Fuqaha dan Kaderisasi Tinjauan Pada Masa

FUQAHA DAN KADERISASI
(TINJAUAN PADA MASA DULU, KINI DAN KE DEPAN)
Jurists Islam and Regeneration
(Overview on the Past, Present and Future)
Rizal Darwis
Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Sultan Amai Gorontalo

Ringkasan
Fuqaha atau ulama sebagai pewaris para Nabi merupakan predikat yang sentral dalam kehidupan ini.
Artinya bahwa segala perilaku, sifat dan kepribadian Nabi hendaknya terwariskan pada diri seorang
fuqaha atau ulama. Selain itu, seorang fuqaha atau ulama dituntut tidak hanya menguasai pengetahuan
agama saja, melainkan pengetahuan umum dan teknologi juga perlu dimiliki. Seorang fuqaha atau ulama
memiliki tanggung jawab terhadap umat yang dibimbingnya, sehingga perlu adanya suatu in stitusi
pengkaderan fuqaha atau ulama yang siap menghadapi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini.
Pendidikan kader ulama pada masa kini dan yang akan datang mutlak diperlukan mengingat banyak
sekali peran yang dapat dilakukan oleh peserta kader, sementara tan tangan yang harus dihadapinya
semakin berat dan kompleks. Untuk itu, berbagai aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan
peningkatan kader ulama tersebut perlu diupayakan sebaik-baiknya, sehingga dapat melahirkan ulama
yang sebenarnya.

Kata Kunci: Fuqaha, Ulama, Kaderisasi

Abstract
Jurists Islam or scholars as the inheritors of the Prophets is a central predicate in this life. This means, all
behavior, the nature and personality of the Prophet should be passed on to the person of a jurist or scholar. In
addition, a jurists or clerics is demanded as mastered in knowledge of religion, but knowledge and technology
needs too. A jurist Islam or scholar has a responsibility towards the people were guidance, so we need for a
cadre of jurists or clerics institutions are ready to face the development of advanced science and technology
today.
Education cadre of scholars in the present and the future is absolutely necessary given the many roles that it
can be done by a cadre of participants, while the challenges to be faced increasingly heavy and complex.
Therefore, various aspects related to the implementation of the increase is necessary that the cadre of
scholars as well as possible, so that scholars can bear the truth.
Keyword: Jurists Islam, Scholars, Regeneration

1

Pendahuluan
Di zaman Rasulullah saw. fungsi dan peran keulamaan dipegang langsung oleh beliau
dengan dibantu oleh para sahabatnya. Berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat,

baik yang menyangkut masalah-masalah ritual keagamaan maupun sosial kemasyarakatan
ketika itu dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw. untuk memperoleh jawabannya.
Sepeninggal Rasulullah saw., maka fungsi dan peran keulamaan dipegang oleh para sahabat,
terutama khulafa al-rasyidun dan amawiyin. Dalam masa ini timbullah penafsiran-penafsiran
terhadap nash-nash yang diterima Rasul dan terbukalah pintu istinbath terhadap masalahmasalah yang tidak ada nash-nya yang jelas (Ash-Shiddieqy, 1993: 43). Para sahabat bertindak
selaku musyarri (pembuat peraturan), menerangkan kedudukan-kedudukan nash dan
menghubung-kan satu sama lainnya serta memberi fatwa dalam hal-hal yang tidak ada nash
(Ash-Shiddieqy, 1993: 44). Nash itu baik berhubungan dengan ibadah maupun fiqh (hukum
Islam). Setelah masa khulafa al-rasyidun dan amawiyin, selanjutnya masa para thabi’in dan
thabi’ thabi‘in hingga masa sekarang ini, yaitu ulama-ulama kontemporer.
Dinamika Islam pada abad ke-17 dan ke-18, termasuk dinamika hukum Islam di
Indonesia bersumber dari jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah. Terdapat
usaha-usaha sadar di antara ulama dalam jaringan untuk membarui dan merevitalisasi ajaranajaran Islam. Tema pokok pembaruan mereka adalah rekonstruksi sosio-moral masyarakat
muslim. Karena hubungan-hubungan ekstensif dalam jaringan ulama, semangat pembaruan tadi
segera menemukan berbagai ekspresinya di bagian dunia muslim (Azra, 2005: 8).
Adanya saling hubungan di antara banyak ulama dalam jaringan yang kompleksitas dari
Makkah dan Madinah tadi, kemudian mereka kembali ke negerinya masing-masing dalam upaya

