Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara : Kajian Fungsi

(1)

LEGENDA NILAM BAYA BAGI MASYARAKAT

MELAYU BATUBARA : KAJIAN FUNGSI

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

Nama : Intan Rosalena Daulay NIM : 060702009

PROGRAM STUDI SASTRA MELAYU DEPARTEMEN SASTRA DAERAH FAKULTAS ILMU BUDAYA


(2)

LEGENDA NILAM BAYA BAGI MASYARAKAT

MELAYU BATUBARA : KAJIAN FUNGSI

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

Nama : INTAN ROSALENA DAULAY NIM : 060702009

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dra. Herlina Ginting, M.Hum

NIP. 19640212198032001 NIP. 196207161988031002 Drs. Warisman Sinaga, M.Hum

Disetujui oleh : Departeman Sastra daerah

Ketua,

Drs. Warisman Sinaga, M. Hum NIP. 196207161988031002


(3)

PENGESAHAN Diterima Oleh,

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Daerah pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada : Tanggal : Hari :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP 19511013 1976031001 Panitia Ujian :

No Nama Tanda Tangan

1. Drs. Warisman Sinaga, M. Hum (...) 2. Dra. Herlina Ginting, M. Hum (...) 3. Dra. Asriaty R. Purba, M.Hum (...) 4. Hj. Dr. Rozanna Mulyani, MA (...) 5. Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum (...)


(4)

Disetujui Oleh :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

MEDAN

Medan, 2012 Departemen Sastra Daerah

Ketua,

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum NIP. 196207161988031002


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkatNya sehingga skripsi yang berjudul “Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara : Kajian Fungsi” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dra.Herlina Ginting, M.Hum dan Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum selaku Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingan demi kesempurnaan skripsi ini. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari masih banyak kelemahan maupun kekurangan yang terkandung dalam skripsi ini. Untuk itu segala saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam bidang ilmu sastra mengenai cerita rakyat Nilam Baya kajian Fungsi.

Medan, Desember 2012 Penulis,


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkatNyalah sehingga tesis yang berjudul “Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara : Kajian Fungsi” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Budaya yaitu Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A.

2. Ketua Departemen Sastra Daerah yaitu Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum.

3. Pembimbing yaitu Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum dan Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Kedua orang tua saya yaitu Bapak Sulaiman Daulay dan Ibu N. Tanjung berkat doa dan memberikan bantuan serta motivasi selama kuliah semasa masih hidupnya.

5. Saudara-saudara saya yang telah banyak memberikan bantuan dalam menyelesaikan studi jenjang S1.


(7)

6. Kakanda Eri Syahputra, 2001 yang telah banyak memberikan masukan sebelumnya tentang cerita Nilam Baya dengan Kajian Didaktis.

7. Kakanda senior 2003, 2004, 2005, dan Junior 2007, 2008, 2009, 2010 yang telah banyak memberikan bantuan selama kuliah serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kawan se-stambuk 2006, yang telah banyak memberikan bantuan serta semangat dalam perkuliahan serta menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang langsung maupun tidak langsung telah berpartisipasi dalam menyelesaikan studi saya di Program Studi Sastra Melayu Universitas Sumatera Utara Medan.

Semoga budi dan keikhlasan mereka dapat saya amalkan dan Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat kemudahanNya untuk mereka.

Akhirnya, segala puji syukur saya persembahkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas lindunganNya selama ini. Semoga Tuhan menyertai kehidupan kita selamanya.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Masalah ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 8

2.2 Teori Yang Relevan ... 11

2.2.1. Struktural ... 11

2.2.2. Fungsi ... 19

2.3 Legenda ... 21

2.4 Sekilas Tentang Sosial Budaya Masyarakat Melayu Batubara ... 26


(9)

2.4.1 Geografi Wilayah Penelitian ... 26

2.4.2 Sejarah Masyarakat Melayu Batubara ... 28

2.4.3 Sistem Sosial Masyarakat Melayu Batubara ... 31

2.4.4 Hubungan Cerita Nilam Baya Dengan Sistem Budaya Masyarakat Melayu Batubara ... 32

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

3.1 Metode Dasar ... 34

3.2 Lokasi Penelitian ... 35

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 35

3.4 Metode Analisis Data ... 36

BAB IV. PEMBAHASAN ... 38

4.1 Sinopsis ... 38

4.2 Analisis Struktural ... 51

4.2.1 Tema ... 51

4.2.2 Alur ... 53

4.2.3 Latar ... 59

4.2.4 Tokoh ... 63

4.3 Analisis Fungsi ... 66

4.3.1 Sebagai Sistem Proyeksi ... 66

4.3.2 Sebagai Alat Pengesahan Pranata-Pranata dan Lembaga Kebudayaan ... 68


(10)

4.3.4 Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas Anggota

Kolektif Pada Masyarakat ... 69

BAB V PENUTUP ... 72

5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 73

Daftar Pustaka ... 74


(11)

A. ABSTRAK

Skripsi ini berjudul ‘’Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara Kajian Fungsi’’.

Hasil penelitian cerita rakyat Melayu yang meliputi mite, legenda, dan dongeng, secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk lebih memahami seperti apa sebenarnya cerita rakyat itu. Manfaat praktis ini diperoleh karena pada dasarnya cerita rakyat adalah hal yang mewarnai dan melingkupi setiap aspek hidup manusia sebagai makhluk berbudaya. Manfaat praktis ini memberikan pemikiran yang lebih mendalam bahwa setiap cerita rakyat dan sejenisnya tidak hanya untuk semata-mata hiburan saja atau menidurkan anak-anak. Namun sesungguhnya, cerita rakyat itu memiliki fungsi yang fundamental dalam kedudukannya di tengah masyarakat Melayu Batubara. Cerita rakyat itu memiliki makna dan ajaran yang bersifat filosofis yang mampu menghadirkan eksistensi dari masyarakat Melayu Batubara sebagai masyarakat yang berbudaya.

Data yang telah dikumpulkan akan diklasifikasi berdasarkan tipenya dan dianalisis dengan pendekatan Fungsi. Analisis ini dimaksudkan untuk mengungkapkan fungsi yang terdapat di dalam folklor bagi kahalayak pendukungnya. Hasil analisis ini dipakai sebagai acuan dalam seleksi bentuk folklor yang berpotensi sebagai aset pariwisata budaya dan penemuan pola pengembangannya didasarkan atas karakter folklor yang diseleksi (terpilih).

Fungsi folklore dalam cerita Nilam Baya adalah (a) sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device) (bahkan tidak terbatas pada anak tetapi juga orang tua, pemuda, dan masyarakat pada umumnya secara informal), dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya dihadirkan mempunyai tujuaan dan manfaat di samping menyampaikan buah pikiran dan tanggapan pengarang atas apa yang terjadi di dalam lingkungan pengarang. Sastra pada dasarnya merupakan sebuah unsur dari kebudayaan itu sendiri. Sastra merupakan gejala universal yang terdapat dalam setiap masyarakat (Teeuw, 1982:2). Umumnya tidak ada masyarakat tanpa sastra karena setiap masyarakat yang berbahasa pasti mempunyai sastra sendiri.

Peradaban-peradaban dari berbagai bangsa di dunia tidak dapat dilepaskan dari sastra, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1986:875), Sastra memiliki arti sebagai berikut: 1. Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari) 2. (kesusastraan) karya seni yang diwujudkan dengan bahasa (seperti gubahan-gubahan atau puisi yang indah-indah), 3. kitab suci (Hindu); kitab ilmu


(13)

pengetahuan, 4. pustaka (primbon, ramalan, perhitungan, dsb), 5. tulisan atau huruf.

Dapatlah dilihat dari pengertian tersebut bahwa sastra tidak dibatasi pada tulisan yang memiliki nilai “agung” semata. Namun, sastra adalah sebuah media penyampaian sebuah pemikiran atau sikap pada khalayak ramai. Datang dari seorang pemikiran pengarang yang mengandung berbagai ajaran, amanat, dan aturan-aturan yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat .

Dalam perkembangannya, sastra telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan mengikuti zaman. Dahulu sifat karya sastra itu hanya untuk menghibur kalangan tertentu saja seperti orang yang berduka atau menyenangkan kaum istana. Kini perkembangan sastra telah mencari sebuah muara yang membuat sastra itu semakin mapan dan menunjukkan eksistensi posisinya sebagai salah satu pembentuk sejarah manusia dari zaman ke zaman.

Dalam kesusastraan di Indonesia, posisi sastra lisan sangatlah penting. Bila dicermati secara lebih lanjut, embrio sastra tulis adalah sastra lisan. Hal ini terjadi karena kesadaran kelompok-kelompok dari pemilik sastra lisan itu akan fungsi dan aspek-aspek di dalamnya. Pemilik atau unsur kolektif yang memiliki sastra lisan itu sadar bahwa perlu media pengingat sastra lisan supaya lebih mudah dipahami dan diingat generasi selanjutnya. Dewasa ini seiring


(14)

berfokus pada pemenuhan akan kebutuhan hidup. Zaman yang serba modren ini dan segala hal kompleks lainnya yang menuntut manusia itu untuk bertahan hidup, sehingga secara tidak sadar masyarakat melupakan sastra lisan yang dimiliki kelompoknya.

Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat majemuk ataupun multikultural, baik dari segi budaya, mata pencaharian hidup, tempat tinggal, pola hidup, dan berbagai aspek yang lain dalam masyarakat. Sebagai suatu contoh dari segi budaya, dalam kepercayaan masyarakat Jawa yang tinggal di Pantai Selatan, dapat ditemukan cerita lisan tentang Nyi Roro Kidul. Masyarakat tersebut meyakini ada penguasa gaib yang memiliki kerajaan di bawah laut Pantai Selatan.

Dari segi mata pencaharian banyak kekhasan sastra lisan yang dapat hadir dan dimiliki oleh kelompok bermata pencaharian tertentu. Misalnya para nelayan ketika akan berlayar ke tengah laut harus memandikan kapalnya dengan bunga tujuh rupa, hal ini bertujuan untuk memuluskan jalan mencari nafkah di tengah laut dan terhindar dari hal-hal yang dapat mengganggu pelayaran kapal tersebut. Sastra lisan dapat dikatakan mengatur segala denyut hidup bermasyarakat dan berhubungan dengan alam sekitar dari kelompok tertentu. Sastra lisan memiliki bermacam-macam jenis, pantun, teka-teki, dan lain-lain.


(15)

Salah satu dari jenis sastra lisan adalah cerita rakyat. Cerita rakyat berisi tentang mite, legenda, dongeng. Cerita rakyat pada awalnya disampaikan lewat media tutur oleh seseorang dalam kelompok kepada anggota kelompok tersebut. Dengan menggunakan bentuk lisan atau dari mulut ke mulut dan dibantu derngan alat peraga atau alat pengingat (mnemonic device). Para orang tua menasehati anggota keluarganya atau para dukun di kampung menyampaikan mite, legenda, atau dongeng untuk tujuan tertentu. Pada umumnya cerita rakyat itu disampaikan pada saat menasehati dan memberi pembelajaran tentang suatu hal, pembelajaran moral dan segala aturan yang berlaku di kelompok ataupun untuk menghibur anggota masyarakat. Dewasa ini cerita rakyat dapat didengarkan dari penuturan orang tua yang berusia lanjut yang masih hidup dan dapat juga ditemukan dalam kumpulan- kumpulan buku tentang cerita rakyat.

