Analisis Novel Incest Karya I Wayan Artika : (Kajian Struktural Dan Perubahan Sosial)

Skripsi

oleh :

Angga Aulia Aswagata K 1204013 PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

(KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL)

oleh :

Angga Aulia Aswagata K 1204013

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Swandono, M. Pd. Dra. Raheni Suhita, M. Hum. NIP 194709191968061001

NIP 196303091988032001

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari

Tanggal

Tim penguji skripsi: Nama Terang

Tanda Tangan Ketua

: Dr. Rr. E. Nugraheni Eko W, M. Hum

........................ Sekretaris

: Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd.

........................ Anggota I

: Drs.Swandono, M. Hum.

........................ Anggota II

: Dra. Raheni Suhita, M. Hum.

Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP 19600727 198702 1 001

Angga Aulia Aswagata. ANALIS NOVEL INCEST KARYA I WAYAN ARTIKA : KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika. 2) Perubahan sosial yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika. 3) Tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika.

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakan pendekatan struktural dan sosiologi sastra. Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa novel Incest karya I Wayan Artika yang diterbitkan oleh Interpre Book KPP (Kelompok Penerbit Pinus), Yogyakarta pada tahun 2008 dengan jumlah halaman 268. Sedangkan sumber data sekunder yaitu dokumen yang meliputi profil pengarang yang berisi perjalanan hidup dan latar belakang sosial pengarang. teknik pengumpulan data yang digunakan dengan teknik dokumen dan wawancara. Teknik sampling (cuplikan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Kesahihan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi teori, sumber data dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik analisis mengalir (flow model of analysis ) yaitu proses analisis dengan tiga komponen (reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan dengan verifikasinya). Penelitian ini dimulai dari tahap persiapan, pelaksanaan dan penyusunan laporan.

Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan: 1) Struktur novel Incest karya I Wayan Artika dapat dideskripsikan sebagai berikut : tema dalam novel Incest adalah perkawinan sedarah. Penokohan dalam novel Incest dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh utama tambahan. Latar dalam novel Incest adalah masyarakat Bali. Alur yang digunakan dalam novel Incest karya I Wayan Artika adalah alur campuran (regresif dan progresif). Sudut pandang dalam novel Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan: 1) Struktur novel Incest karya I Wayan Artika dapat dideskripsikan sebagai berikut : tema dalam novel Incest adalah perkawinan sedarah. Penokohan dalam novel Incest dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh utama tambahan. Latar dalam novel Incest adalah masyarakat Bali. Alur yang digunakan dalam novel Incest karya I Wayan Artika adalah alur campuran (regresif dan progresif). Sudut pandang dalam novel

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Ibu dan Bapakku yang bekerja lebih keras dan konsisten dengan idealisme.

2. Teman-teman satu angkatan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu memberi motivasi kepadaku.

3. Kakak dan adikku tercinta yang selalu menghiburku.

4. Serta orang-orang hebat yang memberi pelajaran berharga kepadaku, yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu.

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu, peneliti menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penyusunan skripsi ini;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M Hum selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini;

3. Dr. Kundharu Saddhono, M Hum selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang juga telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini;

4. Dr. Kundharu saddhono, M Hum selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan bimbingan kepada peneliti selama kuliah;

5. Drs. Swandono, M. Pd. selaku Pembimbing I dan Dra. Raheni Suhita, M. Hum. selaku Pembimbing II atas bimbingan yang diberikan;

6. Keluargaku (Bapak, Ibu, kakak dan adikku) yang menjadi naungan dan pelarianku;

7. Perpustakaan di lingkup UNS, teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia satu angkatan; dan

8. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

yang Maha Esa.

Surakarta, April 2012 Peneliti

Tabel Halaman

1. Prosedur Penelitian................................................................................

53

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ...................................................................................

33

2. Analisis Mengalir ....................................................................................

37

Lampiran Halaman

1. Sinopsis ...................................................................................................

65

2. Biografi Pengarang..................................................................................

69

(KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL)

Oleh: Angga Aulia Aswagata

K 1204013

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide-ide kreatif dari pengarangnya. Kehidupan manusia dengan segala permasalahannya sering kali menjadi sumber inspirasi bagi pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Dalam hal ini pengarang bebas memilih realitas manusia yang akan diangkat menjadi sebuah tulisan, tentunya diiringi dengan pengetahuan yang cukup tentang realitas tersebut sehingga dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui. Karya sastra bagi pengarang adalah sarana untuk menyampaikan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangannya kepada pembaca tentang hidup dan kehidupan. Dengan demikian karya sastra bisa dianggap sebagai cermin masyarakat.

