Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No 6.

ARTIKEL

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

Village Financial Management After Implementation of Law No. 6/2014: Potential Problems and Solutions

Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis Peneliti dan Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara

Abstrak:

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa pengakuan dan ke- kuasaan baru kepada desa yang selama ini diabaikan dalam pembangunan. Di antara berbagai hal yang tercakup di dalamnya, dana desa merupakan isu yang paling hangat dibicarakan. Desa akan me- nerima uang dalam jumlah besar tanpa ada presedennya. Sementara sebagian kalangan meragukan kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu, sebagian lainnya meyakini bahwa desa telah siap. Sesungguhnya, dengan menengok kondisi riil pemerintah dan masyarakat desa saat ini, memang ada risiko bahwa pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel. Kompetensi kepala desa dan pendamping desa menjadi dua faktor kunci krusial dari sisi SDM yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Agar keuangan desa dapat terkelola dengan baik, dibutuhkan pemeriksaan atas kebijakan yang ada, pengawasan yang kuat, dan peningkatan kapasitas serta kesadaran aparatur desa.

Kata-kata kunci: UU Desa; Desa; Dana desa; Pengelolaan keuangan

Abstract:

The birth of Law No. 6 of 2004 on Village gives village recognition and power to village which until then has been neglected in development. Among many things covered in it, village fund is the most talked about issue. Village will receive money in big size without precedent. While some people hesitate the readiness of village to manage such a big fund, others believe that village is ready.

Actually, by visiting the real condition of village s government and society today, there are risks that village finance management cannot be done in transparent and accountable manner. The competency of village head and village facilitator are two crucial key factors from human resources perspective

which affect the success of village finance management. In order to manage village finance properly, policy checking, strong monitoring, and capacity and consciousness development are needed.

Keywords: Law on Village; Village; Village fund; financial management

PENDAHULUAN

diberi kewenangan untuk menyelenggarakan empat domain urusannya secara penuh,

Disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU

pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan Desa) pada 15 Januari 2014 merupakan se-

kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan buah tonggak bersejarah dalam sejarah kebi-

masyarakat desa.

jakan mengenai desa. UU tersebut merupa- kan balikan paradigmatis (paradigmatic

Sebagai satuan masyarakat dengan seja- turn) dari pendekatan atau cara pandang pe-

rah panjang yang sudah ada sebelum Repu- merintah terhadap desa sebagai satuan

blik ini berdiri, sudah seharusnyalah desa masyarakat terkecil, di mana desa kini dipan-

kini menikmati hak-hak yang sesungguhnya dang sebagai subjek pembangunan dengan

merupakan fitrahnya. Meskipun dibahas dan kewenangan yang luas. Melalui asas rekog-

disahkan pada masa pemerintahan Susilo nisi, hak asal-usul desa sebagai self governing

Bambang Yudhoyono, spirit yang terkandung community dan self local government diakui.

dalam UU Desa sesungguhnya berselaras Sementara melalui asas subsidiaritas, desa

pula dengan visi-misi pemerintahan Joko

16 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

Widodo-Jusuf Kalla, yang dalam Nawacita- tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet nya memuat ikhtiar membangun )ndonesia

Kerja. Melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-

Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri berwe- daerah dan Desa dalam kerangka Negara

nang mengurusi pembinaan pemerintahan Kesatuan.

desa dan melalui Direktorat Jenderal Pemba- (http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J

ngunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015). Misi

serta Direktorat Jenderal Pembangunan Ka- tersebut berusaha membalik desa yang

wasan Perdesaan, Kemendes PDTT berwe- selama ini menjadi alas kaki kekuasaan dan

nang mengurusi hal-hal lain di luar pemerin- obyek pembangunan yang pasif sebagai

tahan desa. Diharapkan, dengan pembagian penonton pembangunan menjadi entitas

kerja semacam ini, tidak muncul lagi yang menjadi lebih mandiri, berdaulat,

instrumen kebijakan dari kementerian yang demokratis, dan sejahtera.

menerobos lingkup wewenangnya, seperti misalnya Permendagri No. 114 Tahun 2014

Tetapi setelah UU Desa lahir, bukan tentang Pedoman Pembangunan Desa. Meski berarti perdebatan selesai. Banyak pakar,

demikian, ada juga yang berpendapat bahwa pengamat, dan praktisi yang mempersoalkan

format pembagian kerja semacam itu hakikat sesungguhnya dari UU Desa: apakah

sesungguhnya mengingkari prinsip pengelo- roh yang ada di dalamnya didorong oleh

laan desa dalam UU Desa yang bersifat siste- pilihan democratic driven (pokoknya proses

mik-integratif (Jaweng, 2015: 6). Sementara demokratisasi pembagian kue pembangunan

menurut Hasani (2015: 7), karena Kemenda- sudah didistribusikan hingga tingkat desa)

gri tetap memiliki kaki hingga ke desa, maka atau economic driven (berorientasi mencari

otonomi desa dibonsai dengan tetap menjadi- pengungkit pemberdayaan ekonomi yang

kannya unit pemerintahan paling rendah. berasal dari desa)? (Huseini, 2015: 7),

Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan apakah UU Desa mengadopsi paradigma

bahwa desa adalah kesatuan masyarakat desa membangun atau membangun desa

hukum yang otonom dalam NKRI. atau gabungan dari keduanya?, apakah UU

Desa dapat diartikan sebagai otonomi desa Namun, dari berbagai isu dan tema di dan dengan demikian memunculkan rezim

seputar UU Desa, tidak ada diskursus yang desentralisasi tingkat tiga yang lebih kom-

lebih hangat dari satu hal ini, yakni dana pleks? Muncul juga kekhawatiran pada tata-

Sejalan dengan pengakuan dan ran implementasi: sudahkah pemerintah

desa.

