Mewujudkan Hidup yang Damai Sejahtera Le

Mewujudkan Hidup (yang) Damai Sejahtera Lewat Etika Konfusius:
Sebuah Usaha Pencarian Jalan Keluar dari Keabsurdan Hidup
Yogie Pranowo
Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara
Pengantar
Akhir akhir ini, marak dijumpai persoalan tentang multikulturalisme di Indonesia, mulai
dari perselisihan antar agama, kasus penutupan-pembangunan tempat ibadah hingga perang suku.
Bhineka Tunggal Ika yang digadang gadang menjadi kekuatan nasionalpun harus bungkam, ia
telah menutup mulutnya. Ia tidak lagi mau bersaksi atupun menjelaskan apa maksud dari keBhineka-an nya itu. Pancasila tinggal wacana kebangsaan yang abu abu, tak jelas juntrungannya,
malahan ideologi semacam itu menjadi doktrin untuk semakin menyengsarakan rakyat.
Pemerintah seakan tak lagi peduli dengan nasib bangsanya, hal itu dapat kita lihat dari minimnya
usaha Pemerintah dalam mengatasi persoalan pelik ini. Siapa sangka di zaman yang serba
mewah dan canggih ini, ternyata malah terjadi krisis moral yang berkepanjangan. Di sana sini,
orang sibuk dengan blackberry, I-phone, I-pad, dan apple nya, namun orang orang malah
semakin cuek dengan realita kehidupan, tak peduli lagi dengan apa yang telah terjadi, sungguh
ironis dan absurd! Peristiwa demi peristiwa yang mengenaskan pun telah mewarnai krisis moral
bangsa ini, mulai dari “pembantaian” umat ahmadiyah, teror bom buku, “perampokan” uang
nasabah Citybank, kasus korupsi Ratu Atut, hingga kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh
Sitok Srengenge1 terhadap mahasiswi jurusan Sastra Jerman Universitas Indonesia menjadi bukti
kemerosotan moral bangsa ini.
Padahal, mengenai hal ini, Driyarkara, seorang filsuf dari Indonesia pernah mengatakan

bahwa eksistensi manusia dalam hubungannya dengan sesama adalah sebagai homo homini
socius: manusia adalah kawan bagi sesamanya, kawan yang membantu menjadi semakin
manusiawi dan kawan yang ikut menghantarnya menuju ke pusat hidup manusia yakni, Tuhan.
Singkatnya, ia meng-kritik hubungan antar manusia yang semakin memakan, yang sering
membenci, yang homo homini lupus: manusia adalah serigala bagi sesamanya 2. Adanya
perbedaan ini tentunya menjadi masalah. Driyarkara menawarkan sebuah konsep yang ideal bagi
1
2

Sitok Srengenge adalah salah satu kurator dari komunitas Salihara, Jakarta.
Lih. Prof. Dr. N. Drijarkara, Percikan Filsafat, hal. 1-2.

1|Halaman

manusia, yakni homo homini socius, sedangkan realita yang terjadi di masyarakat malah
sebaliknya, manusia menjadi makluk yang saling memakan satu sama lain, mereka saling
mengobjekkan diri. Dari pengobjekkan diri itulah yang menyebabkan manusia menemui banyak
persoalan kemanusiaan. Persoalan kemanusiaan ini sebenarnya dapat diatasi jika manusia mau
merefleksikan hidupnya dengan lebih serius lagi, dengan lebih dalam lagi. Duc in altum! Dengan
kata lain, manusia harus mampu memberikan makna yang mendalam kepada dirinya sendiri. Hal

itu dapat ditempuh salah satu caranya lewat apa yang disebut oleh Konfusius sebagai etika.
Konfusius adalah seorang filsuf Cina yang mengembangkan suatu etika humanistik. Ia
memusatkan perhatiannya kepada keteraturan tatanan sosial dengan basis pengembangan diri
pribadi manusia. Ia adalah pemikir Cina yang pertama kali menyusun dasar-dasar penempaan
diri. Ia tidak hanya sekadar pembawa ajaran tradisi tapi ia juga memberi arti dan penjelasan baru
atasnya. Etika Konfusius adalah etika yang menerapkan beberapa prinsip penting – tanggung
jawab dan perkembangan individu, hubungan-hubungan, dan perilaku yang layak menekankan
nilai moral – dimana semuanya membawa kita menjadi individu-individu yang bernilai moral
baik adanya, hubungan yang sehat dan pada akhirnya harmoni(s). Fokus utama dari etika
Konfusius adalah perkembangan moral dari individu manusia. Mengapa demikian? Sebab, bagi
Konfusius, adalah kewajiban moral dari individu manusia untuk mengembangkan karakter yang
baik dengan mendapatkan pengetahuan moral dan melalui pengembangan-diri, yang mampu
didapat hanya melalui pembelajaran dan praktek. Perilaku didasarkan pada nilai-nilai seperti
kebajikan, kebenaran, hormat, kepercayaan dan aturan emas.
Dalam tulisan pendek ini, saya akan mencoba menunjukkan bagaimana pemikiran
Konfusius sebenarnya memiliki peran yang cukup signifikan terhadap perkembangan nilai
kehidupan bersama masyarakat perkotaan yang semakin individualis dan terkesan absurd.
Keyakinan saya terhadapnya didasari pada fakta-fakta bahwa Konfusius lewat teori etikanya
ingin menghadirkan kembali garis-garis tebal mengenai hubungan antar manusia yang semakin
lama semakin memudar. Sehingga komunikasi yang harmonis antar manusia akan mengantar kita

