Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan karya

Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan (Growth) adalah berkaitan dangan masalah perubahan dalam besar,
jumlah ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran
berat ( gram, pound ) ukuran panjang ( cm, inchi), umur tulang dan keseimbangan metabolik
(retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Sedangkan perkembangan (Development) adalah
bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan
menyangkut adaanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan
sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi
fungsinya. Termasuk perkemabngan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungan.
Pertumbuhan dan perkembangan berjalan menurut norma-norma tertentu, walaupun
demikian seorang anak dalam banyak hal tergantung kepada orang dewasa misalnya mengenai
makanan, perawatan, bimbingan, perasaan aman, pencegahan penyakit. Oleh karena itu
semua orang yang mendapat tugas untuk mengawasi anak harus mengerti persoalan anak
yang sedang tumbuh dan berkembang.
Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan. Berbeda dengan
pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat
dengan organ yang dipengaruhinya, misalnya perkembangan sistem neuromuskuler,
kemampuan bicara, emosi dan sosialisasi. Kesemua fungsi tersebut berperan penting dalam
kehidupan manusia yang utuh.

Pandangan mengenai Tumbuh-Kembang Manusia
1. Nativisme
Teori ini menjelaskan bagaimana manusia tumbuh karena innate (genetic) . Segala
sesuatu terjadi secara sendirinya melalui maturasi (maturational process). Pandangan
ini lebih mengagungkan factor alam atau nature. Manusia menjadi seseorang seperti
yang ditetapkan ketika ia dilahirkan. Teori-teori dengan pandangan nativisme :
- Self Regulatory System (Curia)
Seluruh system di dalam tubuh mempunyai system yang pasti. Contohnya
Peredaran darah dari jantung menuju seluruh tubuh adalah pasti.
- Self Generating Growth (Coleridge)
Adanya aturan dalam proses tumbuh seseorang. Contohnya Sebelum berbicara
seorang harus mengalami proses pertumbuhan gigi.
- Self Organizing Being (Kant)
Individu adalah seseorang yang mampu menggorganisir dirinya sendiri. Contonya :
Makanan akan dicerna sesuai dengan system pencernaan.
2. Environmentalisme
Teori ini menjelaskan bagaimana manusia berkembang karena proses pembelajaran
(learning process) dan terjadi karena adanya stimulasi lingkungan (nurture).
Teori-teori dengan pandangan environmentalisme:


- Classical conditioning (Pavlov)
- Extreme environmental (Watson)
- Law of Effect (Thorndike)
- Operant conditioning (Skinner)
- Social Learning (Bandura)
3. Organismik
Teori ini merupakan gabungan dari teori nativisme dan environmentalisme dimana
manusia tumbuh dan berkembang karena maturational dan learning process. Teori ini
menganggap bahwa pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi ole nature dan
nurture. Manusia menjadi seseorang sebagai hasil interaksi faktor genetic dan stimulasi
lingkungan.
http://cyndrell4.blogspot.com/2009/04/teori-tumbuh-kembang-manusia.html

TEORI PEMBELAJARAN EDWARD LEE THORNDIKE
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran merupakan suatu hal yang kompleks dan selalu berkaitan dengan berbagai
bidang. Tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pembelajaran merupakan sebuah kebutuhan

yang nantinya dapat memberikan berbagai manfaat dan wawasan kepada pelajar. Dalam hal ini,
pendidikan juga menuntut adanya pembelajaran untuk menunjang kegiatan pendidikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pembelajaran merupakan hal yang penting dalam bidang
pendidikan. Tentu saja dalam proses belajar terdapat teori – teori yang memunculkan adanya
pembelajaran. Dari zaman dahulu, para ilmuwan terus mengembangkan teori – teori
pembelajaran sebagai temuan mereka untuk mengembangkan pemikiran pembelajaran mereka.
Era globalisasi telah membawa berbagai perubahan yang memunculkan adanya teori –
teori pembelajaran yang baru guna menyempurnakan teori – teori yang telah ada sebelumnya.

