BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Asli Daerah - Efektivitas Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah Dengan Jumlah Penduduk Sebagai Variabel Moderating di Ka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Pendapatan Asli Daerah

  Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan ( UU Nomor : 33 Tahun 2004 pasal 1, ayat-18). Sumber Pendapatan Asli Daerah, diperoleh dari :a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain PAD yang sah. Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Sidik et. al. ( 2004 : 77 ) menegaskan, secara utuh desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, kepada daerah diberikan kewenangan untuk memberdayakan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kewenangan untuk memberdayakan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah PAD yang sumber utamanya adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Idealnya suatu perimbangan keuangan pusat dan daerah terjadi apabila setiap tingkat pemerintahan independen dalam bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing. Artinya PAD menjadi sumber pendapatan utama atau dominan, sementara subsidi atau transfer dari tingkat pemerintah pusat merupakan sumber penerimaan pendukung atau tambahan yang peranannya tidak dominan. PAD merupakan salah satu sumber pembiayaan pemerintahan daerah yang peranannya sangat tergantung kemampuan dan kemauan daerah dalam menggali potensi yang ada di daerah.

  Menurut Kaho ( 2007 : 136 ), salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah self supporting dalam bidang keuangan. Faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerahnya.

  Menurut Halim (2007 : 197), pemerintah daerah menghadapi dilema, disatu sisi mereka harus meningkatkan terus jumlah PAD-nya untuk mengimbangi semakin meningkatnya kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, disisi lain potensi di daerah yang bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah relatif kecil. Sidik et. al. (2004 : 77) juga mengatakan, sebagai rangkaian dari pengalihan kewenangan sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah, dukungan pembiayaan yang memadai akan menjadi syarat utama guna mencapai hasil optimal. Ketergantungan yang tinggi terhadap penerimaan dari pemerintah pusat disatu sisi dan rendahnya peranan PAD dalam penerimaan daerah disatu sisi membawa konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran daerah. Kondisi ini tentu saja sangat menyulitkan pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi secara nyata. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2008 : 44) menjelaskan, rendahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ditunjukkan oleh data tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 bahwa kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%. Peranan PAD yang relatif kecil menyebabkan penerimaan pemerintah daerah baik secara langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada transfer dari pemerintah pusat.

  Menurut Kuncoro (2004 : 13), setidaknya ada lima penyebab utama rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat, yaitu : 1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah; 2) tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Semua pajak utama yang paling produktif dan buoyant baik pajak langsung dan tak langsung, ditarik oleh pusat; 3) kendati pajak daerah cukup beragam ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan; 4) bersifat politis, adanya kekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi maka ada kecendrungan terjadi disintegrasi dan separatisme; 5) kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

  Sidik et. al. (2004 : 75) mengatakan, selama ini rendahnya PAD dalam struktur penerimaan daerah disebabkan karena sumber-sumber yang masuk dalam kategori PAD umunya bukan merupakan sumber potensial bagi daerah. Sumber- sumber potensial di daerah sudah diambil sebagai sumber penerimaan bagi pemerintah pusat, sehingga yang tersisa di daerah hanya sumber-sumber penerimaan yang kurang potensial. Dalam hal yang sama Kumorotomo (2008 : 364) mengatakan, karena pajak-pajak yang memberi hasil tinggi tidak didesentralisasikan, kontinuitas kebijakan yang lain ialah bahwa ketergantungan daerah kepada bantuan pemerintah pusat masih tetap tinggi seperti ditunjukan oleh besarnya persentase DAU didalam anggaran pemerintah daerah.

  Sedangkan Bird dan Vaillancourt (2000 : 165) berpendapat, sentralisasi perpajakan juga didorong oleh tujuan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah akibat perbedaan pada besarnya sumber-sumber pajak. Walaupun tujuan-tujuan ini cukup beralasan dan penting, perlu juga untuk mempertimbangkan upaya- upaya memperluas pilihan-pilihan pajak daerah, yang sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut. Sistem perpajakan yang sangat sentralistis ini merupakan alasan mengapa pemerintah daerah tidak dapat melakukan pembiayaan sendiri, dan demikian kecilnya porsi penerimaan sendiri dalam struktur pengeluaran mereka.

