Hak Penyandang Disabilitas Tunanetra dal

Hak Penyandang Disabilitas Tunanetra dalam Memperoleh
Pendidikan dan Pekerjaan di Indonesia
Oleh Stefani Dyah Retno Pudyanti - 15/384163/SP/26875
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

Manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya sejak ia lahir di dunia, bahkan
sebelum lahir dan masih berada dalam kandungan sekalipun manusia telah memiliki hak
asasi. Setiap individu seharusnya bisa mendapatkan haknya bagaimanapun keadaan individu
tersebut dan tidak ada diskriminasi karena keadaan yang diluar kehendaknya. Pemenuhan hak
asasi manusia pada praktiknya sering terjadi diskriminasi bagi penyandang disabilitas yang
memiliki keadaan berbeda dari orang pada umumnya. Penyandang disabilitas atau biasa juga
dikenal dengan difabel didefinisikan sebagai orang dengan cacat fisik jangka panjang,
gangguan mental, intelektual, atau sensorik yang dapat menghalangi interaksi dan partisipasi
di masyarakat1. Keadaan berbeda yang dimiliki penyandang disabilitas seharusnya
memunculkan hak-hak khusus dan spesial bagi mereka, namun di sisi lain hak-hak asasi yang
biasa terkadang malah sulit diperoleh mereka.
Secara spesifik dalam esia ini akan dibahas mengenai hak penyandang disabilitas
yaitu pada penyandang tunanetra di Indonesia. Tunanetra merupakan salah satu jenis dari
disabilitas yaitu pada cacat fisik jangka panjang pada bagian indra pengelihatan atau mata.
Tunanetra sebagai salah satu penyandang disabilitas seharusnya mendapatkan hak khusus
seperti pada penggunaan fasilitas umum, tapi hak dasar pun terkadang sulit didapatkan kaum

tunanetra yaitu dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Penulis akan membahas tentang
permasalahan pemenuhan hak tunanetra dalam akses mendapatkan pendidikan dan pekerjaan
yang menurut penulis merupakan salah satu hak dasar yang seharusnya diperoleh semua
orang namun pada praktiknya di masyarakat kaum tunanetra lebih sulit mendapatkan hak
tersebut dibanding orang lain yang lebih ‗sempurna‘ atau tidak cacat.
Penyandang disabilitas hak nya diatur dalam konvensi PBB secara khusus yaitu
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang dirumuskan sejak 2006
1

Convention on the Rights of Persons with Disabilities, Article 1
, diakses 10 Juni 2016

1

dan penandatanganan sejak 2007. Indonesia menjadi negara ke sembilan yang
menandatangani konvensi ini dari 82 negara di tahun 2007. Indonesia baru meratifikasi
CRPD empat tahun kemudian yaitu pada 2011.2 Article 3 CRPD menjelaskan tentang prinsip
dasar dan sikap yang seharusnya dilakukan terhadap penyandang disabilitas yaitu
menghormati martabat manusia dengan keterbatasan yang dimiliki, non-diskriminasi,
menerima dan memberi kesempatan kaum difabel untuk berpartisipasi dalam masyarakat,

serta kesetaraan di masyarakat.3 Untuk permasalahan hak pendidikan dan pekerjaan secara
internasional diatur dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR) yang dirumuskan pada tahun 1966. Indonesia baru meratifikasi ICESCR pada 23
Februari 20064. Article 6 berbunyi, The States Parties to the present Covenant recognize the
right to work, which includes the right of everyone to the opportunity to gain his living by
work which he freely chooses or accepts, and will take appropriate steps to safeguard this
right dan Article 13 berbunyi The States Parties to the present Covenant recognize the right
of everyone to education. They agree that education shall be directed to the full development
of the human personality and the sense of its dignity, and shall strengthen the respect for
human rights and fundamental freedoms. They further agree that education shall enable all
persons to participate effectively in a free society, promote understanding, tolerance and
friendship among all nations and all racial, ethnic or religious groups, and further the
activities of the United Nations for the maintenance of peace. Dari bunyi konvensi terlihat

jelas bahwa negara lah yang bertanggung jawab dan wajib untuk menjamin HAM warga
negaranya termasuk bagi penyandang disabilitas. Indonesia sudah meratifikasi kedua
perjanjian tersebut sehingga pemerintah memiliki kewajiban untuk mengimplementasinya
dan melakukan upaya untuk memenuhi penerapan isi konvensi HAM tersebut.
Sebelum Indonesia meratifikasi konvensi CRPD dan ICESCR, Indonesia sudah
memiliki peraturan tentang HAM yaitu melalui UU No. 39 tahun 1999 dan UU No. 4 Tahun

