Asuransi Kapal Laut Yang Dibebani Dengan (1)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah dan Rumusannya
Perkembangan dan pembangunan perekonomian di Indonesia dewasa ini
dapat dikatakan sebagai bagian dari pembangunan nasional yang mana adalah
suatu upaya untuk masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan
perekonomian juga terlihat dari meluasnya bidang usaha diantara masyarakat,
dengan semakin meluasnya bidang usaha, semakin banyaknya SDM (Sumber
Daya

Manusia)

dan

demi

memelihara

keseimbangan


dan

kelanjutan

pembangunan, maka pelaku usaha baik itu pemerintah maupun masyarakat
sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat memerlukan dana dalam
jumlah yang sangat besar.
Upaya pemenuhan kebutuhan dana yang sangat besar ini sangat didukung
oleh kegiatan perkreditan, hadirnya dan terus berkembangnya kegiatan
perkreditan ditengah maraknya bidang-bidang usaha yang sedang berkembang
dewasa ini, menunjukkan bahwa kredit sebagai salah satu sumber pembiayaan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam era pembangunan ini.
Menyadari bahwa dana yang keluar dan masuk dalam kegiatan perkreditan
itu adalah dana yang sangat besar, maka dengan pentingnya dan sungguh
beresikonya kegiatan perkreditan iu, sudahlah semestinya kegiatan perkreditan
tersebut didampingi dengan kegiatan penjaminan. Perkembangan ekonomi dan
perdagangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan

1


2

pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberian
kredit tersebut.1 Maka sudah sepantasnya jika pemberi dan penerima kredit, serta
pihak lain yang terkait dalam suatu kegiatan perkreditan mendapat perlindungan
melalui suatu lembaga jaminan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi
semua pihak tersebut.
Salah satu bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang juga tidak luput dari
kegiatan perkreditan dan perlunya penjaminan, adalah kegiatan yang berhubungan
dengan kapal, yaitu kegiatan pelayaran, tentu saja hal ini karena Indonesia
merupakan Negara kepulauan. Republik Indonesia merupakan Negara maritime
yang memiliki dua pertiga wilayah laut dibandingkan dengan seluruh daratan
pulau atau tepatnya luas wilayah laut seluas 3.166,163 km2, sedangkan luas
wilayah daratan pulau seluas 2.027.087 km2.2 Dengan kata lain, bahwa dua
pertiga dari seluruh wilayah Indonesia merupakan wilayah lautan. Dengan fakta
tersebut dapat diketahui bahwasanya dengan lebih banyaknya wilayah laut, maka
pulau-pulau yang terbentang di wilayah Indonesia ini banyak terpisahkan oleh air,
yaitu laut, selat atau samudra. Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan
terpisahnya pulau-pulau itu oleh air, maka hal inilah yang membuat sarana-sarana
infrastruktur seperti sistem transportasi, terutama transportasi laut mempunyai

peranan yang sangat vital dan penting. Pelayaran merupakan tatanan transportasi
laut yang mempunyai karakteristik sebagai penghubung wilayah baik antara

1

Sri Soedewi Sofyan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta, 1980, h. 1
2

Etty R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982 dan Masalah Pengaturan Hak
Lintas Kapal Asing, Abardin, Bandung, 1991, h. 164

3

daerah satu dengan daerah yang lainnya maupun Negara satu dengan Negara yang
lainnya dalam lalu lintas perdagangan internasional.
Dengan fakta seperti ini, dalam menanggapi kebutuhan yang berkembang
di masyarakat, pemerintah tidak tinggal diam, pemerintah telah mengeluarkan
berbagai kebijakan, dan dalam hal perkreditan ini, yang menjadi perhatian serius
adalah lembaga jaminan.

Fungsi jaminan sebenarnya merupakan suatu sarana perlindungan hukum
bagi pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian jaminan, antara lain debitor /
kreditor, dengan memberikan suatu kepastian bahwa tidak akan ada pihak yang
wanprestasi. Jaminan yang diharapkan adalah jaminan yang berdaya guna, yaitu
jaminan yang memberikan kepastian kepada kreditor (pemberi dana), agar mudah
mendapatkan pelunasan hutang untuknya, apabila debitor cidera janji. Pada
prinsipnya obyek jaminan yang baik harus mempunyai ketentuan sebagai berikut :
1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang
memerlukannya.
2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk
melakukan atau meneruskan usahanya.
3. Memberikan kepastian kepada si kreditor, dalam arti bahwa barang
jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah
diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit. 3

3
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, h. 27, sebgaimana mengutip dari Subekti, Jaminan Untuk
Pemberian Kredit, 1996, h. 73


4

Sesuai namanya, yaitu jaminan, maka dibutuhkan adanya suatu benda yang
akan dijaminkan demi mendapatkan dana dari penjamin (kreditor). Pada waktu
permulaan Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku, memang lembaga jaminan gadai
dan hipotek sudah cukup memenuhi kebutuhan praktik penjaminan. 4, hal ini
berlangsung cukup lama, hingga akhirnya kebutuhan akan adanya lembaga
jaminan, yang mana dapat dibebankan tanpa adanya penguasaan atas obyek
jaminan oleh penjamin (kreditor), sangat besar dirasakan oleh para pelaku usaha
yang membutuhkan modal yang lebih untuk kelangsungan usahanya, namun tidak
mempunyai benda lain yang dapat dijadikan sebagai obyek jaminan, kecuali
benda yang digunakan dalam kegiatan usahanya tersebut. Kapal laut yang menjadi
pembahasan dalam tesis ini, tentunya para pelaku usahanya juga memerlukan
dana yang besar, dan dengan didampinginya kegiatan perkreditan dengan
penjaminan gadai, maka para pelaku usaha yang sesungguhnya hanya mempunyai
kapal sebagai benda yang dapat dijaminkan, maka usahanya akan terhenti bila
kapal tersebut dijaminkan demi keluarnya dana dari kreditor, karena memang
dengan gadai, benda ada dalam penguasaan kreditor.
Namun masalah ini teratasi dengan hadirnya hipotek, dalam Pasal 1162
BW, hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk

mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan bagi suatu perikatan.
Konstruksi hukum ini mengacu pada pembebanan pada benda tidak bergerak.
Benda tidak bergerak tidak hanya atas kapal laut yang berukuran 20 m3, tetapi
juga pada pembebanan atas tanah, namun hipotek atas tanah kini tidak berlaku
4