  Sidik et. al. (2004 : 79) menegaskan, ketimpangan perbandingan antara PAD sebagai pendapatan lokal dengan pendapatan luar daerah berupa dana perimbangan sebagai transfer dari pusat dalam komponen pendapatan APBD menjadi masalah yang kritis. Jika pemerintah daerah terjebak untuk segera meningkatkan PAD secara drastis maka upaya peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah menjadi pilihan, dan hal tersebut berarti akan mengurangi peluang daerah untuk meraih investasi dan semakin menambah beban masyarakat dan para investor. Namun, apabila pemerintah daerah terlambat untuk meningkatkan PAD maka semakin jauh harapan kemandirian daerah akan tercapai.

  Menurut Mardiasmo (2004 : 146), pemerintah diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion).

  Menurut Halim (2012 : 101) Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Hasil Pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan; d. Lain-lain PAD yang sah.

2.1.1.1. Pajak Daerah

  Pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU Nomor : 28 tahun 2009, pasal 1 ayat-10).

  Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2008 : 44) mengatakan, pajak sebagai sumber pendapatan adalah salah satu instrumen yang sangat penting dalam desentralisasi fiskal, karena mencerminkan seberapa besar otoritas pendapatan yang dimiliki suatu tingkat pemerintahan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, juga harus mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah.

  Pajak daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Terkait dengan pendapatan pajak yang berbeda bagi provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ada 2 jenis pendapatan pajak yaitu: pajak untuk provinsi dan pajak untuk untuk kabupaten/kota menurut Halim (2012 : 101).

  Jenis Pajak Provinsi Terdiri Dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b.

  Pajak kendaraan di air; c.

  Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; d.

  Bea balik nama kendaraan di air; e. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; f. Pajak Air Permukaan; dan g.

  Pajak Rokok.

  Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b.

  Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d.

  Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak pengambilan bahan galian golongan C; g.

  Pajak lingkungan; h. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; i. Pajak Parkir; j. Pajak Sarang Burung Walet; k.

  Pajak Bumi dan Bangunan; dan l. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pendapatan BPHTB dibagikan ke daerah dengan pola distribusi sebagai berikut: 1) 80% merupakan bagian daerah yang dibagikan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan porsi: a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan, dan b) 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil. 2) 20% merupakan bagian pemerintah pusat dan dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota dengan porsi yang sama. Dengan demikian, seluruh pendapatan BPHTB yang dipungut oleh pemerintah pusat pada dasarnya diserahkan kepada daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil.

  Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak BPHTB akan sepenuhnya menjadi pajak daerah. Dengan pengalihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah.

2.1.1.2. Retribusi Daerah

  Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (UU Nomor : 28 Tahun 2009, Pasal 1 ayat-64). Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan PAD diharapkan dapat dijadikan sumber pembiayaan yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang tujuannya untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.

  Objek retribusi menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pasal 108 ayat 1 terdiri dari: a. Jasa Umum; b. Jasa Usaha; dan c. Perizinan Tertentu.

  Devas et. al (1989 : 91) mengatakan, retribusi merupakan sumber pendapatan yang sangat penting, hasil retribusi hampir mencapai setengah dari seluruh pendapatan daerah. Menurut Davey (1988 : 132), beberapa jasa (pelayanan) umum dibiayai oleh pajak umum, dan lain-lain melalui pungutan retribusi langsung kepada konsumen. Pengenaan retribusi terhadap pelayanan yang diterima dari pemerintah daerah ditujukan untuk meningkatkan penerimaan dan meningkatkan efisiensi. Retribusi hal terpenting pada tingkat daerah, karena lebih dekatnya dengan pengguna jasa, pelayanan-pelayanan daerah lebih dapat diterima untuk pungutan-pungutan tersebut daripada pelayanan-pelayanan yang disediakan pemerintah pusat.

