Sudah usia sekolah ogah sekolah

Sudah usia sekolah ogah sekolah
Tanya.
Assalamu’alaikum wr wb. Pengasuh rubrik Keluarga Sakinah yang terhormat, saya
seorang ibu rumah tangga mempunyai 3 orang anak. Pertama perempuan 8 tahun,
kedua laki-laki 5 tahun dan ketiga perempuan 8 bulan. Saya mempunyai masalah
dengan anak kedua saya. Sampai saat ini ia belum mau sekolah. Saya rasa kami tak
pernah bosan untuk memberi dorongan, ‘support’ atau apapun namanya pada dia agar
mau sekolah. Kami juga sudah menasihatinya bahwa ia sekolah biar pintar, bisa
membaca, menulis, bermain, olah raga dan segala macam yang kira-kira bisa
membuat ia tertarik. Tapi hasilnya nihil.
Di luar rumah ia sering diejek oleh orang-orang sekitar kami ‘sudah gedhe kok belum
sekolah’. Tapi ia tetap bergeming, meski begitu ia jadi malu, kemudian masuk rumah
dan dalam jangka waktu tertentu ia tidak mau keluar.
Yang ingin saya tanyakan bagaimana cara memotivasi dia agar ia mau masuk
sekolah. Saya tidak mau menggunakan cara ‘paksaan’, sayajuga tidak ingin
mengolok-olok dia seperti tetangga saya, saya kira ia sudah cukup terbebani dengan
olok-olok dari orang lain kami tidak ingin menambah bebannya.
Kalau saya amati anak saya itu sangat ingin seperti kakaknya. Ini terlihat dari apa
yang dilakukan kakaknya ia ikuti. Kebetulan kakaknya tidak suka bermain diluar
rumah, iapun demikian. Mereka berdua lebih sering menghabiskan waktunya di
dalam rumah. Soal sekolah pun demikian, bila saya tanya ia ingin sekolah dimana,

jawabannya selalu sama yaitu ia ingin sekolah di SD kelas I.
Kalau kakaknya belajar ia suka nimbrung, maka sejak umur 4 tahun ia sudah bisa
membaca, menghfal surat-surat pendek dari Al-Qur’an, mengoperasika komputer dan
lain-lain kecuali menulis dengan tangan.
Di dekat rumah kami ada sebuah taman bermain, anak saya sering bermain ke sana
bersama ibunya. Dapatkah itu digunakan sebagai sarana belajar sosialisasi bagi anak
saya, meski murid-murid disana 2 tahun lebih muda daripada anak-anak saya atau
malah justru anak saya akan menjadi seperti mereka yang kurang mandiri. Saya
mohon jawaban dari ibu, atas jawabannya kami ucapkan terima kasih.
Ibu Jatu, di Sleman
Jawab
Wa’alaikumsalam wr wb. Masalah anak itu memang unik, kadang-kadang membuat
kita ‘kesal’ dan bertanya-tanya ‘kok tidak seperti si anu’. Ini wajar, tapi hendaknya
pertanyaan semacam itu dibuang jauh apalagi sampai ada rasa kesal, sadarilah bahwa
membawa sifat dan karakter masing-masing. Disamping itu anak juga bisa dibentuk
oleh lingkungan. Sebagai orang tua kadang tidak sadar memberi perlakuan pada anak
kita terlalu melindungi/overprotective atau malah sebaliknya. Hal ini tentu akan
berdampak pada perkembangan emosi si anak.
Pada anak yang terlalu dilindungi ia akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan atau sebaliknya anak yang ditelantarkan ia akan menjadi

agresif. Kembali pada masalah ibu mungkin ibu kurang memberi kesempatan pada
anak ibu untuk bereksplorasi di luar rumah, sehingga ketika ia harus berhadapan
dengan lingkungan di luar rumah ia cenderung menarik diri dari lingkungan.
Terutama ketika ia mendapat olok-olok dari orang-orang di luar lingkungan rumah.
Kalau saya mencermati cerita ibu, maka putra ibu secara intelektual tidak mengalami
hambatan. Bahkan bisa dikatakan lebih dulu menguasai daripada anak-anak
seusianya, tapi kemampuan intelektualnya tidak akan berkembang maksimal bila
tidak seiring dengan perkembangan emosinya.

Perkembangan emosi sangat berkaitan dengan kematangan dan proses belajar.
Dengan bertambah usia anak diharapkan ia semakin bertambah matang dan mengerti
seperti apa yang diharapkan oleh lingkungannya. Sedangkan proses belajar bisa
malalui 4 cara. Yang pertama melalui trial and error, kedua melalui imitasi dan
identifikasi yaitu mencontoh perilaku kakak, ibu atau ayahnya. Ketiga ia belajar
melalui kondisioning, ini berkaitan dengan asosiasi, misalnya ibu akan marah bila ia
berlaku tidak baik. Terakhir ia belajar lewat training atau latihan.
Untuk mengatasi masalah anak ibu cobalah ibu telusuri penyebabnya, mungkin ada
perkembangan emosi yang kurang sehat. Kalau itu disebabkan oleh perlakuan ibu
yang kurang memberi kesempatan anak untuk latihan bersama teman sebayanya
cobalah ibu mengajaknya untuk bermain bersama teman sebayanya. Mula-mula

ditunggu, kemudian sedikit-demi sedikit diawasi dari jauh. Bila terjadi percekcokan
yang wajar dengan temannya biarkan ia menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan
begitu ia akan berlatih cara mempertahankan diri.
Tempat bersosialisasi bisa dimana saja, dan semua ada plus-minusnya. Biasanya,
anak lebih suka bermain bersama teman sebayanya. Mengingat anak masih dalam
masa perkembangan, saya sarankan ia lebih sering diberi kesempatan bermain
bersama teman sebayanya. Jangan-jangan nanti apa yang ibu khawatirkan, seperti
meniru ketidakmandirian murid-murid playgroup akan terjadi pada putra ibu.
Saya kira tepat dan bijaksana sekali bila ibu memberi motivasi anak dengan cara tidak
memaksa si anak ataupun dengan mengolok-oloknya. Karena ini akan membuat anak
menjadi lebih terbebani dan lebih jauh bisa berakibat ia jadi lebih menarik diri dari
lingkungan, pemurung bahkan merasa tidak diterima oleh orang tuanya.
Kalau memang ia bersikeras untuk langsung masuk SD, saya kira tidak masalah.
Karena secara intelektual ia mampu. Hanya saja ibu dan bapak perlu memperhatikan
dan mengontrol perkembangan emosinya, jangan sampai terjadi kesenjangan antara
perkembangan intelektual dan emosinya.
Semoga ibu dan bapak diberi kesabaran dalam menemani dan membimbing putraputri ibu dan jangan segan-segan untuk memberi ruang latihan yang seluas-luasnya
pada mereka.
Sumber:
Suara Muhammadiyah

Edisi 17 2004