Makalah SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL NU.d

S
E

Abstrak
Kebo Ireng, merupakan suatau daerah yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Pada
rentang tahun 1899 - 1900 terkenal sebagai daerah yang tak berperadaban atau
dengan kata lain daerah yang dipenuhi dengan kejahilan dan kemaksiatan.
Tingkah pola perilaku masyarakatnya bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang terhormat dari segi perilaku dan tata cara hidup bermasyarakat
sebagai makhluk yang diberikan akal oleh Allah Swt. Seperti halnya pada saat
zaman Jahiliyah di wilayah Timur Tengah atau wilayah Asia Barat saat itu.
Perbuatan seperti minum-minuman keras atau khamr, berjudi dan zina yang
merajalela menjadi hal yang lazim dilihat setiap hari di daerah Kebo Ireng
sebelum didirikan Pesantren oleh KH Hasyim Asy’ari.
Sebelum berniat mendirikan pondok pesantren di Kebo Ireng KH Hasyim
Asy’ari pernah mencoba mendirikan pondok pesantren di daerah Plemahan,
Kediri namun upayanya untuk mendirikan pondok pesantren disana tidak
berlanjut. Dengan niat yang bulat akhirnya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
mendirikan Pondok Pesantren di Tebuireng. Secara sah Pondok Pesantren yang
berada dibawah asuhan KH Hasyim Asy’ari ini baru resmi masuk dalam catatan
pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai lembaga pendidikan tradisional pada

tanggal 6 Februari 1906. Jauh sebelum secara resmi diketahui oleh pemerintah
kolonial Hadratussyaikh mulanya mendirikan padepokan silat sebagai cara untuk
tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda
yang bertindak represif terhadap gerak-gerik kaum pribumi khususnya umat Islam
dari golongan santri yang memiliki potensi yang besar untuk melakukan
perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda yang dianggap menjadi biang
keladi melaratnya hidup kaum pribumi di buminya sendiri.
Kata Kunci :
1.
2.
3.
4.
5.

Kebo Ireng / Tebuireng
KH Hasyim Asy’ari
Islam
Santri
Pondok Pesantren


DAFTAR ISI
Abstrak ...................................................................................................
.
1
Daftar
Isi ...................................................................................................
2
Kata
Pengantar ................................................................................................
...
3
I.Pendahuluan
..................................................................................
....... 4
I.II. Latar Belakang
......................................................................................... 4
I.III. Rumusan Masalah
......................................................................................... 4
I.IV. Tujuan Pembahasan
......................................................................................... 4

II.
Isi
Mendirikan Pondok Pesantren di Kebo Ireng / Tebuireng
.......................................................................................... 5-7
Sejarah Pondok Tebuireng
................................................. 8-10
Perkembangan Pondok Tebuireng
....................................... 11-13
Biografi KH Hasyim Asy’ari ................................................. 14
III. Kesimpulan
........................................................... 15
Penutup
................................................................................ 16
Daftar Pustaka
...................................................................... 17

Kata Pengantar
Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah tentang “Rekam Jejak KH Hasyim Asy’ari dalam mendirikan

Pesantren di Kebo Ireng” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Drs. Agus Manon,
M.Hum selaku Dosen mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional (UNPAD) yang
telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai, Rekam Jejak KH Hasyim Asy’ari
dalam mendirikan Pesantren di Kebo Ireng dan juga bagaimana setiap tahapan
perjuangan Hadratussyaikh untuk membumikan agama langit. Penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
penulis sendiri maupun orang-orang yang membacanya. Sebelumnya penulis
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Cicalengka, 21 Oktober 2017


Penulis

Pendahuluan
“Jika dalam sejarah ketentaraan Indonesia hanya ada satu orang yang
mendapatkan gelar Panglima Besar, yaitu Jenderal Soedirman, maka di
lingkungan masyarakat Islam Indonesia hanya ada satu orang pula yang
memiliki gelar Hadratussyaikh, yaitu Kiai Haji Hasyim Asy’ari.
Hadratussyaikh sendiri berarti Sang Mahaguru. Meski tidak ada upacara resmi
sebagaimana pada pemberian gelar ketentaraan atau gelar akademik seperti
profesor dan doktor, sebutan Hadratussyaikh untuk Kiai Haji Hasyim Asy’ari
memiliki makna jauh lebih istimewa.” (Miftahuddin, 2017 : 13).
Dalam makalah ini penulis akan membahas hal-hal apa saja yang
melatarbelakangi Hadratussyaikh mendirikan pondok pesantren di daerah yang
masih kental dengan pola perilaku masyarakat jahiliyah. Tentu ini menjadi hal
yang menarik untuk dibahas terutama strategi-strategi apa yang digunakan KH
Hasyim Asy’ari sehingga Pondok Pesantren Tebuireng dikenal oleh umat Islam
khususnya dikalangan santri sebagai pusat untuk mempelajari Ilmu Agama lebih
khusus lagi di Pulau Jawa dan Madura. Semoga makalah ini dapat memuaskan
rasa penasaran penulis dan para pembaca sekalian dengan kemunculan Pondok

Pesantren Tebuireng yang menjadi kiblat dalam membangun pondok-pondok
Pesantren yang ada di Jawa dan Madura.


