DWP dan EDM Sebagai Pembentuk Identitas

TEORI SOSIOLOGI MODERN
Ujian Akhir Semester

Dosen Pengampu : Syaifudin, S.Pd., M.Kesos

Tri Hadiyanto Utomo
(4825142524)
Sosiologi Pembangunan A

JURUSAN SOSIOLOGI PEMBANGUNAN FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JAKARTA, 2016

DWP dan EDM Sebagai Pembentuk Identitas dan Simbolik
Dalam Pergaulan di Ibukota Saat Ini

Tri Hadiyanto Utomo
Jurusan Sosiologi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta,
Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia

ABSTRAK

Pada tulisan ini akan membahas mengenai hubungan antara menikmati musik EDM dan mengikuti acara
musik DWP dengan teori sosiologi modern. Menikmati musik EDM dan mengunjungi konser DWP
merupakan dua hal yang sedang naik daun dan menjadi trend saat ini. Kedua trend ini bagi sebagian
orang dianggap sebagai pemicu munculnya identitas terhadap keeksistensian suatu individu. Karena
adanya identitas dan anggapan tersebut maka individu nantinya akan memiliki kapital simbolik yang
akan melekat di dalam dirinya. Di dalam tulisan ini, akan dijelaskan bagaimana menikmati musik EDM
dan mengunjungi DWP bisa memunculkan suatu identitas pada individu dan apa dampaknya jika
individu tersebut telah memiliki kapital simbolik bagi masyarakat dan pergaulannya di ibukota. Maka
dari itu, penulis akan mengkaitkannya dengan teori sosiologi modern yang penulis pernah diajarkan
sebelumnya.
Kata Kunci: Kapital Simbolik, Identitas, EDM

1.

Latar Belakang
Musik merupakan sebuah budaya yang sudah ada dan terus diciptakan dari zaman pra

sejarah sampai sekarang. Budaya berupa musik ini adalah budaya yang sangat sering kita jumpai
pada kehidupan kita sehari-hari. Bahkan ada pula individu yang tidak dapat lepas dari musik
dalam kehidupan sehari-harinya. Musik merupakan bahasa salah satu bahasa universal dan

merupakan cara untuk berkomunikasi dengan orang lain yang digunakan untuk mengungkapkan
maksud, gagasan atau pikiran dan perasaaan.1 Musik dapat dijadikan suatu refleksi individu
dalam mempersepsikan dunia luar dan terkadang juga, musik dapat merepresentasikan sifat atau
watak individu penikmatnya. Dengan cara mendatangi atau mengunjungi suatu konser ataupun
1 Fortunata Tyasrinestu. “Musik Pendidikan dalam Pengembangan Memori Kosakata Bahasa Inggris Anak”. 20

1

pentas seni musik adalah sebuah bentuk bagaimana suatu kelompok menikmati salah satu hasil
budaya yang mereka sukai ini. Lebih spesifik lagi, suatu kelompok yang mendatangi suatu
konser dengan aliran musik tertentu biasanya memiliki selera musik yang sama satu individu
dengan yang lainnya.
Kelompok-kelompok tersebut akan mendatangi suatu event ataupun konser yang menurut
mereka event atau konser tertentu akan menampilkan suatu pertunjukkan musik yang memiliki
aliran yang sama dengan aliran musik yang dinikmati oleh kelompok itu. Adanya sebuah konser
musik yang dapat menarik minat masyarakat yang memiliki aliran musik yang sama akan
memberi suatu ruang bagi kelompok tersebut dalam membentuk sosialisasi lebih lanjut yang
berhubungan dengan musik yang mereka nikmati pada konser atau pada suatu event. Tak kala,
individu yang datang pada suatu konser musik akan menemui individu lain yang memiliki selera
musik sama yang dipertunjukkan di konser tersebut dan pada akhirnya individu-individu tersebut

