Pemilu Serentak dan Permasalahannya pdf

Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu

KABUT ASAP PANITIA PESTA DEMOKRASI
Fathoni

Abstrak
Politik diartikan sebagai ilmu tentang organisasi negara dan bagaimana negara
dijalankan. Disinilah berkelindan antara hukum dan politik. Hukum membuat aturan
main, sedangkan politik mengisinya dengan orang-orang dan alat-alat yang akan
bekerja dalam negara itu. Makalah ini mempertanyakan tentang bagaimana desain
ideal kelembagaan penyelenggara pemilu yang independen.
Pendekatan yang digunakan adalah dengan mengonstruksi bangunan lembaga
penyelenggara pemilu dengan terlebih dahulu “membongkar” bangunan lamanya. Konstruksi
yang secara yuridis harus sudah mapan dan ajeg harus dibongkar sedemikian rupa untuk
menyediakan tempat bagi penyusunan konstruksi yang baru tersebut. Pandangan Rawls
dikaitkan dengan Derrida yang mengajukan pendekatan dekonstruksi, yaitu pendekatan
filsafat yang layak dikemukakan untuk menjawab permasalahan dalam makalah ini.

Pembahasan dalam makalah ini menghasilkan kesimpulan: demokrasi dimulai
dari kesadaran bahwa kepentingan negara berada diatas kepentingan pribadi dan
kepentingan golongan; Demokrasi yang senyatanya terjadi adalah demokrasi

prosedural; Anggota penyelenggara pemilu tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh
partai politik; Konstruksi baru kelembagaan penyelenggara pemilu adalah dengan
memperhatikan aspek struktural dan aspek fungsional, yaitu bahwa penyelenggara
pemilu harus juga memberikan pendidikan politik bagi warga masyarakat.

Kata kunci: penyelenggara pemilu, kelembagaan, demokrasi, independen.
A. Pendahuluan
Kita baru saja melewati agenda besar di tahun yang kita dan media sebut-sebut
sebagai tahun politik—meskipun menurut penulis, tidak ada tahun yang bukan tahun
politik. Tulisan ini juga merupakan tulisan politik, bahkan penulis merupakan
“pekerja politik”. Tidak ada sedetik pun dan seorangpun yang bukan detik politik, dan
bukan “orang politik”. Politik disini diartikan sebagai sebuah ilmu tentang organisasi
dan administrasi negara; aktivitas-aktivitas atau profesi yang terlibat dalam bidangbidang politik. Dalam pengertian dan khasanah keilmuan kita tentang politik, kata
politik diserap begitu saja dari kata bahasa Inggris “Politics” yang dalam Black Law
Doctionary diberi pengertian sebagai: 1. The science of the organization and
administration of the state. 2. The activity or profession of engaging in political affairs.1
Politik diartikan sebagai ilmu tentang organisasi negara dan bagaimana negara
dijalankan. Disinilah berkelindan antara hukum dan politik. Hukum membuat aturan
main, sedangkan politik mengisinya dengan orang-orang dan alat-alat yang akan
bekerja dalam negara itu. Thommas Hobbes menggambarkan kelindan ini dengan

ungkapannya yang gamblang:
“The true and perspicuous explication of the Elements of Laws, Natural and Politic,
which is my present scope, dependen upon the knowledge of what is human nature,
what is a body politic, and what it is we call a law. Concerning which points, as the
writings of men from antiquity downward have still increased, so also have the doubts
and controversies concerning the same, and seeing that true knowledge begetteth not

1

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (St. Paul: West a Thomson, 2004), hlm. 1197.

1

doubt, nor controversy, but knowledge; it is manifest from the present controversies,
that they which have heretofore written thereof, have not well understood their own
subject.”2

Hobbes, dengan demikian mengungkapkan bahwa penjelasan yang benar dan mudah
dipahami mengenai Unsur Hukum, Alam dan Politik, terikat (dependen) pada
pengetahuan tentang sifat dasar manusia, apa itu lembaga politik, dan apa yang kita

sebut hukum. Ia berpendapat bahwa konsep masing-masing orang dapat saja
berbeda, sehingga keraguan dan kontroversi adalah sebuah keniscayaan.
Pengetahuan yang dipahami secara benar akan memperanakkan kepastian.
Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa pemahaman yang berbeda mengenai objek
yang sama akan melahirkan keraguan dan kontroversi. Hal ini adalah khas sifat dasar
manusia dan pembawaan alamnya. Oleh karena itu penting untuk menyamakan
konsep, walaupun persepsi setiap orang tentu tidak dapat diseragamkan.
Makalah ini tidak bermaksud berlarut-larut dan bombastis dalam
menggambarkan pengertian politik yang perlu dipahami—namun tidak dibatasi—
untuk diberikan satu pengertian saja. Politik itu, dalam makalah ini dipahami sebagai
cara bagaimana negara menyejahterakan rakyatnya. Itulah cita yang memang
merupakan tujuan berdirinya negara ini. Sekilas, untuk memasukkan ide demokrasi
dalam makalah ini, maka kita juga harus memahami secara rinci dan presisi (distinct)
tentang dimana letak demokrasi dalam politik itu. Jadi, disini, bertambah lagi
kelindannya: politik, hukum, demokrasi. Jika kita “gagal” meletakkannya dalam
kedudukannya yang pas, maka gagal pula konsep yang dibangun. Jadi, politik itu
adalah metode yang dipilih dalam rangka mencapai tujuan negara, sedangkan
demokrasi adalah metode yang dipilih untuk memperoleh kekuasaan politik. Hukum
berada di tengah segaligus di luar. Ia menjadi semacam tugu dan pagar yang
dengannya politik dan demokrasi tidak saling “berebut lahan” meskipun berada

dalam wilayah yang sama. Tugu adalah penanda arah, sedangkan pagar adalah batasbatas yang dengannya seluruh konsep menjadi terkurung.
Bagaimana kemudian demokrasi dimaknai sebagai sebuah bentuk perolehan
kedaulatan dari rakyat, yang meminjam istilah Abraham Lincoln sebagai bentuk
pemerintahan yang berada dalam koridor: dari, oleh, dan untuk rakyat. Penulis
mengistilahkannya “segitiga yang manunggal”. Frasa “dari rakyat” memberikan
pengertian bahwa kedaulatan yang bernama demokrasi itu legitimasinya dari rakyat.
Ia adalah pinjaman saja dari kedaulatan yang ada pada rakyat. Frasa “oleh rakyat”
mengindikasikan bahwa rakyat memiliki peran aktif dalam menjalankan fungsi
demokrasi. Rakyat-lah pelaku demokrasi itu. Frasa “untuk rakyat” memberikan
kesadaran bahwa seluruh tujuan dari demokrasi adalah semata-mata untuk rakyat.
Lain tidak.
Lalu, bagaimana demokrasi kemudian dijalankan? Ini pertanyaan ringkas yang
memerlukan uraian beberapa jilid buku. Pertanyaan ini kemudian dapat dilanjutkan
dengan: “bagaimana mekanisme rekrutmen untuk mengisi para pekerja demokrasi
yang sekaligus juga pekerja politik (praktis)? Jika asumsi dasar yang dibangun bahwa
secara yuridis ketatanegaraan semua lembaga yang menjalankan fungsi negara kita
sebut lembaga negara, maka sudah selayaknya lembaga—kalau boleh disebut
begitu—yang menjalankan demokrasi adalah juga lembaga negara. Ia tidak boleh
hanya menjadi sekadar panitia pelaksana (event organizer) dari sebuah hajat besar
demokrasi yang dengannya akan dipilih orang-orang yang akan mengisi lembaga-