Akan tetapi, kita sebagai insan tak bisa bertolak dengan adanya teori pembelajaran yang telah
ada sebelumnya. Adapun teori pembelajaran selalu bertolak dari sudut pandangan psikologi
belajar tertentu.
Dengan perkembangan psikologi dalam pendidikan, maka bermunculan pula berbagai
teori tentang pembelajaran, justru dapat dikatakan bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan
tentang pembelajaran, maka psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang sangat pesat.
Dengan bermunculnya teori – teori yang baru akan menyempurnakan teori – teori yang
sebelumnya. Berbagai teori pembelajaran dapat dikaji dan diambil manfaat dengan adanya teori
tersebut. tentunya setiap teori pembelajaran memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan, tak
jarang dalam setiap teori pembelajaran juga terdapat kritikan – kritikan untuk penyempurnaan
teori tersebut. dalam hal ini, kelompok kami akan mengkaji salah satu teori belajar yang

dikemukakan oleh Thorndike.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dengan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut ;
1. Bagaimana sejarah teori belajar Thorndike tersebut bisa muncul ?
2. Apa definisi belajar menurut teori belajar Thorndike ?
3. Apa saja ciri – ciri dari teori belajar Thorndike itu ?
4. Eksperimen apa saja yang dilakukan oleh Thorndike hingga muncul adanya teori belajar
Thorndike ?
5. Apa saja yang menjadi hukum – hukum dari teori belajar Thorndike tersebut ?
6. Bagaimana konsep teori Thorndike pasca 1930 ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dengan disusunnya makalah ini adalah untuk menambah wawasan
pengetahuan mahasiswa / mahasiswi tentang pemikiran dan teori-teori Edward Lee Thorndike
dan untuk mengetahui lebih mendalam tentang teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Teori Belajar Thorndike
Edward Lee Thorndike ialah seorang fungsionalis. Meski demikian, ia telah membentuk

tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar
sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard
pada tahun 1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti kelasnya Williyams James dan mereka
pun menjadi akrab. Thorndike menerima beasiswa di Colombia, dan dapat menyelesaikan gelar
PhD-nya tahun 1898. Kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombia sampai pensiun pada
tahun 1940.
Thorndike berhasil menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An
experimental study of associationprocess in Animal”. Buku tersebut merupakan hasil penelitian
Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung yang
mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar
dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan
suatu respon tertentu.
Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori S-R. Dalam teori S-R
dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar
dengan cara coba salah (Trial end error). Apabila suatu organisme berada dalam suatu
situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan tingkah laku
yang serentak dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah
itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi masalah yang serupa,
organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan
masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Sebagai

contoh : seekor kucing yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan,
meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu
pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa keluar. Sejak saat
itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.
2.2 Definisi Teori Belajar Menurut Thordike

Pada awalnya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh adanya
pengaruh dari Thorndike (1874-1949). Teori belajar Thorndike dikenal dengan “Connectionism”
(Slavin, 2000). Hal ini terjadi karena menurut pandangan Thorndike bahwa belajar
merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan /
tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit,
yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun
aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Teori dari Thorndike dikenal pula dengan sebutan “Trial and error” dalam menilai
respon-respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas
hasil - hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing,

dan tingkah laku anak - anak dan orang dewasa. Adapun objek penelitian yang dikaji
dihadapkan pada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek tersebut
melakukan berbagai aktivitas untuk merespon situasi itu. Dalam hal ini, objek akan
bereaksi mencoba berbagai cara untuk menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi
sesuatu

reaksi

dengan

stimulasinya.

Sebagai contoh yaitu seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kandang yang terkunci,
maka kucing tersebut akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu
ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu
terbuka dan akhirnya kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak
pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.
2.3 Eksperimen – Eksperimen Thorndike
Bentuk belajar yang khas pada hewan maupun manusia oleh Thorndike disifatkan sebagai
trial and error atau learning by selecting and connecting. Organism ( pelajar, dalam eksperimen

dipergunakan hewan juga ) dihadapkan kepada situasi yang mengandung problem untuk
dipecahkan; pelajar harus mencapai tujuan. Pelajar akan memilih respon yang tepat diantara
berbagai respon yang mungkin dilakukan.