akan membuat suatu kelompok yang terjadi pada jangka waktu tertentu – termasuk pula pada
konser itu.
Salah satu konser yang dapat menari animo beberapa kelompok masyarakat pada lima
tahun terakhir ini adalah konser beraliran musik Electronic Dance Music atau biasa disingkat
EDM. Aliran musik ini sangat terkenal di seluruh dnnia apalagi pada era globalisasi seperti di
saat ini. Konser yang mengusung genre musik elektronik ini sedang memiliki trend dan menjadi
salah satu budaya modern di kota-kota besar termask di ibukota. Dikarenakan sudah menjadi
salah satu trend musik di tengah-tengah masyarakat ibukota saat ini, konser EDM sangat menarik
banyak pengunjung dan bahkan beberapa event EDM ini tidak jarang kehabisan tiket karena
antusiasnya masyarakat untuk menikmati musik berinstrumen elektronik ini. Djakarta Warehouse
Project atau biasa dikenal dengan singkatannya DWP merupakan salah satu konser musik EDM
yang paling terkenal di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Konser ini selalu di adakan setahun
sekali pada akhir tahun dan bagi pecinta musik EDM di ibukota konser ini sangat rugi jika
dilewatkan. Djakarta Warehouse Project menampilkan banyak sekali penampilan yang
mengundang DJ mancanegara dengan beberapa genre musik seperti electronic, house,
progressive, techno, drum, bass, dan dubstep. Selain itu, DWP juga mengundang artis-artis EDM
(Electronic Dance Music) seperti Avicii, Calvin Harris, Paul Van Dyk, Markus Schulz, Bob
Sinclair, Roger Sanchez, Kaskade, Ferry Corsten dan lain-lain. DWP yang bermula pada tahun
2


2010 selalu ada peningkatan pada jumlah artisnya, hal ini dapat memperlihatkan bahwa terjadi
peningkatan pada setiap tahunnya.2 Peningkatan ini dapat dilihat dari sisi kualitas maupun
penontonnya meningkat akibat sedang trendnya musik EDM di kalangan masyarakat kota.
Akibat musik EDM yang sedang trend (atau sedang hits dan booming) saat ini, masyarakat
mulai menimbulkan suatu anggapan kepada kelompok tertentu yang meikmati dan memiliki
selera pada genre musik EDM ini, apalagi kelompok-kelompok tertentu yang menikmatinya
langsung dengan cara mengunjungi konser-konser aliran musik elektronik seperti DWP.
Pada tulisan ini, penulis akan menjabarkan hubungan antara anggapan masyarakat
mengenai individu-individu yang menjadikan EDM sebagai aliran musiknya dan kelompok yang
menonton konser DWP dengan teori sosiologi modern. Disamping itu juga, adapun individuindividu yang sekedar hanya ikut-ikutan dengan kedua trend tersebut supaya mendapatkan
anggapan yang berlaku pada pergaulan mereka di ibukota. Individu-individu yang mengikuti
kedua trend tersebut akan mendapatkan suatu identitas tertentu yang datang dari pergaulan
disekitar berupa kapital yang lebih dari individu-individu yang tidak mengikuti kedua trend
tersebut. Penulis pada tulisan ini akan menggunakan teori sosiologi modern dari Petter Bourdieu
tentang kapital/modal.
2.

Tinjauan Pustaka
1) Pengertian EDM (Electronic Dance Music)
“The sound is the force that drives people to dance –indeed, causes them to feel

that they have to dance. The sound motivates DJs to play this particular record at
particular moment. Most EDM tracks are made with expectation that, in live
performance, they will be combined with other tracks and danced to; as a result, several
key potentials of the music are only realized fully within a live dance context”. 3 Menurut
pejelasan sebelumnya, bahwa EDM adalah suatu suara yang membuat manusia menari
karena adanya DJ yang memainkan lagu-lagu tertentu dan pada waktu atau momenmomen tertentu yang dimana biasanya pada pertunjukkan langsung di dalam EDM
terdapat kunci musik yang potensial.
2) Konsep Kapital/Modal Bourdieu

