BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Maksilofasial - Hubungan Cedera Maksilofasial dengan Cedera Kepala Di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Maksilofasial Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan

  kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia (Mansjoer, 2000).

  Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian: (Mansjoer, 2000)

  a. Bagian hidung terdiri atas: Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak (Boeis, 2002). b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti : Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot (Boeis, 2002).

2.2 Etiologi

  Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.

  Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Ghazali 2007).

2.3 Epidemiologi

  Dari data penelitian itu menunjukkan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66% (Ghazali, 2007).

  Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38% disertai cedera di tempat lain dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor (Malara, 2006).

2.4 Definisi Trauma Maksilofasial

  Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala (Ariwibowo, 2008).

  c) Fraktur zigomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus).

  Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan

  c) Tulang alveolus (os alveolaris).

  b) Gigi (dens).

  a) Fraktur mandibula (os mandibula).

  3. Fraktur sepertiga bawah muka.

  d) Fraktur orbital (os orbita).

  b) Fraktur maksila (os maxilla).

  Trauma Jaringan lunak 1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.

  a) Fraktur hidung (os nasale).

  2. Fraktur sepertiga tengah muka.

  Trauma Jaringan keras 1. Fraktur sepertiga atas muka.

  6. Cedera hidung.

  5. Cedera telinga.

  4. Cedera kelopak mata.

  3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.

  2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.

2.5 Klasifikasi

  lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (Ghazali, 2007).

a. Trauma Jaringan Lunak Wajah

  Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Wim de Jong, 2000):

  1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab

  a. Ekskoriasi

  b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tusuk (vulnus punctum) c. Luka bakar (combustio)

  d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)

  2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

  Skin Avulsion & Skin Loss

  3. Dikaitkan dengan unit estetik Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.(Gambar 1)

  Gambar 2. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. (B) Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Padersen,2007) 4.

  Berdasarkan Derajat Kontaminasi a.

  Luka Bersih.

  Luka sayat elektif. Steril potensial terinfeksi. Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur genitourinarius.

  b.

  Luka Bersih Tercemar.

  Luka sayat elektif. Potensial terinfeksi: Spillage minimal, Flora normal. Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus elementarius, dan traktur digestifus.

  Proses penyembuhan lebih lama.

  c.

  Luka Tercemar.

  Potensi terinfeksi Spillage traktus elementarius. Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan luka penetrasi.

  d.

  Luka Kotor.

  Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Perforasi viscera, abses dan trauma lama.

5. Klasifikasi Lain.

  a.

  Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).

  b.

  Luka Tusukan (puncture).

  c.

  Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung.

a. Trauma Jaringan Keras Wajah

  Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Padersen, 2007):

1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomis dan estetik.

  a.

  Bersifat single : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibula, gigi dan alveolus.

  b.

  Bersifat multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula.

  Gambar 3. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks, 1990) Gambar 4. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis (Pedersen, 2007) 2.

  Dibedakan berdasarkan kekhususan (Padersen, 2007) a.

  Fraktur Dinding Orbita Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara jaringan- jaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa keterlibatan tulang-tulang di daerah sekitarnya. Faktor penyebab bervariasi. Kecelakaan lalu lintas merupakan faktor etiologi yang dominan yang bertanggung jawab menyebabkan terjadinya fraktur dinding inferior orbita. Faktor lain fraktur dinding inferior orbita adalah akibat perkelahian. Selain itu, bisa juga diakibatkan karena senjata yang tumpul atau tajam. Faktor etiologi lain yang mengakibatkan fraktur dinding inferior orbital adalah kecelakaan pekerjaan, contohnya jatuh dari tempat yang tinggi atau alat yang jatuh ke kepala atau kecelakaan ketika berolahraga terutamanya olahraga seperti tinju, kriket, hoki serta sepak bola, tembakan serta gigitan hewan.

  Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan terjadinya fraktur dinding inferior orbita, atau fraktur blow-out. Teori yang predominan mengatakan bahwa fraktur ini disebabkan kenaikan tekanan intraorbita yang terjadi secara mendadak apabila suatu objek yang lebih besar dari diameter orbita rim memukul. Teori yang kedua menyatakan bahwa suatu objek yang mengenai orbita dengan keras akan mengakibatkan daya yang menekan pada inferior orbita rim dan seterusnya akan merusak dinding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana fraktur blow-in terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya bahwa penyebab utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya yang mengenai orbita rim. Derajat peningkatan tekanan orbital kemudiannya yang menentukan jaringan orbital didorong ke dalam orbita atau ke sinus maksila.

  Fraktur pureblow-out biasanya terjadi apabila suatu objek tumpul yang lebih besar dari diameter orbital rim seperti tinju, siku, bola baseball, bola tenis, atau bola hoki. Isi orbita akan terkompresi ke posterior, mengarah ke arah apeks orbita. Oleh karena bagian posterior orbita tidak bisa mengakomodasi peningkatan volume jaringan ini, tulang orbita akan patah di titik yang paling lemah yaitu pada dinding inferiornya. Jika daya terjadi dari objek yang lebih kecil dari diameter orbital rim, bola mata akan ruptur atau isi orbital mengalami kerusakan tanpa terjadinya fraktur. Gambar 5. Tekanan yang menyebabkan fraktur dinding inferior orbita (Padersen, 2007)

  Teori yang kedua menyatakan bahwa suatu objek yang mengenai orbita dengan keras akan mengakibatkan daya yang menekan pada inferior orbita rim dan seterusnya akan merusak dinding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana fraktur blow-in terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya bahwa penyebab utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya yang mengenai orbita rim. Derajat peningkatan tekanan orbita kemudiannya yang menentukan jaringan orbita didorong ke dalam orbita atau ke sinus maksila. Basis orbita atau orbita rim pada bagian atas terdiri dari lengkung supraorbita dari tulang frontal, zigoma dan maksila dibawahnya; zigoma pada bagian lateral, dan prosesus frontal maksila pada bagian medial. Dinding orbita ini merupakan tulang yang relatif tipis.

  Orbita kemudian terbagi lagi dalam empat bagian: atap, dinding medial, dinding lateral dan lantai (dinding inferior). Atap orbita hampir seluruhnya terdiri dari dataran orbital dari tulang frontal, dan pada posteriornya terdiri dari greater

  

wing of sphenoid . Dinding medial, yaitu dinding yang paling tipis terbentuk dari

  prosesus frontal maksila dan tulang lakrimal yang sama -sama membentuk lekuk lakrimal. Di belakang crest lakrimal posterior adalah lamina papyracea tulang ethmoid yang sangat tipis dan lesser wing of sphenoid dan foramen optik. Dinding inferior yang berbentuk segitiga terdiri dari tulang zigomatik, prosesus orbita dari tulang palatinal dan sebagian besar dari dataran orbita maksila yang terletak di anterior pada fisur orbita inferior. Bagian dari maksila ini merupakan bagian yang paling sering terlibat di fraktur blow-out pada dinding inferior orbita. Dinding lateral orbita pula terdiri dari prosesus frontal dari zigoma dan tulang frontal pada anterior, serta greater wing of sphenoid pada posterior.

  Gambar 6. Atap dari orbita (Robert,1984) Gambar 7. Dinding Medial Orbita (Robert, 1984) Gambar 8. Dinding Inferior dari Orbita (Robert, 1984) Gambar 9. Dinding Lateral Orbita (Robert, 1984)

  Bola mata biasanya sedikit keluar dari orbita rim dan bola mata terikat oleh ligamen Lockwood dari tuberkulum Whitnall yang terletak dibawah sutura zigomatikofrontal pada dinding dalam orbita rim. Bola mata adalah relatif kuat dan terisi dengan humor vitreous yang tahan terhadap tekanan. Kavitas orbital selebihnya terisi dengan lemak. (Thomas, 2007) Secara umum, fraktur orbita dibagi kepada dua kategori yang luas. Yang pertama merupakan fraktur yang secara relatif eksternal dan melibatkan orbita rim serta tulang-tulang yang berdekatan, sebagai contoh fraktur pada nasoethmoid (nasoorbital) dan fraktur malar. Yang kedua adalah fraktur yang melibatkan tulang secara internal di dalam kavitas orbita. Fraktur ini terjadi tanpa (atau sedikit) penglibatan orbita rim. Fraktur seperti ini biasanya disebut fraktur blow-out atau