1997 Tentang Penyandang Cacat. UU No. 39 tahun 1999 yang pada pasal 41 yang berisi
tentang kemudahan dan perlakuan khusus bagi penyandang cacat atau penyandang disabilitas
Astrianti. Tifa, ‗RI ratifies UN convention on rights of persons with disabilities‘, The Jakarta Post
(daring), 19 Oktober 2016, < http://www.thejakartapost.com/news/2011/10/19/ri-ratifies-unconvention-rights-persons-with-disabilities.html >, diakses 11 Juni 2016
3
United Nations, Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol,
, diakses 10 Juni 2016
4
United Nations, United Nations Treaty Collection, International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights, , diakses 11 Juni 2016

2

2

dan pasal 42 berisi tentang perlindungan negara yang memiliki kewajiban untuk membiayai
perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus untuk penyandang cacat5. Pada UU No.
4 Tahun 1997 pasal 6 juga dijelaskan tentang hak penyandang disabilitas yaitu mendapatkan
pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan serta memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak6. Peraturan perundangan di Indonesia menggunakan

istilah ‗cacat‘ untuk menyebut orang dengan kebutuhan khusus, penulis dalam esai ini akan
menggunakan kata penyandang disabilitas atau difabel karena menurut penulis kata cacat
membuat seolah-olah mereka dengan kebutuhan khusus lebih rendah dibanding yang
sempurna, sehinnga kata cacat selanjutnya tidak akan digunakan dalam esai ini.
Tunanetra merupakan jenis disabilitas paling besar di Indonesia mencapai 29,63%
dari semua penyandang disabilitas7 dan penyandang disabilitas secara total di Indonesia
mencapai 2.45% dari total penduduk di Indonesia8. Penduduk Indonesia jumlahnya besar,
walau dalam persentse penyandang disabilitas dan tunanetra terlihat tidak banyak tapi
sesungguhnya cukup banyak, sehingga permasalahan disabilitas menjadi penting di
Indonesia.
Penyandang tunanetra sering ditemui di masyarakat, di tempat umum seperti rumah
sakit, tempat wisata, tempat ibadah, di jalan dan lainnya. Tunanetra sesungguhnya bukan lagi
hal yang aneh, hanya sangat disayangkan masyarakat masih sering beranggapan tunanetra
sebagai sesuatu yang tidak biasa. Bila di jalan ada tunantera lewat dengan menggunakan
tongkat tidak jarang orang melihat dengan tidak biasa, mungkin dikarenakan rasa iba dan
simpati atau alasan lainnya. Masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya ramah terhadap
tunanetra maupun penyandang disabilitas yang lain. Masih banyak anggapan bahwa tunanetra
sebagai bentuk kecacatan dan ketidaksempurnaan sehingga menjadi sesuatu yang aneh dalam
masyarakat. Tunanetra masih belum diterima sepenuhnya di masyarakat, namun penerimaan
5


KOMNASHAM, UU NO 39 Tahun 1999 Tentang HAM, , diakses 12 Juni 2016
6
KPAI, Undang – Undang (UU) RI No.4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat
,
diakses 12 Juni 2016
7
Data Sensus Penduduk 2010, (penyandang disabilitas hanya usia 10 tahun ke atas karena
ditemukan ketidakwajaran data untuk usia kurang dari 10 tahun yang dimungkinkan karena
kesalahan pemahaman konsep dan definisi),
,
diakses 10 Juni 2016
8
Data Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik,
,
diakses 10 Juni 2016

