RIWAYAH BIL-MA’NA SEBAGAI METODE PERIWAYATAN HADIT

  RIWAYAH BIL- MA’NA SEBAGAI METODE PERIWAYATAN HADITH

  Oleh : Ahmad Karomi A.

   Pendahuluan

  Hadith merupakan penuntun ummat Islam setelah Al- Qur‘an, memiliki sejarah yang tidak bisa terlepas dari segala hal yang berkaitan dengan Nabi Muhammad. Peranan hadith sebagai sumber ajaran Islam sangat penting untuk dikaji lebih mendalam. Sebab hadith telah melewati fase yang sangat panjang, dimana fase-fase tersebut ternoda oleh beberapa faktor. Diantara faktor-faktor itu adalah maraknya pemalsuan hadith yang meskipun bukan untuk menjerumuskan kaum muslimin namun tetaplah menyimpang dari sabda asli Nabi Muhammad. Dari sinilah perlunya sebuah penelitian, kritikan baik sanad maupun matan hadith.

  Sejak masa sahabat, kaum muslimin banyak mencurahkan konsentrasi pada kritik sanad. Mereka membahas berbagai perawi dari segi ke-{

  „adalah-an dan ke-d{abit{-an.

  Dengan dua poin inilah mereka bisa melakukan praktek jarh{{-

  ta‟dil (mencacat dan

  mendukung), tawthiq dan

  tad{„if (menganggap kuat dan menganggap lemah). Ketika

  rangkaian sanad sebuah riwayat begitu panjang para ulama melangkah ke tingkatan lain, yakni menguji ketersambungan dan keterputusan riwayat, sebab masih dikuatirkan adanya kualitas perawi dalam hal ‗adalah dan d{abit{-nya yang masih dipertanyakan. Dengan kata lain, sanad yang thiqah tidak harus berarti matannya thiqah

  Pentingnya penerapan metode kritik matan ini berdasarkan kenyataan bahwa: 1) autentifikasi dan penilaian ―buruk‖ seorang perawi berdasarkan pada sebuah asumsi; 2) seorang perawi yang dianggap thiqah oleh seorang kritikus hadith, pada saat yang sama bisa dianggap sebaliknya oleh seorang kritikus hadith yang lain; dan 3) selalu mungkin bahwa seorang perawi yang dianggap thiqah melakukan sebuah kesalahan, maka kritik matan tetap menjadi prasyarat.

  Dengan kritik matan, kesalahan yang diperbuat oleh seorang perawi dapat dikontrol dan penilaian seorang kritikus terhadap sebuah hadith dapat diverifikasi. Disamping itu, para perawi dapat dinilai thiqah atau sebaliknya, hanya setelah menguji riwayat mereka dan meneliti matannya. Demikian pula, kenyataan bahwa sejumlah hadith yang kontradiktif dengan sanadnya yang thiqah dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadith, menjadikan studi matan hadith tidak dapat diabaikan. Apakah matan hadith mendapat perhatian yang layak dari para pengkaji hadith? Sejauh mana mereka melakukan hal itu?

  Seperti diketahui fenomena riwayah bil-

  ma‟na membuat para ulama berbeda pendapat

  terkait boleh dan tidaknya mengamalkan dan mengambil hadith dengan riwayah bil-

  

ma‟na, disamping itu juga terjadi pemalsuan hadith yang telah menyebar dimana-mana

  dan menghinggapi hampir semua perawi hadith bahkan perawi yang saleh. Sehingga sulit untuk meneliti antara hadith yang riwayah bil-

  ma‟na dan hadith yang palsu. Oleh karena itu sangat penting untuk diulas di makalah ini.

  Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |

  77

B. Riwayah bil-ma‟na

  Secara etimologis kata riwayah bil- ma‟na terdiri dari kata riwayah dan ma‟na.

  

Riwayah adalah mas{dar dari kata rawa yakni penukilan, penyebutan, pemberian minum

  46

  sampai puas. Sedangkan riwayah menurut istilah ilmu hadith adalah memindahkan

  47

  hadith dan menyandarkannya dengan metode tertentu, atau kegiatan penerimaan dan penyampaian hadith serta penyandarannya kepada rangkaian para periwayat dengan

  48 bentuk-bentuk tertentu.

  Sedangkan

  ma‟na diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan makna yang berarti

  49

  maksud, arti atau apa-apa yang dikehendaki oleh sesuatu. Dalam hal ini,

  ma‟na berarti

  kontekstual. Maka definisi

  riwayah bil ma‟na adalah periwayatan hadith yang dilakukan

  oleh seorang periwayat dengan menggunakan lafal (redaksi) dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagiannya saja dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dihadapkan dengan hadith yang diriwayatkan menurut redaksi aslinya

  50 (bil-lafziy ).