  Dalam hal yang sama Bird dan Vaillancourt (2000 : 168) mengatakan di Indonesia, retribusi memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap total penerimaan daerah, namun demikian pemanfaatan retribusi ini masih dibawah potensi yang ada. Ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pemerintah pusat telah menyebabkan kurangnya intensif pencarian sumber-sumber retribusi untuk menutupi biaya daerah.

2.1.1.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan

  Sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah lainnya yang menduduki peran penting setelah pajak daerah dan retribusi daerah adalah bagian pemerintah atas laba Badan Usaha Milik Daerah. Mardiasmo (2004 : 154) mengatakan, Pemerintah daerah juga dapat melakukan upaya peningkatan PAD melalui optimalisasi peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

  Peranan investasi swasta dan perusahaan milik negara/daerah diharapkan dapat berfungsi sebagai pemicu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (engine of growth dan sebagai center of economic activity). Dari sisi eksternal, daerah dituntut untuk menarik investasi asing agar bersama-sama swasta domestic mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan multiplier effect yang besar, dan di sisi lain pemerintah daerah harus mampu memberikan iklim/suasana yang kondusif untuk berinvestasi dan berusaha.

  Penyertaan modal pada BUMN dan/atau pada perusahaan swasta maupun kepemilikan BUMD merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang artinya pengelolaannya diluar dari pengelolaan pemerintah daerah dan bertujuan untuk memperoleh bagian laba atas kepemilikan atau penyertaan modal dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

  Sidik et. al. (2004 : 85) mengatakan, BUMD sebenarnya juga merupakan salah satu potensi sumber keuangan daerah yang perlu terus ditingkatkan guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Besarnya kontribusi laba BUMD dalam PAD dapat menjadi indikator kuat atau lemahnya BUMD dalam suatu daerah.

  Selama ini BUMD yang ada di daerah tidak produktif, sebagian besar BUMD belum mampu untuk memberikan kontribusi yang siknifikan bagi PAD, bahkan beberapa BUMD mengalami kerugian dan memikul beban hutang yang sangat besar.

2.1.1.4. Lain-Lain PAD Yang Sah

  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pasal 25 ayat 4 menjelaskan bahwa : jenis lain- lain pendapatan asli daerah yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

2.1.2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

  2.1.2.1. Pengertian BPHTB

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh pribadi atau badan (Mardiasmo, 2006 : 324).

  Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundang-undangan lainnya (Mardiasmo, 2006 : 324).

  2.1.2.2. Dasar Hukum BPHTB

  Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291; a.

  Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena Waris dan Hibah; b.

  Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena Pemberian Hak Pengelolaan; c.

  Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

  Prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang BPHTB menurut Mardiasmo (2006 : 324) adalah: a.

  Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem Self Assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya; b.

  Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak; c. Agar Pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka baik kepada Wajib Pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku; d.

  Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah; e.

  Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan ini tidak diperkenankan.

  Berdasarkan prinsip diatas, pemenuhan kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah menggunakan sistem Self Assesment yaitu sistem pemungutan di mana Wajib Pajak harus menghitung, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Aparat Pajak (fiskus) hanya bertugas melakukan penyuluhan dan pengawasan untuk mengetahui kepatuhan Wajib Pajak.

  Dasar hukum pelaksanaan Self Assesment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:

  “Sistem pemungutan BPHTB adalah Self Assesment, dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran BPHTB (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetepan pajak”.

2.1.2.3. Pelaksanaan Pemungutan BPHTB a.

  Objek Pajak Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi:

  1) Pemindahan Hak karena:

  a) Jual beli;

  b) Tukar menukar;

  c) Hibah;

  d) Hibah wasiat; e) Waris;

  f) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

  g) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

  h) Penunjukan pembeli dalam lelang; i)

  Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; j) Penggabungan usaha; k)

  Peleburan usaha; l) Pemekaran usaha; m)

  Hadiah. 2)

  Pemberian Hak Baru karena:

  a) Kelanjutan pelepasan hak;

b) Diluar pelepasan hak.

  b.