Tujuan Pembahasan

Makalah ini disusun dengan tujuan :
1. Memahami bagaimana awal mula berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng.
2. Mengetahui strategi-strategi apa saja yang digunakan Hadratussyaikh
dalam menjaga eksistensi Pondok Pesantren dibawah penjajahan bangsa
asing yang represif terhadap umat Islam.
3. Menumbuhkan rasa keingintahuan mengenai dampak lahirnya Pondok
Pesantren Tebuireng di pulau Jawa dan Madura.
4. Meneladani tokoh-tokoh yang menjadi pendiri sekaligus mengikuti
perjuangannya untuk kemajuan Agama, Bangsa dan Negara.
5. Sebagai tugas individu yang wajib diselesaikan dalam mata kuliah Sejarah
Pergerakan Nasional.




Perumusan Masalah

1. Seperti apa konsep dasar dari kebijakan Hadratussyaikh dalam
menyebarkan agama Islam?
2. Bagaimanakah proses diterapkannya pembelajaran ala Pondok Pesantren
di masyarakat sekitar?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi lahirnya cendikiawan muslim?

Pondok Pesantren di Kebo Ireng
“Nama Tebuireng kini seolah sudah menyatu dan tidak bisa dipisahkan lagi
dengan Pondok Pesantren Tebuireng. Sedangkan Pondok Pesantren Tebuireng
sendiri sudah tak dapat dipisahkan dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.
Keterkaitan ketiga komponen ini (Tebuireng atau yang dahulunya bernama
Kebo Ireng, Pondok Pesantren, dan Kiai Hasyim Asy’ari) tidak terjadi begitu
saja.” (Miftahuddin, 2017 : 75).
Situasi dan kondisi yang sukar untuk didirikannya sebuah pondok pesantren di
daerah Kebo Ireng dulunya disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang sangat
jauh dari nilai-nilai keislaman yang menjunjung tinggi derajat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang dibekali akal pikiran dan hati nurani. Namun
karena masyarakatnya jauh dari nilai-nilai keislaman maka tidak heran kebodohan

merajalela, hidup layaknya binatang ternak. Terlebih lagi wanita diperlakukan
layaknya benda mati atau objek para lelaki hidung belang sebagai pemuas nafsu
birahi mereka. Padahal setelah memasuki abad ke-21 penduduk di Hindia Belanda
mayoritas telah memeluk agama Islam.
Menurut Clifford Geertz seorang antropolog ternama berkebangsaan Amerika
Serikat. Masyarakat di Pulau Jawa itu terbagi ke dalam tiga golongan : 1.
Abangan, 2. Priyayi, & 3. Santri (Putihan). Berdasarkan analisis penulis
masyarakat di daerah Kebo Ireng mayoritas adalah dari golongan abangan sebab
sebutan abangan merujuk kepada golongan muslim yang “kurang taat” pada
sya’riat Islam. Dan memiliki status sosial yang rendah ciri-cirinya : 1. Miskin, 2.
Tidak Aktif Bisnis, & 3. Pendidikan yang rendah. Sebutan lain untuk golongan
Abangan adalah golongan merah (coklat).
Tradisi golongan Abangan diantaranya :
1. Slametan sebagai penangkal bala.
2. Momen : Kelahiran, Menikah, Kematian, Perkawinan, Khitanan, Sihir,
Pindah Rumah, Mimpi Buruk, Panen, Ganti nama, dan sebagainya.
3. Varian : Makanan Khas, Dupa, Do’a (Islam), Pidato / Sambutan.
Sedangkan satu golongan yang bersebrangan dengan golongan Abangan adalah
Santri. Sebutan golongan Santri sendiri merujuk kepada golongan muslim yang
“taat” pada sya’riat Islam. Dan memiliki status sosial yang menengah hingga

tinggi ciri-cirinya : 1. Kaya, 2. Aktif Bisnis, & 3. Memperhatikan Pendidikan
seringkali mereka berdiskusi isu kekinian soal Islam. Sebutan lain untuk golongan
Santri adalah golongan putihan.

Golongan Santri terbagi, menjadi dua :
1. Kalangan Islam Modernis (Perkotaan)
2. Kalangan Islam Tradisionalis (Pedesaan)
Kaum Santri Modernis menjadi Muhammadiyah
Kaum Santri Tradisionalis menjadi Nahdlatul Ulama
Karena di daerah Kebo Ireng ini seringkali terjadinya perampokan sudah menjadi
bukti kuat bahwasannya masyarakat Kebo Ireng ini hidup berada dibawah garis
kemiskinan. Selain itu di Kebo Ireng sendiri ada pabrik gula Tjukir yang menjadi
lambang Kapitalisme Barat di Kebo Ireng yang miskin. Pemerintah kolonial
Hindia Belanda tidak memberikan perhatian lebih terhadap kondisi sosial
masyarakat Kebo Ireng yang membutuhkan lapangan pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang kekurangan karena tingkat pendidikannya yang rendah.
Mengakibatkan masyarakat Kebo Ireng kurang menguasai ilmu pengetahuan
dasar apalagi untuk keterampilan bekerja. Umumnya mereka yang dapat
mengenyam pendidikan adalah anak-anak dari pejabat daerah itu juga hanya
berlaku bagi kaum laki-lakinya saja sebelum diterapkan kebijakan Politik Etis

oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas desakan kaum liberal di Parlemen
Belanda.
Setelah mengetahui kondisi masyarakatnya yang memprihatinkan KH Hasyim
Asy’ari bertekad untuk mendirikan Pondok Pesantren di Kebo Ireng dimulai
dengan membuka padepokan silat sebagai langkah awal agar keberadaannya
untuk mensyi’arkan agama Islam diterima oleh masyrakat sekitar. Awalnya KH
Hasyim Asy’ari mendapatkan nasihat untuk tidak mendirikan Pondok Pesantren di
Kebo Ireng, namun Kiai Hasyim menjawab nasihat tersebut dengan mengatakan,
“Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu
sudah baik, apa yang diperbaiki lagi darinya? Berjihad artinya menghadapi
kesukaran dan memberikan pengorbanan. Contoh-contoh ini telah ditunjukkan
Nabi kita dalam perjuangnnya.” (Miftahuddin, 2017 : 76).
Pesantren Tebuireng awalnya bernama Kebo Ireng perubahan nama ini
dimaksudkan oleh Kiai Hasyim untuk menjadi penanda bahwa Kebo Ireng yang
penuh dengan kejahilan dahulunya sedang berbenah diri menjadi daerah yang
lebih baik dengan kehadiran Pondok Pesantren asuhan KH Hasyim Asy’ari.
Daerah Jombang Jawa Timur, sejak kelahirannya tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan perjuangan membebaskan bangsa dari penjajahan. Kondisi
intern Jawa Timur saat itu sedang dalam pergolakan menghadapi sistem liberal
(1870-1900), dan Jombang terutama Tjukir termasuk ke dalam wilayah yang

dijadikan daerah perkebunan tebu dan industri gula. Hal ini menjadikan petani
sebagai penderita langsung dari sistem ini. Para petani kehilangan kesempatan
mengurus pertanian dan ternaknya, waktu mereka tersita diperkebunanperkebunan sebagai akibat tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. (Sudarni,
1993 : ?).

Saat itu berdiri Padepokan Silat yang digagas Hadratussyaikh dan para
pendukungnya, secara diam-diam padepokan silat itu mengajarkan ajaran Islam
kepada para pesilat yang menuntut ilmu di padepokan tersebut selain menuntut
ilmu bela diri mereka dibekali Ilmu untuk bekal di dunia & akhirat. Sebagian
pesilat yang nyantri dari masyrakat sekitar dan ada beberapa pesilat dari luar
daerah. Sambil berjalan kegiatan Padepokan Silat pengajaran agama Islam pun
mulai ditingkatkan pada saat jumlah pesilat yang nyantri mulai bertambah seiring
meningkatnya pamor dari Hadratussyaikh sebagai pemimpin padepokan silat
yang mengajarkan Islam.
“Awal mula lahirnya pondok pesantren di akhir abad ke-19 adalah Pondok
Pesantren Jampes dan Bendo di Kediri, Pondok Pesantren Probolinggo,
Pondok Pesantren Bangkalan Madura, Pondok Pesantren Siwalan Panji
Sidoarjo. Pondok Pesantren di Jombang banyak jumlahnya, misalnya
Nggendang, Tambak Beras, Den Anyar, Rejoso (Peterongan), Sambong,
Sukopuro, Watugaluh, dan Tebuireng.” (Atjeh, 1956 : 122).
Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia lahir setelah lembaga pendidikan
tradisional seperti pondok pesantren lahir dan berkembang diberbagai daerah di
pulau Jawa dan Madura yang mulai menyadarkan masyarakat setempat yang
lemah secara pikiran bahwa mereka sedang diperbudak atau dijajah oleh
pemerintah kolonial Kerajaan Belanda.

Tokoh Islam Nusantara
Dari kiri ke kanan : KH Ahmad Hassan (Persis), KH Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), Syaikh Ahmad Soorkati (Al-Irsyad) & Hadratussyaikh Hasyim
Asy’ari (Nahdlatul Ulama).