perhatian besar yang diberikan kepada desa, desa dan tingkatan pemerintah di atasnya

pendanaan yang diberikan kepadanya pun benar-benar siap melaksanakannya?

meningkat. Terkait dengan dana ini, dulu pada waktu RUU Desa masih dibahas ada

Sementara pada aras kelembagaan, per- wacana bahwa kelak setiap desa akan debatan diwujudkan melalui rebutan kewe-

mendapat dana Rp 1,4 miliar setiap tahun. nangan antara Kementerian Dalam Negeri

Isu ini tentu menarik sebagai janji politik (Kemendagri) dengan Kementerian Desa,

yang manis, sehingga tak heran bahwa kala Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans-

itu sejumlah fraksi di DPR berebut menjadi migrasi (Kemendes PDTT). Masing-masing

pimpinan panitia khusus (pansus) ketika merasa yang paling berhak mengurus desa

pembahasan RUU Desa dimulai Maret 2012 dengan mangajukan logika dan argumennya

(Kompas, 3 Juli 2015). Bahkan, setelah UU masing-masing. Akhirnya, setelah percekco-

Desa disahkan dan musim kampanye politik kan selama hampir enam bulan, polemik ter-

untuk pemilihan umum presiden 2014 sebut baru dapat diakhiri, atau demikianlah

dimulai, calon presiden berlomba-lomba kelihatannya, setelah Presiden Joko Widodo

menjanjikan akan memberikan miliaran menerbitkan Perpres No. 11 Tahun 2015

rupiah untuk setiap desa jika terpilih, seolah tentang Kemendagri dan Perpres No. 12

mengabaikan fakta siapapun yang terpilih Tahun 2015 tentang Kemendes PDTT sebagai

dana desa akan tetap turun karena itu pelengkap atas Perpres No. 165 Tahun 2014

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 17

ARTIKEL

merupakan amanat UU Desa. Ketertarikan (APBDes). Dana desa adalah salah satu jenis terhadap iming-iming dana desa juga dite-

dari kelompok pendapatan desa yang ngarai menyebabkan terjadinya lonjakan

sebagai transfer bersama usulan pemekaran desa. Kemendagri menca-

digolongkan

dengan alokasi dana desa (ADD), bagian dari tat, jumlah desa meningkat dari 72.944 pada

hasil pajak daerah kabupaten/kota dan awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015

retribusi daerah (PDRB), dan bantuan (http://www.koran-

APBD Provinsi dan sindo.com/read/964858/149/dana-desa-

keuangan

dari

Kabupaten/Kota. Selain itu, masih ada juga picu-tingginya-pemekaran-1424055604,

pos pendapatan asli desa (PAD) dan diakses 9 Juli 2014).

pendapatan lain-lain. Salah satu jenis pendapatan dari kelompok transfer yang

Kenyataannya, hal yang terjadi tidaklah besar, bahkan lebih besar dari dana desa, demikian. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU

Desa menyebutkan bahwa Besaran alokasi adalah ADD yang dalam APBN-P dialokasikan sebesar Rp 33,2 triliun. Berdasarkan data

anggaran yang peruntukannya langsung ke yang dikumpulkan IRE (2015) sebagaimana Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus)

dikutip Muhammad (2015: 6), misalnya, dari dan di luar dana Transfer Daerah (on

tahun 2015 ini top secara bertahap. Artinya, pemberian

Kabupaten

Sleman

mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per dana dalam hitungan miliar untuk tiap desa

desa, Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta baru akan diberlakukan di masa depan

per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp setelah melalui tahapan waktu tertentu. Pada

300 juta per desa. Sementara dari PDRB APBN Perubahan (APBN-P) 2015, total dana

tahun ini sebesar Rp 2,1 triliun sehingga total desa sebesar Rp 20,766 triliun atau 3,1

dana yang akan masuk ke desa tahun ini di persen dari jumlah APBN-P sekitar Rp 2.000

luar PAD dan pendapatan lain-lain sebesar triliun (naik dari APBN 2015 yang hanya

Rp 53,6 triliun (Kompas, 27 Februari 2015). mengalokasikan

disalurkan selama tiga tahap pada minggu Total pendapatan desa akan semakin kedua bulan April, Agustus, dan Oktober.

bertambah setiap tahunnya. Dari pos dana Rata-rata desa yang jumlahnya 74.093

desa, diperkirakan bahwa pada tahun 2016 mendapat Rp 280 juta. Baru pada tahun 2017

jumlahnya meningkat menjadi sekitar Rp 47 persentase

triliun dan tahun 2017 sekitar Rp 81 triliun. 1 dipenuhi. Dalam Pasal 30A ayat (1) PP No. 22

Adapun menurut data yang dimiliki Jaweng Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No.

(2015: 6), rencana pertumbuhan dana desa

60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang di masa depan berturut-turut sebesar Rp 44 Bersumber dari APBN, dinyatakan bahwa

triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6 pengalokasian dana desa untuk tahun

triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019). anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3

Sementara Farouk Muhammad mengkalkula- persen, pada tahun anggaran 2016 paling

si bahwa pada 2017 minimum per desa akan sedikit sebesar 6 persen, dan baru pada

memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau tahun 2017 dan seterusnya sebesar 10

lebih (Muhammad, 2015: 6). persen dari anggaran transfer ke daerah.

