TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN JUJURAN DALAM TRADISI PERKAWINAN SUKU TIDUNG PULAU TARAKAN KALIMANTAN UTARA.

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN
JUJURAN DALAM TRADISI PERKAWINAN SUKU TIDUNG
PULAU TARAKAN KALIMANTAN UTARA

SKRIPSI

Oleh:
Baiq Hernawati
NIM. C01212011

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam
SURABAYA

2016

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Jujuran dalam

Tradisi Perkawinan Suku Tidung Pulau Tarakan Kalimantan Utara‛ini merupakan hasil
penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana
pemberian jujuran dalam tradisi perkawinan suku tidung pulau Tarakan Kalimantan
Utara? dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian jujuran terhadap tradisi
perkawinan masyarakat suku tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara?
Data penelitian dihimpun dengan menggunakan teknik wawancara kepada subjek
penelitian, observasi atau pengamatan peneliti langsung pada obyek penelitian,
dokumentasi. Selanjutnya Setelah informasi yang didapat terkumpul, langkah
selanjutnya adalah menganalisis data. Dalam penulisan ini peneliti menggunakan
analisis data kualitatif, dengan metode deskriptif analisis verifikatif yaitu teknik analisa
data dengan cara menjelaskan data sesuai dengan apa adanya. Dalam hal ini penulis
ingin mengetahui praktek tradisi jujuran. Kemudian dianalisa dan verifikatif dengan
teori hukum Islam yakni teori mahar dan teori ‘urf.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa masyarakat suku tidung pulau Tarakan
Kalimantan Utara menganggap pemberian jujuran wajib diberikan kepada calon
mempelai wanita dari pihak calon mempelai laki-laki. Jujuran adalah uang yang
diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita sebagai pemberian ketika akan
melangsungkan perkawinan selain mahar. Status sosial masyarakat pulau Tarakan
Kalimantan Utara sangat mempengaruhi dalam hal penentuan pemberian jujuran.
Semakin kaya wanita yang akan dinikahi, maka semakin banyak pula jujuran yang akan

diberikan oleh pihak pria kepada wanita tersebut. Lain halnya dengan wanita yang
berstatus janda, jujuran yang diterimanya lebih sedikit dibandingkan dengan wanita
yang masih perawan. Adapun sebab lain yang mempengaruhi penentuan pemberian
jujuran adalah pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita maka
semakin tinggi pula jujuran yang diberikan. Nilai pemberian uang jujuran mempengaruhi
masyarakat suku tidung pulau Tarakan untuk memberi uang jujuran sang calon
mempelai wanita dengan harga tinggi. Sehingga cukup banyak laki-laki dan perempuan
yang menikah tidak dalam usia yang seharusnya. Dikarenakan dalam usia tersebut sang
calon mempelai laki-laki belum sepenuhnya mampu memberikan uang jujuran yang
diminta dari keluarga calon mempelai wanita. Dan jika tradisi pemberian jujuran sesuai
dengan asas hukum perkawinan Islam seperti di dalamnya terdapat asas kerelaan dan
kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan dalam
penentuan nilai jujuran tersebut, maka praktek adat yang demikian tidak bertentangan
dengan Al-Quran maupun hadist sehingga adat ini dapat dikategorikan menjadi al-‘ādah
al-shahihah yang berarti dapat diterima oleh syariat Islam.
Dari kesimpulan diatas disarankan kepada masyarakat suku tidung pulau Tarakan
hendaknya lebih memahami lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum
perkawinan Islam agar tidak menganggap pemberian uang jujuran merupakan pemberian
wajib melainkan hanya berupa hadiah yang diberikan mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita.


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DALAM ........ .............................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN......................................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................

iii

PENGESAHAN ...........................................................................................................


iv

ABSTRAK...................................................................................................................

v

KATA PENGANTAR .................................................................................................

vii

PERSEMBAHAN ........................................................................................................

ix

MOTTO .......................................................................................................................

x

DAFTAR ISI................................................................................................................


xi

DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xiv
DAFTAR TRANSLITERASI......................................................................................

BAB I

:

xv

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................

1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ................................................

7


C. Rumusan Masalah .......................................................................

8

D. Kajian Pustaka .............................................................................

8

E. Tujuan Penelitian.........................................................................

10

F. Kegunaan Hasil Penelitian...........................................................

11

G. Definisi Operasional ....................................................................

11


H. Metode Penelitian........................................................................

13

I.

16

Sistematika Pembahasan .............................................................