Sejarah Pondok Tebuireng
5 Agustus 1899 atau 26 Rabiul Awal 1317 Hijriah. Awal mula berdirinya pondok
pesantren Tebuireng dibawah asuhan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Penting
untuk diketahui peristiwa-peristiwa sebelum tahun 1900 di Hindia Belanda. Ada
beberapa informasi yang menarik untuk menjadi acuan dalam menilai keadaan
pada masa itu. Diantaranya :
 Pemerintah Hindia Belanda memiliki utang sebesar (f. 400.000.000)
gulden.
 Adanya Eksploitasi pada zaman liberalisme di Hindia Belanda oleh
pihak Pemerintah dan Swasta sebagai penanam modal investasi.
 Penaklukan terhadap Aceh, Jambi, Lampung, Lombok, Bali,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah & Sumatera Utara.
 Banyaknya pengangguran.
 Banyak Petani yang terjerat oleh rentenir.
 Berkembangnya Surat Kabar.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa memasuki tahun 1900-an
Parlemen Belanda yang dikuasai kaum konservatif kalah oleh kaum
liberal hal ini menyebabkan perubahan kebijakan-kebijakan politik
pemerintah kolonial di Hindia Belanda khususnya. Berakhirnya masa
eksploitasi atau tanam paksa di Hindia Belanda bermula dengan
Douwes Dekker (1860) menulis novel Max Havelaar yang isinya
menentang praktek tanam paksa di daerah lebak, kemudian Baron van
Hoevel pun mengkritik penyelewengan tanam paksa.
 Singkat cerita seorang pakar hukum Belanda yang pernah tinggal di
Indonesia dari tahun (1880-1897) yaitu Van de Venter menerbitkan sebuah artikel
yang berjudul “Een eers schuld” didalam jurnal de Gids. Van de Venter sebagai
penulis artikel itu menuntut pemerintah kolonial belanda menghapuskan sistem
tanam paksa.
 Mulai tahun 1901 pemerintah kolonial belanda mendirikan sekolahsekolah untuk kaum bumiputera sebagai jawaban atas desakan kaum liberal di
parlemen belanda yang peduli terhadap kesejahteraan hidup masyarakat Hindia
Belanda. Sebagai solusi diterapkan kebijakan Politik Etis salah satunya dibidang
pendidikan Kemudian berdiri sekolah-sekolah seperti :
 Hollandsch Inlandsche School (HIS)
 Sekolah yang siswanya dibatasi untuk anak-anak golongan atas saja pada
masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
 Sebagai bentuk reorganisasi sekolah kelas satu di Hindia Belanda.
 MULO
 adalah sekolah lanjutan tingkat pertama dengan tingkatan yang sama
dengan SMP atau SLTP untuk masa kini. MULO telah menyebar di
setiap kota kawedanaan (Kabupaten) di Hindia Belanda dengan
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahas pengantarnya.


 Algemeene Middlebare School (AMS)




Pada zaman kolonial Belanda pendidikan menengah setara SMA pada
saat itu disebut dengan nama AMS, baru didirikan oleh pemerintahan
kolonial sekitar awal abad ke-20.


 “Demi menarik minat masyarakat, Kiai Hasyim Asy’ari lalu melakukan
dakwah terselubung melalui pengobatan atau penyembuhan berbagai penyakit.
Kiai Hasyim sangat mumpuni melakukan itu karena mengamalkan berbagai
wirid dan hizib-hizib, antara lain dari Imam Abu Hasan asy-Syadzili, seperti
Hizib Nashar, Hizib Bahr, dan Hizib al-Falah, juga wirid hizib dari Imam
Abdul Qadir Al-Jaelani dan Imam Abu Zakaria Yahya an-Nawawi.”
(Miftahuddin, 2017 : 77).



Berbagai aktivitas seperti pengajian mulai berkembang secara
bertahap, setelah cukup sukses berdakwah “terselubung” dengan cara
membuka praktek pengobatan terhadap berbagai macam penyakit
terhadap masyarakat. Karena kemurahan dan kelembutan hati
Hadratussyaikh melahirkan simpati dari masyarakat terhadap pondok
pesantrennya.


 “Kitab-kitab yang diajarkan oleh Hadratussyaikh sendiri disesuaikan
dengan kebutuhan para santrinya. Kitab Riyadhus Shalihin dikaji setiap setelah
shalat Shubuh. Sedangkan kitab Fathul Qarib dikaji setiap setelah shalat Ashar.
Tak ketinggalan materi tentang ilmu bela diri diajarkan pada malam hari.
Karena pondok pesantren ini masih disamarkan ke dalam bentuk padepokan
silat maka pihak pengurus pesantren Tebuireng mendatangkan para jagoan silat
dari berbagai daerah yang notabenenya mereka juga nyantri. Santri-santri yang
sengaja didatangkan ke Tebuireng mayoritas berasal dari Cirebon dipimpin
oleh Abdullah. Para Santri yang mondok di Pesantren Tebuireng ini awal
mulanya berjumlah 28 orang untuk angkatan pertama. Bangun pertama yang
dimiliki oleh pondok ini berupa barak sepanjang 100 meter, bentuknya segi
empat, barak ini juga menyatu dengan bangunan yang mereka gunakan sebagai
masjid. Selain pondok, Pesantren Tebuireng juga memiliki lapangan untuk
berlatih ilmu kanuragan dan ilmu pencak silat. Luasnya mencapai 1.000m2.”
(Miftahuddin, 2017 : 77-78).