  Tidak Termasuk Objek Pajak Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:

  1) Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

  2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

  3) Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh

  Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;

  4) Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

  5) Orang pribadi atau badan karena wakaf;

6) Orang pribadi atau badan digunakan untuk kepentingan ibadah.

  c.

  Subjek Pajak Menurut Mardiasmo (2006 : 326) yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak BPHTB menurut Undang-Undang BPHTB.

2.1.2.4. Dasar Pengenaan Pajak

  Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yaitu ditentukan sebesar: a.

  Jual beli adalah harga transaksi b. Tukar-menukar adalah nilai pasar: c. Hibah adalah nilai pasar: d. Hibah wasiat adalah nilai pasar; e. Waris adalah nilai pasar; f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; g.

  Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; i.

  Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; j.

  Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; k.

  Penggabungan usaha adalah nilai pasar; l. Peleburan usaha adalah nilai pasar; m.

  Pemekaran usaha adalah nilai pasar; n. Hadiah adalah nilai pasar; o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.

  Jika Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.

  Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00- (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau saru derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan secar regional paling banyak Rp 300.000.000,00- (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.

  Sesuai dengan pasal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB adalah NPOP.

  Cara menghitung BPHTB menurut Mardiasmo (2006 : 327) adalah sebagai berikut:

  BPHTB = Nilai Perolehan Objek pajak Kena Pajak x Tarif = (NPOP – NPOPTKP) x 5 %

2.1.2.5. Saat Terutangnya BPHTB dan Tempat Pembayaran

  Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 saat yang menentukan terutangnya pajak adalah: a.

  Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; d. Hibah Wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; e. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan; f.

  Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; g.

  Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; h.

  Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; i.

  Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; j.

  Pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; k.

  Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; l. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; m.

  Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; o. Lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang; Tempat pajak terutang adalah di wilayah: a. Kabupaten; b. Kota, atau; c.

  Provinsi. Tempat tersebut meliputi letak tanah dan atau bangunan.

  Tempat pembayaran pajak yang terutang di bayar ke kas negara melalui: a. kantor pos dan giro; b. bank badan usaha milik negara atau bank badan usaha milik daerah; c. tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

2.1.2.6. Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB)

  Menurut Mardiasmo (2006 : 329) SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.

  SKBKB diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar. SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak. Jumlah kekurangan pajak yng terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

  2.1.2.7. Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT)

  Menurut Mardiasmo (2006 : 330) SKBKBT adalah surat ketetapan yang menetukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. SKBKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. SKBKBT dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak.

  Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

  2.1.2.8. Surat Tagihan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (STB)

  Menurut Mardiasmo (2006 : 331) STB adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STB diterbitkan apabila: a. Pajak yang terutang tidak atau kurang bayar; b. Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran BPHTB (SSB) terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; c. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.

  Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin c tidak ditambah sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi.

  2.1.2.9. Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB

  Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, antara lain dalam hal; a. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang; b. Pajak yang terutang sudah dibayar oleh Wajib Pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.

  2.1.2.10. Pejabat Yang Berwenang Dalam Pemenuhan Ketentuan BPHTB

  Undang-Undang Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menentukan beberapa Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan. Para pejabat ini diberi kewenangan untuk memeriksa apakah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang sudah disetorkan ke Kas Negara oleh Pihak yang memperoleh hak sebelum pejabat yang berwenang menandatangani dokumen yang berkenaan dengan perolehan dimaksud.

  Pejabat yang dimaksud tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. Pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, Pejabat Pertanahan. Pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang BPHTB, dalam pelaksanaannnya mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

  Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pelaksanaan Undang-Undang tentang BPHTB mempunyai tugas pokok dan fungsi membuat serta menanda tangani akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan setelah subjek/wajib pajak BPHTB menyerahkan bukti penyetoran biaya pajak ke Kas Negara.