2


penerapan kepahaman ilmu mereka, termasuk dalam hal ini keilmuan pada bidang hukum Islam.
Itu berarti bahwa produk hukum Islam kontemporer masa kini dan masa depan, pada dasarnya
terwujud karena ada jaringan ulama yang kuat seperti yang telah disebutkan.
Masa sekarang istilah ulama seringkali diterminologikan sebagai orang yang cakap
dalam bidang agama saja, padahal term ulama yang merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim itu
memiliki arti yang luas karena ia mencakup arti orang yang memahami berbagai ilmu
pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu umum dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Berkenaan dengan inilah, maka term ulama masa kini masih memerlukan redefinisi. Di sisi lain,
untuk kepentingan masa depan, maka perlu pula adanya kaderisasi ulama secara
berkesinambungan, misalnya yang terlaksana sekarang adalah Pendidikan Kader Ulama (PKU).
Pengkaderan ulama sangat diperlukan eksistensinya karena masa depan Islam,
termasuk pengamalannya di tengah-tengah masyarakat membutuhkan fatwa ulama. Ajaran
Islam masa depan yang berhadapan dengan problematika global, terutama yang terkait dengan
hukum memerlukan fatwa ulama.
Berdasarkan pemaparan di atas yang menjadi pokok permasalahan pada penelitian ini
adalah eksistensi fuqaha kaitannya dengan kaderisasi yang ditinjau pada masa kini dan ke
depan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pihak terkait, khususnya
penyelenggara pengkaderan tentang model-model pengkaderan pada masa kini dan ke depan
beserta tantangan yang dihadapi oleh ulama pada masa kini dan masa ke depan.


Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang
menggambarkan suatu masalah tanpa menggunakan model penyajian data dalam bentuk tabel

3

atau grafik serta bentuk statistik. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian
kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan mencatat dan membahas
serta menganalisa buku-buku atau referensi yang menjadi sumber pokok dan penunjang dalam
penelitian ini. Dalam mengolah dan menganalisis data menggunakan metode deduktif, induktif
dan komparatif.

Hasil dan Pembahasan Penelitian
Metode Kaderisasi Fuqaha pada Masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidun
Di zaman Nabi saw. fungsi dan peran keulamaan dipegang langsung oleh beliau dengan
dibantu oleh para sahabatnya yang memiliki kriteria keilmuan. Berbagai persoalan yang muncul
di tengah masyarakat, baik yang menyangkut masalah-masalah ritual keagamaan, maupun
sosial kemasyarakatan ketika itu dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw. untuk
memperoleh jawabannya.
Dapatlah dipahami bahwa dalam kacamata fiqh siyasah, Nabi saw. berperan ganda.

Satu sisi beliau sebagai ulama, dan di sisi lain beliau sebagai umara. Peran ganda Nabi saw. ini,
telah membentuk integritas ri’asah al-din wa al-daulah, yakni seorang pemimpin agama
sekaligus pemimpin negara. Sepeninggal Nabi saw., dikenal gelar dengan sebutan khalifah
(pengganti) yang diberikan secara berturut-turut kepada Abu Bakar, ‘Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Rama (2002: 52-54) berpendapat bahwa pada masa Rasulullah
saw. dan khulafa al-rasyidun dalam proses penciptaan kader menggunakan metode, yaitu:
a.

Metode Tanya Jawab
Salah satu metode yang digunakan oleh Nabi saw. dalam mengajarkan ajaran I slam

adalah metode tanya jawab, dan berdialog langsung dengan para sahabat. Dalam hal ini,

4

biasanya sahabat bertanya kepada Nabi saw., lalu Nabi saw. menjawab, akan tetapi terkadang
pula Nabi saw. melemparkan pertanyaan kepada sahabat untuk menarik perhatian para sahabat.
b.