2

Thommas Hobbes, The Elements of Law Natural and Politic, (Cambridge, UK: Cambridge University
Press, 1982), hlm. 3.

2

lembaga negara. Pendeknya, lembaga ini adalah representasi negara itu sendiri,
bukan eksekutif, apalagi sekadar pemerintah dalam artian bestuur.
Jadi, harus dibedakan kemudian tentang “negara” dan “pemerintah”. Mudahnya
begini, lembaga yang menjalankan proses rekrutmen politik mestinya adalah sebuah
lembaga negara, bukan merupakan salah satu institusi pemerintah (eksekutif). Ia
adalah lembaga terpenting karena dari situ diambil anggota-anggota yang akan
mengisi lembaga-lembaga negara seperti Lembaga Perwakilan Rakyat (yang kita
sebut DPR), Lembaga Kepresidenan, Lembaga Perwakilan Daerah. Percaya atau tidak,
kalau logika berpikir kita ditarik lagi sampai batas yang tak berbatas, maka kita akan
sampai pada hipotesa bahwa pada akhirnya seluruh lembaga negara yang telah ada
dan—kelak—akan diadakan, ternyata ditentukan oleh “Lembaga Rekrutmen Politik”
tersebut. Karena hajat besar yang kita pilih sebagai metode untuk memilih3 dan

merekrut pekerja-pekerja politik itu adalah sebuah “proses pemilihan”—kemudian
kita menyebutnya Pemilihan Umum—maka tentu harus ada persiapan
penyelenggaraan hajat besar tersebut.
Kalau John Locke yang berkebangsaan Inggris mengajukan teori tentang
pemisahan kekuasaan, kemudian dikembangkan oleh Montesquieu, pria Perancis,
kedua mereka itu hidup di alam monarki yang di tengah-tengah kebudayaan
politiknya berkembang adagium “The King can do no wrong”. Raja dan kaisar itu
kuasanya mutlak, maka harus dibatasi dan dibagi. Secara klasik, pembagian tersebut
kita pilah menjadi 3 (tiga) macam kekuasaan, yaitu: kekuasaan membentuk undangundang
(legislatif), kekuasaan menjalankan undang-undang (eksekutif), dan
kekuasaan mengadili (judicial). Nah, kalau memang begini sususan kekuasaan negara,
maka dimana letak kekuasaan “Lembaga Rekrutmen Politik” tersebut? Untuk
mengetahui letak sesuatu, kita harus mengetahui konstruksinya, memahami
anatominya, mendalami desainnya. Makalah ini berangkat dari pertanyaan itu.
B. Pembahasan
1. Berangkat dari asumsi tentang negara
Literatur-literatur tentang hukum, politik, ekonomi, dan sosial, pendeknya
seluruh ilmu yang kemudian kita kategorikan sebagai ilmu sosial4, dibangun diatas
filosofi bahwa negara itu ada. Kalau negara itu tidak diasumsikan sebagai “ada”, maka
runtuhlah seluruh bangunan lainnya yang disandarkan pada negara itu. Dengan

demikian, konsep politik akan hancur, hukum akan vakum, pemerintah tinggal lagi
entah. Pendeknya, seluruhnya tidak ada. Kemudian, yang ada hanya sekelompok
manusia saja: tanpa negara, tak perlu politik, sedang hukum adalah kebiasaan
perilaku mereka yang sama-sama mereka pegang teguh.
Jadi, negara itu harus ada dengan segala persyaratan yuridisnya. Penulis
bermaksud menyampaikan disini bahwa persyaratan yuridis suatu negara tergambar
dari falsafah hidup negara tersebut. Indonesia, memiliki nilai tersebut yang kita sebut
dengan Pancasila. Lebih mudah, kita cermati Sila Keempat Pancasila, “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Inilah yang disebut Demokrasi Pancasila.
3

4

Disebut memilih, karena memang ada beberapa pilihan yang harus ditentukan rakyat pada
beberapa orang yang “menawarkan dirinya” untuk mengisi lembaga-lembaga negara tersebut, yaitu
DPR, DPRD, DPD, Presiden, Kepala Daerah.
Dikotomi tentang ilmu sosial dan ilmu alam berangkat dari objek dan metode yang dipakai untuk
memverifikasi ilmu tersebut. Kebenaran ilmu pasti dianggap mutlak, sedangkan ilmu sosial
kebenarannya nisbi.


3

Soekarno menjelaskan bahwa dasar ketiga berdirinya negara Indonesia yang
kemudian menjadi Sila Keempat dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar
mufakat, perwakilan dan permusyawaratan. 5 Kerakyatan adalah sebuah konsep
tentang kepemimpinan. Perlu dipelajari lagi secara kebahasaan tentang darimana
istilah “rakyat” itu berasal. Dari mana kata itu diambil, dan apa makna aslinya. Penulis
beranggapan bahwa kata “rakyat” berasal dari peng-Indonesia-an kata dalam Bahasa
Arab, “ro’iyyat” yang berarti kepemimpinan. Rakyat yang kita pahami sebagai
“pelengkap penderita” dalam kehidupan bernegara dipertegas dengan frasa-frasa
yang tidak menguntungkan bagi rakyat itu sendiri.
Istilah “Pemimpin yang Merakyat”, misalnya, dari segi kebahasaan dan logika
semantik menjadi terdengar lucu. Seperti ada dikotomi seperti ungkapan “Pendekar
turun gunung”. Seolah, pemimpin itu berada jauh terpisah dari rakyatnya. Bahkan,
sepertinya “pemimpin” dan “rakyat” itu adalah entitas yang berbeda sama sekali.
Pemimpin yang merakyat seolah adalah pemimpin yang mulia, padahal rakyat-lah
pemimpin yang sebenarnya, hanya saja kepemimpinannya (baca: kedaulatan)
“dipinjamkan” kepada yang kita sebut “pemimpin” itu. Lebih mudahnya, gunakan saja
istilah yang kita sering pakai untuk menjelaskan konsep kepemimpinan macam ini,