  Konsep riwayah bil-

  ma‟na masih sering dipahami salah oleh sebagian umat Islam,

  diantaranya memahami bahwa setiap perbedaan redaksi pada hadith disebabkan oleh

  riwayah bil- ma‟na. Sehingga mencakup semua hadith yang membahas tema yang sama

  dengan redaksi yang berbeda. Jadi, bila hadith ditemukan dengan redaksi yang berbeda-

  51

  beda untuk satu tema, maka akan diklaim sebagai riwayah bil- ma‟na.

  Adanya perbedaan redaksi hadith bukan hanya disebabkan oleh riwayah bil-

  ma‟na,

  tetapi disebabkan banyak faktor. Diantaranya Nabi sering menyelenggarakan majlis ta‘lim. Kadang ada sahabat yang menerima satu tema hadith pada kesempatan yang berbeda. Ada kalanya Nabi bersabda dan menjawab pertanyaan dan disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penanya untuk satu macam pertanyaan dengan lafal dan ungkapan yang berbeda.

  ma‟na secara otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi

  yang akhirnya berujung berbeda maknanya, namun ada juga yang tidak mempengaruhi makna atau maksud hadith. Untuk membuktikan hadith riwayah bil-

  ma‟na atau bukan

  haruslah diteliti dengan cermat dan diperhatikan terlebih dahulu asbabul wurud dan kapan

  52 hadith itu muncul.

C. Problematika Riwayah bil-ma’na

  Pada awalnya penulisan hadith masih diperselisihkan oleh para sahabat. Ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Alas an dilarangnya penulisan itu berdasarkan hadith Nabi diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudriy:

  هحمٌلف نارقلارٌغ ًنع بتك نمو ًنع اوبتكت لا لاق الله لوسر نا يردخلا دٌعس ًبا نع

  46 47 Louis Ma‘luf, Al-Munjid fillughah wal-A‟lam (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1986), 289 48 Jalaluddin Al-Suyuti, Tadrib Al-Rawi fi Sharh{ Taqrib Al-Nawawiy, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), 13 49 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad hadith, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 23 50 Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991), 916 Mustafa Amin Ibrahim At-Taziy, Muhadarat fi Ulum Al-Hadith , (Mesir: Dar Al- 51 Ta‘lif, tt), v:1, 19 52 Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadith, (Yogyakarta: Teras, 2009), 46 Ibid, 48 | Vol 04 No 01 Pebruari 2016

  

Artinya:… dari Abu Said Al-Khudriy bahwa Rasulullah bersabda: janganlah kamu

menulis dariku, barangsiapa yang telah menulisnya selain Al-Quran maka hendaknya 53 dihapus.

  Diantara sahabat yang melarang penulisan hadith adalah Umar bin Khattab, Ibnu

  54 Sedangkan sahabat yang Mas‘ud, Zaid bin Thabit, Abu Said Al-Khudriy.

  membolehkannya berdasarkan riwayat hadith Abu Shah Al-Yamaniy yang diperintahkan untuk menulis khutbah yang didengarnya ketika fath makkah adalah Umar bin Khattab yang akhirnya mendukung penulisan hadith, Ali bin Abi Talib, Anas, Jabir, Ibnu Abbas, Qatadah, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Jabir.

  Pada dasarnya yang dikehendaki dari sebuah hadith adalah maknanya, bukan

  55

  lafalnya, maka riwayah bil-

  ma‟na diperbolehkan guna mempermudah dan meringankan

  56

  umat Islam dalam menerima dan menyampaikan hadith. Mengingat bahwa tidak seluruh hadith ditulis oleh para sahabat yang hanya mengandalkan lisan dan hafalan, sedangkan kapasitas intelektualnya berbeda-beda, maka diperlukan sikap hati-hati.

  Sekiranya setiap matan hadith telah secara meyakinkan berasal dari Nabi Muhammad, maka penelitian matan dan sanad sudah tidak diperlukan. Namun kenyataannya seluruh matan hadith berkaitan erat dengan sanadnya. Perlunya penelitian matan hadith tidak hanya karena keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja,

  57

  tetapi juga karena dalam periwayatan hadith dikenal adanya riwayah bil- ma‟na.