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II

:

MAHAR DAN ‘URF DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
A. Mahar dalam Tinjauan Hukum Islam.......................................... 18
1. Definisi Mahar .................................................................... 18
2. Dasar Hukum Mahar ........................................................... 23

3. Bentuk dan Syarat Mahar.................................................... 25
4. Nilai dan Jumlah Mahar ...................................................... 27
5. Macam-Macam Mahar ........................................................ 31
6. Pelaksanaan Pembayaran dan Pemegang Mahar ................. 35
7. Hikmah diSyariatkan Mahar ............................................... 39
B. ‘Urf dalam Tinjauan Hukum Islam .............................................. 40

BAB III

: PEMBERIAN JUJURAN DALAM TRADISI PERKAWINAN
SUKU TIDUNG PULAU TARAKAN KALIMANTAN UTARA
A. Gambaran Keadaan Pulau Tarakan .............................................

45

1. Keadaan Geografis .............................................................. 45
2. Keadaan Demografis ........................................................... 46
3. Agama Mayarakat ............................................................... 48
4. Pendidikan Masyarakat ....................................................... 49
B.


Proses Perkawinan Adat Suku Tidung Pulau Tarakan
Kalimantan Utara ...................................................................... 50

C.

Deskripsi

Tentang

Pemberian

Jujuran

dalam

Tradisi

Perkawinan Suku Tidung Pulau Tarakan Kalimantan Utara ...... 55


BAB IV :

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN JUJURAN
DALAM TRADISI PERKAWINAN SUKU TIDUNG PULAU
TARAKAN KALIMANTAN UTARA
A. Analisis Hasil Penelitian Terhadap Pemberian Jujuran dalam
Tradisi Perkawinan Suku Tidung Pulau Tarakan Kalimantan
Utara ............................................................................................ 59
B. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Jujuran
dalam Tradisi Perkawinan Suku Tidung Pulau Tarakan
Kalimantan Utara ......................................................................... 64

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB V

:

PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................


74

B. Saran ............................................................................................

75

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Apabila kita berbicara tentang perkawinan maka dapatlah kita
memandangnya dari dua buah sisi. Dimana perkawinan merupakan sebuah
perintah agama. Sedangkan disisi lain perkawinan adalah satu-satunya jalan
penyaluran seks yang disahkan oleh agama. Dari sudut pandang ini, maka
pada saat orang melakukan perkawinan pada saat yang bersamaan dia bukan
saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga
memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat
memang harus disalurkan. Agama Islam juga menetapkan bahwa satusatunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya
dengan perkawinan, perkawinan merupakan satu hal yang sangat menarik
jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah perkawinan
ini.
Allah menciptakan semua makhluk hidup berpasang-pasangan dan
menjadikan mereka saling membutuhkan terhadap pasangannya serta merasa
tentram dengannya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 21
yang berbunyi:1

1

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2005), 324.

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

            
       

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.
Allah menganugrahkan setiap manusia dengan jenis kelamin tertentu
dan membuatnya merasa nyaman serta mempunyai perasaan mencintai
terhadap lawan jenisnya. Oleh karena itu, Allah mensyaria’atkan perkawinan
agar hubungan antara kedua lawan jenis tersebut menjadi halal.
Perkawinan merupakan sunnahtullah yang menjadi hukum alam di
dunia. Perkawinan tidak hanya dilakukan oleh manusia saja tetapi hewan dan
tumbuh-tumbuhan pun melakukan perkawinan. Hal ini tercantum dalam AlQur’an surah Yasin ayat 36 yang berbunyi:2
            
Artinya: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Hidup bersama suami istri itu dalam perkawinan tidak semata-mata
untuk tertibnya hubungan seks tetap pada pasangannya saja, tetapi
dimaksudkan agar mereka dapat membentuk rumah tangga yang bahagia.
2

Ibid.,353.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

Rumah tangga yang rukun antara suami istri. Hidupnya aman dan harmonis.
Saling pengertian dan menjalankan tugas sesuai peranannya masing-masing.3
Perkawinan menurut hukum adat pun tidak semata-mata berarti ikatan
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk maksud
mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga
rumah tangga, tetapi juga berarti hubungan hukum yang menyangkut para
anggota kerabat dari pihak suami dan dari pihak istri.4
Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja
menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut
hubungan antara kedua pihak mempelai seperti saudara-saudara mereka atau
keluarga mereka lainnya. Bahkan dalam hukum adat diyakini bahwa
perkawinan bukan saja merupakan peristiwa penting bagi mereka yang
hidup, tapi juga merupakan peristiwa penting bagi leluhur mereka yang telah
tiada. Arwah-arwah leluhur kedua pihak diharapkan juga merestui
kelangsungan rumah tangga mereka akan lebih rukun dan bahagia.5
Karena begitu penting arti perkawinan ini, maka pelaksanaan
perkawinan itu pun senantiasa dan seterusnya disertai dengan berbagai
upacara lengkap dengan sesajennya. Ini semua seakan-akan tahayul, tetapi
pada kenyataannya hal ini hingga sekarang masih sangat meresap pada

3

Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan, 1998), 7.
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 100.
5
Dewi Wulandari, Hukum Adat Indonesia, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2009), 69.