  

blow-in . Istilah blow-out ini digunakan oleh Converse dan Smith (1950) untuk

  menggambarkan fraktur pada dinding inferior orbita yang mengarah ke bawah dan memasuki sinus maksilaris mengarah ke atas, memasuki orbita. Sebaliknya blow-

  

in merupakan fraktur yang tanpa melibatkan orbital rim, fraktur ini dipanggil pure

blow-out. Jika orbita rim terlibat, maka orbita rim dikenali sebagai impure blow-

out. Dalam kasus ini, lemak orbita dan otot masuk ke dalam sinus maksilaris,

  menghasilkan enophthalmus. Jika otot rektus inferior dan oblique inferior juga terlibat dalam hal ini, pergerakan bola mata akan menjadi terbatas. Ini dikenal sebagai diplopia (Thomas, 2007).

  Gambar 10A Fraktur Blow Out, 10B Fraktur Blow In (Robert 1984) b.

  Fraktur Zygoma (Thomas, 2007) Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Fraktur Le

  FortI, Le Fort II, dan Le Fort III (Thomas, 2007)

  a. Fraktur Le Fort I Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur

  • – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transversus rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.

  Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral.

  b. Fraktur Le Fort II (Thomas, 2007) Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatikomaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.

  Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

  Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.

  c. Fraktur Le Fort III (Thomas, 2007) Le Fort III adalah Fraktur kraniofasial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.

  Gambar 11A. Fraktur Le Fort I, 10B. Fraktur Le Fort II, 10C Fraktur Le Fort

  III Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.

  Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.Perawatan Fraktur Maksila (Thomas, 2007)

  Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing- masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri.

  Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif dapat dilakukan.

  Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.

  Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting.

  Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.

  d. Fraktur segmental mandibula.

  Gambar 12.(A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B).Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (proyeksi sagital) (London, 1991) a.

  Berdasarkan Tipe fraktur.(Thomas, 2007, Grabb and Smith 2007) a.

  Fraktur simpel.

  Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.

  Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.

  b.

  Fraktur Compound Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.

  c.

  Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompound meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

  d.

  Fraktur kominutif.

  Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

  e.

  Fraktur patologis.

  Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

  b.

  Perluasan tulang yang terlibat.

  a.

  Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.

  b.

  Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi (lekuk).

  c. a.

  Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.

  b.

  Oblique (miring).

  c.

  Spiral (berputar).

  d.

  Comunitif (remuk).

  d.

  Hubungan antar Fragmen.

  Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat. Undisplacement, bisa terjadi berupa : o

  Angulasi / bersudut. o Distraksi. o Kontraksi. o Rotasi / berputar. o Impaksi / tertanam. Inspeksi

  Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah : a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.

  b. luka tembus.

  c. Asimetris atau tidak.

  d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.

  e. Otorrhea / Rhinorrhea f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.

  g. Cedera kelopak mata.

  h. Ecchymosis, epistaksis i. Defisit pendengaran. j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas. Palpasi 1.

  Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.

  2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.

  3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati rasa, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal dan rahang atas.

  4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau endophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.

  5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.

  6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.

  7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema.

  8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.

  9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.

  10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.

  11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.

  12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.

  13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi atau ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).

14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau bengkak.

  Secara bimanual meraba mandibula dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.

15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I.

  Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.

  16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, ginggiva dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.

  17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.

  18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.

  19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.

  20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf. Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII (Boeis,

  2002) 1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya.

  2.N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek motorik tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis.

  

3.N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia.

  4. N. Trigeminal (V)

a) Tes sensorik, sentuh di dahi, bibir atas dan dagu di garis tengah.

  Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit sensorik.

b) Tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.

5. N. Facial (VII)

  a) Area temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.

  c) Area buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi.

  d) Area marjinal mandibula, mengerutkan bibir.

  e) Area cervical, menarik leher (saraf otot platysma, namun fungsi ini tidak terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari).

  atau berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif, akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.