kepada kehidupan yang damai sejahtera.
Selayang Pandang Sejarah Filsafat Cina3 dan Pengaruh Konfusius
3

Mengenai istilah-istilah dalam bahasa Cina, ada dua ejaan, yakni ejaan Pinyin dan Wade Giles (bisa lihat
http://www.namahao.com/id/guide/whatismandarin.htmlatau http://madcat.library.wisc.edu/help/wadetopinyin.pdf.).
Dalam ejaan Pinyin: Kongzi, Mengzi, Xunzi, dan sebagainya. Sedangkan dalam ejaan Wide Giles: K’ung-tzu,
Meng-tzu,dan sebagainya. Latinisasi dari nama-nama tersebut juga kerap digunakan. Misalnya, confusius untuk
kongzi, mensius untuk Mengzi, dan sebagainya.

2|Halaman

Pertama-tama, marilah kita lihat bagaimana filsafat Cina mengalami perkembangan yang
pesat lantaran mau menerima keadaan. Dan disini juga akan saya uraikan bagaimana peran dari
Konfusius di dalam sejarah filsafat Cina itu sendiri.
Masa dinasti Zhou (1122 – 221 SM) dikenal sebagai zaman klasik dari kebudayaan Cina.
Dinasti Zhou menurut sejarah filsafat Cina terbagi atas dua zaman, yakni western Zhou (西周 )
dan eastern Zhou ( 東 周 ). Dinasti Zhou terpecah belah menjadi banyak negara feodal yang
saling berperang. Masing-masing berupaya untuk menjadi yang terkuat sehingga membuat
pemerintah pusat Dinasti Zhou menjadi lemah.

Lahirnya Sekolah Sekolah
Kembali ke masa perang, dinasti Zhou. Situasi yang tidak stabil tersebut dan peperangan
yang terjadi di mana-mana telah menyebabkan penderitaan bagi rakyat jelata. Dari situasi yang
demikian ini mendorong munculnya sekolah-sekolah yang berusaha untuk mengatasi
penderitaan. Semua sekolah-sekolah (aliran filsafat Cina) muncul dalam tahap ini dan memiliki
tujuan yang sama, “damai di bumi” PING TIAN XIA ( 平 天 下 ). Sekolah-sekolah tersebut
muncul dengan ciri ajarannya masing-masing. Dengan demikian menurut sejarah filsafat Cina,
kita dapat menemukan nama-nama sekolah macam Sekolah Dao (道 家 ), Sekolah Hukum (法
家), Sekolah Nama (名家), Sekolah Yin Yang (阴阳家), Sekolah Ru (儒家) dan Sekolah Mo.
Konfusius
Konfusius adalah seorang Ru dan pendiri sekolah Ru yang di Barat dikenal sebagai
sekolah Konfusianisme. Kaum Ru sendiri adalah orang-orang yang ahli dalam musik, tata cara,
dan upacara-upacara. Pada masa kejayaan dinasti Zhou Barat, mereka menjadi orang-orang yang
menjalankan upacara/ritual dan menjaga tradisi. Dalam melakuan ritual-ritual dan upacaraupacara, musik menjadi sarana yang sangat berpengaruh, sehingga mereka biasanya ahli dalam
hal ini juga.
Riwayat hidup Konfusius membantu kita untuk memberikan gambaran tentang ajaranajarannya yang berinti pada relasi kekerabatan. Nama Konfusius sendiri adalah nama latin 4.
4

Fung Yu Lan, A Short History of Chinese Philosophy, New York: The Free Press,1948, hlm. 38