4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia dan oleh karena itu masih tetap
juga dilakukan dimana-mana.6
Perkawinan

jujur

merupakan

perkawinan

dengan

pemberian

(pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan bapak
(patrilineal). Pemberian uang atau barang jujur (Gayo: unjuk; Batak: boli,
tuhor, parunjuk, pangoli, ;Nias: beuli niha; Lampung: segreh, seroh, daw,
adat; Timor-sawu: belis, wellie; dan Maluku: beli, wilin) dilakukan oleh
pihak kerabat calon suami kepada pihak kerabat calon istri, sebagai tanda
pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat
persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk kedalam persekutuan
hukum suaminya. Di Sulawesi dikenal dengan ‚Doe Panai‛ atau uang panai. 7
Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si wanita
mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami, baik pribadi
maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami,
kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan istri
dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami,
atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Istri tidak boleh
bertindak sendiri, oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur

6

Ibid., 70.
Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu Kini dan Akan Datang, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2014), 26.
7

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam
hubungan kemasyarakatan.8
Masyarakat pulau Tarakan khususnya masyarakat suku tidung
menganggap bahwa pemberian jujuran dalam sebuah perkawinan adalah
wajib. Tidak ada pemberian jujuran tidak ada perkawinan. Masyarakat pulau
Tarakan beranggapan bahwa jujuran setingkat dengan mahar dalam hal
kewajiban menunaikannya. Hal ini terjadi karena antara jujuran dan mahar
adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam sebuah perkawinan. Status
sosial masyarakat pulau Tarakan Kalimantan Utara sangat mempengaruhi
dalam hal penentuan pemberian jujuran. Semakin kaya wanita yang akan
dinikahi, maka semakin banyak pula jujuran yang akan diberikan oleh pihak
pria kepada wanita tersebut. Lain halnya dengan wanita yang berstatus
janda, jujuran yang diterimanya lebih sedikit dibandingkan dengan wanita
yang masih perawan.
Adapun sebab lain yang mempengaruhi penentuan pemberian jujuran
adalah pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita maka
semakin tinggi pula jujuran yang diberikan. Kebiasaan ini berlaku pada
masyarakat suku Tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara sejak lama dan
turun temurun. Jujuran yang telah diberikan oleh pihak pria kepada wanita
umumnya digunakan untuk keperluan resepsi, membeli keperluan rumah
tangga yang bakal hidup berkeluarga kelak.

8

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), 73.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Akan tetapi nilai pemberian uang jujuran juga mempengaruhi
masyarakat suku tidung pulau Tarakan untuk memberikan uang jujuran sang
calon mempelai wanita dengan harga tinggi. Sehingga cukup banyak lakilaki dan perempuan yang menikah tidak dalam usia yang seharusnya.
Dikarenakan dalam usia tersebut sang calon mempelai laki-laki belum
sepenuhnya mampu memberikan uang jujuran yang diminta dari keluarga
calon mempelai wanita.
Pembayaran jujur pada dasarnya tidak sama dengan ‚mas kawin‛
sebagaimana hukum Islam. Uang jujur adalah kewajiban adat ketika
dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria. Sebagaimana
mas kawin adalah kewajiban agama ketika dilaksanakan akad nikah yang
harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk mempelai wanita.
Perkawinan menurut hukum Islam merupakan akad yang sangat kuat
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah yang
bertujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita, ini artinya kedua orang yang
berlainan jenis selain terikat secara lahir, atau secara fisik, tetapi juga
batinnya terikat. Karena itu dalam perkawinan mereka sebagai pasangan
suami istri.
Dalam perkawinan hukum Islam tidak mengenal adanya ketentuan
untuk pemberian jujuran. Akan tetapi calon mempelai pria hanya diwajibkan
untuk membayar mahar kepada calon mempelai wanita sebagai syarat

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

sahnya perkawinan. Kewajiban membayar mahar disebutkan dalam AlQur’an surah an-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:9
              
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Pada intinya tidak ada kewajiban untuk memberikan jujuran dalam
hukum perkawinan Islam, kewajiban yang ada dalam perkawinan Islam
hanya memberikan mahar kepada calon mempelai wanita. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Pemberian Jujuran Dalam Tradisi Perkawinan Suku Tidung Pulau
Tarakan Kalimantan Utara‛ yang akan membahas bagaimana tinjauan
hukum Islam terhadap pemberian jujuran dalam tradisi perkawinan suku
tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi inti
permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut:
1.