Metode Taqririyah

Metode ini terlihat saat Nabi saw. membenarkan dengan cara mendiamkan perbuatan

yang dilakukan oleh sahabat yang sebelumnya tidak ada petunjuk dari Nabi saw. Setelah
perbuatan tersebut dilakukan dan diketahui olehnya, lalu mendiamkan atau tidak melarangnya.
c.

Metode Kissah
Metode kissah ini ialah menceritakan keadaan umat manusia zaman dahulu untuk

dijadikan i’tibar seperti bagaimana kaum Tsamud mengalami kehancuran akibat dari perbuatan
durhaka terhadap Allah swt.
d.

Metode Khutbah
Metode ini adalah salah satu yang sering digunakan Nabi saw. untuk menyampaikan

ajaran atau pelajaran kepada umat Islam. Contoh: sewaktu Beliau pertama kali menyampaikan
ajaran Islam kepada beberapa orang muslim di Mekkah. Itulah sebabnya sehingga metode ini
selanjutnya menjadi tuntunan pada pelaksanaan shalat Jum’at.
e.


Metode Fi’liyah (Demonstrasi)
Nabi saw. sendiri dalam masalah menegakkan shalat pernah mengajar sahabatnya

dengan menggunakan metode demonstrasi di depan mata mereka, sehingga lebih jelas dan
mudah menirunya. Contoh dalam sebuah hadisnya: “shallu kama raitumuniy ushalli y“
(shalatlah sebagaimana kamu melihat saya shalat). (al-Bukhary, 1991-1992: Hadis No. 595).
Jadi, dalam usaha pengkaderan pada masa Rasulullah saw. dan masa khulafa’ alrasyidun digunakan metode-metode tersebut di atas, sehingga dapat berproses secara efisien
dan efektif dalam kegiatan kaderisasi.

5

Masa Pembentukan Mazhab (Sepeninggal Rasulullah saw.)
Setelah masa khulafa al-rasyidun berakhir dan kepemimpinan berpindah ke Mu’awiyah,
lahir fenomena baru, karena sebagaimana diketahui bahwa Mu’awiyah dibanding sahabat
lainnya, bukanlah tipe seorang pemimpin agama, tetapi dia merupakan pemimpin politik yang
piawai. Akhirnya mulai masa ini, terjadi pemisahan kepemimpinan di bidang agama (ulama) dan
kepemimpinan di bidang politik (umara’).
Ketika kepemimpinan tidak lagi berada di satu tangan, maka ulama dan umara’
menempati dua posisi yang berbeda. Umara’ yang bijak selalu menempatkan ulama sebagai

penasehat mereka. Ulama dalam pandangan umara’, adalah orang yang lebih tahu tentang
hukum Islam, baik yang berkaitan dengan masalah keagamaan maupun urusan duniawi.
Meski tidak dipungkiri sepeninggal Nabi saw. muncullah beberapa mazhab di kalangan
sahabat Nabi, seperti mazhab Umar, Aisyah, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ali dan sebagainya. Para
sahabat dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar, yaitu: 1) Kelompok Ahl al-Bait dan dan
para pengikutnya, seperti: Ali dan kedua putranya, Abu Dzar, Miqdad, Ammar ibn Yazir,
Hudzaifah, Abu Rafi’ Maula Rasulullah, Ummi Salamah dan sebagainya; 2) Kelompok di luar Ahl
al-Bait, seperti: Abu Bakar, Aisyah, Umar, Ustman, Abu Hurairah (Rahmat, 2007: 180).
Murtadha al-Askariy sebagaimana dikutip Rahmat (2007: 180-181) menyebut dua
mazhab awal ini sebagai Madrasah al-Khulafa’ dan Madrasah Ahl al-Bait. Kedua madrasah ini
berbeda dalam menafsirkan Alquran, memandang Sunnah Rasulullah dan melakukan istimbat
hukum. Pada zaman kekuasaan Dinasti Umayyah, Madrasah al-Khulafa’ bercabang lagi ke
dalam dua cabang besar, yaitu 1) Madrasah al-Hadits, berpusat di Madinah, melandaskan
fikihnya pada Alquran, Sunnah, ijtihad para sahabat dan sedapat mungkin menghindari ra’yu
dalam menetapkan hukum; dan 2) Madrasah al-Ra’yu, berpusat di Irak, sedikit menggunakan