yaitu pemimpin yang dimaksud adalah pemerintah dalam kapasitasnya sebagai
representasi negara.
Relasi antara pemimpin dan rakyat, dengan demikian mencerminkan hubungan
timbal balik dan saling ketergantungan linier yang berlangsung antara negara dan
rakyatnya. Negara disini adalah entitasnya sebagai wadah pemerintahan, sementara
rakyat diartikan sebagai warga yang hidup dalam negara itu sendiri. Hubungan ini
berjalan dengan berbagai macam variasi:6 (1) linier—produktif—harmonis, dan (2)
paradoksal—kontraproduktif—konflik. Penyebutan yang pertama dimaksudkan
sebagai sebuah hubungan ideal dimana hubungan antara negara dan rakyat berjalan
“lurus”. Negara mengakomodir kemauan rakyat, rakyat berpartisipasi aktif, sehingga
terjadi relasi harmoni antara rakyat dengan negara. Dalam tatanan ini tidak terjadi
dominasi negara terhadap rakyat. Variasi yang kedua dipakai penulis untuk
mengilustrasikan bahwa terkadang relasi antara negara dan rakyat berjalan saling
berlawanan, tidak produktif, bahkan akan menimbulkan konflik. Pada tatanan ini,
negara secara sosiologis cenderung lebih dominan daripada rakyat, sehingga rakyat
dipandang hanya sebagai objek, bukan subjek dalam pemerintahan. Harmonis itu
bukan kata dalam literatur hukum, ia hanyalah pinjaman saja dari kosakata seni.
Dalam musik, ia disebut harmoni, artinya aransemennya pas dan enak ditelinga. Di
dalam lukisan, ia adalah harmoni garis dan warna yang dengannya lukisan menjelma
menjadi keindahan. Di dalam tarian, harmoni adalah keselarasan gerak dan gemulai

yang sedap dipandang.
Secara klasik, kalau kita flash back lagi tentang teori terjadinya sebuah negara,
maka teori JJ. Rousseau tentang “teori kontrak sosial” barangkali adalah teori yang
paling dapat diterima oleh logika manusia modern. Bahwa negara terbentuk dari
adanya perjanjian sosial (du Contract Social) diantara warga yang mendiami suatu
wilayah tertentu. Kemudian, perjanjian/kontrak tersebut menjadi suatu sistem yang
ajeg dan dipercaya serta diamalkan sampai sekarang. Perjanjian tersebut dapat saja
5

6

Sudaryanto, Filsafat Politik Pancasila: Refleksi Atas Teks Perumusan Pancasila, (Yogyakarta: Kepel
Press, 2007), hlm. 132
Bentuk relasi yang dimaksud disini digunakan penulis untuk mengilustrasikan relasi yang dapat
dipilih oleh suatu negara ketika menjalankan negaranya. Negara yang demokratis semestinya
menempatkan rakyat sejajar dengan negara, karena rekyat adalah representasi negara itu sendiri.
Tanpa rakyat, negara tidak akan pernah ada.

4


berisi tentang tata cara kehidupan yang mereka anut, bagaimana hukum ditegakkan
untuk menjaga kedamaian, dan bagaimana sistem politik dijalankan untuk memilih
pemimpin diantara mereka.
2. Imaji tentang demokrasi
Para pakar mendikotomi demokrasi menjadi 2, pertama, bentuknya yang
prosedural, dan kedua, dalam formula substansi. Demokrasi prosedural lebih
mengutamakan pada bentuk dan prosedur yang disepakati secara hukum dan politis,
sedangkan jenis yang lain lebih berpegang pada substansi, pada isi. Demokrasi
prosedural mencukupkan diri pada perolehan suara terbanyak, asal prosedurnya
ditaati. Inilah mekanisme voting dalam skala besar, tentang rakyat yang memilih
pemimpinnya.
Inilah demokrasi yang dipahami oleh literatur modern. Bahwa demokratis
adalah siapa saja yang dapat memperoleh voting terbanyak dari rakyat. Bahwa
demokrasi itu hampir sama derajatnya dengan negara itu sendiri. Kalau ada kredo
“NKRI harga mati”, maka demokrasi itu—meminjam istilah kitab suci—sebagai “laa
roiba fiih”. Tidak ada keraguan di dalamnya. Kebenaran demokrasi dipandanng
sebagai kebenaran yang mutlak dan tidak terbantahkan. Sekali lagi, seperti
dikemukakan di awal, metode demokrasi macam ini yang kita pilih. Padahal,
demokrasi kita bukan demokrasi “suara terbanyak”, tapi demokrasi yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Jelas disini bahwa demokrasi kita adalah demokrasi perwakilan. Demokrasi
Pancasila dibangun diatas imaji bahwa kepemimpinan kita adalah bentuk kerakyatan.
Rakyat kemudian mewakilkan kewenangannya kepada wakil rakyat. Pergaulan
negara modern menyaratkan adanya demokrasi ini. Indonesia dipuji sebagai negara
yang demokratis. Tentu saja yang dimaksud disini bukanlah demokrasi substantif.
Penulis tidak begitu risau dengan dikotomi semacam itu. John Locke jauh-iauh
hari telah memisahkan kewenangan negara. Ketika membahas tentang negara, Locke
memberikan gagasan sebagai berikut:
a. Negara bertujuan menjamin hak-hak asasi warga negara;
b. Penyelenggaraan negara berdasar atas hukum;
c. Adanya pemisahan kekuasaan negara demi kepentingan umum;
d. Supremasi dari kekuasaan pembentuk undang-undang.7
Sub bab ini berjudul demikian, karena demokrasi yang ada di masyarakat—dan
memang itu yang terjadi—adalah sekadar imaji tentang demokrasi. Mungkin ini yang
dinamakan demokrasi prosedural. Demokrasi dipandang cukup dalam hal prosesinya
saja. Apabila legal prosedurnya, maka cukuplah demokrasi itu. Demokrasi semacam
itu adalah demokrasi yang pragmatis, dalam artian demokrasi adalah perolehan
suara terbanyak. Inilah yang penulis sebut sebagai demokrasi voting. Kerakyatan
yang dimaknai sebagai kepemimpinan yang dijalankan dengan hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan tidak dapat dijalankan dengan demokrasi
model seperti itu. Inilah demokrasi prosedural.

7

Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah, (Malang: Setara Press, 2012), hlm.