Pemberian jujuran dalam sebuah perkawinan suku tidung pulau Tarakan
Kalimantan Utara adalah hal yang wajib

9

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2005), 61.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

2.

Penyebab tingginya pemberian jujuran dalam tradisi perkawinan suku
tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara.

3.

Dampak tingginya pemberian jujuran dalam tradisi perkawinan suku
tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara.

4.

Wanita yang berstatus janda pemberian jujuran lebih sedikit
dibandingkan dengan wanita yang masih perawan

5.

Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi perkawinan suku tidung pulau
Tarakan Kalimantan Utara
Dengan adanya banyak permasalahan tersebut di atas, maka untuk

memberikan arah yang jelas dan fokus, peneliti akan membatasi 2 masalah,
yaitu:
1.

Tradisi jujuran dalam perkawinan suku tidung pulau Tarakan
Kalimantan Utara

2.

Tinjauan hukum Islam terhadap pemberian jujuran terhadap tradisi
perkawinan masyarakat suku tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas ada beberapa permasalahan
yang penting untuk diangkat dalam penelitian ini:
1.

Bagaimana tradisi jujuran dalam perkawinan suku tidung pulau Tarakan
Kalimantan Utara?

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

2.

Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian jujuran dalam
tradisi perkawinan masyarakat suku tidung pulau Tarakan Kalimantan
Utara?

D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan
gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang
mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga
diharapkan tidak ada pengulangan materi peneliti secara mutlak.
Untuk mengetahui originalitas penelitian ini, penulis mencari informasi
tentang masalah yang terkait. Untuk itu maka perlu dikemukakan tulisan
yang terkait dengan judul penelitian yang akan dilaksanakan. Beberapa
penelitian terkait yang pembahasannya serupa dengan judul penelitian ini
adalah:
1.

Penelitian yang ditulis oleh Akhmad Affandi yang berjudul ‚Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Tradisi ‚Jujuran‛ Dan Implikasinya Dalam
Perkawinan Adat Patrilineal‛.10
Penelitian ini tentang menitik beratkan pada implikasi dari pemberian

jujuran yang berdampak pada putusnya hubungan istri dengan
keluarganya.

10

Akhmad Affandi, ‚Tinjauan Hukum Islam Terdahap Tradisi ‚Jujuran‛ Dan Implikasinya
Dalam Perkawinan Adat Patrilineal‛,( Skripsi pada Jurusan Ahwal Syakhshiyah, Fakultas

Syari’ah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

2.

Penelitian yang ditulis oleh Hilmiyani yang berjudul ‚Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Persepsi Masyarakat Tentang Pemberian Uang Jujuran
Dalam Perkawinan Adat Banjar Di Desa Batu Balian Kec. Simpang
Empat Kab. Banjar Kalimantan Selatan‛. 11
Penelitian ini tentang bagaimana persepsi masyarakat tentang proses
pemberian uang jujuran dari mempelai pria ke mempelai wanita di desa
batu balian kec. Simpang empat kab. Banjar kalimantan selatan.

3.

Penelitian yang ditulis oleh Mochamad Rochman Firdian yang berjudul
‚Tradisi Mantaar Jujuran dalam Perkawinan Adat Banjar Kalimantan
Selatan Perspektif Hukum Islam‛.12
Penelitian ini tentang tradisi mantaar jujuran pada perkawinan adat
Banjar Kalimantan Selatan masih dapat diterima dan dapat dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Karena Hukum Islam memperbolehkannya
adat yang dianggap baik serta tidak bertentangan dengan nas Al-Quran
maupun Hadist.
Beberapa kajian di atas tentu memiliki titik singgung dengan penelitian

ini. Kajian ini memiliki perbedaan dengan kajian sebelumnya, antara lain:
1.

Penelitian ini dilakukan dalam lingkungan masyarakat suku tidung pulau
Tarakan, salah satu komunitas yang menganut adat istiadat Tarakan.

11

Hilmiyani, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Persepsi Masyarakat Tentang Pemberian Uang
Jujuran Dalam Perkawinan Adat Banjar Di Desa Batu Balian Kec. Simpang Empat Kab. Banjar
Kalimantan Selatan‛, (Skripsi pada Jurusan Ahwal Syakhshiyah, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2010).
Mochamad Rochman Firdian, ‚Tradisi Mantaar Jujuran dalam Perkawinan Adat Banjar
Kalimantan Selatan Perspektif Hukum Islam‛, (Skripsi pada Jurusan Ahwal Syakhshiyah,
Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2015).

12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

2.