  Dengan adanya riwayah bil-

  ma‟na, maka untuk meneliti hadith tertentu semisal hadith

  yang berkenaan tentang peperangan, sasaran penelitian pada umumnya tidak tertuju pada kata perkata dalam matan itu, tetapi sudah dianggap cukup bila penelitian tertuju kepada kandungan atau ungkapan hadith yang bersangkutan. Lain halnya bila yang diteliti adalah matan yang mengandung ajaran Nabi tentang suatu ibadah tertentu misalnya bacaan salat,

  58 Adanya periwayatan hadith secara makna (bil- ma‟na ) telah menyebabkan satu

  problem tersendiri, yakni penelitian matan dengan pendekatan semantik yang jelas tidak mudah dilakukan. Kesulitan itu terjadi karena matan hadith yang sampai ke tangan

  

mukharrij -nya masing-masing terlebih dahulu beredar pada sejumlah periwayat yang

berbeda generasi, latar belakang budaya dan kecerdasan mereka.

  Perbedaan generasi dan budaya dapat menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah, sedang perbedaan kecerdasan dapat menyebabkan pemahaman terhadap matan hadith yang diriwayatkan tidak sejalan atau sepaham. Walaupun penelitian matan hadith dengan pendekatan semantik atau bahasa sulit dilakukan namun hal ini tetap diperlukan. Sebab bahasa hadith adalah bahasa Arab

  59 yang mana Rasulullah menyampaikannya dengan susunan yang baik dan benar. 53 Abu Al-Husaiyn bin Hajjaj bin Muslim al-Naysaburiy, Sahih Muslim (Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah, tt), juz 2, 597 54 Ibnu Kathir, Al- 55 Ba‟ith Al-H{athith fi Ikhtisar Ulum Al-Hadith (Beirut: Dar Al Fikr, tt) 69

  Muhammad Muhammad Abu Zahw, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun 56 (Mesir: Matba‘ah Misr, tt) 18 57 Ibid Muhammad 58 ‗Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qablattadwin , (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963), 126 59 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadith, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 26 Ibid, 27

  Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |

  79 Untuk meneliti matan hadith dari aspek kandungannya, acapkali juga diperlukan penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Dengan demikian, kesahihan matan hadith yang dihasilkan tidak hanya dilihat dari sisi bahasa saja, tetapi juga dilihat dari sisi yang mengacu kepada rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip

  60 ajaran Islam.

  Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata masih tidak mudah dilakukan. Apalagi bila sebagian dari kandungan atau ungkapan matan hadith berhubungan dengan keyakinan, hal-hal gaib, dan petunjuk-petunjuk agama yang bersifat

  

ta‟abbudi. Dengan begitu penelitian matan hadith sangat memerlukan kecerdasan seorang

  peneliti dalam menggunakan acuan pendekatan yang relevan dengan masalah yang

  61 diteliti.

  Kesulitan penelitian matan juga tidak bisa terlepas dari referensi kitab-kitab yang mengulas tentang kritik matan, namun kitab-kitab tersebut masih sangat langka. Sehingga tenaga dan waktu seorang peneliti terkuras oleh penelitian sanad. Hal ini sangat dimaklumi bahwa bila masalah sanad tidak segera mereka tangani, maka kerumitan penelitian hadith akan semakin bertambah lagi.

  Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan kesulitan atau problematika meneliti hadith riwayah bil-

  ma‟na disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: 1.

  Tidak seluruh hadith Nabi diriwayatkan secara mutawatir (lafz{iy).

2. Pada masa Nabi sampai masa sahabat, hadith Nabi belum dibukukan

  (tadwin), bahkan pada awalnya para sahabat tidak menulis hadith, kecuali sahabat- sahabat tertentu. Sebab periwayatan hadith lebih banyak secara lisan.

  3. Memerlukan pendekatan dengan beberapa instrument selain semantik.

  4. Perbedaan kemampuan dalam menghapal dan meriwayatkan hadith Nabi.

  5. Hanya hadith yang berbentuk sabda (qauliyyah) saja yang mungkin

  62 dan hal ihwal.

D. Justifikasi Riwayah bil-ma’na

  Riwayah bil- ma‟na merupakan salah satu metode periwayatan yang telah ditempuh

  oleh para sahabat sejak masa Nabi. Para ulama sepakat bahwa periwayat yang tidak menguasai bahasa dan tidak mengetahui hal-hal yang merubah makna, tidak diperbolehkan meriwayatkannya secara makna. Para ulama juga sepakat akan keharusan periwayatannya bil-lafziy untuk beberapa hadith berikut ini:

  1. Hadith-hadith yang berkaitan dengan penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Sebab hal ini bersifat tawqify dan tidak boleh diganti kalimat lain walau semakna.

2. Hadith-hadith yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah, misalnya hadith-hadith doa, hadith tentang azan, iqamat, sighat shahadat, sighat aqad.