Meskipun dana desa yang diperoleh desa

pada tahun ini masih terbatas, isu tentang

1 Informasi disampaikan oleh Direktur Bina pengelolaannya tidak boleh dikesampingkan

Pemerintahan Desa Eko Prasetyanto pada diskusi karena sebesar apa pun dana publik yang

terbatas yang dilakukan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara di

diterima oleh sebuah entitas harus diperta- Jakarta, 26 Juni 2015. Perkiraan ini menjadi nggungjawabkan secara transparan dan

kenyataan karena dalam pidatonya saat Sidang akuntabel. Lagipula dana desa sebenarnya

Paripurna Pembukaan Masa Sidang 1 DPR, 14 hanyalah sebagian saja dari total pendapatan

Agustus 2015, Presiden menyampaikan RUU yang diterima desa untuk dikelola dalam

APBN Tahun Anggaran 2016 di mana pos dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa desa dialokasikan sebesar Rp 47 triliun (Kompas,

15 Agustus 2015).

18 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

Jumlah pendapatan yang diterima desa, keuangan desa secara benar. Kemendagri baik pada tahun ini dan terlebih di tahun-

juga akan memberikan pelatihan kepada ke- tahun mendatang, dengan demikian dapat

pala desa dan aparat desa untuk peningkatan dikatakan cukup besar. Hal ini menimbulkan

kapasitas dalam penyusunan anggaran dan kekhawatiran mengenai kesiapan desa dalam

pengelolaan anggaran. Satu desa minimal menggunakan dana tersebut secara bertang-

perwakilan sehingga gungjawab dan berkeadilan. Banyak kala-

mengirimkan tiga

seluruhnya ada 273.000 orang yang akan ngan yang skeptis dan meremehkan kemam-

ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, Menda- puan desa. Pengamat ekonomi Didik J. Rach-

gri juga telah meminta Badan Pemeriksa Keu- bini misalnya, mengatakan bahwa kebijakan

angan (BPK) selaku pihak yang akan mengau- dana desa bak memberi uang dari langit ke

dit dana desa secara langsung agar mengizin- kerumunan massa di mana masyarakat akan

kan penyederhanaan pelaporan keuangan saling berebut dan bertengkar untuk menda-

bagi desa sehingga dalam membuat laporan patkan uang itu. Birokrasi desa menurutnya

tidak perlu tebal-tebal, cukup satu lembar tak

(http://www.koran- (http://www.koran-

punya tradisi

akuntabilitas

saja

sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan- sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-

audit-anggaran-desa-1434331148, diakses dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-

10 Juli 2015). Di sisi lain, Kemendes PDTT 1423968895, diakses 9 Juli 2015).

menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pendampingan audit

Karena khawatir bahwa dana desa dapat dan pelaporan serta pelatihan administrasi menjadi jebakan yang menjerat kepala desa

kepada aparat desa agar dana desa terkelola untuk korupsi, baik secara sengaja maupun

dan transparan tidak sengaja akibat ketidaktahuan akan

secara

akuntabel

(http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838- mekanisme pengelolaan dan pertanggungja-

penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa, waban anggaran, maka berbagai pihak pun

diakses 9 Juli 2015), selain juga menyiapkan menyerukan solusi, misalnya dengan usulan

perekrutan untuk pendamping desa yang agar pada masa transisi (tahun pertama dan

dapat membantu pemerintah desa mengelola kedua) pemerintah dan penegak hukum

keuangannya.

jangan terlalu kaku dalam menerapkan pengawasan dan penegakan hukum, harus

Namun, ada juga kalangan yang meyakini ada langkah persuasif jika pelanggaran

bahwa desa telah siap menerima dan menge- sifatnya administratif (Muhammad, 2015: 6).

lola dana desa. Menurut Padjung, pengelola- Ada juga usulan untuk mempertanggungja-

an uang dalam jumlah yang relatif besar wabkan dana desa cukup dengan bukti yang

sesungguhnya bukan barang yang sama menunjukkan dana telah masuk ke rekening

sekali baru bagi desa. Kelompok masyarakat, kas desa (RKD) dengan memperlakukan dana

melalui Badan Keswadayaan Masyarakat dan itu sebagai anggaran dalam kelompok mata

Pengelola Kegiatan sudah biasa anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial.

Unit

mengelola bantuan langsung masyarakat. Selanjutnya, urusan selesai begitu dana

Selama ini juga telah ada ADD yang diterima desa (Padjung, 2015: 7).

disalurkan langsung ke kas desa. Pengalaman melalui Program Nasional Pemberdayaan

Kementerian yang mengurusi desa juga Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang melakukan berbagai upaya untuk mencegah

telah menyentuh 67.108 desa juga telah dana desa disalahgunakan atau dikelola

memberikan pembelajaran kepada masyara- dengan tidak mengikuti kaidah yang benar.

kat desa mengenai arti penting akuntabilitas Dalam pernyataannya, Menteri Dalam Negeri

dan transparansi pengelolaan dana, termasuk (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bah-

tentang pentingnya menempelkan fotokopi wa pihaknya berkoordinasi dengan Kemen-

rekening dan rincian penggunaan dana di des PDTT telah melatih para aparat desa se-

papan informasi (Padjung, 2015: 7). Sukas- cara terpadu mengenai tata kelola dan siste-

manto memberikan bukti lain bahwa desa matika dalam membuat laporan penggunaan

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 19

ARTIKEL

20 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

sesungguhnya mampu mengelola keuangan. Pada tahun 2009, total jumlah pendapatan yang diterima desa sebesar Rp 8,569 triliun. Jumlah ini kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi Rp 10,612 triliun (Sukasmanto, 2014: 5). Hal ini menyiratkan bahwa desa mampu mengelola dana dengan baik karena bila tidak maka secara logis tidak mungkin pendapatan yang diberikan kepadanya me- ningkat.