Karya sastra sebagai cermin kehidupan bermasyarakat merupakan suatu karya yang dapat dinikmati, dipahami, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Banyak hal yang dapat diketahui dengan membaca sebuah karya sastra, maka tidak berlebihan jika Daniel Dhakidae memandang karya sastra sebagai social stock of knowledge , yakni tempat terhimpunnya suatu pengetahuan tentang masyarakat dan sebagai pembaca dapat senantiasa menimbanya (Toha dan Sarumpaet (ed), 2002: 38).

Karya sastra, selain sebagai tempat terhimpunnya pengetahuan, juga terdapat pelajaran yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Dalam penyampaian nilai- nilai tersebut dikemas dengan style (bahasa) yang berbeda. Pengarang dalam hal ini, memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir (baris-baris kalimat sebuah novel) yang dianggap paling efektif. Penulisan lahir bisa sampai pada berbagai bentuk penyimpangan, bahkan

bahasa yang wajar (Burhan Nurgiyantoro,

2005: 279). Di sinilah letak estetika yang ada dalam sebuah karya sastra (novel). Hal ini tidak mengherankan jika pembaca tidak merasa bosan untuk membaca 2005: 279). Di sinilah letak estetika yang ada dalam sebuah karya sastra (novel). Hal ini tidak mengherankan jika pembaca tidak merasa bosan untuk membaca

Novel merupakan sebuah karya fiksi yang berbentuk prosa dengan

mengambil suatu tema tertentu, biasanya tentang realitas kehidupan masyarakat, yang disampaikan sesuai dengan sudut pandang dan imajinasi pengarang. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro yang memberikan batasan novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif (2005: 4).

Novel dibangun melalui berbagai macam unsur. Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara lahir akan dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Unsur intrinsik prosa pada dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut pandang, gaya dan (bahasa). Tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra. Sedangkan latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Plot diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. sudut pandang atau point of view adalah cara pandang pengarang dalam Novel dibangun melalui berbagai macam unsur. Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara lahir akan dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Unsur intrinsik prosa pada dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut pandang, gaya dan (bahasa). Tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra. Sedangkan latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Plot diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. sudut pandang atau point of view adalah cara pandang pengarang dalam

Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang signifikan terhadap karya sastra, misalnya saja novel, baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut mempengaruhi karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang dihasilkan pengarang. Hal ini sesuai dengan pendapat Mursal Esten (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 261) yang mengemukakan hipotesis bahwa latar belakang sejarah dan zaman serta latar belakang kemasyarakatan mempunyai pengaruh yang besar dalam proses penciptaan, begitu juga dalam novel Indonesia; pengaruhnya tidak hanya dalam tema-tema, tetapi juga dalam strukturnya. Novel-novel Indonesia merupakan gambaran suatu proses perubahan sosial dan tata nilai.

Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/ tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat. Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Maksudnya, perubahan terjadi pada tingkat makro, mezo dan mikro. Pada tingkat makro, terjadi perubahanan ekonomi, politik, sedangkan di tingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan di tingkat mikro sendiri terjadi perubahan interaksi, dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kekuatan

(Sztompka, 2004). Incest adalah novel yang terbit dengan kontroversi, sehingga membawa penulisnya I Wayan Artika harus mempertanggungjawabkan tulisannya ini di depan para tokoh modern, pemuka adat, tokoh tradisional adat di balai desa pada Natal 2003. Novel yang mengisahkan tentang pasangan suami istri yaitu Nyoman Sika dan Ketut Artini yang melahirkan sepasang bayi kembar buncing, laki-laki dan perempuan ini, dianggap melecehkan adat desa setempat. Hal ini karena teknik yang dipakai pengarang dalam menulis novel ini adalah teknik etnografi, sehingga penggambaran peristiwa berdasar pada fakta dan realitas di desa tersebut. Menurut adat, kelahiran kembar buncing merupakan aib besar bagi masyarakat desa. Dan di novel Incest semua tentang kembar buncing itu dikupas secara mendalam melalui kisah Nyoman Sika dan Ketut Artini beserta bayi kembar buncingnya yaitu Gek Bulan Armani dan Putu Geo Antara.

