Kepribadian Ekstrovert dan Introvert Tokoh Legenda Putri Pinang Mancung pada Masyarakat Melayu Kerajaan Padang Bedagai

  Lampiran 1 Legenda Putri Pinang Mancung

  Dahulu di Kota Tebing Tinggi berdiri beberapa kerajaan kecil. Masing- masing kerajaan dikuasai oleh seorang raja, salah satunya bernama Raja Tebing Pangeran. Menurut silsilah, Raja Tebing Pangeran berasal dari raja pertama kerajaan Padang (Tebing Tinggi) yang dikenal bernama Tuanku Umar Baginda Saleh Komar yang bergelar Tuan Hapultakan Saragih Dasalah. Beliau merupakan raja pertama keturunan bangsawan Kerajaan Raya Simalungun yang dikabarkan hijrah ke luar Wilayah Simalungun, yang kemudian menjelma menjadi masyarakat rumpun Melayu.

  Untuk generasi berikutnya, kedudukan Raja Padang dijabat oleh Raja IV yang bernama Marah Adam, pemerintahannya tidak berkembang atau tidak berjaya. Beda dengan saat ayahnya berkuasa. Pada masa pemerintahan Marah Adam, ditemui ragam kelemahan yang paling prinsipil. Korupsi merajalela dan penegakan hukum sangat lemah.

  Ketika Raja Marah Adam wafat, beliau digantikan oleh putra sulungnya yang dikenal bernama Raja Syahdewa. Beliau kemudian mengendalikan roda pemerintahan dengan sebatas kemampuannya karena belum berpengalaman dan tidak berpendidikan yang cukup. Peristiwa pengambilalihan kekuasaan ini berlangsung sekitar tahun 1780. Di era pemerintahan Raja Syahdewa tersebut, tidak ada hal-hal yang dapat dibanggakan.

  Begitu Raja Syahdewa sudah tiada, beliau digantikan oleh Raja Sidin, sebagai generasi VI. Beda dengan raja-raja sebelumnya, raja sidin berkuasa hingga beliau berusia lanjut. Pada usia tua itu beliau wafat. Raja generasi VI itu digantikan dengan generasi ke VII, yakni Raja Padang yang bernama Raja Pangeran

  Selama berkuasa di kerajaan Padang, ia dikenal sebagai raja terkaya dan berwibawa serta berkharisma. Rakyatnya selalu mengelu-elukan beliau sebagai raja yang santun dan berjiwa sosial serta berpihak pada kepentingan rakyatnya.

  Beliau terkenal sebagai pribadi yang sangat demokratis dan adil. Teguh menegakkan kebenaran. Kaum miskin diberikan bantuan setiap bulan sehingga mereka mendapatkan pekerjaan. Sifat pengasih dan penyayangnya tidak diragukan lagi.

  Raja Pangeran mempunyai seorang putri. Parasnya elok dan mempesona. Tubuh tinggi semampai. Oleh karena hidungnya mancung, gadis itu diberi nama dan gelar Putri Pinang Mancung. Nama dan gelarnya di ambil dari tubuhnya yang tinggi semampai seperti pohon pinang dan mancung di ambil dari hidung si gadis yang mancung. Nama dan gelar tersebut melekat hingga akhir hayatnya.

  Ada kembang yang semerbak mewangi. Tentu banyak kumbang yang mendekat. Karena kecantikan paras dan keelokan tubuhnya, maka tak heran apabila banyak yang tertarik kepada pinang mancung.

  Konon, ramai pula raja-raja dari seberang dan putra-putra raja yang saling bersaing untuk merebut hati dan simpati Putri Pinang Mancung. Sang raja memamerkan kekayaan harta benda yang melimpah, meskipun sudah berusia lanjut, mereka ingin menjadikan Putri Pinang Mancung sebagai istri kesekian.

  Sementara para putra raja membanggakan ketampanan wajah dan keahlian berperang mereka. Ada pula yang menjanjikan berbulan madu ke tempat-tempat yang dianggap sebagai surga dunia.

  Akan tetapi, bagi Putri Pinang Mancung, materi atau harta kekayaan bukan menjadi ukuran yang utama. Menurutnya kekayaan itu tidak abadi dan bukan jaminan kebahagiaan, dalam sekejap mata semua bisa sirna begitu saja.

  Putri Pinang Mnacung lebih mengutamakan kekayaan akal budi. Karena akal budi bisa membawa perasaan bahagia dunia dan akhirat.

  Itulah mengapa Putri Pinang Mancung selalu menolak dipersunting oleh raja-raja dan bagi siapa saja yang hanya membanggakan harta dan kekayaan.

  Padahal ayah Putri Pinang Mancung dikenal sebagai raja yang kaya raya dan mendambakan pendamping hidup anaknya berasal dari keturunan raja yang kaya raya pula. Agar kelak hidup Putri Pinang Mancung berkecukupan dalam hal materi bahkan bergelimangan harta benda dan memiliki koleksi emas permata yang beragam.

