sudah usia Sekolah ogah Manusia.docx

Sekolah Manusia
Oleh: M. Idrus Taba
Memperingati hari pendidikan nasional 2 Mei 2017 kemarin, saya punya mozaik
humor dunia pendidikan kita. Seorang mahasiswa di kelas bertanya:”Prof, bisa
jelasakan apa itu logika?”. Sang Profesor yang sudah emeritus, menghela
nafas. :”Panjang jika saya jelaskan. Saya sederhanakan. Apakah kamu punya
motor?”. “Punya Prof!”. “Kamu bisa kendarai?”. “Bisa Prof”. “Kamu punya
pacar?”. “Punya Prof”. “Kamu sering membonceng pacarmu?”. “Tentu saja Prof”.
“Baik. Berdasarkan empat fakta tersebut, maka secara logika induktif, saya
simpulkan kamu seorang heterosexual bukan homosexual”. Jawab Profesor
mengakhiri kuliahnya. Di luar kelas, teman si mahasiswa bertanya:”kuliah apa
tadi?”. “Kuliah logika”. Jawab simahasiswa bangga. “apa itu logika?”. Tanya
temannya. “terlalu panjang jika saya jelaskan. Begini saja, apakah kamu punya
motor?”. “Tidak”. Jawab temannnya. “berarti kamu seorang homosexual” simpul
simahasiswa. Sketsa lain. Seorang dosen jengkel karena mahasiswanya tidak
bisa menjelaskan sebuah teori dasar. “:Goblok, saya dulu ketika semester dua
sudah hafal mati semua konsep dan teori itu”. “Bapak dulu dosennya pintar”
Jawab mahasiswa. Dunia pendidikan kita, dari ideology, proses belajar hingga

pengelolaan, sarat dengan ambiguitas, paradoksal dan inkonsistensi. Terjadi tabrakan antara
apa yang dikonstruksi secara normative dengan realitas praksis di lapangan. Beberapa contoh.

Sekolah, dilandaskan visi membangun masyarakat yang demokratis. Praktiknya, otoriter,
dengan tidak memberi ruang tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi-kulturalisme.
Membawa misi “mencerdaskan anak bangsa”, tapi, hanya anak bangsa yang punya modal
dan kapital. Diajari anti diskriminasi, tapi menepikan hak kelompok minoritas, seperti kaum
difabel. Dipersepsi sebagai media belajar bagi semua, kenyataannya, hanya mengakomodasi
anak pintar, cerdas, sembari mengeksklusi yang terbatas intelektualnya. Mengajarkan
kecerdasan dan nilai-nilai kebaikan, tapi hasilnya: tawuran, perang, hingga membunuh. Inilah
yang dikritik oleh aliran pembelajaran kritisisme (Mazhab Frankfurt, Gramsci, Freire),
sebagai pendidikan yang melahirkan culture of positivism, yang lahir dari rahim sistem
kapitalisme.
Culture of Positivism, pendidikan yang mengorientasikan kita untuk beradaptasi dengan
dunia masyarakat industry. Proses pembelajaran yang menekankan akumulasi dan pemilikan
ilmu pengetahuan untuk mengejar profit, rente, incentive, atau margin dalam bahasa industry
ekonomi. Pengetahuan, terpisah dari proses pembentukannya. Dia dianggap “barang jadi”,
yang, secara instan siap ditelan peserta didik, tanpa proses seleksi dan refleksi bersama.
Pemisahan itu, kata Freire dalam the genosiological cycle of knowledge, sebagai
“pembunuhan” terhadap proses esensial dalam sebuah learning: refleksi kritis, keingintahuan
(curiosity), dan dialog.
Pembelajaran, adalah proses memahami, mengkritik, memproduksi,dan menggunakan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya (Allman,1988).

Metodenya, kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi, yaitu proses merepresentasikan fakta
yang digali dari kehidupan anak didik, dan memasalahkannya (problematizing). Sedang

dekodifikasi, yaitu proses pembacaan fakta, dengan dua cara: deskriptif dan analitis.
Deskriptif, upaya untuk membaca surface structure (Chomsky,1978). Sedang analitis, untuk
memahami deep structure. Keduanya, berguna untuk memahami relasi antar katagori:
ideology, ras, gender, kelas dan sebagainya. Untuk membangun “piramida” pembelajaran
manusia ini, tiga landasan filosofinya. Pertama, manusia diyakini punya kapasitas untuk
berkembang dan berubah karena punya potensi untuk belajar, dibekali kapasitas berpikir dan
self-reflection. Kedua, manusia, makhluk tidak sempurna, sehingga punya panggilan
ontologis dan historis untuk menuju kesempurnaan. Ketiga, Manusia adalah makhluk praksis,
yang hanya hidup otentik ketika terlibat dalam transformasi dunia (Lankshear,1993). Kata
Kahlil Gibran “...kau harus menghirup nafas bumi agar menjadi bagian dari
kehidupan...”.Maka, hanya di atas filosofi pembelajaran itulah, sejatinya tujuan pendidikan
yaitu membangun peradaban. Mari belajar dalam “sekolah manusia”, untuk menuju semakin
menjadi “manusia” yang dapat menjaga dan menciptakan peradaban.