Pada mulanya, model eksperimen Thorndike yaitu dengan mempergunakan kucing
sebagai subjek dalam eksperimennya. Eksperimennya yang khas adalah dengan kucing, dipilih
yang masih muda yang kebiasaan – kebiasaannya masih belum kaku, dibiarkan lapar, lalu
dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut sebagai “problem box”. Dengan konstruksi pintu
kurungan yang dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu, maka
pintu kurungan akan terbuka dan akhirnya kucing dapat keluar dan mancapai makanan ( daging )
yang ditempatkan di luar kurungan sebagai hadiah atau daya penarik bagi kucing yang lapar
tersebut.
Pada usaha ( trial ) yang pertama kucing itu melakukan bermacam – macam gerakan yang
kurang relevan bagi pemecahan masalah, misalnya mencakar, menubruk, dan sebagainya, sampai
kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Adapun waktu yang dibutuhkan dalam usaha
yang pertama berlangsung lama. Namun, ketika percobaan tersebut telah dilakukan secara
berulang – ulang, maka waktu yang dibutuhkan akan semakin singkat. Thordike menafsirkan
bahwa “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia
belajar mencamkan ( mempertahankan ) respon – respon yang benar dan menghilangkan atau
meninggalkan respon – respon yang salah.”

Eksperimen Thorndike tersebut mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf
insansi ( human ). Dia yakin bertentangan dengan kepaercayaan umum bahwa tingkah laku
hewan sedikit sekali dipimpin oleh pengertian. Dengan tidak menyatakan secara eksplisit
menolak kemungkinan adanya pengertian pada hewan, dia yakin bahwa masalah belajar pada
hewan dapat diterangkan sebagai hubungan langsung antara situasi dan perbuatan., tanpa
diantarai oleh pengertian. Dengan hal tersebut memberikan keyakinan kepada Thorndike bahwa
hal – hal yang menjadi dasar proses belajar pada hewan dan pada manusia adalah sama saja.
2.4 Ciri – Ciri Belajar Menurut Thorndike
Adapun beberapa ciri – ciri belajat menurut Thorndike, antara lain :
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
3. Ada aliminasi respon - respon yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi – reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

2.5 Thorndike sebelum 1930,
Pemikiran Thorndike tentang proses belajar dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama
adalah pemikiran sebelum tahun 1930 dan kedua adalah pasca 1930.
Hukum - Hukum yang digunakan Edward Lee Thorndike:
Thorndike menyatakan bahwa belajar pada hewan maupun manusia berlangsung berdasarkan
tiga macam hukum pokok belajar, yaitu :

1. Hukum kesiapan ( Law of readiness )
Law of readiness adalah prinsip tambahan yang menggambarkan taraf fisiologis bagi law
of effect. Hukum ini menunjukkan keadaan – keadaan dimana pelajar cenderung untuk
mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasan, menerima atau menolak sesuatu.
Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu, yaitu :
a. Kalau suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit tersebut
akan membawa kepuasan, dan tidak akan ada tindakan – tindakan lagi ( yang lain ) untuk
mengubah konduksi itu.
b. Unit konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan
menimbulkan ketidakpuasan, dan akan menimbulkan respon – respon yang lain untuk
mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
c. Apabila unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksa untuk berkonduksi, maka konduksi
itu akan menimbulkan ketidakpuasan dan berakibat dilakukannya tindakan – tindakan lain untuk
mengurangi

atau

meniadakan

ketidakpuasan


itu.

Dalam hal ini Thorndike menggunakan istilah “unit konduksi” sebenarnya tidak mempunyai arti
fisiologis yang pasti. Sebab misalnya saja adalah sangat sukar dimengerti bagaimana satu unit
fisiologis yang tidak siap berkonduksi dibuat berkonduksi. Karena itu untuk dapat memahami
arti hukum tersebut haruslah dilakukan interpretasi. Jika istilah “unit konduksi” diganti dengan
“kecenderungan bertindak” maka arti psikologis daripada law of readiness menjadi jelas. Jadi,
apabila kecenderungan bertindak itu timbul karena penyesuaian diri atau hubungan
dengan sekitar, karena sikap dan sebagainya, maka memenuhi kecenderungan itu di dalam
tindakan akan memberikan kepuasan dan tidak memenuhi kecenderungan tersebut akan
menimbulkan ketidakpuasan. Jadi, sebenarnya readiness itu adalah persiapan untuk
bertindak, ready to act.
Sebagai ilustrasinya, Thorndike menggambarkan sebagai berikut :

a.