  3. Hadith–hadith tentang jawami‟ Al-Kalim yang mengandung nilai balaghah tinggi dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh

  63 60 kandungan makna hadith yang dimaksud. 61 Ibid 62 Ibid Salamah , Kritik Teks…, 28

  | Vol 04 No 01 Pebruari 2016 Sejarah perjalanan hadith diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah periwayatan hadith itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi Muhammad tetapi disandarkan kepada Nabi Muhammad. Di samping itu, periwayatan hadith harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Ada sebuah hadith berbunyi:

  هعوس بوك بثٌذَ بٌه عوس اشها للَّ شضً Artinya: Allah memuji orang yang mendengar hadith dariku kemudian menyampaikannya seperti apa yang didengarnya

  Di situ ada redaksi ―menyampaikan seperti apa yang didengarnya‖, sehingga periwayatan redaksi hadith dituntut sama persis. Disebutkan bahwa Barra‘ bin ‗Azib pernah diajari oleh Rasulullah sebuah doa sebelum tidur sebagai berikut:

   َّلاِإ َكٌِْه بَجٌَْه َلاَو َأَجْلَه َلا َكٍَْلِإ ًتَبْهَسَو ًتَبََْس َكٍَْلِإ يِشْهَظ ُثْأَجْلَأَو َكٍَْل ِإ يِشْهَأ ُجْضَّىَفَو َكٍَْلِإ ًِهْجَو ُجْوَلْسَأ َّنُهَّللا ِةَشْطِفْلا ىَلَع َجًْ

ُنَّلَكَخَح بَه َشِخآ َّيُهْلَعْجاَو َأَف َكِخَلٍَْل ْيِه َّجُه ْىِئَف َجْلَسْسَأ يِزَّلا َكٍِِّبٌَِبَو َجْلَضًَْأ يِزَّلا َكِببَخِكِب ُجٌَْهآ َّنُهَّللا َكٍَْلِإ

َكٍِِّبًََو َلا َلبَِ َكِلىُسَسَو ُجْلُِ َجْلَضًَْأ يِزَّلا َكِببَخِكِب ُجٌَْهآ َّنُهَّللا ُجْغَلَب بَّوَلَف َنَّلَسَو ِهٍَْلَع ُ َّللَّ ىَّلََ ًِِّبٌَّلا ىَلَع بَهُحْدَّدَشَف َلبَِ ِهِب

  64 . َجْلَسْسَأ يِزَّلا

  Di dalam redaksi hadith ini terdapat kata

   َكٍِِّبٌَِبَو yang mana Barra‘ menanyakan

  apakah kata itu dapat diganti dengan

  كِلىُسَشَبو beliau menolak dan tetap meneruskan

  dengan . tetapi dalam kenyataan banyak dijumpai hadith kata yang pertama yakni َكٍِِّبٌَِبَو yang kandungan maknanya atau maksudnya sama diungkapkan dengan redaksi yang berbeda- beda. Oleh karena itu, sering dijumpai komentar hadith ―muttafaq alaih, wal-

  lafdhu lil muslim atau lil-bukhari

  ‖. Dari sinilah bisa ditarik kesimpulan bahwa riwayat hadith

  bil ma‟na memang ada.

  Hadith bukanlah hanya berupa ucapan Nabi saja namun juga terkadang berupa tingkah laku Nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku Nabi yang disaksikan oleh para sahabat boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda-beda meskipun maksudnya sama. Bahkan berbeda.

  Ada sebuah hadith yang menggambarkan bahwa hadith

  riwayah bil ma‟na itu bisa

  ditolerir, hadith ini menceritakan Abdullah bin Sulaiman Al-Laith yang menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadith secara utuh, artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadith persis seperti apa yang didengarnya, hurufnya kadang bertambah kadang berkurang, atas keluhan ini Nabi bersabda:

  لاف ىٌعولا نخبَأو لالاَ اىهشحح لاو بهاشَ نل ارإ َطأب اىُّلِحُح

  Artinya: apabila kamu tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang

  65 halal dan maknanya kamu peroleh dengan tepat, maka tidak apa-apa.

  Al-Sakhawi berpendapat bahwa hadith ini dinilai mud{tarib, tidak sahih. Terlepas dari sahih atau tidaknya hadith ini terbukti sering dijadikan dasar periwayatan hadith bil-

  

ma‟na oleh muhaddithin. Berkenaan dengan ini ada beberapa penjelasan dari para

muhaddithin misalnya: 63

ذَاو ىٌعولاو عفللا ًف فلخخٌ نهلك ةششع يع ثٌذحلا جعوس بوبس لبِ يٌشٍس يب ذوحه يع ةىٌا يعو

64 Al-Taziy, Muhadarat…, 19 65 Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz 1 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997) ,412 Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi,... Juz 1, 99 Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |

  81 Riwayat lain berbunyi:

   اىعوخجاو عفللا ًف اىفلخخبف نعلَ ًبٌلا ةبحَ ا يه ةذع جٍقل لبِ ىفوا ًبا يب ةساسص يع ةدبخِ يع يوسو ىٌعولا ًف

  Di kalangan ulama hadith periwayatan lafal hadith itu sangat dipentingkan. Bahkan ada yang tidak mengizinkan murid meriwayatkan hadith hanya didasarkan hafalan sebelum menulisnya, dikhawatirkan terjadi kesalahan dalam hafalan.