Tulisan ini menyoroti isu pengelolaan keuangan desa pasca-UU Desa berlaku. Tuju- annya adalah untuk memberikan pemaham- an secara komprehensif mengenai pengelola- an keuangan desa, substansi peraturan yang mengaturnya, potensi permasalahan, dan solusi untuk menghindari problem yang mungkin muncul. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini distrukturkan sebagai berikut. Pertama, dipaparkan mengenai keuangan desa secara rinci, mulai dari peraturan yang menjadi landasannya dan alur atau mekanisme pengelolaannya, mulai dari awal sampai akhir. Dengan demikian, pembaca dapat memahami kerangka legal, aturan main, dan logika dari pengelolaan keuangan desa secara menyeluruh. Selanjut- nya, dipaparkan mengenai potensi risiko dari pengelolaan keuangan desa yang dilihat dari berbagai aspek, mulai dari tata laksana, kelembagaan, regulasi, dan SDM. Pemahaman atas risiko ini memampukan pembaca untuk melihat celah yuridis, sosiologis, dan politis dari konstruksi yang membentuk tatanan pengelolaan keuangan desa. Bagian ini banyak memanfaatkan hasil kajian yang telah dibuat oleh berbagai lembaga. Selanjutnya, dituliskan mengenai dua isu penting yang menjadi kunci dan faktor determinan yang secara krusial memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa dari sisi SDM, yakni isu kompetensi kepala desa selaku kuasa pengguna anggaran di desa dan isu pendamping desa sebagai fasilitator yang membantu segala permasalahan di desa,

termasuk pengelolaan keuangan. 2 Tulisan

2 Keberhasilan pengelolaan keuangan desa tentu tidak hanya ditentukan dari sisi SDM yang menjadi fokus dari tulisan ini, melainkan juga dipengaruhi

oleh sisi sistem, di antaranya regulasi yang baik

diakhiri dengan

penutup

yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

METODE

Data dan analisis yang menjadi bagian dari hasil kajian ini didapatkan dengan metode kajian pustaka (literary studies) dan diskusi terbatas. Kajian pustaka dilakukan dengan mempelajari UU dan berbagai peraturan terkait lain yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan desa, juga berbagai artikel dan tulisan yang membahas mengenai isu tersebut. Sementara diskusi terbatas dilakukan untuk mendapatkan data primer yang relevan dengan isu pengelolaan keuangan desa dengan mengundang nara- sumber dari kalangan kementerian, SKPD, dan kepala desa. Diskusi terbatas dilakukan oleh Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lem- baga Administrasi Negara (LAN) selama dua kali kesempatan pada 26 Juni 2015 dan 9 Juli 2015 dengan peserta para peneliti di lingku-

ngan LAN. 3

KEUANGAN DESA DAN PENGELOLAANNYA

Ihwal keuangan desa diatur dalam Pasal 71-75 UU Desa. Dalam Pasal 71 ayat (1), dinyatakan bahwa Keuangan Desa adalah

semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Selanjutnya, pengaturan mengenai

keuangan desa dan hal lain yang terkait

(lengkap, jelas, dan tidak tumpang tindih) dan mekanisme pengawasan yang efektif, ketat, dan menyeluruh. Tentang hal ini, lihat Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015.

3 Diskusi terbatas tanggal 26 Juni 2015 menghadirkan narasumber Eko Prasetyanto

(Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri) dan Tifna Purnama (Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang), sedangkan diskusi terbatas 9 Juli 2015 menghadirkan narasumber Bito Wikantosa (Ditjen PPMD Kemendes PDTT), Beni Yusnandar (BPMPD Kabupaten Bekasi), dan Saidih (Kepala Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi). Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak di Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN sebagai penyelenggara diskusi terbatas, terutama kepada Dr. Basseng.

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 21

dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai peraturan, di antaranya PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersu- mber dari APBN, PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun 2014, PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peru- bahan atas PP No. 43 Tahun 2014, Permen- dagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelola- an

Keuangan Desa,

Permenkeu

No.

241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No. 250/PMK.07/- 2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalo- kasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantau- an, dan Evaluasi Dana Desa, dan Permendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa.

Mengenai pendapatan desa, seturut Per- mendagri No. 113 Tahun 2014 Bab IV Bagian Kesatu (Pasal 9-11), dinyatakan bahwa pendapatan desa terdiri atas tiga elemen, yakni 1) PAD (yang terdiri atas hasil usaha; hasil aset; swadaya, partisipasi, dan gotong- royong; dan lain-lain PAD); 2) transfer (terdiri atas dana desa; PDRB; ADD; bantuan keuangan APBD provinsi; dan bantuan keuangan APBD kabupaten/kota); dan 3) pendapatan lain-lain (terdiri atas hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang sah).

Terkait dengan nomenklatur jenis-jenis pendapatan desa di atas, perlu dicatat bahwa Permendagri No. 113 Tahun 2014 membeda- kan antara dana desa dengan ADD. Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer me- lalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerin- tahan, pelaksanaan pembangunan, pembina- an kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, dinyatakan bah- wa ADD adalah dana perimbangan yang dite- rima kabupaten/kota dalam APBD kabupa- ten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khu- sus (DAK). Pembedaan ini sesungguhnya

tidak dikenal dalam UU Desa sehingga berpo- tensi menimbulkan kebingungan dan kesa- lahpahaman meskipun istilah ADD sebenar- nya pernah muncul dan diatur dalam PP No.

72 Tahun 2005 tentang Desa. Agusta memba-

ca bahwa pembedaan kedua jenis dana tersebut bermotif politik, yakni sebagai upa- ya Kemendagri mengamankan dana desa sesuai peruntukannya, yakni untuk pemerin- tahan, pembangunan, pembinaan, dan pem- berdayaan. Dengan demikian, Kemendagri yang menangani urusan pemerintahan masih mempunyai ruang yang luas untuk bekerja karena dana desa tidak melulu dititikberat- kan pada urusan pembangunan dan pember- dayaan masyarakat sesuai ketentuan Per- mendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Pe- netapan Prioritas Penggunaan Dana Desa (Agusta, 2015a: 7). Argumen ini, bagaimana- pun, terlalu tipis kekuatannya mengingat Pa- sal 19 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2014 sudah mengunci bahwa dana desa memang harus diprioritaskan untuk membiayai pembangun- an dan pemberdayaan masyarakat.