2 Cesira Amanda Putri. (2014). “Industrialisasi Musik Festival di Indonesia”. 14
3 Butler, Mark J. Unlocking the Groove: Rhytm, Meter, and Musical Design in Electronic Dance Music. Indiana:
Indiana University Press. 2006. Hlm. 12-13

3

Bourdieu memaknai modal secara lebih luas. Baginya, modal bukan hanya
dimaknai semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal
merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau
bersifat “menubuh” –terjiwai dalam diri seseorang). Apabila materi ini dimiliki seseorang
secacra privat atau bersifat eksklusif, memungkinkan mereka memiliki energi sosial

dalam bentuk kerja yang diretifikasi maupun yang hidup (Bourdieu, 2004).4 Terdapat tiga
jenis kapital/modal yang dipakai penulis untuk mengkaji kasus kedua kegiatan yang
sedang trend tersebut, yaitu:
a) Modal Sosial. Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual
atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal
dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki
bersama (Bourdieu, 2004).5
b) Modal Ekonomi. Kapital ekonomi merupakan bentuk rasionalitas (khususnya
rasionalitas instrumental) yang tertinggi dibanding kapital lainnya. Sebab ia memiliki
nilai nominal tertentu yang bisa diakumulasikan, ditentukan harganya, dan
dinvestasikan secara lebih nyata.6
c) Modal Simbolik. Penggunaan simbol-simbol untuk melegitimasi pemilikan pelbagai
tingkat dan konfigurasi ketiga bentuk kapital lainnya (yaitu kapital ekonomi, kapital
sosial dan kapital budaya).7
3) Habitus
Dari buku Outline of a Theory of Practice (1977:83), yaitu: “sebuah sistem
diadopsi yang kekal dan berpindah-pindah, yang mengitegrasikan pengalamanpengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks
persepsi, apresiasi dan tindakan-tindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas
yang


tidak

terhingga,

berkat

jasa

transformasi

skema-skema

analogis

yang

memungkinkan solusi masalah yang nyars serupa”. Jadi, agen membuat persepsi,
menyatakan apresiasi dan melakukan tindakan dengan mempertimbangkan matriks yang
disediakan oleh habitus.8
4) Teori Kelas Sosial, Pierre Bourdieu

4 Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada. 2012. Hlm. 32
5 Ibid. Hlm. 33
6 Ibid.
7 Prof. Dr. Damsar dan Dr. Indriyani, S.E., M.M. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Prenadamedia Group.
2009. Hlm. 224
8 Ibid. Hlm. 221

4

Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor
yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta
ditundukkan atau diarahkan pada pengkondisian yang serupa. Pembedaan ini dilakkan
secara vertikal. Menurut Bourdieu, setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan perilaku
atau bahkan modal yang berbeda. Perbedaan ini kemudian menyebabkan munculnya
hubungan antarkelas yang tidak seimbang. Seseorang dapat dengan mudah digolonggolongkan meurut kelasnya hanya dari budaya atau cara hidup mereka.9
3.

Pembahasan
Sebelum penulis menjabarkan hubungan antara menikmati musik EDM dan menikmati


musik EDM pada acara DWP dengan teori sosiologi modern, ada baiknya untuk mengetahui
terlebih dahulu konteks historis dari musik EDM itu sendiri. “Electronic dance music was about
to be born. Its origins can be traced back to 1960’s Jamaica. Using reel-to-reel tape players,
artists would overlay multiple tracks, usually instrumentals of existing tracks, and hook it up to
an amp to create a brand new dance track. This was the creation of the disk jockey, or the DJ.
These DJs would play their tapes, grab a MC, and throw a party. This style eventually became
known as Dub Music and led to the next form of electronic music known as House Music.
A man that went by the name of “Frankie Knuckles” can be accredited as the founder of
house music. In 1970’s Detroit, the “Godfather of House” would play at clubs with a mixer and
two turntables. Using this equipment he was able to reconstruct records by mixing them,
adjusting tempos and adding percussive layers. These effects are the fundamental tools that DJs
and producers use today when playing a live set or recording a track in a studio. House music is
the premier dance music. Its penetrating beat in 4/4 time make for an irresistible groove”. 10
Dapat diambil kesimpulan bahwa Electronic Dance Music sudah ada dari tahun 1960 dan berasal
dari Jamaica. Awalnya menggunakan pemutar tape, beberapa lagu dan instrument yang telah ada
sebelumnya untuk dijadikan lagu yang baru lagi. Lalu seiring waktu, tahun 1970 munculah DJ
yang pada akhirnya menggunakan teknologi yang lebih maju berupa mixer dan dua turntable
yang menjadikannya sebagai awal dari kemunculan musik House yang termasuk ke dalam musik
EDM.