5

Demokrasi sebagai harga mati dalam pola perekrutan pemimpin negara
memang tidak dapat dihindari. Negara yang dipandang tidak demokratis akan dicibir
sebagai negara yang tidak beradab. Proses pencarian pemimpin yang transformatif,
yang keluar dari mainstream pola kepemimpinan yang ada. Model pemimpin yang
terpilih dengan demokrasi yang ada semacam ini akan melahirkan pemimpin
traksaksional. Pemimpin yang terpilih dengan cara “membeli suara” di segala
tingkatan adalah ciri khas demokrasi model ini. Jika ini yang terjadi, maka demokrasi
hanya akan menjadi imaji. Dan memang, imaji itu bisa saja lebih indah dari dunia
nyata, imaji itu sekadar utopia.
Rumusan Sila keempat Pancasila diatas jelas sekali menggambarkan tentang
konsep demokrasi kita, bahwa Indonesia menganut demokrasi perwakilan. Hal ini
disadari, namun ada satu hal yang sering terlupakan bahwa keterwakilan rakyat
harus dipimpin dalam suasana kebijaksanaan dan mengedepankan musyawarah.
Makna kerakyatan tidak boleh direduksi sedemikian rupa menjadi hanya sekadar
kepentingan pribadi atau golongan (baca: partai) tertentu saja. Mereka yang
“mewakili rakyat” harus mempunyai atmosfer jiwa bijaksana dan hikmat.
Bila hikmat/kebijaksanaan tidak dibangun dalam imaji demokrasi kita, maka
demokrasi yang kita bangun adalah demokrasi model barat yang belum sesuai
dengan kultur bangsa ini. Demokrasi macam ini akanmelahirkan sebuah bureaucratic
polity (pemerintahan oleh birokrat). Penyelenggaraan negara dengan model seperti
ini sebenarnya sudah melenceng dari frame pemerintahan yang demokratis.
Birokrasi—yang di awal makalah ini penulis sebut dengan pekerja politik—mestinya
hanya sekadar pelaksana dari kebijakan politik, bukan pemegang kekuasaan politik
itu sendiri.8 Bureaucratic polity ini pada akhirnya akan berusaha melanggengkan
kekuasaan menggunakan instrumen birokratis. Dari sini mulai ada titik terang
tentang alasan harus dipisahkannya Lembaga Penyelenggara Pemilu dari lingkaran
bureaucratic polity ini.
Kalau sejarah tata negara klasik menggambarkan tentang pemerintahan
aristokrat (priyayi berdasarkan darah), maka pemerintahan birokrat akan
memunculkan genus baru, yaitu priyayi yang berasal dari partai politik. Dan itu sudah
kita saksikan sekarang, yang media menyebutnya dengan bahasa yang agak berbau
sarkasme, “Dinasti Politik”. Ternyata ada dinasti dalam demokrasi, ini adalah anomali.
Mungkin dahulu Platodan Aristoteles tidak berpikir sampai sejauh itu, atau mungkin
ini yang Plato sebut dengan Mobokrasi atau Okhlokrasi. 9
Bahaya sekali apabila demokrasi kemudian disimpangi menjadi mobokrasi atau
bahkan okhlokrasi. Pada dimensi ini, segala kepentingan (buruk) dapat membonceng
dengan dalih demokrasi. Fatal akibatnya apabila penyelenggaraan demokrasi,
termasuk metode rekruitmennya (baca: Pemilu) melibatkan Lembaga Penyelenggara
Pemilu yang tidak independen dari segi struktur kelembagaan, keuangan, bahkan
sampai segi teknisnya berupa keuangan. Alih-alih menyelenggarakan prosesi
rekuitmen politik secara sakral dan jurdil, ia malah menjadi “kendaraan partai” untuk
melanggengkan kekuasaan melalui demokrasi yang prosedural itu. Dengan demikian,
partai akan menjadi salah satu oknum dalam menjerumuskan masyarakat ke dalam
imaji tentang demokrasi yang tidak presisi.
8

9

Budi Setiyono, Birokrasi dalam Perspektif Politik & Administrasi, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2012),
hlm. 159
Plato membagi bentuk pemerintahan menjadi lima macam, yaitu: Aristokrasi, Timokrasi, Oligarkhi,
dan Demokrasi. Meskipun demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, namun ia dapat
bergeser menjadi mobokrasi (pemerintahan oleh orang bodoh), atau bahkan menjadi Okhlokrasi
(pemerintahan oleh orang biadab)

6

3. Partisipasi politik masyarakat
Sub judul diatas berusaha menggambarkan bagaimana proses penyuaraan
pendapat rakyat dan pentingnya jaminan pelaksanaannya dalam negara demokratis.
Ciri sebuah negara demokrasi adalah:
a. Adanya sistem pemilihan umum yang Jurdil untuk memilih para wakil rakyat
(parlemen) dan kepala pemerintahan (presiden);
b. Kebebasan Pers sebagai media kontrol kekuasaan kebebasan untuk
memperoleh informasi dan pengetahuan;
c. Tersedianya sistem asosiasi yang bersifat otonom (Parpol, NGO, Ornop);
d. Hak pilih bagi semua warga negara yang telah dewasa dan hak untuk duduk
dalam jabatan-jabatan publik
Untuk menjamin terlaksananya prinsip diatas, tentu saja sistem Pemilu yang
dibangun haruslah dengan terlebih dahulu memberikan pendidikan politik bagi
rakyat. Pengabaian terhadap pendidikan politik rakyat hanya akan mengakibatkan
partisipasi masyarakat hanya sebatas pada proses pemungutan suara, lain tidak.
Lebih lanjut, hal ini akan mengakibatkan kualitas pemerintahan yang buruk karena
rakyat (baca: pemilih) tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang wakil rakyat
yang akan mereka pilih untuk mewakili kepentingan mereka. Fenomena tentang
ketidaktahuan pemilih terhadap siapa yang mereka pilih, bagaimana kompetensi
mereka, rekam jejaknya menggejala di setiap Pemilu. Hal ini menjadikan masyarakat
pemilih selalu saja menjadi swing votters – floating mass yang merupakan “sasaran
empuk” bagi partai, walaupun ada saja pemilih yang sudah cerdas, yang memilih
dengan ilmu, berdasarkan ideologi.
Proses edukasi politik ini mestinya menjadi tugas partai sebagai pihak yang
bersentuhan langsung dengan rakyat. Namun, sebagaimana kita ketahui, partai hanya
menjadi semacam “kendaraan” bagi mereka yang akan mengisi jabatan-jabatan
politik, baik eksekutif, maupun legislatif—atau bahkan jabatan dalam yudisial.
Kaderisasi partai yang mestinya dibangun dan fungsi partai sebagai “rumah pertama”
rakyat untuk menyuarakan aspirasinya tidak terbangun. 10 Tugas memberikan
edukasi politik juga menjadi tugas Lembaga Penyelenggara Pemilu, dan ini sudah
dijalankan. Penulis tidak mempunyai kompetensi untuk menilai bahwa tugas tersebut
sudah terselenggara dengan baik atau belum.
Bagaimana desain Lembaga Penyelenggara Pemilu yang ideal harus
mengakomodir partisipasi masyarakat seperti ini. Memang, model demokrasi yang
dikembangkan di negeri ini adalah model demokrasi terbuka yang ditutup kembali.
Dibuka lebar saat Pemilu, lalu ditutup kembali setelah seluruh proses rekrutmen
untuk mengisi jabatan-jabatan politik telah terisi. Mekanisme class action, judicial
review memang dikembangkan, namun seringkali menemui jalan buntu. Sebenarnya
itu tidak perlu terjadi bila mekanisme aspirasi berjalan dengan semestinya.
Mekanisme kontrol masyarakat kepada presiden sudah diwakili oleh wakil mereka di
DPR atau DPRD, sedangkan mekanisme kontrol kepada anggota legislatif yang
melakukan penyimpangan moral—tidak menepati janji politiknya—tidak disediakan
oleh hukum. Rakyat tidak dapat “menarik mandat” dengan cara apapun kecuali
menunggu Pemilu yang akan datang—dengan tidak lagi memilihnya.
10