  Dalam hal ini Putri Pinang Mancung sering berselisih paham kepada ayahnya. Itu terbukti dari keseharian Putri Pinang Mancung memang selalu menjalani hidup dengan bersahaja. Tidak pernah mengenakan pakaian mewah kapan saja dan di mana saja.

  Bahkan dalam pergaulan sehari-hari Putri Pinang Mancung ia lebih memilih berteman dengan rakyat biasa. Sering pula bersenda gurau dengan orang- orang biasa yang bekerja di istana.

  Di antara orang-orang itu ada seorang budak istana bernama Tualang, dia seorang anak muda yang bekerja sebagai pesuruh (budak) di istana. Konon, Putri Pinang Mancung menaruh perhatian lebih pada si budak yang bernama tualang. Hal itu mungkin disebabkan Tualang yang sering disuruh-suruh di lingkungan istana mempunyai disiplin kerja yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sehari- hari.

  Tualang tidak pernah membantah apalagi menolak setiap perintah yang diberikan padanya. Selain sifat disiplin, ia juga memiliki sifat jujur dan hasil setiap pekerjaannya selalu sesuai dengan yang diperintahkan. Itu sebabnya Tualang sering dipercaya untuk menemani Putri Pinang Mancung sekaligus menjaga dan mengawasi Putri Pinang Mancung.

  Hubungan keduanya semakin akrab dan sudah mengenal kepribadian satu sama lain. Sehingga tidak jarang Putri Pinang Mancung mengajak Tualang berjalan-jalan ke taman bunga Borjonis yang letaknya tidak jauh dari lingkungan istana. Di sana mereka bersama-sama menikmati keindahan bunga-bunga dan pemandangan alam.

  Mereka tetap saling menjaga jarak, bahkan sama sekali keduanya tidak pernah bersentuhan tangan sekalipun. Tualang selalu menjaga adat kesopanan dan selalu bicara santun. Hal-hal seperti itu yang membuat Putri Pinang Mancung semakin tertarik pada Tualang. Kesopanan dan kesantunannya menjadi pemikat hubungan yang berbeda kasta tersebut.

  Di suatu senja saat berada di taman, keduanya saling bertatap pandang. Hati Putri Pinang Mancung saat itu terkesan bergejolak. Putri Pinang Mancung merasa getaran cinta semakin kuat dia rasakan. Mungkin benar juga bunyi ungkapan, dari mana datangnya cinta. Dari mata terus ke hati. Karena itu Putri Pinang Mancung mulai angkat bicara untuk menarik perhatian tualang.

  “Tualang...” Putri Pinang Mancung memanggil setengah berbisik. “Hamba tuan putri...”jawab Tualang sambil menunduk. “Mengapa engkau mengalihkan pandanganmu? Pandanglah kearahku!” “Hamba mohon maaf tuan Putri... tidak pantas bagi hamba menatap tuan Putri” jawab Tualang sambil terus menunduk.

  “Baiklah, jikalau engkau tak hendak memandangku, aku hanya ingin bertanya padamu wahai Tualang” Putri Pinang Mancung bertanya dengan setengah berbisik.

  “Perihal apakah itu, Tuan Putri?” Tualang menjawab. “Apakah engkau tidak merasakan sesuatu hal ketika engkau dan aku bersama seperti saat ini? ” Tanya Putri Pinang Mancung kepada Tualang.

  Tualang tetap tertunduk. Sangat susah baginya untuk menjawab. Namun dengan perlahan ia mulai berani mengangkat wajahnya. Pandangannya kosong.

  Sesungguhnya ia pun memiliki rasa yang sama. Namun sangat mustahil hal itu diucapkannya, karena ia tahu diri. Kondisi ini bagi Tualang bagaikan pungguk merindukan bulan.

  Ia juga takut apabila hal ini diketahui lingkungan istana dan itu akan mengancam pekerjaannya di istana. Semua orang akan menggunjing dan mencemooh mereka. tualang tidak menginginkan hal itu terjadi. Sehingga dengan mantap pemuda itu menjawab,”Maaf, Tuan Putri! Kalau memang ada sesuatu yang saya rasakan selama ini, anggap saja merupakan pengabdian saya yang tulus terhadap Tuan Putri sebagai junjungan hamba. Tidak lebih dari itu!”

  “Tualang…” Putri Pinang Mancung kembali bertanya. “Hamba, tuan putri” “Janganlah engkau membohongi dirimu sendiri!” “Hamba tidak paham maksud Tuan Putri” “engkau harus mengerti, jangan engkau biarkan aku bagai lesung mencari penumbuk, atau sumur mencari timba!” “Tetapi tuan putri...” “Sudahlah Tualang!” potong Tuan Putri dengan cepat. “Aku tahu bahwa apa yang aku rasakan engkau merasakannya pula, dan hendaknya rasa ini sama-sama kita jaga, dan tiada yang boleh menghalangi.” Waktu terus berlalu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Dan kedekatan antara Putri Pinang Mancung dengan Tualang menarik perhatian Raja

  Tebing Pangeran.