1) Kapital Pembentuk Simbolik Individu dalam Pergaulannya

9 Martono, Nanang. Op. Cit. Hlm. 34
10 Troy Farsakian. (2012). “The Evolution of Electronic Music”. 7

5

Bourdieu menyebutkan istilah setidaknya ada empat jenis kapital yaitu, modal
ekonomi (economy capital), modal sosial (social capital), modal budaya (cultural
capital) dan modal simbolik (symbolic capital).

Sebenarnya kapital-kapital tersebut

behubungan satu sama lainnya, maka dari itu suatu individu tidak hanya memiliki satu
jenis kapital saja melainkan memiliki lebih dari satu jenis kapital yang ada di dalam
dirinya. Namun, pada kajian kali ini penulis mengkaji pengaruh dari kedua trend
menikmati musik EDM dan mengunjungi DWP sebagai faktor timbulnya kapital
simbolik serta kapital simbolik yang dapat dikonversi menjadi jenis kapital lainnya.
Karena lebih fokus pada kapital simbolik maka yang pertama-tama akan dijabarkan
adalah kapital simbolik terlebih dahulu, kemudian mengkonversikannya dari dan ke jenis

kapital-kapital yang lain.
Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis lain,
yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diakui
sebagai sesuatu yang sah dan natural.11 Pada penjelasan Bourdieu tadi sudah dijelaskan
bawa kapital simbolik yaitu yang dikenali dan diakui sebagai sesuatu yang sah. Dalam
kaitannya dengan individu penikmat musik EDM dan individu yang mengunjungi DWP,
individu-individu tersebut akan menerima suatu kapital simbolik karena individu tersebut
melakukan suatu kegiatan yang sedang menjadi trend dikalangan masyarakat ibukota.
Suatu pengakuan masyarakat dan lingkup pergaulan individu yang bersangkutan akan
memberikan pengakuan serta identitas kolektif yang diterima oleh individu tersebut
karena senang sekali dengan musik EDM dan juga sudah pernah merasakan pengalaman
mengunjungi konser musik DWP sebelumnya. Misalnya, seorang bernama A suka sekali
dengan musik EDM, karena musik EDM sedang menjadi trend saat ini, individu ini akan
dikenal sebagai seorang yang lebih up-to date dan lebih gaul daripada orang lain yang
tidak menikmati musik EDM. Disamping itu pula, dia setiap tahun tidak pernah
melewatkan event musik DWP ini yang membuat masyarakat dan pergaulannya
menganggap bahwa dia adalah individu yang mengikuti trend acara musik paling terkenal
karena DWP adalah konser musik EDM terbesar di Indonesia. Pengakuan dari
masyarakat dan pergaulan A yang menanggap bahwa dia adalah individu yang up-to date,
gaul dan suka mengikuti trend saat ini menjadikannya mempunyai identitas tertentu
dimana identitas dan pengakuan masyarakat dan pergaulan terhadap A ini termasuk ke
11 Martono, Nanang. Op. Cit. Hlm. 32

