kerabat tingkat pertama dan empat kerabat tingkat kedua. Dikatakan

juga bahwa pasien dengan onset lanjut(≥60 tahun) memiliki insidensi yang lebih rendah dari riwayat keluarga dibandingkan dengan pasien onset lebih dini (> 30

tahun atau 30-60 tahun).62

Penelitian kami menunjukkan bahwa dari 25 sampel yang ada, hanya satu

sampel yang menunjukkan adanya riwayat keluarga dengan psoriasis. Dimana

riwayat keluarga pasien tersebut merupakan hubungan kerabat tingkat pertama


(65)

d. Body Surface Area (BSA)

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap nilai BSA, diperoleh bahwa

mean adalah 10.60 dengan nilai minimal 2% dan maksimal 24%.

Berdasarkan pengukuran BSA, didapatkan frekuensi yang hampir sama

banyaknya, yaitu pada BSA 3-10% sebanyak sebelas orang (44%) dan BSA >10%

sebanyak dua belas orang (48%). Diikuti BSA < 3% sebanyak dua orang (8%).

Diagram 4.8. Frekuensi Berdasarkan BSA

Studi yang dilakukan di klinik kulit di Sarawak, Malaysia menunjukkan

dari total 520 pasien, mayoritas memiliki BSA kurang dari 10%. Enam puluh satu

pasien (44.2%) memiliki BSA <2% dan 59 pasien (42.7%) dengan BSA 2-10%.

Sebelas pasien (8%) memiliki BSA 11-90%, sedangkan hanya tujuh (5.1%)

dengan BSA >90%.63

BSA< 3% BSA 3 - 10 % BSA > 10%

2

11 12

BSA

Frekuensi


(66)

Sedangkan studi yang dilakukan oleh Kwon et al menunjukkan dominasi

pasien dengan luas keterlibatan psoriasis yang lebih ringan (BSA<5%) pada grup

onset lanjut (1202 pasien) dibandingkan grup onset dini dan menengah (63 pasien

dan 521 pasien ). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas psoriasis lebih ringan

pada pasien onset lanjut.62

Penelitian lain pada populasi di Kanada menunjukkan insidensi psoriasis

sedang ke berat. Dimana dari 514 sampel, 62% dengann keterlibatan BSA > 3%.64

4.2.Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

Setelah melakukan proses sampel serum dengan menggunakan alat ELISA

analyzer sesuai protokol yang telah ditentukan akan diperoleh kumpulan micro-wells standar dan uji yang telah diberikan larutan STOP. Kumpulan micro-micro-wells tersebut kemudian diukur absorbansi-nya pada gelombang cahaya 450nm.

Hasil absorbansi kemudian diplot secara otomatis oleh komputer serta

perangkat lunaknya menjadi kurva standar. Dari kurva standar akan diperoleh

nilai konversi konsentrasi VEGF serum. Berdasarkan komputerisasi pada alat

pemeriksaan, koefisien intra-assay memiliki nilai 6,2%, dan inter-assay bernilai


(67)

Gambar 4.1. Tampilan Micro-Wells sebelum Pengukuran Absorbansi

dengan ELISA Analyzer.

Kurva 4.1. Kurva Standar untuk Menentukan Konsentrasi VEGF.

Nilai absorbansi VEGF dan konsentrasi VEGF yang diperoleh dari

pemeriksaan tertera pada lampiran. VEGF dideskripsikan sebagai Mean 393.53


(68)

Berdasarkan Box Plot, dapat dilihat informasi bahwa nilai Median VEGF

serum sebesar 270.6 pg/mL, (Min-Max, 11.23 - 1596.7 pg/mL). Juga terdapat

informasi adanya beberapa outliers pada nilai VEGF. Terdapat dua nilai outliers pada VEGF dengan nilai outliers sampel nomor 11 sebesar: 1596.7 pg/mL, dan

sampel nomor 12 sebesar: 1370.23 pg/mL. (Gambar 4.2)

Outliers atau penyimpangan kadar yang berlebihan dari mean mungkin

diakibatkan oleh adanya hipersekresi VEGF akibat polimorfisme genetik VEGF. Tabel 4.3. Analisis Deskriptif (VEGF)

Nilai VEGF

Mean 393.53

Std. Deviasi 415.62


(69)

Untuk membuktikan apakah outliers pada penelitian ini disebabkan karena adanya

polimorfisme perlu dilakukan gene sequencing, namun hal tersebut bukan

merupakan cakupan dalam penelitian ini. Hal lain yang mungkin menyebabkan

timbulnya outliers, dikarenakan pada sampel penelitian ini terdapat berbagai

penderita psoriasis dengan variasi derajat keparahan dari ringan sampai berat.

