BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Spiritual - Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas dengan Tingkat Kecemasan Pasien kanker di RSUP. H. Adam Malik Medan
2.1.1. Kebutuhan Spiritualitas
Highfield dan Cason (1983 dalam McSherry, 2006) menggunakan
pendekatan kebutuhan spiritual dalam penelitian deskriptif mereka menyelidiki kesadaran perawat bedah tentang kebutuhan spiritual. Para peneliti mengidentifikasi empat kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan akan makna dan tujuan dalam hidup, kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta, kebutuhan akan harapan dan kebutuhan akan kreativitas.
Stallwood dan Stool dalam McSherry (2006) menyatakan bahwa spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia.
Setiap faktor diperlukan untuk membangun dan mempertahankan hubungan dinamis pribadi seseorang dengan Tuhan atau sebagaimana didefenisikan oleh individu itu dan keluar dari hubungan itu untuk mengalami pengampunan, cinta, harapan, kepercayaan, makna dan tujuan dalam hidup.
Kebutuhan spiritual tidak murni terkait dengan agama atau kepercayan terhadap Tuhan tetapi filosofi semantik terhadap kehidupan atau mencari makna dan tujuan.
Frankl (1987; Travelbee, 1966 dalam McSherry, 2006) menyatakan
bahwa kebutuhan spiritual dipandang sebagai persyaratan paling dalam pada diri sendiri. Jika seseorang mampu mengidentifikasi dan memenuhi persyaratan, maka ia dapat berfungsi secara harmonis, mencari makna, nilai, tujuan dan harapan dalam hidup bahkan saat hidup mungkin akan terancam.
Burnard (1988 dalam McSherry, 2006) seorang individu dapat menyatakan kebutuhan untuk hubungan yang harmonis setelah mengalami gangguan pernikahan. Secara psikologis berorientasi untuk melihat kebutuhan psikologis, ketika pada kenyataannya orang tersebut adalah menyatakan keinginan untuk mengeksplorasi isu-isu yang mendasar, unik dan keberadaan mereka berada di tengah. Secara alami spiritual berasal dari dimensi psikososial, demikian juga, itu akan membuat kesalahpahaman yang serius dan kesalahan untuk menyimpulkan bahwa seorang ateis atau
agnostik tidak memiliki kebutuhan rohani karena mereka tidak mempunyai
kepercayaan pada Tuhan.Narayanasamy dan Owens (2001) menyatakan bahwa adanya kebutuhan spiritual lainnya dengan menerapkan konsep langsung ke keperawatan dan perawatan kesehatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejumlah perawat mengidentifikasi pasien dari ekspresi perasaan emosional dan mencari makna dan tujuan. Dari hasil wawancara yang diperoleh, ketakutan merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa tegang, nyeri dan emosional. Para pasien takut akan kematian dan mereka tidak ingin suaminya mengetahui akan ketakutannya. Mereka membutuhkan bimbingan, mencari makna dan tujuan untuk mengatasi emosinya.
Yong et al (2008) menyatakan bahwa kebutuhan spiritual terdiri dari lima yaitu arti dan tujuan, harapan, mencintai dan hubungan yang harmonis, hubungan dengan Tuhan dan menerima kematian. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kebutuhan harapan untuk kesembuhan, memiliki ketenangan dengan diri dan kehidupan serta merasakan kedamaian dan memiliki hubungan telah terbukti menjadi alat yang efektif untuk mengatasi penyakit. Makna dan tujuan hidup merupakan komponen utama dari spiritualitas karena ketika seseorang tidak dapat menemukan makna dan tujuan hidup selama masa-masa sulit, mereka mungkin mengalami depresi dan kebutuhan spiritual merupakan intervensi yang penting dalam mengatasinya. Mencintai dan hubungan yang harmonis dengan orang lain merupakan kebutuhan manusia secara universal karena menunjukkan bahwa mereka selalu harus ada dengan keluarga agar pasien menjadi lebih kuat. Menerimaan kematian termasuk kebutuhan untuk mengatasi tanggung jawab hidup dan mempersiapkan kematian yang tujuannya mengatasi kekhawatiran setelah kematian.
Galek et al (2005) menyatakan bahwa kebutuhan spiritual terdiri dari enam yaitu kebutuhan akan mencintai, harapan, arti dan tujuan, moral dan etik, apresiasi keindahan dan kematian. Shelly dan Fish (1988 dalam McSherry, 2006) mengidentifikasi tiga kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan akan makna dan tujuan, kebutuhan akan cinta dan keterkaitan dan kebutuhan untuk pengampunan.