Menurut penulis, inilah yang menyebabkan tingginya angka golput. Angka Golput pada Pemilu 1999
hanya 10,21%, pada Pileg 2004 naik menjadi 23,34 persen, pada Pileg 2009 meningkat menjadi
29,01 persen, dan pada Pileg 2014, berdasarkan hitung cepat LSI, angka Golput sekitar 34 persen,
jauh mengungguli perolehan suara pemenang Pileg, PDI-P (19,67 persen).

7

Demokrasi perwakilan (demokrasi yang diwakilkan) tanpa menyediakan
instrumen pertanggungjawaban anggota legislatif kepada rakyat akan menimbulkan
distorsi mandat dan merupakan “petaka” bagi demokrasi. Dengan kata lain,
demokrasi tidaklah cukup diartikan dengan melibatkan rakyat dalam proses
rekruitmen politik untuk memilih anggota legislatif. Lebih dari itu, demokrasi
perwakilan juga harus menyediakan perangkat/instrumen pertanggungjawaban
wakil rakyat kepada rakyat yang telah memberinya mandat. Rakyat juga harus diberi
kesempatan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan strategis: melalui mekanisme
hearing, jaring asmara (penjaringan aspirasi masyarakat dan sosialisasi).
4. Kondisi eksisting penyelenggara pemilu
Pemilu di Indonesia diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU
yang pertama (1999-2001) dibentuk berdasarkan Keppres No 16 Tahun 1999,
beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. KPU
kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11
orang, dari unsur akademis dan LSM. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan
Keppres No 101/P/2007 yang berisikan tujuh orang anggota yang berasal dari
anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat.
Kelembagaan KPU semula belum diatur secara komprehensif, tetapi
dimasukkan ke dalam undang-undang yang mengatur tentang Pemilu dan
Pemerintahan Daerah.11 Sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu, pengaturan tentang Lembaga Penyelenggara Pemilu diatur
secara komprehensif di dalam satu undang-undang. Kesinambungan tugas KPU dan
netralitasnya diatur dalam Pasal 3 undang-undang ini.
Kelembagaan KPU, seiring dengan ide otonomi daerah yang di dalamnya
dimaksud juga dengan devolusi politik, dengan demikian mengharuskan keberadaan
KPU Daerah (KPUD) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. KPUD dan KPU
mempunyai sifat hierarkis dan tetap. Keanggotaan di KPU dimulai dari tahap
rekruitmen yang diawali dengan pembentukan Tim Seleksi calon Anggota KPU yang
dibentuk oleh presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU 22 Tahun 2007. Tim
seleksi ini bertugas mambantu presiden untuk menetapkan anggota KPU yang akan
diajukan kepada DPR. Anggota KPU dilantik oleh Presiden, Anggota KPU Provinsi
dilantik oleh KPU, sedangkan Anggota KPUD dilantik oleh KPU Provinsi. Dalam format
seperti ini, maka KPU merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan eksekutif.
Bahkan kedudukan keuangan anggota KPU diatur dalam Perpres.
Sebagaimana uraian pada sub bab awal dari makalah ini bahwa tidak ada ruang
yang terlepas dari politik, termasuk dalam hal penentuan tim seleksi (Timsel)
Anggota KPU ini. Meskipun dipersyaratkan bahwa Anggota Timsel bebas dari
kepentingan politik (praktis), namun pada prinsipnya justru potensi ketidaknetralan
Timsel dan Anggota KPU yang akan terbentuk dimulai dari sini. Apalagi, Anggota KPU
dipilih dalam forum DPR yang sarat kepentingan politis, meskipun DPR yang
dimaksudkan disini adalah representasi dari rakyat. Namun demikian, tidak dapat
dikatakan begitu saja bahwa Anggota KPU pasti sarat dengan kepentingan politik,
karena memang begitu mekanisme yang disepakati dalam perekruitannya. Anggota
KPU yang ditetapkan oleh presiden adalah sebuah produk hukum.
Dalam uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa hukum dapat digunakan
sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang telah
11

Pengaturan tentang kelembagaan KPU semula terdapat pada dalam UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; UU 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan
Wapres; dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