Pemilihan novel ini sebagai bahan kajian penelitian karena dalam novel Incest bercerita tentang keadaan sosiologis suatu masyarakat Indonesia khususnya Bali dengan balutan adat yang menyertainya, sehingga dirasa cocok untuk menjadi objek kajian sosiologi sastra. Juga isinya yang mengarah pada perubahan baik dari segi ekonomi maupun sosial membuat peneliti tertarik untuk menganalisis perubahan sosial yang ada dalam novel tersebut. Untuk itu peneliti juga membutuhkan pendapat dari masyarakat tentang novel ini untuk memperkuat hasil penelitian.

B. Pembatasan Masalah

Luasnya permasalahan yang disajikan dalam novel, tentu akan lebih baik jika dalam pengkajiannya dibatasi pada permasalahan tertentu dengan tujuan agar penelitian ini lebih terarah dan lebih mendalam. Sehubungan dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada:

1. Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika.

2. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap yang terkandung dalam novel Incest karya I Wayan Artika dengan analisis sosiologis.

C. Rumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah yang ada maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana unsur-unsur intrinsik dalam novel Incest karya I Wayan Artika?

2. Bagaimana perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap yang terkandung dalam novel Incest karya I Wayan Artika?

3. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika?

D. Tujuan Penelitian

Bertolak dari rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dalam novel Incest karya I Wayan Artika.

2. Mendeskripsikan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap yang terkandung dalam novel Incest karya I Wayan Artika.

3. Mendeskripsikan tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi secara teoretis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang studi analisis novel dengan pendekatan struktural dan sosiologi sastra. Selain itu juga dapat membuktikan sejauh mana sosiologi sastra dapat diaplikasikan kepada novel Indonesia modern dalam hal ini novel Incest karya I Wayan Artika dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia a. Bagi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia

b. Bagi Guru Sekolah Menegah Atas (SMA) Hasil penelitian ini mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik novel Incest. Oleh karena itu, guru SMA dapat menjadikan novel itu sebagai materi pembelajaran di SMA.

c. Bagi Mahasiswa dan Peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi penting bagi penelitian sosiologi sastra selanjutnya.

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Landasan Teori

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

novellus yang diturunkan dari kata

menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam bahasa Inggris-dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9) menyatakan bahwa secara harfiah novella

Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) memberikan batasan novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif. Meskipun bersifat imajinatif, namun dunia yang ditawarkan pengarang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, sehingga sangatlah tepat pabila Burhan menyebut novel sebagai sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan.

Pendapat lain tentang novel dikemukakan Goldmann (Faruk, 1994: 29) yang mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas kehidupan.

Herman J. Waluyo (2002: 36-37) menyatakan bahwa istilah novel mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah. Dalam novel terdapat; (1) perubahan nasib dari tokoh Herman J. Waluyo (2002: 36-37) menyatakan bahwa istilah novel mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah. Dalam novel terdapat; (1) perubahan nasib dari tokoh

b. Unsur-unsur Novel

Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara lahir akan dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan karya sastra. Dalam pembahasan mengenai unsur pembangun novel yang dibahas adalah unsur intrinsik karya sastra.

Stanton menjabarkan unsur pembangun fiksi atau cerita menjadi (1) fakta cerita yang meliputi plot, tokoh, dan latar; (2) sarana cerita yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan nada; dan (3) tema. Sementara itu, Luxemburg dkk. membahas teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur, dan para pelaku dalam pembahasan mengenai teks naratif (Wiyatmi, 2006: 29).

Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (Herman J. Waluyo, 2002: 140) menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yakni (1) plot; (2) tema; (3) karakter; (4) setting; (5) point of view; (6) gaya; dan (7) suasana cerita. Tidak berbeda jauh dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro dalam buku Teori Pengkajian Fiksi (2005) membahas unsur intrinsik prosa, yaitu tema, pemplotan, pelataran, cerita, penokohan, penyudutpandangan, gaya (bahasa), dan moral. Imbuhan pe(N)-an di atas dapat diartikan sebagai teknik pengungkapan. Jadi, pembahasan mengenai unsur intrinsik prosa menurut Burhan Nurgiyantoro meliputi tema, plot, latar, cerita, tokoh, sudut pandang, bahasa, dan moral.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, unsur intrinsik prosa pada dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut pandang, gaya dan Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, unsur intrinsik prosa pada dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut pandang, gaya dan