 Selama rentang waktu dari tahun 1900 – 1942 di Hindia Belanda
utamanya kaum pribumi tidak adanya persatuan yang kokoh hal ini
akibat dari kebijakan politik yang digunakan pemerintah kolonial yaitu
Devide et impera atau Politik adu domba. Contoh nyata juga terjadi di
Tebuireng dimana terjadi perselisihan yang mengakibat perlawanan
dari golongan Santri (putihan) melawan golongan Abangan (coklat).
 Tebuireng pada saat itu selain dibawah kontrol tentara Kerajaan Belanda /
KNIL yang mengawasi arus produksi dan distribusi pabrik gula Tjukir yang
menjadi mesin penghasil uang bagi pemerintah kolonial. Terdapat satu padepokan
silat yang beraliran ilmu hitam bernama Kebo Kicak yang dipimpin oleh Wiro. Ini
menjadi ancaman sekaligus tantangan tersendiri bagi perkembangan padepokan
silat asuhan Hadratussyaikh yang baru eksis belum lama ini.


Santri di Pesantren Tebuireng awalnya terbagi ke dalam dua jenis yang
pertama adalah rakyat yang nyantri untuk mendalami ilmu agama dan
ada juga santri khusus yang didatangkan dari luar daerah bertujuan
mendalami ilmu agama sambil mengajarkan ilmu bela diri kepada
santri dari rakyat biasa. Hadratussyaikh bukan tanpa alasan membekali
santri-santrinya ilmu bela diri, beliau menginginkan bahwa santrisantrinya selain menjadi muslim yang unggul dalam pemahaman ilmu
agama tetapi juga unggul dalam ilmu bela diri agar menjadi muslim
yang tangguh.
 Setelah kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan oleh anak-anak buah Wiro
para santri yang sering menjadi korban kerusuhan mulai mengambil tindakan
tegas dengan mencoba menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan
terhadap padepokan silat beraliran hitam pimpinan Wiro itu. Hasil musyawarah
para santri yang di fasilitasi oleh Kiai Sakiban orang yang menjual tanahnya
kepada KH Hasyim untuk mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng ini.
Memutuskan bahwa jalan keluarnya adalah dengan mengajak Padepokan silat
Kebo Kicak khususnya Wiro sebagai pimpinannya. Beradu kekuatan dan
kemahiran dalam ilmu bela diri dengan salah satu jagoan silat yang dimiliki
Pesantren Tebuireng yaitu Abdullah. Singkat cerita Wiro dan Abdullah bertarung
dilapangan dekat pondok Pesantren Tebuireng, hasilnya Abdullah memenangkan
pertarungan atas Wiro. Semenjak kekalahan padepokan Kebo Kicak oleh
padepokan Pesantren Tebuireng nama Pondok Pesantren Tebuireng dan KH
Hasyim Asy’ari sebagai pengasuhnya semakin dikenal luas oleh pers dari kaum
pribumi yang sedang berkembang dan masyarakat Hindia Belanda.

 “Pada 6 Februari 1906, setelah tujuh tahun berdiri, akhirnya Pondok
Pesantren Tebuireng diproklamasikan oleh Kiai Hasyim. Saat itu pula nama
Tebuireng menjadi nama daerah tersebut, yang sebelumnya bernama Kebo
Ireng. Pemakaian nama Tebuireng, menurut Hadratussyaikh, menjadi tanda
sebuah perubahan. Tebuireng adalah tebu berwarna hitam, yang merupakan
jenis tebu paling baik. “Di Pondok Pesantren Tebuireng ini kita berharap anak
didik yang belajar ibarat tanaman tebu hitam yang kelak akan berguna dan
bernilai tinggi di masyarakat, bangsa, dan negara,” kata Kiai Hasyim Asy’ari.”
(Miftahuddin, 2017 : 82).
 Perkembangan Pondok Tebuireng

 “Menurut KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), yang tak lain cucu
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan putra KH Wahid Hasyim, pemerintah
Jepang pada tahun 1942 pernah melakukan pendataan tentang keberadaan
tokoh-tokoh Islam atau kiai. Berdasarkan data tersebut, diketahui ada sekitar
25 ribu kiai di Indonesia yang pernah menjadi santri di Pondok Pesantren
Tebuireng. Mereka mungkin tidak semuanya belajar sampai lulus karena,
menurut Muchit Muzadi, dari 2.000 santri yang ada saat itu, setiap tahun hanya
sekitar 50 orang saja yang dapat menamatkan pendidikannya. Selebihnya
mungkin sudah boyongan (pindah) sebelum belajarnya selesai. Meski


demikian, biasanya mereka tetap merasa bangga pernah nyantri di Tebuireng,
dan berharap dapat barakah dari seorang alim sekaligus saleh sekelas
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.” (Miftahuddin, 2017 : 84).

 Angkatan pertama Pondok Pesantren Tebuireng hanya 28 orang,
namun tiga bulan pertama semenjak berdirinya pondok ini bertambah
jumlah santrinya menjadi 80. Peningkatan jumlah santri yang belajar
dan mengajar ilmu agama di Pesantren Tebuireng bukannya tanpa
sebab, sebab utamanya tentu dari kharisma, keluasan ilmu dan
kesederhanaan pimpinannya sendiri. Hadratussyaikh sendiri hidup
sangat sederhana walaupun beliau berasal dari keluarga yang
berkecukupan tidak menjadikan dunia sebagai orientasi utama dalam
hidupnya. Kesederhanaan ini beliau tunjukan kepada santri-santrinya
dalam berpakaian. Pakaian yang tidak pernah lepas dari tubuhnya
adalah jubah dan sorban.