8

ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalahhukum. Oleh
karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and executive orders are
indicators of policy. Law also sets the framework for public policy”12. Disinilah yang
penulis maksudkan dengan kelindan antara hukum dan politik. Tidak bermaksud
alergi terhadap politik, namun bila proses seleksi dan pemilihan Anggota KPU
dirancang dengan cara demikian, maka netralitas dan kooptasi politik sulit dihindari.
Dalam kenyataannya di lapangan, seringkali Anggota KPU juga dihadapkan pada
dilema netralitas ini. Anggota KPU juga tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari
pengaruh partai politik, karena memang mereka akan selalu bersentuhan pada area
itu. Banyak terjadi Anggota KPU yang masih aktif, atau mantan Anggota KPU justru
menjadi fungsionaris partai tertentu. Tentu saja itu adalah hak setiap orang, namun
hal ini menandakan bahwa ternyata ada garis singgung antara Anggota KPU dan
Partai Politik.
Ketergantungan KPU kepada pemerintah juga sangat tinggi. Ada kasus di suatu
daerah, gedung KPUD dapat begitu saja dipindah oleh kepala daerah.
Penyelenggaraan Pemilu juga dapat terhambat karena faktor keuangan yang belum
disetujui, walaupun ketentuan Pasal 115 UU No. 22 Tahun 2007 secara logis yuridis
meniadakan hal itu.
5. Belajar dari beberapa negara
Dari uraian diatas, ternyata ada masalah dalam kelembagaan penyelenggara
Pemilu. Ada hal-hal yang harus diselesaikan secara kelembagaan. Sulit memang
menemukan formula dan desain yang ideal, namun hal itu dapat dimulai dengan
mengandaikan bahwa Lembaga Penyelenggara Pemilu benar-benar terlepas dari
lembaga eksekutif, atau lebih sempit lagi, terlepas dari birokrasi. Jika tidak, KPU
berpotensi dijadikan kendaraan untuk kepentingan politis tertentu.
Di beberapa kasus, bahkan lembaga penyelenggara pemilu justru berpolitik
dengan kewenangan yang secara atributif melekat padanya. Bahkan ada beberapa
kasus lagi yang melibatkan Anggota KPU pada persoalan pidana yang menambah
kecurigaan masyarakat.
Harus segera digagas suatu lembaga penyelenggara yang independen, atau
paling tidak, memperuat independensi yang sudah ada. Dalam teori politik dan
hukum, inilah yang dinamakan dengan the auxiliary state agency. Teori ini
mengemukakan bahwa dalam masyarakat moderen, sistem pembagian kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagaimana digagas John Locke sudah tidak dapat
mencakup keperluan hidup bernegara.13 Diperlukan lembaga-lembaga yang benarbenar dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu, termasuk penyelenggaraan
Pemilu. Terlebih bagi Indonesia yang sedang berada pada proses transisi. Bukan saja
revolusi, barangkali diperlukan semacam super-revolusi untuk Indonesia yang
bergerak begitu cepat dalam transisi politik dan hukumnya.
Sebenarnya, KPU sudah didesain sebagai lembaga eksekutif yang bersifat
independen. KPU merupakan lembaga khusus yang ditentukan bersifat independen.
Adapun sifat independen yang dimaksudkan disini berkaitan dengan yang seyogianya
(dalam tataran das sollen), bukan kenyataan yang kita lihat sekarang, yaitu seringkali
terjadi tarik-menarik “kepentingan” antara pemerintah dengan KPU. Tarik-menarik
ini seringkali terjadi antara KPUD dengan kepala daerah.

12
13

Jay A. Sigler, et. al., The Legal Sources of Public, (Lexington, Massachusetts, Toronto, 1977), hlm. 4.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan IV, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 27.

9

Lembaga semacam KPU ini diidentifikasi oleh Jimly memiliki fungsi-fungsi yang
bersifat campur sari, yaitu semi-legislatif dan regulatif, semi-administratif, bahkan
semi-yudikatif.14 Paling tidak, standarinternasional pemilu demokratis menegaskan
perlu adanya jaminan hukum, bahwa lembaga tersebut bisa bekerja independen.
Independensi penyelenggara pemilu merupakan persoalan penting, lembaga tersebut
harus bekerja dalam tiga standar berikut: (1) kerangka waktu yang cukup, (2)
memiliki sumberdaya yang mumpuni, dan (3) tersedia dana yang memadai.15
Standar ini tentu belum menjawab seberapa besar derajat independensi yang
dimiliki oleh sebuh lembaga penyelenggara pemilu. Ke-independen-an lembaga
penyelenggara pemilu dimulai dari proses rekrutmen panitia seleksi, anggota yang
duduk sebagai komisioner, sampai dengan kelembagaan dan keuangannya. Proses
seleksi yang penuh dengan “intervensi” dan “infiltrasi” kepentingan partai politik lah
yang mencederai independensi lembaga penyelenggara Pemilu.
Keanggotaan KPU yang ada sekarang ini berbeda dengan komposisinya ketika
pertama kali dibentuk. Di era 1999 – 2001, KPU beranggotakan 53 orang yang terdiri
dari unsur pemerintah dan partai politik. Komposisi ini dinilai tidak ideal, sehingga
KPU Kedua (2001 – 2007) hanya terdiri dari 11 orang yang terdiri dari akademisi dan
LSM. Menurut ini, komposisi KPU Kedua inilah yang ideal.
Seperti diuraikan di muka, permasalahan tentang kelembagaan KPU dimulai
dari proses rekruitmennya. Apabila mau belajar dari Thailand, panitia seleksi KPU
disana terdiri dari wakil partai dan 10 orang yang terdiri dari Ketua MK, Ketua
Pengadilan Tinggi TUN, dan 8 orang rektor perguruan tinggi yang memilih 5 orang
diantara mereka sendiri untuk diajukan ke senat. Jika senat setuju, maka MA akan
memilih 5 orang dinatara 8 orang tadi untuk diajukan kembali ke senat. Di Thailand,
seorang PNS tidak boleh menjadi Anggota KPU.16 KPU di Korea, misalnya, anggotanya
berjumlah 9 orang (3 orang dipilih presiden, 3 orang dipilih parlemen, 3 orang dipilih
oleh MA). Ketua MA otomatis menjadi Ketua KPU-nya.
Proses pemilihan Anggota KPU dimulai dari pemilihan Tim Seleksi yang
diajukan oleh presiden kepada DPR. Tim seleksi yang telah terbentuk kemudian
memilih 21 orang bakal calon anggota KPU untuk diserahkan kepada Presiden.
Kemudian Presiden menetapkan 21 orang Calon Anggota KPU tersebut kepada DPR
untuk diurutkan berdasarkan peringkat 7 besar. Calon yang termasuk peringkat 7
besar tersebut kemudian diserahkan kepada presiden untuk disahkan.17
Salah satu contoh lain adalah lembaga penyelenggara pemilu di Uruguay yang
dibentuk berdasarkan undang-undang pada tahun 1924. Anggota KPU Uruguay
terdiri dari sembilan orang: lima dianggap netral, karena mereka dipilih oleh suara
dua-pertiga oleh Majelis Umum senator dan deputi dari kedua majelis Parlemen;
empat lainnya adalah perwakilan dari partai politik, yang dipilih secara langsung di
Majelis oleh kedua belah pihak berdasarkan voting. KPU Uruguay adalah suatu badan
otonom dalam segala hal, kecuali di bidang anggaran yang harus dinegosiasikan
dengan pemerintah dan disetujui oleh Parlemen. KPU Uruguay bertanggung jawab
untuk semua aspek dari penyelenggaraan pemilu, termasuk sidang tuntutan dan

14

15

16
17

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), hlm. 190.
Didik Supriyanto, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, (Semarang: AUSAID-Perludem,
2007), hlm. 24
Ibid, hlm. 32
Lihat Pasal 13 s.d. Pasal 16 UU Nomor 22 Tahun 2007

