Perbedaan Intercultural Sensitivity siswa SMA Sekolah Heterogen (Multicultural) dan Sekolah Homogen (Monocultural)

(1)

Perbedaan Intercultural Sensitivity pada Siswa-Siswi SMA Homogen (Monocultural) dan SMA Heterogen (Multicultural)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

oleh :

ANDRY SONY SITUMEANG 091301079

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Medan


(2)

(3)

(4)

Perbedaan Intercultural Sensitivity Siswa-Siswi SMA Heterogen (Multicultural) dan SMA Homogen (Monocultural) Kota Medan

Andry Sony Situmeang & Rika Eliana ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa-siswi sekolah Homogen dan Heterogen di Kota Medan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif komparatif dengan menggunakan 200 siswa sekolah Heterogen dan 200 siswa sekolah Homogen di Kota Medan sebagai sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala Intercultural Sensitivty yang disusun berdasarkan The Concept of Intercultural Sensitivity yang dikemukakan oleh Chen & Starosta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa sekolah homogen dan sekolah heterogen. Dari penelitian ini juga ditemukan hasil tambahan bahwa pada komponen Intercultural Sensitivity skor mean yang paling tinggi terdapat pada Interaction Engangement dan skor mean terendah terdapat pada Interaction Attentiveness. Sehingga terlihat bahwa Intercultural Sensitivity

pada Sekolah Heterogen lebih tinggi dari Sekolah Homogen.

Kata kunci: Intercultural Sensitivity, Sekolah Heterogen, Sekolah Homogen, Interaction Engangement, Interaction Attentiveness.


(5)

Diffrences of Intercultural Sensitivity in High School Students Heterogeneous School (Multicultural) and Homogeneous School (Monocultural) In Medan

Andry Sony Situmeang & Rika Eliana Barus ABSTRACT

This study aims to determine differences the Intercultural Sensitivity in Homogeneous and Heterogeneous school students in Medan. This study uses comparative quantitative methods using 200 Homogeneous high school students and 200 Heterogeneous high school students in Medan as the study sample. Data collected by using a Intercultural Sensitivity scale compiled by Chen and Starosta The Concept of Intercultural Sensitivity. The results showed that Intercultural Sensitivity in homogeneous school students and heterogeneous school were differences. This research also found additional result that the components of

Intercultural Sensitivity highest mean score found in Interaction Engangement and the lowest mean score found on Interaction Attentiveness. So it looks that the Intercultural Sensitivity at Heterogeneous schools are higher then Homogeneous. Keywords: Intercultural Sensitivity, School of Heterogeneous, Homogeneous School, Interaction Engangement, Interaction attentiveness.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala hormat dan puji syukur saya naikkan kepada Tuhan Yesus untuk segala kasih dan penyertaan-Nya sehingga akhirnya skripsi yang berjudul “Perbedaan Intercultural Sensitivity siswa SMA Sekolah Heterogen (Multicultural) dan Sekolah Homogen (Monocultural) ” dapat saya selesaikan. Penyusunan skripsi ini diajukan guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara.

Untuk kedua orangtua yang saya cintai, yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada saya. Terimakasih untuk doa, dukungan, dan semangat yang Papa dan Mama berikan selama ini. Dan terimakasih juga karena tetap bersabar untuk menunggu kelulusanku,meskipun dengan waktu yang begitu lama.

Penelitian ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Rika Eliana Barus, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima Kasih atas kesediaan, waktu, pemikiran, kesabaran, dukungan dan saran yang Ibu berikan sejak awal hingga skripsi ini bisa diselesaikan.

3. Dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini .

4. Ibu Rodiatul Hassanah Siregar, M.Si,psikolog selaku dosen pembimbing akademik saya.


(7)

5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan segala ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.

6. Sahabat-sahabatku Jeremy, Westley, Sugiman, Agiska ,Rismaya, Aisyah, Serefhy dan July yang senantiasa memberikan semangat untuk menyelesaikan skrispsi. Terimakasih buat persahabatan kita yang tak lekang oleh waktu. Terimakasih juga buat semua dukungan yang kalian berikan selama ini. Meskipun sudah sibuk dengan urusan masing-masing dan terpisah namun tetap memberikan waktu dan perhatian kepada saya.

7. Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) Yakhin dan Boas, ada Kak Ita, Adolf, Frans dan Janpri sang mantan alumni Psikologi. Terimakasih buat bantuan serta semangat yang selalu kalian berikan. Walaupun sudah sangat jarang bertemu, semoga kita tetap saling mendoakan yaa..

8. Partisipan penelitian ini. Adek-adek siswa-siswi SMA N 12 Medan, SMA Iskandar Muda, SMA Santo Thomas 3 dan SMA Internasional Syafiyattul Aliyyah. Terimakasih karena sudah meluangkan waktu untuk mengisi skala penelitian saya.

9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2009. Terimakasih buat kebersamaan kita selama ini. Walaupun udah pada lulus tapi masih sering ngasih semangat hahaha.

10.Teman-teman dan sahabat Parkiran (Nista Kencana) yang selalu mengerti keadaan para koboy kampus hahaha dan menjadi tempat untuk melarikan diri dari radar pencarian dosen pembimbing.


(8)

11.Adek-adek cerewet yang selalu bawel dan selalu bertanya kapan sidang ada Trini,Deassy,Agita dan Kishia. Yeeeeayyyyy akhirnya aku bisa bilang “akuuuu sidaangggg” hahahaha Terimakasih buat repetan dan bawelan kalian.

12.Henny Rebina Panjaitan serta Teman-teman pelayanan di muda-mudi GKPI Ressort Khusus Teladan Helvetia. Yang senantiasa mendorong, memberikan semangat serta doa buat saya.

13.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu.

Saya menyadari bahwa teradapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penelitian ini. Terimakasih.

Medan,


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

F. Paradigma Berfikir………13

BAB II LANDASAN TEORI A. Intercultural Sensitivity ... 14

B. Sekolah Homogen ... 19

C. Sekolah Heterogen ... 20

D. Perbedaan Intercultural Sensitivity sekolah Homogen dengan Sekolah Heterogen ... 23

E. Hipotesa Penelitian………...25

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 26

B. Identifikasi Variabel………..26

C. Definisi Operasional ... 26


(10)

1. Populasi dan sampel……….…..28

2. Teknik Pengambilan Sample………...……….28

3. Jumlah Sample Penelitian………...…28

E. Metode Pengumpulan Data ... 29

F. Validitas dan reliabilitas ... 30

1. Validitas ... 30

2. Daya Beda Aitem ... 30

3. Reliabilitas ... 31

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 31

1. Uji Validitas………....32

2. Uji Daya Beda Item……….………32

3. Uji Reliabiltas………..33

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 33

1. Tahap Persiapan Penelitian………..………...34

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian………...34

3. Tahap Pengolahan Data……….………..35

I. Metode Analisis Data ... 36

1. Uji Normalitas ... 36

2. Uji Homogenitas ... 36

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitiaan ... 37

B. Hasil Utama Penelitian……….41

1. Uji Asumsi Normalitas……….………...41

2. Uji Homogenitas………...42

3. Uji Hipotesa Penelitian………42

4. Hasil Tambahan Penelitian………..45

C. Pembahasan……….………….46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….…….50


(11)

B. Saran………51

1. Saran Metodologis………..51

2. Saran Praktis………...52

DAFTAR PUSTAKA ………...53 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Intercultural Sensitivity………..29

Tabel 2. Blue Print Skala Intercultural Sensitivity Setelah Uji Coba………...33

Tabel 3. Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin...………....37

Tabel 4.Penyebaran Subjek Berdasarkan Agama……….………..……..38

Tabel 5. Penyebaran Subjek Berdasarkan Suku……….………. 39

Tabel 6. Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia ………..………....40

Tabel 7. Data Uji Normalitas………...41

Tabel 8. Uji Homogenitas………42

Tabel 9. Deskripsi Skor Intercultural Sensitivity……….43

Tabel 10. Independent T-Test……….…………...44


(13)

DAFTAR GAMBAR


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Reliabilitas & Uji Daya Beda Aitem Sikap 2. Skor Total Aitem Skala Intercultural Sensitivity

3. Uji Normalitas 4. Uji Homogenitas 5. Independent T-test

6. Contoh Aitem Skala Intercultural Sensitivity 7. Data Mentah


(15)

Perbedaan Intercultural Sensitivity Siswa-Siswi SMA Heterogen (Multicultural) dan SMA Homogen (Monocultural) Kota Medan

Andry Sony Situmeang & Rika Eliana ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa-siswi sekolah Homogen dan Heterogen di Kota Medan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif komparatif dengan menggunakan 200 siswa sekolah Heterogen dan 200 siswa sekolah Homogen di Kota Medan sebagai sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala Intercultural Sensitivty yang disusun berdasarkan The Concept of Intercultural Sensitivity yang dikemukakan oleh Chen & Starosta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa sekolah homogen dan sekolah heterogen. Dari penelitian ini juga ditemukan hasil tambahan bahwa pada komponen Intercultural Sensitivity skor mean yang paling tinggi terdapat pada Interaction Engangement dan skor mean terendah terdapat pada Interaction Attentiveness. Sehingga terlihat bahwa Intercultural Sensitivity

pada Sekolah Heterogen lebih tinggi dari Sekolah Homogen.

Kata kunci: Intercultural Sensitivity, Sekolah Heterogen, Sekolah Homogen, Interaction Engangement, Interaction Attentiveness.


