ANALISIS USHUL FIKIH DARI HASIL DISKUSI

ANALISIS USHUL FIKIH DARI HASIL DISKUSI KELOMPOK
UJIAN AKHIR SEMESTER

NAMA

: Nurudin Syafi’i

ABSEN

: 17201163225 / 26

Pada periode penyempurnaan pengertin fikih itu sebagai hasil penalaran seorang ahli
atas maksud hukum Allah. Yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Perkembangan
dan pertumbuhan ilmu ushul fikih tak bisa dilepaskan begitu saja dari perkembangan fikih itu
sendiri. Dalam ushul fikih terdapat 2 aliran yaitu aliran mutakalimin dan hanafiyah. Kitabkitab yang disusun pada abad modern yakni antara lain irsyad al fuhul, karya imam
muhammad ibn ali syaukani 177-1255 H ahli ushul pada abad ke-13.
Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad yang
berisikan 30 juz dan menjadi pedoman hidup dan tatanan hidup umat manusia yang masih
bersifat global dan makna yang dalam. Sementara As-Sunnah ialah semua perkataan dan
contoh perbuatan/pengakuan langsung dari Rasulullah SAW yang menjadi petunjuk atau
tuntunan.sunnah memiliki 3 macam yaitu , Sunnah Qauliyah sabda yang disampaikan secara

langsung seperti memberikan sugesti agar meninggalkan pebuatan yang bersifat mudharat.
Sunnah fi’liyah adalah segala tindakan nabi yang berkaitan dengan perbuatanya, misal cara
shokat serta rukun sholat. Sunnah Taqiriyah adalah persetujuan dari ucapan para sahabat baik
secara diam diam atau secara terang terangan yang berlandaskan pujian yang baik. Fungsi
utama Al Quran adalah sebagai pedoman hidup sedangkan Sunnah adalah sebagai sumber
hukum yang kedua setelah Al Qur’an sebagai penguat. Hubugan Al Qur’an dan Sunnah
sangat dekat yaitu saling terkait sebagai hubungan timbal balik sunnah dasar ijtihad
memperjelas hukum al Qur’an yang bersifat global.
Ijma’ berarti menghimpun atau mempersatukan pendapat para mujtahid untuk
memutuskan suatu hukum syariat dan diakui sebagai sumber hukum islam urutan ke 3 karena
ini ijtihad pengembangan al Qur’an. Ijma’ ini berfungsi meningkatkan kualitas dalil yang
dijadikan sandaran maksudnya adalah dalil yang dzanni atau lemah itu akan diperkuat dengan
ijma baik dalil nash maupun qiyas. Macam ijma’ dibagi menjadi berbagi sudut dalam

menghasilkan hukum ijma’ sharih, ijma’ sukuti, ijma’ qath’i, dan ijma’ dzanni. Selanjutnya
adalah Qiyas , qiyas adalah peristiwa yang tidak ada dalam nash yang tidak ada dalam Al
Qur’an.qiyas menduduki peringkat ke 4 dalam menetapkan suatu hukum namun kebanyakan
para ulama menolak qiyas karena bedasarkan pada dugaan dan sumber pertentangan hukum.
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda
dengan Al-Quran, Hadits, Ijma` dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para

ulama sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang digunakan
hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya. Al-Imam Asy-Syafi`i dalam mazhabnya
termasuk kalangan ulama yang tidak menerima istihsan dalam merujuk sumber-sumber
syariah Islam. Sebaliknya, Al-Imam Abu Hanifah justru menggunakannya. samping madzhab
Hanafi, termasuk sebagian madzhab Maliki dan madzhab Hambali. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi`i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,
kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan
hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang
penting ialah hak milik itu.Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah
pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.
Selanjutnya adalah maslahah mursalah Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang
syara’ atau ijma tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula nyata ada illat yang menjadi
dasar syara menetapkan satu hukum,tetapi ada pula sesuatu yang munasabah untuk
kemaslahatan dan kebaikan umum. Contohnya Membuang barang yang ada di atas kapal laut
tanpa izin yang punya barang,karena ada gelombang besar yang menjadikan kapal oleng.
Demi kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.
Dalil hukum ijtihad urf dan sadd dzariah, Dari segi objeknya, ‘urf dibagi dalam: al-urf
al-lafzhi ( kebiasaan yang menyangkut ucapan ) dan al-urf al-amali ( kebiasaan yang

bebentuk perbuatan ) Al-‘urf al-lafzhi adalah kebisaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah
yang dipahami masyarakat dalam mempergunakan lafal / ungkapan dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging yang berarti daging sapi ; padahal kata
daging mencakup seluruh daging yang ada ,Contoh : Apabila ada seseorang mendatangi
penjual daging yang menjual berbagai macam daging, sang pembeli mengatakan : “Saya beli