Penelitian ini mengkaji tentang tinjauan hukum Islam terhadap
pemberian jujuran dalam tradisi perkawinan suku tidung pulau Tarakan
Kalimantan Utara.
Penelitian terhadap permasalahan pemberian jujuran ini menjadi urgen

karena berdasarkan pada kenyataannya pemberian jujuran ini banyak
dilakukan masyarakat suku tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara padahal
itu bukan merupakan rukun maupun syarat perkawinan. Hal ini menjadi lebih
menarik lagi karena sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam
dan melaksanakan pemberian jujuran seperti ini sudah menjadi kebiasaan
yang tidak bisa dilakukan dan bersifat wajib dalam perkawinan.

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelitian diatas maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
1.

Untuk mengetahui tradisi jujuran dalam perkawinan suku tidung pulau
Tarakan Kalimantan Utara

2.

Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pemberian jujuran
terhadap tradisi perkawinan masyarakat suku tidung pulau Tarakan
Kalimantan Utara.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1.

Secara teoritis

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi mengenai
jujuran dalam proses perkawinan suku tidung. Hasil penelitain ini biasa
dipakai untuk meningkatkan motivasi bagi peneliti selanjutnya untuk
meneliti lebih mendalam terutama tentang permasalahan yang belum
terjangkau dalam penelitian ini.
2.

Secara praktis
Hasil penelitain ini dapat dijadikan pertimbangan bagi masyarakat suku
tidung untuk menemukan tinjauan dari hukum Islam.

G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalah pahaman mengenai maksud dari judul
penelitian yang telah peneliti tetapkan, maka di bawah ini penulis rumuskan
beberapa definisi operasional dari variable penelitian sebagai berikut:
Hukum Islam

: Seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah,
sunnah Rasul dan pendapat para ulama’ tentang
tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini,
berlaku dan mengikat untuk semua umat yang
beragama Islam.13 Dalam hal ini menggunakan teori
mahar dan teori ‘urf untuk melihat pemberian
jujuran di pulau Tarakan Kalimantan Utara.

Jujuran

: Benda magis yang diberikan oleh pihak mempelai
pria kepada pihak mempelai wanita yang akan

13

Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Gia Indonesia, 2004), 12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

dikawininya dimaksudkan untuk mempertahankan
keseimbangan magis dalam kelompok kekerabatan
wanita.14 Dalam hal ini benda magis yang dimaksud
adalah berupa uang yang diberikan dari keluarga
calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon
mempelai perempuan dengan penentuan kadar
jumlahnya.
Tradisi Suku Tidung : Kebiasaan, tingkah laku

sekelompok masyarakat

yang terus menerus dan berulang-ulang dilakukan
yang diikuti oleh masyarakat dalam waktu yang
lama dalam tradisi suku tidung pulau Tarakan
Kalimantan Utara.15
Dengan melihat definisi operasional diatas maka penelitian yang
berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Jujuran Dalam Tradisi
Perkawinan Suku Tidung Pulau Tarakan Kalimantan Utara‛ akan meneliti
tentang bagaimana pemberian jujuran dalam tradisi masyarakat suku tidung
terkait tingginya pemberian uang jujuran yang nantinya akan dianalisis
dengan hukum Islam.

H. Metode Penelitian

14

Soejono Soekanto, Kamus Hukum Adat, (Bandung: Alummi, 1982), 105.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Gunung Agung,
1995), 13.

15

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

Metodologi sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan agar sebuah skripsi (dari suatu
penelitian) dapat mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah
dengan menggunakan metode ilmiah. Adapun metode-metode yang
digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.

Data yang dikumpulkan
Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung
jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka penulis
membutuhkan data sebagai berikut:
a. Data tentang praktek pemberian jujuran dalam tradisi perkawinan
suku tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara
b. Data tentang tinggi rendahnya pemberian jujuran dalam tradisi
perkawinan suku tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara
c. Data tentang penyebab tingginya pemberian jujuran dalam tradisi
perkawinan suku tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara
d. Data tentang dampak tingginya pemberian jujuran dalam tradisi
perkawinan suku tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara
e. Data tentang wanita berstatus janda pemberian jujuran lebih sedikit
dibandingkan dengan wanita yang masih perawan

2.

Sumber Data
Penelitian ini meliputi 2 macam yaitu:
a. Sumber data primer, sumber data yang diperoleh dari sumber pertama
yaitu tokoh adat suku tidung pulau Tarakan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

b. Sumber data sekunder, sumber data yang diperoleh dari tokoh agama,
tokoh masyarakat, kepala KUA, serta masyarakat suku tidung pulau
Tarakan Kalimantan Utara yang melaksanakan yaitu para pihak yang
telah menikah, memberi atau menerima jujuran dalam perkawinan.
3.