a. Tema Setiap karya sastra mengandung ide sentral yang mendasari cerita yang ada. Ide sentral inilah yang sering disebut dengan tema. Hal ini senada dengan pendapat Atar Semi (1993: 42) yang menyatakan bahwa tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Pengertian lain disampaikan oleh Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67) yang memberi batasan tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Makna yang dikandung dalam sebuah cerita kadang tidak terlepas dari realita kehidupan manusia yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat demikian diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 142) bahwa tema ada yang diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang untuk memberikan saksi sejarah atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Menurutnya, tema adalah masalah hakiki menusia seperti halnya cinta, kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya. Panuti Sudjiman (1988: 50) juga memberikan definisi tema yang tidak jauh berbeda dengan pendapat ahli yang lain, bahwa tema merupakan gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra.

b. Latar Gambaran latar sering digunakan untuk mengawali sebuah cerita. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 217) bahwa tahap awal karya fiksi pada umumnya bersifat penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan; misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu, dll.

menampilkan lokasi, tempat dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan hidup dapat tampil sebagai setting. Jadi, latar yang terdapat dalam sebuah novel tidak hanya mengacu pada tempat saja.

Senada dengan pendapat di atas, Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216) berpendapat bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Bertolak dari beberapa pendapat mengenai latar dapat disimpulkan bahwa Latar memang tidak hanya mengacu pada satu macam. Acuan latar yang tidak hanya mengarah pada satu segi akhirnya membentuk berbagai macam latar.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 27) membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dll yang tergolong latar spiritual.

Latar dalam sebuah karya sastra memberikan fungsi tersendiri. Montaque dan Henshan (Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan ada tiga fungsi setting, yaitu 1) mempertegas watak para pelaku, 2) memberikan tekanan pada tema, 3) memperjelas tema yang disampaikan.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 40) berpendapat bahwa latar memiliki fungsi sebagai metafor dan atmosfir. Diperjelas dengan pendapat Lakoff dan Johnson (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 241) yang menjelaskan fungsi pertama metafora adalah menyampaikan pengertian, pemahaman. Ekspresi yang berupa Burhan Nurgiyantoro (2005: 40) berpendapat bahwa latar memiliki fungsi sebagai metafor dan atmosfir. Diperjelas dengan pendapat Lakoff dan Johnson (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 241) yang menjelaskan fungsi pertama metafora adalah menyampaikan pengertian, pemahaman. Ekspresi yang berupa

Akhirnya meskipun dalam suatu cerita rekaan boleh jadi latar merupakan unsur dominan, latar itu tidak pernah berdiri sendiri. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, ada unsur yang mendukung keberadaan latar yaitu plot dan penokohan. Diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 225) antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan memperngaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan, barangkali tak berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Hal ini akan tercermin, misalnya sifat orang-orang desa yang hidup di pedalaman akan berbeda dengan sifat orang- orang kota. Adanya perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dll yang menciri tempat-tempat tertentu, langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada penduduk, tokoh cerita.

Di pihak lain, juga dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku tertentu yang ditujukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana dia berasal. Jadi, ia akan mencerminkan latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu, langsung tak langsung akan berpengaruh terhadap cerita dan pengaluran, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.

c. Penokohan Keadaan latar (setting) dalam sebuah karya sastra tidak akan berarti jika tidak didukung oleh unsur yang lain. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita). Sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Tokoh merupakan para pelaku yang menjalankan sebuah cerita. Para tokoh ditampilkan dengan membawa peran masing-masing sesuai dengan keinginan pengarangnya. Menurut Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif Tokoh merupakan para pelaku yang menjalankan sebuah cerita. Para tokoh ditampilkan dengan membawa peran masing-masing sesuai dengan keinginan pengarangnya. Menurut Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif

mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 166).

Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 23) menyebutkan penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Citra tokoh digambarkan melalui ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca.

Berdasarkan sudut pandang pengarang dalam menciptakan tokoh dalam cerita dapat dibedakan macam-macam tokoh. Burhan Nurgiyantoro (2005:176) mengkategorikan tokoh dalam sebuah karya sastra, yaitu 1)tokoh utama dan tokoh tambahan, 2) tokoh protagonis dan antagonis, 3) tokoh sederhana dan tokoh bulat, 4) tokoh statis dan tokoh berkembang, 5) tokoh tipikaldan tokoh netral.