  “Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut!” gumamnya dalam hati sambil memikirkan cara untuk memisahkan putrinya dengan sang Hamba Sahaya. Satu- satunya cara adalah dengan memecat Tualang dari istana dengan alasan yang sengaja dibuat-buat atau direkayasa.

  Begitu Putri Pinang Mancung mengetahui hal itu, ia segera menghadap ayahnya untuk menanyakan tentang dipecatnya Tualang. Ia heran dengan sikap ayahnya yang selama ini selalu bijaksana dalam memerintah.

  “Ayahanda..ananda ingin bertanya” Putri Pinang Mancung bertanya kepada Raja.

  “Perihal apakah yang hendak ananda pertanyakan? Tampaknya sesuatu yg aamat penting yang ingin ananda sampaikan, sampaikanlah kepada ayahanda wahai anakku!”

  “Ayahanda, mengapa Tualang tidak lagi bekerja di istana?” “Itu karena kedekatan ananda dengannya. Ananda tahukan, kalau ananda adalah seorang Putri Raja yang sedang berkuasa yang disegani dan dihormati?” “Ananda tahu, tetapi Tualang adalah orang baik dan jujur, itu sebabnya ananda menaruh hati padanya” “Memalukan, sungguh perbuatan yang memalukan. Ananda telah mencemarkan nama baik ayahanda. Sudahlah, tidak perlu ananda memuji-muji

  Tualang, ia bukanlah keturunan para bangsawan dan tidak sederajat dengan keluarga kita” jawab sang Raja dengan emosi.

  Putri Pinang Mancung terdiam. Membisu seribu bahasa. Dia menunduk lesu menahankan beban perasaan yang harus ditanggungnya karena harus berpisah dengan orang yang dicintainya. Air mata pun menetes sebagai bentuk kesedihan yang begitu mendalam. Bagaikan pauh di layang.

  Melihat keadaan putrinya itu, Raja Tebing Pangeran menjadi terenyuh juga, lalu ia berkata,”Putriku…Engkau adalah satu-satunya harapan ayahanda, yang kelak menjadi satu-satunya pewaris kerajaan ini. Engkaulah yang akan menjadi penerus kerajaan ini saat ayahanda telah tiada

  “Sudah lama ayahanda berkeinginan hendak menikahkan ananda dengan seorang putra raja dari kerajaan yang lokasinya di ujung sungai sana. Putra raja itu adalah seorang pria yang perkasa, mahir menunggang kuda. Selain itu, ia dikabarkan akan menerima kekayaan yang tidak sedikit manakala ayahnya mangkat kelak…” sambung Raja Pangeran.

  Putri Pinang Mancung tetap saja menunduk dan membisu, tak ingin mengomentari ucapan ayahnya.

  “Ananda Putri Pinang Mancung,,,” lanjut Raja Tebing Pangeran terkesan membujuk. “Jadi, kalau ananda bersedia menikah dengan putra raja itu, sudah pasti hidup kalian akan senang dan bahagia…”

  Putri Pinang Mancung tetap saja diam. Dari paras wajahnya yang murung terlihat ia sangat sedih dan dilema. Antara memilih kemauan ayahnya atau cintanya kepada Tualang.

  Bagaikan dihadapkan pada buah simalakama. Dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu yang meninggal dunia. Semua pilihan serba salah dan mengandung resiko yang besar.

  Pada hari itu Tualang dengan keadaan wajah sedih dan lesu mengemasi pakaiannya, karena selain dipecat ia juga diusir dari istana tanpa mendapat penjelasan tentang kesalahannya. Seperti pepatah, Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah nasib Tualang, tidak mendapatkan cintanya, malah dipecat pula dari pekerjaannya.

  Dan begitu ia mengetahui alasannya dipecat dari salah seorang dayang istana, hatinya menjadi hancur lebur. Tualang menjadi kasihan akan derita Putri Pinang Mancung yang dikurung dikamarnya dan dijaga ketat dengan beberapa pengawal istana.

  Sambil bertekad menggali semangat baru dan melupakan Putri Pinang Mancung, tualang memutuskan untuk segera meninggalkan istana dan pulang kerumah orang tuanya. pemuda itu memasuki jalanan setapak di antara rerimbunan batang-batang pohon liar yang memenuhi daerah tersebut, pulang menuju rumah kampung halamannya.

  Hari sudah akan gelap, mumgkin ia akan sampai rumah orangtuanya menjelang waktu isya. Itupun ada baiknya orang-orang tidak melihatnya datang, sehingga ia tidak harus berbasa basi dahulu untuk memberi alasan kepada penduduk alasan kepulangannya. Dalam pikirannya ia membayangkan, keluarganya yang kaget melihat kemunculannya yang tiba-tiba dan mendadak.

  Sambil menyusuri anak sungai, ia memandang ke kejauhan. Melihat sebuah bangunan tua yang sudah ada sebelum ia lahir, milik seorang penghuni.