Dimana studi yang sudah ada biasanya menyimpulkan adanya peranan dari

tingkat keparahan psoriasis dalam sekresi dari VEGF serum. Hal ini perlu diteliti

lebih lanjut.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Nofal et al. dilaporkan bahwa Mean

VEGF serum pada 30 pasien psoriasis vulgaris derajat sedang sampai berat adalah

sebesar 327 pg/mL. Penelitian tersebut juga membuktikan adanya peranan VEGF

dalam patogenesis psoriasis, dimana terdapat penurunan kadar VEGF serum pada

pasien sesudah terapi. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok dan diberi terapi

PUVA dua kali tiap minggu (10 pasien kelompok I), acitretin 50 mg per hari (10

pasien kelompok II), kombinasi PUVA dua kali tiap minggu dan acitretin 25 mg

per hari (10 pasien kelompok III). Dikatakan bahwa kadar Mean VEGF serum

kelompok I sebelum terapi adalah 323.2 pg/mL, setelah terapi 182.9 pg/ml,

kelompok II Mean serum sebelum terapi 311.9 pg/mL dan setelah terapi 191.4

pg/mL. Sedangkan pada kelompok III, kadar Mean VEGF serum sebelum terapi

337.6 pg/mL dan setelah terapi 179.5 pg/mL.65

Hasil yang didapat pada penelitian 122 pasien psoriasis vulgaris di Jepang

oleh Takahashi et al menunjukan jumlah VEGF serum sebesar 221 pg/ml,


(70)

Northern Polish, Mean VEGF serum yang didapat adalah sebesar 368.43

pg/mL.66,67

Penelitian yang dilakukan Shimauchi et al menunjukkan VEGF serum

pasien psoriasis sebesar 545 pg/mL, lebih lanjut penelitian tersebut menyatakan

faktor angiogenik VEGF tidak hanya menjadi biomarker penting pada psoriasis

vulgaris, penelitian yang dilakukan oleh Shimauchi et al ingin membuktikan peran

VEGF sebagai prediktor respon terhadap terapi biologik. Pada penelitian tersebut

dikatakan 28 pasien psoriasis yang menerima terapi ustekinumab (n=16),

infliximab (n=6) dan adalimumab (n= 6), dibagi menjadi tiga kelompok yaitu

kelompok dengan respon baik, respon sedang dan tidak berespon berdasarkan

skor PASI setelah pemberian terapi biologi. Lebih lanjut diamati perubahan

biomarker VEGF sebelum dan sesudah pengobatan. Pada kelompok respon tinggi

terjadi penurunan yang sinifikan dari VEGF serum, pada kelompok respon sedang

tidak ditemukan adanya perubahan biomarker yang berarti. Sedangkan pada

kelompok yang tidak berespon terlihat adanya peningkatan dari kadar VEGF

serum. Namun tidak ditemukannya perbedaan yang signifikan diantaranya,

sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa VEGF merupakan suatu biomarker

yang informatif, namun tidak sebagai prediktor terhadap respon terapi. 68

Kuantitas yang bervarisi dari kadar VEGF serum menunjukkan masih

belum adanya jumlah yang dianggap dapat mewakili semua populasi psoriasis

vulgaris. Sehingga menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti dan dilaporkan

pada berbagai populasi di tiap negara.


(71)

telah banyak dibuktikan pada penyakit-penyakit kulit lainnya. Seperti yang

dilaporkan oleh Fink et al, yang membuktikan peranan VEGF pada penyakit

psoriasis arthritis, dimana pasien dengan psoriasis arthritis yang aktif memiliki

kadar VEGF serum yang lebih tinggi dibandingkan psoriasis arthritis yang tidak

aktif. Pasien dengan psoriasis arthritis memiliki Mean VEGF serum 394.4 pg/mL,

sedangkan psoriasis arthritis yang tidak aktif sebesar 200.4 pg/mL.69 Peran dari

VEGF juga terlihat pada penyakit karsinoma sel skuamosa, dimana VEGF

dikatakan dapat menjadi suatu prediktor terhadap tingkat rekurensi dan prognostik

penyakit. Dikatakan mean VEGF serum dilaporkan lebih tinggi pada kelompok

pasien dengan rekurensi (731 pg/mL) dibandingkan yang tidak dengan rekurensi


(72)

4.2.1 VEGF Dibedakan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jika data dibedakan berdasarkan jenis kelamin, akan didapatkan bahwa

nilai dari VEGF Pria Mean 323.29 pg/mL, SD 286.22 pg/mL; Nilai VEGF Wanita

Mean 542.81 pg/mL, SD 606.26 pg/mL.(Tabel 4.4).