  Fenomena riwayat hadith bil-

  ma‟na terdapat perbedaan pendapat dikalangan

muhaddithin . Sebagian ulama hadith dan fiqih berpendapat bahwa riwayat hadith bil-

ma‟na harus disertai dengan lafal (matan) apa adanya seperti contoh binabiiyyika tidak

  dapat ditukar dengan birasulika. Keberadaan teks asli mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Jika periwayatan hadith bil-

  ma‟na diperbolehkan dengan tanpa adanya teks yang

  asli maka dikhawatirkan akan terjadi perbedaan yang sangat tajam antara teks asli dengan teks yang dibuat oleh periwayat dari segi makna.

  Adapun pendapat jumhur ulama memperbolehkan riwayat hadith bil-

  ma‟na dengan

  syarat periwayat hadith harus faham dan menguasai betul bahasa arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad dan masyarakatnya pada saat itu (sesuai konteksnya). Perawi harus mengerti mana makna yang bergeser dan mana yang tidak.

  Persyaratan yang dibebankan untuk para perawi hadith bil-

  ma‟na bertujuan untuk

  mempertegas bahwa riwayah bil-

  ma‟na sangat membutuhkan keakuratan dalam

  mengungkap maksud sebuah hadith, jika persyaratan ini tidak dipenuhi, maka tidak diperkenankan untuk riwayat hadith bil-

  ma‟na.

E. Pro Kontra Hadith Riwayah Bil-

  

Ma’na

  Menurut Shafi‘i seorang perawi diperbolehkan riwayat hadith bil-ma‟na apabila

  66 cerdas dan paham mana makna yang bisa mengubah makna hadith.

  Al-Suyut{i berpendapat bahwa riwayah bil-

  ma‟na diperbolehkan apabila tidak

  mengubah makna hadith. Akan tetapi Al-Suyuti tidak setuju riwayat bil- ma‘na yang

  67

  berkaitan dengan lafal iba dah seperti azan, doa, tasyahud, dan jawami‘ al-kalam.

  Dengan demikian bisa ditarik benang merah bahwa ulama sepakat agar sedapat mungkin riwayat hadith hendaknya bil-lafz{i tidak bil-

  ma‟na. Apabila memang

  meriwayatkan hadith bil-

  ma‟na maka harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan

  dalam periwayatan hadith bil-

  ma‟na. Namun apabila riwayah bil-lafz{i sudah mencukupi,

  maka tidak perlu adanya riwayah bil- ma‟na.

F. Riwayah bil-Ma’na Sebagai Metode Periwayatan Hadith

  Sebagai sebuah teks, hadith menghadapi problem yang sama sebagaimana yang dihadapi teks-teks lainnya, yakni tidak bisa mempresentasikan keseluruhan gagasan dan setting situasional pelakunya. Begitu teladan Nabi sebagai wacana yang dinamis dan kompleks dituliskan, maka penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa tidak bisa dihindari. 66 67 Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah …, 251 Al-Suyuti

  , Tadrib…, 102 | Vol 04 No 01 Pebruari 2016 Berdasarkan struktur berfikir yang seperti ini, maka perumusan metodologi pemahaman dan penafsiran hadith menjadi sangat penting dalam rangka ―mencairkan‖ kebekuan teks-teks hadith sehingga menjadi wacana yang hidup dan mampu berdialog dengan situasi zaman yang selalu berubah.

  Seperti yang kita ketahui bahwa riwayah bil-

  ma‟na diperbolehkan dengan syarat

  tertentu dan alasan-alasan tertentu. Alasan utama adalah ketidakmungkinan seluruh ucapan Nabi disampaikan secara lafal. Bisa dikatakan riwayah bil- ma‘na terjadi sebelum lahirnya kaedah kesahihan hadith. Hal ini mengasumsikan bahwa masa hidup Nabi, para sahabat telah meriwayatkan hadith Nabi kepada sahabat lainnya atau bisa dikatakan tidak semua sahabat meriwayatkan hadith langsung kepada Nabi.

  Kaedah kesahihan hadith sebagaimana dikemukakan ulama hadith mencakup sanad bersambung, perawi ‗adalah, dabit, sanad dan matan terhindar dari shadh dan illat. Apabila kaedah ini dikaitkan dengan riwayah bil-

  ma‟na maka persoalannya berhubungan dengan matan hadith, yakni terhindar dari illat dan shadh.