J. Satrio, Hukum Jaminan Kebendaan Fidusia, (Selanjutnya disebut J. Satrio
I), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 9.

5

lagi karena Buku II BW yang berkaitan dengan hipotek atas tanah telah dicabut
dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Hak Tanggungan.
Perjanjian hipotek ini merupakan bentuk jaminan khusus, yaitu timbul
karena adanya perjanjian khusus dan melekat pada benda yang ditunjuk secara
khusus oleh kreditor dan debitor. Maksudnya perjanjian yang diikuti perjanjian
tersendiri yang merupakan tambahan (accessoir) yang dikaitkan dengan perjanjian
pokok tersebut.

5


Ini berarti kalau pihak yang bersangkutan tidak memenuhi

kewajiban perikatannya, maka secara paksa, hukum dapat menyuruh jual lelang
benda-benda milik orang tersebut guna mengganti pelunasan kewajiban perikatan
yang dilalaikan itu.6 Oleh karena tidak ada perpindahan secara nyata kekuasaan
atas benda, maka akta jaminan hipotek dan dokumen-dokumen pelengkapnya
seperti sertifikat jaminan, dapat dijadikan bukti telah terbentuknya suatu
kesepakatan. Untuk itu pihak debitor hipotek harus dinyatakan dengan sungguhsungguh bahwa ia adalah orang yang bertindak bebas atas benda yang di
hipotekkan, serta benda itu bebas dari segala beban.
Jaminan yang diharapkan adalah jaminan yang berdaya guna, seperti yang
telah dijelaskan diatas, maka begitu juga dengan kapal laut. Lembaga jaminan
hipotek dikhususkan kepada kapal laut yang terdaftar, isi kotor sekurangkurangnya 20m3, dan dengan berat kotor diatas GT 7 (Grosse Tonnage) yang
mana dengan ini dinyatakan sebagai benda tidak bergerak. Kapal laut mempunyai
beberapa aspek hukum yang cukup beragam misalnya saja pendaftaran, asuransi,

5

6


Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit., h. 37

Moch. Isnaeni,
Surabaya, 1996, h. 32.

Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Dharma Muda,

6

kepemilikan, cara menjaminkannya, dan sebagainya, juga kapal laut mempunyai
nilai ekonomis yang besar karena dapat dipergunakan untuk mendukung
pengembangan armada pelayaran. Pengembangan armada pelayaran yang sifatnya
membutuhkan banyak dana, dan pembiayaan yang dilakukan dengan berjangka
serta membutuhkan dana investasi yang juga cukup besar itu dapat memperoleh
pengadaan dana dengan jalan memperoleh jaminan kredit atau loan yang
dibutuhkan, dari lembaga keuangan bank maupun nonbank yang ada diluar negeri,
yang mana tentu saja kapal laut tersebut harus dijadikan agunan atau jaminan dari
pinjaman tersebut.
Dengan memahami karakter bagaimana kapal bekerja, diatas perairan,
bukan merupakan hal yang tidak mungkin akan terjadinya suatu peristiwa yang

tidak terduga, seperti hanyutnya kapal, tenggelamnya kapal, terbakarnya kapal,
rusak beratnya kapal, dan peristiwa tak terduga lainnya yang dapat mengurangi
atau bahkan menghilangkan nilai ekonomis dari kapal tersebut, dan pastinya hal
ini dapat menimbulkan kerugian pada pihak kreditor. Seperti hal nya pada saat
penulisan tesis ini sedang berlangsung, di Negara Indonesia ini telah terjadi
peristiwa tak tertuga yang memilih kapal laut sebagai mangsanya, ada yang
memakan korban, ada pula yang tidak memakan korban jiwa, kecelakaan kapal
tersebut antara lain :
1. 27 Agustus 2011, Kapal Motor Windu Karsa tenggelam di perairan
Kolaka, Sulawesi Tenggara, dan menyebabkan 10 orang tewas.

7

2. Pada 21 September 2011, Kapal Motor Sri Murah Rezeki tenggelam
di perairan Nusa Lembongan, Klungkung, Bali, dan menyebabkan
14 orang tewas.
3. 24 September 2011, Kapal Motor Tunggal Putri tenggelam di
perairan Pulau Raas, Kepulauan Kangean, Sumenep, Madura, dan
menyebabkan 13 orang tewas.
4. 26 September 2011, Kapal Motor Marina Nusantara tenggelam di