Hewan

mengejar

mangsanya,

siap

untuk

menerkam

dan

memakannya.

b. Seorang anak melihat sesuatu barang yang sangat menarik di kejauhan, siap untuk
menghampirinya, memegangnya, dan mempermainkannya.
2. Hukum latihan ( Law of exercise )
Law of exercise mengandung dua hal, yaitu sebagai berikut.
a. Law of use, hubungan – hubungan atau koneksi – koneksi akan menjadi bertambah
kuat kalau ada latihan.
b. Law of disuse, hubungan – hubungan atau koneksi – koneksi akan menjadi bertambah
lemah

atau

terlupa

kalau

latihan



latihan

atau

penggunaan

dihentikan.

Persoalan menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya kemungkinan bahwa respons
akan dilakukan apabila situasi yang demikian itu dihadapi lagi. Kemungkinan ini dalam dua
bentuk, yaitu ;
a. Menjadi lebih besarnya kemungkinan kalau situasi atau kejadian segera diulangi.
b.

Rendahnya

kemungkinan

kalau

berulangnya

kejadian

itu

berjarak

lama.

Akan tetapi, keterangan tetang kekuatan dengan kemungkinan itu menjadi bahan
perbantahan. Pada umumnya, orang di Amerika Serikat menolak dasar structural yang
dikemukakan oleh Thorndike mengenai hubungan ( koneksi ) itu, yaitu perubahan – perubahan
menjadi lebih kuat atau lebih lemahnya hubungan itu mempunyai dasar neorlogis yang terdapat
pada synapsis – synanpsis. Karena keterangan tesebut mengandung kelemahan – kelemahan,
maka Thorndike pada akhirnya membuat perubahan – perubahan pada hukum tersebut.
3. Hukum efek ( Lae of effect )
Law of effect menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai
akibat daripada hasil respons yang dilakukan. Apabila suatu hubungan atau koneksi dibuat dan
disertai atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan
bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang
tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
Perumusan hukum efek banyak menerima kritikan. Pada pokoknya, ada dua keberatan
yang diajukan terhadap hukum efek tersebut, yaitu :
a. Kepuasan dan ketidakpuasan adalah masalah subjektif, jadi tidaklah tepat untuk
menggambarkan tingkah laku hewan.
b. Pengaruh ( effect ) daripada apa yang dialami atau terjadi di masa lampau yamg dirasakan kini
tidak dapat diterima, sebab apa yang lampau adalah sudah lampau dan pengaruhnya tidak dapat
dirasakan.

Perumusan Thorndike banyak mengandung kelemahan – kelamahan. Jika dikatakan
dengan sederhana yang dimaksud Thorndike adalah : Hadiah atau sukses akan berakibat
dilanjutkannya atau diulanginya perbuatan yang membawa hadiah atau sukses itu, sedang
hukuman atau kegagalan akan mengurangi kecenderungan untuk mempertahankan atau
mengulangi tingkah laku yang membawa hukuman atau kegagalan itu.
Selain hukum pokok belajar tersebut di atas, masih terdapat hukum subside atau hukum –
hukum minor, yaitu :
a. Law of multiple response
Supaya sesuatu respons itu memperoleh hadiah atau berhasil, maka respons itu harus
terjadi. Apabila individu dihadapkan pada sesuatu soal, maka dia akan mencoba – coba berbagai
cara; apabila tingkah laku yang tepat ( yakni yang membawa penyelesaian atau berhasil )
dilakukan maka sukses terjadi, dan proses belajar pun terjadi. Hal tersebut akan berlaku
sebaliknya.
b. Law of attitude ( law of set, law odf disposition )
Respons – respons apa yang dilakukan oleh individu itu ditentukan oleh cara
penyelesaian individu yang khas dalam menghadapi lingkungan kebudayaan tertentu. Sikap
( attitude ) tidak hanya menentukan apa yang akan dikerjakan oleh seseorang tetapi juga cara
yang

kiranya

akan

memuaskan

atau

tidak

memuaskan

baginya.