(16)

Diffrences of Intercultural Sensitivity in High School Students Heterogeneous School (Multicultural) and Homogeneous School (Monocultural) In Medan

Andry Sony Situmeang & Rika Eliana Barus ABSTRACT

This study aims to determine differences the Intercultural Sensitivity in Homogeneous and Heterogeneous school students in Medan. This study uses comparative quantitative methods using 200 Homogeneous high school students and 200 Heterogeneous high school students in Medan as the study sample. Data collected by using a Intercultural Sensitivity scale compiled by Chen and Starosta The Concept of Intercultural Sensitivity. The results showed that Intercultural Sensitivity in homogeneous school students and heterogeneous school were differences. This research also found additional result that the components of

Intercultural Sensitivity highest mean score found in Interaction Engangement and the lowest mean score found on Interaction Attentiveness. So it looks that the Intercultural Sensitivity at Heterogeneous schools are higher then Homogeneous. Keywords: Intercultural Sensitivity, School of Heterogeneous, Homogeneous School, Interaction Engangement, Interaction attentiveness.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari kepulauan dan memiliki beragama etnik yang hidup berkembang dengan tradisi dan keyakinannya masing-masing. Beragam etnik ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya di Provinsi Sumatera Utara. Kota Medan adalah salah kota metropolitan dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di Indonesia (BPS, 2009). Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat sehingga Kota Medan merupakan salah satu kota multikultural di Indonesia. Berdasarkan data BPS pada tahun 2000, etnis-etnis yang ada di kota Medan adalah etnis-etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Minangkabau, Melayu, Aceh, Sunda, dan sejumlah etnis-etnis lain yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak pada beragamnya nilai – nilai budaya tersebut. Masing-masing etnik yang ada tentu memiliki kebiasaan, karakteristik, nilai-nilai, serta sikap yang membedakannya dengan budaya lain dan budaya tersebut akan dipertahanakan oleh setiap individu dalam kelompok tersebut. Menurut Herskovits (1963) kebudayaan merupakan sesuatu yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain.


(18)

Budaya di dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting karena menjadi alat perekat di dalam suatu komunitas,oleh sebab itu setiap negara memerlukan kebudayaan (Harrison and Huntington2000). Namun pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata bahwa budaya dapat mengatur dan membentuk kepribadian dan perilakunya. Ketika individu dipisahkan dari budayanya, baik secara fisik maupun psikis, serta menghadapi kondisi yang berbeda atau bertolak belakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya sebelumnya,maka pada saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan sistem kontrol dari budayanya yang selama ini tersembunyi (Gudykunst dan Kim, 2003).

Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik,adat istiadat,bahasa,perkakas,pakaian,bangunan, dan karya seni. (E.B. Tylor 1871). Keberagaman budaya ini dapat menjadi modal sekaligus potensi yang memiliki dua sisi. Keragaman budaya daerah menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi keberagaman budaya ini juga membawa dampak negatif yaitu sebagai sumber pemicu disintegrasi sosial jika mengedepankan kepentingan-kepentingan kelompoknya dan mengabaikan kelompok lain (Elly M. Setiadi & Usman Kolip 2010)

Masalah antar budaya sering sekali muncul karena komunikasi dan pemahaman antara kelompok budaya yang satu dengan yang lain tidak terjalin dengan baik. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. Konflik-konflik


(19)

yang selama ini terjadi di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama, dan ras yang masing-masing memiliki nilai-nilai dan keistimewaannya masing-masing. Dan masing-masing individu maupun kelompok budaya tersebut akan saling mempertahankan kebudayaannya masing-masing,karena budaya merupakan ciri khas dari masyarakat itu sendiri. ( Tilaar 2004)

Chen (1997) mengatakan bahwa untuk bisa tetap hidup berdampingan dengan keberagaman budaya yang ada dibutuhkan kemampuan untuk mengembangkan emosi dalam memahami dan mengapresiasi perbedaan budaya sehingga kita dapat memunculkan prilaku yang efektif dalam komunikasi antar budaya sebagai "Intericultural Sensitivity". Dalam studinya Chen (1997) juga mengidentifikasi komponen dasar Intercultural Sensitivity sebagai harga diri (rasa nilai diri), self-monitoring, berpikiran terbuka, empati,keterlibatan interaksi dan akhirnya tidak menghakimi.

Menurut Gudykunst dan Kim ( 1992) , Intercultural Sensitivity merupakan sebuah keberhasilan integrasi proses afektif dan kognitif yang dapat membantu untuk mencapai orientasi sosial yang memungkinkan mereka untuk memahami perasaan dan juga perilaku orang lain seperti mereka sendiri.

Menurut Hart Dan Burks (1972) & Carlson, dan Eadie (1980) sensitivitas sebagai pola pikir yang diterapkan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka menyatakan bahwa orang-orang yang sensitif harus mampu menerima kompleksitas pribadi, untuk menghindari kekakuan komunikasi, harus berinteraksi secara sadar, untuk menghargai ide-ide yang dipertukarkan, dan


(20)

memiliki toleransi. Elemen-elemen ini tampaknya tertanam dalam dimensi kognitif, afektif, dan perilaku interaksi antarbudaya.

Bhawuk dan Brislin (1992) menunjukkan, Intercultural Sensitivity

merupakan reaksi individu untuk orang-orang dari budaya lain, yang dapat menentukan kemampuan kesuksesan seseorang untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik . Definisi diatas menunjukkan bahwa Intercultural Sensitivity

adalah konsep yang dinamis. Dimana orang-orang yang memiliki Intercultural Sensitivity harus memiliki keinginan memotivasi diri untuk memahami, menghargai, dan menerima perbedaan di antara budaya, dan menghasilkan hasil yang positif dari interaksi antar budaya.

Memupuk sikap dan perilaku yang mampu menghargai, memahami, dan peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik, agama, dan budaya yang ada tersebut tentu harus dimulai sejak dini sehingga suatu ajaran, doktrin, atau nilai tersebut diwujudkan dalam sikap dan perilaku,dimana dalam hal ini pendidikan akan memiliki peranan penting. Karena menurut Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J. 1997, didalam proses pendidikanlah kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan tentang perbedaan dan persamaan antar budaya yang berkaitan dengan konsep, nilai,keyakinan dan sikap ini akan diajarkan,dipelajari,diarahkan dan diwujudkan.

Pendidikan pada hakekatnya menjadi proses pembelajaran untuk memberikan bekal pada para siswa dalam kehidupan di lingkungan sosial yang nyata. Pendidikan juga tidak hanya mengacu pada materi, penegetahuan, tetapi juga lingkungan sosial yang nyata. Inilah realitas social yang harus dihadapi dunia pendidikan dimana sekolah menjadi agen sosialisasi untuk mengenal dunia


(21)

sosialnya. Menurut Paulo Freire, (Effendi, A.,2012) pendidikan bukan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan yang mampu memahami dan menghadapi dunia sosial yang sebenarnya.

Di Indonesia terdapat sekolah pendidikan formal yang berbasis heterogen (multikultural) dan berbasis homogen (monocultural). Sekolah multicultural ini sesungguhnya adalah sekolah yang bertujuan untuk memfasilitasi peserta dalam mengenal gagasan multikulturalisme dan pengalaman multiculturalisme yang dialami secara nyata di lingkungan sekolah. Wacana multiculturalisme dewasa ini sangat penting bagi negar-negara berkembang dan maju, termasuk salah satunya Indonesia yang merupakan negara yang memiliki berbagai macam karakteristik identitas seperti agama, sosial, budaya, dan bahasa (Chaeruman & Ruslan 2011)

Multikulturalisme dipahami sebagai konsep yang berkaitan dengan aspek sosial, politik,ekonomi, dan budaya. Aspek-aspek tersebut memberikan relasi baru dalam mewujudkanmasyarakat yang harmonis dan terintegrasi. Secara sederhana, multikulturalismedidefinisikan sebagai suatu pemahaman dalam peningkatan yang mencakup, keyakinan, keberagamaan, kebersamaan dalamperbedaaan yang sederajat, kesukubangsaan, kebersamaan perolehan pendidikan, dsb didalam diri manusia itu sendiri. Setiap orang harus menganggap multikultural itu sebagai bagian dari kehidupan yang nyata,dimana setiap orang hidup di tengah-tengah orang lain, sebagaimana orang lain hidup ditengah-tengah orang banyak (Ridwan, 2002:87)


(22)

Dalam perspektif keragaman budaya, system pendidikan nasional harus memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga Negara. Oleh karena itu, dalam penerimaan peserta didik, tidak dibenarkan adanya pembedaan atas jenis kelamin, agama, ras, latar belakang sosial, dan tingkat ekonomi. Perluasan istilah konsep “ satu system pengajaran nasional” menjadi “satu system pendidikan nasional” dalam UU Sistem Pendidikan Nasional memungkinkan pemberian perhatian terhadap unsure pendidikan yang berhubungan dengan kepribadian manusia. Pada gilirannya, hal tersebut diharapkan dapat mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bertaqwa, memilihara kemanusiaan, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Menurut Anwar Effendi (2008) Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multicultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk mau memahami dan menghargai keberagaman yang ada. Dengan pengembangan system pendidikan multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode yang efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multicultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.