Colliton (1981 dalam McSherry, 2006) menekankan bahwa kebutuhan spiritual adalah kebutuhan yang menyentuh inti dari seseorang yang menjadi tempat pencarian makna pribadi. Ini adalah peran para profesional perawatan kesehatan untuk membantu individu dalam memahami dan menemukan makna di saat terjadinya krisis seperti penerimaan diagnosis terminal, kehilangan orang yang dicintai atau berpartisipasi dengan kehidupan dengan cacat permanen.
2.1.2. Komponen Kebutuhan Spiritualitas
a. Arti dan tujuan Kita semua memiliki keinginan dan kebutuhan untuk mengidentifikasi beberapa makna dalam hidup kita dan keberadaan yang akan membantu dalam menghasilkan motivasi atau tujuan, yang akan menyebabkan rasa pemenuhan. Pencarian ini dilakukan dalam masa sehat maupun sakit (McSherry, 2006). Kebutuhan untuk menemukan arti dan tujuan merupakan dimensi penting diseluruh literarur. Beberapa penulis menekankan bahwa penyakit fisik sering bertindak sebagai pemicu. Satu yang terpenting adalah sebuah perjalanan batin untuk mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan hidup dan mati serta untuk mengatur ulang prioritas berhubungan dengan fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Narayanasamy menyatakan bahwa penyakit juga dapat sebagai satu tantangan yang sudah ada pada sistem personal. Kebutuhan untuk memahami eksistensi manusia, dengan melihat adanya arti, dapat menemukan kedamaian, tidak peduli seberapa parah penyakitnya (Galek et al, 2005).
b. Kebutuhan akan cinta dan hubungan yang harmonis Tanpa keintiman dan kenyamanan yang diperoleh dengan orang lain misalnya pasangan, rekan atau teman dekat, kita bisa merasa terisolasi, sendirian dan kehilangan sentuhan, keamanan dan cinta. Kebutuhan akan hubungan yang harmonis penting yang berasal dari kontak pribadi dan keterlibatan dengan orang – orang. Namun, kasih sayang yang sama dihasilkan atau dialami melalui kontak dekat dengan penciptanya.
Pengamantan telah dilakukan dan hasil yang diperoleh bahwa hubungan tidak akan selalu harmonis dan individu dapat tumbuh dan belajar dari semua pengalaman (McSherry, 2006).
Mencintai, memiliki dan menghormati merupakan kategori yang terbesar. Banyak pasien menyatakan bahwa pentingnya seorang ustad atau pendeta dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Dari hasil survey yang diperoleh kebutuhan spiritual pasien yaitu agar dapat diterima setiap orang, kasih sayang dan kebaikan, dapat merasakan hubungan dengan dunia, persahabatan dan menghargai fungsi tubuh (Galek et al, 2005).
c. Kebutuhan untuk pengampunan Pada saat hidup akan terjadi hal yang mengganggu dan akan terjadi konflik. Namun, kemarahan dan rasa bersalah yang belum terselesaikan dapat menyebabkan hilangnya fisik, psikologis, sosial dan kesejahteraan spiritual. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan, ada kebutuhan untuk mencoba dan menyelesaikan konflik dalam kehidupan dan pada waktu memaafkan (McSherry, 2006).
Mickley dan Cowles (2001 dalam Kozier et al, 2004) menyatakan bahwa pengampunan (forgiveness) mendapatkan perhatian meningkat dari para profesinal pelayanan kesehatan. Bagi banyak klien, sakit atau kecacatan berkaitan dengan rasa malu dan rasa bersalah. Masalah kesehatan diinterpretasi sebagai hukuman atas dosa dimasa lalu seperti melakukan hubungan sek sebelum menikah adalah penyebab dari kanker payudara yang di alaminya. Klien yang sedang menghadapi kematian dapat mencari atau meminta pengampunan dari yang lain termasuk dari Tuhan. dalam penelitiannya menganjurkan pada perawat yang mempunyai peran penting, agar membantu klien dengan memahami proses pengampunan ini dan memenuhi kebutuhan spiritualitas klien melalui pengampunan ini.
d. Kebutuhan untuk sumber harapan dan kekuatan Spiritualitas sering disebut sebagai sumber kekuatan batin dan keyakinan harapan. Keyakinan seseorang, nilai-nilai dan sikap akankah membawa harapan pada orang, masa depan atau dari perspektif agama, seperti hidup yang kekal yang memungkinkan individu untuk menimba kekuatan dari komitmen dan keyakinan mereka (McSherry, 2006).
Galek et al (2005) menyatakan bahwa kekuatan harapan dan rasa syukur dapat memupuk dan memberi semangat pasien. Meskipun harapan itu dikonseptualisasikan dalam berbagai cara. Peneliti menekankan kapasitas harapan dapat berhubungan dengan kemungkinan dan realita dari luar diri.
Dari hasil survey didapatkan bahwa kebutuhan akan harapan dapat memberikan kedamaian dan kepuasan, menjaga agar pandangan tetap positif, bersyukur atau berterima kasih.