3|Halaman

Sedangkan di Cina, ia lebih dikenal sebagai K’ung Tzu atau Guru K’ung. Nama keluarganya
adalah K’ung dan namanya sendiri Ch’iu. Ia lahir pada tahun 551 SM 5 di negara bagian Lu, di
bagian Selatan propinsi Shantung, Cina Selatan. Nenek moyangnya telah menjadi anggota
keluarga bangsawan negara bagian Sung, yang adalah keturunan dari raja-raja Shang, dinasti
yang mendahului Zhou. Karena terjadi kekacaauan politik, maka sebelum Konfusius lahir
keluarganya telah kehilangan posisi bangsawannya dan pindah ke negara Lu.
Ulasan yang lebih detail tentang kehidupaan Confusius adalah biografi yang terangkum
dalam bab empat puluh tujuh Shih Chi atau Historical Records (sejarah dinasti Cina pertama,
lengkap ca. 86 SM). Pada usia lima puluh tahun ia meraih pangkat kepegawaian yang paling
tinggi. Namun, sebagai akibat dari intrik politis, ia terpaksa meninggalkan jabatannya dan
diasingkan. Selama tiga belas tahun ia mengembara dari negara yang satu ke negara lain, dan
selalu berharap untuk menemukan sebuah kesempatan untuk mewujudkan cita-cita politik dan
sosialnya. Dalam kitab Li Chi dilukiskan bahwa pada suatu hari, menjelang akhir hidupnya, ia
melantunkan sebuah lagu bernada sedih:
Gunung yang besar akan runtuh
Tiang yang kokoh akan patah
Dan manusia bijak kian layu seperti tanaman6
Konfusius akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 479 SM.7


Mencius dan Xunzi
Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan
dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya
pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan.
“Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah
5

Sze-ma Chien, dalam kitab Shih Chi bab 47, mengatakan bahwa Konfusius dilahirkan dalam tahun ke dua puluh
dua Adipati Hsiang. Itu berarti tahun 551 SM. Lihat juga James Legge, The Chinese Classic. Confucius Analects,
The Great Learning and Doctrine of The Mean, Taipei: Southern Materials Center, Inc,1983, hlm.59
6
Li Chi, II. Bagian I.2.20 dalam Legge, 1971, hlm. 87.
7
Fung Yu Lan, 1948, hlm. 38

4|Halaman

prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing
tindak eksternal.

Mencius mengritik Mohisme mengenai tata hubungan relasi. Mo Tzu mengabaikan
hierarki ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang Tzu lebih menekankan
diri sendiri. Ia menunjukkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini dan menekankan diri sendiri,
Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan keadilan yang arah nyatanya peduli pada orang
lain. Pada Mo Tzu tidak ada gradasi cinta (no gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut
lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Konfusius; yaitu sistem masyarakat Cina,
ada lima jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, temanteman. Penerus ajaran Konfusianis lainnya adalah Xunzi. Dia adalah eksponen prinsip prinsip
Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius dapat dikatakan sebagai wakil dari sayap
idealistik, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistik, karena ia menekankan kontrol
sosial dan meyakini bahwa pada dasarnya kodrat manusia adalah buruk adanya.

Mohisme
Sekolah Mo berakar dari para pendekar yang kehilangan posisi/jabatannya di kerajaan
dan kemudian menjadi pengembara ( 游 侠 / yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat anatara
konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat
(Lǐ/ 禮 ), tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis
mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ
lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì/ 利 ) dan pencapaian
(Kung/ 功). Dari bab ke-35 Mo Tzŭ mengatakan:
"penilaian standar harus dilakukan... Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah,

keberuntungan (li 利 ) dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus
diverifikasi... tentang dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno
yang bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi
rakyat jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan (li 利) pada negara dan
5|Halaman

rakyat…"8
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa
besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus
berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara
mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa
diajarkan secara efektif kepada manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio
belaka9. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang
mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak
mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih memanfaatkan.10
Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan
peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi
yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu sorga kemudian hilang
karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan

pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan
kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran
naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para penganut Daois memandang alam sebagai tempat mereka menarik diri, mencita
citakan hidup sederhana, dengan wu wei sebagai inti ajaran mereka. Tetapi karena diantara
mereka ada perbedaan dalam hal menafsirkan konsep Dao, muncullah dua anak aliran. Yang satu
dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang Zhu.
Sementara itu, Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala
sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan
spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan fisis yang buta.
Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar
keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistik
8

Fung. Vol I, 85-86.
Fung. Vol I, 86
10
Liu, JeeLoo. An Introduction to Chinese Philosophy – From Ancient Philosophy to Chinese Buddhism. 2006.
Blackwell Publishing. (Liu, 115).
9