1. Analisis „Illah Hadith

   Illah pada matan adalah penyebab yang sulit terdeteksi keberadaannya dan tidak

  transparan, tetapi jika terdeteksi maka matan hadith yang semula sahih bisa menjadi turun derajatnya dan dinyatakan tidak sahih. Sulitnya terdeteksi dan tidak transparan ini berlaku bagi peneliti hadith yang kurang mahir. Imam Al-

  Hakim mengingatkan bahwa ‗illah hadith tidak berhubungan dengan ja rh wa ta‘dil dan perangkat uji akurat para perawi.

  Sebab gambaran formalitas tersebut jika diteliti lebih dalam ternyata bisa terjadi keterputusan sanad (

  mursal/inqita‟) antar periwayat yang sezaman tidak pernah

  berkomunikasi dan sighat yang tertulis tidak adanya proses tahammul wal ada‟.

  Untuk hal yang berkaitan dengan illah ini, ulama menyatakan bahwa pada umumnya illah hadith berbentuk: a) sanad yang muttasil dan marfu‘ ternyata muttasil tetapi mawquf, b) sanad yang tampak muttasil dan marfu‘ ternyata muttasil tetapi mursal, c) terjadi percampuran hadith dengan bagian hadith lainnya, d) terjadi kesalahan penyebutan

  68

  periwayat karena ada nama-nama yang mirip tetapi berlainan personalnya. Contoh hadith yang tampak sahih tetapi setelah diteliti ada

  „illah, hadith tentang fadail sahabat,

  hadith Qutaibah bin Uqbah dari Sufyan dari Khalid Al- Hazza‘ dan Asim bin Abi Qilabah yang berbunyi:

   بْعَك نْب ًَُّب أ َِّالله ِباَتِكِل ناَمْث ع ءاٌََح رَم ع َِّالله ًِف و بَأ ًِتَّم أ ْم ه ؤَرْقَأ َو ْم ه قَدْصَأ َو ْم هُّدَشَأ َو ًِتَّم أِب مَحْرَأ ِرْمَأ رْكَب َةَدٌَْب ع و بَأ ِةَّم ْلْا ِهِذَه َنٌِمَأ ا نٌِمَأ ةَّم أ َلاَأ نْب ذاَع م نْب دٌَْز لَبَج َّنِإ َو ِّل كِل َّنِإ َو ِل َلََحْلاِب ْم ه مَلْعَأ َو تِباَث ْم ه ضَرْفَأ َو ِماَرَحْلا َو

  69 نْب ِحاَّرَجْلا

  Teks matan hadith ini termuat dalam Al- Jami‘ Al-Tirmizi Syarah Ibn Al-Arabi, Sunan

  Ibnu Majah, Sahih Ibnu Hibban, Mustadak Al-Hakim, Tarikh Dimashq, Sunan Kubra Al- Bayhaqi. Hadith ini dari sisi sanad dan matan sekaligus ungkapannya mendapat predikat sahih oleh beberapa ulama, misalnya Tirmizi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, namun setelah dilakukan cross reference ke berbagai kitab hadith terungkap beberapa data sebagai 68 berikut:

  Syuhudi Ismail, Metodologi 69 …, 132 Dikutip oleh Hasjm Abbas, Kritik Matan …, 104 Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |

  83 a. Terjadi percampuran antara matan hadith Anas bin Malik yang khusus menampilkan reputasi ‗Ubaidah bin Jarrah yang bersanad mawsul dan musnad menyatu dengan matan yang panjang yang merinci reputasi keenam sahabat lain yang sanadnya mursal. Berarti telah ada idraj/idtirab dalam matan.

  b. Sifat ke- marfu‘an matan hadith untuk penggalan yang mengurai reputasi keenam sahabat tidaklah benar. Yang benar, kualitas sanad tersebut adalah mursal, kecuali teks terakhir tentang reputasi Ubaidah bin Jarrah yang seharusnya berakhir sanad pada Anas bin Malik benar- benar marfu‘.Dari analisa tersebut bisa ditemukan adanya tadlis fil-isnad.

  c. Terjadi pembauran antara substansi matan yang

  marfu‟ (khusus untuk reputasi Abu ‗Ubaidah bin Jarrah) dengan yang mursal melalui Abu Qilabah.

  Dengan demikian secara teoritis metodologis apabila suatu hadith matannya mengandung unsur percampuran hadith dengan bagian hadith lainnya yang mungkin disebabkan oleh periwayatan secara makna, maka hadith tersebut da‘if. Karena tidak terpenuhinya

  „adam „Illat. Dengan kata lain, riwayah bil-ma‘na dalam sebagian

  bentuknya menyebabkan matan suatu hadith bercampur dengan bagian matan lainnya, dan dapat menyebabkan da‘if, karena kurang kuatnya hafalan perawi.