Terlepas dari masalah tersebut, dana desa dalam pengertian keseluruhan rupa-rupa pendapatan desa yang dikelola dalam APB- Des harus dikelola secara transparan, akun- tabel, partisipatif serta dilakukan dengan ter- tib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permenda- gri No. 113 Tahun 2014). Karena bersumber dari negara, maka pengelolaannya harus mengikuti aturan main yang berlaku terkait pengelolaan dana publik. Dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, ihwal pengelolaan dan desa telah diatur dalam Bab V. Di dalamnya, diatur bahwa pengelolaan dana desa terdiri atas lima hal, yakni perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung- jawaban.

Jika ditilik mulai dari hulu, pengelolaan keuangan desa dimulai dari perencanaan. Pertama kali diadakan musyawarah desa yang diselenggarakan oleh Badan Permusya- waratan Desa (BPD) untuk membahas hal-hal yang sifatnya strategis (lihat Pasal 54 UU Desa). Kemudian, hasil musyawarah desa berupa perencanaan pembangunan desa ditindaklanjuti dengan musyawarah pemba-

ARTIKEL

22 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

ngunan perencanaan desa (musrenbangdes) yang diselenggarakan kepala desa dan pe- rangkatnya. Musren-bangdes inilah yang me- mbahas mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tiap enam tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) serta APBDes tiap setahun se- kali. Setelah Raperdes tentang APBDes dise- pakati bersama oleh kepala desa dan BPD paling lambat bulan Oktober dan hasil eva- luasi dari bupati/walikota atau camat (yang mendapat delegasi untuk mengevaluasi Ra- perdes APBDes) menyatakan bahwa Raper- des APBDes tidak bertentangan dengan ke- pentingan umum dan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, APBDes dapat ditetapkan.

Sebelum desa dapat menerima pencairan dana desa, terlebih dahulu kabupaten/kota harus mengesahkan APBD kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran dana desa (Pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2014 dan Pasal 16 ayat (2) Permenkeu No. 93/PMK.07/2015). Sebelum peraturan bupa- ti/walikota itu dibuat, desa menyelesaikan terlebih dahulu APBDes-nya. Keharusan ada- nya peraturan kepala daerah tersebut seba- gai indikasi bahwa kabupaten telah siap untuk menyalurkan dana sesuai peraturan. Per 1 Juli 2015, masih ada 16 kabupaten/ kota yang belum menerima pencairan dana desa tahap pertama senilai Rp 8,306 triliun karena belum menyerahkan persyaratan tersebut, di antaranya Kabupaten Biak Num- for, Kabupaten Merauke, Kabupaten Paniai, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Tolikara, Kabu- paten Waropen, Kabupaten Supiori, Ka- bupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mam- beramo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabu- paten Teluk Bintuni, Kabupaten Bekasi, Ka- bupaten Majalengka, Kota Batu, Kabupaten Kepahiang, dan Kabupaten Konawe (Kompas,

2 Juli 2015). 4

4 Menurut Eko Prasetyanto, keterlambatan penyerahan dokumen tersebut disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terlambatnya revisi PP

No. 60 tahun 2014 yang memuat pengubahan formula pembagian dana desa sehingga membuat daerah harus menghitung ulang alokasi dana desa

Penggunaan dana desa dikelola oleh pe- merintah desa melalui kuasa kepala desa dan digunakan sesuai RPJMDes, RKPDes, dan AP- BDes. Adapun laporan realisasi pelaksanaan APBDes disampaikan kepala desa kepada bupati/walikota berupa laporan semester pertama yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan Juli dan laporan semester akhir tahun paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya (Pasal 37 Permen- dagri No. 113 Tahun 2014). Selain pelaporan, kepala desa juga harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelak- sanaan APBDes dalam bentuk peraturan desa kepada bupati/walikota setiap akhir tahun anggaran (Pasal 38 Permendagri No. 113 Tahun 2014).

Lalu, siapa yang mengawasi pengelolaan keuangan desa? Pengawasan memegang pe- ranan penting dalam memastikan agar pe- ngelolaan dana desa berjalan dengan akun- tabel, transparan, dan partisipatif demi ke- maslahatan umum masyarakat desa. Penga- wasan yang ketat, terkontrol, profesional, dan berintegritas menjadi prasyarat penting. Pengelolaan keuangan desa sesungguhnya diawasi secara berlapis oleh banyak pihak. Pada Pasal 44 Permendagri No. 113 Tahun

disebutkan bahwa Pemerintah Kabu- paten/Kota membina dan mengawasi pelak- sanaan pengelolaan keuangan desa. Dalam hal ini, Inspektorat Daerah akan berperan

penting sebagai leading institution ihwal pe- ngawasan pengelolaan keuangan desa. Se- mentara di tingkat pusat, BPK dan Badan Pe- ngawasan Keuangan dan Pembangunan (BP- KP) juga akan mengawasi pengelolaan keu- angan desa secara sampling. Dana desa menjadi ranah pengawasan mereka karena

untuk daerahnya, sebagian daerah adalah daerah otonom baru, dan bupati atau kepala desanya digantikan oleh pejabat sementara sehingga masih memerlukan waktu untuk memahami peraturan. Sementara itu, Beni Yusnandar dari BPMPD Kabupaten Bekasi mengatakan bahwa daerahnya sengaja tidak mengeluarkan perbup karena menunggu

keluarnya Permenkeu No. 93/PMK.07/2015

agar

penghitungan yang dilakukan dalam perbup mempunyai landasan hukum yang kokoh dan jelas. Sejak 8 Juli 2015, dana desa sudah masuk ke rekening kabupaten.

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 23

dana desa adalah uang negara yang bersum- ber dari APBN sehingga pengelolaannya harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk memantau pelak- sanaan pembinaan dan pengawasan dana desa, pemerintah pusat juga telah mem- bentuk tim pengendali dana desa yang bera- nggotakan

(http://www.koran- sindo.com/read/1005329/149/penyerapan- dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2014).