Masyarakat Melayu Batubara memiliki cerita rakyat sebagaimana masyarakat lain di Indonesia. Pada dasarnya cerita rakyat tersebut memiliki kesamaan pola dengan cerita rakyat budaya lain di Indonesia, yaitu: terjadinya alam semesta (cosmogony); terjadinya susunan para dewa; dunia dewata (pantheon); terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (cultural hero); terjadinya makanan pokok seperti beras dan sebagainya, untuk


(16)

Masyarakat Melayu ini memiliki kebudayaan tersendiri yang membedakan dari masyarakat lainnya. Masyarakat Melayu yang ada di Sumatera Utara terdiri atas Melayu Riau, Melayu Deli, Melayu Asahan, Melayu Langkat dan Melayu Batubara.

Demikian juga halnya dengan cerita prosa rakyat yang terdapat pada masyarakat Melayu yang memiliki kisah-kisah yang berbeda dengan cerita prosa rakyat dari etnik lainnya.

Cerita rakyat yang ada pada masyarakat Melayu umumnya mengisahkan kehidupan masyarakatnya sendiri. Menurut Bascom (Tarigan, 1986:50) cerita rakyat terbagi tiga yaitu, mite, legenda, dan dongeng.

Pada penulisan ini, penulis ingin membahas cerita rakyat yang berjudul “ Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara : Kajian Fungsi”. Melalui hasil penelitian ini, maka akan dapat diketahui struktur dan fungsi cerita Nilam Baya ini pada waktu cerita itu berkembang pada masyarakat sekarang, serta dapat pula menjaga dan melestarikan budaya daerah dalam rangka membina, melestarikan, dan mengembangkan khasanah kebudayaan nasional.


(17)

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul skripsi, yaitu “Legenda Cerita Rakyat Nilam Baya

Bagi Masyarakat Melayu Batubara : Kajian Fungsi”, maka masalah yang

akan dibahas adalah:

1. Bagaimanakah struktur Legenda Nilam Baya?

2. Apakah fungsi Legenda Nilam Baya bagi Masyarakat Melayu Batubara?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan :

1. Menjelaskan struktur cerita dari legenda Nilam Baya.

2. Memaparkan fungsi yang terdapat pada legenda Nilam Baya bagi Masyarakat Melayu Batubara.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Menambah khasanah kajian terhadap cerita rakyat, khususnya legenda yang terdapat pada masyarakat Melayu.

2. Membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur yang membangun cerita rakyat Nilam Baya.


(18)

3. Memperkaya apresiasi sastra daerah, khususnya apresiasi sastra Melayu terhadap cerita rakyat (legenda).

4. Melestarikan dan mendokumentasikan cerita rakyat Melayu sehingga tidak hilang ditelan zaman.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian cerita rakyat Melayu yang meliputi mite, legenda, dan dongeng, secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk lebih memahami seperti apa sebenarnya cerita rakyat itu. Manfaat praktis ini diperoleh karena pada dasarnya cerita rakyat adalah hal yang mewarnai dan melingkupi setiap aspek hidup manusia sebagai makhluk berbudaya. Manfaat praktis ini memberikan pemikiran yang lebih mendalam bahwa setiap cerita rakyat dan sejenisnya tidak hanya untuk semata-mata hiburan saja atau menidurkan anak-anak. Namun sesungguhnya, cerita rakyat itu memiliki fungsi yang fundamental dalam kedudukannya di tengah masyarakat Melayu Batubara. Cerita rakyat itu memiliki makna dan ajaran yang bersifat filosofis yang mampu menghadirkan eksistensi dari masyarakat Melayu Batubara sebagai masyarakat yang berbudaya.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Kajian pustaka merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang menumbuhkan gagasan dan mendasari usulan penelitian. Dasar-dasar usulan penelitian tersebut dapat berasal dari temuan dan hasil penelitian terdahulu yang terkait dan mendukung pilihan tindakan untuk mengatasi permasalahan penelitian. Menurut Ary (1982 : 52) mengatakan bahwa sangat penting bagi peneliti untuk mencari hasil penelitian terdahulu yang cocok dengan bidang yang diteliti sebagai dasar pendukung pilihan. Dalam pembahasan kajian pustaka perlu diungkapkan kerangka acuhan komprehensif mengenai konsep, prinsip atau teori yang digunakan sebagai landasan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Uraian dalam kajian pustaka diharapkan menjadi landasan teoritik mengapa masalah yang dihadapi dalam penelitian perlu dipecahkan dengan strategi yang dipilih.

Maka dari dasar tersebut untuk meneliti suatu masalah sangat diperlukan bahan-bahan kajian pustaka dari berbagai sumber, misalnya buku-buku jurnal penelitian, dokumentasi-dokumentasi, laporan penelitian,


(20)

bahan-masalah yang diteliti. Kajian pustaka dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan upaya-upaya lain yang mungkin sudah pernah dilakukan para ahli untuk mendekati permasalahan yang sama atau relatif sama. Dengan demikian pengembangan yang dilakukan memiliki landasan empiris yang kuat. (UM, 2005). Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meneliti suatu masalah sangat diperlukan bahan-baham kajian pustaka dari berbagai sumber, misalnya buku-buku ilmiah jurnal penelitian, dokumentasi-dokumentasi, laporan penelitian dan sumber-sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan masalah yang diteliti.

Sesuai dengan judul ini yaitu “Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara Kajian Fungsi”, maka dalam memecahkan persoalan yang timbul dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku yang relevan sebagai panduan pendukung yaitu buku-buku tentang cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara, Pengantar Apresiasi Karya Sastra oleh Aminuddin, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan oleh Hasbullah, Metode Penelitian Sastra oleh Atar Semi. Selain itu, juga digunakan sumber-sumber bacaan lainnya misalnya data dari internet, jurnal dan lain-lain yang masih relevan dengan masalah tentang sastra dan fungsi.

Adapun penulis menyelesaikan skripsi ini dengan dibantu dengan pustaka yang ada diperpustakaan jurusan berupa buku-buku serta skripsi


(21)

terdahulu, adapun skripsi yang mendukung dengan kajian yang dianalisis ialah :

1. Delsy Monalisa (1999), meneliti cerita Mambang Sigaro, penelitian beliau ditulis dalam bentuk skripsi yang berjudul “ Mite Cerita Rakyat Mambang Sigaro Dalam Masyarakat Melayu Pesisir Dahari Selebar’. Dikatakan bahwa cerita dan peristiwa dalam kisahnya berkaitan dengansistem social yang pernah berlaku di dalam masyarakat Melayu Batubara.

2. Syahrizal (1999), meneliti cerita tentang Kubah Lobai Sonang, juga dalam bentuk skripsi dengan judul “Fungsi dan Peranan Legenda Kubah Lobai Sonang Bagi Masyarakat Desa Pesisir Kecamatan Talawi”. Dikatakan bahwa struktur ceritanya berkaitan dengannilai-nilai agama islam. Selain itu berhubungan juga dengan unsure kepercayaan yang bersifat animisme dalam masyarakat Melayu Batubara.

3. Eri Syahputra (2005), meneliti cerita tentang Nilam Baya, juga dalam bentuk skripsi dengan judul “Nilai-Nilai Kesabaran dan Kejujuran Dalam Cerita Lisan Nilam Baya Pada Masyarakat Melayu Batubara”, disini cerita rakyat dikaji dengan analisis didaktis yang berkaitan dengan pengajaran.


(22)

2.2 Teori Yang Relevan

Menurut Poerwadarminta (2003:558), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain, oleh karena itu konsep penelitian ini adalah mengenai:

2.2.1 Struktural

Menurut Abrams (Pradopo, 2002:21), karya sastra itu adalah sesuatu yang mandiri, bebas dari pengaruh sekitarnya, baik pengarang dan pembaca. Dari pengertian ini konsep struktur dalam karya sastra mengutamakan totalitas. Pengertian ini diperkuat oleh Teuw (Pradopo, 2002: 72, 276) bahwa struktur itu murni untuk membongkar apa yang membentuk karya sastra. Hubungan pengertian para ahli ini dengan konsep struktur yang diaplikasikan dalam penelitian cerita rakyat Melayu Batubara adalah, ke-31 teori dari Vladimir Propp yang oleh Alan Dundes disederhanakan menjadi 6 motifeme, pembongkaran dengan konsep totalitas terhadap apa yang membentuk cerita rakyat Melayu Batubara adalah konsep dasar dari teori struktur ini.

Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur instrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu:


(23)

alur (plot), penokohan/ perwatakan, latar, dan tema (Tinambunan. et.al., 1996:7-14).

a. Alur

Alur prosa fiksi (cerita fiksi) adalah rentetan peristiwa yang biasanya bersebab akibat atau berkaitan secara kronologis, sedangkan alur prosa nonfiksi adalah rentetan pikiran atau paparan sebagaimana dalam sajak dan drama (Natawidjaja, 1980:80). Alur yang baik dalam prosa fiksi adalah alur yang di dalamnya terdapat keingintahuan pembaca akan peristiwa berikutnya (Akhadiyah M.K.dkk, (1992:184).

Secara sederhana alur itu terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap perkenalan, tahap pertikaian, dan tahap akhir (Surana, 1980:84). Pada tahap perkenalan pada awal cerita diperkenalkan/dilukiskan tempat, waktu, dan tokoh-tokohnya pada tempat dan saat tertentu. Pada tahap pertikaian dilukiskan munculnya pertikaian yang berkembang menuju puncak atau klimaks. Pertikaian dapat berupa konflik bathin dalam diri sendiri, antar tokoh dalam suatu keluarga atau masyarakat. Pada tahap akhir dilukiskan cerita telah berakhir atau penyelesaian konflik atau masalah yang dihadapi.

Rentetan peristiwa itu dapat disusun dari awal, tengah, dan akhir (progresif) cerita dan dapat juga dari akhir cerita, lalu kembali ke pangkalnya


(24)

sama atau digabungkan, yaitu mula-mula diceritakan peristiwa masa lalu, kemudian, beralih ke perstiwa sesudah masa kini.

Urutan peristiwa dalam alur dapat berupa urutan klimaks atau antiklimaks dan dapat pula berupa urutan kronologis atau regresif (alur mundur atau alur sorot balik). Urutan klimaks peristiwa dimulai dari peristiwa biasa dan diteruskan oleh peristiwa berkembang, serta diakhiri dengan peristiwa memuncak. Dalam urutan antiklimaks, peristiwa dimulai dari peristiwa yang paling tegang atau paling mengerikan (memuncak), kemudian diakhiri dengan peristiwa biasa. Dalam urutan kronologis, peristiwa maju secara wajar menurut waktu. Dalam alur sorot balik, peristiwa dimulai dari peristiwa akhir (tahap akhir), lalu kembali ke permulaan peristiwa (tahap konflik) atau peristiwa dimulai dari peristiwa yang berkonflik (tahap konflik), lalu kembali pada permulaan cerita (tahap perkenalan), dan diteruskan dengan peristiwa akhir dari cerita (tahap akhir), (Surana, 1980:83-86).

b. Penokohan

Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita sedangkan watak adalah menggambarkan bagaimana sifat para tokoh pada cerita itu. Tokoh dan watak dinyatakan setelah alur cerita dinyatakan secara jelas. Biasanya alur cerita berpusat pada tokoh utama, ditemukan juga tokoh bawahan. Watak tokoh cerita ada yang


(25)

baik (penyabar, suka mengampuni dan sebagainya), yang dapat dicontohkan oleh pembaca dan ada juga yang kurang baik (pemarah, pendendam, dan sebagainya) yang harus dihindari ditanggapi secara positif oleh pembaca.