6|Halaman

Daoisme. Apapun perbedaannya, ajaran ajaran mereka menekankan bahwa manusia harus cocok
dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya.
Han Fei Zi
Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa bulat dari gagasan kaum Legalis
berasal dari ajaran shi menurut Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa menurut Shang
Yang. Han Fei memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam upayanya mempertahankan
bahwa hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan social dan perdamaian .Han Fei
juga memakai doktrin wu wei dari Laozi bagi prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang
memakai hukum yang terperinci harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan
penguasa. Dengan demikian menandakan bahwa mereka bertentangan langsung dengan kaum
konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis dan pengaruh manusia.
Neo Konfusianisme
Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama
Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat
Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi
kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan.
Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi Jing

dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk 'Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya.
Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya
berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi
Jing). Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar
juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan
Qi). Mewarisi 'ke-satu-an' dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao
menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempatumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan
antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan
dan Wang Yangming yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang.
Konsep Manusia sebagai Individu (bermoral) dan Kedewasaan Sejati
7|Halaman

Lewat sejarah filsafat Cina, kita diajak untuk merefleksikan diri kita, apakah sebagai
manusia yang saling berelasi kita sudah melakukannya sesuai dengan keutamaan kita atau
belum, maka pada bagian ini saya akan menguraikan bagaimana konsep manusia sebagai
individu menurut Konfusius beserta pengaruhnya kelak.
Dalam pemikiran konfusius, menurut kodratnya manusia itu sama dan sederajat sebagai
individu. Bertolak dari manusia sebagai individu maka ia juga mempunyai moralitasnya sebagai
individu. Manusia yang bermoral ini akan mencapai kedewasaan diri yang sejati. Konfusius tidak
pernah mengajar tentang manusia dari segi kodratnya. Menurut pandangannya manusia itu waktu
dilahirkan dalam keadaan netral, artinya tidak jahat, tidak pula baik. Manusia pada saat lahir
merupakan suatu tabula rasa, pengalamanlah yang akan membentuk perkembangannya.
Konfusius berpendapat bahwa manusia pada waktu lahir dalam keadaan sama. Dalam Lun yu
dikatakan bahwa menurut kodratnya, manusia adalah sama, dalam prakteknya, mereka menjadi
sangat berbeda.11 Manusia juga dianggap sama secara kodrati dalam hal memberikan jawaban
terhadap situasi yang sama. Bagi Konfusius, dari fakta kesamaan itu, tidak dapat ditarik
kesimpulan bahwa semua orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi secara sama pula.
Sebagai gantinya, prinsip timbale balik atau shu yang akan dibahas kemudian, sering digunakan
untuk mendorong para penguasa untuk membagikan kekayaan dan kesenangan mereka kepada
rakyat.
Ajaran tentang kedewasaan sejati pada hakikatnya merupakan esensi dari konsep
Konfusius mengenai etika. Jalan menuju kepribadian yang benar tidak menuntut jalan khusus
seperti tapa, mati raga atau meditasi. Kepribadian benar itu hanya dapat dicapai lewat hidup
harian yang diarahkan. Mengetahui bagaimana melakukan pendekatan terhadap tetangga
sehingga hubungan antar tetangga menjadi harmonis, atau menekan rasa cemburu terhadap orang
lain agar tidak berlebihan adalah salah satu contohnya. Seorang yang berkepribadian benar
menampilkan diri dalam kerendahan hati sambil berusaha percaya pada orang lain. Jalan ini
merupakan usaha sendiri. Usaha yang tertinggi yang bisa dicapai seseorang ialah menyatukan
tingkah laku moralnya dengan tatanan moral universal. Orang yang mencapainya pasti sudah
menjalankan usaha yang benar dan menjalankan tatanan moral atau li.

11

The analects, 92, 112.