  Tualang mencoba mengingat siapa pemilik akhir rumah itu, rumah yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam benaknya teringat akan seorang pak tua, Pak Tua Lukman Hakim yang tidak pernah menjabat kedudukan hakim, tetapi sikapnya misterius dan disegani orang sekampung.

  Dan akhirnya Tualang sampai ke kampung halamannya, ia senang karena sampai dengan selamat. Sesampainya disana ia juga menceritakan segala keluh kesahnya kepada keluarganya. Dan keluarganya maklum dan terus memberi semangat kepada Tualang.

  Sementara itu, berhari-hari hati Putri Pinang Mancung bagai terpecah belah. Akhirnya ia merencanakan untuk lari meninggalkan istana dan mencari orang yang dicintainya.

  Di suatu pagi yang masih gelap, dengan cara mengendap-endap dan menyamar dengan mengenakan pakaian laki-laki, Putri Pinang Mancung berhasil mengelabuhi para hulubalang yang menjaga gerbang istana.

  Ia berjalan cepat ke arah timur ketika matahari mulai menampakkan wajahnya ke ufuk timur. Saat itu ia belum tahu kemana dirinya akan melangkah.

  Namun di hati kecilnya, Putri Pinang Mancung berniat ingin mengembara mencari Tualang dimanapun ia berada.

  Namun setelah itu, Putri Pinang Mancung bingung harus melangkahkan kaki kemana. Ia tersesat sampai ke hutan belantara. Cahaya matahari pun semakin samar terlihat, tertutupi dengan rindangan dedaunan dari pohon-pohon yang menjulang tinggi disekitarnya.

  Ia kebingungan diantara rerimbunan pohon di hutan belantara. Perasaan panik melanda diri Putri Pinang Mancung. Sempat terlintas dibenaknya untuk mengurungkan niatnya, tetapi ketika ingin kembali ke istana ia tersadar bahwa ia sudah melangkah terlalu jauh dan tak tau arah jalan pulang.

  Tiba-tiba terdengar suara mengeram di balik semak belukar, seketika tubuhnya kaku,keringat bercucur deras. Suara itu kian mendekat, dan seketika sesosok makhluk hitam besar terbang menerkamnya sehingga membuatnya terjatuh diantara akar-akar pepohonan, cakar makhluk buas itu mulai merobek baju bahkan kulitnya. Dan ketika itu Putri Pinang Mancung merasa maut datang menjemput.

  Akan tetapi, maut tidak menghampirinya. Maut justru menjauh. Makhluk hitam besar itu menjauh, begitu pula suara dengus mengeram, semakin merendah.

  Putri Pinang Mancung berusaha bangkit dari rebahnya. Dengan susah payah, akhirnya ia mampu untuk duduk bersandar di sebatang pohon besar. Ia merasakan sekujur tubuhnya letih dan sakit sisa dari cengkraman hewan buas tadi.

  Ia mencoba mencari-cari sesosok makhluk yang membuat makhluk hitam besar itu menjauh, ternyata ia melihat seekor harimau, si raja hutan yang juga memiliki bulu hitam yang berkilauan.

  Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, ia mencoba melawan si raja hutan. Akan tetapi, harimau itu bergerak mundur menjauhinya. Lebih anehnya lagi, raja hutan yang luar biasa itu bergerak dengan keempat kakinya merayap ke tanah.

  Sepasang mata yang tadinya galak, kini meredup. Seringai mulut yang tadinya buas, juga mengendur. Kepala yang mengerikan, merunduk.

  Terdengar suara mengaum. Pelan, lirih, dan sendu. Makhluk yang terkenal dengan sebutan si penguasa hutan itu bangkit dan bergerak memutar, kemudian melompat menghilang di balik pepohonan. Tak lama kemudian terdengar suara auman kembali.

  Tiba-tiba terdengar suara gumaman seorang pria dari arah semak belukar. Putri Pinang Mancung gemetar mendengar suara asing dan logat asing dari sosok misterius dari semak belukar itu. Tapi ia berkeyakinan sosok itu yang telah mengusir hewan buas itu.

  Tadinya ia menyangka akan melihat seorang pemburu dengan senapan berlarasdua di tangan. Paling tidak, ia akan melihat seorang pria dengan rantai belenggu terjuntai-juntai dari pergelangan tangan serta kakinya. Akan tetapi, orang yang berdiri di hadapannya, adalah orang yang tidak ia duga. Orang tersebut tidak bersenjata.

  Sosok misterius itu berjalan mendekat sambil berkata “Walaupun engkau memakai pakaian lelaki aku tau bahwa engkau adalah perempuan. Benar begitu? Suara pria itu menandakan suara seseorang yang berumur, terdengar suaranya berat namun kelihatan berwibawa, akrab dan ramah.

  “Benar, pak tua....” “engkau mampu berdiri gadis cantik?” “Sepertinya begitu” “Bangkitlah” Putri Pinang Mancung mencoba untuk bangkit, tetapi ia segera jatuh lagi.