Stephenson (1991 dalam Kozier et al, 2004) menyatakan bahwa harapan adalah inti dalam kehidupan dan merupakan dimensi esensial bagi keberhasilan dalam menghadapi dan mengatasi keadaan sakit dan kematian. Harapan sebagai suatu proses antisipasi yang melibatkan interaksi pemikiran, tindakan, perasaan dan relasi, yang arahkan pada masa datang untuk pemenuhan akan kepribadian yang penuh makna. Jika tidak mempunyai harapan dan tidak ada yang memberikan harapan tersebut, maka sakit yang dialami, dirasakan seperti bekembang memburuk lebih cepat.
e. Kreativitas Kreativitas merupakan kemampuan seseorang berfikir dan bertingkah laku. Kreativitas digunakan seseorang untuk mengekspresikan sifat dasarnya melalui suatu bentuk atau medium sehingga menghasilkan rasa puas baginya. Kemampuan untuk menemukan makna, ekspresi dan nilai dalam aspek kehidupan seperti sastra, seni, musik dan kegiatan lainnya yag berasal dari sifat kreatif individu, menyediakan ekspresi dan makna serta sarana komunikasi. Kreativitas dapat berbentuk inspirasi, mengangkat emosi seseorang dan perasaan untuk keindahan hadir dalam bentuk kreasi (McSherry, 2006).
f. Kepercayaan Individu terisolasi dan diabaikan ketika kehilangan kepercayaan.
Dipercaya dapat berbentuk diterapkan pada teman-teman masing-masing keluarga atau masyarakat dunia pada umumnya. Kepercayaan adalah prasyarat untuk membangun persahabatan dan hubungan terapeutik. Dengan mengadopsi pendekatan ini, itu akan muncul bahwa kepercayaan adalah penting untuk eksistensi dan komunikasi. Dipercaya menyebabkan rasa nilai, harga diri dan penerimaan oleh orang lain. Kemampuan untuk mengekspresikan keyakinan pribadi dan nilai-nilai dalam kehidupan adalah kebutuhan mendasar untuk mengekspresikan keyakinan pribadi dan nilai- nilai. Kebutuhan ini dipupuk dalam masyarakat modern. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan keyakinan pribadi dan nilai-nilai dapat menyebabkan frustasi dan akhrinya permusuhan (McSherry, 2006).
Taylor (1997 dalam Kozier et al, 2004) menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan merupakan hal yang sangat penting ditanamkan dalam diri. Dengan adanya kepercayaan menyadarkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang ada baik alam semesta maupun isinya adalah bersumber dari Tuhan. Seseorang yang tidak memiliki kepercayaan akan merasa ragu dana bimbang. Orang yang percaya akan memiliki kepasrahan dalam dirinya sehingga orang tersebut memiliki kepastian dalam hidupnya.
g. Mempertahankan praktek-praktek kesejahteraan spiritual Seperti kemajuan hidup kita, praktik kesejahteraan spiritual tertentu dapat dikembangkan dan dibentuk. Praktek ini dapat berasal dari dalam kerangka agama seperti kebutuhan untuk doa sehari-hari atau menghadiri kebaktian gereja, masjid atau kuil. Namun seseorang individu mungkin telah tumbuh secara rohani melalui perjalanan waktu di daerah pedalaman atau dengan mengambil keterlibatan dalam olahraga. Selam periode sakit atau rawat inap, akan ada kebutuhan untuk memastikan praktek tersebut terus bila memungkinkan (McSherry, 2006). h. Keyakinan atau keimanan Fowler (1981 dalam Kozier et al, 2004) menyatakan bahwa keimanan adalah kepercayaan atau komitmen kepada sesuatu atau seseorang. Keimanan dapat ada baik pada orang yang beragama maupun orang yang tidak beragama. Keimanan memberikan makna hidup, memberikan kekuatan pada saat individu mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Untuk klien yang sedang sakit, keimanan terhadap Tuhan, Allah, atau lainnya dalam diri klien sendiri, dalam setiap anggota tim kesehatan, atau pada keduanya, dapat memberikan kekuatan dan harapan.
2.1.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas Menurut Craven et al (1996 dalam Yani, 2008) menyatakan bahwa faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah: a.
Pertimbangan tahap perkembangan Berdasarkan hasil penelitian Craven et al (1996) terhadap anak-anak dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama dan kepribadian anak.
b.
Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritualitas anak. Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. Olah karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
c.
Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama dan termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan. Perlu diperhatikan apa pun tradisi agama atau sistem kepercayaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual adalah hal unik bagi tiap individu.
d.
Pengalaman hidup sebelumnya Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut.
e.
Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk.
Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fisik dan emosional. f.
Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Klien yang dirawat merasa terisolasi dalam ruangan yang asing baginya dan merasa tidak aman. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri secara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang biasa memberikan dukungan setiap saat diinginkan. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual dapat beresiko terjadinya perubahan fungsi spiritualnya.
g.
Isu moral terkait dengan terapi Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara
Tuhan untuk menunjukkan kebesarannya walaupun ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan. Prosedur medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama.
h.
Asuhan keperawatan yang sesuai
Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual pasien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat justru menghindar untuk memberikan asuhan spiritual. Alasan tersebut antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam keperawatan atau merasa bahwa pemenuhan spiritual pasien bukan menjadi tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama.
2.1.4. Peran Perawat Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan klien termasuk juga kebutuhan spiritual klien. Berbagai cara perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Dalam memenuhi kebutuhan spiritual tersebut perawat memperhatikan tahap perkembangannya, sehingga asuhan yang diberikan dapat terpenuhi sebagaimana mestinya (Hamid, 2008).
Layanan bimbingan spiritual bagi pasien semakin diakui memiliki peran dan manfaat yang efektif bagi penyembuhan. Bahkan di tangan para perawat Rumah sakit yang profesional, perawatan spiritual khususnya bimbingan spiritual memberikan kontribusi bagi proses penyembuhan pasien.
Dari proses komunikasi yang dibangun oleh para perawat rumah sakit yang profesional, para pasien bisa memulihkan kondisi psikologisnya. Pendekatan terapi keagamaan khusunya pemenuhan kebutuhan spiritual dalam bidang kedokteran bukan untuk tujuan mengubah keyakinan pasien terhadap agamanya melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penderitaan penyakit atau gangguan pada kesehatannya (Sholeh, 2005).
Terapi keagamaan yang diberikan berupa bimbingan tentang konsep sehat sakit dari sudut pandang agama, bimbingan untuk berdzikir dan berdoa.
Dengan beragama yang benar, hidup menjadi lebih ikhlas atau pasrah terhadap segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan, sehingga akan terjadi keseimbangan. Semua protektor yang ada di dalam tubuh manusia bekerja dengan ketaatan beribadah, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pandai bersyukur sehingga tercipta suatu keseimbangan dari neurotransmiter yang ada di dalam otak (Hawari, 2007).
Memfasilitasi kebutuhan pasien terhadap pelaksanaan keagamaan, perawat perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai kebutuhan spiritual pasien.
Misalnya mengetahui masalah-masalah atau kendala pasien dalam melaksanakan ibadah kemudian berusaha membantu mencari solusi atas masalah-masalah atau kendala yang dihadapi pasien. Seorang perawat disarankan untuk tidak langsung memberikan bantuan pada pasien tanpa mengkaji kebutuhan spiritual pasien terlebih dahulu. Kemudian perawat dapat memberikan pilihan pada pasien dalam melakukan peribadatan untuk memberikan kemandirian pada pasien dalam mengambil keputusan. Misalnya dengan menawarkan bantuan atau pasien ingin melakukan peribadatan secara personal atau memberikan privasi untuk berdoa. Selanjutnya perawat memfasilitasi pasien untuk melakukan pilihannya (Sholeh, 2005).
Pada pasien dalam keadaan terminal, perawat memfasilitasi untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien, misalnya menanyakan siapa-siapa yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan klien dan didiskusikan dengan keluarganya (teman-teman dekat atau anggota keluarga lain). Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan-kunjungan teman-teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan atau membantu klien untuk membersihkan diri dan merapikan diri. Meminta saudara atau teman- temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila klien mampu membacanya (Hamid, 2008).
Bantuan memenuhi kebutuhan spiritual misalnya dengan menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana klien selanjutnya menjelang kematian. Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Disini tokoh agama dapat menuntun pasien untuk mencapai ketenangan sehingga dapat mencapai good death dan perawat membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas kemampuannya (Sholeh, 2005).
McSherry (2004) menyatakan bahwa tidak semua pasien akan hadir dengan kebutuhan rohani atau mengangkat semua permasalahan yang eksistensial atau spiritual sebagai akibat dari penyakit mereka. Olah karena itu, kita dapat membuat asumsi dalam perawatan kesehatan bahwa semua pasien atau pengguna jasa akan hadir dengan kebutuhan rohani, atau bahwa mereka akan ingin membahas hal-hal yang bersifat spiritual dengan profesional perawatan kesehatan serta pentingnya memiliki beberapa mekanisme untuk memastikan kebutuhan rohani pasien akan ditangani secara efektif dan bertemu praktek keperawatan kesehatan.
Narayanasamy (2004) menyatakan bahwa perawat dan pemberi pelayanan kesehatan lainnya tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual pasien mereka, karena berbagai alasan. Salah satunya disebabkan banyak perawat tidak memahami secara utuh apa yang dimaksud dengan spiritualitas.