8|Halaman

Etika bagi konfusius tak lain adalah pengarahan diri pada yang baik sebagai suatu usaha
yang mandiri. Usaha tersebut tak luput dari apa yang dinamakan li, ren, yi, chun zhu, dan ming.
Maka pada bagian selanjutnya akan diuraikan konsep penting dalam pemikiran Konfusius.
Li (Ritual) dalam Pemikiran Kongzi
Karakter Li ( 禮 ) dibentuk dari 2 bagian. Karakter sebelah kiri berarti “intervensi dari
surga”, sedangkan karakter sebelah kanan menggambarkan alat untuk mempersembahkan
kurban. Karakter ini menggambarkan perjumpaan antara langit yang memberi tuntunan pada
manusia dan manusia yang memberikan persembahan pada langit12.
Secara umum, li diartikan sebagai ritual yang berarti perilaku religius untuk tujuan
perlindungan “supranatural” dan berkat, misalnya untuk memohon bantuan dari kekeringan,
serangan serangga, dan sebagainya guna memperkuat kedaulatan. 13 Dipercaya bahwa kehendak
roh dapat dipengaruhi melalui perilaku religius ini. Dalam hal ini, pengorbanan menjadi aspek
terpenting dari ritual yang meliputi pengorbanan kepada langit, roh bumi, dan roh leluhur.14
LunYu15 bab 10 menggambarkan betapa Konfusius menaruh hati pada pelaksanaan ritual
secara tepat. Selama ritual penyucian, Konfusius mengganti makanan hariannya dan ia tidur
tidak di tempat seperti biasanya (10.7). Setelah melayani pengorbanan umum, ia tidak memakan
hidangan persembahan hingga berlalu tiga hari (10.9). Konfusius menggambarkan ritual sebagai
tanggul bendungan, Jika tanggul rusak, maka banjir datang. Demikian pula jika kita
menghilangkan ritual, maka kekacauan dan bencana akan datang.16
Di samping itu, Konfusius juga memberi pemahaman baru mengenai li. Ia memandang li
tidak hanya sebatas praksis ritual, melainkan juga sebagai etiket social dan standar pribadi yang
harus dipegang.
“[…] tidak hanya upacara keagamaan agung negara, tapi juga apa yang kita sebut sebagai
aturan etiket sosial dan standar perilaku.”17
Li tidak hanya berarti praktik ritual, tapi juga sikap ritual. Dalam hal ini, li juga dapat dipahami
sebagai sopan santun, sikap tepat. Bagi confusius, li senantiasa berhubungan dengan18: norma
yang mengendalikan mereka yang berada di atas dan di bawah, cara yang pantas dalam
12

Hendra Sutedja, Bahan Kuliah jenjang strata satu matakuliah Filsafat Timur II, STF Driyarkara, 2010.
Xinzhong Yao, An Introduction to Confisinism, Cambridge:Cambridge University Press, 2000, hlm. 197
14
Xinzhong, 2000, hlm. 193.
15
Menurut Legge, Kitab ini merupakan kumpulan sabda konfusius yang berhasil dihimpun oleh murid-muridnya.
16
Jefrey L Richey, Teaching Confucianism, New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 28-29.
17
Philip J Ivanhoe, Confusian Moral Self Cultivation, Indiana Polis: Hacket Publishing Company, Inc, 2000 hlm. 4
13

9|Halaman

memerintah negara, dan relasi yang pantas antara penguasa dan mentri, bapak dan anak, kakak
dan adik, suami dan istri, mertua dan menantu.
Nilai-Nilai kemanusiaan dan Kebajikan (Yi) bagi Konfusius
Mengenai keutamaan yang harus dimiliki seseorang, Konfusius menekankan dua hal
pokok yaitu nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan. Kebajikan (Yi) adalah sebuah keharusan dari
sebuah situasi19. Kebajikan ini bermakna kategori imperatif seperti yang dikemukakan Kant.
Bagi Konfusius, setiap orang harus memiliki sesuatu yang harus dikerjakan untuk pekerjaan itu
sendiri kepada masyarakat sebagai sebuah tindakan moral yang benar. Tetapi jika pekerjaanpekerjaan itu dilakukan karena pertimbangan-pertimbangan lain diluar cakupan moral, walaupun
dilakukan karena seharusnya dikerjakan, perbuatan itu bukan merupakan sebuah perbuatan untuk
kebajikan. Dalam Konfusianisme, digunakan kata Yi untuk kebajikan dan li lebih rendah, karena
melakukan sesuatu untuk memperoleh keuntungan atau sekadar pamrih.
Yi adalah sebuah gagasan yang agak formal dan mendapatkan wujud kongkritnya dalam
gagasan mengenai Ren/Jen. Hakekat mengenai Yi adalah kewajiban yang harus dilakukan dalam
masyarakat namun semua itu didasarkan pada Ren yaitu “Cinta Kasih terhadap orang lain” 20.
Konfusius memberikan contoh bahwa seorang ayah harus mencintai anaknya sebagaimana
‘keharusan’ yang harus dilakukan sebagai seorang ayah yaitu mengasihi anaknya (ci), begitu pun
seorang anak harus menghormati dan mengasihi ayahnya sesuai dengan ‘keharusannya’ sebagai
seorang anak (xiao). Nilai-nilai kemanusiaan (Ren) terwujud dalam bentuk saling mengasihi.
Ren ini menjelaskan tentang usaha dari Konfusius untuk memperoleh perdamaian dengan
memperbaiki relasi yang telah rusak dalam sistem sosial dan politik. Konfusius melihat hierarki
ini dengan menjadikan keluarga sebagai model dari Ren itu sendiri. Kekaisaran diumpamakan
sebagai sebuah keluarga besar, dengan kepala keluarga dan anggota keluarganya yang masingmasing harus berperilaku dan bertindak sesuai dengan namanya masing-masing. Dengan
mengangakat kembali Li (ritual) yang didasarkan pada Ren, Konfusius mau menekankan tentang
kasih (Ren) dalam relasi familiar. Raja sebagai kepala keluarga harus bertindak sebagaimana
seorang kepala keluarga dalam sebuah keluarga. Relasi itu juga diikat sebagaiaman relasi yang
18

Bryan W dan Van Norden (ed.), Confucius and The analects: New Essays, New York: Oxford University Press,
2002, hlm. 54.
19
Fung Yu Lan, 1948, hlm. 42.
20
Fung Yu Lan, 1948, hlm. 42.