c. Law of partial activity ( law of prepotency element )
Pelajar atau organism dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan –
kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Manusia dapat memilih hal – hal yang pokok dan
mendasarkan tingkah lakunya kepada hal – hal yang pokok itu serta meninggalkan hal – hal yang
berkecil – kecil.
d. Law of response by analogy ( law of assimilation )
Orang bereaksi terhadap situasi yang baru sebagaimana dia bereaksi terhadap situasi yang
mirip dengan itu yang dihadapinya di waktu yang lalu, atau dia bereaksi terhadap hal atau unsur
tertentu dalam situasi yang telah berulang kali dihadapinya. Jadi, respons – respons selalu dapat
diterangkan dengan apa yang telah pernah dikenalnya, dengan kecenderungan asli yang
berespons.
e. Law of assosiative shifting
Apabila suatu respons dapat dipertahankan berlaku dalam serangkaian perubahan –
perubahan bahan dalam situasi yang merangsang, maka respons itu akhirnya dapat diberikan
kepada situasi yang sama sekali baru.

2.6 Thorndike pasca 1930,
Teori Thorndike masih tetap ada sampai tahun 1930. Namun, dengan berkembang dan
munculnya aliran – aliran yang lain, maka mulailah bermunculan kritik mengenai teori yang
telah dikemukakan oleh Thorndike. Para ahli mengemukakan bahwa teori Thorndike tidak
seluruhnya benar, terutama dengan berbagai eksperimennya yang menunjukkan adanya
kelemahan tentang teori tersebut.
Adapun revisi hukum – hukum dasarnya dituliskan dalam berbagai majalah, yang hasil – hasil
pokoknya dituliskan dalam dua buah buku, yaitu :
1. The fundamentals of learning ( 1935 ), dan
2. The psychology of wants, interest and attitudes ( 1935 ).
Berikut adalah revisi pendapat yang dikemukakan, yaitu :
a.

Law

of

readiness

(hukum

kesiapan)

boleh

dikata

tak

diubah

sama

sekali.

b. Law of exercise (hukum latihan atau penggunaan) praktis diubah sama sekali.
Ketidakbenaran atau ketidakpastian law of exercise ditunjukkan dengan eksperimen.
Adapun eksperimen yang menunjukkan kelemahan yaitu “ulangan yang berlangsung dalam
keadaan di mana law of effect itu tidak bekerja.” Misalnya : berulang – ulang membuat garis
yang panjangnya 10 cm tanpa mengetahui garis yang dibuatnya itu terlalu pendek atau terlalu
panjang.
Jadi, ulangan itu an sich tidaklah menghasilkan apa – apa; ulangan hanya membawa hasil
kalau ada faktor lain yang bekerja yang menyebabkan ulangan itu efektif ( berhasil ). Misalnya
dalam contoh di atas : jika sekiranya subjek tahu garis yang telah dibuatnya itu terlalu panjang
atau terlalu pendek, maka tentulah usaha yang berikutnya akan lebih berhasil ( lebih baik
hasilnya ).
Kesimpulan

:

Jadi, sebenarnya law of exercise itu tidak seluruhnya dibuang. Ulangan akan membawa
hasil kalau diikuti atau disertai reward atau punishment ( feedback ) bukan hanya karena diulang
semata



mata.

c. Perubahan law of effect (hukum efek)
Sejumlah eksperimen menunjukkan bahwa pengaruh ( effect ) hadiah dan hukuman tidak
bertentangan lurus seperti apa yang dikemukakan lebih dahulu, yaitu pengaruh hadiah