6

dalam kapital simbolik sebagaimana yang dijelaskan oleh Bourdieu. Hal ini juga
dikarenakan oleh penujukkan individu tersebut yang melakukan pilihan dan dianggapnya
pemilihan tersebut akan mempengaruhi kapital simboliknya. Modal simbolik ini misalnya
dapat berupa pemilihan temat tinggal, apakah ia tinggal di daerah elit atau yang kumuh di
pinggir sungai? Atau dapat juga ditunjukkan melalui tempat wisata untuk mengisi
liburan, hobi, tempat makan, dan sebagainya.12 Jadi, A menjadikan menikmati musik
EDM dan mengujungi konser DWP sebagai pilihannya dalam menghibur dirinya yang
pada akhirnya pilihannya tersebut menunjukkan bahwa dia memiliki kapital simbolik di
dalam dirinya.
Setelah mengetahui bagaimana memilih menikmati musik EDM dan mengunjungi
DWP dapat dihubungkan dengan kapital simbolik, namun sesuai dengan kalimat
sebelumnya bahwa individu tidak hanya memiliki satu jenis kapital saja, maka kapital
lainnya yang dapat mempengaruhi individu dalam kajian ini adalah kapital ekonomi.
Menurut Bourdieu, kapital ekonomi merupakan bentuk rasionalitas (khususnya
rasionalitas instrumental) yang tertinggi dibanding kapital lainnya. Sebab ia memiliki
nilai nominal tertentu yang bisa diakumulasikan, ditentukan harganya, dan dinvestasikan
secara lebih nyata. Kapital ekonomi disini berbentuk materi, di dalam konteks ini
materinya adalah uang. “A” akan dapat menikmati musik EDM apabila ia mempunyai
lagu-lagu musik yang telah dia beli dari internet secara digital ataupun dari toko dalam
bentuk fisik. Jika, ia tidak memiliki uang untuk membeli lagu-lagu EDM tersebut untuk
dikmatinya, maka “A” tidak akan dapat anggapan bahwa ia adalah salah satu penikmat
musik EDM. Begitu pula dengan konser musik DWP. “A” tidak memiliki uang untuk
membeli tiket DWP tersebut maka “A” secara langsung tidak bisa mengalami
pengalaman mengunjungi DWP saat itu. Pada akhirnya, “A” tidak dapat pengakuan
bahwa ia adalah individu yang up-to date dan suka mengikuti trend lagi dari masyarakat
dan pergaulannya karena “A” tidak tidak bisa merasakan kenikmatan mendengarkan
musik EDM dan juga sensasi serta pengalaman yang didapat pada saat mengunjungi
DWP. Hal ini bisa menjadi contoh bahwa tanpa adanya kapital ekonomi, kapital simbolik
akan sulit untuk didapatkan untuk beberapa individu. Tanpa adanya kapital ekonomi,
individu tidak bisa mendapatkan identitas dan anggapan yang di masyarakat atau di
dalam pergaulannya. Oleh karena itu, apabila individu mendapatkan kapital sibmolik –
12 Ibid.