perairan Pulau Kadap, perairan Barito, Kalimantan Selatan.
5. 28 September 2011, Kapal Motor Kirana IX terbakar di Pelabuhan
Tanjung Perak, kapal tersebut terbakar, dan akibatnya sebanyak 8
penumpang tewas terinjak-injak di tengah kepanikan. 7
Untuk mencegah terjadinya kerugian yang besar, kerapkali para pelaku bisnis
membebankan asuransi pada obyek jaminan, yang mana disepakati dan
dicantumkan dalam bentuk awal berupa janji-janji yang tertuang dalam dokumen
penjaminan kapal laut.
Hukum jaminan dengan segala perkembangannya, melahirkan beberapa
keistimewaan yang mana juga bersumber pada BW, salah satunya adalah kreditor
privilege, yang mana juga merupakan suatu keistimewaan seperti halnya hak
kebendaan dalam hal hukum jaminan ini. Dalam hukum jaminan, diantara orangorang yang berpiutang yang diberi keistimewaan, tingkatannya diatur menurut
berbagai-bagai sifatnya hak-hak istimewa. Semakin berkembangnya hal ini,
semakin menimbulkan kenyamanan dan rasa percaya yang lebih bagi para pelaku
7
Anggi Kusumadewi, 5 Kecelakaan Kapal Dalam Sebulan,
http://nasional.vivanews.com/news/read/250815-sebulan-ada-5-kecelakaan-kapal--salahsiapa- (diakses tgl : 11/09/2011)

8


bisnis dalam mencari dana segar untuk kegiatan bisnisnya melalui penjaminan,
namun bukanlah hal yang tidak mungkin bahwa dari beberapa hak yang lahir
tersebut dapat berbenturan. Termasuk dalam penyelesaian sengketa dan imbasnya
pada pembagian santunan dalam hal pelunasan hutang.
Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan tersebut diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang dikaji dalam tesis ini adalah :
a.

Bagaimana implikasi janji-janji yang tertuang dalam perjanjian jaminan
hipotek kapal laut?

b.

Apabila kapal laut musnah karena force majeure, bagaimana kedudukan
pemegang hipotek kapal laut atas santunan yang dibayarkan oleh
perusahaan asuransi?

2. Tujuan Penelitian
a.

Untuk mengetahui dan menganalisa lebih lanjut mengenai adanya
pencantuman janji-janji yang tertuang dalam SKMH (Surat Kuasa
Memasang Hipotek), maupun dalam surat penjaminan hipotek, yang
nantinya juga dapat mengikat pihak ketiga

b.

Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisa sarana hukum yang dimiliki
oleh kreditor pemegang hak jaminan hipotek kapal laut dalam hal obyek
hipotek berupa kapal laut tersebut musnah, juga bila adanya benturan
dengan pemegang privelege, serta proses selanjutnya dalam kaitannya
dengan asuransi yang dibebankan pada kapal tersebut.

9

3. Manfaat Penelitian
a.

Adapun manfaat penelitian ini adalah agar dapat menambah bahan
kepustakaan hukum tentang hipotek di Indonesia, serta dapat melengkapi
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang
sama.

b.

Untuk lebih mendalami mengenai hipotek kapal laut, khususnya
perlindungan hukum para pihak dan pembebanan kapal laut sebagai obyek
hipotek. Serta dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi mereka yang ingin
mendalami hipotek sebagai lembaga penjaminan dalam hukum jaminan di
Indonesia.

4. Kajian Pustaka
Definisi kapal menurut Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD), kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau
yang diperuntukkan untuk itu, sedangkan pengertian kapal dalam Pasal 1 angka
(36) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (selanjutnya disebut
UU Pelayaran), kapal adalah :
Kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan
tenaga angin, tenaga mekanik, energy lainnya, ditarik atau ditunda,
termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah
permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak
berpindah-pindah
Inti definisi kapal dalam definisi ini adalah bahwa kapal merupakan kendaraan air
dengan bentuk dan jenis apa pun. Kendaraan air dapat digerakkan dengan :
1.
2.
3.

Tenaga mekanik;
Tenaga angina tau ditunda;
Berdaya dukung dinamis;

10

4.
5.

Kendaraan dibawah permukaan laut; dan
Alat apung dan bangunan terapung; 8

Berdasarkan Pasal 309 ayat 1 WvK, tercantum juga definisi kapal yaitu semua
perahu dengan nama apapun dan dari macam apapun. Sedangkan menurut Pasal
310 WvK, dijabarkan definisi kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk
pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk itu. Vollmar berpendapat bahwa
“alat yang berlayar adalah tiap benda yang dapat berlayar (yang dapat berpindah
atau dapat dipindahkan di atas air) atau benda itu diperuntukkan untuk kegiatan
berlayar.”
Sedangkan menurut Dorhout Mess, dikemukakan olehnya bahwa :
kapal adalah segala sesuatu yang dapat berlayar, mempunyai pengertian luas
disatu pihak karena meliputi apa yang terapung, tetapi dilain pihak
mempunyai arti sempit karena kapal yang sedang dibangun dan dibeli dan
dapat berlayar dianggap sebagai kapal. 9
Dalam pengertian “alat berlayar atau kapal” tersebut, unsur “dapat berlayar”
bukanlah merupakan unsur yang mutlak, sebab ada benda-benda tertentu yang
tidak diperuntukkan bagi pelayaran, akan tetapi digolongkan sebagai alat berlayar
seperti misalnya perahu tempat tinggal, kapal karam, mesin penggeruk lumpur,
alat pengangkut terapung, dok apung, mesin penyedot pasir, jembatan perahu, dan
sebagainya. Mengenai hal ini, H.M.N Purwosutjipto berpendapat bahwa “Hal ini
didasarkan pemikiran para pembentuk Undang-Undang negeri Belanda yang

8

H. Salim HS, OP. Cit., h. 196

9
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok hukum Dagang 5, Hukum
Pelayaran Laut dan perairan Darat, Djambatan, Jakarta, 2000, h. 11-12.