2.2.1. Pengertian Kecemasan Kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif (Stuart, 2001). Kecemasan sebagai respon emosi tanpa objek yang spesifik secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati et al, 2005).
2.2.2. Penyebab Kecemasan Suliswati et al (2005) menyatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kecemasan yaitu : a.
Faktor predisposisi
Terdiri dari peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional. Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik, konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan. Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang berdampak terhadap ego.
Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani kecemasan akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap konflik yang dialami karena mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiapine dapat menekan neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
b.
Faktor presipitasi
Terdiri dari ancaman terhadap integritas fisik meliputi sumber internal meliputi kegagalan mekanisme fisiologi sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal. Sumber eksternal meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polusi lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal. Ancaman terhadap harga diri terdiri dari sumber internal meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru, berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri. Sumber eksternal meliputi kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
Hawari (2001) menyatakan bahwa tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari berat atau tingkatan yang dirasakan oleh individu tersebut. Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum adalah sebagai berikut: a.
Perasaan cemas meliputi cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah tersinggung.
b.
Ketegangan meliputi merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.
c.
Ketakutan pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan orang banyak.
d.
Gangguan tidur meliputi sulit untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi buruk dan mimpi yang menakutkan.
e.
Gangguan kecerdasan meliputi kesulitan berkonsentrasi, daya ingat menurun dan daya ingat buruk.
f.
Perasaan depresi meliputi hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan perasaan berubah-ubah sepanjang hari. g.
Gejala somatik atau fisik pada otot meliputi sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot dan suara tidak stabil.
h.
Gejala somatik atau fisik pada sensorik meliputi tinnitus (telinga berdenging), penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan perasaan ditusuk-tusuk. i.
Gejala kardiovaskuler meliputi takikardi, berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi kuat, lemas seperti mau pingsan, detak jantung menghilang atau berhenti sebentar. j.
Gejala respiratori meliputi rasa tertekan atau sesak di dada, rasa tercekik, sering menarik napas, napas pendek. k.
Gejala gastrointestinal meliputi sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, kembung, mual, muntah, buang air besar konsistensinya lembek, konstipasi dan kehilangan berat badan. l.
Gejala urogenital meliputi sering buang air kecil, tidak dapat menahan buang air kecil, gangguan menstruasi, darah haid berlebihan, darah haid sedikit, masa haid lama, masa haid pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, ejakulasi dini, ereksi melemah, impotensi. m.
Gejala autonom meliputi mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing kepala terasa berat, kepala terasa sakit. n.
Tingkah laku meliputi gelisah, tidak tenang, jari gemetar, dahi berkerut, wajah tegang, otot tegang atau mengeras, nafas pendek dan cepat, wajah merah.
2.2.4. Respon Kecemasan Menurut Stuart (2001) pada orang yang cemas akan muncul beberapa respon yaitu: a.
Respon fisiologis
Terdiri dari sistem kardiovaskular meliputi palpitasi, tekanan darah meningkat, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun. Pada sistem pernafasan meliputi nafas cepat dan pendek, nafas dangkal. Pada sistem gastrointestinal meliputi nafsu makan menurun, mual dan diare. Pada sistem neuromuskular meliputi tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing. Pada traktus urinarius meliputi sering berkemih. Pada sistem integumen meliputi gatal, wajah kemerahan.
b.
Respon perilaku Terdiri dari gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi terkejut, gugup, bicara cepat, menghindar, kurang kooordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal dan melarikan diri dari masalah.
c.
Respon kognitif
Terdiri dari perhatian terganggu, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual dan takut cedera atau kematian. d.
Respon afektif
Terdiri dari mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati rasa, rasa bersalah dan malu. Menurut Stuart (2001) rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami ganguan fisik dan psikososial.
Respon Adaptif Respon Maladaptif Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
2.2.5. Tingkat Kecemasan Peplau (1963 dalam Stuart 2001) mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan.
a.
Cemas ringan
Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya seperti melihat, mendengar dan gerakan menggenggam lebih kuat. Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. b.
Cemas sedang Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Kecemasan ini mempersempit lapang presepsi individu seperti penglihatan, pendengaran dan gerakan menggenggam berkurang.
c.
Cemas berat Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
d.
Cemas berat sekali/panik
Panik berhubungan dengan ketakutan. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Hal itu dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Individu yang mengalami panik juga tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan bahkan kematian.