6

hadis dan lebih banyak berpijak pada penalaran rasional dan melihat sebab hukum (illat) dan
tujuan syara (maqasid syari’iyyah). Madrasah Ahl al-Bait tumbuh “di bawah tanah” mengikuti

para imam mereka, karena tekanan dan penindasan. Mereka mengembangkan esoterisme dan
disimulasi untuk memelihara fikih mereka. Jadi dalam upaya kaderisasi, baik Madrasah alKhulafa’ dan Madrasah Ahl al-Bait, menempatkan pemimpin mereka sebagai panutan sesuai
dengan sumber pokok pengambilan hukum yang dipergunakan pemimpin mereka.
Pada zaman kekuasaan Bani Abbasiyah timbullah beberapa mazhab, seperti mazhab
Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali. Keempat imam tersebut dalam
mengkader para pengikutnya untuk pengambilan keputusan hukum (fiqh) bertitik tolak pada
beberapa sumber hukum, seperti: Alquran dan al-sunnah, ijma, dan pendapat para sahabat;
qiyas, istihsan, mashalih mursalah, sadd al-zara’I, istishab, syar’u man qablana, dan sebagainya.
Dari keempat imam mazhab di atas dalam pengambilan keputusan hukum antara satu
sama lain hampir sama, namun perbedaannya hanya dalam skala priorititas sumber hukum
mana yang didahulukan sesuai kondisi pada saat itu. Begitu pula pada saat pengkaderan muridmuridnya, sumber-sumber hukum tersebut yang diperkenalkan kepada murid-muridnya.

Masa Kini dan Masa Depan
Dalam perspektif keindonesiaan, konteks ulama masa kini identik dengan fuqaha,
bahkan dalam konotasinya sehari-hari, ulama adalah fuqaha dalam bidang ibadah saja (Dewan
Redaksi, 1994: 121). Dalam konteks seperti ini, maka upaya mengkader ulama di masa
sekarang di samping bermuatan materi-materi fikih, harus pula dibarengi dengan materi-materi
umum lainnya. Memperhati-kan hal itu, strategi pengkaderan ulama dalam upaya meningkatkan
kualitas dapat dilakukan melalui dua jalur.


7

Pertama, melalui jalur pendidikan formal. Mereka harus diberi kesempatan untuk
meningkatkan pendidikannya pada perguruan tinggi yang secara khusus mencetak para
muballigh secara konsepsional. Melalui pendidikan ini, mereka selain dapat berperan sebagai
praktisi ulama tetapi juga sebagai perancang, konseptor, pengamat dan evakuator dalam bidang
dakwah yang semakin maju dan berkembang. Kedua, melalui jalur pelatihan secara terprogram
sebagaimana dilakukan oleh Koordinator Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta selama ini. Hal ini
penting dilakukan karena selain lebih terarah kepada tugasnya sebagai muballig calon ulama
masa depan, juga dianggap efisien dan proporsional. Jalur pelatihan ini selain didukung oleh
tenaga (pemateri) yang handal, berpengalaman dan penuh dedikasi, juga harus pula didukung
oleh sarana dan prasarana yang modern. Dengan cara demikian, mereka akan menjadi tenaga tenaga muballig yang benar-benar propesional dan kelak akan menjadi ulama yang pendapatnya
dapat menjadi rujukan (Nata, 2003: 156).
Sekarang ini pengakaderan ulama ditangani oleh setiap MUI Propinsi di Indonesia
melalui kegiatan Pendidikan Kader Ulama (PKU) yang sifatnya non formal. Sebagai pendidikan
non formal peserta PKU diikuti oleh banyak kegenerasi muda yang tentunya diharapkan menjadi
pemimpin masa depan. Mereka mendapatkan materi-materi keagamaan seperti tafsir, hadis, fikih
dengan merujuk pada sumber klasik (kitab kuning) (MUI Sulawesi Selatan, 2000: 2). Materimateri seperti yang disebutkan ini kelihatannya memang efektif dan dalam upaya menciptakan
ulama masa depan, pengkaderan tersebut masih harus diisi dengan materi-materi yang benarbenar dibutuhkan dalam melaksanakan tugasnya sebagai ulama seperti pengetahuan tentang
permasalahan sosial, metode pemecahan masalah, metode/pendekatan sosial, retorika, dan lain