3

terkadang berbeda di satu tempat dengan yang lain. Di masyarakat yang sering berinteraksi

dengan tunanetra akan lebih mudah menerima mereka, misalkan masyarakat sekitar SLB atau
lembaga pemberdayaan difabel. Masyarakat di kota yang sudah lebih modern, seharusnya
juga lebih terbuka dan bisa menerima tunanetra, sedangkan di desa dan pedalaman lebih sulit.
Penerimaan dari masyarakat sangat penting bagi tunanetra karena akan berpengaruh
bagaimana mereka saling berinteraksi dan untuk perkembangan kehidupan sosial dari
penyandang tunanetra.
Penyandang tunanetra memiliki tingkat gangguan pengelihatan yang berbeda-beda.
Ada tunanetra yang benar-benar tidak bisa menggunakan matanya untuk melihat tapi ada juga
yang rabun, matanya bisa melihat tapi tidak banyak membantu dalam beraktivitas sehingga
tetap dapat dikategorikan sebagai difabel. Penyebab kebutaan pada tunanetra juga berbedabeda, tidak semua sejak lahir tapi ketika bertumbuh dewasa kemampuan pengelihatannya
semakin berkurang atau karena pernah mengalami kecelakaan. Penulis pernah melakukan
wawancara dengan beberapa siswa SLB Yaketunis, Pojok Wetan, Bantul, Yogyakarta yaitu
sebuah SLB khusus untuk penyandang tunanetra, siswa di sana kebanyakan sempat
bersekolah di sekolah biasa sebelum ke SLB karena sempat mengalami keadaan pengelihatan
yang normal lalu karena ada yang kecelakaan, ada yang karena penyakit, ada juga yang tidak
diketahui mengapa kemampuan pengelihatannya berkurang sehingga tidak bisa beraktivitas
seperti biasa dan harus pindah ke SLB. Para tunanetra sendiri kebanyakan bisa menerima
keadaan mereka yang bermasalah dalam pengelihatan dan mereka juga tidak hanya berdiam
diri atau terpuruk dalam keadaan. Tunanetra di satu sisi ingin dianggap sama dengan orang
normal namun di sisi lain mereka tetap merasa memerlukan perlakukan khusus mengingat

keterbatasan mereka. Karena tunanetra memiliki kebutuhan khusus, memang sudah
sewajarnya jika mereka memiliki hak khusus dan kemudahan yang seharusnya disediakan
oleh negara sesuai dengan hukum yang ada.
Pendidikan dan pekerjaan menjadi hal yang penting bagi tunanetra. Pendidikan dan
pekerjaan penting karena mereka tidak bisa terus menerus bergantung pada orang lain, perlu
untuk hidup mandiri, bahkan menghidupi diri sendiri. Menurut data distribusi penyandang
disabilitas (tidak hanya tunanetra) menurut jenis pendidikan berdasarkan data Susenas tahun
2012, 81.81% pada tingkat SD, 8.75% pada tingkat SMP, dan 9.44% pada tingkat SMA9.
9

Data Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik,
,
diakses 10 Juni 2016

4

Data tersebut merupakan diambil dari semua penyandang disabilitas dari ringan sampai berat
dan pada tingkat pendidikan tertentu belum tentu sampai tamat.
Adanya sekolah khusus penyandang disabilitas memberi kesempatan untuk para
difabel seperti penyandang tunanetra mendapatkan pendidikan, sekolah khusus tunanetra