7

pada studi kasus ini – maka setidaknya individu memiliki kapital ekonomi yang
diperlukan agar kapital simbolik berupa pengakuan atau identitas yang datang dari
masyarakat atau pergaulannya bisa diterima oleh individu.
Setelah kapital ekonomi untuk mendapatkan kapital simbolik, disamping itu
terdapat pula kapital sosial yang bisa mempengaruhi individu dengan kegiatannya
menikmati musik EDM dan mengunjungi konser DWP. Modal sosial menunjuk pada
sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan
jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya
dukungan modal yang dimiliki bersama (Bourdieu, 2004).13 Dalam hal kapital sosial
DWP disini bisa dijadikan sebagai tempat untuk bertemunya kelompok yang terdiri dari
individu-individu penyuka atau pecinta musik EDM. Kapital sosial akan terbentuk di
DWP ini karena adanya kesamaan selera dengan musik yang dinikmatinya, dimana ini
memudahkan bagi penikmat musik EDM untuk bersosialisasi dengan penikmat musik
EDM yang lain. Modal sosial dalam bentuk praktis didasarkan pada hubungan yang
relatif tidak terikat seperti pertemanan, sedangkan dalam bentuk yang terlembagakan,
modal sosial terwujud dalam keanggotaan dalam suatu kelompok yang relative terikat,
seperti: keluarga, suku sekolah dan sebagainya.14 Pada penjelasan sebelumnya terdapat
dua bentuk kapital sosial, namun karena konteksnya adalah penikmat EDM dan individuindividu yang mengunjungi DWP, penulis kembali lebih memfokuskan pada jenis kapital
sosial dalam bentuk praktis. Sebagai contoh, “B” mengunjungi DWP tahun ini. Di DWP
“B” bertemu banyak penonton sesama penyuka EDM. Lalu, “B” mulai berkenalan dan
berinteraksi dengan individu-individu penyuka EDM yang lainnya. Dengan interaksi dan
obrolan-obrolan yang berhubungan dengan EDM itu lah “B” mendapatkan relasi dan
kenalan baru yang dimana ia mulai menumbuhkan kapital sosial disini. DWP membuat
“B” menjadi memiliki banyak relasi sesama penikmat EDM dan membuat kapital sosial
“B” menjadi meningkat. Di lain hal, karena ia telah mengunjungi DWP sebelumnya,
kapital simboliknya berpengaruh kembali diluar DWP tersebut. Di tempat lain, mungkin
“B” kembali memiliki kapital sosial karena kapital simboliknya sebagai individu yang
up-to date dan mengikuti trend dijadikan “alat” oleh rang lain untuk menanyakan tentang
apa pengalamannya selama di DWP tersebut. Misalnya lagi, “B” telah mengunjungi DWP
13 Ibid.
14 Ibid.

8

sebelumnya, orang lain di lingkungan sekolah ataupun di rumah ia berbicara mengenai
pengalamannya di DWP saat itu. Interaksi tersebut tidak berhenti hanya di lingkup DWP
saja, namun karena “B” juga menyukai EDM, interaksi tersebut kemudian berlanjut
dengan memperbincangkan obrolan tentang EDM. Karena bertemu dengan individuindividu baru di luar DWP tersebut kapital sosialnya pun kembali meningkat. Dalam dua
contoh yang telah disebutkan sebelumnya bahwa “B” memiliki suatu posisi atau relasi
dalam suatu kelompok yang telah ditemuinya serta pada jaringan-jaringan sosial yang
telah terbentuk. Kapital sosial juga mengandung serangkaian nilai/norma informal yang
dimiliki oleh antar anggota kelompok dan akan terjadi kerjasama diantaranya. Hal ini
juga terlihat di dalam DWP dimana anggota-anggota kelompok yang terdiri individuindividu penikmat EDM telah memiliki nilai-nilai/norma-norma informal yang telah
disepakati disana dan anggotanya mengakui adanya nilai/norma informal itu dan akhirnya
akan menimbulkan kerjasama dianta individu-individu pengunjung DWP tersebut. Maka
dari itu, DWP ini sudah dapat dikatakan telah bisa membuat peningkatan pada kapital
sosial seseorang.
2) Selera dan Habitus pada Kelas Sosial Pemicu Identitas dalam Pergaulan
Setiap individu memiliki selera yang berebeda diantara satu sama lainnya. Tenntu
saja ini juga berlaku pada selera musik seseorang. Entah itu rock, pop, dangdut ataupun
EDM. Jika ada individu yang menyukai atau memiliki selera dengan musik EDM
pastilah Djakarta Warehouse Project menjadi salah satu event musik yang paling
diminati dan disenangi. Menurut Bourdieu, setiap kelas memiliki sikap, selera,
kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Perbedaan ini kemudian
menyebabkan munculnya hubungan antarkelas yang tidak seimbang. Seseorang dapat
dengan mudah digolong-golongkan menurut kelasnya hanya dari budaya atau cara
hidup mereka.15 Dalam kelas sosial ini, selera masih berperan penting dalam
menentukan tingaktan kelas sosial menurut Bourdieu. Individu yang menikmati musik
EDM dan mengunjungi DWP akan lebih memiliki kelas sosial yang lebih tinggi
daripada individu yang tidak melakukan kedua aksi tersebut. Ini bisa dikarenakan kedua
aksi tersebut merupakan suatu trend yang sedang hits dan booming dikalangan
pergaulan ibukota saat ini. Berbeda dengan individu yang misalnya menyukai musik
15 Ibid. Hlm. 34