Tekhnik Pengumpulan Data
Teknik

pengumpulan

menentukan

baik

data

tidaknya

merupakan

sebuah

proses

penelitian.

yang

Maka

sangat
kegiatan

pengumpulan data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data
yang dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
wawancara.
Wawancara merupakan proses interaksi atau komunikasi secara
langsung antara pewawancara atau peneliti dengan informan. Peneliti
melakukan wawancara dengan masyarakat di pulau Tarakan Kalimantan
Utara misalnya dengan tokoh adat suku tidung, tokoh agama, tokoh
masyarakat, dan kepala KUA pulau Tarakan. Dengan tekhnik
wawancara ini peneliti akan memperoleh data yang bersifat fakta. Pada
wawancara ini yang penting adalah memilih orang-orang yang tepat dan
memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ingin kita ketahui.16
4.

Tekhnik Pengolahan Data
a. Pengeditan

16

Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 97.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

Dalam tahap ini, peneliti akan mencermati dan melakukan
pembenahan-pembenahan terhadap data yang kurang benar dari
informasi

yang

didapat.

Sehingga

mengantisipasi

terjadinya

kesalahan terhadap penulisannya
b. Pengolahan
Penulis memilah-milah terhadap informasi data yang dikumpulkan
agar terdeteksi kesesuaian dan keruntutan data tersebut, kemudian
mengolahnya menjadi bab-bab yang sistematis.
5.

Tekhnis Analisis Data
Setelah informasi yang didapat terkumpul, langkah selanjutnya adalah
menganalisis data. Dalam penulisan ini peneliti menggunakan analisis
data kualitatif, dengan metode deskriptif analisis verifikatif yaitu teknik
analisa data dengan cara menjelaskan data sesuai dengan apa adanya.
Dalam hal ini penulis ingin mengetahui praktek tradisi jujuran.
Kemudian dianalisa dan verifikatif dengan teori hukum Islam yakni teori
mahar dan teori ‘urf.

I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan dalam memahami gambaran secara keseluruhan
tentang proposal ini, maka di bawah ini dicantumkan sistematika penulisan
proposal. Secara garis besar proposal ini terdiri dari lima bab, penulisan
proposal ini berdasarkan sistematika sebagai berikut:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

Bab Pertama berupa pendahuluan yang berisi gambaran umum menurut
pola dasar kajian masalah ini. Bab pertama ini menjelaskan latar belakang
masalah, identifikasi dan pembatasan masalah kemudian merumuskan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi
operasional dan metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Bab Kedua menjelaskan tentang landasan teori mahar dan teori ‘urf
yang meliputi: pengertian, dasar hukum mahar, bentuk dan syarat mahar,
nilai jumlah mahar, macam-macam mahar, pelaksanaan pembayaran mahar,
pemegang mahar serta ‘urf dalam tinjauan hukum Islam.
Bab Ketiga memuat data yang berkenaan dengan hasil penelitian
terhadap pemberian jujuran dalam tradisi perkawinan adat suku tidung pulau
Tarakan Kalimantan Utara yang terdiri dari kondisi daerah penelitian, yaitu
kondisi geografis, demografis, agama masyarakat, pendidikan masyarakat,
keadaan sosial ekonomi masyarakat dan tradisi adat suku tidung pulau
Tarakan Kalimantan Utara tentang pemberian jujuran dalam perkawinan
suku tidung.
Bab Keempat analisis hukum Islam terhadap pemberian jujuran dalam
tradisi perkawinan suku tidung pulau Tarakan Kalimantan Utara.
Bab Kelima merupakan bab penutup, berisi tentang kesimpulan dan
saran. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah mengadakan analisis terhadap
data yang diperoleh sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya dan
merupakan jawaban atas pertanyaan pada rumusan masalah.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
MAHAR DAN ‘URF DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

A.

Mahar dalam Tinjauan Hukum Islam
1.

Definisi Mahar
Mahar dalam bahasa Arab Sadāq. Asalnya isim masdar dari kata

asdaqa, masdar-nya isdāq diambil dari kata sidqin (benar).1 Dinamakan
sadāq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok
dalam kewajiban mahar atau maskawin.2 Pengertian mahar menurut

shara’ adalah sesuatu pemberian yang wajib seba nikah atau bercampur
atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti menyusui dan ralat
para saksi.3
Adapun cara terminologi dapat disebutkan di antaranya:
a. Menurut Abū Bakar Jābir Al-Jazāiri dalam kitabnya Minhāj Al-

Muslim menyatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang diberikan
suami kepada istri untuk menghalalkan menikmatinya dan
hukumnya wajib.4
b. Menurut Abdullah Nasih ‘Ulwān, mahar adalah harta, sedikit
atau banyak, yang diberikan suami kepada istrinya penghormatan
1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 770.
2
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, terj.
Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2009), 175.
3
Ibid
4
Abū Bakar Jābir al-Jazāiri, Minhāj Al-Muslim, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004), 351.