  Kemudian Pejabat Pembuat Akta Tanah melaporkan pembuatan akta Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

  Ada beberapa PPAT, yaitu sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, bahwa yang dimaksud : a.

  Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberikan kewenangan unutk membuat akta-akta Otentik mengenai Perbuatan Hukum tertentu mengenai Hak atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

  b.

  PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melanjutkan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.

  c.

  PPAT Khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatanya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat Akta

  PPAT Tertentu Khusus Dalam Rangka Pelaksanaan Program atau Tugas Pemerintah Tertentu.

  d.

  Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakan Perbuatan Hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

  Pejabat Lelang Negara dalam pelaksanaan Undang-Undang tentang BPHTB mempunyai tugas pokok dan fungsi membuat dan menanda tangani Risalah Lelang Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah Subyek Pajak/Wajib Pajak BPHTB menyerahkan bukti penyetoran biaya pajak ke kas Negara, dan melaporkan pembuatan Risalah Lelang tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

  Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam bentuk pelaksanaan Undang-Undang tentang BPHTB mempunyai tugas dan fungsi menerbitkan serta menanda tangani surat keputusan pemberian hak atas tanah dan bangunan baik perolehan hak atas tanah dan bangunan, perolehan hak atas tanah dan bangunan akibat pemberian hak maupun akibat pemindahan hak, setelah Subyek Pajak/Wajib Pajak BPHTB menyerahkan bukti setoran pajak ke kas Negara.

  Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menyampaikan pemberitahuan bulanan dalam hal terjadi pendaftaran hak atau pendaftaran peralihan hak berdasarkan perolehan hak atas tanah karena pemberian hak baru dan hibah wasiat serta karena waris. Pendaftaran tanah diselenggarakan antara lain untuk menyediakan informasi kepada Pihak-pihak yang berkepentingan, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam rangka melakukan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah atau satuan-satuan Rumah Susun yang sudah didaftar.

  Penyediaan data tersebut oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota pada Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah, yang dikenal sebagai daftar umum yang terdiri atas : a) Peta Pendaftaran, yaitu peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah; b) Daftar tanah, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran; c) Surat Ukur, yaitu dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian yang diambil datanya dari peta pendaftaran; d) Buku Tanah, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis, data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya; e) Daftar Nama, yaitu dokumen yang dalam bentuk daftar yang memuat keterangan mengenai penguasaan tanah dengan suatu hak atas tanah, atau Hak Pengelolaan, dan mengenai pemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun oleh orang perseorangan atau badan hukum tertetu.

  Pokok penyelenggaraan pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Juncto Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Secara garis besar, tujuan pendaftaran tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu : a) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, dengan diberikan sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya; b) Untuk menyediakan informasi kepada pihak- pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

  Dalam melaksanakan pendaftaran tanah dimaksud, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu yaitu membuat akta dan risalah lelang sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

2.1.3. Efektivitas Pemungutan BPHTB Terhadap PAD Di dalam organisasi efektivitas sering dihubungkan dengan efisiensi.

  Efisiensi seringkali tidak selaras dengan efektif. Efisien lebih menekankan pada penggunaan sumber daya dengan tepat. Efektif lebih menekankan pada tepat sasaran. Menurut Sedarmayanti (2001 : 59), efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target dapat tercapai. Pengertian efektivitas ini lebih berorientasi kepada keluaran sedangkan masalah penggunaan masukan kurang menjadi perhatian utama. Apabila efisiensi dikaitkan dengan efektivitas maka walaupun terjadi peningkatan efektivitas belum tentu efisiensi meningkat.

  Lebih lanjut, pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektifitas bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasny& Ardiyanto : 2012).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas bertujuan untuk mengukur rasio keberhasilan. Rasio di bawah standar minimal keberhasilan dapat dikatakan tidak efektif. Ukuran efektivitas biasanya dinyatakan dalam bentuk pernyataan. Menurut Riady (2010) tingkat efektivitas dapat digolongkan kedalam beberapa katergori yaitu: 1) Hasil perbandingan pencapaian lebih dari 100 persen berarti sangat efektif; 2) hasil perbandingan pencapaian 100 persen berarti efektif; 3) hasil perbandingan pencapaian kurang dari 100 persen berarti tidak efektif.