  Kemudian tangan kurus dari lelaki tua itu keluar dari balik jubah putihnya. Putri Pinang Mancung dibantu berdiri.

  “Engkau terluka” ujar orang tua berjubah putih itu.

  “Ya pak tua” Putri Pinang Mancung mengerang, tiba-tiba ia merasa sakit luar biasa setelah diingatkan mengenai luka-lukanya.

  ”Berbaringlah, aku akan mengobatimu” Pria tua itu kemudian mencari diantara semak belukar kemudian memetik beberapa daun. Kemudian dipatah-patahkannya dedaunan tersebut dan cairan getah putih kekuninggan mengalir denan lancar. Selanjutnya cairan itu di oleskan di sekujur tubuh yang terluka.

  “Getah ini sangat ampuh untuk menawarkan racun dilukamu, dengan ijin Allah,” kata pria berjubah putih itu. “Beruntunglah engkau wahai gadis cantik, sebab luka-lukamu tidak terlalu parah. Kulitmu yang terluka bisa kurapatkan lagi.”

  Setelah luka-luka Putri Pinang Mancung diolesi hingga rata, pria tua tersebut menunggu sejenak. Kemudian tangannya mengusap luka Putri Pinang Mancung dan terjadilah keajaiban. Luka-luka menganga di tubuh putri pinang mancung merapat dan hanya tinggal gurat samar.

  “Gerakkan tubuhmu sedikit agar terkena sinar matahari” kata pria tua itu. Putri Pinang Mancung menurut dan seketika gurat samar di kulit Putri Pinang Mancung hilang dan ajaibnya kulit Putri Pinang Mancung kembali seperti semula.

  Seakan bagian yang pulih itu tidak pernah mengalami luka sedikitpun.

  “Sekarang engkau duduklah dengan perlahan.” Karena takjubnya,Putri Pinang Mancung bangkit dan duduk penuh semangat. Seketika ia menjerit kesakitan dan kembali merebahkan badannya.

  “Sudah aku katakan kepada engkau untuk duduk dengan perlahan saja”. Tariklah nafas dengan dalam dan biarkan aliran darahmu mengalir. Sekarang engkau coba sekali lagi dengan perlahan.

  Akhirnya Putri Pinang Mancung dapat duduk, berdiri dan berjalan. Tetapi untuk kesembuhannya Putri Pinang Mancung harus meminum ramuan khusus yang akan diberi bapak tua itu. Dan bapak itu mengajak Putri Pinang Mancung kerumahnya.

  Keduanya kemudian berjalan menyusuri hutan. Perjalanan itu teramat lambat karena beberapa kali mereka harus berhenti. Menunggu hingga rasa perih yang mengganggu dalam tubuh tuan putri mereda. Setiap kali, pria tua yang ternyata memiliki wajah yang sama ramahnya dengan tutur katanya, menunggu dan memerhatikan dengan sabar seraya member beberapa petunjuk untuk mengurangi rasa sakit.

  Di tengah perjalanan, mereka dihadapkan dengan ular besar menjulur melilit di batang pohon berkepala lancip dan lidah bercabang keluar masuk dari ujung muncungnya. Pak Tua kemudian berhenti dan menatap diam dan lama kepada ular tersebut.

  Ternyata Pak Tua berkomunikasi dengan ular tersebut. Tak lama kemudian ular tersebut pergi merayap naik ke cabang yang lebih tinggi. Putri Pinang Mancung tertegun dan heran kemudian bertanya kepada Pak Tua,

  ” Apa yang sedang engkau lakukan terhadap ular tersebut hingga ia pergi?”

  “sesungguhnya aku dan ular itu saling bercerita, kukatakan padanya bahwa engkau adalah tamuku dan dalam perlindunganku hingga senja,”kata pria itu kemudian. “Begitu malam tiba, maka kau harus mampu melindungi dirimu sendiri.” “Apa yang engkau maksud wahai Pak Tua?” Putri Pinang Mancung kaget. “Sebelum malam tiba engkau harus telah pergi, maka dari itu kita harus bergegas….” Mereka mempercepat lamgkah. Perasaan cemas dan takut mendorong semangat Putri Pinang Mancung dan meredakan sakit pada bagian dalam tubuhnya. Tak lama Putri Pinang Mancung bertanya kembali,

  ”Wahai Pak Tua,sebenarnya siapakah anda?’ “Aku adalah seorang kepala suku.” “Kepala suku apakah engkau?” Pria tua diam. Tidak menjawab.

  Putri Pinang Mancung juga turut diam. Tak lama kemudian mereka sampai di rumah Pak tua. Sesampai di rumah pria tua itu, Putri Pinang Mancung dipersilahkan masuk dan disuguhi bermacam- macam jenis makanan. Kemudian Putri Pinang Mancung dipersilahkan makan. Setelah makanannya habis¸ Putri Pinang Mancung disuguhi secangkir teh dan ia segera meminumnya.

  “Teh apakah ini mengapa rasanya begitu pahit” tanya Putri Pinang Mancung.