18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

kepadanya, pelepas kesepiannya, pemenuhan terhadap insting
ingin memiliki yang ada padanya, dan tunjangan baginya untuk
berpindah menuju kehidupan rumah tangga sehingga ia merasa
memiliki sesuatu yang menggembirakan.5
c. Dalam pasal 1 sub d Kompilasi Hukum Islam (KHI), mahar
adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam.6
d. Menurut Abdurrahmān Al-Jaziri, mahar adalah benda yang wajib
diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebut
dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria dan
wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri. 7
e. Menurut Al-Malibāri, maskawin ialah sesuatu yang menjadi
wajib dengan adanya pernikahan atau persetubuhan. Sesuatu itu
dinamakan ‚sidaq‛ karena memberikan kesan bahwa pemberi
sesuatu itu betul-betul senang mengikat pernikahan, yang mana
pernikahan itu adalah pangkal terjadinya kewajiban perberian
tersebut, ‚sidaq‛ dinamakan juga dengan ‚Maskawin‛.8
f. Sayyid Bakri Al-Dimyāti menyatakan, mahar adalah harta atau
manfaat yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang
5

Abdullah Nasih ‘Ulwān, Pengantin Islam: Adab Meminang dan Walimah Menurut Al-Qur’an
dan al-Sunnah, terj. Aunur Rafiq Shaleh, (Jakarta: al-Islahy Press, 1983),69.
6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), 113.
7
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘alā al-Mudhāhib al-Arba’ah, Juz IV, (Bairut: Dar al-Fikr,
1972), 76.
8
Al-Imam Zain Al-Din Al-Malibari, Fath Al-Mu’in, (Semarang: Toha Putera,1991), 88.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

wanita dengan sebab nikah atau watha. Mahar itu sunah
disebutkan jumlah atau bentuk barangnya dalam akad nikah. Apa
saja barang yang ada nilai (harganya) sah untuk dijadikan
mahar.9
g. Menurut Imam Taqi Al-Din, mahar (sadaq) ialah sebutan bagi
yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab
nikah atau bersetubuh (Wat’i). Di dalam Al-Quran maskawin
disebut: sadaq, nihlah, faridah dan ajr. Sadaq (maskawin) berasal
dari kata sadq artinya sangat keras karena pengantinnya
(bayarannya) sangat mengikat sebab maskawin tidak dapat gugur
dengan rela-merelakan (tarādi).10
Di dalam Al-Quran terdapat empat (4) makna kata untuk mahar,
yakni:
a. ‫ صدقبث‬bentuk jamak dari ‫ صدق‬yang terambil dari akar kata yang
berarti ‚kebenaran‛. Ini karena maskawin itu didahului oleh janji
sehingga pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji.11
Sebagaimana tercantum di dalam Al-Quran surat Al-Nisā’ ayat 4
disebutkan:
            

 

9

Sayyid Abū Bakar Shata al-Dimyāti, I’anah al-Tālibin, Juz III, (Cairo: Mustafa
Muhammad,t.t.), 346.
10
Taqi al-Din, Kifāyah al-Akhyār, Juz 2, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,1990), 60.
11
M.Quraish, Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Cet. 5,
(Jakarta: Lentera Hati, 2011), 415.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

Artinya

: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan.12

b. )‫ (نحل ة‬kata ini berarti pemberian yang tulus tanpa mengharapkan
sedikit pun imbalan. Ia juga dapat berarti agama, pandangan
hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti
kebenaran dan ketulusan hati sang suami, yang diberikannya
tanpa mengharap imbalan, bahkan diberikannya karena didorong
oleh tuntutan agama atau pandangan hidupnya.13 Kata ini
terdapat dalam surat yang sama sebagaimana di atas, yaitu:
            

   

Artinya

: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan.14

c. )‫ (فريض ة‬yang mempunyai bentuk jamak ‫ فرائض‬artinya segala
sesuatu yang diharuskan atau ditetapkan. Dalam Al-Quran surat
Al-Baqarah 236 disebutkan:
             
Artinya

12

: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. 15

Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Quran, Yaqut Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1 s/d

30, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2006), 61.
13

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., 416.
Ibid.
15
Ibid., 30.