biasa disebut dengan SLB A. Pendidikan di SLB A dirancang khusus agar sesuai dengan
kebutuhan tunanetra. Di SLB Yaketunis (Yogyakarta), satu kelas berisi sedikit murid atau
kelas kecil, satu guru dengan murid tidak lebih dari tujuh. Sistem pengajarannya seperti
kursus privat, karena tidak memungkinkan menggunakan papan tulis seperti di sekolah
umum. Murid di SLB A diajari membaca menggunakan huruf braille. Murid SLB juga
belajar akademik seperti di sekolah umum sesuai tingkat kelasnya, bobot pembelajaran sama
hanya dengan cara yang berbeda. Tunanetra secara intelektual sama dengan anak pada
umumnya untuk menerima pelajaran, hanya saja masalah pengelihatan yang menghambat
mereka. Secara kualitas akademis tunanetra sama saja dengan murid di sekolah umum.
Tunanetra tidak hanya belajar akademis di SLB tapi juga keterampilan lain yang dapat
mendukung dan membantu mereka dalam beraktivitas. Misalkan keterampilan menggunakan
tongkat dan juga belajar orientasi tempat baru untuk memahami lokasi sehingga dapat
membantu dalam berjalan atau berpindah tempat. Mereka juga belajar keterampilan memasak
misalkan di SLB Yaketunis dan juga menggunakan komputer yang didesain khusus dengan
suara ketika keyboardnya diketik. Di SLB, tunanetra agar dapat membuat mereka bisa
beraktivitas sama seperti orang lain dengan cara yang mungkin sedikit berbeda. Tunanetra
bahkan banyak yang memiliki kemampuan lain yang tidak dimiliki oleh orang pada
umumnya, misalkan kemampuan memijat yang biasanya juga didapatkan di SLB. Tunanetra
juga tidak selalu memerlukan bantuan ketika berjalan misal dengan tongkat atau dituntun,
mereka memiliki kemampuan untuk mengingat tempat dan lokasi yang sudah biasa mereka

lalui karena kebutaan tidak begitu menjadi halangan bagi mereka.
Menjadi permasalahan adalah SLB yang jumlahnya terbatas dan tidak di semua
daerah memiliki SLB. Di SLB Yaketunis sebagai contoh banyak yang berasal dari luar kota
atau bahkan luar daerah. Memang SLB Yaketunis mendapat dana dari pemerintah dan yang
bersekolah di sana juga tidak membayar mahal bahkan gratis, namun tetap diperlukan uang
untuk bisa bersekolah di sekolah khusus. Padahal tidak semua keluarga mampu untuk
membiayai anaknya dengan kebutuhan khusus seperti itu. Sehingga sangat disayangkan bila
hanya karena tidak ada SLB dekat dengan rumahnya maka anak tunanetra tidak bisa
5

mendapatkan pendidikan di SLB. Selain SLB yang baru sebatas tingkat SMA atau sederajat,
belum ada khusus universitas atau perguruan tinggi bagi tunanetra. Tunanetra harus
berinklusi dengan mahasiswa lain di universitas biasa dan belajar mungkin lebih keras karena
sistem di

universitas biasa yang tidak diracang untuk tunanetra. PERTUNI (Persatuan

Tunanetra Indonesia) mengupayakan proyek pendidikan tinggi untuk mahasiswa tunanetra di
Indonesia yang bekerja sama dengan ICEVI (International Council of Education for People
with Visual Impairment) dan Nippon Foundation, yang akan dirintis di dua tempat yaitu

Bandung yaitu UPI dan Jakarta yaitu UNJ

10

. Survey yang dilakukan PERTUNI di tahun

2005, hanya ada 250 tunanetra di Indonesia yang bisa menyelesaikan pendidikan hingga
perguruan tinggi, dibanding jumlah tunanetra di Indonesia yang diperkirakan mencapai lebih
dari tiga juta jiwa tentunya angka ini sangatlah kecil11. Selain itu, untuk di universitas biasa
kesulitan yang dihadapi terutama bagaimana tunanetra bisa diterima di sana, misalkan lewat
jalur tertulis SBMPTN tentunya tunanetra akan lebih kesulitan dalam mengerjakan soal
sehingga kesempatan untuk diterimapun lebih kecil. Penyandang tunanetra tidak bisa
membaca soal biasa tapi harus menggunakan huruf braille. SBMPTN tahun 2015 misalkan di
Universitas Islam Malang, ada seorang tunanetra yang ikut test namun tidak disediakan soal
huruf braille sehingga harus dibantu petugas untuk membacakan soalnya 12. Sebenarnya, ada
kesempatan tunanetra untuk bisa melanjutkan ke universitas hanya saja tidak semudah calon
mahasiswa yang lain. Seharusnya diberi kemudahan bagi mereka, bahkan jalur benar-benar
khusus bagi tunanetra untuk bisa diterima perguruan tinggi. Di tiap universitas biasanya tetap
menerima penyandang disabilitas, tapi biasanya bukan tunanetra seperti orang dengan tubuh
kerdil, atau yang tidak memiliki tangan dan kaki dimana jenis disabilitasnya tidak terlalu