Menurut Fay (1996) multikulturalisme sebagai suatu ideologi yang akan mengakui dan menerima perbedaan menjadi kesederajatan baik secara kebudayaan individumaupun secara kolektivitas. Dengan demikian mulitikulturalisme dapat mewujudkanmasyarakat yang rukun dan menjunjung nilai-nilai kesederajatan. Itulah sebabnya dalam konteks pendidikan,


(23)

multikulturalisme sangat penting diajarkan di sekolah. Hal ini berkenaan dengan Indonesia sebagai bangsa yang besar yang terdiri darikeanekaragaman masyarakat dan budaya. Kemajemukan itu harus di internalisasi dalammuatan pendidikan yang menekankan pada aspek kesederajatan dalam pemenuhan hakhakbagi warga negara, sehingga benturan-benturan sosial.

Menurut James A. Banks pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui danmenilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup,pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu,kelompok maupun negara.

Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yangmelibatkan lebih dari satu budaya yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik,dan lain-lain. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural danjuga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan kosep, nilai, dankeyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997).

Namun pada kenyataannya kita lihat pada sekarang ini, multikulturalisme yang seharusnya menekankan untuk bertoleransi, memahami dan mempertimbangkanperbedaan yang ada baik itu dari etnis, kepercayaan serta sikap ternyatakerap menimbulkan konflik baik dari segi etnis,kepercayaan maupun sikap antar individu.Melalui pendidikan (multikultural), kesadaran akan nilai multikultur dapat dikembangkan. Pendidikan multikulturalisme menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis


(24)

pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada siswa seperti: keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial, gender,umur dan ras(Tilaar 2004)

Penanaman wawasan multikulturalisme dapat diawali dengan kesadaran akan pentingnya nilai kebersamaan, menanamkan sikap toleransi, serta menjunjung tinggi demokrasi dan pemahaman makna budaya perdamaian. Pendidikan dengan basis multikultural akan sangat membantu orang untuk mengerti, memahami, serta menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihargai dan dihormati sehingga tumbuh pemahaman akan relativitas nilai budaya (Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J. 1997.)

Sayangnya, sejak orde baru Indonesia juga cenderung masih menggunakan sistem “monokultural”. Sebagai contoh, lahirnya sekolah favorit-nonfavorit dan sekolah negeri-swasta. Pembentukan karakteristik dalam dunia pendidikan tersebut justru cenderung menjauh dari konsep multikulturalisme. Begitu juga maraknya sekolah-sekolah berbasis homogen (monokultural seperti etnis dan keagamaan) (Aris Saefulloh. 2009.)

Menurut Grendi Hendrastomo (2012) Sekolah berbasis pendidikan homogen ditandai dengan kesamaan karakteristik peserta didik baik secara persamaan ekonomi,golongan,agama,maupun etnisitas.Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa sekolah negeri atau swasta yang berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak keturunan China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk sikap eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan. Pada sekolah yang


(25)

berbasis homogen (monokultural) akan cenderung memiliki budaya yang sama didalam lingkungan sekolah. Hal ini tentu akan menciptakan budaya yang homogen di lingkungan sekolah dan para siswa dan siswi yang ada di sekolah tersebut. (Aris Saefulloh. 2009.)

Homogenitas pendidikan kemudian diartikan sebagai keseragaman, harmonisasi yang “dipaksakan”, kesamaan, kesebandingan, sesuatu hal yang dibuat sama dan seragam dalam dunia pendidikan, termasuk didalamnya kesamaan status sosial, kesamaan agama, hingga etnis para peserta didiknya. Homogenitas disini sama artinya dengan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda dalam hal status sosial, agama atau etnis.

Pendidikan homogen (monokultural) juga cenderung mengabaikan keunikan dan pluralitas,sehingga memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif. (Abdul Munir Mulkhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam artikel Pendidikan Monokultural VS Pendidikan Multikultural)

Berdasarkan uraian diatas, pendidikan yang berbasis multikultural contohnya sekolah umum negeri atau swasta yang memiliki karakteristik murid tanpa membedakan agama,suku,dan ras atau golongan tertentu,akan membangun kesadaran pentingnya nilai kebersamaan, menanamkan sikap toleransi,mengerti, memahami, serta menerima perbedaan yang harus dihargai dan dihormati.

Sementara bagaimana dengan yang homogen? sekolah yang berbasis pendidikan homogen (monokultural) contohnya sekolah yang memiliki karakteristik murid dengan agama atau suku dan ras tertentu yang akan cenderung menjauh dari konsep multikulturalismedan dapat melahirkan sikap anti toleran


(26)

terhadap kemajemukan yang ada diantara budaya di Indonesia khususnya kota Medan.

Berdasarkan hal ini peneliti ingin melihat bagaimana perbedaan

Intercultural Sensitivity pada sekolah yang homogen (monokultural) dengan sekolah yang heterogen (multikultural) yang ada di kota medan?

B. Perumusan masalah

Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

“Apakah terdapat perbedaan Intercultural Sensitivitysiswa pada sekolah yang homogen (monokultural) dengan sekolah yang heterogen (multikultural) di kota Medan”

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan Intercultural Sensitivity para siswa pada sekolah yang homogen (monokultural) dengan sekolah heterogen (multicultural) di kota medan.

D. Manfaaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu psikologi dan dapat menambah pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi Sosial, juga dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi dan pemicu bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut berkaitan dengan topik.


(27)

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Untuk mengetahui perbedaan Intercultural Sensitivity antara siswa pada SMA yang homogen (monokultural) dengan SMA yang heterogen (multikultural) di kota Medan.

Menjadi evaluasi sejauh mana pendidikan mendukung keragaman budaya melalui perbedaanIntercultural Sensitivity yang ada pada siswa SMA yang homogen (monokultural) dan heterogen (multikultural) di kota Medan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang yang mendasari penelitian ini, rumusan masalahnya, tujuan diadakannya penelitian, manfaat penelitian dari segi teoritis dan praktis, serta sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai


(28)

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi identifikasi variabel yang diuji dalam penelitian, defenisi operasionalnya, populasi dan sampel yang akan diteliti, metode yang digunakan dalam pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, serta metode dalam menganalisis hasil data penelitian.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.


(29)

PARADIGMA BERFIKIR

Gambar 1. Paradigma Berfikir

Budaya Indonesia

Sekolah

heterogen

Sekolah

Sekolah

homogen

Intercultural Sensitivity


(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Intercultural Sensitivity

1. Pengertian Intercultural Sensitivity

Kajian terhadap konsep yang menyerupai intercultural sensitivity tidak hanya dapat dilakukan dengan perspektif ilmu psikologi, melainkan juga dari perspektif disiplin ilmu lainnya seperti antropologi, komunikasi, hubungan internasional dan sosiologi. Oleh sebab itulah dalam penelitian-penelitian ilmiah, lazim ditemukan beragam pengertian dan cara pengkategorian berbeda yang disematkan pada intercultural sensitivity.

Secara umum konsep intercultural sensitivity dikategorisasikan oleh bebrapa tokoh. Tipe pertama adalah tokoh yang mengkategorikan intercultural sensitivity sebagai salah satu dimensi yang menyusun suatu konsep yang lebih besar. Tokoh yang pandangannya termasuk ke dalam kategori ini antara lain Chen dan Starosta (Kashima, 2006) yang menyatakan bahwa intercultural sensitivity

merupakan dimensi afektif dari variabel intercultural communication competence. Juga Cui dan Van den Berg (Panggabean, 2004) yang menyatakan bahwa cultural empathy adalah salah satu dimensi yang menyusun variabel

intercultural effectiveness. Tipe kedua adalah tokoh yang menganggap bahwa

intercultural sensitivity merupakan suatu variabel tunggal yang sifatnya mandiri dan bukan salah satu dari banyak dimensi yang menyusun sebuah konsep. Tokoh


(31)

yang pandangannya termasuk ke dalam tipe ini antara lain Bhawuk dan Brislin (1992) serta Bennett (1998, 2004).

Studi mengenai kepekaan interpersonal dilakukan oleh Bronfenbrener, Harding, dan Gallwey (1958) adalah salah satu studi awal yang membahas mengenai konsep sensitivitas ini. Mereka mencetuskan bahwa kepekaan secara umum dan kepekaan terhadap perbedaan individu adalah dua jenis kemampuan utama dalam persepsi sosial. Kepekaan terhadap orang lain secara umum adalah "semacam kepekaan terhadap norma sosial satu kelompok sendiri" (McClelland, 1958, hal. 241), dan sensitivitas interpersonal adalah kemampuan untuk membedakan bagaimana orang lain berbeda dalam perilaku, persepsi atau perasaan (Bronfenbrener , et al., 1958). Konsep kepekaan interpersonal ini secara lebih luas hampir sama dengan konsepIntercultural Sensitivity.

Hart Dan Burks (1972) Dan Hart, Carlson, dan Eadie (1980) juga mengatakan bahwa Intercultural Sensitivity sebagai pola pikir yang diterapkan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari sehingga orang-orang yang sensitif harus mampu menerima kompleksitas pribadi, menghindari kekakuan komunikasi, sadar dalam interaksi, menghargai ide-ide yang dipertukarkan, dan memiliki toleransi. Dan elemen-elemen ini tampaknya tertanam dalam dimensi kognitif, afektif, dan perilaku interaksi antarbudaya.

Milton J. Bennett pada tahun (1986) juga menambahkan dengan mendefinisikan Intercultural Sensitivity sebagai kemampuan untuk mengubah diri dalam berinteraksi baik secara afektif,kognitif dan perilaku dari tahap penolakan ke tahap integrasi dalam proses pengembangan komunikasi antarbudaya.