2.3.1. Pengertian Kanker Kanker merupakan proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal diubah oleh mutasi genetik dari deoxyribo nucleat acid (DNA) selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai berproliferasi secara abnormal kemudian dicapai suatu tahap dimana sel mendapatkan ciri-ciri invasif dan terjadi perubahan pada sel-sel di sekitarnya. Sel-sel tersebut menginfiltrasi jaringan-jaringan sekitar dan memperoleh akses ke limfe dan pembuluh- pembuluh darah, melalui pembuluh-pembuluh darah tersebut sel dapat terbawa ke area lain dalam tubuh untuk membentuk metastase pada bagian tubuh yang lain (Smeltzer & Bare, 2002).
2.3.2. Penyebab Kanker a.
Umur Kebanyakan kanker menyerang di atas usia 45 tahun. Bukan berarti kanker bisa kebal di bawah usia 45 tahun, maka semakin berumur kita harus memperbaiki faktor-faktor yang bisa merugikan kesehatan tubuh.
b.
Kebiasaan buruk Merokok dapat meningkatkan resiko kanker paru, konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kanker.
c.
Lokasi geografis
Negara-negara industri memiliki tingkat resiko terkena kanker tertentu yang lebih tinggi dibandingkan Negara berkembang. Namun, diyakini bahwa faktor lingkungan seperti gaya hidup, budaya, diet, air dan kualitas udara memainkan peranan dalam penyebab kanker sehubungan dengan geografis.
d.
Diet Asupan tinggi lemak dikaitkan dengan kanker payudara, usus besar, ovarium, ginjal, paru-paru dan endometrium. Asupan serat yang rendah dikaitkan dengan tingkat resiko terkena kanker usus besar yang lebih tinggi.
e.
Kurangnya olahraga Waktu yang sebagian besar dihabiskan di atas tempat duduk dihubungkan dengan peningkatan resiko terkena berbagai macam kanker.
f.
Tingginya kadar estrogen Dapat meningkatnya resiko terkena kanker reproduksi seperti payudara dan endometrium.
g.
Genetika Kebanyakan orang berpikir bahwa genetika adalah faktor resiko utama penyebab kanker, tetapi riwayat keluarga dan DNA hanyalah salah satu faktor.
h.
Penghasilan
Pendapatan rendah dikaitkan dengan tingkat resiko yang lebih tinggi terkena kanker lambung, kanker paru-paru (pada laki-laki), kanker serviks (pada wanita), kanker mulut, faring, laring, esofagus sedangkan pendapatan yang lebih tinggi dikaitkan dengan resiko yang lebih tinggi pada kanker kulit, kanker payudara, kanker prostat. i.
Pendidikan
Tingkat pendidikan yang lebih rendah terkait dengan resiko terkena kanker yang lebih tinggi dan cenderung kurang memiliki akses pada informasi pencegahan kanker (Rahmad, 2012).
2.3.3. Kebutuhan Spiritual Pasien Kanker Menurut Rando (1984 dalam Yani 2008) keyakinan beragama dapat membantu menyokong pasien dalam menghadapi krisis kehidupan termasuk kematian melalui berbagai hal berikut: a.
Membantu mengeidentifikasi rasa takut dan ansietas tidak saja dengan mengungkapkan kedukaan, tetapi juga melalui rasa syukur terhadap karunia dan pengalaman yang telah diberikan Tuhan.
b.
Menekankan kepada peristiwa kehidupan dan pengalaman kemanusiaan yang membuat kehidupan tampak lebih mudah dipahami.
c.
Membantu pasien mengalihkan pikiran dan perasaan pada tindakan yang konstruktif.
d.
Memungkinkan pasien untuk mengalihkan peristiwa kehidupan yang tragis ke arah kekuatan yang memberi harapan dan cinta.
e.
Mengarahkan pada kepekaan spiritual dan aspirasi yang tinggi sehingga mudah menemukan hikmah yang terkandung dalam penderitaan.
f.
Mengurangi rasa bersalah dan berduka dalam menghadapi saat-saat akhir kehidupan.
g.
Mengalihkan perhatian dari kematian, tidak untuk mengingkari, tetapi dengan menempatkannya dalam perspektif yang lebih luas.
2.4.1. Keperawatan Holistik Dossey (2005) menyatakan bahwa model yang paling komprehensif yang tersedia untuk memandu perawatan kesehatan utama adalah biopsycho sosial- spiritual model. Dalam model holistik, semua penyakit yang memiliki komponen psikosomatik dan biologis, faktor psikologis, sosial dan spiritual selalu berkontribusi untuk gejala-gejala penyakit pasien. Dimensi spiritual dalam model biopsycho-sosial-spiritual menggabungkan spiritualitas dalam konteks yang luas, nilai-nilai, makna dan tujuan dalam hidup. Ini mencerminkan sifat manusia yang peduli, mencintai, kejujuran, kebijaksanaan dan imajinasi. Konsep semangat menyiratkan suatu kualitas transendensi, sebuah kekuatan membimbing atau sesuatu di luar diri dan melampaui individu perawat atau klien. Ini mungkin mencerminkan keyakinan akan adanya kekuatan yang lebih tinggi. Bagi sebagian orang, semangat dapat menunjukkan perasaan sepenuhnya mistis atau kualitas dinamis yang mengalir dari kesatuan. Hal ini sulit didefenisikan, namun merupakan sebuah kekuatan vital secara mendalam yang dirasakan oleh individu. Roh manusia dapat membuat perbedaan antara hidup dan mati serta kesehatan dan penyakit.