daging satu kilogram”, pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan
masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
Jika ada seseorang muslim yang bernazar sebab suatu hal dengan nazar tidak memakan
daging selama sebulan misalnya, lalu ia memakan ikan, maka ia tidak termasuk orang yang
mengingkari nazarnya, karena kebiasaan dia dan masyarakat di tempatnya biasa
menggunakan kata daging hanya untuk daging sapi, kambing, unta dll, sedangkan ikan tidak
biasa disebut daging.Al-urf al-amali Ialah ‘Urf yang berupa perbuatan.Contohnya seperti
jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shigat atau ijab qabul. Padahal menurut
syara’, ijab qabul merupakan salah satu dari rukun jual beli. Tetapi dikarenakan telah menjadi
kebiasaan dalam masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang negatif, maka syara’
membolehkannya. ‘urf yang disepakati oleh seluruh ulama keberlakuannya adalah Al-‘urf
ash-shahih al-‘amm al-muththarid (‘urf yang benar dan hukumnya berlaku secara umum),
dengan syarat sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan nash syara’ yang bersifat qath’I,
2. Tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat prinsip.
Secara bahasa kata Sadd ((‫ سدد‬berarti penghalang atau sumbat dan adz-dzariah (‫ )الدذرري يععة‬berarti
wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Maka dapat dikatakan bahwa saddudz dzari’ah adalah
upaya menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau
maksiat. Bisa juga diartikan melarang suatu perbuatan untuk menghindari perbuatan lain
yang dilarang. Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya menggali
sumur di jalan umum yang gelap.
o Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat, misalnya menanam pohon anggur.
Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena
itu, dzari’ah ini tidak perlu dilarang.
o Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat, misalnya menjual anggur
kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini harus dilarang.
o Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak
sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli
secara kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang dzari’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada yang
berpendapat sebaliknya.

Hukum Wadh’i adalah hukum tuhan yang berhubungan dengan sesuatu yang menjadi

alamat atau tanda tanda yang menentukan ada atau tidaknya hukum taklifi.
Macam macam hukum Wadh’i iaalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Sebab
Syarat
Man’i
Al’azimah
Ash-shib ah
Al buthan

Perbedaan hukum wad’i dengan taklifi. Wadhi menuntut dan memberikan pilihan untuk
meninggalkan perbuatan sementara taklifi selalu diihubungkan dengan kesanggupan orang
mukallaf.
Akal dalam islam diposisikan sebagai rahmat yang paling mulial karena dengan akal

manusia dapat berfikir dan mengelurkan segala potensinhya karena sebagai daya berfikir
mengingat dan mengetahui. Wahyu dapat diartikan penyampaian sabda tuhan untuk di
sampaikan kepada umat. Pada prinsipnya Ar-Ra’yu digunakan dalam bila padanya tidak
terdapat aturan aturan secara harfiah.
Yang dimaksud dengan mahkum fih, adalah perbuatan orang mukallaf yang berkaitan
dengan hokum syara’. Dalam pandangan Muhammad Abu Zahrah bahwa esensi mahkum fih
itu adalah berkenaan dengan objek hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik
kaitannya dengan tuntutan untuk berbuat, meninggalkan larangan atau adanya pilihannya.
Secara tegas Zahrah menyebutkan bah . Perbuatan yang sah untuk dikenakan taklif menurut
syara’ ada tiga syaratwa mahkum fih berkaitan dengan realisasi atau implementasi dari
hukum taklifi. perbuatan itu harus diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang
sempurna sehingga ia mampu untuk melaksanakannya sesuai dengan tuntunan. Suatu
perbuatan itu harus diketahui betul oleh mukallaf secara sempurna dan ia mampu
melaksanakan perbuatan itu sesuai tuntutan. Misalnya, nash-nash Al-Quran yang masih
mujmal, belum dapat dibebankan kepada mukallaf kecuali setelah ada penjelasan (bayan) dari
Rasullullah. Seperti perintah shalat, dalam al-Quran tidak di jelaskan syarat dan rukunnya,
tetapi dijelaskan dalam hadits-hadits, maka barulah pembebanan hukum tentang shalat itu
dikenakan kepada mukallaf.

Ulama ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah

seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf .
Sehingga istilah mahkum alaih disebut dengan subyek hukum.
Syarat-syarat Taklif
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa seseorang itu dikenai hukum apabila orang
tersebut memenuhi dua syarat, yaitu: Orang itu telah mampu memahami khitab syari’
(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung
maupun melalui orang lain, karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan disuruh atau
dilarang tergantung pada pemahamannya terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khitab
syari’. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab
syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif. dapun yang dimaksud dengan ahliyah
al-wujub ialah, kecakapan seseorang untuk melaksanakan berbagai kewajiban dan menerima
berbagai hak, Adapun yang dimaksud dengan ahliyah al-ada’ ialah kecakapan untuk bertindak
secara hukum atau memikul beban taklif.\
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah.
Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud
yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan,
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.4 Sedangkan Syari’ah secara
bahasa berarti 5 ‫ المواضع تحدر الي الماء‬artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air
dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
jtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran.

sedangkan menurut istilah syara’ ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemmpuan dan pikiran
dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum syariat dengan cara-cara tertentu. Ijtihad
merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-qur’an dan hadis, yang berfungsi untuk
menetapkan suatu hukum apabila hukum tersebut tidak dibahas didalam Al-Qur’an dan hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang. orang yang
melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) harus
benar-benar orang yang taat dan memahami betul isi Al-Qur’an dan hadis