11

berpendapat bahwa semua benda, yang dapat berlayar atau bergerak dilaut,
bagaimanapun disusun dan tak peduli tentang keperuntukannya.” 10
Disebutkan dalam Pasal 155 ayat 3 UU Pelayaran, bahwa sebelum digunakan
dalam suatu pelayaran, setiap kapal laut wajib diukur untuk diterbitkannya surat
ukur untuk kapal laut dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya GT 7 (7
Grosse Tonnage). Mengenai pengukuran tersebut, dijelaskan lebih lanjut dalam
Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang Pelayaran, bahwa kapal laut yang telah diukur
itu dapat didaftarkan di Indonesia kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat balik
Nama Kapal yang ditetapkan oleh menteri. Kapal laut yang dapat didaftar di
Indonesia berdasarkan Pasal 158 ayat 2 Undang-Undang Pelayaran adalah :
a. Kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya GT 7 (Tujuh Grosse
Tonnage);
b. Dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c. Kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan
yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia;
Pendaftaran kapal tersebut dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan
dicatat dalam daftar kapal Indonesia, dan kemudian sebagai bukti kapal telah
didaftar, pemilik diberikan surat tanda pendaftaran yang berfungsi pula sebagai
bukti hak milik kapal yang didaftar dan pada kapal yang telah didaftar wajib
dipasang tanda bukti pendaftaran, sebagaimana terlah dijelaskan dalam Pasal 158
ayat 3, 4, 5 Undang-Undang Pelayaran.
Dalam hal kapal laut sebagai benda jaminan, Moch. Isnaeni dalam
bukunya menegaskan bahwa “kapal-kapal yang telah terdaftar dan akan dijadikan
agunan, oleh Pasal 314 ayat 4 WvK dinyatakan dengan tegas tidak dapat dibebani
10

Ibid.

12

dengan gadai, dan Pasal 1977 BW tidak dapat berlaku padanya.”

11

Pasal 314

WvK (KUHD) menegaskan bahwa kapal Indonesia yang dapat dibukukan dan
telah didaftar dalam register kapal menurut peraturan yang berlaku, yang mana
dalam hal ini adalah Pasal 158 Undang-Undang Pelayaran, apabila dijadikan
agunan, maka lembaga jaminan hipotek yang dipergunakan, dapat dibebani
hipotek dan menjadi obyek hipotek.
Istilah hipotek berasal dari hukum Romawi yaitu hypoteca (dalam hukum
Belanda terjemahannya adalah onderzetting) yang artinya adalah penjaminan atau
pembebanan. Gadai dan hipotek timbul melalui perjanjian yang dilakukan oleh
para pihak dan merupakan lembaga jaminan kebendaan yang keberadaannya
masing-masing diatur dalam Buku II Bab ke XX Pasal 1150 sampai dengan Pasal
1161 dan bab XXI Pasal 1162 BW sampai dengan Pasal 1232 BW. Dalam Pasal
1162 BW tercantum pengertian hipotek, yaitu hipotek adalah suatu hak kebendaan
atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya begi
pelunasan suatu perikatan.
Batasan akan obyek hipotek juga dijabarkan dalam Pasal 29 UndangUndang Hak Tanggungan, bahwa hipotek dan crediet verband sepanjang
menyangkut benda tanah dan segala sesuatu yang melekat dengan tanah
dinyatakan tidak berlaku lagi. Keberadaan hipotek sendiri tetap eksis dengan
obyeknya yaitu benda tidak bergerak yang tidak menyangkut benda tanah, dan
benda-benda yang terkait dengan tanah, contoh pesawat terbang, helicopter dan
kapal laut, kapal laut sesuai dengan pengaturan di Pasal 314 KUHD. Kapal laut

11

Moch. Isnaeni, OP. Cit., h.76.

13

sebagai benda tidak bergerak dengan isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3, dapat
dijadikan obyek hipotek.

12

Hal ini juga diungkapkan oleh Moch. Isnaeni dalam

bukunya :
Sesuai kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk Undang-Undang, maka
ditetapkanlah bahwa kapal dengan bobot kotor tidak kurang dari 20m3,
kalau dijadikan agunan, lembaga hipotek yang digunakan. Seluk beluk
jaminan kapal ini dalam KUHD (Wetboek van Koophandel yang masih
berlaku atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945,
untuk selanjutnya disebut WvK) diatur mulai Pasal 314 sampai dengan
315e. 13
dan dalam KUHD, diatur bahwa kapal yang dibukukan dalam register kapal dapat
diletakkan hipotek.14 Unsur-unsur yang tercantum dalam hipotek kapal adalah :
1. Adanya hak kebendaan
2. Objeknya adalah kapal yang beratnya diatas 20 m3
3. Kapal tersebut harus dibukukan
4. Diberikan dengan akta autentik
5. Menjamin tagihan hutang
Hipotek tidak bisa diletakkan selain oleh siapa yang berkuasa memindah
tangankan benda yang dibebani, dan hipotek hanya dapat diletakkan pada bendabenda yang sudah ada, hipotek atas benda-benda yang akan ada dikemudian hari
adalah batal.15 Beberapa sifat hipotek juga dijabarkan oleh Gunawan Widjaja
dalam bukunya, yaitu :

12

Vide Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Perkapalan

13

Moch. Isnaeni, OP. Cit., h.76.

14

Vide Pasal 314 KUHD

15

Vide Pasal 1168 jo. 1175 BW

14

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Hipotek bersifat memaksa (absolute)
Hipotek dapat beralih atau dipindahtangankan
Hipotek bersifat individualitet
Hipotek bersifat menyeluruh (totaliteit)
Hipotek tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid)
Hipotek berjenjang (ada prioritas yang satu atas yang lainnya)
Hipotek harus diumumkan
Hipotek mengikuti bendanya (droit de suite)
(Pasal 1136 ayat (2), Pasal 1198 BW)
9. Hipotek bersifat mendahulu (droit de preference)
(Pasal 1132 BW)
10. Hipotek sebagai Jura In Re Alinea (yang terbatas) 16

Hipotek juga mempunyai cirri khas tersendiri, yaitu :
1.