memuaskan dan pengaruh hukuman tidak memuaskan, serta besarnya kepuasan dan
ketidakpuasan itu sama atau sebanding, tetapi ternyata bahwa dalam keadaan di mana aksi
simetris mungkin dilakukan hadiah nampaknya lebih kuat pengaruhnya daripada hukuman.
Salah satu eksperimen mengenai ini ialah dengan ayam. Suatu labirin yang sederhana dengan
dua jalan pilihan, yaitu :
1). Pilihan pertama menuju ke kebebasan, dan berkumpul dengan teman – temannya serta
mendapatkan makanan ( hadiah ).
2). Pilihan kedua kembali kekurangan lagi ( hukuman ).
Dengan statistic diperhitungkan kecenderungan untuk mngulangi pilihan yang membawa
dhadiah dan menghindari pilihan yang memberikan hukuman.
Dan kesimpulan Thorndike ialah :
Hasil dari semua perbandingan dari berbagai cara itu sama saja, yaitu : Connection yang
membawa hadiah selalu bertambah kuat, sedangkan connection yang membawa hukuman hanya
sedikit

saja

bertambah

lemah.

d. Belongingness
Thorndike mengamati bahwa dalam proses belajar asosiasi ada faktor selain kontinguitas
dan hukum efek. Jika kontinguitas adalah satu- satunya faktor yang memengaruhi, semua urutan
kata itu seharusnya dikuasai dan diingat dengan baik. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Ratarata asosiasi yang benar dari ujung satu kalimat ke awal kalimat berikutnya adalah 2,75;
sedangkan rata- rata jumlah asosiasi yang benar antara kombinasi kata pertama dan kedua adalah
21,50. Jelas, ada sesuatu yang beroperasi selain kontiguitas, dan sesuatu itu oleh Thorndike
dinamakan belongingness, artinya sifat- sifat suatu item yang dalam kasus ini subyek dan kata
kerja yang erat hubungannya dengan atau menjadi bagian integral dari item yang lain.
Dengan konsep belongingness ini, Thorndike berpendapat bahwa jika ada hubungan yang
natural antara keadaan yang dibutuhkan organisme dengan efek yang ditimbulkan suatu respon
maka proses belajar akan lebih efektif ketimbang jika hubungan itu tidak alamiah.
Maka kita melihat bahwa Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara.
Pertama, dia menggunakannya untuk menjelaskan mengapa ketika mempelajari materi verbal
seseorang akan cenderung mengorganisasikan apa- apa yang dipelajarinya dalam unit- unit yang
dianggap masuk dalam golongan yang sama. Kedua, Thorndike mengatakan bahwa jika efek-

efek yang dihasilkan oleh suatu respon yang terkait dengan kebutuhan organisme, proses belajar
akan lebih efektif ketimbang efek yang dihasilkan itu tidak terkait dengan kebutuhan organisme.
e. Penyebaran Efek
Sesudah tahun 1930, Thorndike menambahkan konsep teoritis lainnya, yang disebutnya
sebagai spread of effect ( Penyebaran Efek ). Semala eksperimennya, Thorndike secara tak
sengaja menemukan bahwa keadaan yang memuaskan tidak hanya menambah probabilitas
terulangnya respon yang menghasilkan keadaan yang memuaskan tersebut tetapi juga
meningkatkan probabilitas terulangnya respon yang mengitari respons yang memperkuat itu.
Salah asatu eksperimen yang menunjukkan efek ini adalah eksperimen yang
menghadirkan sepuluh kata, seperti catnip, debate, dan dazzle, kepada partisipan yang diberi
instruksi untuk merespon dengan angka dari 1 sampai 10. Jika partisipan merespon satu angka
dengan angka yang sebelumnya yang telah ditentukan oleh eksperimenter, eksperimenter akan
berkata “ benar “. Dan jika subyek merespon dengan angka yang berbeda dengan angka yang
telah ditetapkan, maka eksperimenter berkata “Salah“.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan :
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
menurut pandangan Thorndike bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan,
atau gerakan / tindakan.
Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang
dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme

sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori S-R. Dalam teori S-R dikatakan
bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara coba
salah (Trial end error). Thorndike menyatakan bahwa belajar pada hewan maupun manusia
berlangsung berdasarkan tiga macam hukum pokok belajar, yaitu : hukum kesiapan, hukum
latihan, dan hukum efek.
http://abisavitdemulf.blogspot.com/2012/04/teori-pembelajaran-edward-lee-thorndike.html