Pendapat lain dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 17) yaitu, tokoh dibedakan menjadi 1) tokoh sentral dan tokoh bawahan, 2) tokoh datar dan tokoh bulat. Berdasarkan atas pembedaan di atas, yang lebih dikenal oleh pembaca adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 168), tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita. Pendapat lain diungkapkan oleh Altenbend dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 178) yang menyatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero-tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.

Panuti Sudjiman (1988: 17) menyatakan tokoh protagonis yaitu tokoh yang memegang pimpinan. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral Panuti Sudjiman (1988: 17) menyatakan tokoh protagonis yaitu tokoh yang memegang pimpinan. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral

Lawan dari protagonis adalah antagonis. Tokoh jenis ini biasanya tidak disukai pembaca karena dilahirkan dengan karakter yang bertentangan dengan protagonis. Dikatakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 179) bahwa tokoh yang menyebabkan konflik adalah antagonis. Di pihak lain Herman J. Waluyo (2002: 168) menyatakan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan protagonis.

Untuk menampilkan tokoh ke dalam sebuah cerita, ada beberapa cara yang dilakukan pengarang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 165) ada tiga cara, yaitu:

1. Metode analitis (langsung) Dengan metode ini pengarang cecara langsung mendeskripsikan keadaan

tokoh itu dengan terinci (analitis). Pendeskripsian dimulai dari keadaan fisik, psikis (wataknya) sampai keadaan sosial (kedudukan dan pangkat). Menurut Suminto (1996/1997: 57), dengan metode ini pengarang menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas tokohnya.

2. Metode dramatik (tidak langsung) Metode ini, selain menampilkan tokoh secara fisik, juga menggambarkan

hubungannya dengan orang lain, cara hidup sehari-hari. Metode dramatik

dialog antara tokoh itu dengan tokoh lainnya. Menurut Suminto (1996/1997: 58), disebut metode dramatis karena tokoh-tokoh dinyatakan kepada kita seperti dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan dirinya sendiri melalui kata-kata, tindakan atau perbuatan mereka sendiri.

3. Metode kontekstual Berbeda dengan dua metode sebelumnya, metode ini dalam menggambarkan watak tokohnya melalui konteks bahasa atau bacaan yang

(1996/1997: 68), metode kontekstual adalah cara menyatakan karakter tokoh dengan melalui konteks verbal yang mengelilinginya.

d. Plot Unsur plot yang juga mempengaruhi keberartian latar (setting) menjadi hal yang penting pula dalam sebuah karya sastra (novel). Plot diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113).

Herman J. Waluyo (2002: 145) menyebut plot sebagai alur cerita yang berarti struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Boulton mengatakan bahwa plot berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan dating (Herman J. Waluyo, 2002: 145).

Alur adalah peristiwa yang diurutkan yang menjadi tulang punggung cerita (Panuti Sudjiman, 1988: 29). Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113) menyebutkan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.

Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa plot tidak sekadar sebuah rentetan peristiwa. Dinamakan plot karena di antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya memuat hubungan kausalitas. Hal ini menjadikan pembaca terhanyut untuk menikmati jalannya cerita.

Pengaluran dalam sebuah karya sastra memilik tahap-tahapan sebagaimana diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 147), alur cerita meliputi 1) eksposisi,

2) inciting moment (saat perkenalan), 3) rising action, 4) complication, 5) climax, 6) falling action, 7) denonement (penyelesaian). Eksposisi merupakan paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem, mulai ditampilkan 2) inciting moment (saat perkenalan), 3) rising action, 4) complication, 5) climax, 6) falling action, 7) denonement (penyelesaian). Eksposisi merupakan paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem, mulai ditampilkan

Sebuah alur cerita dapat dinikmati oleh pembaca karena terkandung beberapa hal di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 37), faktor penting yang ada dalam alur yaitu kebolehjadian, kejutan, dan kebetulan. Kebolehjadian (plausibility)

e. Sudut pandang/Point of view Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan di samping mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.

Sudut pandang pada intinya adalah cara atau strategi yang dengan sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248) menyatakan bahwa sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang merupakan teknik atau strategi yang dipilih pengarang untuk mengungkapkan cerita.