sebagainya. Dengan cara demikian, mereka akan memiliki bekal yang cukup menghadapi
tantangan masa depan yang global.

8

Selain itu, dilihat dari segi fungsi dan perannya, pengkaderan ulama harus mampu
menyadarkan pada calon ulama tentang fungsinya yang amat strategis dalam rangka pembinaan
umat. Dengan menyadari fungsinya ini, ia akan melaksanakan tugasnya sebagai panggilan
moral, dan bukan karena mengharapkan keuntungan sesaat.

Peran Ulama Masa Kini dan Masa Depan dalam Menentukan Hukum
Hukum dapat dipahami sebagai ketentuan-ketentuan yang bersumber dari nash Alquran
dan Sunnah. Tata kehidupan perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari ajaranajaran Islam, karena semua manusia selain hidup di dunia juga akan mengalami kehidupan di
akhirat yang kebahagiaan dan kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari
perbuatan-perbuatannya di dunia.
Warisan Islam yang bisa dipelajari untuk dikembangkan dan dijadikan acuan bagi
umatnya kini ada dua, yaitu ajaran yang tertuang dalam Alquran dan hadis. Kajian terhadap
ajaran-ajaran Alquran dan hadis, erat kaitannya dengan al-ra’yu yang selanjutnya akan
melahirkan rangkaian pemikiran teoritis. Dikatakan demikian, karena dengan al-ra’yu akan
memperkaya informasi faktual tentang dinamika hukum-hukum Islam.
Dalam kaitan dengan pembuatan hukum, maka Salim (1994: 2) menyatakan bahwa:
“fikih Islam menganut pandangan bahawa hukum tidak bersumber dari Allah dan Rasul -Nya,
tetapi juga dari para pendapat ulama, baik secara konsensus ataupun secara individual. Hal ini
berbeda dengan apa yang dikenal dalam sistem hukum nasional yang mengenal lembaga
pembuat undang-undang dan peraturan lainnya yang berlaku sebagai hukum positif, dan karena
hukum dimaksudkan untuk berlaku umum dalam suatu masyarakat, maka kiranya a matlah sulit
diterima bagaimana pendapat perorangan akan diperlakukan sebagai hukum.”

