Index of /enm/images/dokumen

KINERJA DAN DAYA SAING EKSPOR MANUFAKTUR INDONESIA
Analisis Mingguan Kadin Indonesia, January 2006
Tulus Tambunan
Kinerja
Salah satu hal yang nyata dari perubahan struktur ekonomi Indonesia dalam 30 tahun belakangan ini adalah
semakin besarnya kontribusi industri manufaktur di dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) and total
ekspor non-migas (lihat Gambar 1 sebagai suatu ilustrasi). Perubahan ini terutama disebabkan oleh kebijakan
industrialisasi pada era Orde Baru, dengan strategi substitusi impor. Negara tujuan paling utama bagi ekspor
manufaktur Indonesia adalah Amerika Serikat, disusul kemudian oleh Jepang dan Uni Eropa (EU); walaupun
akhir-akhir ini UE mengambil posisi teratas (Tabel 1).
Semakin pentingnya ekspor manufaktur di dalam total ekspor non-migas Indonesia dapat dilihat di Tabel 2,
yang menunjukkan produk-produk ekspor Indonesia yang masuk di dalam kategori 50 produk utama didominasi
oleh barang-barang manufaktur dengan barang-barang elektronik pada posisi teratas berdasarkan nilai ekspor pada
tahun bersangkutan. Namun demikian, Indonesia masih belum unggul di pasar dunia dalam banyak produkproduk manufaktur. Indonesia masih tetap menjadi eksporter terbesar hanya untuk produk-produk tradisional
seperti misalnya untuk crude palm oil (CPO), Indonesia menduduki posisi teratas dengan saham sebesar 35
persen (Tabel 3).
Ada dua produk manufaktur yang selama ini Indonesia mencoba menjadi salah satu pemain besar di pasar
global berdasarkan faktor utama keunggulan komparatif yang dimikiki Indonesia, yaitu tenaga kerja dengan upah
murah. Kedua produk tersebut adalah tekstil dan produknya (TPT) dan elektronika. Namun pengalaman di banyak
negara produsen lainnya seperti China, Korea Selatan dan Jepang, menunjukkan bahwa dalam era teknologi maju
sekarang ini, tenaga kerja murah tidak bisa lagi diandalkan sebagai satu-satunya penentu daya saing kedua

kelompok produk tersebut. Banyak faktor lain yang bahkan cenderung dominan dalam menentukan keberhasilan
suatu negara dalam ekspor kedua produk tersebut yakni ketersediaan/penguasaan teknologi, pembangunan
industri pendukung yang solid dan ketersediaan infrastruktur yang baik.

TPT
Sebagai suatu ilustrasi, Tabel 4 menunjukkan bahwa negara pemasok terbesar tekstil ke pasar EU, selain EU itu
sendiri, adalah China, disusul kemudian oleh Turki, India dan Pakistan. Indonesia tidak termasuk di dalam “4
Besar” ini. Di luar kelompok 4 Besar ini, pesaing Indonesia terberat di Asia adalah Jepang, Korea Selatan dan
Taiwan. Pada tingkat dunia, eksporter utama tekstil di pasar dunia adalah EU dan China pada posisi ke dua (Tabel
5). Lemahnya posisi Indonesia relatif terhadap China dalam ekspor TPT terrefleksi oleh rendahnya volume
produksi TPT Indonesia dalam yang dengan sendirinya membuat kemampuan Indonesia untuk ekspor TPT lebih
kecil dibandingkan China (Tabel 6). Indonesia tidak hanya jauh lebih lemah dibandingkan China dalam ekspor
tekstil, terutama China sangat unggul dalam produk-produk dasar seperti kain (Tabel 7), tetapi juga dalam ekspor
produk-produknya seperti pakaian jadi, yang sebenarnya merupakan andalan ekspor TPT Indonesia selama ini
(Tabel 8,9, dan 10)..
1

Paling tidak ada dua faktor utama yang membuat Indonesia dibawah China dalam ekspor TPT. Pertama
adalah supply bottleneck yang selama ini dialami Indonesia yang membuat volume produksi TPT di Indonesia
tidak optimal (realisasi lebih rendah dari kapasitas produksi) (Gambar 2), yang disebabkan oleh banyak faktor,