POTENSI PROBLEMATIK PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

Sebagaimana telah disinggung sebelum- nya, para pengamat terbelah dalam penilai- annya atas pembagian dana desa, yakni me- reka yang percaya bahwa dana desa dalam jumlah yang besar belum tepat diberikan ke- pada desa saat ini dan mereka yang percaya bahwa desa telah mampu mengelola dana desa dengan baik dan benar. Menurut Sofyan Sjaf, keterbelahan tersebut berkaitan dengan paradoks dari ketentuan mengenai dana desa tersebut. Ada tiga paradoks yang diidentifi- kasinya (Sjaf, 2015: 7). Pertama, pemberian dana desa menciptakan birokratisasi alih-alih pemberdayaan desa. Beberapa peraturan yang mengatur dana desa dipandang sebagai bentuk birokratisasi baru karena terlalu me- ngatur secara teknis dan prosedural hal-hal seperti dasar alokasi dana desa, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana desa, priori- tas penggunaan dana desa, pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan sebagainya. Makna pemberdayaan desa yang menjadi in- tensi normatif dari UU Desa menjadi poten- sial terlupakan. Sejatinya, apa yang lebih sub- stantif adalah penguatan pengetahuan aparat dan warga desa dalam pengambilan keputu- san penggunaan dana desa sesuai kebutuhan dan kondisi yang dihadapi desa, juga monito- ring serta evaluasi penggunaan dana desa yang partisipatif melibatkan warga desa. Pada titik ini, paradigma membangun desa

yang bernuansa top-down menjadi terasa lebih dominan daripada paradigma desa me-

mbangun yang lebih bottom-up sifatnya.

Kedua, dana desa meretas kesenjangan struktural antara negara dengan desa tetapi menciptakan kesenjangan antarwilayah, atau lebih tepatnya kesenjangan antarpulau. Dari Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribu- sikan tahun ini, 61,49 persennya alias lebih dari separuh berada di Pulau Jawa dan Suma- tra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua (12,08 persen). Ini terjadi karena dana desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1) PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak berbanding lurus dengan luas pulau. Di Jawa ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa. Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di

kedua pulau tersebut. 5

Padahal, sesungguhnya desa yang terting- gal lebih banyak berada di luar kedua pulau ini sehingga dana desa seharusnya lebih banyak terdistribusi di luar keduanya. Dengan fakta ini, maka problem pemerataan masih belum dapat diatasi.

Ketiga, perencanaan desa tidak sesuai antara harapan dan kenyataan. Dokumen yang disyaratkan untuk pencairan dana desa seperti RPJMDes dan RKPDes tidak disusun secara partisipatif dan transparan. Karena keterburu-buruan, dokumen tersebut dibuat secara elitis, tidak jarang menggunakan jasa konsultan, sehingga hanya segelintir warga desa yang mengetahuinya. Ini tentu berten- tangan dengan harapan pemerintah bahwa perencanaan desa hendaknya dilakukan se- cara partisipatif, akuntabel, dan transparan. Eksesnya, apa yang tertuang dalam dokumen perencanaan juga belum tentu sesuai dengan kebutuhan aktual masyarakat desa.

Berbagai paradoks di atas membuka tili- kan kepada proposisi bahwa pengelolaan dana desa rentan disalahgunakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaji- annya menemukan 14 persoalan dana desa yang berpotensi menjadi korupsi yang terbagi dalam empat aspek, yakni regulasi

5 Informasi dari Eko Prasetyanto dalam diskusi terbatas 26 Juni 2015.

ARTIKEL

dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, Sedangkan pada aspek sumber daya dan

manusia, terdapat potensi persoalan berupa (http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-

tenaga pendamping yang berpotensi melaku- pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-

kan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7

pengetahuan aparat desa. Hal ini berkaca pa- Juli 2015).

da program sejenis sebelumnya, PNPM Per- desaan, di mana tenaga pendamping yang

Pada aspek regulasi dan kelembagaan, seharusnya berfungsi membantu masyarakat persoalan tersebut antara lain: 1) belum

dan aparat desa justru melakukan korupsi lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pe-

dan kecurangan.

laksanaan yang diperlukan dalam pengelo- laan keuangan desa; 2) potensi tumpang tin-

Sebuah lembaga swadaya masyarakat dih kewenangan antara Kemendes PDTT dan

(LSM), Forum Indonesia untuk Transparansi Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri;

Anggaran (FITRA), juga melakukan kajian

3) formula pembagian dana desa dalam PP yang serupa dengan KPK. Dalam kajian No. 22 Tahun 2015 yang tidak cukup trans-

FITRA, terdapat enam potensi penyimpangan paran dan hanya didasarkan atas pemerata-

dana desa, di antaranya: 1) adanya mafia an; 4) pengaturan pembagian penghasilan

anggaran dari pusat dan kabupaten; 2) dana tetap bagi perangkat desa dari ADD dalam PP

desa dipakai untuk anggaran pilkada seren- No. 43 Tahun 2014 yang kurang adil; dan 5)

tak yang tidak teralokasi di APBD; 3) peng- kewajiban penyusunan laporan pertanggung-

gunaan dana desa tidak sesuai peruntukan di jawaban oleh desa tidak efisien akibat

desa; 4) aset desa tidak terinventarisir ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

dengan baik; 5) ketidakmampuan adminis- trasi dan rumitnya pertanggungjawaban yang