9

Berdasar dari uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa sumber-sumber hukum dalam
Islam ada empat, yakni Alquran, hadis, ra’yu, dan pendapat ulama. Keempat sumber hukum
yang disebutkan ini, juga merupakan sumber nilai dan norma yang oleh Shaifuddin Anshari
mengklasifikasinya atas dua, yakni sumber pokok dan sumber tambahan. Sumber pokok, adalah
Alquran dan hadis, dan sumber tambahan adalah ijtihad, yakni ra’yu dan pendapat ulama, atau
selainnya, misalnya qiyas, istihsan, istislah, saddu al-syara’i.
Sumber pokok hukum Islam, yakni Alquran dan hadis, tidak hanya berisi tuntunan ritual
belaka, tetapi juga berisi ajaran-ajaran dasar berupa nilai-nilai yang sangat diperlukan dalam
penyusunan tertib masyarakat di samping aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya untuk diamalkan. Namun suatu saat, Alquran dan hadis tersebut memerlukan interpretasi
lebih lanjut, dan dengan upaya interpretasi itulah melibatkan ra’yu. Dalam kenyataannya,
interpretasi hukum yang dihasilkan ra’yu ulama seringkali ditemukan perbedaan pendapat.
Namun perbedaan itu bukanlah merupakan ‘aib asalkan saja produk hukum yang dihasilkannya
itu tetap mengacu pada sumber pokoknya, yaitu Alquran dan hadis.
Persoalan lain yang dihadapi adalah sejauh mana kewenangan para ulama masa kini
membuat hukum. Hal itu amat penting karena dalam sistem fikih Islam sebagaimana yang telah
disebutkan sumber hukum yang diakui selain Alquran dan Sunnah adalah ijma’ dan qiyas.
Bahkan juga beberapa sumber lainnya yang diperselisihi seperti istihsan dan maslahat mursalah.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai sumber hukum ini adalah
beberapa metode pembuatan.
Menurut Hamka Haq (2003: 27), ulama dalam menggunakan nalarnya untuk mengetahui
hukum menghadapi dua kemungkinan, yaitu mungkin mereka dapat langung mengetahui hukum
setelah menelaah sejumlah nash-nash yang dapat memberi pengertian induktif tentnag hukum

10

yang digali; yang demikian itu disebut fikih tekstual (al-fiqh al-manshusah). Juga ulama dapat
mengetahui hukum tentang suatu perbuatan setelah menggunakan lebih banyak nalar karena
obyek hukum yang dimaksudkan tidak disebut secara tegas dan nash-nash syariat; yang
demikian disebut fikih kontekstual berdasarkan ijtihad (al-fiqh al-ijtihadi).
Berkenaan dengan itu, dapat dirumuskan bahwa para ulama memiliki berbagai kelebihan
dan keutamaan serta ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk selainnya (al-Gazali,
Mukhtasar ..., 1993 M./1414 H.: 14). Salah satu kelebihan dan keutamaan yang dimilikinya ialah
diberikannya amanah untuk menetapkan hukum, dan kewenangannya ini hal ini mengacu pada
kedudukan mereka sebagai pewaris nabi (warasat al-anbiya), yakni melanjutkan estapet risalah
kenabian, termasuk membuat hukum setelah para Nabi dan Rasul telah tiada.
Namun perlu dipertegas bahwa kewenangan hukum yang dibuat oleh ulama yang
dimaksudkan adalah sesuatu yang memang tidak ditemukan secara jelas dalam Alquran dan
hadis, misalnya; hukum KB menurut mereka bahwa pelaksanannya dibolehkan karena
pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. artinya, dibolehkan bagi orang -orang yang
tidak sanggup membiayai kehidupan anak, kesehatan dan pendidikannya agar menjadi akseptor
KB. Bahkan menjadi dosa baginya, jikalau ia melahirkan anak yang tidak terurusi masa
depannya, yang akhirnya menjadi beban yang berat bagi masyarakat (Mahjuddin, 2003: 61).
Contoh lain yang kini diperdebatkan adalah hukum perayaan natal bersama. Dalam pandangan
mereka, perayaan natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa
as., akan tetapi natal itu tidak dapat dipisahkan dari ibadah mereka, sehingga dibuatlah
ketentuan hukum bahwa natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (Dewan Pengurus
Pusat MUI, 2003: 241-242).