 Pembaharuan-pembaharuan mulai diterapkan di sistem pendidikan
Pesantren Tebuireng seperti memasukan mata pelajaran yang dianggap
penting untuk digunakan secara praktis oleh para santri untuk
menunjang kemahiran mereka dalam urusan duniawi. Khususnya
bahasa belanda sebagai jalan untuk memperlancar komunikasi dengan
pejabat daerah apabila Pesantren Tebuireng memiliki kepentingan
untuk kemaslahatan Pesantren Tebuireng dan masyarakat sekitar.
Contohnya mengadakan acara pengajian akbar yang melibatkan
hampir seluruh elemen masyarkat. Tentu kemahiran dalam bahasa
asing dibutuhkan para santri karena orang-orang belanda lebih
menghargai penduduk pribumi yang mampu menggunakan bahasa
belanda sebagai bentuk penghargaan.

 Pondok Pesantren Tebuireng juga memiliki sebuah perpustakaan
dengan jumlah koleksi buku mencapai 1.000 judul buku. Fasilitas ini
diperuntukan menunjang sistem belajar dan mengajar para santri.
Mayoritas koleksinya tentang buku-buku agama islam selain buku
terdapat juga koleksi majalah-majalah dan koran yang berlangganan.
Agar informasi terkini yang terjadi di Hindia Belanda dapat diketahui
secara aktual oleh kalangan santri sehingga dapat mengikis
kesenjangan ilmu pengetahuan dan berita-berita terkini yang diketahui
oleh para siswa-siswi perkotaan apalagi yang menuntut ilmu di sekolah
barat atau sekolah pemerintah kolonial dengan para santri yang belajar
di lingkungan pedesaan.
 “Pada 1978, atau 31 tahun setelah kepergian Hadratussyaikh Hasyim
Asy’ari, pesantren terus berkembang pesat dengan santri yang datang silih
berganti dari seluruh pelosok Tanah Air. Menurut catatan Zamakhsyari Dhofier,
pada 1977-1978, murid Pondok Tebuireng berjumlah 2.098 orang, 1.350 di
antaranya santri mukim pria. Sejumlah 140 santri putri tinggal di Pondok

Tjukir dan Denanyar. Jumlah santri kalong (yang datang hanya pada wkatu
mengaji di malam hari) baik pria maupun wanita 608 orang. Menurut catatan
buku induk pesantren, 504 santri berasal dari Jawa Timur, 275 Jawa Tengah,
265 Jakarta, 185 Jawa Barat, dan 85 luar Jawa. Kebanyakan santri berasal dari
keluarga petani, pedagang, dan pemimpin-pemimpin agama yang tergolong
berkecukupan.” (Miftahuddin, 2017 : 85-86).

 Kiai Hasyim dalam menerapkan sistem pendidikan di Pondok
Pesantren Tebuireng menggunakan sistem tutor sebaya atau yang lebih
tua. Membiasakan sistem belajar secara berkelompok untuk lebih
memudahkan santri-santri yang masih minim akan pengetahuan dan
pengalaman menutut ilmu agama mendapat bimbingan dari santrisantri yang dulu ngaji di Pondok Tebuireng. Tidak ada senioritas
berdasarkan usia dalam belajar ilmu agama yang ada hanya siapa yang
lebih dulu ngaji maka ia harus dihormati. Disebabkan ia telah hijrah
lebih dulu untuk menuntut ilmu agama.

 Kitab-kita yang menjadi panduan utama dalam belajar di Pondok
pesantren Tebuireng adalah :
1. Tuhfatul Athfal untuk kelas satu,
2. Al-‘Imrithy untuk kelas dua,
3. Jurumiyah untuk kelas tiga,
4. Al-Maqshud untuk kelas empat,
5. Alfiyah Ibnu Malik untuk kelas lima dan enam dan,
6. Al-Jawahir al-Maknun untuk kelas enam.

 Kiai Hasyim selalu memimpin shalat fardhu secara berjamaah, Kiai
Hasyim tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah kecuali ada uzur
syar’i, beliau selalu membangunkan para santrinya dengan berkeliling
pondok khususnya ketika menjelang waktu shalat Shubuh. Selain
berkeliling Kiai Hasyim juga membawa tongkatnya yang siap
dilemparkan kepada siapapun santrinya yang bermalas-malasan untuk
bangun shalat Shubuh.