Pada aspek tata laksana, terdapat lima berdampak pada potensi penyalahgunaan persoalan, antara lain: 1) kerangka waktu si-

wewenang dan melanggar hukum; dan 6) klus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi

minimnya pengawasan dari masyarakat dan oleh desa; 2) satuan harga baku barang/jasa

pendamping (Kompas, 3 Juli 2015). yang dijadikan acuan bagi desa dalam me-

nyusun APBDes belum tersedia; 3) transpa- Dari berbagai kajian mengenai risiko ransi rencana penggunaan dan pertanggung-

pengelolaan dana desa di atas, ada beberapa jawaban APBDes masih rendah; 4) laporan

hal yang patut dicatat. PP No. 47 Tahun 2015 pertanggungjawaban yang dibuat desa belum

telah mengatur ulang mengenai pembagian mengikuti standar dan rawan manipulasi,

penghasilan tetap bagi perangkat desa dari salah satunya disebabkan karena ketidakjela-

ADD. Ketentuan tersebut dalam PP No. 43 san sistem akuntansi yang akan dipakai; ser-

Tahun 2014 menurut KPK kurang adil, di ta 5) APBDes yang disusun tidak sepenuhnya

mana disebutkan dalam Pasal 81 ayat (2) menggambarkan kebutuhan yang diperlukan

bahwa penghasilan tetap kepala desa dan desa karena penyusunan tidak dilakukan

perangkat desa bagi desa yang ADD-nya secara partisipatif.

kurang dari Rp 500 juta maksimal 60 persen, kalau Rp 500-700 juta maksimal 50 persen,

Sementara pada aspek pengawasan, ter- kalau Rp 700-900 juta maksimal 40 persen, dapat tiga potensi persoalan, yakni 1) efekti-

dan kalau di atas Rp 900 juta maksimal 30 vitas inspektorat daerah dalam melakukan

persen. Ini kemudian direvisi dalam Pasal 81 pe-ngawasan terhadap pengelolaan keuang-

ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015 menjadi: ADD an di desa masih rendah; 2) saluran pengadu-

sampai dengan Rp 500 juta maksimal 60 an masyarakat tidak dikelola dengan baik

persen, ADD Rp 500-700 juta maksimal 50 oleh semua daerah dan mekanisme pengadu-

persen dengan nominal minimal Rp 300 juta, annya tidak jelas; dan 3) ruang lingkup

ADD Rp 700-900 juta maksimal 40 persen evaluasi dan pengawasan yang dilakukan

dengan nominal minimal Rp 350 juta, dan oleh camat belum jelas.

ADD di atas Rp 900 juta maksimal 30 persen dengan nominal minimal Rp 360 juta. Keten-

24 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

tuan ini kemudian dikunci lebih lanjut pada an keuangan desa (Pasal 3 ayat (1) Permen- pasal 100 ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015, di

dagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya mana disebutkan bahwa paling banyak 30

tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas, persen dari APBDes digunakan untuk

antara lain: menetapkan kebijakan tentang penghasilan tetap dan tunjangan kepa-la desa

pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana dan perangkat desa, operasional pe-merintah

Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) desa, tunjangan dan operasional BPD, dan

yang terdiri atas sekretaris desa, kepala insentif rukun tetangga (RT) dan rukun

seksi, dan bendahara; menetapkan petugas warga (RW).

yang melakukan pemungutan penerimaan desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan

dalam APBDes; dan bagian dana desa juga diadakan perubahan

Kemudian, terkait dengan formula pem-

yang

ditetapkan

melakukan tindakan yang mengakibatkan seiring dengan hadirnya PP No. 22 Tahun

pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat 2015 menggantikan PP No. 60 Tahun 2014.

(2) Permendagri No. 113 Tahun 2014). KPK menilai bahwa formulasi penentuan

besaran dana desa per kabupaten/kota pada Jelaslah di sini bahwa kepala desa PP No. 22 Tahun 2015 tidak adil karena lebih

menjadi tumpuan utama untuk memastikan condong didasarkan pada pertimbangan pe-

apakah pengelolaan keuangan desa sudah merataan, dengan alokasi dasar sebesar 90

dijalankan sesuai dengan asas-asas dan persen dibagi secara merata kepada setiap

prinsip-prinsip yang ditentukan. Apakah ke- desa (rata-rata Rp 280 juta) dan hanya 10

pala desa sanggup menanggung tanggungja- persen sisanya yang memperhitungkan

wabnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut variabel jumlah penduduk, angka kemiskin-

bisa saja beragam mengingat kualitas kepala an, luas wilayah, dan indeks kesulitan geo-

desa berbeda di desa satu dengan yang lain. grafis (IKG). Maka tak heran apabila jumlah

Dalam diskusi terbatas yang diadakan Pusat dana yang diterima setiap desa dalam satu

Inovasi Tata Pemerintahan LAN pada tanggal kabupaten tidak jauh berbeda, padahal kon-

26 Juni 2015, salah satu narasumber yaitu disi demografis, geografis, dan sosiologis an-

Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD tara desa satu dengan yang lain bisa jadi

Kabupaten Tangerang Tifna Purnama mem- sangat berbeda. Namun, sesungguhnya aloka-

berikan kesaksian bahwa banyak kepala desa si dasar sebesar 90 persen yang dibagi secara

di Kabupaten Tangerang yang kualitasnya di merata tersebut sesungguhnya hanya berla-

bawah standar. Ada kepala desa yang korup ku untuk tahun 2015 saja (lihat Pasal 29 PP

(menggunakan ADD untuk menutup hutang No. 22 tahun 2015). Menurut keterangan Eko

kampanye pemilihan kepala desa), berkonflik Prasetyanto, hal tersebut dilakukan demi

terus dengan BPD sehingga telat atau gagal pertimbangan kepraktisan karena dikejar

menghasilkan APBDes dan perdes lainnya, waktu. Kemendagri bersama dengan Kemen-

tidak paham perencanaan, bahkan ada yang terian Keuangan (Kemenkeu) dan kementeri-

buta huruf.

an terkait tidak sanggup untuk menghitung dana desa untuk lebih dari 74 ribu desa

Salah satu hal yang ditengarai menjadi sesuai formula yang ditetapkan PP No. 60

muara dari banyaknya kepala daerah yang Tahun 2014 sebelum pencairan tahap

tidak kompeten adalah ketentuan yang ter- pertama dilakukan. Data yang paling susah

maktub dalam Permendagri No. 112 Tahun adalah data yang menyangkut IKG.