Accessoir, yaitu hipotek merupakan perjanjian tambahan yang
keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu hutangpiutang.

2.

Ondeelbaar, yaitu hipotek tidak dapat dibagi-bagi, karena hipotek
terletak diatas seluruh benda yang menjadi obyeknya, artinya sebagian
hak hipotik tidak menjadi hapus dengan di bayarnya sebagian hutang
(Pasal 1163 ayat (1) BW)

3. Verhaalsrecht, yaitu mengandung hak untuk pelunasan hutang saja, jadi
tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya. Namun jika
diperjanjikan,

kreditor

berhak

menjual

benda

jaminan

yang

bersangkutan atas kekuasaan sendiri yaitu dengan parate eksekusi
(eigenmachttigeverkoop) jikalau debitor lalai atau wanprestasi (Pasal
1178 ayat (1) dan (2) BW).

16

Gunawan Widjaja, Hak Istimewa, Gadai dan Hipotek, Kencana, Jakarta,
2005. h. 207

15

Melekat juga beberapa asas pada hipotek, antara lain Asas Publisitas
(Openbaarheid), yang berarti bahwa pengikatan hipotek harus didaftarkan dalam
register umum agar masyarakat khususnya pihak ketiga dapat mengetahuinya.
Dan juga Asas Spesialitas, yaitu pengikatan hipotik hanya dapat dilakukan atas
benda yang ditunjuk secara khusus.
Dengan memahami karakteristik dari pembebanan kapal laut sebagai obyek
jaminan, yang mana berdasarkan ukuran adalah 20m3, Hadi Supriyono
menjabarkan jenis kapal laut yang ditujukan sebagai kegiatan perniagaan, dan
kerapkali dijadikan obyek jaminan hipotek, jenis-jenis kapal laut tersebut antara
lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kapal Pesiar
Kapal Penumpang
Kapal Ro-Ro
Kapal Barang (Cargo Vessel)
Kapal Tanker
Kapal Tunda
Kapal Peti Kemas (Container Ship)
Kapal Keruk 17

Dari penjabaran tersebut, Wartini Soegeng menambahkan mengenai jenis baru
dari kapal barang (Cargo Vessel) yaitu :
Dinamakan Cargo-Vessel With Limited Accomodation For Passengers,
bilamana sebuah kapal barang diberi ijin untuk mengangkat penumpang
juga, namun dalam jumlah terbatas (12 orang). Keterbatasan disini 12 orang
bukanlah kelas dek, namun kelas kamar, maka bilamana terdapat akomodasi
untuk lebih dari 12 orang penumpang, sebuah kapal dikategorikan dalam
Cargo-Passengers Vessel. 18

17

Niaga,

18

Wartini Soegeng, Pendaftaran Kapal di Indonesia, Eresco, Bandung, 1988, h.

Hadi
Supriyono,
Jenis-Jenis
Kapal
http://crewagent.plusadvisor.com/ilmu-pelayaran/330-jenis-jenis-kapal-niaga-diindonesia (diakses tgl : 11/09/2011).

10-12.

16

Jenis kapal ini kerapkali digunakan oleh masyarakat Indonesia dewasa ini, dalam
kegiatan bisnis yang juga kerapkali dibebani dengan jaminan hipotek.
Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidestelling atau
security of law. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan mengemukakan bahwa hukum
jaminan adalah :
Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit,
dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan.
Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian
hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus
dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan
jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah.19
Menurut J.Satrio, diartikan bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang
mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap debitor.

20

Sementara Salim HS menarik kesimpulan dari kedua definisi diatas dengan
“Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi jaminan dan penerima jaminan, dalam kaitannya
dengan pemberian jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.” 21
Tempat pengaturan hukum jaminan dapat dibedakan menjadi dua tempat,
yaitu ada dalam Buku II BW dan juga di luar Buku II BW. Ketentuan-ketentuan
hukum yang masih erat hubungannya dengan hukum jaminan, yang masih berlaku
dalam BW, antara lain adalah gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 BW),
dan juga hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 BW). Sedangkan

19

Sri Soedewi Machsoen Sofwan, OP. Cit., h. 5

20
Satrio J, Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, (selanjutnya disebut J.
Satrio II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. h. 3
21

H. Salim HS, OP. Cit., h. 6

17

ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang terdapat di luar Buku II BW, terdapat
dalam pengaturan sendiri yang mana dalam pengaturan tersebut secara otomatis
juga menghapuskan pengaturan jaminan yang bersangkutan dalam BW, antara
lain adalah :
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA)
2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT)
3. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia (UUJF)
4. Undang-Undang No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Terdapat perbedaan sistem pengaturan hukum jaminan dan hukum perjanjian,
mengenai perbedaan ini, Salim HS mengemukakan
Yang diartikan dengan sistem tertutup adalah orang tidak dapat mengadakan
hak-hak jaminan baru, selain yang telah ditetapkan Undang-Undang.
Sedangkan sistem pengaturan hukum perjanjian adalah sistem terbuka.
Sistem terbuka artinya bahwa orang dapat mengadakan perjanjian mengenai
apapun juga, baik yang sudah ada atturannya didalam BW maupun yang
tidak tercantum didalam BW. Jenis perjanjian yang dikenal dalam BW
adalah jenis nominaat dan innominaat (perjanjian yang tidak diatur dalam
BW namun tetap dikenal dalam praktik. 22
Jaminan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu (1) jaminan materiil
(kebendaan), yaitu jaminan kebendaan, dan (2) adalah jaminan immateriil
(perorangan), yaitu jaminan perorangan. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam
bukunya mengemukakan pengertian dari kedua ini, yaitu :
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu
benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda
tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya
dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat

22

H. Salim HS, OP. Cit., h. 12-13

18

dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan debitor
umumnya.23
Hak Jaminan perorangan diatur dalam Buku III BW, dan mempunyai obyek yaitu
prestasi atau personal guarantee atau corporate guarantee dimana perjanjian ini
akan melahirkan suatu hak yaitu hak persoonlijk yang sifatnya relatif, artinya
bahwa hak itu hanya dapat ditegakkan khususnya kepada rekan sekontrak saja.
Sedangkan jaminan kebendaan adalah jaminan yang obyeknya benda yang
mana benda ini milik debitor yang diikat secara khusus dan didaftar oleh pihak
kreditor, dan akan menimbulkan hak kebendaan yang sifatnya mutlak (zakelijke
zekerheidsrechten), dan juga memberikan kedudukan preferen kepada para
kreditor pemegangnya sehingga hak kebendaan tersebut memiliki keunggulankeunggulan bila dibandingkan dengan hak jaminan lainnya termasuk juga hak
perorangan. Timbulnya hak kebendaan harus melalui perjanjian accessoir yaitu
perjanjian tambahan dari perjanjian awalnya (induknya), dengan kata lain, harus
diperjanjikan terlebih dulu mengenai benda yang akan dijaminkan secara khusus
(Pasal 1132 BW). Ciri-ciri yang istimewa yang dimiliki oleh hak jaminan
kebendaan yaitu
1. Bersifat mutlak
Hak itu dapat ditegakkan terhadap siapapun juga, termasuk rekan-rekan
sekontrak atau pihak-pihak lain yang ikut terkait di kemudian hari

23

Sri Soedewi Machsoen Sofwan, OP. Cit., h. 46-47

19

2. Droit de Suite
Hak tersebut akan tetap mengikuti (melekat) bendanya ke tangan
siapapun benda itu berada. Jika benda tersebut berpindah tangan, maka
yang bersangkutan juga wajib menghormati hak kebendaan tersebut.
3. Terdapat preferensi (Pasal 1132 BW)
Jika obyek jaminan telah laku dilelang, maka kreditor preferen harus
didahulukan pelunasannya daripada piutang kreditor-kreditor lainnya
(konkuren).
4. Mengandung asas prioritas
Hak kebendaan yang lahir terlebih dahulu akan didahulukan pelunasan
piutangnya daripada hak kebendaan yang lahir belakangan, yang
tentunya pelunasan piutangnya akan dibayar belakangan. Asas prioritas
ini digunakan apabila terjadi benturan antara sama-sama pemegang hak
kebendaan.
5. Mengandung asas separatis
Dalam hal terjadi kepailitan, pada umumnya, pemegang hak kebendaan
terpisah dari kreditor konkuren lainnya. Serta pelaksanaan eksekusi
benda jaminan dapat dilakukan secara langsung (parate eksekusi).
6. Terdapat gugat kebendaan (zakelijk actie)
Pemegang hak kebendaan dapat menggugat apabila haknya ada yang
mengganggu, misalnya : penuntutan kembali, penggantian kerugian,
pemulihan keadaan semula.

20

Mengenai ciri hak kebendaan, Sri Soedewi Machsoen mengemukakan bahwa
sekurangnya ditemukan 10 ciri hak kebendaan, antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Hukum kebendaan merupan hukum yang bersifat memaksa
Hak kebendaan dapat dipindah tangankan
Individualiteit
Totaliteit
Onsplitsbaarheid (asas tidak dapat dipisahkan)
Prioriteit
Asas Vermenging (percampuran)
Asas Publicitiet
Asas perlakuan yang berbeda atas kebendaan bergerak dan kebendaan
tidak bergerak
10. Adanya sifat perjanjian dalam setiap pengadaan atau pembentukan hak
kebendaan.24
Dalam hukum jaminan, diantara hak-hak yang mempunyai keunggulan,

diantaranya juga terdapat hak privilege, hak ini juga dinamakan sebagai hak
istimewa, hak privilege ini berdasar pada Pasal 1139 dan 1149 BW, dimana
terdapat dua macam dari hak ini, yaitu :
1. Privilege Khusus (Pasal 1139 BW)
Hak didahulukan terhadap benda tertentu milik debitor (9 macam)
2. Privilege Umum (Pasal 1149 BW)
Hak didahulukan terhadap semua harta benda milik debitor (7
macam)
Seperti halnya hak kebendaan, hak privilege ini merupakan hak yang memberikan
jaminan untuk didahulukan (preference), meski mempunyai sifat yang mirip
dengan hak kebendaan, namun bukanlah merupakan hak kebendaan, dan bukanlah
hal yang tidak mungkin untuk adanya benturan dengan hak kebendaan atau hak
lainnya. Pengaturan privilege ini juga tertuang dalam Pasal 316 jo. 318 KUHD.
24

Gunawan Widjaja, OP. Cit., h. 205

21

Kreditor privilege ini juga dapat mendapatkan preferensinya bila diminta, hal ini
berdasar pada Pasal 1209 BW, yaitu terjadi pada saat berakhirnya hipotek.
Peristiwa tak terduga (force majeure) adalah keadaan dimana seorang
debitor terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa
yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut
tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitor, sementara si debitor tersebut
tidak dalam keadaan beriktikad buruk, dan acapkali peristiwa yang merupakan
force majeure tersebut tidak termasuk kedalam asumsi dasar (basic assumption)
para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Hal ini sungguh merupakan suatu
penghalang terciptanya hubungan baik kreditor dan debitor, dan tentunya juga
berimbas pada pemenuhan prestasi pada perjanjian hipotek yang bersangkutan.
Keadaan memaksa secara fragmentis tertuang dalam BW, namun demikian
BW tidak merumuskan batasan keadaan memaksa ini.