2.6. Penatalaksanaan

  Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial yaitu meliputi :

  1. Periksa kesadaran pasien.

  b) Area zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.

6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, gosok jari

2. Perhatikan secara cermat wajah pasien : Apakah asimetris atau tidak.

  c. Fraktur Orbita

  b. Fraktur nasal Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.

  Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.

  a. Fraktur zigomatikus Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.

  Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.

  3. Apakah ada hematoma :

  Apakah sejajar atau bergeser Apakah pasien bisa melihat Apakah dijumpai diplopia

  Hal ini karena : o Pergeseran orbita o Pergeseran bola mata o Paralisis saraf ke VI o Edema d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.

  Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas, iregularitas, dan krepitasi. Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.

  e. Cedera saraf Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas).

  f. Cedera gigi Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya.

3 Manifestasi klinis

  Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa (Grabb and Smith 2007; Thomas, 2007)

  1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula.

  2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.

  3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.

  4.

  5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.

  Fraktur.

  Di definisikan sebagai fraktur yang melibatkan bagian atas, tengah dan bawah dari wajah, penanganannya berdasarkan insisi yang mengenai empat daerah wajah yaitu daerah frontal , upper midface, lower midface dan occlusion, serta area basal mandibular. Penanganannya meliputi pendekatan secara individual dengan standar penggunaan open fiksasi rigid (Schubert, 2007)

  Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.

  g.

  Trismus (tonik kontraksi rahang) f. Edema.

  e.

  Deformitas, kelainan bentuk.

  movement d.

  Tanda pasti fraktur adalah pemendekan, rotasi, angulasi, dan false

  c.

  6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur.

  Adanya Krepitasi.

  b.

  Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.

  4 Pemeriksaan fisik Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut : a.

  10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.

  Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah nervus alveolaris.

  8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan 9.

  7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.

2.7 Fraktur Panfasial

  2.8 Definisi Cedera Kepala

  Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (American College of Surgeon, 1997).

  2.9 Anatomi Kepala

1. Kulit Kepala, Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai

  SCALP yaitu: (Teasdale, 1996)

  Skin atau kulit a.

b. Connective tissue atau jaringan penyambung

  Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan c. langsung dengan tengkorak Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.

  d.

  Perikranium e. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak- anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya (Narayan, 1996).

2. Tulang Tengkorak

  Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Teasdale, 1996, Marion, 1999).

  3. Meninges, Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : a) Duramater

  Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh- pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media) (Mayes, 1997).

  b) Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (Mayes, 1997,Narayan 1996). c) Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater ( Narayan, 1996) 4.

  Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (Youman, 1996, Marion, 1999).

5. Cairan serebrospinalis

  Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari (Narayan, 1996). Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). (Fearnside, 1997)

6. Vaskularisasi Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

  Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (Mayes, 1997).

2.10 Aspek Fisiologis Cedera Kepala

  a. Tekanan intrakranial Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intrakranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.

  b.

  Hukum Monroe-Kellie Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).Vic = V br+ V csf + V bl

  c. Tekanan Perfusi otakTekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.

  d. Aliran darah otak (ADO)ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (Narayan, 1996, Marion, 1999)

2.11 Patofisiologi Cedera Kepala

  Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi- deselarasi gerakan kepala Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. (Narayan, 1996)

2.12 Klasifikasi Cedera Kepala

  Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.

  a. Mekanisme cedera kepala. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan b. Beratnya cederaCedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut (Youman, 1996): 1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat.

  2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15. Glasgow Glasgow Coma Scale nilai Respon membuka mata (E) Buka mata spontan 4 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3 Buka mata bila dirangsang nyeri 2 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1 Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4 Kata-kata tidak teratur 3 Suara tidak jelas 2 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1 Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

  c. Morfologi cedera Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial (Narayan, 1996)

  1. Fraktur cranium . Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktur tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktur ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Mayes, 1997, Markam, 1999)

  2. Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). (Youman, 1996) Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis

  a. Hematoma Epidural Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.

  Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat me nunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Marion, 1999) c.