10 | H a l a m a n

diciptakan dalam ritual (Li) kepada penguasa langit karena garis Li sendiri secara liturgis
memberikan cara bagaimana relasi. Dengan demikian, Konfusius menghidupkan kembali ritual
Li (revive the Zhou) dengan menempatkan Ren sebagai dasar pelaksanaan. Ren menjiwai
pelaksanaan Li itu sendiri. Latar belakangnya tentu karena ketika sebelumnya Li kehilangan
maknanya pada zaman Zhou Timur.
Chung dan Shu dalam Pemikiran Konfusius21
Ren/Jen sendiri berarti ‘jangan melakukan sesuatu kepada orang lain apa yang
sebenarnya tidak kau lakukakan atau inginkan itu terjadi terhadap dirimu’ 22. Seorang manusia
Ren adalah orang yang mengembangkan dan mendukung orang lain seperti apa yang diperbuat
terghadap dirinya sendiri dengan kata lain, lakukan kepada orang lain apa yang kau harapakan
untuk dirimu. Inilah yang dinamakan Chung dalam aras positif-afirmatif. Sedangkan Shu sendiri
adalah aras “negatif”, yaitu adanya suatu sikap altruisme, dengan rumusan; jangan lakukan
kepada orang lain, apa yang tidak kau lakukan untuk dirimu sendiri. Dengan melakukan
semuanya ini, seseorang sudah melakukan Ren itu sendiri atau sebaliknya. Pengamalan dari Ren
itu sendiri adalah bentuk penghargaan dan rasa cinta kepada orang lain. Dengan demikian prinsip
Ren adalah suatu prinsip yang menjadikan diri sendiri sebagai acuan untuk mengatur perilakunya
sendiri.
Sistematikanya:

YI

REN

LI 禮 menjadi tindakan kongkrit dan bukan ritual
saja
menjadi kekuatan dari dalam diri untuk
hormat kepada raja.

Chung/Shu
Dalam Kitab Ta Hsueh yang merupakan bagian dari kitab Li Chi juga menegaskan
tentang pentinganya rasa saling menghormati antara sorang bawahan dan atasan dan sebaliknya.
Penghormatan dan cinta kasih ini dilakukan secara horisontal maupun vertikal. Dalam Chung
Yung (ajaran tentang jalan tengah); bagian lain dari kitab Li Chi juga memberikan contoh bentuk

21
22

Bandingkan dengan Fung Yu Lan, 1948, hlm. 43-44
In Other words: “Do to others what you wish yourself.” Dalam Fung Yu Lan, 1948, hlm. 43.

11 | H a l a m a n

kongkrit dari pelaksanaan Chung dan Shu itu sendiri. Segi positif

dari ajaran ini adalah

bagaimana menempatkan diri sendiri sebagai tolok ukur dan bukan pada hal-hal yang lain.
Pelaksanaan Chung dan Shu yang sekaligus merupakan pelaksanaan prinsip Ren menjadi
nyata dalam pelaksanaan tanggung jawab serta kewajiban seseorang dalam masyarakat yang di
dalamnya terkandung sikap Yi atau nilai-nilai kebajikan. Dengan demikian Chung dan Shu
menjadi awal dan akhir kehidupan moral seseorang. Karena setiap orang memiliki masingmasing acuan bagi dirinya sendiri maka itu diharapka untuk dilakukan kapan saja dan di mana
saja.