mengganggu ketika untuk diterima perguruan tinggi, karena tetap bisa mengerjakan soal
sama dengan yang lain dan saat kuliah juga bisa belajar sama dengan yang lain. Pemerintah
tentunya sudah mengupayakan pendidikan untuk penyandang tunanetra dan difabel lainnya,
namun perlu digiatkan lagi terutama di tingkat daerah untuk memperbanyak SLB dan
memberikan peluang lebih bagi tunanetra untuk mengenyam pendidikan tingkat tinggi.

Nawawi. Ahmad, ‗Pusat Layanan Pendidikan Mahasiswa Tunanetra‘ , Departemen Pendidikan
Khusus UPI (daring), , diakses 12 Juni 2016
11
Indrawati. Aria, ‗Renungan Memasuki Tahun Ajaran Baru 2010-2011: Kampus yang Ramah pada
Tunanetra, Masih Impian‘, Gemari (daring) , Agustus 2010,
, diakses 12 Juni 2016
12
Prabowo. Hayu Yudha, ‗Demi PTN, Calon Mahasiswi Tunanetra ini Tak Mau Menyerah Kerjakan
Ujian‘, Surya Malang (daring), 9 Juni 2015 , diakses 12 Juni 2016

10

6

Pekerjaan juga menjadi isu penting dalam hal hak penyandang disabilitas. Hasil
Riskesdas tahun 2013 mendapatkan bahwa prevalensi disabilitas tertinggi adalah pada
kelompok orang yang tidak bekerja, yaitu sebesar 14,4% dan terendah pada kelompok orang
yang bekerja sebagai pegawai yaitu 6% . Penyandang disabilitas selain banyak yang tidak
bekerja, karena memang tidak bisa bekerja dan tidak mendapatkan pekerjaan juga banyak
yang berada di dalam kelompok masyarakat miskin, semakin tinggi pravelensi disabilitas
pada indeks kepemilikan yang lebih rendah.13 Tunanetra termasuk golongan difabel yang
sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Sangat jarang ada perusahaan yang mau memperkerjakan
tunanetra, tentunya perusahaan akan berpikir ulang untuk menerima orang tunanetra atau
dengan gangguan pengelihatan. Dalam UU No. 4 Tahun 1997 pasal 14 berbunyi Perusahaan
harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi
persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang
karyawan. Namun dari pasal tersebut tidak secara spesifik jenis cacat atau disabilitas seperti

apa, sehingga tidak memberikan kewajiban mengikat untuk menerima tunanetra sebagai
pekerja. Tidak banyak posisi pekerjaan yang bisa ditempati oleh orang tunanetra.
Kebanyakan pada akhirnya tunanetra mencari nafkah dengan mandiri seperti usaha membuka
warung yang bisa dilakukan di rumah, atau bila memiliki modal bisa usaha lebih besar.
Tunanetra juga biasanya diberdayakan dengan kemampuannya untuk memijat sehingga
menjadi ahli pijat. Terbatasnya jenis pekerjaan bagi tunanetra menghambat tunanetra untuk
bisa lebih maju dan berkembang.
Tunanetra yang bisa bekerja di perusahaan kemungkinan karena memang ada
program khusus untuk menerima tunanetra, semacam kerja sama dan bantuan. Yayasan Mitra
Netra sebuah organisasi nirlaba yang membantu tunanetra dalam pendidikan dan pekerjaan,
menjalin kerja sama dengan perusahaan sehingga dapat mempekerjakan tunanetra yaitu Hotel
Crown Plaza, Bank CIMB Niaga, dan ISS Indonesia dimana tunanetr ditempatkan sebagai
operator telepon, order taking service, tele marketer, dan pengajar Bahasa Inggris 14.
Tunanetra akan sulit sekali untuk benar-benar bisa diterima di perusahaan untuk bekerja
dengan murni kemampuannya tanpa embel-embel lain.
Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak warga negaranya tanpa terkecuali.
Dalam perundang-undangan juga sudah disebutkan tentang hak warga negara termasuk
13

Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan,
,
diakses 10 Juni 2016
14
Yayasan Mitra Netra, 3 Perusahaan Menerima Karyawan Tunanetra (daring), 18 Juli 2013,
, diakses 12 Juni 2016

7

penyandang disabilitas seperti tunanetra. Upaya yang dilakukan negara masih sebatas di
undang-undang dan masih kurang menyeluruh dalam implementasi nyatanya. Pemerintah
seharusnya juga tidak bekerja sendirian, perlu juga ada kesadaran di masyarakat agar dapat
lebih memanusiakan kaum tunanetra melalui pemenuhan hak pendidikan dan pekerjaan.
Prinsip non-diskriminasi dan menghormati keterbatasan tunanetra sesuai dalam masyarakat
sesuai dengan CRPD perlu dipertegas implementasinya. Di masyarakat perlu ditumbuhkan
rasa simpati pada saudara tunanetra misalkan dengan upaya memperbanyak jumlah SLB A di
berbagai daerah di Indonesia atau kursus keterampilan non formal, hal ini memang tidak
mudah dilakukan tapi bisa direalisasikan dengan kerja sama berbagai pihak, pemerintah dan
masyarakat atau swasta. Hal yang paling mudah dilakukan sebenarnya adalah menerima
tunanetra sebagai bagian dari masyarakat, hal ini bisa dimulai dari tiap individu dengan
merubah midnset bahwa tunanetra juga sama seperti orang yang normal dan memiliki
kemampuan sehingga mereka bisa lebih berperan di masyarakat dan memiliki kesempatan
untuk bekerja dan berkarya di masyarakat.

8

REFERENSI
Astrianti, Tifa. RI ratifies UN convention on rights of persons with disabilities. 19 Oktober
2011. http://www.thejakartapost.com/news/2011/10/19/ri-ratifies-un-conventionrights-persons-with-disabilities.html (diakses Juni 11, 2016).
Indrawati, Aria. ―Gemari.‖ Renungan Memasuki Tahun Ajaran Baru 2010-2011: Kampus
yang Ramah pada Tunanetra Masih Impian. Agustus 2010.
http://www.gemari.or.id/file/edisi115/gemari11527.pdf (diakses Juni 12, 2016).
Kementrian Kesehatan RI. ―Situasi Penyandang Disabilitas.‖ Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan, Semester II 2014.
KOMNASHAM. ―UU NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM.‖ Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia . http://www.komnasham.go.id/instrumen-hamnasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham (diakses Juni 12, 2016).
KPAI. ―Undang – Undang (UU) RI No.4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.‖ KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. http://www.kpai.go.id/hukum/undang-undanguu-ri-no-4-tahun-1997-tentang-penyandang-cacat/ (diakses Juni 12, 2016).
Nawawi, Ahmad. Pusat Layanan Pendidikan Mahasiswa Tunanetra.
http://pkh.upi.edu/fasilitas/detail_laboratorium/10 (diakses Juni 12, 2016).
Prabowo, Hayu Yudha. Demi PTN, Calon Mahasiswi Tunanetra ini Tak Mau Menyerah
Kerjakan Ujian. 9 Juni 2015. http://suryamalang.tribunnews.com/2015/06/09/demiptn-calon-mahasiswi-tuna-netra-ini-tak-mau-menyerah-kerjakan-ujian (diakses Juni
12, 2016).
United Nations. ―Convention on the Rights of the Persons with Disabilities and Optional
Protocol.‖ United Nations.
http://www.un.org/disabilities/documents/convention/convoptprot-e.pdf (diakses Juni
10, 2016).
—. ―INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL
RIGHTS.‖ United Nations Treaty Collection.
https://treaties.un.org/doc/Publication/MTDSG/Volume%20I/Chapter%20IV/IV3.en.pdf (diakses Juni 11, 2016).
Yayasan Mitra Netra. 3 Perusahaan Menerima Karyawan Tunanetra. 18 Juli 2013.
http://www.mitranetra.or.id/default.asp?page=halo&id=126 (diakses Juni 12, 2016).

9