Biologi Spiritual
MANUSIA
Psikologi Sosiologi
Gambar 2.4 The Bio-Psycho-Social-Spiritual ModelSetiap komponen dari model bio-psiko-sosial- spiritual saling tergantung dan saling terkait. Hal ini diperlukan untuk mengatasi semua komponen untuk mencapai hasil terapi yang optimal. Terlepas dari penyakit yang terlibat, teknologi yang dikembangkan atau terapi yang digunakan, model bio-psiko-sosial-spiritual menyediakan peta jalan utama keseluruhan dalam merawat pasien secara keseluruhan.
Dua tantangan utama dalam keperawatan telah muncul di abad kedua puluh satu. Yang pertama adalah untuk mengintegrasikan konsep teknologi, pikiran dan jiwa ke dalam praktek keperawatan, yang kedua adalah untuk mengintegrasikan model untuk keperawatan kesehatan yang memandu penyembuhan diri dan orang lain. Keperawatan holistik adalah acara yang paling lengkap untuk konsep dan praktek keperawatan profesional
2.4.2 Elemen Spiritual
a. Keterhubungan dengan sumber suci atau Tuhan Sumber suci mungkin dijelaskan sebagai orang, kehadiran atau sebagai sebuah misteri yang melampaui kata-kata. Ketidakcukupan bahasa sangat jelas ketika kita mencoba untuk mendiskusikan atau menggambarkan apa yang ada di dalam dan diantara kita, namun di luar dan kekuatan yang lebih besar dari kita. Pikiran rasional kita tidak bisa memahami Tuhan dan setiap deskripsi atau kata-kata yang digunakan untuk berbicara tentang sumber suci masih kurang. Tuhan jauh dari konsep apa pun yang dipikirkan manusia. Kata-kata dan deskripsi, bagaimanapun, alat-alat dari pikiran rasional yang bsia mengarahkan kita kepada Tuhan. Konsep Tuhan yang dikembangkan oleh pikiran rasional mungkin bersifat pribadi atau kelompok.
Menghubungkan dengan sumber suci bisa melibatkan hal-hal seperti doa, ritual, rekonsiliasi dan ketenangan. Ajaran dari tradisi keagamaan menawarkan berbagai perspektif mereka sendiri dan pedoman bagaimana cara berhubungan dengan sumber suci. Memahami bagaimana orang mencari dan merasakan hubungan dengan sumber suci dan hambatan yang mungkin mereka hadapiu adalah penting dalam memberikan perawatan spiritual (Dossey, 2005).
b.
Keterhubungan dengan alam
Spiritualitas sering diungkapkan pada pengalaman melalui rasa keterhubungan dengan alam, lingkungan dan alam semesta. Hewan, burung, ikan dan makhluk lainnya di bumi yang memberikan makna dan suka cita bagi orang-orang dari segala usia. Kesadaran semua bentuk kehidupan di bumi dan tempat mereka dalam keteraturan alam, merupakan sumber hubungan dan apresiasi spiritual. Burung-burung atau lebah dengan bunga- bunga semua menggambarkan keajaiban dari berbagai bentuk kehidupan yang sangat memberikan pengalaman spiritual. Kesadaran dari keterhubungan dengan bumi dan alam semesta. Individu bukan penenun dari jaringan kehidupan, melainkan masing-masing untai dalam jaringan tersebut.
Apa yang mereka lakukan untuk jaringan mereka lakukan untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian, apa yang terjadi pada bumi dan lingkungan mempengaruhi mereka dan sebaliknya. Pilihan dan tindakan mereka dalam segala hal mempengaruhi alam. Memahami keterkaitan antara roh dan materi dasar untuk beberapa tradisi dan dikenal di beberapa tingkat dalam semua tradisi spiritual, khususnya dikalangan mistikus.
Banyak orang mengalami rasa hubungan dengan sumber suci melalui alam, terlepas dari latar belakang agama mereka. Orang sering mengekspresikan perasaan tertentu kedekatan dengan diri spiritual mereka saat berjalan di pantai, duduk didekat pohon kesukaan mereka, melihat matahari terbenam, mendengarkan air yang mengalir, melihat api, merawat tanaman dan sebaliknya mengalami tatanan alam. Alam bisa menjadi sumber kekuatan, inspirasi dan kenyamanan yang semuanya adalah atribut dari spiritualitas (Dossey, 2005).
c.