Ada enam cara yang dipakai dalam mendeskripsikan penokohan dalam karya sastra, yaitu:

(1) penulisan bentuk lahir,

(2) pelukiskan jalan pikiran dan perasaan, (3) pelukisan reaksi tokoh lain,

(4) pelukisan keadaan sekeliling, (5) pengungkapan ucapan, (6) dan pelukisan kebiasaan.

Pelukisan bentuk lahir atau tingkah laku dalam mengukapan watak seseorang atau tokoh cerita dapat dilakukan secara analitik dan dramatik. Pelukisan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh bawahan. Misalnya, pada waktu tokoh mendapat suatu musibah, banyak tetangga dan kenalan datang menjenguk untuk memberikan hiburan dan pertolongan. Dalam hal ini, tampak bahwa tokoh utama berwatak baik: rela menolong, suka mengampuni, dan sebagainya.


(26)

Pelukisan keadaan sekeliling tokoh utama atau tokoh bawahan cerita, misalnya keadaan rumah, kamar, dan halaman dapat mengukapkan watak pelaku, misalnya rajin atau malas, saleh atau munafik.

Pengungkapan ucapan dapat juga menyatakan watak pelaku. Ucapan positif menunjukan watak negatif. Kebiasaan positif menyatakan watak yang baik dan kebiasaan negatif menyatakan watak yang tidak baik/kurang baik.

Penggambaran watak pada fiksi kontemporer tidak lagi dapat dilakukan menurut waktu, tetapi menurut tanggapan sesaat, kesadaran zaman lampau, kini dan besok bercampur-baur (perwatakan absur yang tidak logis).

Perwatakan tokoh cerita fiksi merupakan perbauran, minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk sosok individual tokoh itu (Semi, 1988:39). Karena itu, watak tokoh cerita dapat dinyatakan menurut sifat tersebut, antara lain: bersifat positif, berkeinginan positif, emosi positif, dan moral positif (baik hati) atau sebaliknya. Perkembangan tokoh dan perwatakan harus wajar. Perwatakan tokoh cerita itu akan menimbulkan kesan tertentu (benci atau senang/simpati) kepada pembaca, kritikus, atau peminat.

c. Latar

Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran kepada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 201:218). Latar


(27)

memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan demikian merasa diperlukan untuk mengoperasikan daya imajinasinya di samping memungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan tentang latar. Pembaca dapat merasakan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya, hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakan dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro ( 2001:227) unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial. Ketiga unsur itu walau masing- masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1)Latar tempat, latar ini menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin lokasi tertentu tanpa jelas. Tempat- tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai


(28)

dalam dunia nyata misalnya pantai hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

(2)Latar waktu , latar ini berhubungan dengan masalah “kapan “ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra masalah, “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitanya dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan tentang persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk kedalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan kesejalanan dan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi.

(3)Latar sosial, latar ini menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dia dapat berupa kebiasaan


(29)

hidup, adapt-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara bepikir dan bersikap, dan lain-lain.

d. Tema dan Amanat

Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari satu karya sastra. Adanya tema membuat karya lebih penting daripada sekedar bacaan hiburan (Sudjiman, 1992:50), sedangkan amanat adalah pemecahan tema; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Gaffar, 1990:4).

Sedangkan struktur yang harus dianalisis dalam unsur ekstrinsik karya sastra mencakup latar belakang karya sastra. Latar belakang karya sastra mengacu pada:

a) Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

b) Pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

c) Keadaan masyarakat pada saat tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

d) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, e) Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,


(30)

f) Keadaan penulis karya sastra, seperti pertumbuhan pribadinya, cara penemuannya atas ilham yang tertuang dalam karya sastra,

g) Pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

h) Kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periode sastra.

Unsur-unsur ekstrinsik yang digunakan yaitu:

1) Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

2) Pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

3) Keadaan masyarakat pada tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

4) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, 5) Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

6) Pandangan pembaca terhadap karya sastra.

2.2.2 Fungsi

Fungsi adalah suatu kegunaan atau faal yang dapat diambil dalam melakukan sesuatu. Demikian juga dengan karya sastra, memiliki fungsi dalam


(31)

masyarakat, apakah itu fungsi langsung atau tidak langsung. Bila dilihat secara langsung, fungsi karya sastra itu pada dasarnya adalah media penyampaian isi hati pengarang atas apa yang dirasakan atau yang dialami oleh pengarang itu sendiri atas apa yang terjadi pada masyarakat. Karya sastra dapat dikatakan merupakan gambaran tentang apa yang terjadi dalam masyarakat dengankata lain hal yang disampaikan dalam karya sastra adalah cerminan masyarakat .

Setelah cerita rakyat dianalisis secara struktural kemudian dilanjutkan dengan analisis fungsi yang dikemukakan oleh Bascom (Danandjaya, 1986:19-20), foklor memiliki empat fungsi yaitu:

a. Sebagai sistem proyeksi ( Projective sistem ).

b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. c. Sebagai alat pendidikan anak ( Pedagogical device ).

d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar anggota kolektif dari masyarakat tersebut mematuhinya.

Fungsi yang diutarakan tersebut di atas didasarkan pada pencatatan hal-hal yang tampak atau tersirat dalam cerita Melayu Batubara. Penulis memilih teori ini karena teori fungsi yang dikemukakan oleh Bascom mampu memberikan penjelasan mengenai kebenaran fungsi cerita rakyat itu bagi kehidupan masyarakakat Melayu Batubara.


(32)

2.3 Legenda

Folklor merupakan sebagian kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Brunvand, 1968:5; Danandjaja, 1986:2). Istilah folklor diciptakan pada abad ke-19 untuk menunjuk dongeng kepercayaan dan adat-istiadat yang tidak tertulis dari kaum tani Eropa sebagai lawan tradisi kaum elit yang terpelajar (Haviland, 1985:227). Menurut Abrams, folklor sebagai mana koleksi, memperlihatkan jangkauan yang sangat luas, sebab hampir setiap aspek kehidupan yang bersifat tradisional (1981:66).

Sebenarnya istilah folklor (folklore, Inggris; dieja folk-lore) pada mulanya adalah ciptaan William John Thorms, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian) Inggris. Istilah ini digunakan sebagai pengganti istilah popular antiquities; dan mula-mual diperkenalkan dalam majalah Athenaeum (No. 982, tanggal 22 Agustus 1984), dengan nama samaran Ambrose Merton (1846: 862 – 863). Menurut Thorms istilah popular antiquities itu tidak tepat untuk merujuk pada fenomena-fenomena yang hidup dan yang masih mendapat tempat di dalam kehidupan sekelompok penduduk di luar kota di negeri Inggris pada waktu itu. Istilah folklor itu sebenarnya cocok dengan istilah Jerman,


(33)

yakni Volkskunde. Istilah-istilah lain yang pernah digunakan orang adalah verbal arts, folk literature, dan folk-life (digunakan di Skandinavia).

Menurut etimologinya, perkataan folklore (diindonesiakan menjadi

folklor) berasal dari kata folk dan lore. Danandjaya (1984: 2) menyatakan

bahwa definisi folklor adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Folklor adalah kepercayaan, legenda, dan adat-istiadat suatu bangsa yang sudah sejak lama diwariskan turun-temurun baik secara lisan maupun tertulis. Bentuknya bisa berupa nyanyian, cerita, peribahasa, teka-teki, bahkan permainan kanak-kanak (Sudjiman, 1986:29). Folklor mencakup kepercayaan, adat-istiadat, upacara yang dijumpai dalam masyarakat dan juga benda-benda yang dibuat manusia yang erat kaitannya dengan kehidupan spiritual, misalnya patung, larangan untuk tidak berbuat sesuatu yang berlawanan dengan norma kehidupan (Moeis, 1988:127-128).

Jika kebudayaan mempunyai tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu sistem data pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem


(34)

seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (setengah lisan), dan (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore) (Danandjaja, 1986:21; Brunvand, 1968:2-3).

1. Folklor Lisan

Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk yang termasuk ke dalam folklor lisan adalah sebagai berikut.

1. Ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, wasita adi), 2. Nyanyian rakyat,

3. Bahasa rakyat (dialek, julukan, sindiran, title-titel, wadanan, bahasa rahasia, dan lain-lain),

4. Teka-teki atau pertanyaan tradisional, dan cerita rakyat (dongeng suci atau mite, legenda, dongeng, sage, cerita jenaka, cerita cabul, dan lain-lain) (lihat Danandjaja, 1986: 21-22; Hutomo, 1991: 8).

2. Folklor Sebagian Lisan

Folklor sebagian lisan (setengah lisan) adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk yang termasuk ke dalam folklore sebagian lisan adalah sebagai berikut.

(a) drama rakyat (ketoprak, ludrug, lenong, wayang orang, wayang kulit, topeng, dan lain-lain)


(35)

(b) tari,

(c) kepercayaan rakyat dan takhayul, (d) permainan rakyat dan hiburan rakyat,

(e) adat-istiadat atau adat kebiasaan (gotong royong, batas umur pengkhitanan anak, dan lainlain),

(f) pesta-pesta rakyat (wetonan, sekaten, dan lain-lain) (lihat Danandjaja, 1986: 21-22; Hutomo, 1991: 9).

3. Folklor Bukan Lisan

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor jenis ini terbagi dua, yakni:

(1) yang berupa material (mainan/boneka, makanan dan minuman khas rakyat, peralatan dan senjata, alat-alat musik, pakaian dan perhiasan, obat-obatan tradisional, seni kerajinan tangan, dan arsitektur rakyat (bentuk-bentuk rumah asli rakyat

(2) yang berupa bukan material (musik (gamelan Sunda, Bali, dan Jawa), dan bahasa gerak isyarat tradisional tanda bahaya, dan lain-lain) (lihat Danandjaja, 1986: 21-22; Hutomo, 1991: h. 9).


(36)

terdapat di Desa Pahang, yaitu : Nilam Baya. Cerita prosa rakyat tersebut termasuk kedalam jenis folklor lisan, yang masuk kategori legenda. Cerita prosa rakyat yang terdapat di Desa Pahang, jika ditinjau dari isi teks ceritanya dapat diklasifikasikan kedalam jenis legenda. Asumsi ini didasarkan pada pengklasifikasian yang dikemukankan oleh Jan Harol Brunvand. Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1991:67), cerita prosa rakyat yang termasuk kedalam jenis legenda digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu : legenda

keagamaan (religious legends), legenda alam gaib (supernatural legends),

legenda perseorangan (personal legends), dan legenda setempat (local

legends).