9

keroncong. Musik keroncong lebih dikenal sebagai musik yang jadul ataupun kuno.
Karena musik keroncong bukanlah salah satu dari kegiatan yang sedang trend
dikalangan pergaulan ibukota saat ini, maka individu yang menyukai musik keroncong
ini akan berada pada kelas sosial yang lebih rendah daripada individu-individu yang
memiliki selera pada musik EDM dan yang sudah mengunjungi konser musik DWP.
Kelas sosial menurut Pierre Bourdieu tidak direduksi hanya sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan ekonomi atau produksi, melainkan juga didefinisikan oleh habitus.
Habitus tidak sekedar merujuk pada pengetahuan, atau kompetensi atau rasa gaya, tetapi
juga dijelmakan secara harafiah. Bagi Bourdieu, selera dibentuk habitus yang
berlangsung lama; bukan dibentuk oleh opini dangkal dan retorika. Habitus membentuk
preferensi agen terhadap makanan, pakaian, perabotan rumah, musik, drama, sastra,
lukisan, film, fotografi, dan preferensi etis lainnya.16 Pada individu yang memiliki selera
di musik EDM dan mengunjungi DWP, terdapat habitus didalamnya dimana individu
tersebut setiap harinya suka mendengarkan lagu-lagu EDM dan dia jarang sekali
mendengarkan jenis-jenis musik lain selain musik EDM. Hal ini juga bisa dipengaruhi
oleh historis dari individu itu sendiri, seperti seseorang pada saat remaja sering
dimainkan musik-musik EDM oleh kerabatnya hingga individu itu menjadi terbiasa dan
akhirnya menyukai musik EDM itu sendiri. Oleh karena itu, suatu individu yang
menyukai musik EDM sejak lama ini, kemudian terdapat suatu identitas yang muncul
kembali dari masyarakat dan pergaulannya. Padahal individu tersebut menyukai musik
EDM bukan karena sedang mengikuti trend, namun karena memang individu tersebut
memliki selera musik EDM yang telah melekat di dalam dirinya.
Bourdieu memusatkan perhatiannya pada variasi “selera” estetis, disposisi yang
diperoleh untuk membedakan beragam objek kultural kenikmatan estetis dan dan
memberinya apresiasi secara berbeda. Selera juga merupakan praktik yang diantaranya
berfungsi memberi individu, maupun orang lain, pemahaman akan tempatnya di tatanan
sosial.17 Perbedaan selera individu saat menikati musik akan memberikan suatu maksud
yang berbeda pada masyarakat yang nantinya akan menimbulkan anggapan yang
spesifik terhadap penikmat aliran musik tertentu. Karena musik dan juga EDM
merupakan suatu objek kultural estetis, maka praktiknya juga dapat memberikan
16 Prof. Dr. Damsar dan Dr. Indriyani, S.E., M.M. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Prenadamedia Group.
2009. Hlm. 222
17 Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern (Trans: Nurhadi). Bantul: Kreasi Wacana. 2012. Hlm. 585