11

Peran ulama sebagai pembuat keputusan hukum disebut menempatkan posisi ulama
masa kini dan masa depan sebagai tahkim, yaitu sebagai pencari solusi terhadap berbagai
persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam Alquran, dijumpai ayat yang
menjadi landasan bagi pelaksanaan peran para ulama dalam mencari solusi hukum terhadap
persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Ayat tersebut terdapat dalam
Q.S. al-Baqarah/2: 213 yang terjemahnya: “Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul
perselisihan) maka mengutus para nabi sebagai pemberi berita gembira dan pemberi peringatan,
dan Allah menurunkan bersama mereka ....” (Departemen Agama RI., 1992: 51).
Ada beberapa ide pokok yang terkandung dalam ayat di atas. Pertama, bahwa Allah swt.
menciptakan manusia pada mulanya sebagai umat yang satu (sebelum terjadinya tragedi
pertikaian); Kedua, bahwa Allah mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan
memberi peringatan kepada umat manusia; Ketiga, bahwa Allah menyertakan al-Kitab kepada
para Nabi sebagai acuan untuk memecahkan berbagai problema yang menjadi perselisihan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tiga ide pokok dalam ayat pada dasarnya merupakan
tugas Nabi saw., namun di era kini adalah menjadi tugas ulama sebagai pewaris para Nabi.
Hanya saja, tetap harus diakui bahwa peran ulama suatu saat nanti dapat saja berubah,
dan hal itu dilatarbelakangi adanya tipologi ulama yang bervariasi di masa kini. Sekurangkurangnya terdapat lima tipologi masa kini ini, yaitu: ulama plus, ulama pulus, ulama dunia,
ulama akhirat, dan ulama dunia dan akhirat.
Munawir Syadzali (1994: 31-32) dalam karyanya Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa
Ini, menjelaskan lima tipe ulama sebagai berikut: 1). Golongan ulama yang telah meninggal, 2).
Golongan ulama yang ditinggal umatnya, 3). Golongan ulama yang meninggalkan umat, 4).
Golongan ulama yang ketinggalan zaman, 5). Golongan ulama yang tetap tinggal b ersama umat.

12

Dalam menguraikan kelima tipologi ulama tersebut, beliau berpendapat bahwa golongan yang
pertama dan terakhir sajalah yang memperoleh keberuntungan.
Demikian pula Imam al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin, menjelaskan dua tipe ulama, yaitu:
ulama akhirat dan ulama dunia (ulama su’). Dengan rinci mengemukakan tipologi ulama dengan
argumentasi absah. Selanjutnya ia mengemukakan tanda-tanda ulama akhirat sebagai berikut:
(1) Tidak mencari kemegahan dunia dan menjadikan ilmunya untuk kepentingan dunia; (2)
Perilakunya sejalan dengan ucapannya (akhlak al-mahmudah); (3) Mengajarkan ilmunya untuk
kepentingan akhirat, mengutamakan ilmu yang dapat mendekatkan dirinya dengan Tuhan, serta
menjauhi perdebatan yang sia-sia; (4) Mengejar kehidupan akhirat dengan mengamalkan
ilmunya dan menunaikan berbagai ibadah; (5) Menjauhi godaan penguasa jahat; (6) Tidak
tergesa-gesa mengeluarkan fatwa sebelum menemukan dalil; (7) Senang kepada ilmu yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah, cinta kepada musyahadah, muraqabah, dan optimis
terhadap rahmat-Nya; (8) Berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai haqq al-yakin; (9)
Senantiasa khasyah kepada Allah, ta’zhim akan kebesarannya, hidup sederhana dan berakhlak
mulia; (10) Menjauhi segala yang membatalkan ilmu dan kesucian hatinya; dan (11) Memiliki
ilmu yang berpangkal dalam hati (al-Gazali, Ihya …, 1992: 60-68).
Terlepas dari mengomentari tipologi ulama di atas di atas, baik yang dikemukakan oleh
Munawir Syadzali maupun yang dikemukakan oleh al-Gazali, Alquran sesungguhnya telah
memaparkan mengenai tipologi yang dimiliki oleh ulama sebagai pewaris kitab suci. Penunjukan
ulama sebagai pewaris kitab Allah sangat logis adanya, sebab jika ditunjuk sebagai pewaris
hanya di kalangan para Nabi dan rasul untuk selanjutnya disampaikan kepada para umatnya,
berarti prores transformasi wahyu telah berakhir dengan wafatnya para Nabi dan Rasul, namun
pada kenyataannya upaya tersebut tidak pernah berhenti hingga sekarang. Dalam hal ini

13

ulamalah yang menggantikan para Nabi dan Rasul dalam mengemban risalah tersebut untuk
disampaikan kepada umat manusia.