(32)

Bennett (1984) memahami Intercultural Sensitivity sebagai proses perkembangan di mana seseorang memiliki kemampuan mengubah diri secara afektif, kognitif, dan perilaku dari tahap etnosentris ketahap ethnorelative. Rute proses transformasi ini dapat terpisah menjadi enam tahap yaitu:

(1) Penolakan -di mana salah satunya menyangkal perbedaan budaya dengan orang-orang lain

(2) Pertahanan - di mana salah satunya berupaya untuk melindungi cara pandangnya dengan melawan ancaman yang dirasakan.

(3) Minimisasi - di mana salah satu berupaya untuk melindungi inti dari satu pandangan secara umum dengan menyembunyikan perbedaan dalam bayangan kesamaan budaya.

(4) Penerimaan - di mana seseorang mulai menerima adanya perbedaan perilaku yang didasari oleh perbedaan budaya.

(5) Adaptasi - di mana seseorang menjadi empatik terhadap perbedaan budaya dan menjadi bicultural atau multikultural, dan

(6) Integrasi - di mana seseorang mampu menerapkan ethnorelativism identitas sendiri dan dapat memahami perbedaan sebagai aspek penting dan menyenangkan dari semua kehidupan.

Bhawuk dan Brislin (1992)menunjukkan, Intercultural Sensitivity

merupakan reaksi individu untuk orang-orang dari budaya lain, yang dapat menentukan kemampuan kesuksesan seseorang untuk bekerja dan berkomunikasi dengan baik. Bhawuk dan Brislin (1992) juga mencoba untuk mengembangkan


(33)

sebuah alat untuk mengukur Intercultural Sensitivity dari perspektif individualisme vs kolektivisme. Mereka mengembangkan pengukuran

Intercultural Sensitivity yang berdasarkan unsur-unsur dimensi afektif, kognitif, dan perilaku. Unsur-unsur yang digunakan antara lain:

(1) Pemahaman tentang cara berperilaku seseorang yang berbeda,

(2) Keterbukaan pikiran mengenai adanya perbedaan dan

(3) Tingkat fleksibilitas perilaku yang ditunjukkan dalam budaya baru.

Konsep yang lebih sederhana dikembangkan Chen dalam The Concept of Intercultural Sensitivity (1997) telah mendefinisikan "Intercultural Sensitivity" merupakan kemampuan individu untuk mengembangkan emosi positif terhadap pemahaman dan menghargai perbedaan budaya sehingga menampilkan perilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen (1997) juga mengidentifikasi bahwa Interaction Engagement, Respect for Cultural Differences, Interaction Confidence, Interaction Enjoyment, Interaction Attentiveness merupakan komponen dasar Intercultural Sensitivity. Defenisi inilah yang akan digunakan lebih jauh dalam penelitian ini.


(34)

2. Komponen Intercultural Sensitivity

Chen dan Starosta (2000 ) berpendapat bahwa sensitivitas antar budaya merupakan salah satu faktor penting dalam komunikasi antar budaya yang terdiri dari lima kemampuan yang menjadi komponen pembentuk Intercultural Sensitivity, komponen tersebut antara lain:

a) Interaction Engagement.

Interaction Engangement merupakan keterlibatan interaksi yang menyangkut tentang perasaan peserta dalam proses komunikasi antarbudaya.

b) Respect for Cultural Differences

Dalam hal ini Respect for Cultural Differences mengacu pada bagaimana peserta mengarahkan atau mentolerir perbedaan budaya yang ada pada rekan-rekan mereka .

c) Interaction Confidence

Interaction Confidence ini mengacu pada tingkat kepercayaan dari seseorang selama interaksi antarbudaya berlangsung.

d) Interaction Enjoyment

Dalam interaksi yang terjadi, hal ini mengacu pada kenikmatan berinteraksi yang berhubungan dengan reaksi peserta komunikasi antar budaya.

e) Interaction Attentiveness

Perhatian terhadap interaksi yang terjadi mencerminkan upaya peserta untuk memahami apa yang terjadi di dalam komunikasi antarbudaya .


(35)

Studi yang dilakukan oleh Chen dan Starosta ' s (2000) mengindikasikan bahwa individu dengan sensitivitas antar budaya yang berkembang dengan baikakan menjadi lebih perhatian , lebih mampu bersosialisasi dengan baik, memiliki hubungan interpersonal yang baik sehingga dapat menyesuaikan perilaku mereka , dapat menunjukkan harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, lebih empatik , dan lebih efektif dalam interaksi antarbudaya .

B. Sekolah Homogen (Monokultural)

Grendi Hendrastomo mengatakandalam “Homogenisasi pendidikan: Potret Eksklusifitas Pendidikan Modern” (2012) bahwa sekolah homogenmerupakan suatu sekolah yang memiliki ciri kesamaan karakteristik peserta didik baik secara persamaan ekonomi,golongan,agama,maupun etnisitas.

Grendi Hendrastomo (2012) berkesimpulan bahwa homogenitas pendidikan tampak nyata dalam pendidikan,ditengah banyaknya sekolah yang menawarkan keragaman,sekolah homogen menciptakan suatu pandangan sama yang memunculkan realitas yang tidak sesuai dengan keadaan di dalam lingkungan nyata di tengah masyarakat yang cenderung heterogen. Pendidikan homogen ini dianggap berbahaya karena tidak membiasakan siswa dengan lingkungan dengan tantangan yang beragam.

Aris Saefulloh (2009) dalam “Paradigma pendidikan dalam bingkai Multicultural” juga menambahkan Sekolah negeri atau swasta yang berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak keturunan


(36)

eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan. Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa pada sekolah yang berbasis homogen (monokultural) akan cenderung memiliki budaya yang sama didalam lingkungan sekolah dan akan menciptakan budaya yang homogen di lingkungan sekolah dan dalam diri para siswa dan siswi.

Homogenitas pendidikan kemudian diartikan sebagai keseragaman, harmonisasi yang “dipaksakan”, kesamaan, kesebandingan, sesuatu hal yang dibuat sama dan seragam dalam dunia pendidikan, termasuk didalamnya kesamaan status sosial, kesamaan agama, hingga etnis para peserta didiknya. Homogenitas disini secara tidak langsung sama artinya dengan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda dalam hal status sosial, agama atau etnis. Anwar Effendi (2012)

C. Sekolah Heterogen (Multikultural)

Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan tentang keberagaman budaya yang ada didalam lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan lingkungan umum secara keselurahan”. Dimana hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Paulo freire (effendi, A., 2012) bahwa pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan secara luas kepada setiap warga negara. Anderson dan Custer (1994) berpendapat bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sekolah yang berbasis pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.


(37)

(Hilliard 1992). Banks (1993) menyatakan bahwa pengertian pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengekplorasi perbedaan sebagai keniscayaan, kemudian memberi apresiasi perbedaan itu dengan semangat egaliter dan toleran.

Multikulturalisme dipahami sebagai konsep yang berkaitan dengan aspek sosial, politik,ekonomi, dan budaya. Aspek-aspek tersebut memberikan relasi baru dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis dan terintegrasi. Secara sederhana, multikulturalisme didefinisikan sebagai suatu pemahaman dalam peningkatan drajat manusia dan kemanusiaannya yang mencakup, keyakinan, keberagamaan, kebersamaan dalam perbedaaan yang sederajat,kesukubangsaan, kebersamaan perolehan pendidikan, dsb (Yuni Widia Bella dalam jurnal Studi Deskriptif SekolahMulticultural Di SMA Sultan Iskandar Muda)

Menurut Fay (1996) multikulturalisme sebagai suatu ideologi yang akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara kebudayaan individu maupun secara kolektivitas. Dengan demikian mulitikulturalisme dapat mewujudkan masyarakat yang rukun dan menjunjung nilai-nilai kesederajatan. Dalam konteks pendidikan, multikulturalisme sangat penting diajarkan di sekolah-sekolah. Hal ini berkenaan dengan Indonesia sebagai bangsa yang besar yang terdiri dari keanekaragaman masyarakat dan budaya. Kemajemukan itu harus di internalisasi dalam muatan pendidikan yang menekankan pada aspek kesederajatan dalam pemenuhan hak - hak bagi warga negara, sehingga benturan-benturan sosial dan politik dapat diminimalisasikan.


(38)

Menurut James A. Banks (1997) pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.

Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, dan lain-lain. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan kosep, nilai, dankeyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997:348).

Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multicultural, sikap dan pemikiran siswa akan lebih terbuka dalam memahami dan menghargai keberagaman yang ada sehingga menjadi salah satu metode efektif dalam meredam konflik yang ditimbulkan oleh keberagaman yang ada. Semua diarahkan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, masyarakat Indonesia yang beriman, bertaqwa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II, Pasal 4)


(39)

D. Perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa-siswi sekolah yang homogen (monokultural) dengan sekolah yang heterogen (multikultural)

Sekolah berbasis pendidikan homogen (monokultural) merupakan sekolah yang memiliki karakteristik yang sama pada peserta didiknya baik dalam hal suku, agama,ras,golongan maupun etnisitas (Grendi Hendrastomo 2012). Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa sekolah negeri atau swasta yang berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah-sekolah bagi anak-anak keturunan China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk sikap eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan.