10

keluhan. Beberapa negara yang serupa dengan KPU Uruguay antara lain Argentina,
Israel, Jepang, Selandia Baru, dan Turki.18
Bagian paling unik dari KPU di Uruguay adalah bahwa disana tidak ada lembaga
banding dalam memutus sengketa pemilu. KPU adalah lembaga yang memiliki
kewenangan mengadili secara final and binding. Para anggota KPU di Uruguay tidak
tunduk pada peraturan tentang PNS, namun tunduk pada undang-undang khusus
tentang KPU yang sudah ada dan belum pernah berubah sejak Tahun 1925. KPU
Uruguay merekrut dan menunjuk pejabat sendiri pada semua tingkatan melalui
eksaminasi publik yang kompetitif (competitive public examinations), tetapi masingmasing diwajibkan untuk menyerahkan bukti dukungan partai (sertifikat "confianza
partidaria"), dan janji yang dibuat secara proporsional dengan suara partai.19
6. Konstruksi baru lembaga penyelenggara Pemilu
Mengonstruksi suatu bangunan baru harus dimulai dengan terlebih dahulu
“membongkar” bangunan lamanya. Konstruksi yang secara yuridis harus sudah
mapan dan ajeg harus dibongkar sedemikian rupa untuk menyediakan tempat bagi
penyusunan konstruksi yang baru tersebut. Pandangan Rawls dikaitkan dengan
Derrida yang mengajukan pendekatan dekonstruksi, yaitu pendekatan filsafat yang
layak dikemukakan untuk menjawab permasalahan dalam makalah ini.
”.......It means that deconstruction is concerned with offering an account of what is
going on in a text—not by seeking out its meaning, or its component parts, or its
systematic implications—but rather by marking off its relations to other texts, its
contexts, its sub-texts. It means that deconstruction accounts for how a text’s explicit
formulations undermine its implicit or non-explicit aspects. It brings out what the text
excludes by showing what it includes. It highlights what remains indecidable and what
operates as an indecidable in the text itself”.20

Dekonstruksi menurut Derrida akan berkaitan dengan kegiatan mengajukan
penjelasan tentang apa yang terjadi di dalam teks tidak dengan mencari maknanya,
atau bagian-bagian komponennya, atau implikasi yang sistematis, melainkan dengan
menandai hubungannya dengan teks-teks lain, baik konteks maupun sub-teksnya.
Dekonstruksi merupakan formulasi teks eksplisit yang meruntuhkan aspek implisit
maupun non-eksplisit. Dekonstruksi, dengan demikian bermaksud menjangkau
sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh teks dan tak dapat diputuskan dalam teks
tersebut. Teks yang dimaksudkan disini adalah teks undang-undang yang mengatur
tentang penyelenggara pemilu.
Kecurigaan yang muncul tentang tidak independennya lembaga bernama KPU
dihasilkan oleh pola dan sistem yang dibangun oleh undang-undang. Oleh karena itu,
apabila kita tidak dapat menemukan jawabannya (untuk memperbaiki keadaan untuk
menuju kenyataan yang diharapkan) tentang idealnya kelembagaan KPU, maka kita
harus membongkarnya terlebih dahulu. Ini pekerjaan sulit, karena akan seperti
dokter bedah yang harus mengerti dengan presisi anatomi tubuh yang dibedahnya.
Paling tidak ada dua hal besar yang harus dibangun untuk mendesain ulang
lembaga penyelenggara Pemilu yang telah ada untuk menjaga independensinya.
Muaranya adalah kualitas demokrasi itu sendiri, yaitu demokrasi substantif. Jangan
sampai lembaga penyelenggara pemilu justru terjebak pada politik praktis, atau
paling tidak membawa kepentingan dari pihak-pihak yang yang terlibat rekruitmen
18

19
20

Rafael López-Pintor, Electoral Management Bodies as Institutions of Governance, (New York: the
UNDP Bureau for Development Policy, 2000), hlm. 22-23.
Ibid
Hugh J.Silverman, Derrida and Deconstruction, (New York: Routledge, 1989), hlm. 4.

11

politik. Lembaga ini menjadi semacam panitia acara saja, namun perlu dibangun dua
aspek, yaitu:
1. Aspek Struktural
Di sebagian negara, lembaga penyelenggara pemilu memang masih
merupakan cabang dari kekuasaan eksekutif (biasanya dalam naungan
departemen dalam negeri). Berkaitan dengan aspek struktural berkaitan
dengan pola rekruitmen anggota lembaga penyelenggara pemilu, apakah
berdasarkan unsur partai atau justru non-partai. Pembentukan
kesekretariatan lembaga juga diperlukan, untuk mengurus administrasi dari
anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut.
Susunan keanggotaa lembaga penyelenggara pemilu ini idealnya terdiri
dari unsur hakim agung dan akademisi yang netral, sehingga penyelenggara
pemilu model ini juga sekaligus memutus sengketa yang putusannya bersifat
final dan mengikat. Secara logika ini dapat diterima, karena keanggotaan
lembaga penyelenggara pemilu model ini jauh dari kepentingan politik praktis.
Berkaitan dengan aspek struktural ini, dimaksudkan pula mengenai
administrasi pemilu itu sendiri. Negara-negara yang menganut sistem hukum
Eropa Kontinental atau civil law, biasanya memiliki lembaga penyelenggara
pemilu yang sentralistik—atau paling tidak dibangun secara hierarkis antara
penyelenggara pemilu tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di
negara-negara Anglo-Saxon atau common law, sebaliknya, administrasi pemilu
telah terdesentralisasi.
Untuk kasus Indonesia, KPU dan KPUD tersusun secara hierarkis, sehingga
keputusan yang dibuat oleh KPU merupakan dasar hukum bagi KPUD dalam
menyelenggarakan tugasnya.
2. Aspek Fungsional
Dari aspek fungsional, lembaga penyelenggara pemilu tidak hanya bekerja
saat pemungutan suara saja, namun sekaligus juga merupakan lembaga yang
bertugas memberikan pendidikan politik bagi warga. Aspek fungsional juga
berkaitan dengan besaran dana yang diperlukan dalam setiap
penyelenggaraan pemilu.
Tugas-tugas seperti kepanitiaan dalam pengadaan barang dan jasa,
misalnya tidak perlu terlalu melibatkan anggota lembaga penyelenggara
pemilu, namun cukup sekretariat saja. Bahkan, fungsi untuk menjalankan
proses pemilihan, dapat saja dilakukan oleh pejabat yang bekerja di
pemerintahan (departemen dalam negeri) yang khusus ditunjuk dalam rangka
pemilu. Namun ini aspek fungsional dalam rangka penghematan anggaran
yang hanya dapat dilaksanakan di negara yang telah matang pandangannya
tentang demokrasi. Prasyaratnya adalah pemahaman masyarakat tentang
demokrasi dan pendidian politik yang cukup, sehingga kecurangan sangat
kecil kemungkinannya untuk terjadi.
Kedua aspek tersebut menentukan efektivitas lembaga penyelenggara pemilu
yang independen. Keduanya juga berkaitan dengan kontrol politik terhadap proses
pemilu. Kondisi ideal panitia penyelenggara pemilu berkaitan pula dengan keadaan
sosial negara tersebut. Independensi sebuah lembaga penyelenggara pemilu, di
negara tertentu, tidak harus dimaknai dengan pemisahannya dari cabang kekuasaan
eksekutif, namun lebih diartikan sebagai kejujuran dan netralitas dimana di dalamnya