  Untuk menganalisis efektivitas pemungutan BPHTB yaitu perbandingan antara penerimaan dan potensi BPHTB pada tahun 2009 – 2011, menurut Halim (200 : 164) Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat efektivitas BPHTB adalah :

  Efektivitas BPHTB = Realisasi Penerimaan BPHTB X 100% Potensi BPHTB Dengan asumsi sebagai berikut :

Tabel 2.1.

  

Tabel Interprestasi Nilai Efektivitas

Persentase Kriteria

  >100% Sangat Efektif 90-100% Efektif

  80-90% Cukup Efektif 60-80% Kurang Efektif

  <60% Tidak Efektif Sumber : Depdagri, Kepmendagri No.690.900.327 Tahun 1996

  Dalam penelitian ini, efektivitas berarti perbandingan antara realisasi penerimaan BPHTB dengan potensi/target penerimaan BPHTB yang telah ditetapkan. Jika tingkat efektivitas penerimaan BPHTB tinggi, maka kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah semakin tinggi.

  Pengertian efektivitas yang umum menunjukkan pada taraf tercapainya hasil, dalam bahasa sederhana hal tersebut dapat dijelaskan bahwa : efektivitas dari pemerintah daerah adalah bila tujuan pemerintah daerah tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, efektivitas adalah pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil

  Dari pengertian-pengertian efektivitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.

2.1.4. Kontribusi BPHTB Terhadap Pendapatan Asli Daerah

  Kontribusi berasal dari bahasa inggris yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan.

  Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi atau tindakan. Hal yang bersifat materi misalnya seorang individu memberikan pinjaman terhadap pihak lain demi kebaikan bersama (Fauzan & Ardiyanto, 2012).

  Sedangkan menurut kamus ekonomi (Guritno, 1992 : 76) kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sehingga kontribusi yang dimaksud dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan terhadap besarnya Pendapatan Daerah.

  Jika potensi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan semakin besar dan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan sumber penerimaannya dengan meningkatkan target dan realisasi pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan yang berlandaskan potensi sesungguhnya, hal ini dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sehingga akan mengurangi rasio ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.

  Dalam penelitian ini, konteks kontribusi merupakan seberapa besar sumbangan penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) dalam pos Pendapatan Asli Daerah. Diharapkan dengan semakin tinggi kontribusi penerimaan BPHTB maka akan semakin besar pula PAD Kabupaten Aceh Barat Daya.

  Untuk menganalisis kontribusi realisasi BPHTB terhadap Pendapatan Daerah digunakan rumus sebagai berikut :

  Kontribusi BPHTB = Realisasi Penerimaan BPHTB x 100% Realisasi Penerimaan PAD

  ( Halim, 2007 : 163) Dengan asumsi sebagai berikut : Tabel 2.2.

   Klasifikasi Kriteria Kontribusi

Persentase Kriteria

  0,00%-10% Sangat Kurang 10,10%-20% Kurang 20,10%-30% Sedang 30,10%-40% Cukup Baik 40,10%-50% Baik

  Diatas 50% Sangat Baik Sumber : Tim Litbang Depdagri-Fisipol UGM 1991

2.1.5. Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap Pendapatan Asli Daerah

  Di negara sedang berkembang yang mengalami ledakan jumlah penduduk termasuk Indonesia akan selalu mengaitkan antara kependudukan dengan pembangunan ekonomi. Akan tetapi hubungan antara keduanya tergantung pada sifat dan masalah kependudukan yang dihadapi oleh setiap negara, dengan demikian tiap negara atau daerah akan mempunyai masalah kependudukan yang khas dan potensi serta tantangan yang khas pula (Wirosardjono,1998).