Tarigan (1993: 140) menyatakan bahwa sudut pandang atau point of view adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam fiktif cerita, atau antara pengarang dan pikiran serta perasaan para pembacanya. Pengarang harus dapat menjelaskan kepada para pembaca bahwa dia selaku narator atau pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungannya dengan cerita itu. Herman J. Waluyo mengungkapkan bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita, apakah dia bertindak sebagai

Point of view dapat juga berarti cara yang digunakan pengarang dalam melibatkan dirinya dalam cerita, apakah dia terlibat secara langsung sebagai orang pertama, ketiga atau orangn yang tahu segalanya (2005:184).

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 184-185) point of view dibagi menjadi tiga, yakni (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya t teknik aku-an; (2) pengarang sebagai orang -an;

omniscient narratif

ini pengarang tidak mengambil peran salah satu tokoh, tetapi ia mengambil peran sebagai pencerita yang serba tahu. Ia bebas memasuki segala peran tanpa batas. Kadang-kadang ketiga metode ini dikombinasikan oleh pengarang dalam sebuah cerita agar cerita tersebut lebih bervariatif.

Sedikit berbeda dengan Herman J. Waluyo, Burhan Nurgiyantoro memaparkan tiga jenis sudut pandang, yaitu pertama sudut pandang persona

yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ini daapt

of view, third person omniscent , the omniscent narrator atau author

termasuk motivasi yang melatarbelakangi tindakannya. Kebebasannya ini tidak hany

penceritaan dengan narator bebas menceritakan apa saja yang berhubungna u tokoh saja atau hanya pada tokoh fokusnya.

juga mempunyai sifat mahatahu, tapi terbatas hanya pada dirinya sendiri.

peran utama dalam cerita. Penggunaan sudut pandang ini memungkinkan pembaca merasa terlibat langsung dalam cerita sehingga akan memberikan

hanya tampil untuk mengantarkan dan menutup cerita, sedangkan inti cerita diserahkan sepenuhnya kepada tokoh utama cerita untuk mengisahkan kisahnya itu.

Ketiga, sudut pandang campuran. Dalam sebuah novel atau roman pengarang mungkin saja menggunakan penyudutpandangan lebih dari satu. Hal ini dilakukan agar cerita tidak membosankan dan lebih variatif. Penggunaan sudut pandang ini tergantung pada kemauan dan kreativitas pengarang dalam memanfaatkan teknik-teknik yang ada.

Jadi, pada dasarnya sudut pandang atau point of view adalah cara pandang pengarang dalam menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam suatu cerita fiksi.

f. Gaya/style Bahasa dalam karya sastra merupakan unsur yang penting. Bahasa dapat disamakan dengan baju bagi manusia. Keduanya merupakan bahan atau sarana yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan menimbulkan nilai lebih. Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra itu berada sedikit di atas dan sedikit di bawah kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan pun harus sesuai dengan sifatnya yang bukan kesehari-harian meskipun ia merupakan refleksi kehidupan manusia sehari-hari (Korrie Layun Rampan, 1995: 63). Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa karya sastra memang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Umumnya bahasa dalam karya sastra (roman) adalah bahasa yang emotif, bersifat konotatif, dan mengandung deotomisasi (penyimpangan).

gaya atau style. Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas dari seorang pengarang. Gaya atau style berhubungan erat dengan diksi, imajeri (citraan), dan sintaksis. Sifat gaya dalam karya sastra adalah khas, tidak mungkin dapat ditiru orang lain, dan bersifat individual. Dengan hanya melihat gaya penulisan sebuah karya sastra, pembaca langsung dapat menyimpulkan siapa pengarangnya dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Gaya atau style hadir setelah mengalami seleksi oleh pengarang. Keberhasilan suatu karya juga dipengaruhi oleh kecakapan pengarang dalam menggunakan gaya yang serasi dalam karyanya.

Dalam penentuan atau penggunaan gaya, pengarang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan struktur makna ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir dapat sampai pada berbagai

yang wajar. Namun, pemilihan wujud struktur lahir yang sesuai dengan selera tak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang. Hal ini terjadi karena pengungkapan gaya kadang-kadang terjadi secara otomatis oleh pengarang, seolah-olah gaya tersebut telah menjadi bagian dari diri pengarang.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 277) menganggap gaya sebagai teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Bentuk ungkapan kebahasaan sendiri dibagi menjadi dua macam bentuk, yakni sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah teks. Sebagai sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana bahasa, dan sebagai sebuah teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.