Ming [明] dalam Pemikiran Konfusius23
Para Konfusianis memperolehkan ide “bertindak demi ketiadaan” (doing for nothing) dari
ide keadilan. Sedangkan para Daois mengajarkan teori mengenai “tidak melakukan apa-apa”
(doing nothing). Menurut Konfusianis bertindak untuk ketiadaan berarti seorang melakukan apa
yang harus dia lakukan, seolah-olah karena tindakan itu secara moral benar untuk dilakukan, dan
bukan atas pertimbangan eksternal terhadap paksaan moral itu. Dengan kata lain, seorang tidak
bisa tidak melakukan apa-apa, sebab setiap orang mempunyai sesuatu yang harus dia lakukan.
Akan tetapi, tindakannya itu dilakukan demi ketiadaan, karena nilai dari

melakukan apa yang

harus dia lakukan terletak dalam tindakan itu sendiri, dan bukan dalam hasil eksternalnya (hasil
yang terlihat).24
Apakah Ming itu? Ming sering diterjemahkan sebagai Nasib, Takdir atau Dekrit. Bagi
Konfusius, Ming berarti Dekrit Langit atau Kehendak Langit (Decree of Heaven, Will of
Heaven). Namun, dalam pemahaman Konfusianisme selanjutnya, Ming secara sederhana berarti
kondisi “berada seluruhnya” (total existent) dan kekuatan dari seluruh alam semesta. Demi
keberhasilan eksternal dari kegiatan yang dilakukan, kerjasama keadaan- keadaan itu selalu
dibutuhkan. Akan tetapi, kerja sama ini seluruhnya berada di luar kendali kita.
Dalam aksi atau tindakan eksternal, hal terbaik untuk dilakukan adalah secara sederhana
mencoba melaksanakan apa yang kita tahu harus kita laksanakan tanpa peduli apakah pada
23
24

Bandingkan dengan Fung Yu Lan, 1948, hlm. 44-47
Fung Yu Lan, 1948, hlm. 44-45

12 | H a l a m a n

prosesnya kita berhasil atau gagal. Bertindak seperti ini adalah untuk “mengetahui Ming”, dalam
arti mengetahui Ming sebagai mengakui ketakterelakan dunia sebagai dunia yang hadir, dan
mengabaikan keberhasilan atau kegagalannya. Jika kita bertindak demikian, kita tidak akan
pernah gagal sebab, jika kita melakukan kewajiban atau tugas kita dengan cara kita (tidak peduli
terhadap keberhasilan atau kegagalan atas tindakan tersebut), secara moral kita telah
menyelesaikan kewajiban atau tugas tersebut.
Jika demikian, hasilnya kita akan selalu bebas dari kecemasan akan keberhasilan atau
ketakutan akan kegagalan, dan akan merasa gembira. Oleh karena itu, Konfusius mengatakan
bahwa “Orang bijaksana lepas dan bebas dari keraguan; orang bajik lepas dan bebas dari
kecemasan; yang berani lepas dari ketakutan”. “Manusia unggul selalu gembira; manusia yang
rendah sedih”25.
Etika: Proyek yang Tak Pernah Selesai26
Konfusius memberikan pedoman pengembangan diri yang baik menuju suatu pribadi
yang bermoral. Pengembangan diri ini dimaksudkan untuk mencapai yang dia sebut sebagai
chun-tzu. Perbandingan antara chun-tsu dan Hsiao-jen dibuat begitu kontras dalam pemikirannya
untuk menunjukkan bahwa yang perlu itu adalah chun-tzu. Setiap orang diharapkan memberi
perhatian yang besar kepada pembinaan diri. Akan tetapi pembinaan ini tidak bisa berhasil jika
hanya memikirkan dan tidak pernah keluar dari dirinya. Sebaliknya seorang yang mau mencoba
mencapai kepribadian benar harus tampil rendah hati dan percaya pada orang lain. Ia tidak perlu
agresif untuk menjaga dirinya. Usaha itu dijalankan dengan rendah hati dan dengan penuh
kehati-hatian. Pribadi yang utuh hanya bisa dicapai dengan juga memperhatikan perkembangan
orang lain di sekitar. Oleh karena itu, relasi dengan orang lain perlu mendapat perhatian dalam
usaha mencapai pribadi yang utuh ini. Inilah yang disebut dengan ren. Ren ini menjadi dasar dan
batas akhir pencapaian pengembangan diri oleh manusia. Di sini orang diharapkan memakai akal
budinya untuk mengabdi kemanusiaan.
Pribadi yang ren itu ditata lebih konkrit lagi dalam dua kaidah chung dan shu. Dengan
chung orang melakukan kewajibannya sebagaimana dilukiskan oleh li. Sementara dengan shu,
25

[…] “The wise are free from doubts; the virtuous from anxiety; the brave from fear.” (Analects, IX, 28) Or again:
“The Superior man is always happy; the small man sad.” (VII, 36) dalam Fung Yu Lan, 1948, hlm. 45.
26
Yang saya maksud disini bukanlah mengacu pada pengertian bahwa etika adalah proyek yang gagal, namun lebih
kepada bahwa etika adalah sebuah proses mengada yang terus berproses, dan dalam proses ini tak ada yang
namanya ke-ajeg-an.