Sekolah berbasis pendidikan heterogen (multikultural) merupakan sekolah yang memiliki proses atau strategi pendidikan yangmelibatkan lebih dari satu budaya yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik,dan lain-lain. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural danjuga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan kosep, nilai, dan keyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997:348). Multikulturalisme pada saat ini sangat penting bagi masyarakat-masyarakat luas,umumnya bagi


(40)

masyarakat yang memiliki berbagai macam karakteristik identitas, sepertiagama, sosial, budaya dan bahasa. Dengan memahami konsep multikulturalisme ini maka akan terciptalah rasa toleransi dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama yang berbedadengan kita.

Uraian diatas menunjukkan bahwa pendidikan berbasis homogen (monokultural) cenderung melemahkan kesadaran akan pentingnya nilai kebersamaan, sikap toleransi,dan perilaku yang mampu menghargai, memahami, serta peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik, agama, dan budaya yang ada. Sementara pendidikan berbasis heterogen (multikultural) diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan dan persamaan antar budaya yang berkaitan dengan kosep, nilai, keyakinan serta sikap yang ada (Lawrence J. Saha, 1997). Menurut Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J. 1997, kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan tentang pendidikan menjadi suatu alat yang memainkan peranan penting dalam pembelajaran tentang kemajemukan perbedaan dan persamaan antar budaya yang dikaitkan dengan konsep, nilai,keyakinan dan sikap ini akan diajarkan, dipelajari, diarahkan dan diwujudkan didalam proses pendidikan.

Chen (1997) telah mendefinisikan bahwa "Intericultural Sensitivity" adalahsalah satu kemampuan mengembangkan emosi positif terhadap pemahaman perbedaan budaya dan menghargai perbedaan budaya yang ada sehingga kita dapat menampilkan perilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen (1997) juga mengidentifikasi Interaction Engagement, Respect for Cultural Differences, Interaction


(41)

Confidence, Interaction Enjoyment, Interaction Attentivenesssebagai komponen dasar Intercultural Sensitivity. Zhao (2002) mendefinisikan Intercultural Sensitivity sebagai kemampuan kunci untuk hidup dan bekerja sama secara efektif dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.

Intercultural Sensitivity merupakan suatu kemampuan mengembangkan emosi positif terhadap pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan budaya sehingga dapat memunculkan prilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi antar budaya. Dengan Intercultural Sensitivity ini kita dapat menjadi masyarakat yang multikuturalisme,menikmati perbedaan, hidup rukun berdampingan dan bekerja sama secara efektif dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan Intercultural Sensitivity pada sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen (multicultural)

E. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan pemaparan diatas, maka hipotesa yang di ajukan dalam penelitian ini adalah “ Ada Perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen (multicultural)


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif komparatif, dimana bertujuan untuk melihat perbedaan serta perbandingan antar varibel (Azwar, 2004). Dalam penelitian ini tujuannya untuk memberikan melihat perbedaan Intercultural Sensitivity yang ada dari siswa-siswi sekolah yang berbasis homogen (monokultural) dengan yang berbasis heterogen (multikultural) di kota Medan.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Variabel Tergantung : Intercultural Sensitivity

Variabel Bebas : Tipe Sekolah :

1. Sekolah Homogen (Monokultural) (Suku dan Agama Sejenis) 2. Sekolah Heterogen (Multikultural)

C. Definisi Operasional

C.1 Variabel Tergantung (Intercultural Sensitivity)

Intercultural Sensitivity adalah suatu kemampuan seseorang dalam mengembangkan emosi positif terhadap pemahaman dan penghargaan pada perbedaan budaya yang ada sehingga memunculkan prilaku yang tepat dan efektif untuk membantu individu dalam kehidupan masyarakat yang beragam budaya


(43)

dan menikmati perbedaan-perbedaan yang ada. Dimana terdapat komponen-komponen dasar didalam Intercultural Sensitivity yaitu:

a) Interaction Engagement. (Keterikatan dalam berinteraksi)

b) Respect for Cultural Differences (Penerimaan perbedaan budaya) c) Interaction Confidence (Kepercayaan dalam berinteraksi)

d) Interaction Enjoyment (Kenikmatan dalam berinteraksi)

e) Interaction Attentiveness (Kepekaan/perhatian dalam berinteraksi)

Setiap kompenan ini saling berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mengembangkan emosi positif untuk memunculkan prilaku yang tepat dan efektif dalam interkasi antar budaya yang beragam. Sehingga semakin tinggi skor subjek pada setiap komponen yang ada pada skala Intercultural Sensitivity maka semakin kuat Intercultural Sensitivity yang dimiliki para siswa sekolah yang berbasis homogen (monokultural) dan sekolah heterogen (monokultural) di kota Medan begitu juga sebaliknya.

C.2 Varibel Bebas 1. Sekolah Homogen

Sekolah homogen merupakan sekolah yang memiliki kesamaan karakteristik peserta didik baik secara ekonomi, golongan, agama, maupun etnisitas dan system pendidikan pun cenderung melibatkan satu budaya yang sama.


(44)

2. Sekolah Heterogen

Sekolah heterogen merupakan sekolah yang memiliki karakteristik peserta didik yang berbeda-beda baik secara ekonomi, golongan, agama, maupun etnisitas dengan sisitem pendidikan yang melibatkan budaya yang beragam.

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi & Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah para siswa sekolah yang berbasis homogen (monokultural) yaitu sekolah SMA Santothomas 3 & SMA Syafiyaatul Hasanah serta sekolah yang berbasis heterogen (multikultural) yaitu SMA Negeri 12 & SMA Sultan Iskandar Muda di kota medan.

2. Teknik Pengambilan Sampel

Pada penelitian ini, sampel diperoleh melalui teknik probability sampling

yaitu convenience/accidental sampling. Menurut Myers dan Hansen (2006), sampel didapatkan dengan menggunakan kelompok yang tersedia. Peneliti menggunakan teknik ini karena subjek penelitian pada sekolah homogen dan heterogen sesuai dengan ketersedian siswa yang ada pada sekolah tersebut sesuai izin dari pihak sekolah. Namun khusus untuk sekolah homogen para siswa yang dijadikan sample dikelompokkan sesuai dengan suku dan agama.

3. Jumlah Sampel Penelitian

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah400 orang yaitu 200 orang siswa dari sekolah berbasis Homogen (Sekolah Santo Thomas 3 dan SMA Syafiatul) dan 200 orang siswadari sekolah berbasis Heterogen


(45)

(Sekolah SMA Negeri 12 Medan dan SMA Swasta Sultan Iskandar Muda) yang diharapkan dapat mewakili karakteristik dan sifat populasi.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan satu buah skala psikologi yaitu skala ISS (Intercultural Sensitivity Scale). Yang akan diadaptasi dari skala penelitian yang dibuat oleh Chen and Starosta (2000). Skala ini menggunakan skala model Likert. Skala terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan

unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-5, bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu SS = 5, S = 4, N= 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan bobot pernyataan unfavorabel yaitu SS = 1, S = 2, N = 3, TS= 4 dan STS = 5.Blue print dari skala Skala Intercultural Sensitivity dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Blue Print Skala Intercultural Sensitivity

Aspek Favorable Unfavorable Total Bobot

Interaction Engangement 1,13,21, 23, 24 11, 22 7 29, 16%

Respect for Cultural Differences 8, 16 7, 18, 20, 2 6 25%

Interaction Confidence 3, 5, 6, 10 4 5 20,83%

Interaction Enjoyment 9, 12, 15 3 12,5%

Interaction Attentivenes 14, 17, 19 3 12,5%


(46)

F. Validitas alat ukur, Daya Beda Item dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas alat ukur

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukkan sejauhmana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur. Pengertian ini mencakup keseluruhan kawasan isi tidak saja berarti tes itu harus komprehensif akan tetapi isinya harus pula tetap relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan pengukuran.

Face validity adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan (appearance) tes. Apabila penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur, maka dapat dikatakan bahwa face validity

telah terpenuhi. Content validity berkaitan dengan aitem-aitem alat ukur yang sesuai dengan apa yang akan di ukur (Azwar, 2000).Azwar (2004) menyebutkan bahwa validitas konten adalah validitas yang diestimasi dengan menguji isi tes melalui metode professional judgement. Proffesional judgement dalam penelitian ini melibatkan dua dosen departemen psikologi sosial dan seorang dosen di bidang metode penelitian di Fakultas Psikologi USU.

2. Daya beda aitem

Uji daya beda item pernyataan ini akan dilakukan pada alat ukur dalam penelitian ini, yaitu Intercultural Sensitivity Scale. Besarnya koefisien korelasi item total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 dengan nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi item maka koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00 (Azwar, 2000). Daya beda aitem dianggap memuaskan jika koefisien korelasi aitem total mencapai nilai minimal 0,2 (Thorndike, dkk.;


(47)

Crocker & Algina; dalam Azwar, 2010).Penghitungan daya beda aitem dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 for windows. Koefisien korelasi aitem total yang digunakan pada penelitian ini adalah rix ≥ 0,30.

3. Reliabilitas alat ukur

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah Azwar (2004).

Reliabilitas alat ukur dapat dilihat dari koefisien reliabilitas yang merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama (Azwar, 2009). Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati angka satu menandakan semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya, koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas yang dimiliki (Azwar, 2009). Teknik estimasi reliabilitas yang digunakan adalah teknik koefisien Alpha Cronbach dengan menggunakan programSPSS Versi 17.00 for Windows.

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur bertujuan untuk mengetahui sejauh mana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar,2007). Ujicoba alat ukur penelitian ini dilakukan terhadap 50 orang siswa sekolah homogen dan 50 orang siswa sekolah


(48)

heterogen yang dianggap memiliki kesamaan karakteristik dengan populasi yang diteliti.