mulai dari keterbatasan modal (antara lain karena sulitnya mendapatkan dana pinjaman dari perbankan) dan sering
terjadinya distorsi dalam pengadaan bahan baku baik dalam arti harga bahan baku yang tidak stabil maupun
dalam arti suplai pasokan yang sering macet . Kedua adalah daya saing TPT Indonesia yang semakin buruk (nanti
dibahas di bawah), yang antara lain disebabkan oleh belum adanya industri-industri pendukung di dalam negeri
dan berbagai macam distorsi termasuk di pasar input. Akibat dari dua faktor ini dapat juga dilihat dari Gambar 3,
4 dan 5 yang menunjukkan persentase TPT baik di dalam total output manufaktur maupun total ekspor
manufaktur Indonesia terus mengalami penurunan.
Pasar TPT yang menjadi tempat persaingan paling ketat antara Indonesia dan China adalah AS dan EU.
Studi dari Wattanapruttipaisan (2005) menunjukkan betapa kuatnya China di dua pasar tersebut; sementara
pangsa ekspor TPT Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan China (Tabel 11). Proyeksi-proyeksi yang ada hingga
saat ini tidak menunjukkan masa depan (setelah kuota dihapuskan) yang cerah bagi TPT Indonesia di pasar AS
maupun EU. Misalnya hasil studi dari Nordas (2004) memprediksi ekspor TPT Indonesia ke AS akan turun
(Gambar 6) sedangkan ke EU tidak mengalami perubahan (Gambar 7). setelah kuota di hapuskan.

Barang-barang listrik
Dalam ekspor produk-produk listrik Indonesia juga masih lemah posisinya. Berbeda dengan TPT, dalam
perdagangan produk-produk listrik, di Asia Indonesia praktis bersaing ketat dengan semua negara lainnya, seperti
Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Singapura, Malaysia dan tentu saja China. Untuk banyak produk listrik,
China unggul atas negara-negara eksportir lainnya dari Asia. Sebagai suatu ilustrasi, untuk tiga jenis produk
listrik, dapat dilihat di Tabel 12 s/d 14.

Walaupun pemerintah Indonesia berusaha membuat produk-produk elektronik sebagai salah satu bagian
terpenting dari ekspor non-migas nasional, namun sampai sekarang industri elektronik di dalam negeri masih
belum mendominasi industri manufaktur nasional; bahkan porsi outputnya di dalam total output manufaktur
Indonesia cenderung menurun dalam beberapa tahun belakangan ini (Gambar 8). Seperti halnya dalam kasus TPT
di atas, ekspor elektroniks Indonesia juga mengalami dua kendala serius, yakni supply bottleneck yang selama ini
dialami Indonesia yang membuat volume produksi TPT di Indonesia tidak pernah optimal (Gambar 9), dan
rendahnya daya saing TPT Indonesia, terutama karena masih rendahnya kemampuan teknologi dan belum
berkembangnya industri-industri pendukung.

Daya Saing
Kesalahan besar yang terus dilakukan Indonesia hingga saat ini dalam berkompetisi di pasar global adalah tetap
mengandalkan pada faktor-faktor keunggulan komparatif seperti upah buruh yang relatif murah, bahan baku
dalam jumlah besar dan bervariasi, tanah yang luas dan subur, serta iklim yang baik. Padahal pengalaman di
banyak negara termasuk Korea Selatan, Taiwan, Jepang dan banyak lagi sudah lama menunjukkan bahwa dalam
era teknologi maju, daya saing suatu produk tidak lagi hanya ditentukan oleh faktor-faktor keunggulan alami
2

seperti tersebut di atas, tetapi juga, dan bahkan lebih ditentukan oleh faktor-faktor keunggulan kompetitif,
yakni faktor-faktor keunggulan yang harus diciptakan oleh manusia seperti keahlian, teknologi, infrastruktur,
lingkungan usaha yang kondusif, tenaga kerja yang disiplin dengan etos kerja yang tinggi, dsb.nya.

Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengkaji perkembangan daya saing suatu produk, diantaranya
adalah membandingkan antara pertumbuhan saham dari suatu produk di pasar dunia dengan pertumbuhan
permintaan pasar dunia terhadap produk tersebut. Jika, misalnya pangsa ekspor TPT dari Indonesia meningkat
dan pada saat yang sama permintaan dunia terhadap TPT juga meningkat, berarti daya saing TPT Indonesia
semakin baik. Di Gambar 10, produk-produk dengan daya saing yang meningkat terletak di wilayah (blok)
“champions”. Yang termasuk di dalam blok ini adalah kebanyakan produk-produk non-manufaktur, dan beberapa
jenis produk elektronik seperti mesin otomatis pengolahan data dan bagian-bagian tertentu dari komputer.
Sedangkan dilihat dari perspektif struktural, produk-produk ekspor Indonesia yang mempunyai keunggulan
berada di wilayah ”stars” (Gambar 11).
Metode lainnya yang lebih umum digunakan dalam menganalisis daya saing suatu (atau kelompok) barang di
pasar global adalah dengan menghitung Indeks RCA. Nilai RCA>1 berarti daya saing Indonesia di atas rata-rata
dunia; sedangkan nilai RCA