Leech dan Short (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 277) menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan hal yang pada umumnya tak lagi mengandung sifat konvensional, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dsb. Dengan demikian, gaya tergantung pada konteks ia digunakan, siapa pengarangnya, tujuannya ,dsb. Gaya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan, seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, dan penggunan kohesi.

Selain memberi keindahan, juga bermanfaat bagi pembaca. Bermanfaat disebabkan di dalam karya sastra terdapat hal-hal yang dapat dipetik oleh pembaca. Hal-hal tersebut sebenarnya adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 57) amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Sedang Zulfahnur (1996/1997: 26) memberikan batasan amanat sebagai pesan, berupa ide, gagasan, ajaran, moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan atau dikemukakan pengarang lewat cerita. Amanat pengarang ini biasanya disajikan secara implisit dan eksplisit. Cara penyampaian implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh ceritanya. Sedangkan secara eksplisit, bila dalam tengah atau akhir cerita pengarang menyampaikan pesan-pesan, saran, nasihat, pemikiran, dsb.

Bertolak dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca, baik secara implisit maupun eksplisit.

2. Hakikat Pendekatan Struktural

a. Pengertian Pendekatan Struktural

Ali Imron (2006: 20) menyatakan bahwa sesuai dengan teori Abrams, pendekatan struktural disebut juga pendekatan objektif. Teori struktural memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom, berdiri sendiri, dan terlepas dari unsur yang berada di luar dirinya. Telaah ini terlepas dari unsur sosial, budaya, pengarang, dan pembacanya. Hal yang berada di luar pengarang seperti biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah tidak diikutkan dalam analisis.

Peaget dan Hawkes (dalam Ali Imron, 2006: 16) menyatakan bahwa strukturalisme mengandung tiga gagasan pokok, sebagai berikut.

intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun bagian- bagiannya;

b. Transformasi struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru; dan

c. Keteraturan yang mandiri atas struktur itu yang tidak memerlukan hal yang di luar dirinya. Artinya, struktur itu otonom terhadap sistem rujukan lain.

Sementara itu, Aristoteles (dalam A. Teeuw, 2003: 100) mengenalkan strukturalisme dalam konsep: wholeness, unity, complexity, dan coherence Dia memandang bahwa keseluruhan makna bergantung pada keseluruhan unsur tersebut. Wholeness berarti keseluruhan; unity berarti semua unsur harus ada; complexity berarti luasnya ruang lingkup harus memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal; dan coherence berarti sastrawan bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang mungkin atau hal yang harus terjadi sesuai dengan konsistensi logika cerita.

Lebih lanjut A. Teeuw (2003: 112) menyatakan bahwa tujuan analisis dalam pendekatan struktural adalah memaparkan secermat, seteliti, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis itu bukan penjumlahan dari unsur, tetapi yang paling penting justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya. Pendekatan strukturalisme memberikan peluang untuk telaah karya sastra dengan lebih rinci, namun di sisi lain justru menyebabkan masalah estetika atau makna sastra terkorbankan. Pengkajian karya sastra dengan pendekatan struktural pada umumnya hanya sampai pada analisis unsur-unsur pembentuknya. Hubungan antarunsur sebagai kebulatan dalam membentuk makna masih jarang dilakukan. Padahal unsur-unsur dalam karya sastra tidak dapat berdiri sendiri dalam keseluruhan makna. Oleh sebab itu, untuk sampai pada pengungkapan makna, penganalisis perlu memahami unsur-unsur yang berada di luar karya sastra.

strukturalisme memiliki empat kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut, sebagai berikut.

a. Pendekatan strukturalisme belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap dan tepat;

b. Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah;

c. Karya sastra dipisahkan dengan pembaca selaku pemberi makna; dan

d. Analisis yang menekankan otonomi akan menghilangkan konteks dan fungsinya, karena karya sastra dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya.

Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian memacu munculnya pendekatan- pendekatan lain dalam analisis sastra. Karena itulah, dalam telaah novel, penelaah jangan hanya menggunakan pendekatan struktural. Hal itu dilakukan agar telaah sampai pada tataran pengungkapan makna karya sastra secara utuh.