25

Suryodiningrat

memberian batasan sebagai berikut :
Keadaan memaksa ialah peristiwa yangn terjadi diluar kesalahan debitor
setelah dibuat perikatan yang debitor tidak dapat memperhitungkannya
terlebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan, atau sepatut-patutnya tidak
dapat memperhitungkannya, dan yang merintangi pelaksanaan perikatan.26
Serupa dengan Agus Yudha Hernoko yang memberikan batasan sebagai berikut :
Dapat disimpulkan merupakan peristiwa yang tidak terduga yang terjadi
diluar kesalahan debitor setelah penutupan kontrak yang menghalangi
debitor untuk memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan

25

R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito,
Bandung, 1991. h. 31.
26

Ibid.

22

karenanya tidak dapat dipersalahkan serta tidak menanggung resiko atas
kejadian tersebut.27
Mengenai pengaturan dalam BW, Agus Yudha Hernoko juga menjabarkannya
dengan lebih detail dalam bukunya :
Terkait dengan overmacht, Buku III BW mengaturnya secara fragmentis
(tersebar) dalam beberapa Pasal, yaitu bagian IV tentang Penggantian Biaya,
Rugi dan Bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan (Pasal 1244-1245
BW) dan Bagian VII tentang Musnahnya Barang yang terutang (Pasal 14441445 BW). 28
Dalam hal pendalilan force majeure, overmacht, Yohanes Sogar Simamora
mengemukakan pendapatnya dalam bukunya :
Dalam perspektif Hukum Perikatan, dalil keadaan memaksa yang diajukan
oleh debitor terkait dengan tidak dipenuhinya suatu perikatan. Oleh sebab
itu klausula keadaan memaksa hanya relevan untuk executory contract dan
tidak untuk executed contract. 29.
Kedua hal ini berkaitan dengan pemenuhan prestasinya, keberlakuan keadaan
memaksa ini tidak berlaku dalam perikatan yang mana pemenuhannya dengan
bentuk prestasi tidak berbuat sesuatu, dan pada karakteristiknya, keadaan
memaksa itu menghapus perbuatan wanprestasi pada debitor. J.H. Niuwenheis
yang dalam bukunya hasil terjemahan D.Saragih juga mengemukakan bilamana :
Terdapat dua unsur yang harus dipenuhi oleh debitor dalam menggunakan
dalil keadaan memaksa ketika ia tidak dapat memenuhi kewajibannya, yakni
: pertama, pemenuhan prestasi harus tercegah, dalam arti debitor secara
patut memang tidak mampu mencegah terjadinya peristiwa yang
menghalangi perikatan itu, dan kedua, pencegahan itu tidak dapat
dipertanggung-jawabkan kepada debitor, dalam hal ini debitor harus

27
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, Kencana Media, Jakarta, 2010. h. 270-271
28

29

Ibid. h.270

Y. Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Barang
dan Jasa, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2010. h. 338

23

bertindak selaku kepala keluarga yang baik dan telah menjaga terhadap
kemungkinan pencegahan prestasi yang terutang. 30
Memang benar bilamana dicermati, tidak terdapat suatu Pasal pun yang
mengatur force majeure secara umum untuk suatu kontrak bilateral (prestasinya
timbal balik), yang dapat kita lakukan adalah menarik kesimpulan-kesimpulan
umum dari pengaturan-pengaturan khusus, yaitu pengaturan khusus tentang force
majeure yang terdapat dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau
pengaturan resiko akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam
bagian kontrak-kontrak khusus (kontrak bernama). Disamping tentunya juga
menarik kesimpulan dari teori-teori hukum tentang force majeure, doktrin dan
yurisprudensi.
Asuransi yang memang ditujukan untuk kapal laut, biasanya mencakup 2
hal, yang pertama adalah General Average, dan yang kedua adalah Particular
Average, mengenai kedua hal tersebut Imam Musjab mengemukakan :
kedua hal ini berbeda lingkupnya, General Average ditujukan untuk
melindungi dari tabrakan, karam, kandas, dan kejadian ekstrim yang lain,
sedangkan Particular Average lebih ditujukan untuk kejadian yang dapat
diklasifikasikan sebagai kejadian ringan, contohnya pencurian loadingunloading risk, dan accidental damage lainnya. 31
Jadi, bila digabungkan, asuransi kapal laut antara lain melindungi atas :
1.
2.
3.
4.

bahaya laut seperti cuaca buruk, tenggelam, tabrakan dll (perils of the
seas)
kebakaran, ledakan
pencurian dengan kekerasan
pembuangan kargo kelaut (jettison)
30

J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken Verbintenissencrecht, terjemahan D.
Saragih, Surabaya, 1985. h. 91-92.
31
Imam Musjab, Asuransi Kapal Laut, http://ahliasuransi.com/asuransi-kapaldan-pi-marine-hull-and-pi/ (diakses tgl : 30/10/2011)

24

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

perompakan (piracy)
tabrakan dengan pesawat udara
gempabumi letusan, gunung berapi, sambaran petir
kelalaian nahkoda dan crew
pemberontakan atau pengambilalihan paksa oleh nahkoda dan crew
tanggung jawab hukum akibat tabrakan kapal (Collission Liability)
kontribusi General Average and Salvage
biaya-biaya penyelamatan 32