Keterhubungan dengan orang lain
Spiritualitas diketahui dan dialami dengan adanya hubungan, dengan kenyamanan, dukungan, konflik dan perselisihan yang menandai hubungan tersebut. Orang-orang mengekspresikan dan mengalami spiritualitas melalui apresiasi ikatan yang sama dengan seluruh umat manusia dan hubungan khusus mereka dengan orang lain. Spiritualitas dibentuk dan dipelihara dalam pengalaman seseorang dalam masyarakat dimulai dengan keluarga.
Masyarakat, baik formal maupun informal dimana orang menjalani kehidupan mereka memberikan konteks untuk mengekspresikan rasa spiritual.
Masyarakat memberikan kesempatan untuk berbagi perjalanan spiritual.
Orang sering berbicara tentang spiritualitas dalam hal hubungan mereka, baik harmonis dan tidak harmonis. Pembentukan, bekerja, memelihara dan perbaikan hubungan adalah bagian penting dari spiritualitas seseorang. Berada dengan orang lain dengan cara mencintai dan mendukung adalah sebuah ekspresi dari spiritualitas, seperti berjuang dengan hubungan yang menyakitkan dan sulit dengan keluarga, teman dan kenalan. Hubungan yang memerlukan penyembuhan adalah hal yang penting untuk spiritualitas seperti halnya orang-orang yang memberikan dukungan dan kenyamanan.
Keterhubungan spiritual dengan orang lain baik dalam hal memberi dan menerima. Keterbukaan untuk menerima cinta, hidup dan sumber suci adalah sikap spiritual. Memang, kehadiran yang sejati bahwa seseorang berbagi dengan yang lain, dengan kejujuran yang tersirat penuh kasih dan keintiman adalah manifestasi dari spiritualitas. Spiritualitas dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari dan saat-saat khusus bersama dengan orang lain saat suka cita, kesedihan, ritual, seksualitas, doa, bermain, semangat, kemarahan, perdamaaian dan kepedulian (Dossey, 2005).
d.
Keterbukaan dengan diri sendiri
Spiritualitas menanamkan kesadaran yang terus menerus tentang pentingnya menjadi diri sendiri. Kemampuan untuk berada dalam kesadaran yang mengalir dari jiwa adalah elemen penting dari keterkaitan dengan diri. Kesadaran untuk membuka pengalaman hidup di saat ini, hadir untuk tubuh jiwa pikiran mereka sendiri dan memungkinkan mereka untuk menerima semua aspek dari diri mereka sendiri tanpa penghakiman (Dossey, 2005).
2.5. Kerangka Konsep Teoritis
Kebutuhan Spiritualitas Kecemasan
1, 2, 3,8,9 1.
Harapan
1, 2, 3, 5, 6, 7,8,9 2.
Arti dan tujuan Tanda dan gejala
2, 6 3.
Pengampunan kecemasan
3 4.
Keyakinan dan nilai-nilai
1, 2, 3, 4,
5.Hubungan yang harmonis
6,8,9
2
6.Kepercayaan terhadap Tuhan
1 7.
Kreativitas Biologi
Spiritual Manusia Psikologi Sosial
Barbara Montgomeey Dossey, 2005
1
2
3 Highfield dan Cason (1983) , Stallwood dan Stool (2006) , Frankl (1987) ,
4
5
6 Burnard (1988) , Narayanasamy dan Owens ( 2001) , Shelly dan Fish (1988) ,
7
8
9 Colliton (1981) , Galek et al (2005) , Yong et al (2008) .
2.6. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konseptual pada penelitian ini menggambarkan hubungan pemenuhan kebutuhan spiritualitas dengan tingkat kecemasan pasien kanker di RSUP. H. Adam Malik Medan. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada penelitian ini menjadi variabel bebas (independen) sedangkan tingkat kecemasan pasien kanker menjadi variabel terikat (dependen). Untuk variabel independen terdiri dari delapan sub variabel yaitu harapan, arti dan tujuan, pengampunan, keyakinan dan nilai-nilai, hubungan yang harmonis, kepercayaan terhadap Tuhan, kreativitas dan kebutuhan spiritualitas yang diberikan perawat kepada pasien yang akan dihubungkan dengan variabel dependen yaitu tingkat kecemasan. Adapun kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut
Skema1. Kerangka Konsep Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas dengan Tingkat Kecemasan Pasien Kanker di RSUP. H. Adam Malik Medan
Kebutuhan Spiritualitas 1.
Harapan 2. Arti dan tujuan 3. Pengampunan 4. Keyakinan dan nilai-nilai 5. Hubungan yang harmonis 6. Kepercayaan terhadap Tuhan 7. Kreativitas 8.
Tingkat Kecemasan Tanda dan gejala kecemasan