  Selanjutnya, langkah metodologis yang harus ditempuh oleh peneliti dalam melacak

  

„illah matan hadith adalah sebagai berikut; 1) melakukan takhrij untuk mengetahui

  seluruh sanadnya, 2) melakukan

  i‟tibar untuk mengkategorikan mutabba‟ tam/ qasir dan

  menghimpun matan hadith yang bertema sama sekalipun berujung akhir sanad berupa nama sahabat yang berbeda (shahid), 3) mencermati data dan mengukur segi-segi perpadanan atau keekatan pada nisbah ungkapan nara sumber, pengantar riwayat, sighat tahdis dan susunan kalimat matannya, dan menentukan sejauh mana unsure perbedaan

  70 yang teridentifikasi.

2. Analisis Shudhudh hadith

  Riwayah bil- ma‟na bila dikaitkan dengan unsur terhindar dari shadh maka diteliti

  terlebih dahulu riwayah bil-

  ma‟na tersebut mengandung shadh atau tidak. Yakni

  kejanggalan yang disertai penyendirian pada sanad atau matan. Langkah ini bisa dibuktikan dengan meng-komparasikan dengan kitab-kitab yang lain.

  Tujuan tidak adanya shadh disini untuk klarifikasi keseimbangan antara matan hadith yang sama-sama satu tema, mengetahui

  „adalah dan dabit-nya perawi dalam memahami

  hadith. Diperlukan dua prasyarat untuk mengklasifikasikan shadh pada hadith, yaitu: a) fakta penyendirian (infirad) oleh perawi yang maqbul, b) bukti perbedaan (ikhtilaf) pada isi atau format pemberitaan matan ketika diperbandingkan dengan sejumlah matan hadith yang setingkat sanadnya atau lebih berkualitas. Contoh karena penyendirian:

   ًِبَأ ْنَع َُمْعَ ْلْا اَنَث َّدَح ِدِحا َوْلا دْبَع اَنَثَّدَح او لاَق َةَرَسٌَْم ِنْب َرَم ع نْب ِ َّالله دٌَْب ع َو لِماَك و بَأ َو ٌدَّدَس م اَنَثَّدَح ِحْبُّصلا َلْبَق ِنٌَْتَعْكَّرلا ْم ك دَحَأ ىَّلَص اَذِإ َمَّلَس َو ِهٌَْلَع َّالله ىَّلَص ِ َّالله لو سَر َلاَق َلاَق َةَرٌَْر ه ًِبَأ ْنَع حِلاَص

  71 70 ِهِنٌِمٌَ ىَلَع ْعِجَطْضٌَْلَف 71 Ibid Abu Dawud, Sunan Abi Dawd, II (Mesir: Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, 1950), 28

  | Vol 04 No 01 Pebruari 2016 Seluruh periwayat yang mendukung mata rantai sanad hadith ini tergolong thiqqah, namun Al-Bayhaqy menemukan data kejanggalan (shadh) yakni format matan untuk tema diatas yang diriwayatkan oleh A‘mash, sebagaimana dikutip oleh murid-muridnya selain Abdul Wahid bin Ziyad mengambil bentuk ungkapan hadith

  fi‟ly, bukan format qauly

  yang bernada perintah/himbauan. Koreksi Al-Bayhaqy ini bisa dikonfirmasikan dengan kesaksian A‘ishah:

   ِهِنٌِمٌَ ىَلَع َعَجَطْضا ِهِتٌَْب ًِف ًَْتَعْكَر ىَّلَص َناَك ِهٌَْلَع ىَّلَص َّنَأ َةَشِئاَع ْنَع ْدَق َو اَذِإ َمَّلَس َو َّالله ًَِّبَّنلا َيِو ر ِرْجَفْلا

  72 ا باَبْحِتْسا اَذَه ْنَأ ضْعَب ىَأَر ْدَق َو ِلْهَأ َلَعْف ٌ ِمْلِعْلا

  Dengan koreksi tersebut maka matan hadith yang berstatus mahfuz{ adalah yang mengambil format perbuatan (

  fi‟ly) seperti kesaksian A‘ishah. Sedangkan matan yang dinisbahkan kepada Abdul Wahid dinyatakan Shadh atau janggal.

  Bertolak dari status mahfuz{ untuk matan berbentuk

  fi‟ly, maka kebiasaan Nabi tidur

  dengan memiringkan badan ke rusuk kanan setelah salat sunnah fajar harus dipahami sebagai dorongan (kecenderungan) pribadi, bukan cermin dari tata cara ibadah syar‘i yang harus diikuti umat.