10

pemahaman yang bisa berupa identitas kepada suatu individu ataupun orang lain dan
masyarakat. Bagi Bourdieu, selera membantu seorang individu untuk memahami
posisinya di antara orang lain-orang lain.
Selera menyatukan mereka yang memilki preferensi serupa dan membedakannya
dari mereka yang memiliki selera berbeda. Jadi, melalui penerapan dan implikasi praktis
selera, orang mengklasifikasikan objek dan dengan demikian, dalam proses tersebut,
mengklasifikasikan dirinya sendiri.18 Hal ini bisa dilihat dengan fenomena yang terjadi
disaat ada beberapa individu yang mencoba mengikuti trend EDM saat ini dan/ataupun
dengan cara menikmati EDM melalui acara musik DWP tersebut. Maka individuindividu tersebut ingin ada sesuatu identitas yang ingin dilekatkan kepada dirinya
sendiri. Dengan anggapan bahwa ia telah menikmati musik EDM dan mengunjungi
acara DWP, kemudian individu ini dapat mengklasifikasikan dirinya sendiri bahwa ia
memiliki selera yang “lebih baik” daripada individu-individu yang tidak menyukai dan
yang tidak mengikuti trend musik EDM. Lalu, tercapailah tujuan dari indvidu tersebut
untuk menumbuhan keeksistensiannya dengan identitas yang dimilikinya.

4.

Kesimpulan
Pergaulan ibukota saat ini sangat menekankan sisi prestise dan dianggap harus selalu
mengikuti trend yang sedang berlaku di masyarakat. Nilai-nilai tersebut seperti sudah
ditanamkan kepada setiap pergaulan di ibukota untuk mencapai maksud tertentu. Trend
berupa menikmati musik EDM atau Electronic Dance Music pada saat ini seperti menjamur
dan tiba-tiba menjadi suatu tolak ukur apakah suatu individu memiliki identitas dan eksis
dalam pergaulannya. Terlebih lagi dengan adanya konser musik EDM seperti Djakarta
Warehouse Project membuat kedua trend tersebut harus dilakukan pada zaman seperti ini.
Dalam kaitannya dengan teori sosiologi modern, mengikuti kedua trend tersebut dapat
diistilahkan sedang mendapatkan suatu kapital simbolik. Kapital simbolik ini berupa
pengakuan dari pergaulan atau masyarakat akan identitasnya yang senang mengikuti trend
dan keeksistensiannya di dalam pergaulan ibukota. Namun, kapital simbolik ini juga bisa
dipengaruhi oleh kapital lain, seperti kapital modal ataupun kapital sosial. Hal ini
dikarenakan individu tidak hanya memiliki satu kapital saja melainkan memiliki lebih dari

18 Ibid.

11

satu kapital. Selanjutnya, adanya penikmat musik EDM yang dianggap lebih hits daripada
jenis musik lain, akan menimbulkan suatu kelas sosial yang dimana kelas sosial ini
berhubungan dengan selera individu. Selera ini yang nantinya dapat memunculkan suatu
pengakuan atau identitas terhadap seseorang karena sesuatu yang dinikmatinya berupa
pengklasifikasian diri. Adanya trend seperti menikmati musik EDM dan mengikuti acara
DWP seperti suatu alat bagi individu untuk menjadikan dirinya lebih eksis daripada orang
lain di dalam pergaulan mereka. Dari mulai yang memang sudah suka EDM sebelum
menjadi trend hingga individu-individu yang hanya sekedar ikut-ikutan untuk mendapatkan
tujuan yang terselubung berupa identitas dan pengakuan dari orang lain.

12

DAFTAR PUSTAKA
Butler, Mark J. Unlocking the Groove: Rhytm, Meter, and Musical Design in Electronic Dance
Music. Indiana: Indiana University Press. 2006.
Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre
Bourdieu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2012.
Prof. Dr. Damsar dan Dr. Indriyani, S.E., M.M. Pengantar Sosiologi Ekonomi.

Jakarta:

Prenadamedia Group. 2009.
Ritzer & Goodman. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern (Trans: Nurhardi). Yogyakarta: Kreasi
Wacana. 2012
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern (Trans: Nurhadi). Bantul: Kreasi Wacana. 2012.
Cesira Amanda Putri. (2014). “Industrialisasi Musik Festival di Indonesia”.
Farsakian, Troy. (2012). “The Evolution of Electronic Music”
Fortunata Tyasrinestu. “Musik Pendidikan dalam Pengembangan Memori Kosakata Bahasa Inggris Anak”

13