 Disiplin, hormat kepada guru, rajin, dan pantang menyerah menjadi
kunci kesuksesan dalam menuntut ilmu sebab ketika menuntut ilmu
tanpa menghormati pemilik ilmu maka dapat dipastikan ilmu yang di
dapatkan tidak akan bermanfaat. Salah satu contohnya adalah yang
dilakukan oleh Kiai Hasyim sendiri ketika nyantri kepada KH Kholil
Bangkalan. Ketika itu KH Kholil gurunya sedang sedih namun beliau
tidak mengutarakan masalahnya. Melihat gurunya yang sedang sedih
Kiai Hasyim pada waktu itu masih remaja menghampiri gurunya dan
bertanya ada apa Kiai? KH Kholil menjawab istrinya kehilangan
cincin yang sangat ia cintai, cincinnya jatuh ke dalam wc.






Tanpa ragu Kiai Hasyim yang saat itu sedang menuntut ilmu kepada
Kiai Kholil Bangkalan langsung mencari cincin istri gurunya yang
masuk ke dalam wc, Kiai Hasyim membongkar wc tersebut dan
menggali isinya hingga ditemukannya cincin istri gurunya itu. Ini
adalah bukti kesungguhan dan pengorbanan seorang murid untuk
mencari ridha dari gurunya sang pemilik ilmu yang sedang ia tekuni.
Singkat cerita KH Kholil bangga dan berterima kasih kepada Kiai
Hasyim yang sudah mencarikan barang yang sangat dicintai istrinya
itu.
“Aku ridha padamu wahai Hasyim. Kudoakan dengan pengabdianmu
dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang
besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu.” – KH Kholil
Bangkalan.


 “Menurut Istilah, “pesantren” diambil dari kata “santri” mendapat
penambahan “pe” di depan dan “an” di akhir; dalam bahasa Indonesia, berarti
tempat tinggal santri, tempat para pelajar mengikuti pelajaran agama.
Sedangkan istilah “santri” diambil dari kata shastri (castri = India), dalam
bahasa Sansakerta bermakna orang yang mengetahui Kitab Suci Hindu. Kata
shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku
agama, atau buku tentang ilmu pengetahuan. Namun demikian, setelah
kedatangan Islam ke Indonesia, tujuan lembaga ini diubah dari tujuan semula,
yaitu tempat belajar agama Hindu, menjadi tempat mempelajari ajaran Islam.”
(Ahmad, 2017 : 123).

 Santri & Pesantren menjadi ciri khas dari sistem pendidikan agama
Islam di Indonesia. Arti santri tidak hanya terpaku kepada mereka yang
mondok saja lebih luas daripada itu santri yaitu mereka yang menuntut
ilmu agama dimana pun tempatnya baik di pesantren atau sekolah
mereka itu santri, mereka mendalami pelajaran-pelajaran agama untuk
kemaslahatan diri maupun masyarakatnya. Santri adalah mereka yang
meluangkan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu ke berbagai
tempat semata-mata supaya Allah ridha terhadap ilmu yang mereka
tekuni.

 Pesan dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari kepada para santri :
 “Seorang santri harus menyucikan hatinya dari segala hal berunsur
menipu, kotor, penuh dendam, hasut, keyakinan yang tidak baik, dan
budi pekerti yang tidak baik. Hal itu dilakukan supaya santri pantas
menerima ilmu, menghafalkannya, meninjau kedalaman maknanya,
dan memahami makna yang tersirat.” – KH Hasyim Asy’ari











 BIOGRAFI SINGKAT
 Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari


Oleh : Ahmad Rofi’ Usmani











Tokoh Muslim Indonesia yang pemikirannya dan karya-karyanya
banyak mengilhami pemikiran kiai-kiai di Indonesia. Ia putra pasangan
Kiai Asy’ari asal Demak, yang keturunan Raja Majapahit dari Joko
Tingkir, dan Halimah binti Kiai Usman asal Jombang. Hasyim Asy’ari
lahir di Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, pada Selasa Kliwon, 24
Dzulqa’dah 1284 H/ 14 Februari 1871 M.
Setelah menimba ilmu di kota kelahirannya di bawah bimbingan
kakeknya, Kiai Usman, Hasyim belajar di sejumlah pesantren di Jawa :
Purbolinggo, Langitan, Semarang, Trenggilis, Madura, Panji Siwalan,
dan lain sebagainya. Saat berusia 20 tahun, yakni pada 1310 H/ 1892
M, ia bermukim di Makkah selama 8 tahun untuk menimba ilmu
kepada sejumlah ulama terkemuka di sana, terutama kepada Syaikh
Nawawi Al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, dan Syaikh
Mahfuzh Al-Tarmisi.
Sekembalinya dari perantauan, menantu Kiai Ya’qub dan Kiai Ilyas ini
mendirikan pesantren di kampung halamannya, Tebuireng, Jombang.
Lewat pesantren inilah, Hasyim Asy’ari mencetak kiai-kiai dengan
bakat kepemimpinan yang tangguh. Hingga pada 1345 H/ 1926 M, ia
bersama beberapa ulama mendirikan sebuah organisasi sosial
kemasyarakatan bernama Nahdlatul Ulama. Sementara, dalam konteks
politik kebangsaan, peran Hasyim Asy’ari sangat besar, antara lain
lewat keikutsertaannya mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI) yang terbentuk pada Selasa, 16 Rajab 1356 H/ 21 September
1937 M. Setahun menjelang kemerdekaan Indonesia, oleh pemerintah
pendudukan Jepang, ia ditunjuk sebagai Kepala Kantor Urusan Agama
untuk wilayah Jawa Timur dan Madura hingga pada awal kemerdekaan
Indonesia, ia terpilih sebagai pemimpin tertingginya.
Kiai Hasyim Asy’ari dijuluki sebagai Hadratussyaikh, yaitu
julukan terhormat di kalangan santri. Ia juga mendapat gelar Pahlawan
Nasional Kemerdekaan. Pendiri NU ini wafat pada Jum’at, 7