  Jumlah penduduk yang besar bagi Indonesia oleh para perencana pembangunan di pandang sebagai asset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban pembangunan. Sebagai asset apabila dapat meningkatkan kualitas maupun keahlian atau keterampilannya sehingga akan meningkatkan produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur, persebaran dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menuntut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif (Widarjono, 1999).

  Jumlah penduduk yang besar bagi indonesia oleh para perencana pembangunan dipandang sebagai aset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban pembangunan. Sebagai aset apabila dapat meningkatkan kualitas maupun keahlian atau keterampilannya sehingga akan meningkatkan produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur, persebaran dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menuntut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah sehingga tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif (Widarjono, 1999).

  Penduduk merupakan orang yang bertempat tinggal menetap dalam suatu wilayah. Todaro (2003) mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk bukanlah suatu masalah. Pengaruh jumlah penduduk pada tingkat moderat pada dasarnya positif dan bermamfaat bagi pembangunan ekonomi, baik bagi negara- negara maju, maupun yang sedang berkembang. Semakin banyak orang, maka semakin banyak ide, semakin banyak orang yang mempunyai bakat dan kreativitas, semakin banyak tenaga ahli dan dengan demikian akan semakin berkembang teknologi. Selanjutnya dalam jangka panjang penduduk merupakan suatu keuntungan. Todaro (2003) juga mencatat bahwa pertumbuhan penduduk juga merangsang pertumbuhan ekonomi. Semakin besar jumlah penduduk akan mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap barang-barang konsumsi, selanjutnya akan mendorong economic of scale dalam berproduksi, sehingga akan menurunkan biaya produksi, dan pada akhirnya akan mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah. Dengan meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi. Hal ini selanjutnya dapat mendorong peningkatan produksi sehingga akan mengakibatkan adanya perluasan dan pendirian usaha baru pada sektor produksi. Pendirian usaha baru akan menambah angkatan kerja yang bekerja, sehingga pendapatan perkapita masyarakat akan cenderung meningkat. Dengan adanya kecenderungan pertambahan penduduk pada gilirannya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (Sukirno, 2003)

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

  Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah, Efektivitas dan Kontribusi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Jumlah Penduduk, dijelaskan berikut ini:

  Fauzan dan Ardiyanto (2012), meneliti tentang : Akuntansi dan Efektifitas Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah Di Kota Semarang Periode Tahun 2008-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Tingkat efektivitas pemungutan BPHTB pada tahun 2008-2011 didapatkan nilai tertinggi pada tahun 2011 dengan kriteria sangat efektif. Efektivitas terendah terjadi pada tahun 2009 dengan kriteria cukup efektif. Laju pertumbuhan penerimaan BPHTB tertinggi terjadi tahun 2010 sebesar 26,2477% dan laju pertumbuhan penerimaan BPHTB terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 0,0050%. Rata-rata kontribusi BPHTB terhadap Pendapatan Daerah 2008-2011 sebesar 9,18% yang berarti sangat kurang atau rendah. Dengan demikian sumbangan atau mamfaat yang diberikan oleh penerimaan BPHTB terhadap pendapatan daerah kota Semarang pada tahun 2008- 2011 sangat kurang. Akan tetapi pendapatan daerah tidak hanya dipengaruhi oleh penerimaan BPHTB saja, karena masih terdapat penerimaan pendapatan lainnya yang dapat mempengaruhi pendapatan daerah.

  Gomies dan Pattiasina (2011), meneliti tentang: Analisis Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap Pendapatan Asli Daerah, dan kontribusi yang paling baik diberikan oleh Retribusi Daerah.

  Rahmani (2008), meneliti tentang: Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Dinas Pendapatan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan Efektivitas pemungutan Pajak berpengruh secara parsial terhadap PAD, sedangkan Efektivitas Retribusi Daerah tidak berpengaruh terhadap PAD. Secara simultan Efektivitas Pemungutan Pajak dan Retribusi secara bersama-sama berpengaruh terhadap PAD.