12

dijamin bahwa salah satu pihak tidak akan mencurangi pihak yang lain. Di Swedia,
misalnya, lembaga penyelenggara pemilu berada di bawah kementerian dalam negeri.
Bagian terpenting dari sub ini adalah kesadaran bahwa independensi
penyelenggara pemilu juga berkaitan tidak hanya dengan mekanisme dan prosedur
hukum, tetapi juga kondisi sosial masyarakatnya. Masyarakat yang sudah sedemikian
terdidik dan siap dengan demokrasi, tidak memerlukan penyelenggara pemilu yang
begitu rumit mengurusi kemungkinan kecurangan. Hukum itu, kalau boleh dibilang,
berangkat dari asas kecurigaan, oleh karena instrumennya cenderung bersifat
preventif, mencegah. Kalau upaya preventif tidak tercapai, maka represif yang
digunakan, yaitu menindak pelakunya.
Penyelenggara pemilu pada dasarnya memikul tugas berat untuk menjamin
bahwa demokrasi yang sedang dibangun ini tidak terjebak pada demokrasi
prosedural, pada bagaimana memasak kue. Demokrasi yang sedang sama-sama kita
bangun ini mestinya merupakan kesadaran tentang bagaimana menghasilkan “kue”
yang enak. Kue itu bernama demokrasi yang substantif.
7. Penutup
Makalah ini dimulai dari pertanyaan tentang bagaimana idealnya lembaga
penyelenggara pemilu harus dibangun. Penyelenggaraan pemilu yang merupakan
hajat besar lima tahunan di negara ini selalu saja diwarnai oleh masalah. Masalah
administratif seperti data mata pilih, sampai masalah tingginya angka golput dan
kecurangan pemilu selalu saja terjadi.
Lembaga penyelenggara pemilu juga seringkali terintervensi oleh kepentingan
politik praktis, karena memang pemilu adalah instrumen untuk mengisi jabatanjabatan politik. Kesimpulan dari pembahasan makalah ini adalah:
a. Bahwa demokrasi yang hendak dibangun harus dimulai dari kesadaran tentang
bernegara, yaitu kepentingan negara berada diatas kepentingan pribadi dan
kepentingan golongan;
b. Relasi antara rakyat dan negara justru menunjukkan dikotomi yang tidak logis,
karena rakyat adalah negara itu sendiri;
c. Demokrasi yang senyatanya terjadi dan terlihat masih sekadar imaji, masih
berupa cita-cita tentang demokrasi substantif, yang terjadi adalah demokrasi
prosedural semata;
d. Partisipasi politik warga masih rendah, bahkan terjadi semacam apatisme
terhadap pemilu dan ketidakpercayaan pada orang-orang yang akan mengisi
jabatan-jabatan politik;
e. Seringkali Anggota KPU juga dihadapkan pada dilema netralitas ini. Anggota KPU
juga tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari pengaruh partai politik, karena
memang mereka akan selalu bersentuhan pada area itu;
f. Beberapa negara ternyata berbeda dalam hal struktur kelembagaan lembaga
penyelenggara pemilunya, termasuk pola rekruitmen. Kelembagaan
penyelenggara pemilu ditetapkan bersifat independen yang harus bekerja dalam
tiga standar berikut: (1) kerangka waktu yang cukup, (2) memiliki sumberdaya
yang mumpuni, dan (3) tersedia dana yang memadai;
g. Konstruksi baru kelembagaan penyelenggara pemilu adalah dengan
memperhatikan aspek struktural, yaitu penyelenggara pemilu dimasukkan ke
dalam cabang kekuasaan eksekutif atau dipisahkan. Aspek fungsional, yaitu
bahwa penyelenggara pemilu harus juga memberikan pendidikan politik bagi
warga masyarakat.

13

8. Daftar Pustaka
A. Garner, Bryan,
Thomson.

2004. Black’s Law Dictionary, Eight Edition, St. Paul: West a

Asshiddiqie, Jimly, 2011. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kedua,
Jakarta: Sinar Grafika.
Hakim, Lukman, 2012. Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah, Malang:
Setara Press.
Hobbes, Thommas, 1982. The Elements of Law Natural and Politic, Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
J.Silverman, Hugh, 1989. Derrida and Deconstruction, New York: Routledge
López-Pintor, Rafael, 2000. Electoral Management Bodies as Institutions of
Governance, New York: the UNDP Bureau for Development Policy.
Setiyono, Budi, 2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik & Administrasi, Bandung:
Penerbit Nuansa.
Sigler, Jay A. et. al., 1977. The Legal Sources of Public, Lexington, Massachusetts,
Toronto.
Sudaryanto, 2007. Filsafat Politik Pancasila: Refleksi Atas Teks Perumusan Pancasila,
Yogyakarta: Kepel Press.
Supriyanto, Didik, 2007. Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, Semarang:
AUSAID-Perludem.
Surbakti, Ramlan, 1999. Memahami Ilmu Politik, Cetakan IV, Jakarta: Grasindo.
9. Biografi Singkat
Fathoni, S.H., M.H. adalah Dosen di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Ia
juga menjadi peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia
(PKKPHAM). Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Lampung (2006).
Menyelesaikan Program Magister Hukum Ilmu di Universitas Diponegoro dengan
bantuan beasiswa Program BSU HET-HAKI Dikti 2010. Ia aktif mengikuti berbagai
kegiatan ilmiah diantaranya : Seminar Internasional ke-10 Dinamika Politik Lokal di
Kampung Percik, Salatiga (2009), Academic Writing Skills di Sekolah Pascasarjana
UGM (2009), 1st Internastional Conference: Legal, Business, and Governance di UBL
(2013), menjadi peserta pada pertemuan International Association of Sport Law
Congress XIX di Bali. Ia juga menjadi kontributor penulis pada buku “Peran Ideal DPD
RI: Suara dari Lampung” (2007), menjadi co-author Makalah berjudul: “Learning
Environmental Rights, Finding Green Future: The Road To Ecojustice” pada Journal of
Law, Policy, and Globalization (2014), co-author “Measuring Public Interest Principles
Upon Land Provision for Disaster Victims in Indonesia” (UGM, 2014). Mengikuti Kursus
Penelitian Sosio-Legal (Univeritas Brawijaya Malang – Epsitema Institute, 2014).
14

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2