14

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

d. )‫ (اجور‬yang mempunyai bentuk jamak )‫ (اجر‬yang berarti sebagai
imbalan, bahwa mahar adalah merupakan imbalan yang mesti
ditunaikan bagi seorang calon suami. Sebagaimana disebutkan
dalam Al-Quran surat Al-Nisā’ ayat 24:
      
Artinya

: Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban.16

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa mahar adalah harta pemberian wajib dari suami kepada istri,
dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu oleh
suami, suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila
diberikan oleh istri dengan sukarela.
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita dengan jumlah bentuk dan jenis yang sudah
disepakati kedua belah pihak. Apabila sudah disepakati bentuk,
jumlah dan jenisnya maka dengan sendirinya mahar tersebut
mengikat kedua belah pihak. Besar dan bentuk mahar senantiasa
hendaknya berpedoman atas kesederhanaan tidak berlebih-lebihan
tidak adanya unsur menyulitkan sebagaimana inti dari ajaran agama
Islam, besar dan bentuk mahar itu sebaiknya tidak sampai
memberatkan calon mempelai pria.

16

Ibid., 65.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

2.

Dasar Hukum Mahar
Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri atas dasar
hukum yang diambil dari Al-Quran dan Al-Sunnah. Di dalam Al-Quran
surat Al-Nisā’ ayat 4, Allah SWT berfirman:
             
 
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya.17
Ayat diatas menyebutkan ‚Mahar‛ dengan istilah ‚ Sadaq‛ yang
dimaknakan sebagai pemberian yang penuh keikhlasan. Dalam surat AlNisā’ ayat 25, Allah SWT, berfirman sebagai berikut:
......     ......
Artinya : Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,
dan berilah maskawin mereka menurut yang patut.18
Dalam ayat diatas digunakan istilah ajrun atau ujūrahun. Istilah
tersebut yang makna asalnya upah, dalam konteks ayat itu bermakna
mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak
dinikahi, yang di samping harus atas izin orang tuanya, juga harus
dibayar maharnya. Dengan demikian, dalam konteks hak atas mahar,
tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan perempuan

17
18

Ibid., 61.
Ibid., 65.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

merdeka, Islam telah melakukannya secara adil, terutama dalam upaya
membebaskan kaum perempuan dari ketindasan sosial budaya.
Demikian pula, dalam surat Al-Nisā’ ayat 20-21, Allah SWT
berfirman:


         ......

         



Artinya : Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?. Dan bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
Perjanjian yang kuat.19
Dalam surat Al-Baqarah ayat 237 disebutkan:
            

            
            

Artinya : Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteriisterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih
dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan
keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
melihat segala apa yang kamu kerjakan.20

19
20

Ibid., 64.
Ibid., 30.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

Demikian pula, surat Al-Nisā’ ayat 34 yang menyebutkan sebagai
berikut:
           
......  

Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.21
Ayat-ayat Al-Quran yang telah dikemukakan di atas merupakan
dalil kepada kaum laki-laki yang hendak menikahi perempuan untuk
memberikan mahar dengan ikhlas agar hak perempuan sejak awal telah
ditegakkan.
Dasar hukum kedua adalah hadist, sebagaimana hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
ْ ‫ عنْ س‬,‫ ح َدثنا وكيْع‬:‫ح َدثنايحْي‬
‫ أنَ ال َنبي‬: ‫ عنْ س هلبْنسعْ د‬,‫ عنْ أبي حازمبن دينار‬,‫فيان‬
ْ ‫صلَي َل عل‬
.‫تز َوجْ ول ْوبخاتم منْ حديْد‬:‫ي ه وسلَمقاللرجل‬
Artinya : Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari Sufyān
dari Abi Hāzim bin Dinār dari Sahal bin Sa’id bahwa Nabi
berkata: Hendaklah seseorang menikah meskipun (hanya
dengan mahar) sebuah cincin yang terbuat dari besi. 22
3.

Bentuk dan Syarat Mahar
Mengenai bentuk mahar Imam Syafi’i berkata: segala sesuatu yang
dapat diperjualbelikan atau disewakan dengan harga tertentu boleh
dijadikan sebagai mahar, sedangkan yang tidak boleh dijual dan

21

Ibid., 66.
Al-Imam Al-Hāfiz Abi Abdillah Muhammad bin Ismā’il Al-Bukhāri, Sahih Al-Bukhāri,
(Amman: Bait Al-Afkār Al-Dauliyyah, t.t.), 601.
22

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

disewakan, maka tidak dapat dijadikan mahar. Tidak dapat dijadikan
mahar kecuali sesuatu yang diketahui benda dan ukurannya. Boleh pula
dijadikan mahar suatu benda yang dapat dijual tunai atau tidak, sama
saja apakah jumlahnyaa sedikit atau banyak. Diperbolehkan menikahi
wa