1. Uji Validitas

Uji validitas yang dilakukan peneliti pada skalaIntercultural Sensitivity Scaleadalah uji validitas konten. Dimana validitas ini diuji dengan cara diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kemudian peneliti meminta pendapat mengenai aitem-aitem yang telah diterjemahkan tersebut kepada beberapa orang yang berkompeten dalam bahasa Inggris. Setelah mendapatkan aitem-aitem terjemahan, peneliti kemudian menerjemahkannya kembali ke dalam bahasa asli skalalalu memeriksa kembali bahasa terjemahan tersebut. Selanjutnya peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan melakukan analisis rasional atau

profesional judgement, dalam hal ini peneliti dibantu oleh dosen pembimbing peneliti, dua orang dosen departemen psikologi sosial dan salah seorang dosen yang ahli dalam bidang metode penelitian di Fakultas Psikologi USU.

2. Uji Daya Beda Item

Aitem yang diujicobakan dalam skala Intercultural Sensitivity sebanyak 24 aitem. Berdasarkan hasil analisis uji daya beda item aitem maka diperoleh 17 aitem yang memiliki nilai diskriminasi aitem di atas 0.3 dan 7 aitem yang gugur. Aitem-aitem inilah yang nantinya akan digunakan didalam penelitian. Hasil uji coba terhadap Intercultural Sensitivity Scale menunjukkan koefisien α = 0.796 dengan rxy aitem yang bergerak dari 0.472 sampai dengan 0.883 yang memiliki daya diskriminasi aitem yangtinggi (rxy ≥ 0.30).


(49)

Tabel 2. Blue Print Skala Intercultural Sensitivity setelah uji coba

Aspek Favorable Unfavorable Total Bobot

Interaction Engangement 1, 13, 24 11, 22 5 29,41%

Respect for Cultural Differences 8, 16 7, 18 4 23,52%

Interaction Confidence 3, 5, 6, 10 4 23,52%

Interaction Enjoyment 9, 12, 15 3 17,64%

Interaction Attentivenes 17 1 5,88%

17 100%

3. Uji Reliabilitas

Hasil uji reliabilitas terhadap alat ukur setelah dihitung dengan metode

Cronbach’s Alpha, menunjukkan koefisien reliabilitas yang memuaskan. Nilai hasil uji reliabilitas Intercultural Sensitivity Scale sebesar α = 0,796

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini beberapa hal yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :

a. Rancangan Alat Ukur Penelitian

Alat ukur dalam penelitian ini terdiri satu skala yaitu skala ISS (Intercultural Sensitivity Scale) yang dibuat oleh Chen dan Starosta (2000) yang akan diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan kemudian akan ditelaah dengan analisis rasional dari professional judgement. Skala terdiri dari aitem – aitem berupa pernyataan yang mengarah pada informasi mengenai data yang


(50)

Skala menggunakan model Likert dengan pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). b. Melakukan survey

Untuk mendapatkan sampel yang sesuai dengan kriteria sampel yang hendak diteliti, maka peneliti melakukan survey awal ke sekolah untuk meminta izin melakukan penelitian dan melihat bagaimana kemudian skala ini bisa disebar.

c. Uji coba alat ukur

Sebelum menjadi alat ukur yang sebenarnya, skala diujicobakan kepada 50 orang siswa SMA sekolah homogen dan 50 orang siswa sekolah heterogen d. Revisi Alat Ukur

Menguji validitas dan reliabilitasnya aitem – aitem dari skala, untuk mengetahui aitem-aitem mana saja yang memenuhi validitas dan reliabilitas, peneliti. Skala inilah yang digunakan peneliti dalam mengambil data untuk penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diujicobakan, selanjutnya peneliti mengambil data dari masing-masing 200 orang siswa dari dua sekolah berbasis homogen (monocultural) dan 200 orang siswa dari duasekolah berbasis heterogen (multicultural)dengan memberikan skala ISS (Intercultural Sensitivity). Penelitian ini dilakukan pada hari berbeda pada setiap sekolah sesuai dengan hari tanggal dan waktu yang ditentukan oleh pihak sekolah.


(51)

Langkah-langkah pelaksanaan penelitian sebagai berikut:

a) Peneliti menentukan sekolah yang ingin dijadikan tempat penelitian. Kemudian mendatangi sekolah tersebut untuk meminta izin melakukan pengambilan penelitian.

b) Peneliti mengurus surat izin pengambilan data dari Fakultas Psikologi yang akan ditujukan kepada pihak sekolah tempat pengambilan data penelitian. c) Setelah surat permohonan izin selesai, peneliti memberikan surat

permohonan izin pengambilan data kepada pihak sekolah, kemudianmendiskusikan segala keperluan yang berhubungan dengan penelitian ini dan penentuan hari pelaksanaan pengambilan data dengan pihak sekolah.

d) Setelah ditentukan hari pelaksanaanya, peneliti datang ke sekolah tersebut dan memberikan Intercultural Sensitivity Scalekepada guru yang telah ditugaskan Bapak kepala sekolah untuk dibagikan kepada para siswa. Hal ini dilakukan atas kesepakatan dengan kepala sekolah agar tidak mengganggu jam pelajaran. Kemudian setelah selesai, skala penelitian dikumpulkan dan memberikan reward kepada para siswa yang menjadi subjek peneliitian.

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh hasil skor orientasi nilai pada masing-masing subjek, maka untuk pengolahan data selanjutnya, diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS for windows 17.0 version


(52)

H. Metode Analisa Data

Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran perbedaandari

Intercultural Sensitivity pada siswa sekolah yang berbasis homogen (monocultural) dengan sekolah yang berbasis heterogen (multicultural) di kotaMedan. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik

t-test untuk melihat perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen (multicultural). Seluruh proses pengolahan data penelitian akan dilakukan dengan menggunakan bantuan program computer SPSS for windows 17.0 version:

Sebelum dilakukan uji t-test, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yang meliputi:

1. Uji Normalitas:

Uji normalitas adalah pengujian tentang kenormalan distribusi data (Santoso & Ashari, 2005). Penggunaan uji normalitas karena pada analisis statistik parametrik, asumsi yang harus dimiliki oleh data adalah bahwa data tersebut terdistribusi secara normal. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan denganmenggunakan Kolmogorov Smirnov Testdengan bantuan SPSS version 17.0. for Windows

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi dan sampel penelitian homogen. Uji homogenitas yang digunakan adalah Uji Homogenitas Anova dengan Levene Test karena biasanya pengujian ini dilakukan untuk menguji homogenitas sebaran pada dua kelompok data.


(53)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, peneliti akan menguraikan keseluruhan hasil analisa data penelitian, diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, gambaran

Intercultural Sensitivitypada siswa-siswi sekolah homogen dan sekolah heterogenkemudian pembahasan mengenai hasil penelitian berdasarkan teori.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

1. Gambaran Umum Subjek PenelitianSecara Umum

Dalam penelitian pada sekolah homogen terdiri dari 200 orang subjek dari sekolah homogen dan 200 orang dari sekolah heterogen. Sebelum melakukan analisis data, peneliti akan menguraikan gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin,agama,suku dan usia:

a) Berdasarkan jenis kelamin subjek maka diperoleh data subjek sebagai berikut:

Tabel 3. Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin pada Sekolah Homogen dan Sekolah Heterogen

Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa pada sekolah homogen jumlah subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 73 orang (36,5%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 127 orang (63,55%).

Sekolah Homogen Sekolah Heterogen

Jenis Kelamin Frekuensi (N) Persentase Frekuensi (N) Persentase

Laki-laki 73 36,5 % 70 35%

Perempuan 127 63,5 % 130 65%


(54)

kelamin laki-laki sebanyak 70 orang (35%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 130 orang (65%).

b) Berdasarkan Agama subjek maka diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 4. Penyebaran Subjek Berdasarkan Agama pada Sekolah Homogen dan Sekolah Heterogen

Sekolah Homogen Sekolah Heterogen

Agama Frekuensi (N) Persentase Agama Frekuensi (N) Persentase

Islam 100 50% Islam 75 37,5%

Kristen 100 50% Kristen 65 32,5%

Total 200 100% Katholik 22 11%

Buddha 23 11,5%

Hindu 15 7,5%

Total 200 100%

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada sekolah homogen jumlah subjek penelitian yang berAgama Islam sebanyak 100 orang (50%), dan yang ber-Agama Kristen sebanyak 100 orang (50%). Sedangkan berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada Sekolah heterogen jumlah subjek penelitian yang ber-agama Islam sebanyak 72 orang (36%), yang ber-agama Kristen sebanyak 68 orang (34%), yang ber-agama Katholik 22 orang (11%), Yang ber-agama Buddha 23 orang (11,5%) dan yang ber-agama Hindu 15 orang (7,5%)


(55)

c) Berdasarkan Suku Subjek maka diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 5. Penyebaran Subjek Berdasarkan Suku pada Sekolah Homogen dan Sekolah Heterogen