Legenda keagamaan (religious legends), yaitu legenda orang-orang

suci. Legenda alam gaib (supernatural legends), yaitu legenda yang berbentu

sebuah kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda ini adalah untuk meneguhkan kebenaran takhayul atau

kepercayaan rakyat. Legenda perseorangan (personal legends), yaitu legenda

yang berisikan cerita tentang tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh

empunya cerita benar-benar terjadi. Legenda setempat (local legends), yaitu

legenda yang isi ceritanya berhubungan dengan suatu tempat , nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjurang, dan lain sebagainya.


(37)

2.4 Sekilas Tentang Sosial Budaya Masyarakat Melayu Batubara 2.4.1 Geografi Wilayah Penelitian

Batubara adalah sebuah kota yang dahulunya terdiri atas beberapa kepenghuluan, terletak di pantai timur Pulau Sumatera, dahulunya adalah daerah Kabupaten Asahan, dan sekarang sudah menjadi Kabupaten Batubara. Pada zaman dahulu pemerintahannya bersifat kerajaan, terdiri atas kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang Datuk. Batubara merupakan bagian dari wilayah Deli. Adapun kedatukannya adalah Lima laras, Lima Puluh atau Simpang Dolok, Pesisir, dan Tanah Datar. Tanah Datar sendiri terdiri dari beberapa desa, salah satunya adalah desa Pahang. Desa Pahang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara. Desa Pahang terletak di pesisir pantai Timur Sumatera pada ketinggian lebih kurang 3 meter di atas permukaan laut. Suhu maksimal di desa Pahang 33, 2 derajat celcius dan suhu minimal 21, 5 derajat celcius.

Desa Pahang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Mesjid Lama

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Sei-Muka 3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Panjang 4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Labuhan Ruku


(38)

Luas desa Pahang lebih kurang 200.000 Ha, yang memanjang dan mengarah ke Selatan 3.5 km. Jumlah penduduk desa Pahang pada tahun 2004/2005 lebih kurang 4854 jiwa, yang terdiri dari VII dusun. Desa Pahang rata-rata penduduknya beretnis Melayu, sedangkan lebihnya bersuku Batak, Padang dan Jawa.

Jarak antara pusat kota pemerintahan, yaitu kota Batubara menuju Kecamatan Talawi sejauh 1 km, dan dari pemerintahan kota sejauh 27 km, dan jarak dari Ibukota Dati II sejauh 27 km, sedangkan jarak dari Ibukota Dati I sejauh 160 km. Mata pencaharian utama penduduk desa adalah nelayan. Hampir seluruh laki-laki yang berada di desa ini menggantungkan hidupnya dengan hasil laut, meskipun penduduknya mempunyai mata pencaharian tanbahan dengan berladang, buruh, dan jasa. Usaha kaum perempuannya bersifat industri rumah tangga, seperti membuat kain songket, membuat jaring ikan, dan berjualan di depan rumah.

Tingkat pendidikan penduduk di desa ini tergolong sudah meningkat, terbukti dengan banyaknya anak-anak yang bersekolah Tsanawiah (SMP) dan Aliyah (SMA), serta ada juga yang bersekolah di luar negeri, seperti Libya, Mesir, Malaysia, dan Arab Saudi.

Mayoritas penduduk Batubara memeluk agama Islam, dan selebihnya memeluk agama Kristen Protestan dan Kristen Katholik. Di desa ini banyak


(39)

sarana tempat ibadah, seperti mesjid, langgar, musholla, serta tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti Kubah Sabun, Langgar Dusun VII, Istana Air Putih, dan kuburan-kuburan datuk-datuk zaman dahulu yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

2.4.2 Sejarah Masyarakat Melayu Batubara

Cerita singkat sejarah masyarakat Melayu Batubara berawal dari seorang raja yang memiliki seorang putri yang cantik jelita. Dan pada saat itu raja yakin bahwa usianya tidak akan lama lagi. Lalu raja berkehendak ada seorang yang bakal menjadi penerus untuk menggantikannya menjadi raja kelak. Kemudian raja mengadakan Sayembara ke seluruh negeri. bagi pemuda yang ingin mempersunting anak perempuannya yang cantik jelita tersebut. Dan beberapa hari kemudian, datanglah Empat pemuda yang ingin mempersunting anak gadis raja tersebut. Keempat pemuda itu datang dari daerah yang berbeda. Pemuda-pemuda tersebut datang dari daerah Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh, dan Tanah Datar. Oleh karena seorang raja harus berlaku adil, maka keempat pinangan pemuda tersebut diterima oleh raja dan ditetapkan hari pernikahan putrinya. Pada saat pernikahan akan dilaksanakan, raja bingung karena putrinya hanya satu orang, sementara Ia harus bersikap adil. Keempat pemuda


(40)

empat suku untuk membicarakan agar menunda pernikahan selama satu hari. Keempat datuk ini menyetujuinya.

Permaisuri meminta agar raja memberinya tiga ekor binatang, yaitu: anjing betina, monyet, dan kambing. Permaisuri mengurung ketiga binatang itu di dalam kamar dan menutupinya dengan sehelai kain putih. Siang malam permaisuri berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar tidak malu. Dan keesokan harinya terjadi keajaiban ketika permaisuri membuka kain putih. Ia mendapatkan tiga orang putri yang berwajah sama dengan dirinya. Lalu dilaksanakanlah pesta pernikahan itu dengan sangat meriah. Setelah pesta keempat putri raja dibawa oleh suaminya masing-masing. Putri monyet dibawa ke Lima Laras, putri anjing dibawa ke Simpang Dolok, putri kambing dibawa ke Pesisir, dan putri raja yang asli tetap di Tanah Datar. Masyarakat Melayu Batubara mempercayai bahwa sifat ketiga binatang tersebut mempengaruhi citra masyarakatnya masing-masing, terkecuali masyarakat Tanah Datar yang memiliki ketiga-tiga sifat binatang tersebut. Seperti monyet yang suka makan buah-buahan, kambing yang suka makan sayur-sayuran, dan anjing yang suka makan ikan atau daging.

Dari cerita sejarah singkat masyarakat Batubara ini dapat diambil hikmah bahwa pada zaman dahulu sistem pemerintahan di Batubara merupakan kerajaan. Terdiri atas kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang


(41)

Datuk. Batubara merupakan bagian dari wilayah kerajaan Deli. Adapun wilayah kedatukannya dibagi atas wilayah Simpang Dolok, atau Lima Puluh, Lima Laras, Pesisir, dan Tanah Datar.

Dalam sejarah silsilah atau keturunan, Datuk-datuknya berasal dari Pagaruyung. Pada zaman kerajaan, pemimpin masyarakatnya adalah datuk dan di bawah kekuasaan kesultanan Deli. Dan sekarang berada dalam pemerintahan Indonesia. Masyarakatnya di bawah Bupati dan Camat. Masing-masing wilayah masyarakat Batubara memiliki kelebihan dan kekurangan. oleh sebab itu masyarakat Batubara saat ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, nilai adat-istiadat, serta bertutur kata lemah lembut. Hal ini membuat masyarakat Batubara baik didalam berkata maupun berbuat.

Masyarakat Melayu Batubara hingga saat ini masih mempunyai budaya yang nilai dan norma-normanya masih dipatuhi di tengah-tengah khalayaknya. seperti adat bersopan santun dan bertutur kata lemah lembut. Masyarakat Melayu Batubara khususnya daerah Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh, dan Tanah Datar masih ada yang percaya dengan mistik. Karena daerah-daerah tersebut masih mempunyai beberapa fenomena yang serba mistisme. Hal ini juga dapat dilihat dalam setiap jamuan atau pesta yang diadakan di Batubara sampai saat ini. Tradisi hidangan yang berasal dari daging, ikan,


(42)

sayur-Hidangan ini dikenal juga sebagai hidangan penghormatan terhadap leluhur, nenek moyang yang ada pada zaman dahulu.

2.4.3 Sistem Sosial Masyarakat Melayu Batubara

Cerita pada sastra rakyat hubungan yang erat dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam tradisi lisan, penyampaian cerita biasanya denganmenggunakan bahasa daerah setempat. Penutur cerita biasanya memiliki kedudukan dan status sosial yang berbeda dari anggota masyarakat. Sistem sosial masyarakat Melayu Batubara biasanya dapat terlihat pada sebuah acara perkawinan, dimana menantu laki-laki harus tinggal dengan keluarga istrinya. Dapat dikatakan seperti dengan sistem matrenilinial, seperti yang dianut oleh suku padang. Masyarakat Batubara hingga kini masih menjunjung nilai-nilai kesopanan, nilai adapt-istiadatnya, serta bertutut kata lemah baik di dalam silaturahmi diantara masyarakatnya. Dalam berkata maupun berbuat, serta masih kuatnya tali silaturahmi diantara masyarakatnya.

Dalam masyarakat Melayu Batubara pernah dipakai sistem pemerintahan yang bersifat kerajaan, dan sejak kemerdekaan Indonesia berlaku sistem sosial yang sudah diatur dalam UUD 1945 dan Ideologi yang ada di Indonesia. Pada zaman kerajaan, pimpinan tertinggi dipegang oleh seorang


(43)

Datuk dan di bawah kekuasaan kesultanan Deli. Dan sekarang berada dalam pemerintahan Indonesia, masyarakatnya di bawah pimpinan Camat dan Bupati.

2.4.4.Hubungan Cerita Nilam Baya Dengan Sistem Budaya Masyarakat Melayu Batubara

Masyarakat Melayu Batubara, khususnya Masyarakat desa Pahang hingga saat ini masih mempunyai budaya yang nilai dan norma-normanya masih dipatuhi di tengah-tengah khalayaknya. Nilai dan norma budaya tersebut, seperti adapt bersopan santun dan bertutur dan bertutur kata lemah lembut. Masyarakat Melayu Batubara, khususnya di daerah Lima Puluh, Lima Laras, dan Tanah Datar, mempunyai keterikatan yang kuat terhadap cerita Nilam Baya, karena cerita ini dianggap sangat kuat kebenarannya, serta sangat mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya baik dalam beradat-istiadat, berketuhanan maupun bersosial budaya lainnya. Hal ini juga dapat dilihat dalam setiap jamuan atau pesta yang diadakan di Batubara sampai saat ini, tradisi hidangan yang berasal dari daging, ikan dan sayur-sayuran serta buah-buahan yang dimasak harus ada, disantap sebagai lauk nasi. Hidangan yang mengandung makna ini, bukan hanya sebagai hidangan biasa, tetapi adalah suatu hidangan penghormatan kepada leluhur nenek moyang, yang


(44)

Perilaku dan jenis hidangan ini dipercayai terkait dengan cerita Nilam Baya sebagai cerita asal usul Masyarakat di Batubara.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metode artinya cara tepat untuk melakukan sesuatu; Logos artinya ilmu dan pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang bersistem dan terorganisasi (Jabrohim, 2001:8). Oleh karena itu, upaya penelitian dalam rangka pengembangan ilmu memerlukan metode yang bersifat ilmiah. Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah dengan dukungan dan sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan (Jabrohim, 2001:8).

Menurut Narbuko (1997:3) Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisa dengan menyusun laporan, sedangkan metode penelitian adalah ilmu mengenai jalan yang digunakan atau dilewati untuk mencapai pemahaman.