  “Itu untuk membantu menyembuhkan lukamu.” jawab pria tua yang merupakan kepala suku di kampung itu.

  Waktu semakin sore dan pria tua itu mulai bersikap dingin kepada Putri Pinang Mancung. Dari mulut pria tua itu keluar kata-kata

  “Waktunya engkau pergi wahai perempuan cantik” “Kemanakah saya harus pergi?” “Aku tidak tahu dan tidak perlu tahu” jawab pria tua.

  Putri Pinang Mancung terjengah, bingung. Kemudian Putri Pinang Mancung menceritakan tentang permasalahan yang sedang ia hadapi dan dia merupakan Putri Raja yang jatuh hati kepada budak istana yang bernama Tualang yang berbudi pekerti. Tetapi ayahnya tidak merestui hubungan mereka dan berniat menjodohkan Putri Pinang Mancung dengan putra raja dari kerajaan seberang.

  Dan ia menolaknya.

  Dan orang yang dicintainya di usir dari istana setelah dipecat dari pekerjaannya. Setelah itu, Putri Pinang Mancung melarikan diri dengan tujuan mencari keberadaan Tualang. Sampai akhirnya terjebak dan tersesat di hutan.

  “Apa yang saya alami berikutnya, tentu Pak Tua sudah tahu,bukan?” kata Putri Pinang Mancung kemudian.

  “Kalaulah begitu ceritanya, maka kiranya kuijinkan engkau untuk tinggal dirumahku ini...sebab aku cukup prihatin atas nasib malang yang menimpamu”. “Terima kasih wahai Pak Tua, engkau sungguh berhati mulia...” Putri Pinang Mancung bersimpuh di hadapan pria tua.

  Menurut Putri Pinang Mancung sosok pria tua itu adalah sosok pribadi yang berbudi. Dalam keseharian Putri Pinang Mancung telah meninggalkan statusnya sebagai seorang putri raja, dia tidak segan-segan membantu pria tua itu dalam bekerja apa saja, yang ketika di istana tidak pernah dilakukannya.

  Pada suatu pagi saat Putri Pinang Mancung sedang membantu pria tua membersihkan rumput di depan rumahnya, Putri Pinang Mancung teringat pada kekasihnya, seorang budak yang bernama Tualang. Lalu bertanya kepada pria tua itu apakah mungkin kalau mereka akan bertemu lagi. Dan menurut pria tua itu bisa saja asal Putri Pinang Mancung bersedia untuk sementara menjadi lereng bukit yang pemandangannya indah. Putri Pinang Mancung mengira apa yang dikatakan pria tua merupakan candaan. Dan kemudian pak tua menegaskan pada Putri Pinang Mancung bahwasanya ia tidak sedang bercanda. Dan Putri Pinang Mancung diam sejenak dan kemudian menerima tawaran pria tua itu.

  Pria tua itu mulai bermeditasi. Lalu dalam sekejap Putri Pinang Mancung tiba-tiba berubah wujud menjadi sebuah bukit-bukit kecil yang di atasnya ditumbuhi pohon-pohon yang berdaun rimbun. Indah dan menawan di pandang mata.

  Tidak beberapa lama kemudian seorang pria tampan berjalan masuk ke luar hutan. Tiba-tiba dia melihat sebuah fenomena bukit kecil yang panoramanya menarik perhatiannya. Kemudian dia berjalan ke arah bukit sambil menyandang sebuah kapak di bahunya. Dalam benaknya, mungkin jenis kayu yang tumbuh di bukit itu cukup berharga untuk di jual.

  Begitu dia tiba disana dia langsung memilih sebuah pohon jati untuk ditebangnya. Namun begitu mata kapaknya menancap di batang pohon jati tersebut, alangkah kagetnya pemuda itu melihat ada darah di mata kapaknya. Rasa takut hinggap di benak pemuda itu karena melihat pohon jati yang berusaha ditebangnya mengeluarkan darah. Kemudian pohon jati itu berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Hal itu membuat pemuda menjadi heran dan terpana. Perasaan heran bertambah dikarenakan gadis cantik itu sangat mirip dengan Putri Pinang Mancung.

  “Kenapa kamu terdiam wahai Tualang?” tanya Putri Pinang Mancung. Dalam benaknya Putri Pinang Mancung yakin bahwa pemuda yang sedang tercengang di depannya adalah lelaki yang sangat dia cintai yang bernama Tualang.

  Dan sebaliknya pula Tualang juga dapat memastikan bahwa gadis cantik itu adalah Putri Pinang Mancung. Ciri khasnya yang tinggi dan berhidung mancung itu yang membuat Tualang sangat yakin.

  Dalam hatinya, Putri pinang Mancung berkata-kata, bahwa pria tua yang sudah dianggapnya sebagai ayahnya sendiri itu ternyata memang sangat sakti.

  Hanya sekejap saja ia sudah bisa kembali sebagai manusia lagi.