13 | H a l a m a n

seseorang dapat tahu apa yang tidak boleh dilakukan. Semua konsep tersebut dikembangkan
sebgaai pedoman hidup harian. Hidup harian yang menyangkut hidup social diatur oleh li. Li
mengatur tata hubungan social dalam suatu hirarki. Penerapan li membuat semua hubungan
jernih, baik dalam pemerintahan maupun dalam keluarga dan antar sesama. Ketepatan mengikuti
semua pedoman dan pelaksanaannya dalam hidup bermasyarakat memungkinkan seseorang
mencapai kepribadian yang tepat. Kesadaran akan keutamaan inilah yang membuat manusia
berperikemanusiaan. Dengan sadar akan kebajikan dan kemanusiaan, manusia akan berbudi
luhur dan membawanya menjadi manusia seutuhnya yang (juga pastinya) homo homini socius,
dengan kata lain menjadi manusia yang mampu memanusiakan sesamanya.
Dalam seluruh pemikiran Konfusius, jika kita telusuri lebih dalam lagi, maka kita akan
menemukan sebuah hubungan keterlibatan pemikirannya dengan pemikiran (orang) lain, yakni
Mencius dan Hsun-Tzu. Pengaruh Mencius bagi Konfusius terletak dalam pandangannya yang
komprehensif seputar diri manusia yang dapat berkembang secara alami. Mencius beranggapan
bahwa diri manusia telah dibekali dengan sifat baik yang dapat dikembangkan melalui upayanya
sendiri. Dengan demikian, Mencius mengajak manusia untuk mengembangkan kualitas moral
dalam dirinya sebagai ekspresi diri27. Sedangkan dalam pemikiran Hsun-Tzu, diuraikan bahwa
ada hubungan yang kait kelindan antara aspek eksternal di luar diri manusia dan lingkungan
kebudayaan. Dengan demikian Hsun-Tzu menginginkan manusia untuk menghormati otoritas,
bahkan otoritas harus dipahami sebagai standar inspirasi daripada sekadar pemaksaan hukum 28.
Kombinasi dari kedua pemikir ini berakar dari pemikiran Konfusius sendiri yang mempunyai
proyek bahwa manusia dapat menjadi sempurna dengan menempa dirinya. Dengan demikian
etika Konfusius merupakan pembentukan tradisi yang berfokus pada pembentukan manusia
menjadi manusia seutuhnya.
Menggali kembali gagasan Konfusius terhadap sikap hidup manusia yang seharusnya
setidaknya mengingatkan kita akan satu hal, bahwa kita hidup tidak sendirian, dan karenanya
kita juga tidak dapat seenaknya sendiri memperlakukan orang lain sebagaimana yang kita maui
tetapi, justru persis disitu letak tanggung jawab kita sebagai sesama manusia untuk saling
menghormati dan menghargai sebagai individu. Dengan demikian kedamaian dan kesejahteraan
27

Bacaan selengkapnya lihat Philip Ivanhoe, Ethichs in the Confusian Tradition: The Thought of Mengzi and
Wangyaming. Atlanta: Sholars Press.
28
Bacaan selengkapnya lihat Burton, Watson (trans). Hsun-Tzu: basic writing, New York: Columbia University
Press, 1963.

14 | H a l a m a n

hidup akan tercipta dengan sendirinya manakala kita sadar dan terus menerus mengembangkan
dan mengamalkan etika konfusius.

Daftar Pustaka
Sudiarja, A.,(eds); 2006; Karya Lengkap Driyarkara; Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Ivanhoe, Philip J.;2000; Confusian Moral Self Culvitation; Indianapolis: Hackett Publishing
Company, Inc.
--------------------; 1990; Ethics in Confusian Tradition: The Thought of Mencius and Wang
Yang-ming; Atlanta: Scholars Press.
Legge, James; 1971; Confusian Analects, The Great Learning, and The Doctrine of The Mean;
New York: Dover Books.
Rainey, Lee Dian; 2010; Confusius and Confucianism: The Essential; Willey-Blackwell.
Richey, Jeffrey L. (ed); 2008; Teaching Confucianism; New York: Oxford University Press.
Van Norden, Bryan W. (ed); 2002; Confucius and The Analects: New Essays; New York:
Oxford University Press.
Watson, Burton (trans); 1963; Hsun-Tzu: Basic Writing; New York: Columbia University Press.
Yao, Xinzhong; 2000; An Introduction to Confucianism; Cambridge: Cambridge University
Press.
Yu-Lan, Fung; 1952; A History of Chinesse Philosophy Vol I: The Period of The Philosopher;
Princeton: Princeton University Press.
----------------; 1948; A Short History of Chinese Philosophy; New York: The Free Press.

15 | H a l a m a n