3.1. Metode Dasar

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam meneliti adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian yang bersifat deskriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat tata isi cerita rakyat Nilam Baya dalam masyarakat Melayu Batubara. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan


(46)

menurut Suryabrata S, (1985: 176) penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Dalam mengumpulkan data-data yang nantinya dapat digunakan untuk menjawab segala permasalahan yang ada, Nettl, (1963: 62-64) menawarkan cara kerjanya yaitu dengan kerja lapangan (field work). Dalam penelitian lapangan penulis langsung berinteraksi dengan komunitas atau masyarakat yang membutuhkan.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di Desa Pahang Kecamatan Talawi, Asahan. Propinsi Sumatera Utara.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1. Metode Wawancara, yaitu metode yang dilakukan untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang data yang penulis butuhkan. Adapun teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik Catat.

2. Metode Observasi, yaitu penulis secara langsung turun kelapangan melakukan pengamatan, Tehnik yang digunakan yaitu tehnik Catat.


(47)

3.4. Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data yang mentah sehingga menjadi data yang cermat atau akurat dan ilmiah, dimana data didapat dengan menggunakan alat pencatat seperti buku, pulpen, catatan dan kamera.

Pada dasarnya, dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan si peneliti dalam menalar sesuatu. (Bulizuar, 1979: 87)

Untuk menganalisis data penelitian ini penulis menggunakan metode Struktural (Nettle dan Bruno, 1964: 125 ), yakni:

1. Mengidentifikasikan data dari lapangan. Mengidentifikasikan data dari lapangan maksudnya setelah data terkumpul dari lapangan maka diklasifikasi dan dipilah-pilah sesuai dengan kebutuhan akan data. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penulis dalam menganalisis data-data yang didapat.

2. Data yang diperoleh akan disusun menjadi tulisan yang baik. Setelah data diklasifikasi sesuai dengan jenis data yang diperoleh. Kemudian data-data yang telah terkumpul dan terklasifikasi dibuat dalam bentuk tulisan atau naratif. Hal ini dikarenakan ini adalah penelitian sastra,


(48)

3. Mengambil kesimpulan dari data penelitian penulis, mempunyai tujuan bahwa hasil analisis yang digunakan sudah terfokus pada satu domain yang akan menghasilkan analisis yang terbatas pada satu domain tertentu.


(49)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Sinopsis

Di hulu, di tepi Sungai Nipah, bertempat tingal di sana, Pawang Satria bersama istrinya Dayang Merdu. Sungguh pun Pawang Satria dan Dayang Merdu, telah bertahun-tahun berkeluarga, mereka belum dikaruniai keturunan oleh yang Maha Esa. Setiap malam sebelum beranjak tidur, mereka senatiasa berdoa, agar memperoleh anak, sebagai buah hati, pengarang jantung, cibiran tulang. Pada suatu hari Pawang Satria berperahu, pergi ke lubuk di rimba, hulu Sungai Nipah, untuk menangkap ikan, mengambil lukah atau bubunya yang telah 7 hari ditahannnya. Ketika pawang satria akan beranjak pulang, belum sepenggalah perahunya menghilir, sayup-sayup selain gemercik air yang tehempas ke batu, terdengar suara tangis bayi.

“Tak mungkin”, katanya dalam hati. Namun ditepikan perahunya untuk mencari asal suara tangis bayi. Tetapi terkejutnya Pawang Satria menyaksikan hal ini. Disapu-sapu matanya berulang kali, sadar ia tak bermimpi, namun mustahil. Dilihatnya seorang bayi, terbaring di dedaunan yang kering. Tak jauh dari bayi tersebut, terdapat seonggok kulit buaya.


(50)

“Bayi siapakah ini”, katanya di dalam hati. Untuk menyakinkan bahwa bayi tersebut ada pemiliknya, ia berteriak keras-keras:

“A…...hoi siapa di sini”, Namun suaranya saja yang membahana, memecah kesunyian hutan. Tiada jawaban. Setelah yakin tidak ada yang menjawab, secepatnya dibawa bayi itu pulang, beserta kulit buaya yang dijumpainya. Keanehan juga terjadi. Bayi tersebut diam tidak menangis di pangkuannya. Ditatapnya wajah bayi itu : “Alangkah cantiknya bayi ini, akan ku rawat segenap hati. Terimah kasih, Yang Maha Pencipta”, katanya dalam hati. Hanya sesekali ini mengayuh, namun perahunya tetap melaju.

Setelah sampai belum ditambatkan perahunya, Pawang Satria berteriak memanggil istrinya. Secepatnya Dayang Merdu tiba, karena dilihatnya suaminya menggendong sesuatu. Dayang Merdu Bertanya ; “Bayi siapakah ini kanda?. “Yang kuasa telah mengabulkan permintaan kita Dinda”, jawab Pawang Satria dengan gembira. “Bawa dan uruslah”.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Nilam Baya beranjak remaja.

Semenjak keberadaan Nilam Baya ditengah-tengah keluarga Pawang Satria, kehidupan mereka semakin bahagia. Pawang Satria semakin dikenal diseluruh tanah Batubara, bahkan tanah Deli seluruhnya.


(51)

Kecantikan Nilam Baya menjadi buah bibir, bagi yang melihatnya. Bagi yang hanya mendengar beritanya saja, ingin segera menyaksikannya. Rambutnya hitam tergerai, ikal mengurai, Tingginya semampai, Kulitnya mulus, kuning langsat, bagaikan pualam. Bila nyamuk hinggap menghampirin, tergelincir karena halus. Matanya berbinar. Hidungnya, pipinya, bibirnya, lehernya jenjang, sungguh menawan. Keterampilannya selaku seorang wanita, tiada pula cacat celananya. Demikian pula adat sopan santunnya, sangat terpuji. Kalau Nilam Baya berbicara betah mendengarnya. Suaranya yang merdu, baik berbicara maupun berdendang, bagaikan buluh perindu.

Dayang Merdu bangga atas kecantikan Nilam Baya. Tetapi sesekali, timbul rasa was-wasnya. Darimanakah sebenarnya asal Nilam Baya? Siapakah gerangan orang tuanya?. Keraguannya pernah ditanyakan kepada Pawang Satria, suaminya. Ketika Nilam Baya tidak bersama mereka.

“Kanda, ada sesuatu hal yang aneh pada diri anak kita”, kata Dayang Merdu.

“Apa yang terjadi istriku” bertanya Pawang Satria.

“Beberapa hari yang lalu, Dinda telah memindahkan peti yang berisi kulit buaya dari ruang tengah ke lubang padi. Nilam Baya mencarinya dan


(52)

menanyakkan padaku. Setelah kukatakan tempatnya, dengan tersenyum ia mengatakan, bahwa kulit itu pakaiannya. Bagaimanakah ini Kanda ?”,

“Tidak baik berpraduga. Jangan pikirkan tidak-tidak. Bukankah sejak kehadiran anak kita, kehidupan kita semakin sejahtera dan warga kita semakin makmur”, jawab Pawang Satria.

“Tetapi Kanda, apakah Nilam Baya bukan penjelmaan dari peri sungai yang baik?. Suatu keanehan lagi Kanda, Nilam Baya sangat gemar makanan daging daripada yang lainnya?. Iapun senang mandi di sungai, sungguhpun wanita bila ia berenang atau menyelem tak ada yang menandinginya. Seakan-akan...” kata Dayang Merdu tidak jadi meneruskan kata-katanya.

“Sudahlah istriku, singkirkan pikiran dan bayangan yang menggoda. Lihatlah betapa cantiknya putri kita”. Hibur Pawang Satria menunjuk Nilam Baya yang berjalan gemulai namun tangkas.

Sejak itu Dayang Merdu tidak pernah mengkhwatirkan siapa sebenarnya dan dari mana asal usul Nilam Baya. Bahkan kasih mereka semakin bertambah terhadap Nilam Baya. Tidak saja keluarga Pawang Satria, bahkan warga disekitarnya teramat sayang dan hormat kepada Nilam Baya. Bila tak melihatnya sehari saja, mereka menanyakan. Bila telah bersua puaslah hati mereka, namun esoknya timbul pula rasa rindu.


(53)

Demikian kehidupan Nilam Baya yang kian hari semakin rupawan.

Di hilir sungai yang masih dalam kawasan Tanah Batubara, terdapat suatu kepenghuluan di bawah pimpinan Datuk Indra Jaya. Saat itu bertemulah Datuk Indra Jaya dengan Nilam Baya, ketika memberikan hidangan. Betapa kagumnya Datuk Indra Jaya menyaksikan kecantikan Nilam Baya, wajahnya bercahaya, jarinya yang lentik, langkahnya yang gemulai, membuat hati Datuk Indra Jaya bergetar. Dan hendak mempersuntingnya.

Setelah itu, hiduplah Datuk Indra Jaya bersama istrinya Nilam Baya serta warga Batubara yang damai, aman dan sentosa, makmur dan berbahagia.

Selang beberapa tahun kemudian usia pesta perkawinan, Nilam Baya pun hamil, semakin kasihlah Datuk Indra Jaya kepada istrinya. Tujuh bulan setelah kehamilan kembali kenduri dilaksanakan, seluruh penduduk negeri diundang. Pesta tujuh bulan kehamilan ini bagi adat Batubara disebut melenggang. Kenduri ini harus dilaksanakan, bahagia sebagai ungkapan, agar kelahiran bayi tidak terhalang.

Beberapa waktu berlalu, lahirlah seorang putri dari perkawinan ini. Sesuai dengan adat budaya Melayu, setelah empat puluh hari kelahiran, kenduripun dilaksanakan untuk penebalan nama bagi yang lahir. Kenduri ini


(54)

Betapa bahagianya Datu Indra Jaya bersama istrinya Nilam Baya. Sebagaimana ibunya yang cantik jelita, serta ayahandanya yang gagah perkasa, tiada berbeda dengan Nilam Pemata, bagi Nilam Permata yang lebih tua hormat senantiasa disandang dan yang muda senantiasa di sayang, rasa benci dan iri, haruslah hilang sebagai bekal dalam pergaulan.

Sungguh Nilam Permata menjadi kembang di Batubara. Hari demi hari Nilam Permata tumbuh remaja, banyak pemujanya, baik teman pria maupun wanita. Semua kagum akan kecantikan Nilam Permata tiada terlukiskan atau terucapkan dengan kata-kata. Wajahnya bersinar bagai bulan purnama, matanya bagai bintang kejora, alisnya bagai semut beriring, rambutnya bagai mayang terurai, bibirnya bak delima mereka, pipinya bak pauh dilayang, pinggangnya ramping bagai pohon pinangn, lehernya jenjang. Nilam Baya mendidik anaknya merenda, menyulam, masak dan beradat sopan.

Setelah mencapai usia 17 tahun, semakin bertambah pula kecantikan Nilam Permata, paras wajahnya yang ayu, terberita keseluruhan wilayah Batubara. Pada waktu itu ada beberapa kepenghuluan, seperti : Lima Laras, Tanah Datar, Air Putih, Lima Puluh, Tinggi Raja, Simpang Dolok dan lain-lainnya, telah terbetik tentang kecantikan Nilam Permata. Timbul hasrat bagi


(55)

Datuk-datuk itu untuk mempersunting Nilam Permata, bagi putra mereka, yang adalah pewaris tahta.