Kesimpulan
Pengertian fuqaha (ulama) adalah mereka yang bertaqwa, berbudi luhur, menguasai
berbagai bidang ilmu pengetahuan, serta mengimplementasikannya dalam masyarakat. Namun
dalam konteks keindonesiaan terminologi ulama diidentikkan dengan fukaha). Bahkan dalam
pengertian sehari-hari, ulama adalah fukaha dalam bidang ibadah saja. Dalam upaya
menciptakan ulama masa depan, maka pembinaan generasi dalam bentuk pengkaderan ulama
sangat dibutuhkan, dan hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan melalui jalur
pelatihan secara terprogram. Dalam pengkaderan tersebut, harus diisi dengan materi-materi
yang benar-benar dibutuhkan dalam melaksanakan tugas keulamaan masa depan.
Dalam upaya pengkaderan, baik pada masa Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasyidun, masa
pembentukan mazhab, maupun masa kini dan ke depan, memiliki tata cara (metode) yang
berbeda. Pada masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ al-Rasyidun segala persoalan yang timbul
dapat langsung ditanyakan kepada Rasul saw. atau sahabatnya; Pada masa pembentukan
mazhab, para ulama mempergunakan sumber-sumber pokok dalam pengambilan keputusan
hukum (fiqh) dengan skala prioritas urutan sumber hukum tersebut; Sedangkan pada masa kini
dan sekarang, upaya pengkaderan ulama melalui jalur pendidikan formal maupun pelatihan.
Sebagai fukaha, maka ulama dalam posisinya sebagai pewaris Nabi saw, harus
memfungsikan dirinya sebagai tahkim, yaitu sebagai pencari solusi terhadap berbagai persoalan
hukum yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Jadi dalam Islam, sumber-sumber hukum ada
empat, yakni Alquran, hadis, ra’yu, dan pendapat ulama. Sumber pertama dan kedua, adalah

14

sumber pokok dan selebihnya adalah sumber tambahan. Karena demikian halnya, maka batas
kewenangan ulama dalam membuat hukum adalah sesuatu yang memang tidak ditemukan
secara jelas dalam Alquran dan hadis.

Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin. 1969. Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran Islam dan Umatnya.
Cet.I; Bandung: Pustaka ITB.
Azra, Azyumardi. 2005. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII. Cet. II; Jakarta: Prenada Media.
Al-Bukhariy. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardzbah. 19911997. Shahih al-Bukhariy, al-Kitab al-Adzan, al-Bab al-Adzan Lilmusafir idza Kanu
Jama‘atan, No. Hadis: 595, dalam Mausu’ah al-Hadits al-Syarif ver. 2 [CD ROM]. Jami‘
al-Huquq Mahfudzah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
Departemen Agama RI. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci al-Qur’an.
Dewan Redaksi. 1994. Ensiklopedi Islam. Jilid 5. Cet. III; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Gazali, Muhammad bin Muhammad Abu Hamid. 1993 M./1414 H. Mukhtasar Ihya’ Ulum al-Din.
Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr.
______. 1992. Ihya’ Ulum al-Din. Juz 1. Singapura: Sulaiman Mar’a.
Haq, Hamka. 2003. Syariat Islam: Wacana dan Penerapannya. Makassar: Yayasan Ahkam.
Mahjuddin, H. 2003. Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini.
Cet. IV; Jakarta: Kalam Mulia .
MUI Sulawesi Selatan. 2000. Brosur Pendidikan Kader Ulama. Makassar.
Nata, H. Abuddin. 2003. Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta:
Prenada Media.
Rahmat, Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. Cet. I; Jakarta: Mizan.
Rama, H. Bahaking. 2002. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Pradotama Wiranegara
Gemilang.
Salim, H. Abd. Muin. 1994. “Konsepsi Hukum dalam Alquran,” Makalah Seminar Tanggal 15 Juni
1994.” Ujungpandang: Fakultas Syariah IAIN Alauddin.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqh. Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang.
Syazdali, Munawir. 1994. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: UI Press.

15

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45