Ramadhan 1366 H/ 25 Juli 1947 M, pada usia 76 tahun dengan
meninggalkan beberapa karya tulis, antara lain Al-Durar ALMuntasyirah fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah, Al-Tibyan fi Al-Nahy ‘an
Muqatha’at Al-Arham wa Al-Aqarib wa Al-Ikhwan, dan Al-Qanun AlAsasi.









 Kesimpulan



Jelas Hadratussyaikh merupakan salah satu tokoh besar dalam
perkembangan sistem pendidikan agama Islam di Indonesia, besar
sumbangsihnya bagi masyarakat tak ternilai harganya. Perjuangan
kemerdekaan bagi Indonesia salah satu contoh nyata peranan KH
Hasyim Asy’ari dalam kancah nasional. Oleh karena itu beliau pantas
mendapatkan penghargaan gelar Pahlawan Nasional. Meski Sang Kiai
sudah tak ada ditengah-tengah kita sekarang namun peninggalan dan
jejak warisannya terus berkembang hingga saat ini. Diantaranya
Pondok Pesantren Tebuireng yang menjadi salah satu contoh sistem
pendidikan agama Islam di Nusantara. Segala sumbangsih beliau yang
telah diberikan untuk bangsa Indonesia semoga menjadi amal jariyah
bagi almarhum Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.


 “Di Asia tenggara, kemampuan Pesantren dan jaringan keilmuan dari
Timur Tengah, telah mampu membuat cetak biru Peradaban Islam di Asia
Tenggara. Dapat dibayangkan bahwa jika Pesantren tidak ada, sampai saat ini,
agak sulit bagi umat Islam untuk mempertahankan tradisi keislaman, baik yang
bersifat lokal maupun internasional.” (Ahmad, 2017 : 147).

 “Tiga serangkai Kiai Tebuireng, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH A.
Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid, telah menjadi bagian dari
khazanah Islam Indonesia dengan segala gagasan, pemikiran, serta sikap
politik dan sosial keagamaannya. Kisah perjuangan dan jejak pemikiran
mereka yang demikian agung sudah seharusnya dilestarikan dan
dikembangkan. Tujuannya, menjadikan beliau-beliau ini inspirasi dan suri
teladan bagi generasi muda masa kini, khususnya kaum santri yang sedang

menimba ilmu di berbagai pondok pesantren dan madrasah di Indonesia.”
(Miftahuddin, 2017 : 16-17).

















 Penutup



Terima kasih kepada para pembaca yang budiman yang telah
meluangkan waktunya untuk membaca hasil makalah yang telah
ditugaskan kepada penulis. Penulis harap agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Selama penyusunan makalah ini
penulis banyak terinspirasi oleh biografi KH Hasyim Asy’ari karya :
Dr. Miftahuddin. Yang penulis jadikan sebagai sumber utama dalam
penulisan makalah ini semoga apa yang beliau tuliskan menjadi amal
jariyah sebagai ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak.




Penulis juga tak lupa ucapkan terima kasih kepada orang tua yang
selalu memberikan support baik materil maupun non-materil kepada
penulis. Selain itu kepada kucing-kucing penulis yang menjadi
penyejuk pikiran dikala penat dalam menyusun makalah ini.





Dalam penyusunan makalah ini penulis masih dalam proses belajar
untuk semakin memantapkan cara penulisan makalah yang baik
dengan menggunakan sistematika yang berlaku. Kelebihan dari
penulisan makalah ini terhadap penulis pribadi mulai menyadarkan
rasa keingintahuan yang lebih mendalam mengenai perjuangan
kemerdekaan yang diujung tombaki oleh para kiai dan santri. Makalah
ini menggunakan sumber-sumber yang kredible, Insya Allah dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kekurangannya terletak pada
wawasan penulis mengenai biografi KH Hasyim Asy’ari yang masih
sangat umum dan perlunya membaca lebih lanjut agar paham betul
mengenai rekam jejak perjuangan Hadratussyaikh dalam membela
kemerdekaan Indonesia.














 Daftar Pustaka





Miftahuddin. 2017. KH Hasyim Asy’ari (Membangun, Membela dan
Menegakkan Indonesia). Bandung : Penerbit Marja.
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. 2017. Islam Historis (Dinamika
Studi Islam di Indonesia). Yogyakarta : Jogja Bangkit Publisher.




Usmani, Ahmad Rofi’. 2015. Ensiklopedia TOKOH MUSLIM.
Bandung : Penerbit Mizan.