  Berutu (2011), meneliti tentang: Pengaruh Belanja Daerah, Investasi, Pendapatan Perkapita Dan Jumlah Penduduk Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota Se Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Dijustifikasi bahwa Belanja Daerah, Investasi, Pendapatan per Kapita Masyarakat dan Jumlah Penduduk secara simultan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara. Belanja Daerah, pendapatan per kapita dan jumlah penduduk yang berpengaruh secara parsial terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara, sedangkan Investasi secara parsial tidak berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara.

  Andriani dan handayani (2008), meneliti tentang : Pengaruh PDRB dan Jumlah Penduduk Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Merangin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap PAD sedangkan Jumlah penduduk mempunyai hubungan negatif dan pengaruhnya tidak signifikan secara parsial terhadap PAD. Tetapi secara simultan kedua variabel tersebut berpengaruh signifikan. PDRB dan Jumlah Penduduk mempunyai hubungan sangat kuat dengan PAD dan model yang diestimasi adalah tepat.

  Suwarno (2008) meneliti tentang : Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah (Studi Kasus di Kota Surabaya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor eksternal dan faktor internal berpengaruh terhadap kemampuan keuangan daerah Pemerintah Kota Surabaya. Faktor eksternal berpengaruh dominan terhadap kemampuan keuangan daerah Pemerintah Kota Surabaya. Faktor eksternal dan internal yang signifikan; investasi, inflasi, PDRB, penerimaan subsidi, penerimaan pembangunan, sumber daya manusia, peraturan daerah, sistem dan pelaporan. Sedangkan untuk faktor internal dan eksternal yang tidak signifikan; jumlah penduduk, sarana dan prasarana, dan insentif.

  Cahyono (2006) meneliti tentang : Analisis Faktor – Faktor yang mempengaruhi PAD Kabupaten Karanganyar Periode 1990-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik secara individu maupun secara bersama – sama besarnya PDRB, Investasi, Jumlah Penduduk, Pendapatan Per Kapita masyarakat berpengaruh signifikan terhadap besarnya PAD Kabupaten Karanganyar.

  Santoso dan Rahayu (2005), meneliti tentang : Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Kediri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : faktor-faktor yang diduga mempengaruhi presentasi perubahan PAD adalah total pengeluaran pembangunan, penduduk dan PDRB sangat kuat, hal ini didukung dengan tingkat koefisien determinasi (R²) sebesar 0.971. Ketiga variabel independen (Pengeluaran Pembangunan, Penduduk, PBRD), yang mempunyai pengaruh paling besar yaitu penduduk sebesar 8,049.

  Hasil penelitian terdahulu di atas di rangkum dalam matriks Theoretical Mapping pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu No. Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Yang Digunakan Kesimpulan

  IV:Efektivitas Pemungutan

Pajak,

Efektivitas Pemungutan

Retribus,

DV:Pendapatan Asli Daerah

  IV:PDRB,

Jumlah

Penduduk,

DV:PAD

  Pengaruh PDRB dan Jumlah Penduduk terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Merangin

  5 Andriani dan Handayani (2008)

  IV: Belanja

Daerah,

Investasi,

Pendapatan Perkapita, dan

Jumlah

penduduk

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Tanjung Balai

6 129 121

Efektivitas Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah Dengan Jumlah Penduduk Sebagai Variabel Moderating di Kabupaten Aceh Barat Daya

12 189 142

Prosedur Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan Di Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan

4 73 69

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Perkembangan Pembangunan di Kabupaten Dairi Tahun 2011-2013

4 17 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Komposisi Pendapatan Asli Daerah - Analisis Pengaruh Komposisi Pendapatan Asli Daerah (Pad) Dan Konsentrasi Belanja Daerah Terhadap Penggunaan Anggaran Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara

0 1 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN TEORITIS 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2.1.1.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) - Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Pemerintahan Kota

0 0 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Teori 2.1.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Tengah

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Tanjung Balai

0 0 27

Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Tanjung Balai

0 1 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Belanja Daerah - Pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Aceh dengan Dana Otonomi khusus sebagai Moderator

0 0 18