Hal ini setara dengan yang disebutkan juga dalam Undang-Undang
Pelayaran, bahwasanya hal-hal yang membutuhkan asuransi, antara lain :
1. Jaminan akan diangkatnya bangkai kapal (Pasal 203)
2. Jaminan akan dibayarnya bila ada pencemaran (Pasal 231)
3. Jaminan akan perlindungan crew (Pasal 151)
Asuransi hipotek ini, diatur juga dalam pasal 297 KUHD, dan klausula
pengasuransian ini kerapkali dicantumkan dalam bentuk janji-janji dalam SKMH
(Surat Kuasa Memasang Hipotek), yang mana nantinya akan diwujudkan dalam
perjanjian jaminan hipotek.
5. Metode Penelitian
5.1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan masalah yang
digunakan adalah Statute Approach dan Conceptual Approach.33 Statute
Approach (pendekatan perundang-undangan) yaitu pendekatan yang bertolak dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan Hukum
Jaminan khususnya mengenai Hipotek kapal laut. Conceptual Approach
(pendekatan konsep) yaitu pendekatan dengan mengkaji dan menelaah konsep32

33

Ibid.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2005, h. 93.

25

konsep yang ada dan berkaitan dengan Hukum Jaminan khususnya mengenai
Hipotek kapal laut. Dengan menggunakan dua pendekatan tersebut diharapkan
diperoleh jawaban yang jelas atas permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini.
5.2. Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penulisan tesis ini diperoleh dari bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan yang berupa
peraturan

perundang-undangan

yang

mengatur

dan

berkaitan

dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai Hukum Jaminan
khusus nya mengenai hipotek kapal laut, antara lain Undang-Undang Pelayaran,
Undang-Undang Perbankan, BW dan WvK. Bahan hukum sekunder yang dipakai
dalam penulisan tesis ini merupakan bahan yang diperoleh dari berbagai artikel,
literatur, karya ilmiah, makalah, situs internet, wawancara dan juga karya tulis
dari para sarjana hukum yang tentunya relevan dengan judul dan permasalahan
yang dibahas dalam penelitian ini.
5.3. Prosedur Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum
Semua bahan hukum primer akan diinventarisasi, dikategorisasi dan
diidentifikasi, sedangkan bahan hukum sekunder dikumpulkan baik dengan sistim
kartu catatan (card system), dengan kartu ikhtisiar (memuat ringkasan tulisan
sesuai aslinya, secara garis besar dan pokok gagasan yang memuat pendapat asli
penulis); serta kartu ulasan (berisi analisis dan catatan khusus penulis).
Selanjutnya semua bahan hukum dipergunakan dalam menganalisis permasalahan
yang diangkat dalam penulisan tesis ini melalui studi kepustakaan yang mengacu

26

pada peraturan perundang-undangan, buku-buku atau literatur-literatur, tesis, dan
karya tulis dari para ahli hukum yang disusun secara sistematis sesuai obyek
penelitian, guna memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum dan
akhirnya dianalisa secara normatif.
6. Pertanggungjawaban Sistematika
Penulisan tesis ini akan terdiri dari empat bab yang disusun dengan
sistematika sebagai berikut :
Sebagai awal penulisan ini, pada Bab I, berisi Pendahuluan. Pada bagian ini
diuraikan mengenai hal-hal yang mendasar yang berkaitan dengan penulisan tesis,
antara lain : latar belakang masalah dan rumusannya, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang terdiri dari pendekatan
masalah, sumber bahan hukum dan prosedur dan pengumpulan sumber bahan
hukum, kemudian diakhiri dengan pertanggungjawaban sistematika.
Oleh karena, pencantuman janji-janji dan penggunaan SKMH sebelum lahir
perjanjian hipotek serta asuransi adalah hal pentingnya penulisan ini, dalam Bab II
akan dibahas mengenai tinjauan dan analisis mengenai implikasi janji-janji
tersebut, serta proses terkaitnya pihak ketiga dalam perjanjian hipotek tersebut,
hingga bahasan mengenai pengasuransian kapal laut.
Oleh karena, eksisnya kreditor privilege juga menjadi titik serangkaian
penulisan ini, maka untuk mengkaji permasalahan yang ada, dibahas mengenai
tinjauan terhadap hak istimewa yang melekat pada kreditor, termasuk membahas
jenis hak istimewa, dan pengaturan mengenai hal tersebut dalam Undang-Undang
Pelayaran, BW dan KUHD. Dan terkait dengan penyelesaian sengketa bilamana

27

terjadi hal tak terduga, mengenai musnahnya obyek hipotek dan akibat hukumnya,
serta pentingnya pembahasan mengenai pembagian santunan asuransi sebagai
pelunasan hutang, maka pembahasan-pembahasan tersebut akan tertuang dalam
Bab III.
Diakhiri dengan Bab IV, yang mana adalah akhir dari tesis ini. Bab ini
adalah Bab Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan dan Saran yang dianggap penting
berdasarkan hal yang telah dibahas dalam tesis ini.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Pengaruh Atribut Produk dan Kepercayaan Konsumen Terhadap Niat Beli Konsumen Asuransi Syariah PT.Asuransi Takaful Umum Di Kota Cilegon

6 98 0

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Laporan Keuangan Arus Kas Pada PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir Cabang Bandung Dengan Menggunakan Software Microsoft Visual Basic 6.0 Dan SQL Server 2000 Berbasis Client Server

32 174 203

Penerapan Data Mining Untuk Memprediksi Fluktuasi Harga Saham Menggunakan Metode Classification Dengan Teknik Decision Tree

20 110 145

Pembangunan Sistem Informasi di PT Fijayatex Bersaudara Dengan Menggunakan Pendekatan Supply Chain Management

5 51 1