Tabel 4.4. VEGF berdasarkan karakteristik penderita psoriasis vulgaris (n=25)

Jenis Kelamin n Mean SD

Pria 17 323.29 286.22

Wanita 8 542.81 606.26

Usia (tahun) n Mean SD

<40 40-60 >60 14 8 3 281.13 685.92 138.37 277.57 543.81 94.68

Suku n Mean SD

Batak Jawa Lainnya 12 7 6 277.57 578.10 410.15 237.54 483.33 586.85

Durasi Penyakit (tahun) n Mean SD

<5 5-10 10-15 >15 17 3 2 3 325.25 293.93 110.34 1068.85 287.88 249.89 18.41 726.97

Onset Penyakit n Mean SD

15-30 30-45 45-60 11 8 6 380.79 461.81 325.84 453.26 498.67 238.31

BSA n Mean SD

<3% 3-10% >10% 2 11 12 324.24 226.31 558.36 320.91 182.74 527.91


(73)

Gambar 4.3. Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan Box Plot didapatkan nilai VEGF serum pria Median 270.6

pg/mL, (Min-Max, 11.23 – 1044.8 pg/mL); Nilai VEGF Wanita Median 269.36

pg/mL, (Min-Max, 52.08 – 1596.7 pg/mL) (Gambar 4.3.)

Sehingga pada penelitian dapat disimpulkan bahwa mean VEGF serum lebih

tinggi pada wanita dibandingkan pria. Tidak banyak penelitian yang membahas

mengenai kadar VEGF terhadap jenis kelamin. Suatu penelitian menyatakan tidak

adanya hubungan yang signifikan dari kadar VEGF serum jika dibandingkan antar

jenis kelamin. 64

4.2.2. VEGF Dibedakan Berdasarkan Kelompok Usia

Jika data dibedakan berdasarkan kelompok usia, akan didapatkan bahwa


(74)

pg/mL, 40-60 tahun Mean 685.92 pg/mL, SD 543.81 pg/mL; >60 tahun Mean

138.37 pg/mL, SD 94.68 pg/mL. (Tabel 4.4)

Gambar 4.4. Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan Kelompok Usia

Berdasarkan Box Plot didapatkan nilai dari VEGF kelompok usia <40

tahun Median 160.96 pg/mL, (Min-Max, 30.15 – 1044.8 pg/mL); 40-60 tahun

Median 604.18 pg/mL, (Min-Max 11.23 – 1596.7 pg/mL); >60 tahun Median

123.36 pg/mL, (Min-Max 52.08 – 239.65 pg/mL). Juga terdapat nilai outliers

pada VEGF dengan nilai outliers sampel nomor 16 sebesar: 1044.8 pg/mL.

(Gambar 4.4) Hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan tingkat keparahan

dari penyakit yang terdapat dari kelompok sampel. Namun apakah psoriasis

dengan derajat yang berbeda mensekresikan kadar VEGF yang berbeda masih


(1)

ELISA-Kit, VEGF-A yang digunakan pada penelitian ini.

Gambar 5. Reagensia beserta VEGF-A standar yang berada dalam ELISA-Kit.

Gambar 6.


(2)

Informasi yang terdapat pada ELISA-Kit.

Gambar 8.

Tempat dilakukannya reaksi ELISA beserta inkubasi.

Gambar 9. Reagent tray pada ELISA Analyzer.


(3)

Reagensia in-situ.

Gambar 11.

Tampilan perangkat lunak ELISA Analyzer.


(4)

Tampilan proses pemeriksaan.

Gambar 13. Tampilan hasil pemeriksaan ELISA Analyzer.


(5)

Kurva standar VEGF-A yang didapat dari pemeriksaan.


(6)

LAMPIRAN 8.

CURRICULUM VITAE

NAMA : dr. Grace

IDENTITAS

TEMPAT/TGL LAHIR : Jakarta / 29 Maret 1985

ALAMAT : Perumahan Citra Garden Blok C10/6 Medan

TELEPON : 082162892042

EMAIL

TAHUN 1991 – 1997 : SD Charitas Jakarta

RIWAYAT PENDIDIKAN

TAHUN 1997 – 2000 : SMP Charitas Jakarta

TAHUN 2000 – 2003 : SMA Kolese Gonzaga Jakarta

TAHUN 2003 – 2010 : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta

TAHUN 2012 – sekarang : PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

TAHUN 2010 – 2012 : Anggota IDI Cabang Jakarta Barat

KEANGGOTAAN PROFESI

TAHUN 2012 – sekarang : Anggota IDI Cabang Medan


Dokumen yang terkait

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Dengan Peritumoral Edema Index (PTEI) Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

2 105 66

Hubungan Kadar Nitric Oxide Serum Pasien Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

3 92 76

Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

3 83 88

Perbandingan kadar sitokin interleukin-17 dalam serum antara penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris

1 37 77

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum dengan Skor Psoriasis Area And Severity Index (PASI) pada penderita psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 12

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum dengan Skor Psoriasis Area And Severity Index (PASI) pada penderita psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 2

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum dengan Skor Psoriasis Area And Severity Index (PASI) pada penderita psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 5

Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. - Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 12

Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 30