  Semua hal yang di alami Putri Pinang Mancung diceritakanya kepada Tualang mulai dari Putri Pinang Mancung kabur meninggalkan istana hingga segala peristiwa aneh yang dialaminya.

  Begitupun sebaliknya, Tualang juga menceritakan pengalamannya setelah dipecat sebagai budak di kerajaan Padang. Dalam pengembaraan dan penjelajahan Tualang tidak menghiraukan hutan belantara serta jurang yang dan tebing. Semua rintangan itu ia tempuh dengan perasaan duka lara karena putus cinta.

  Pertemuan di sebuah hutan lebat di lereng bukit yang terjal itu membuat mereka merasa terharu, sehingga keduanya saling menangis.

  Sementara itu, semenjak hilangnya Putri Pinang Mancung dari istana, suasana berduka menyelimuti kalangan istana kerajaan Padang. Para Hulubalang sudah dikerahkan untuk melacak keberadaan Putri Pinang Mancung, namun upaya mereka sia-sia belaka.

  Para Hulubalang dan dayang-dayang istana pulang ke istana dengan tangan kosong. Menurut pengamatan orang-orang yang dituakan, dipastikan Putri Pinang Mancung masih hidup, tetapi belum dapat dipastikan diman keberadaannya.

  Akhirnya seorang dukun mampu melacak keberadaan tuan putri. Ringkas cerita sang putri yang minggat dari istana itu dibawa pulang, dan tidak dikisahkan nasib Tualang setelah sang kekasih kembali ke istana.

  Hanya saja sebelum berpisah, Putri Pinang Mancung sempat meninggalkan pesan pada Tualang,”Aku akan kembali ke hutan ini…kamu harus menungguku”

  Baru beberapa hari tuan putri berada di istana, sang raja mencoba untuk merayunya kembali agar mau dinikahkan dengan Pangeran seberang, akan tetapi Putri Pinang Mancung terus menolak.

  Mendapat paksaan yang terus menerus Putri Pinang mancung akhirnya melarikan diri untuk kedua kalinya. Akan tetapi pihak istana tidak berusaha mencarinya lagi, karena mereka sudah menganggap Putri Pinang Mancung durhaka, hanya tidak disumpah menjadi batu.

  Kemudian Putri Pinang Mancung pergi ke rumah Pak Tua yang sudah ia anggap sebagai ayah angkatnya. Dan Pak Tua menyambutnya dengan hangat.

  Kemudian mereka hidup dengan kedamaian. Pak Tua mengizinkan Putri Pinang Mancung bertemu dengan Tualang, sebatas tidak melanggar nilai-nilai norma dan kesusilaan. Tak lama kemudian Pak Tua menikahkan mereka.

  Keduanya kemudian mengucapkan ijab Kabul di lereng perbukitan dimana Putri Pinang Mancung bertemu dalam suasana yang sarat dan muatan magis dan mistik.

  Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kedua pasangan suami istri tersebut tiba-tiba berubah wujud menjadi benda mati. Putri Pinang Mancung berubah menjadi tebing yang elok dan permai serta tinggi.

  Sedangkan Tualang berubah menjadi sebuah sungai yang airnya sejuk dan jernih. Kemudian dinamakan Sungai Sibarau. Tebing jelmaan Putri Pinang Mancung dinamakan Tebingtinggi.

  Sebelumnya Pak Tua yang juga sering dipanggil Datu Sakti sudah menduga, bahwa pernikahan mereka tidak direstui Raja Tebing Pangeran ayahanda Putri Pinang mancung sudah sangat kesal dengan putrinya, sebelumnya sudah ingin menyumpahinya menjadi batu.

  Hal itu sudah diketahui Datu Sakti sehingga ia dapat mencegahnya.sumpah itu memang tidak terjadi, akan tetapi keduanya menjadi tebing dan sungai. Nama Tualang konon diabadikan menjadi sebuah wilayah kelurahan di Kecamatan Padang Hulu Deli Serdang, Sumatera Utara.

  Kemudian diriwayatkan, ayahanda Putri Pinang Mancung terus mengembangkan bisnis dan ekonomi di wilayah kekuasaannya. Di era pemerintahannya, dibangun Pelabuhan Bandar Khalifah. Beliau kemudian diberi gelar ‘Raja Tebingtinggi’ dan istananya pindah ke Bandar Khalifah Tebingtinggi.

  Hingga kini masih dilihat di Desa Kampung Gelam. Ini merupakan bukti bahwa Raja Tebing Pangeran memang sosok pemimpin yang ulet dan tangguh.

  Konon, kerajaan Deli yang berkuasa di sekitar kota Medan dan sekitarnya dkabarkan iri. Sultan Usman Perkasa Alamsyah yang berkuasa kala itu ingin menakhlukkan kerajaan Padang. Setelah diadakan negosiasi diantara kedua raja itu, Raja Tebing Pangeran menolaknya mentah-mentah. Dengan meminta bantuan kerajaan Bedagai, kerajaan Deli menyerang kerajaan Padang. Pertempuran pun terjadi di tepian Sungai Padang yang dahulu dikenal dengan nama Sungai Birong.