  Dengan demikian, apabila terdapat matan hadith yang menyalahi kebanyakan matan hadith dari para perawi yang lebih banyak (mutawatir) atau lebih thiqqah, maka matan tersebut mengandung Shudhud.

  Selanjutnya, merujuk kepada definisi riwayah bil-

  ma‟na, ada beberapa hal yang

  menjadi dampak (implikasi) dari adanya perwayatan bil- ma‘na, diantaranya: Al-Ikhtisar dan At-

  Taqti‟, Al-Taqdim dan Al-Ta‟khir, Al-Ziyadah dan Al-Nuqsan, dan Al-Ibdal yang kesemuanya mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu.

G. Kesimpulan

  Berdasarkan uraian diatas maka bisa disimpukan bahwa riwayah bil-

  ma‟na terjadi redaksi yang berbeda-beda, bukan perbedaan redaksi karena perbedaan peristiwa.

  Perbedaan ini mengakibatkan ada yang merubah makna dan ada yang tidak, sehingga para ulama berpendapat berbeda-beda dalam memperbolehkan mengamalkan riwayah bil- ma‘na.

  Al-Suyut{i berpendapat bahwa riwayah bil-

  ma‟na diperbolehkan apabila tidak

  mengubah makna hadith. Akan tetapi Al-Suyuti tidak setuju riwayah bil-

  ma‟na yang

  73 berkaitan dengan lafal ibadah seperti azan, doa, tasyahud, dan jawami‘ al-kalam.

  Dengan demikian, pemakalah sependapat dengan pendapat ulama agar sedapat mungkin riwayat hadith hendaknya bil-lafz{i tidak bil-

  ma‟na. Apabila memang

  meriwayatkan hadith bil-

  ma‟na maka harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan

  dalam periwayatan hadith bil-

  ma‟na. Namun apabila riwayah bil-lafz{i sudah mencukupi,

  maka tidak perlu adanya riwayah bil- ma‟na.

72 Muhammad bin Isa Al-Tirmidhi, Al-

  Jami‟ Al-Sahih wa huwa Sunan Al-Tirmidhi (Beirut: Dar Al-Kutub Al- 73 Ilmiyyah, 1987), 213 Al-Suyuti , Tadrib…, 102 Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |

  85

  Daftar Pustaka Bukhari (al), Muhammad bin Ismail, 1997.Sahih Bukhari, Juz 1, Beirut: Dar Al-Fikr Dawud, Abu, 1950. Sunan Abi Dawd, II (Mesir: Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra.

  Ismail, M. Syuhudi Ismail, 2005. Kaedah Kesahihan Sanad hadith, Jakarta: Bulan Bintang.

  _____________________, 1992. Metodologi Penelitian Hadith, Jakarta: Bulan Bintang.

  Kathir, Ibnu, tt Al- Ba‟ith Al-H{athith fi Ikhtisar Ulum Al-Hadith, Beirut: Dar Al Fikr, tt Khatib (al), Muhammad ‗Ajjaj, 1963. Al-Sunnah Qablattadwin , Kairo: Maktabah Wahbah. Ma‘luf, Louis, 1986. Al-Munjid fillughah wal-A‟lam . Beirut: Dar Al-Mashriq. Noorhidayati, Salamah, 2009. Kritik Teks Hadith, Yogyakarta: Teras. Naysaburiy (al), Abu Al-Husaiyn bin Hajjaj bin Muslim, tt. Sahih Muslim Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah Suyut{i (al), Jalaluddin, 1994. Tadrib Al-Rawi fi Sharh{ Taqrib Al-Nawawiy, Beirut: Dar Al-Fikr.

  Salim, Peter. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer , Jakarta: Modern English Press. Taziy (at), Mustafa Amin Ibrahim, tt, Muhadarat fi Ulum Al-Hadith , Mesir: Dar Al- Ta‘lif.

  Tirmidhi (al), Muhammad bin Isa, 1987. Al- Jami‟ Al-Sahih wa huwa Sunan Al-Tirmidhi, Beirut:

  Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah Zahw, Muhammad Muhammad, Abu, tt. Al-Hadith wa Al-Muhaddithun . Mesir: Matba‘ah Misr.

  | Vol 04 No 01 Pebruari 2016

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

IMPLEMENTASI MIKROKONTROLER ATMEGA 8535 STUDI KASUS PENGONTROL SUHU ALIRAN AIR DALAM PIPA DENGAN METODE KONTROL FUZZY LOGIK

28 240 1

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN KELOR (Moringa oleifera Lamk.) TERHADAP BAKTERI Escherichia coli DENGAN METODE BIOAUTOGRAFI

55 262 32

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18