Hal pinangan ini, disampaikan Datuk Indra Jaya beserta istrinya kepada Nilam Permata. Betapa bingung Datuk Indra Jaya menghadapi ini, sebagaimana pinangan permata, pinangan yang lain ini pun ditunda. Kepastian belum diberikan, agar tidak menimbulkan kekecewaan.

Berselang waktu beberapa hari kemudian datang lagi utusan peminangan dari kepenghuluan yang lain lagi. Sama, seperti jawaban pinangan permata, jawaban pinangan inipun, tetap ditunda.

Belum genap sebulan, belum lepas dari persoalan pinangan pertama, kedua, dan ketiga, datang pula utusan dari kepenghuluan yang lain pula. Bila pinangan ditampik, bukankah tujuan mereka adalah untuk mempererat tali persaudaraan?.

Berkata datuk Indra Jaya dalam hatinya:

“Bagaimana ini, anakku hanya semata wayang tetapi yang datang ini meminang ada empat orang, bagaikan makan buah simal kama*). Seperti pinangan terdahulu, pinangan inipun ditunda jawabannya.


(56)

Telah tersiar kabar berita bahwa Putri Datuk Indra Jaya dilamar oleh 4 orang putra penghulu. Namun semuanya belum memperoleh kepastian, putra yang mana bakal diterima.

Maka berundinglah Datuk Indra jaya dengan dan istrinya, Nilam Baya. Dalam sausana kalut itu berkata Nilam Baya.

“Terimalah pinangan mereka, dinda akan berupaya, tidak akan terjadi silang sengketa atau pertumpahan darah. Esok bulan purnama tiba, dinda akan bermohon kepada Yang Kuasa”.

Nilam Permata yang elok rupa, anggun mempesona mempunyai sifat yang mulia, sesama makhlukpun ia sangat sayang,walau binatang sekalipun. Tidak heran pun bila kera, anjing dan kambing dipelihara di rumahnya. Sesekali ketiga hewan ini bemain bersama Nilam Permata. Berkejaran, berlompatan bahkan berbaring mendekat, hewan inipun tiada takut. Bila dipanggil ketiganya datang, bila diusir ketiganya menjauh kembali ke kandang masing-masing.

Tepat tak kala bulan purnama Nilam Baya memanggil putrinya, Nilam Permata. Ditengah malam buta, tanpa diketahui seorang juapun, dibawanya putrinya ketepian sungai nipah, seakan-akan ada yang memberi tahu. Ketiga ekor makhluk sahabat Nilam Permata mengikutnya. Tiada suara dan tiada yang


(57)

berkata Nilam Permata bersimpuh dihadapan bundanya. Demikian pula ketiga hewan itu duduk sejajar sesama. Tiba-tiba langit gelap, semua hitam pekat, bulan tiada terlihat. Tak lama kemudian langit berangsur cerah, bertebaran bintang di angkasa, bulanpun bersinar dengan megah. Disinarnya yang temaran samar-samar, terlihat empat orang wanita, menghadap Nilam Baya. Kelima orang ini kembali istana Datuk Indra Jaya.

Keesokan harinya, seakan-akan tidak ada yang terjadi apa-apa. Ketika Datuk Indra Jaya memanggil putrinya, dari kamar, keluar empat orang dara. Berwajah dan berbaju serupa. Bahkan tinggi dan bentuknya juga sama. Datuk Indra Jaya tak dapat membedakan yang mana Nilam Permata.

Setelah duduk, satu persatu mereka berkata dengan suara tiada berbeda,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Permata, anak ayahanda”. Berikutnya berkata pula,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Kesuma, anak ayahanda”. Berikutnya berkata pula,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Kencana, anak ayahanda”. Lalu yang berakhir berkata,


(58)

Kini giliran Datuk Indra Jaya bertanya kepada Nilam Baya : “istriku, siapakah mereka?”.

Maka berkatalah Nilam Baya :, “Kanda, ampuni dinda, mereka adalah anak-anak kita. Yang kuasa telah mengabulkan permohonan dinda. Bukankah anak kita telah dipinang empat orang Datuk?”.

Datuk Indra Jaya terharu menyambut mereka. Penduduk Batubara menjadi gempar, atas kehadiran putri-putri Datuk Indra Jaya, Yaitu :Nilam Permata, Nilam Kesuma, Nilam Kencana, dan Nilam Cahaya.

Namun lambat laun hal ini menjadi reda, mereka bekerja seperti sedia kala. Kehadiran putri-putri Datuk Indra Jaya telah terdengar dan diketahui oleh Datuk-datuk yang meminangnya, betapa suka cita mereka. Dan selanjutnya mereka segera mengirimkan utusan untuk peminangan.

Betapa bahagianya datuk-datuk ini. Pinanganmereka diterima, masing-masing Datuk menerima Nilam Permata, Nilam Kesuma, Nilam Kencana, dan Nilam Cahaya sebagai calon istri.

Hantaranpun dikirimkan. Datuk Indra Jaya akan menyelenggarakan pesta rakyat besar-besaran, sebulan penuh 30 hari, 30 malam. Datuk Indra Jaya mencanangkan pengumuman perkawinan putri-putrinya.


(59)

Menjelang pesta akan diadakan ikan, ternak, sayuran dan buah, tumbuh dengan subur, pepohonanpun berbuah lebat. Tepat pada hari yang telah ditentukan, pelaminan didirikan keempat pasangan disandingkan. Mempelai wanita berwajah serupa. Hanya merekalah yang tahu, yang mana suaminya. Sebaliknya Datuk-Datuk ini tak tahu yang mana istrinya. Demikian pula seluruh warga di Batubara, tiada tahu yang mana putri Datuk Indra Jaya yang sebenarnya.

Usai sudah keramaian. Dan Datuk-Datuk kembali ke negerinya membawa istrinya masing-masing. Dikepenghuluan inipun keramaian kembali digelar. Tak kalah meriahnya dari keramaian yang dilaksanakan Datuk Indra Jaya. Selanjutnya mereka hidup berbahagia.

Di dunia yang fana tidak ada yang kekal abadi. Usia Datuk Indra Jaya semakin tua, namun penampilannya tetap prima, demikian pula Nilam Baya, kecantikan tiada pudar ditelan masa. Sesuai dengan janji Yang Kuasa, makhluk didunia harus kembali ke asalnya.

Suatu ketika Nilam Baya minta diantar Datuk Indra Jaya ke kampung halamannya, ke rumah Pawang Satria. Sampai disana, saat bulan purnama tiba berkatalah Nilam Baya kepada Datuk Indra Jaya dan Pawang Satria :


(60)

“Kanda, Ayah dan Bunda, ada sesuatu yang ingin ananda sampaikan, yang akan merubah hidup kita”.

“Apakah gerangan dinda”, tanya Datuk Indra Jaya.

“Terima kasih dinda, Ayah dan bunda. Dinda harap, kanda kuat menerima kenyataan ini. Tiada seorangpun yang menanyakan asal-usul dinda yang sebenarnya. Sekali lagi, terima kasih atas curahan kasih sayang yang diberikan kepada dinda. Kini saatnya dinda meninggalkan segala-galanya, orang yang dinda cintai”.

Hampir tak percaya, betapa terkejutnya Datuk Indra Jaya.

“Dinda berkatalah yang sebenarnya”, berkata Datuk Indra Jaya menghiba.

Seterusnya berkata Nilam Baya :

“Ayah, Bunda dan Kanda, sebenarnya beta keturunan peri. Menjelma di alam manusia. Tak dapat dicegah lagi kanda. Kini saatnya dinda harus kembali malam ini. Ayah, bunda kanda ampunilah kesalahan dinda, kutitipkan keempat putri-putri kita, cucu-cucu kita”.

Selanjutnya Nilam Baya bersujud kepada Pawang Satria, Dayang Merdu dan terakhir Datuk Indra Jaya. Dengan tersedu-sedu berkata selanjutnya


(61)

Nilam Baya : “Kanda, ayah, bunda jangan ditangisi kepergian beta. Kini antarkan beta ke tepian sungai”.

Nilam Baya berdiri, kemudian berjalan, diiringi Datuk Indra Jaya dan Dayang Merdu. Sesampainya di tepian sungai tiba-tiba gelap, namun hanya sesaat, tetapi ketika bulan terang kembali Nilam Baya telah ghaib. Diatas riah air sungai Nipah, terdengar gemercik air yang tersibak sesuatu makhluk berenang ke hulu. Sadarlah mereka, apa yang terjadi.

Keesokan harinya setelah Nilam Baya pergi, Dayang Merdu ingin melihat peti tempat kulit buaya dahulu tersimpan. Terkejut juga Dayang Merdu, kulit yang selama ini tersimpan turut raib. Hal ini telah diduga Pawang Satria. Datuk Indra Jaya kembali ke istananya kemudian, setelah beberapa kali purnama tiba, Datuk Indra Jaya pun wafat. Warga di Batubara berduka, tetapi hal ini tidak berlanjut terus. Beberapa hari kemudian kehidupan berjalan seperti sedia kala.


(62)

4.2 Analisis Struktural 4.2.1 Tema

Tema dalam suatu cerita sangat penting. Tema yang akan diungkapkan dalam suatu karya sastra mempunyai pengaruh yang sangat besar. Pengarang dapat dengan mudah mengungkapkan perasaannya sesuai dengan pengalaman dan kemampuan untuk menceritakan karya sastra. Dalam karya sastra tema mempunyai unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam bentuk proses penciptaan prosa. Keraf (1990:108) menyatakan :

Bagaimanapun sebuah karya sastra, entah sebuah buku yang bersifat rekaan (fiktif), seperti roman, cerpen, ataupun buku yang bersifat non fiktif tentang masalah politik, perkembangan teknologi modern, hasil penelitian, dan sebagainya, harus mempunyai sebuah tema atau amanat utama yang akan disampaikan kepada pembaca atau dengan kata lain amanat utama yang akan disampaikan, merupakan suatu maksud tertentu yang akan dijalin dalam sebuah topik pembicaraan.

Melihat tema pada suatu cerita tentunya dapat dilihat dari masalah utama dan persoalan yang sering muncul sebagai pengantar cerita. Esten (1982:92) menyatakan :


(63)

Untuk menentukan persoalan yang merupakan tema, pertama dipilih persoalan yang paling menonjol, kedua persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik, ketiga menentukan wakt u penceritaan yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa atau tokoh didalam sebuah karya sastra.

Tema yang terkandung di dalam cerita Nilam Baya ialah “Kesabaran dan Keikhlasan hati, serta Tawakkal mengahadapi segala cobaan di dunia ini akan membawa baik dalam kehidupan”.

Amanat yang terdapat dalam cerita Nilam Baya ini, adalah berbuat baik, jujur, sabar dan berkasih sayanglah terhadap sesama di dalam hidup.

Berawal dari sebuah keluarga yang selalu berdoa siang malam dan mengharapkan kehadiran seorang buah hati, cibiran tulang, pengarang jantung untuk mengisi hari-hari mereka, dan akhirnya doa yang selalu mereka panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa didengar oleh-Nya, dan akhirnya doa mereka pun terkabulkan. Semua itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :

Sungguhpun Pawang Satria dan dayang Merdu telah bertahun-tahun berkeluarga, namun mereka belum juga dikarunia keturunan oleh Yang Maha esa. Setiap malam sebelum beranjak tidur, mereka senantiasa


(64)

berdoa, agar memperoleh keturunan, sebagai buah hati, pengarang jantung dan cibiran tulang.