  Birong dalam bahasa kampung kala itu, artinya hitam. Sebab saat terjadi pertempuran sengit antara pasukan tentara kerajaan Deli, Bedagai dengan Kerajaan Padang, konon air sungai menjadi hitam.

  Mungkin karena sudah kewalahan, akhirnya kerajaan Deli menawarkan perundingan. Akan tetapi, saat perundingan berlangsung, Raja Deli terkesan menghina Raja Tebing Pangeran. Dan tatkala rombongan Raja Tebing Pangeran dalam perjalanan pulang, beliau dibunuh oleh Panglima Daud yang merupakan komandan pasukan kerajaan Bedagai. Raja Tebing Pangeran meregang nyawa di Kampung Juhar Kecamatan Bandar Khalifah sekarang. Makam Raja Tebing Pangeran hingga kini masih dirawat dengan baik di tanah wakaf Kampung Gelam Kecamatan Bandar Khalifah Serdang Bedagai.

  Begitu Raja Tebing Pangeran sudah tiada, kaum ningrat dan kaum bangsawan di kalangan kerajaan Padang kemudian bermusyawarah untuk melantik raja baru. Alhasil terpilihlah Marah Hakim yang kemudian bergelar Raja Graha (Groha). Beliau memerintah dari tahun 1823 dan berakhir di tahun 1870.

  Sejarah mencatat bahwa rakyat kerajaan Padang kala itu terdiri dari berbagai etnis dan suku. Umumnya mereka masyarakat yang cerdas ditinjau dari sudut pandang sumber daya manusia. Kemudian mereka berhasil meningkatkan pembangunan kerajaan Padang berdasarkan rencana proyek terpadu. Hal inilah yang membuat Raja Graha salut terhadap rakyatnya.

  Pada masanya, Raja Graha mengendalikan pemerintahan dengan bijaksana dan adil. Rakyatmya hidup aman sejahtera, cukup sandang dan pangan. Bahkan banyak perantau yang mencoba untuk mengadu nasib di kerajaan Padang.

  Seperti diketahui, kerajaan Padang diperkirakan berdiri sekitar abad ke

  XVI yang semula berlokasi di Bejanis. Sekarang berada diantara kelurahan Pelita dan Lubuk Baru serta kelurahan Bulian dan Pabatu. Ini berada diantara dua kecamatan, yakni kecamatan Padang Hulu dan Rambutan. Kemudian wilayahnya meluas ke Dolok Merawan, berlanjut ke Mandaris yang letaknya berbatasan degan kerajaan Tanjung Kasau.

  Ayah Putri Pinang Mancung yang diberi gelar Tebing Pangeran berhasil membangun pangkalan yang terletak diantara Muara Bah Hilang dan sungai Padang. Sehingga nama tempat tersebut disebut Pangkalan Tebing. Mulai dari sini muncul transaksi jual beli hasil bumi di kerajaan Padang dan sekitarnya. Raja Padang merupakan sosok yang anti penjajahan (Belanda) dan selalu bersikap pro rakyat. Sehingga beliau selalu dimusuhi kerajaan lain yang ingin berkompromi dengan pihak penjajah.

  Demikianlah adanya. Jadi, kisah Putri Pinang Mancung dapat dikatakan merupakan asal-usul nama kota Tebingtinggi dan nama-nama tempat lainnya yang berada di sekitar kota itu. untuk mengenang nama Putri Pinang Mancung, masyarakat setempat mengabadikan namanya pada sebuah kelurahan yang disebut Kelurahan Pinang Macung terletak di daerah kecamatan Rambutan. Lampiran 2 Daftar pertanyaan

  1. Apakah anda pernah mendengar kata “Putri” ?

  2. Darimanakah pertama kali anda mendengar kata “Putri”?

  3. Apakah anda pernah mendengar legenda putri pinang mancung?

  4. Darimana anda mendengar legenda putri pinang mancung

  5. Bagaimana legenda putri pinang mancung menurut yang anda ketahui

  6. Siapa sajakah tokoh dalam legenda putri pinang mancung

  7. Apakah anda mengetahui tentang peninggalan nyata mengenai legenda putri pinang mancung

  8. Dimanakah legenda putri pinang mancung bermula

  9. Darimana anda mendengar legenda putri pinang mancung

  10 Apakah anda mewariskan cerita Legenda Putri Pinang Mancung kepada keturunan anda

  11 Apakah menurut anda legenda Putri Pinang Mancung adalah sebuah warisan budaya yang harus dijaga Lampiran 3 Daftar nama-nama infprman : i.

  : Supramadji Umur :

Nama

  58 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Kepling ii.

  : Ainun. SE Umur :

Nama

  38 Tahun J. Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Seketaris Desa iii.

  :

  H. Syuaib Abdullah.S Umur :

Nama

  71 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Pensiunan iv.

  : Kliwon Umur :

Nama

  62 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani v.

  : Sofiah Umur :

Nama

  67 Tahun J. Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Pedagang