2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peratu- ran tersebut tidak memberikan persyaratan

KOMPETENSI KEPALA DESA SEBAGAI

kompetensi bagi calon kepala desa menyang-

PENJAMIN PENGELOLAAN

KEUANGAN

kut hal-hal substantif seperti memahami

DESA YANG BAIK.

(setidaknya secara teoretis) manajemen kepemimpinan desa, manajemen pengelolaan

Kepala desa memegang peranan penting keuangan, perencanaan pembangunan desa, dalam pengelolaan keuangan desa karena dia

dan sebagainya. Pasal 21 hanya memuat per- merupakan pemegang kekuasaan pengelola-

syaratan yang sifatnya normatif dan adminis- JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 25

ARTIKEL

tratif seperti bertakwa kepada Tuhan Yang pemimpin alamiah yang bijak sekaligus kom- Maha Esa, memegang teguh dan mengamal-

peten. Sebaliknya, jika masyarakat tersebut kan Pancasila, berpendidikan paling rendah

telah diinfiltrasi oleh nilai-nilai yang merusak tamat sekolah menengah pertama (SMP) atau

modal sosialnya seperti individualisme, kese- sederajat, berusia paling rendah 25 tahun

rakahan, pemaksaan, dan kekerasan, maka pada saat mendaftar, terdaftar sebagai pen-

akan sulit untuk mengharapkan lahirnya ca- duduk dan bertempat tinggal di desa setem-

lon-calon pemimpin asli yang berkualitas. pat paling kurang satu tahun sebelum pen- daftaran, tidak sedang menjalani hukuman

PENDAMPING

DESA SEBAGAI AGEN

pidana penjara, berbadan sehat, tidak pernah

PEMBERDAYA

sebagai kepala desa selama tiga kali masa Pendampingan desa merupakan aspek la- jabatan, dan sebagainya.

in yang berperan krusial dalam menentukan Dengan persyaratan seperti di atas, tentu

terjaminnya pengelolaan keuangan desa se- tidak ada jaminan bahwa calon-calon kepala

cara transparan, akuntabel, dan partisipatif. desa yang lulus seleksi merupakan orang-

Pasal 128 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014 orang dengan kualitas dan kapasitas mumpu-

menyebutkan bahwa pendampingan masya- ni .6

rakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja pe- rangkat daerah (SKPD) kabupaten/kota dan

Seharusnya, kepala desa dituntut dan di- dapat dibantu oleh tenaga pendamping pro- persyaratkan untuk memiliki kompetensi

fesional, kader pemberdayaan masyarakat dalam hal teknis dan manajerial terkait pe-

desa, dan/atau pihak ketiga. Sementara itu, nyelenggaraan pemerintahan desa agar dana

ayat 3 pasal yang sama menyebutkan bahwa desa dapat dioptimalkan sebaik mungkin

camat atau sebutan lain melakukan koor- untuk peningkatan kesejahteraan masyara-

dinasi pendampingan masyarakat desa di kat dengan tanpa mengorbankan kualitas pe-

wilayahnya. Ini artinya, pendampingan dapat ngelolaannya. Seiring dengan titik berat pem-

dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari bangunan yang semakin bertumpu kepada

pemerintah, masyarakat, dan bahkan swasta. desa, seharusnyalah persyaratan untuk pen-

Pendampingan oleh jajaran pemerintah diko- calonan kepala desa juga ditingkatkan kuali-

ordinasikan oleh Kemendagri dan pendam- fikasinya.

pingan oleh masyarakat dikoordinasikan Ke- mendes PDTT.

Penjaringan calon kepala desa yang ber- kualitas sedikit banyak akan ditentukan oleh

Menarik untuk disoroti di sini adalah masyarakat desa itu sendiri. Setiap masyara-

tugas pendampingan yang dilaksanakan oleh kat mendapatkan pemimpin yang pantas dia

masyarakat. Pendamping desa merupakan dapatkan. Jika dinamika dan tatanan masya-

aktor di tingkat masyarakat yang berperan rakat desa berkembang secara organis dan

penting dalam mengawal pengelolaan keu- demokratis, maka akan muncul pemimpin-

angan desa. Mereka melakukan fasilitasi un- tuk pemerintah dan masyarakat desa agar kegiatan pemerintahan, pembangunan, pem-

6 Terkait dengan syarat pencalonan kepala desa berdayaan, dan kemasyarakatan dapat ber- yang cukup berpendidikan SMP diakui menjadi

jalan dengan efektif demi percepatan pening- masalah di Kabupaten Bekasi. Salah satu

narasumber dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015 katan kesejahteraan masyarakat desa. Per-

menyatakan bahwa lebih dari 30 persen kepala mendes PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pen- desa di Bekasi merupakan lulusan SMP, dan

dampingan Desa telah mengatur dengan rinci keterbatasan pendidikan tersebut membuat

mengenai pendamping desa ini, di antaranya mereka tidak dapat memahami manajemen

tujuan pendampingan desa, ruang lingkup penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik.

Pihaknya pernah ingin membuat peraturan daerah pendampingan desa, tugas pendamping desa,

yang mensyaratkan pendidikan minimal kepala manajemen pendampingan desa, dan penda- desa adalah SMA, namun hal itu terbentur oleh

naannya. Di dalamnya disebutkan bahwa tu- peraturan perundangan yang lebih tinggi, yakni

juan pendampingan desa meliputi: a) me- Permendagri No. 112 tahun 2014.

26 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 27