Terlepas dari berbagai kelemahan pendekatan struktural di atas, pendekatan tersebut ternyata sangat populer. Hal itulah yang menyebabkannya sering digunakan dalam analisis karya sastra, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Pendekatan itu dipandang lebih mudah untuk dilaksanakan karena memfokuskan analisis pada unsur-unsur dan hubungan antarunsur yang membangun karya itu sendiri. Adapun aspek yang dikaji dalam pendekatan struktural adalah unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berupa: tema, nada, suasana, alur, latar, penokohan, stilistik, dan hubungan antaraspek yang membuatnya menjadi karya sastra (Ali Imron, 2006: 20-21). Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan menguraikan latar dan tokoh utama karena fokus kajian novel ini hanya berhubungan dengan dua unsur tersebut.

3. Hakikat Sosiologi Sastra

a. Hakikat Sosiologi Sastra

Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839. Dari seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis, bernama Auguste Comte. Ia telah Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839. Dari seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis, bernama Auguste Comte. Ia telah

Yunani logos

Senada dengan pendapat Soerjono Soekanto sosiologi menurut Miekel Bal, dkk (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) yaitu sebagai ilmu yang relative muda, ini ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Positive- Philoshophy yang ditulis oleh Auguste Comte (1798-1857). Sosiologi berkembang pesat pada setengah abad kemudian disusul dengan terbitnya buku Principles of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903). Hasan Shadily (1989: 2) juga berpendapat:

Sosiologi merupakan ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakatnya (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan atau masyarakatnya), dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupan.

Nyoman Kutha Ratna menyatakan, kata sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) dan logi atau logos. Sosio berarti bersama-sama, bersatu, berkawan, dan teman. Sementara logi atau logos ,maksudnya sabda, perkataan, dan perumpamaan (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 1).

Dokumen yang terkait

PERANCANGAN TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI PADA LAYANAN MARKETPLACE BUSINESS TO BUSINESS MENGGUNAKAN KERANGKA KERJA COBIT 5 DOMAIN EVALUATE, DIRECT AND MONITOR (EDM) DAN MONITOR, EVALUATE AND ASSESS (MEA) (Studi Kasus : CV Kabita Informatika) DESIGN INFO

0 0 8

ANALISIS DAN PERANCANGAN MANAGEMENT AND OPERTIONAL INFORMATION DALAM RANCANGAN DATA CENTER DI DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG MENGGUNAKAN STANDAR EN 50600-3-1 DAN METODE PPDIOO LIFE-CYCLE APPROACH ANALYSIS AND DESIGN OF MANAGEMENT AND OPERTIONAL I

0 0 7

ANALISIS DAN PERANCANGAN SPACE PLANNING PADA DATA CENTER DI PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BERDASARKAN STANDAR ANSIBICSI 002 DENGAN METODE PPDIOO STUDI KASUS : DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG ANALYSIS AND DESIGN OF SPACE PLANNING IN DATA CENTER IN T

0 0 8

ANALISIS DAN PERANCANGAN SECURITY SYSTEM DALAM RANCANGAN BERDASARKAN STANDAR EN506002-5 DENGAN METODE PPDIOO LIFE- CYCLE APPROACH STUDI KASUS : DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG ANALYSIS AND DESIGN OF SECURITY SYSTEM IN DESIGN BASED ON EN506002-5 ST

0 0 8

ANALISIS DAN PERANCANGAN FASILITAS DATA CENTER BERDASARKAN SITE SELECTION STANDAR ANSIBICSI 002 DENGAN METODE PPDIOO STUDI KASUS : DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG ANALYSIS AND DESIGN OF DATA CENTER FACILITY BASED ON SITE SELECTION ANSIBICSI 002 ST

0 0 8

Kata kunci : malware, malware analysis, cyber crime, clustering, deteksi malware, malware signature,

0 0 10

Analisis Pengaruh Intensitas Olahraga Aerob Terhadap Peningkatan High Density Lipoprotein (Hdl) Plasma

0 0 57

Peranan Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Surakarta Dalam Mengembangkan Kampung Batik Laweyan

0 0 113

Tinjauan Tentang Perjanjian Pemberian Kredit Bagi Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah Pada Pd. Bpr Bank Pasar Kabupaten Kudus

0 0 115

Analisis Faktor Keterlambatan Proyek Terhadap Pembengkakan Biaya Proyek Bangunan Gedung Di Surakarta

1 9 77