Sekolah Homogen Sekolah Heterogen

Suku Frekuensi (N) Persentase Suku Frekuensi (N) Persentase

Jawa 100 50% Jawa 49 24,5%

Batak 100 50% Batak 59 29,5%

Total 200 100% Chiness 31 15,5%

Karo 19 8,5%

Benggali 16 8%

Padang 13 6,5%

Nias 12 6%

Aceh 11 5,5%

Total 200 100%

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada sekolah homogen jumlah subjek penelitian yang bersuku Jawa sebanyak 100 orang (50%) dan yang ber-Suku Batak sebanyak 100 orang (50%). Sedangkan berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada Sekolah heterogen jumlah subjek penelitian yang ber-suku Jawa sebanyak 49 orang (24,5%), yang ber-suku Batak sebanyak 59 orang (29,5%), yang ber-suku Karo 19 orang (8,5%), yang ber-suku Benggali 16 orang (8%), yang ber-suku Padang 13 orang (6,5%), yang bersuku Nias 12 orang (6%), yang ber-suku Aceh 11 orang (5,5%)


(56)

d) Berdasarkan Usia Subjek maka diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 6. Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia pada Sekolah Homogen dan Sekolah Heterogen

Sekolah Homogen Sekolah Heterogen

Usia Frekuensi (N) Persentase Usia Frekuensi (N) Persentase

15 85 42,5% 15 19 8,5%

16 115 57,5% 16 131 65,5%

Total 200 100% 17 50 25%

Total 200 100%

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada sekolah homogen jumlah subjek penelitian yang ber-usia 15 tahun sebanyak 85orang (42,5%), dan yang ber-usia 16 tahun sebanyak 115 orang (57,5%). Sedangkan berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada Sekolah heterogen jumlah subjek penelitian yang ber-usia 15 tahun sebanyak 19 orang (8,5%), yang ber-usia 16 tahun sebanyak 131 orang (65,5%), dan yang ber-usia 17 tahun sebanyak 50 orang (25%)


(57)

B. Hasil Utama Penelitian 1. Uji Asumsi

1.1. Asumsi Normalitas

Uji asumsi normalitas dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov Test

terhadap variabel penelitian Intercultural Sensitivity pada siswa sekolah homogen (Monocultural) dan sekolah heterogen (Multicultural) menunjukkan bahwa semua variabel memiliki data yang terdistribusi normal (syarat normal jika probabilitas /nilai p > 0.05). Dari Uji normalitas terhadap skala pengukuran Intercultural Sensitivity ditemukan nilai p 0,059.

Tabel 7. Data Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Skor Heterogen Skor Homogen Skor ISS

N 200 200 400

Normal Parametersa,,b Mean 71.38 59.98 65.69

Std. Deviation 4.673 6.389 7.982

Most Extreme Differences Absolute .117 .126 .066

Positive .117 .078 .038

Negative -.061 -.126 -.066

Kolmogorov-Smirnov Z 1.660 1.785 1.328

Asymp. Sig. (2-tailed) .008 .003 .059

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(58)

1.2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah subjek yang digunakan dalam penelitian ini homogen atau tidak.

Tabel 8. Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig. Intercultural

Sensitivity

Based on Mean 10.728 1 398 .001

Based on Median 8.446 1 398 .004

Based on Median and with adjusted df 8.446 1 352.597 .004

Based on trimmed mean 10.920 1 398 .001

Data penelitian dikatakan homogen apabila signifikansi menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0.05 (ρ > 0.05). Berdasarkan data yang diperoleh di tabel 12, didapatkan nilai signifikansi Intercultural Sensitiviy sebesar 0.001 sehingga dapat dikatakan bahwa sampel tidak bersifat homogen terhadap populasi.

Dengan demikian sampel dari penelitian ini tidak bersifat homogen tetapi uji-t tetap dapat dipakai karena data sampel penelitian terdistribusi secara normal namun dengan catatan, jika data homogen baca lajur Equal Variances Assumed, jika data tidak homogen baca lajur Equal Variances not Assumed. (Azwar 2004)

2. Uji Hipotesa Penelitian pada Sekolah homogen dan Sekolah heterogen

Untuk menjawab sejumlah hipotesa yang diajukan maka digunakan

independent samples test untuk menguji perbedaan Intercultural Sensitivity siswa

sekolah homogen (monokultural) dan sekolah heterogen (multikultural). Untuk

melakukan pengujian statistik maka terlebih dahulu dilakukan perumusan hipotesa


(59)

1. Ho (hipotesa nihil): μHomogen= μHeterogen, artinya tidak ada perbedaan Intercultural Sensitivitypada siswa sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen (multicultural)

2. Ha (hipotesa alternatif): μHomogen≠ μHeterogen, artinya ada perbedaan Intercultural Sensitivitypada siswa sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen (multicultural)

Tabel 9.Deskrpsi skor Intercultural Sensitivity

Group Statistics

Jenis Sekolah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Intercultural

Sensitivity

Sekolah homogeny 200 59.9900 6.37992 .45113

Sekolah heterogen 200 71.3800 4.67277 .33041

Jika dilihat melalui nilai mean terdapat perbedaan antara mean siswa-siswisekolah homogen dan sekolah heterogen. Mean tertinggi diperoleh kelompok subjek pada sekolah heterogen yakni sebesar 71.38 (SD = 4.672), sedangkan kelompok subjek pada sekolah homogenmemiliki nilai mean sebesar 59.99 (SD = 6.379)


(60)

Tabel 10. Independent T-test

Dari hasil penghitungan uji-t di atas, didapatkan nilai ρ < 0.05, yakni sebesar 0.000 sehingga didapatkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan Intercultural

Sensitivity antara siswa-siswi sekolah homogen dan sekolah heterogen sebesar 11,39

Independent Samples Test Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. T df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

Intercultural Sensitivity

Equal variances assumed

10.728 .001 -20.369 398 .000 -11.39000 .55919 -12.48933 -10.29067

Equal variances not assumed


(61)

3. Hasil Tambahan Penelitian

Penelitian ini juga memperoleh beberapa hasil tambahan penelitian, yaitu gambaran skor berdasarkan komponen Intercultural Sensitivity pada sekolah heterogen dengan sekolah homogen.

Tabel 11. Nilai Mean pada Komponen Intercultural Sensitivity

Dilihat dari tabel nilai mean dan satandar deviasi dari setiap komponen

Intercultural Sensitivity diatas ditemukan bahwa:

Pada setiap komponen nilai mean dan satandard deviasi subjek pada sekolah heterogen lebih tinggi daripada sekolah homogen.

Skor mean dan satandard deviasi dari subjek pada dimensi Interaction Engangement adalah skor yang tertinggi baik pada sekolah homogen maupun sekolah heterogen.

Skor mean dan standard deviasi dari subjek pada dimensi Interaction Attentiveness adalah skor yang terendah pada sekolah homogen maupun heterogen.

Skor Komponen

Homogen Heterogen

IE (Interaction Engangement) Mean 17,93 20,55

SD 2,130 2,061

RCD (Respect for Cultural Diffrence) Mean 15,7 18,11

SD 2,432 1,410

IC (Interaction Confidence) Mean 13,00 15,55

SD 2,008 2,088

IEnj (Interaction Enjoyment) Mean 11,30 13,08

SD 1,801 1,421

IA (Interaction Attentiveness) Mean 3,61 4,08


(62)

C. PEMBAHASAN

Dari hasil Penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan

Intercultural Sensitivity pada sekolah homogen dengan sekolah heterogen. Karena dari hasil uji T-test yang dilakukan diperoleh didapatkan nilai ρ < 0.05, yakni sebesar 0.000 sehingga didapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

Intercultural Sensitivity antara siswa-siswi sekolah homogen dan sekolah heterogen.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang di kemukakan oleh Chen dalam The Concept of Intercultural Sensitivity (1997) dimana "Intercultural Sensitivity" merupakan kemampuan individu untuk mengembangkan emosi positif terhadap pemahaman dan menghargai perbedaan budaya sehingga menampilkan perilakuyang tepat dan efektif dalam komunikasi antarbudaya. Semakin tinggi skor subjek pada tiap dimensi yang ada dalam skala Intercultural Sensitivity maka semakin kuat Intercultural Sensitivity yang dimiliki para siswa sekolah yang berbasis homogen (Monocultural) dan sekolah heterogen (Monocultural) di kota Medan begitu juga sebaliknya.

Dari hasil tambahan penelitian dapat dilihat bahwa komponen Interaction Engangement merupakan komponen yang paling menonjol baik disekolah homogen maupun heterogen. Data ini diperoleh dari perbandingan nilai mean dan standard deviasi. Sementara komponen yang paling rendah dari Intercultural Sensitivity adalah Interaction Attentivenes. Artinya hal ini sesuai dengan yang dikemukakan bahwa semakin tinggi skor subjek pada tiap dimensi yang ada dalam skala Intercultural Sensitivity maka semakin kuat Intercultural Sensitivity


(63)

begitu juga sebaliknya. Hal ini jg terlihat dari keberagaman budaya yang ada antara sekolah homogen dan sekolah heterogen dimana sekolah homogen memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda lebih kecil dari pada sekolah heterogen sehingga akan sangat mempengaruhi skor Interaction Engangement. Sedangkan pada komponen Interaction Attentivenes merupakan komponen yang memiliki nilai mean dan standard deviasi yang rendah dimana komponen ini adalah komponen yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk peka dan memberikan perhatian ketika komunikasi antar budaya. Artinya ketika interaksi antar budaya terbatas tentu kemampuan untuk peka dan memberikan perhatian terhadap keragaman budaya juga akan berkurang.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J. 1997, didalam proses pendidikanlah kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan tentang perbedaan dan persamaan antar budaya yang berkaitan dengan konsep, nilai, keyakinan dan sikap ini akan diajarkan, dipelajari, diarahkan dan diwujudkan. Pendidikan berbasis homogen (monocultural) cenderung melemahkan kesadaran akan pentingnya nilai kebersamaan, sikap toleransi,dan perilaku yang mampu menghargai, memahami, serta peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik, agama, dan budaya yang ada sehingga kesempatan mereka untuk melakukan

Interaction Engangement dengan budaya berbeda lebih kecil. Sementara pendidikan berbasis heterogen (Multicultural) diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural danjuga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya


(64)

dengan konsep, nilai, dan keyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997:348) sehingga kesempatan mereka untuk berinteraksi lebih besar.