4.2.2 Alur

Alur merupakan suatu rentetan peristiwa yang diurutkan. Peristiwa yang akan ditampilkan dipilih dengan memperhatikan kepentingan dalam cerita ini. Alur suatu cerita menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain dan bagaimana seorang tokoh dalam suatu cerita terkait dalam kesatuan cerita. Semi (1988:43), menyatakan alur atau plot adalah stuktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian seluruh fiksi.

Muchtar Lubis (1982:17), membagi alur menjadi lima bagian : 1. Exposition (Pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu)

Dalam bagian ini, pengarang menggambarkan keadaan cerita, seperti memperkenalkan tokoh dengan lingkungannya, waktu dan tempat kejadian cerita. Seperti terlihat pada kutipan berikut ini,

Di hulu, di tepi sunga Nipah, bertempat tinggal di sana Pawang Satria bersama istrinya Dayang Merdu. Bersama warganya yang lain mereka hidup makmur, aman sentosa dan rukun serta damai. Masyarakat di


(65)

sekitarnya mengenal Pawang Satria sebagai orang yang sangat dihormati.

2. Generating Circumstances (Peristiwa mulai bergerak)

Peristiwa mulai bergerak ini di mulai keberadaan Nilam Baya di tengah-tengah keluarga Pawang Satria. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.

Semenjak keberadaan Nilam Baya di tengah-tengah keluarga Pawang Satria, kehidupan mereka semakin bahagia. Pawang Satria semakin terkenal di seluruh tanah Batubara, bahkan di tanah Deli seluruhnya. Kecantikan Nilam Baya menjadi buah bibir bagi yang melihatnya. Bagi yang hanya mendengar beritanya saja, ingin segera melihatnya. Rambutnya hitam tergerai, ikal mengurai, tinggi semampai, kulitnya mulus kuning langsat bagai pualam. Dayang Merdu bangga atas kecantikan Nilam Baya. Tetapi sesekali, timbul rasa was-was dalam dirinya. Darimanakah sebenarnya asal Nilam Baya?, siapakah gerangan orang tuanya?. Keraguannya pernah ditanyakan kepada Pawang Satria, ketika Nila Baya tidak bersama mereka. “Kanda, ada sesuatu hal yang


(66)

……… ….……….. demikian kehidupan Nilam Baya yang kian hari semakin rupawan.

3. Ricing Action (Keadaan mulai memuncak)

Keadaan mulain memuncak ketika Nilam Baya menikah dengan Datuk Indra Jaya dan mereka mempunyai seorang anak bernama Nilam Permata. Setelah Nilam Permata mencapai usia 17 tahun, kecantikan tersebar ke seluruh wilayah Batubara. Pada waktu itu, ada beberapa kepenghuluan, seperti : Lima Laras, Lima Puluh, Simpang Dolok, Tinggi Raja, dan lainnya yang ingin mempersunting Nilam Permata. Tentu saja hal ini sangat membingungkan Nilam Baya dan suaminya, karena putrid mereka hanya seorang, dan kalau mereka menerima satu pinangan saja, tentu hal ini akan menyebabkan peperangan diantara beberapa kepenghuluan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini :

Selang beberapa tahun kemudia usai pesta, Nilam Baya pun hamil, semakin sayanglah Datuk Indra Jaya. Beberapa waktu berlalu, lahirlah seorang putrid dari perkwainan mereka. Setelah nilam permata mencapai usia 17 tahun, kecantikannya pun tersebar ke seluruh wilayah Batubara. Pada waktu itu ada beberapa kepenghuluan, seperti : Tanah


(67)

datar, Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh dan lain-lainnya, telah terbetik tentang kecantikan Nilam Permata. Timbul hasrat bagi datuk-datuk itu untuk mempersunting Nilam Permata, berkatalah Datuk Indra Jaya dalam hatinya :”bagaimana ini, anakku hanya semata wayang, tetapi yang ingin melamar ada empat orang, bagaikan makan buah simalakama”.

4. Climax (Puncak)

Puncak dari cerita ini yaitu, ketika Nilam Baya berkata kepada datuk Indra Jaya untuk menerima hal pinangan keempat datuk tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut,

Seperti biasanya roda kehidupan berjalan dengan sempurna di Batubara, hal pinangan datuk-datuk penghulu tidak dipermasalahkan. Datuk Indra Jaya berpikir terus bagaimana menerima kenyataan ini, putra yang manakah yang akan diterima lamarannya. Keempatnya sama perkasa, sama pula bangsawan dan berharta. Maka berundinglah Datuk Indra jaya dengan istrinya Nilam Baya. Dalam suasana kalut itu berkatalah Nilam baya: “terimalah pinangan mereka, dinda akan berupaya, tidak akan terjadi silang sengketa atau pertumpahan darah. Esok bulan purnama tiba,


(68)

…… … … … …... ...tepat tak kala bulan purnama tiba, Nilam Baya memanggil putrinya Nilam Permata. Di tengah malam buta, tanpa diketahui seorang juga pun, dibawanya Nilam Permata ketepian Sungai Nipah, seakan-akan ada yang memberi tahu. Ketiga ekor makhluk sahabat Nilam Permata mengikutinya. Tiada suara dan tiada yang berkata Nilam Permata bersimpuh di hadapan bundanya. Demikian pula ketiga hewan tersebut duduk sejajar bersama. Tiba-tiba langit gelap, semua hitam pekat, bulan tiada terlihat. Tak lama kemudia langit berangsur cerah, bulan pun bersinar dengan megah. Bersinarnya yang temaran samara-samar, terlihat empat orang wanita menghadap Nilam Baya. Mereka kembali ke istana Datuk Indra Jaya……… ………… ……… ……… ……… … ………… Datuk Indra Jaya terharu menyambut mereka. Penduduk Batubara menjadi gempar atas kehadiran putrid-putri Datuk Indra Jaya, yaitu Nilam Permata, Nilam Kesuma, Nilam Cahaya, dan Nilam Kencana. Namun lambat laun hal ini menjadi reda, warga pun bekerja seperti sedia kala.


(69)

5. Denoument (Penyelesaian)

Akhir dari cerita ini yaitu ketika tinggallah Datuk Indra jaya bersama istrinya. Pada suatu ketika Nilam Baya meminta diantar Datuk Indra jaya ke kampong halamannya, ke rumah Pawang Satria untuk kembali ke sungai Nipah dan kembali menjadi seekor buaya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :

Suatu ketika Nilam Baya meminta diantar Datuk Indra Jaya kembali ke kampong halamannya, kerumah Pawang Satria. Sampai di sana, saat bulan purnama tiba berkatalah Nilam Baya kepada Datuk Indra Jaya dan Pawang Satria :”Kanda, ayah, dan bunda, ada sesuatu yang akan merubah hidup kita”.”Apakah gerangan dinda?”, Tanya Datuk Indra Jaya. “ Terima Kasih kanda, ayah, dan bunda. Dinda harap, kanda kuat menerima kenyatan ini. Tiada seorangpun yang menanyakan asal-usul dinda yang sebenarnya. Sekali lagi, terima kasih atas curahan kasih sayang yang diberikan kepada dinda. Kini saatnya dinda meninggalkan segala-galanya, orang yang dinda cintai”. Hampir tak percaya, betapa terkejutnya Datuk Indra jaya. “ Dinda, berkatalah yang sebenarnya”, berkata Datuk Indra Jaya menghiba. Seterusnya berkata Nilam Baya : “Ayah, bunda dan kanda sebenarnya beta adalah keturunan peri yang


(70)

dinda harus kembali malam ini. Ayah, bunda dan kanda ampunilah kesalahan dinda, kutitipkan keempat putrid-putri dan cucu-cucu kita”. Selanjutnya Nilam Baya bersujud kepada Pawang Satria, Dayang Merdu dan terakhir Datuk Indra Jaya. Dengan tersedu-sedu berkata selanjutnya Nilam Baya :”Kanda, ayah dan bunda jangan ditangisi kepergian beta, kini hantarkan beta ketepian sungai”. Sesampainya di tepian sungai, suasana tiba-tiba gelap, namun hanya ssaat, tetapi ketika bulan terang kembali Nilam Baya telah ghaib. Di atas air sungai Nipah, terdengar suara gemerincik air yang tersibak sesuatu makhluk yang berenang ke hulu. Sadarlah mereka apa yang telah terjadi. Keesokan harinya setelah Nilam Baya pergi, Dayang merdu ingin melihat peti tempat kulit buaya dahulu tersimpan. Terkejut juga Dayang Merdu, kulit buaya yang selama ini tersimpan turut raib. Hal ini telah diduga oleh Pawang Satria. Datuk Indra Jaya kembali ke istananya kemudian, setelah beberapa kali purnama tiba, Datuk Indra Jaya pun wafat. Warga di Batubara berduka. Tetapi hal ini tidak berlanjut terus. Beberapa hari kemudian kehidupan berjalan seperti sedia kala.

4.2.3 Latar

Latar adalah gambaran tempat dan waktu atau pun segala situasi tempat terjadinya suatu peristiwa, dimana para tokoh hidup dan bergerak. Latar


(71)

mempunyai ruang yang diamati seperti waktu, musim, atau pun sejarah. Somarjono (1986:86), menyatakan latar bias berarti banyak tempat yaitu tempat tertentu, daerah tertentu, dengan waktu tertentu. Waktu tertentu akibat situasi lingkungan ataupun zamannya, cara berpikir, dan cara hidup tertentu. Dalam cerita ini ditemukan beberapa latar yang mendukung, yaitu :

•Latar Tempat

Latar tempat biasanya menjelaskan tentang lokasi kejadian peristiwa yang diceritakan di dalam karya sastra (Burhan Nurgiyanto, 1995:227). Dalam hal ini, tempat yang dipergunakan yaitu tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu dan lokasi tertentu.

Latar tempat yang terdapat dalam cerita Nilam Baya ini, yaitu :

1. Di hulu, di tepi sungai Nipah, yaitu lokasi tempat tinggal Pawang Satria, bersama istrinya Dayang Merdu.

2. Di rumah, yaitu tempat Pawang Satria dan Istrinya Dayang Merdu tinggal.

3. Di dedaunan yang kering, yaitu tempat ditemukannya seorang bayi terbaring diatasnya.

4. Di lubuk, yaitu tempat Pawang Satria meletakkan lukah atau bubunya untuk menangkap ikan.


(72)

6. Di lumbung, yaitu tempat Dayang Merdu memindahkan peti yang berisikan kulit buaya.

7. Di hilir, yaitu tempat tinggal Datuk Indra Jaya.

8. Di hutan rimba, yaitu tempat Datuk Indra Jaya dan pengawalnya berburu.

9. Di darat, yaitu tempat Datuk Indra Jaya disambut oleh wanita-wanita dengan taburan bunga mawar, beras kuning, dan bertih.

10.Di pelaminan, yaitu tempat keempat pasangan disandingkan.