Menurut Fay (1996) multikulturalisme adalah suatu ideologi yang akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara kebudayaan individu maupun secara kolektivitas. Dengan demikian mulitikulturalisme dapat mewujudkan masyarakat yang rukun dan menjunjung nilai-nilai kesederajatan. Dalam konteks pendidikan, multikulturalisme sangat penting diajarkan di sekolah-sekolah. Hal ini berkenaan dengan Indonesia sebagai bangsa yang besar yang terdiri dari keanekaragaman masyarakat dan budaya. Kemajemukan itu harus di internalisasi dalam muatan pendidikan yang menekankan pada aspek kesederajatan dalam pemenuhan hak - hak bagi warga negara, sehingga benturan-benturan sosial dan politik dapat diminimalisasikan.

Hasil penelitian ini memberikan pengetahuan tentang perbedaan

Intercultural Sensitivity yang terdapat antara sekolah homogen (monocultural) dengan sekolah heterogen (multicultural) sehingga dapat dijadikan evaluasi dan bahan pertimbangan bagi dinas terkait dan sekolah-sekolah yang ada di kota medan sehingga dalam konteks pendidikan multikulturalisme depat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui proses pembelajaran dan pendidikan di lingkungan sekolah maupun dilingkungan bermasyarakat. Intercultural Sensitivity merupakan suatu kemampuanmengembangkan emosi positif terhadap pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan budaya sehingga dapat memunculkan prilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi antar budaya. Dengan Intercultural Sensitivity ini kita dapat menjadi masyarakat yang multikuturalisme, menikmati perbedaan, hidup rukun berdampingan dan bekerja sama secara efektif dengan


(65)

orang-orang dari budaya yang berbeda. Sehingga melalui proses pendidikan menghasilkan dan mewujudkan masyarakat multikultural yang memiliki


(1)

53 5 4 3 4 4 5 2 3 1 3 5 4 4 4 4 4 4 63 P 16 Jawa Islam

54 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4 3 5 3 4 3 4 3 61 L 16 Jawa Islam

55 4 4 3 4 5 4 4 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 60 L 16 Jawa Islam

56 3 4 3 4 3 5 4 3 2 3 4 3 3 4 3 1 3 55 L 16 Jawa Islam

57 5 5 3 4 5 4 5 3 3 2 4 2 5 5 4 3 4 66 L 16 Jawa Islam

58 3 3 4 2 4 4 4 3 3 4 4 4 5 4 4 4 3 62 P 16 Jawa Islam

59 3 2 2 2 3 3 3 2 4 3 4 3 4 3 3 3 3 50 L 16 Jawa Islam

60 3 3 3 3 4 4 4 3 4 3 4 3 4 4 4 3 3 59 P 16 Jawa Islam

61 4 3 5 4 3 5 3 4 2 3 3 1 5 5 2 3 4 59 L 16 Jawa Islam

62 3 2 2 3 3 5 5 2 4 3 4 3 5 3 5 3 3 58 L 15 Jawa Islam

63 4 3 3 3 4 3 5 3 3 3 4 3 3 3 4 4 3 58 L 16 Jawa Islam

64 4 4 3 3 5 5 5 4 3 3 3 2 4 4 5 5 5 67 P 16 Jawa Islam

65 3 4 4 4 2 4 4 3 3 4 4 4 3 4 5 4 4 63 P 16 Jawa Islam

66 4 3 3 2 5 5 4 3 3 5 3 3 5 4 5 5 5 67 P 15 Jawa Islam

67 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 52 L 15 Jawa Islam

68 4 4 3 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 64 P 16 Jawa Islam

69 4 3 5 3 4 4 4 3 2 3 5 4 4 1 4 4 4 61 L 16 Jawa Islam

70 5 5 5 5 1 4 4 4 3 5 5 5 3 3 5 1 4 67 P 15 Jawa Islam

71 3 3 3 4 4 3 4 3 4 5 3 5 5 3 5 5 3 65 P 15 Jawa Islam

72 3 3 3 3 4 4 5 3 3 3 4 4 4 3 4 4 4 61 P 15 Jawa Islam

73 4 3 4 4 4 4 4 3 3 4 5 4 4 4 3 3 4 64 P 15 Jawa Islam

74 3 4 5 3 3 3 5 3 3 5 3 3 4 3 3 3 3 59 L 16 Jawa Islam

75 4 4 4 3 3 4 3 3 3 4 3 4 4 4 4 3 4 61 L 16 Jawa Islam

76 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 4 5 3 4 4 4 65 P 16 Jawa Islam

77 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 51 P 15 Jawa Islam

78 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4 66 L 16 Jawa Islam

79 4 4 3 4 3 4 3 3 3 3 3 5 4 3 4 3 4 60 P 16 Jawa Islam


(2)

82 4 3 3 3 4 4 4 3 2 4 4 3 3 4 4 5 4 61 P 15 Jawa Islam

83 4 3 3 3 4 5 5 3 3 3 4 3 4 3 5 3 3 61 P 16 Jawa Islam

84 3 4 3 4 3 4 4 3 4 4 3 5 3 3 5 5 3 63 P 16 Jawa Islam

85 4 3 2 5 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 2 5 63 P 15 Jawa Islam

86 3 4 5 4 3 5 4 5 2 4 1 5 3 4 5 3 3 63 P 16 Jawa Islam

87 4 3 3 4 4 4 5 3 3 5 3 4 3 4 5 5 3 65 P 16 Jawa Islam

88 4 3 3 2 5 4 3 2 2 1 3 5 4 3 4 3 4 55 L 16 Jawa Islam

89 4 3 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 4 3 4 3 4 62 L 16 Jawa Islam

90 4 3 3 4 5 4 4 3 3 4 4 5 3 4 4 3 4 64 P 15 Jawa Islam

91 4 3 5 4 4 4 4 4 2 4 3 4 4 4 4 5 4 66 P 16 Jawa Islam

92 3 3 3 3 4 3 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 61 P 16 Jawa Islam

93 4 4 5 4 4 3 5 3 3 5 5 4 4 3 3 3 4 66 L 16 Jawa Islam

94 4 3 3 3 3 5 4 4 2 4 4 2 5 4 5 3 4 62 P 15 Jawa Islam

95 4 3 3 3 5 4 3 3 2 4 3 4 5 3 5 5 5 64 P 15 Jawa Islam

96 4 3 2 4 5 5 4 3 4 4 4 4 4 2 5 5 4 66 P 16 Jawa Islam

97 4 4 3 4 4 5 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 4 65 L 16 Jawa Islam

98 3 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 3 4 3 5 4 4 62 P 16 Jawa Islam

99 3 3 4 3 5 4 5 3 4 3 4 4 3 4 4 5 3 64 P 16 Jawa Islam


(3)

Uji normalitas,Homogenitas dan T-test Dimensi Intercultural senstivty

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Komponen1Homogen 200 12 23 17.93 2.130

Komponeni2Homogen 200 4 20 15.17 2.432

Komponen3Homogen 200 7 19 13.00 2.008

Komponen4homogen 200 6 15 11.30 1.801

Komponen5Homogen 200 1 5 3.61 .896

Komponen1Heterogen 200 15 25 20.55 2.061

Komponen2Heterogen 200 14 20 18.11 1.410

Komponen3Heterogen 200 8 20 15.55 2.088

Komponen4Heterogen 200 8 15 13.08 1.421

Komponen5Heterogen 200 2 5 4.08 .593


(4)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Komponen 1 ISS

Komponen 2 ISS

Komponen 3 ISS

Komponen 4 ISS

Komponen 5 ISS

N 400 400 400 400 400

Normal Parametersa,,b Mean 19.24 16.64 14.27 12.19 3.84

Std. Deviation 2.470 2.470 2.410 1.851 .794

Most Extreme Differences

Absolute .106 .142 .120 .157 .290

Positive .106 .087 .120 .091 .235

Negative -.083 -.142 -.099 -.157 -.290

Kolmogorov-Smirnov Z 2.124 2.848 2.400 3.133 5.796

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(5)

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

Dimensi1ISS Equal variances assumed

.261 .610 -12.500 398 .000 -2.620 .210 -3.032 -2.208

Equal variances not assumed

-12.500 397.570 .000 -2.620 .210 -3.032 -2.208

Dimensi2ISS Equal variances assumed

30.234 .000 -14.766 398 .000 -2.935 .199 -3.326 -2.544

Equal variances not assumed

-14.766 319.199 .000 -2.935 .199 -3.326 -2.544

Dimensi3ISS Equal variances assumed

2.003 .158 -12.426 398 .000 -2.545 .205 -2.948 -2.142

Equal variances not assumed

-12.426 397.387 .000 -2.545 .205 -2.948 -2.142

Dimensi4ISS Equal variances assumed

10.076 .002 -11.035 398 .000 -1.790 .162 -2.109 -1.471


(6)

Dimensi5ISS Equal variances assumed

65.582 .000 -6.187 398 .000 -.470 .076 -.619 -.321

Equal variances not assumed