•Latar Waktu

Latar waktu mengungkapkan kapan sebuah cerita itu sedang berlangsung atau terjadi. Adapun latar waktu yang terdapat dalam cerita Nilam Baya adalah :

1. Sesekali bila bulan purnama tiba, sang buaya timbul menikmati cahaya rembulan.

2. Pada suatu ketika, Pawang Satria dan dayang merdu duduk berdua memandangi kilauan air sungai Nipah.

3. Setiap malam, Pawang Satria dan Dayang Merdu selalu berdoa agar memperoleh anak.


(73)

5. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, yaitu Nilam Baya beranjak dewasa.

6. Pada suatu hari, yaitu Datuk Indra Jaya pergi berburu ke hulu sungai Nipah.

7. selang beberapa bulan, yaitu Nilam Baya pun hamil.

8. Berselang waktu beberapa hari, yaitu peristiwa datang utusan pinangan dari beberapa kepenghuluan.

9. Di tengah malam, Nilam Baya membawa ketepian sungai Nipah. 10.Keesokan harinya, keluar empat orang dara dari dalam kamar.

11.Suatu ketika, Nilam Baya meminta Datuk Indra Jaya mengantarkannya ke kampong halamannya.

12.Keesokan harinya, Dayang Merdu pergi melihat tempat kulit buaya dahulu tersimpan setelah Nilam Baya pergi.

13.Beberapa kali purnama tiba, peristiwa Datuk Indra Jaya wafat. •Latar Sosial

Latar sosial yang terdapat di dalam cerita Nilam Baya ialah latar budaya masyarakat Melayu yang hidup dalam tatanan norma adat istiadat. Hal ini terlihat pada masyarakatnya yang ramah, anak-anaknya yang lincah, remajanya yang rapi dalam berdandan, dan warganya yang menjunjung tinggi nilai adat


(74)

bersopan santun. Dengan demikian diketahui bahwa latar sosial dalam cerita Nilam Baya ini adalah latar budaya Melayu.

4.2.4 Tokoh

Tokoh dalam cerita Nilam Baya ini ialah : 1. Pawang Satria

2. Dayang Merdu 3. Nilam Baya 4. Datuk Indra Jaya 5. Nilam Permata 6. Nilam Kesuma 7. Nilam Kencana 8. Nilam Cahaya

Penokohan

Tokoh utama yang terdapat di dalam cerita Nilam Baya ini adalah Nilam Baya. Secara fisik Nilam Baya memiliki wajah yang sangat cantik. Selain itu Nilam Baya digambarkan sebagai sebagai seorang keturunan peri yang di utus Yang Maha Kuasa untuk mengabuklkan keinginan keluarga Pawang Satria dan Dayang Merdu yang selalu berdoa dan mengharapkan


(75)

kehadiran seorang bayi di tengah-tengah mereka. Hal ini terjadi ketika Pawang Satria dan Dayang Merdu duduk-duduk di depan rumah mereka sambil melihat buaya yang sedang mengapungkan dirinya di sungai Nipah dan mereka berdoa agar memperoleh anak walaupun seperti buaya tersebut. Sampai akhirnya keesokan harinya Pawang Satria berperahu ke lubuk sungai Nipah dan akhirnya ia menemukan seorang bayi terbaring di atas dedaunan kering berlapiskan kulit buaya. Singkat cerita mereka pun merawat dan memberi nama bayi tersebut dengan nama Nilam Baya, hingga akhirnya Nilam Baya pun beranjak dewasa dan menikah dengan Datuk Indra Jaya.

Tokoh berikutnya ialah Pawang Satria, secara fisik Pawang Satria adalah orang yang gagah, memiliki wajah yang tampan dan memiliki kesaktian, sehingga dia sangat dihormati di wilayah Batubara. Dalam cerita ini Pawang Satria digambarkan sebagai orang memiliki sifat yang suka menolong sesama makhluk hidup, baik manusia ataupun hewan. Hal ini terlihat karena masyarakat sekitarnya mengenal Pawang Satria sebagai orang yang dihormati, beliau mampu mengobati orang sakit melalui mantera-manteranya seperti : patah tulang, lumpuh, kelu, dan digigit ular berbisa. Pawang Satria juga bersahabat erat dengan binatang melata dan berbisa seperti : ular, buaya, lipan, kalajengking, dan sebagainya.


(1)

Tepat tak kala bulan purnama Nilam Baya memanggil putrinya, Nilam Permata. Ditengah malam buta, tanpa diketahui seorang juapun, dibawanya putrinya ketepian sungai nipah, seakan-akan ada yang memberi tahu. Ketiga ekor makhluk sahabat Nilam Permata mengikutnya. Tiada suara dan tiada yang berkata Nilam Permata bersimpuh dihadapan bundanya. Demikian pula ketiga hewan itu duduk sejajar sesama. Tiba-tiba langit gelap, semua hitam pekat, bulan tiada terlihat. Tak lama kemudian langit berangsur cerah, bertebaran bintang di angkasa, bulanpun bersinar dengan megah. Disinarnya yang temaran samar-samar, terlihat empat orang wanita, menghadap Nilam Baya. Kelima orang ini kembali istana Datuk Indra Jaya.

Keesokan harinya, seakan-akan tidak ada yang terjadi apa-apa. Ketika Datuk Indra Jaya memanggil putrinya, dari kamar, keluar empat orang dara. Berwajah dan berbaju serupa. Bahkan tinggi dan bentuknya juga sama. Datuk Indra Jaya tak dapat membedakan yang mana Nilam Permata.

Setelah duduk, satu persatu mereka berkata dengan suara tiada berbeda,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Permata, anak ayahanda”. Berikutnya berkata pula,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Kesuma, anak ayahanda”. Berikutnya berkata pula,


(2)

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Kencana, anak ayahanda”. Lalu yang berakhir berkata,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Cahaya, anak ayahanda”.

Kini giliran Datuk Indra Jaya bertanya kepada Nilam Baya : “istriku, siapakah mereka?”.

Maka berkatalah Nilam Baya :, “Kanda, ampuni dinda, mereka adalah anak-anak kita. Yang kuasa telah mengabulkan permohonan dinda. Bukankah anak kita telah dipinang empat orang Datuk?”.

Datuk Indra Jaya terharu menyambut mereka. Penduduk Batubara menjadi gempar, atas kehadiran putri-putri Datuk Indra Jaya, Yaitu :Nilam Permata, Nilam Kesuma, Nilam Kencana, dan Nilam Cahaya.

Namun lambat laun hal ini menjadi reda, mereka bekerja saperti sedia kala.

Kehadiran putri-putri Datuk Indra Jaya telah terdengar dan diketahui oleh Datuk-datuk yang meminangnya, betapa suka cita mereka. Dan selanjutnya mereka segera mengirimkan utusan untuk peminangan.


(3)

Betapa bahagianya datuk-datuk ini. Pinanganmereka diterima, masing-masing Datuk menerima Nilam Permata, Nilam Kesuma, Nilam Kencana, dan Nilam Cahaya sebagai calon istri.

Hantaranpun dikirimkan. Datuk Indra Jaya akan menyelenggarakan pesta rakyat besar-besaran, sebulan penuh 30 hari, 30 malam. Datuk Indra Jaya mencanangkan pengumuman perkawinan putri-putrinya.

Menjelang pesta akan diadakan ikan, ternak, sayuran dan buah, tumbuh dengan subur, pepohonanpun berbuah lebat.

Tepat pada hari yang telah ditentukan, pelaminan didirikan keempat pasangan disandingkan. Mempelai wanita berwajah serupa. Hanya merekalah yang tahu, yang mana suaminya. Sebaliknya Datuk-Datuk ini tak tahu yang mana istrinya. Demikian pula seluruh warga di Batubara, tiada tahu yang mana putri Datuk Indra Jaya yang sebenarnya.

Bendera dipasang dimana-mana. Seluruh warga bersuka ria bila siang hari pertunjukan pencak silat, dan bila malam senandung didendangkan, Japin dan rebana tidak ketinggalan, cahaya lampu kerlip-kerlip berkilauan dan istana terang benderang.


(4)

Makanan dihidangkan lezat citra rasanya, dihias dan dibentuk beraneka rupa, sehingga menimbulkan selera.

Usai sudah keramaian. Dan Datuk-Datuk kembali ke negerinya membawa istrinya masing-masing. Dikepenghuluan inipun keramaian kembali digelar. Tak kalah meriahnya dari keramaian yang dilaksanakan Datuk Indra Jaya. Selanjutnya mereka hidup berbahagia.

Di dunia yang fana tidak ada yang kekal abadi. Usia Datuk Indra Jaya semakin tua, namun penampilannya tetap prima, demikian pula Nilam Baya, kecantikan tiada pudar ditelan masa. Sesuai dengan janji Yang Kuasa, makhluk didunia harus kembali ke asalnya.

Suatu ketika Nilam Baya minta diantar Datuk Indra Jaya ke kampung halamannya, ke rumah Pawang Satria. Sampai disana, saat bulan purnama tiba berkatalah Nilam Baya kepada Datuk Indra Jaya dan Pawang Satria :

“Kanda, Ayah dan Bunda, ada sesuatu yang ingin ananda sampaikan, yang akan merubah hidup kita”.

“Apakah gerangan dinda”, tanya Datuk Indra Jaya.

“Terima kasih dinda, Ayah dan bunda. Dinda harap, kanda kuat menerima kenyataan ini. Tiada seorangpun yang menanyakan asal-usul dinda


(5)

yang sebenarnya. Sekali lagi, terima kasih atas curahan kasih sayang yang diberikan kepada dinda. Kini saatnya dinda meninggalkan segala-galanya, orang yang dinda cintai”.

Hampir tak percaya, betapa terkejutnya Datuk Indra Jaya.

“Dinda berkatalah yang sebenarnya”, berkata Datuk Indra Jaya menghiba.

Seterusnya berkata Nilam Baya :

“Ayah, Bunda dan Kanda, sebenarnya beta keturunan peri. Menjelma di alam manusia. Tak dapat dicegah lagi kanda. Kini saatnya dinda harus kembali malam ini. Ayah, bunda kanda ampunilah kesalahan dinda, kutitipkan keempat putri-putri kita, cucu-cucu kita”.

Selanjutnya Nilam Baya bersujud kepada Pawang Satria, Dayang Merdu dan terakhir Datuk Indra Jaya. Dengan tersedu-sedu berkata selanjutnya Nilam Baya : “Kanda, ayah, bunda jangan ditangisi kepergian beta. Kini antarkan beta ke tepian sungai”.

Nilam Baya berdiri, kemudian berjalan, diiringi Datuk Indra Jaya dan Dayang Merdu. Sesampainya di tepian sungai tiba-tiba gelap, namun hanya sesaat, tetapi ketika bulan terang kembali Nilam Baya telah ghaib. Diatas riah


(6)

air sungai Nipah, terdengar gemercik air yang tersibak sesuatu makhluk berenang ke hulu. Sadarlah mereka, apa yang terjadi.

Keesokan harinya setelah Nilam Baya pergi, Dayang Merdu ingin melihat peti tempat kulit buaya dahulu tersimpan. Terkejut juga Dayang Merdu, kulit yang selama ini tersimpan turut raib. Hal ini telah diduga Pawang Satria.

Datuk Indra Jaya kembali ke istananya kemudia, setelah beberapa kali purnama tiba, Datuk Indra Jaya pun wafat. Warga di Batubara berduka, tetapi hal ini tidak berlanjut terus. Beberapa hari kemudian kehidupan berjalan seperti sedia kala.