Tinjauan hukum Islam terhadap perkawinan teleconference

(1)

Oleh :

DEDE YUSIPA

NIM : 103044128068

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI

AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: Dede Yusipa

NIM : 103044128068

Di Bawah Bimbingan

&e

Prof. Dr. Hasanuddin. AF. MA NIP. 1500s0917

KONSENTRA

SI PERADILAN

AGAMA

PROGRAM

STUDI

AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH

DAN

HUKUM

UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Universitas Islam Negeri

ruf$

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal

3l

Maret20lL Skripsi

ini

telah diterima sebagai salah sahr syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi Ahwal al-Syakhsiyyah.

Jakarta, 04 egustus 2011 Mengesahkan

-<<'D€kan F

/

yariah dan Hukum

NIP: 1955'0505 1982 0310 12

PANITIA UJIAN

Ketua

: Drs.H.A.BasiqDjalil. SH. MA NIP : 19500306197 603 1001

l-y----

-...4....

...) Sekretaris

: Hj..Rosdiana" MA

NIP : I 96906102003 122001

+

,,d'

Pembimbing

: Prof. Dr. Hasanuddin.AF MA NIP : 150050917

Penguji

I

: H. Jasir. SH. MH

NIP : I 94407 09196604 1 001 Penguji

II

: Hj. Rosdiana. MA

NIP : 196906102003 122001

(,


(4)

ii

KATA PENGANTAR

ميحّرلا نمحّرلا ها مسب

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan

berupa Ilmu kepada kita sebagai hamba-Nya, sehingga dengan ilmu itu kita bisa

membedakan kebaikan dan keburukan di atas bumi ini. Dan patutlah kalimat

Alhamdulillahi Rabbi Al-‘Alamin yang pertama kali terucap oleh penulis karena penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga

senantiasa dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, para

sahabatnya serta para pengikutnya dan mudah-mudahan kita termasuk di

dalamnya.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang

penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan dengan

inayah-Nya serta kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan

bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, segala

kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini

dapat diselesaikan.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya-lah pada kesempatan kali ini penulis

ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin

Suma, SH, MA., MM

2. Prof. Dr. Hasanuddin, AF, MA, sebagai dosen pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam


(5)

iii

3. Ketua Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Drs. H. A. Basiq Djalil,

SH.,MA

4. Sekretaris Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Hj. Rosdiana. MA

5. Kepala unit perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis

untuk mengadakan studi kepustakaan sehingga selesainya skripsi ini.

6. Ayahanda Drs. Wildan A. Yus dan Ibunda Hj. Fatimah Nurlaelis yang

senantiasa memberikan motivasi, arahan serta doa yang tiada

henti-hentinya dan bantuan moril maupun materiil.

7. Teman-teman diskusi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2003 Mudah-mudahan jalinan

persahabatan kita tak terhenti sampai di sini dan bisa terjalin sampai kapan

pun dan di manapun kita berada.

8. Muhammad Yusuf Daulay, Andreansyah Syafi’i, Firman Assalamsyah sebagai sahabat pertama yang membantu penulis dalam berbagai

permasalahan, dan banyak lagi yang lainnya yang tidak bisa penulis

sebutkan satu-persatu.

9. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada

adinda Heryani Arman, yang telah memberikan motivasi kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuanya,

Semoga Allah membalas kebaikannya.

Semoga amal baik semua dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang


(6)

iv

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, bagi

penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi

ini.

Jakarta, 1 Maret 2011


(7)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...

B. Batasan dan Perumusan Masalah ...

C. Maksud dan Tujuan Penelitian ...

D. Kegunaan Penelitian……….………

E. Kerangka Pemikiran……….

F. Metode Penelitian………

G. Sistematika Penulisan Skripsi... 1

5

5

6

6

9

12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang…... B. Perkawinan Menurut Fiqih……….………..

14

31

BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH

A. Telekomunikasi Dan Perkembangannya…………... B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia… C. Perkawinan Teleconference Di Indonesia…...

51

56


(8)

vi

BAB IV HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE

A. Pengaturan Perkawinan Teleconference…..……… B. Prosedur Perkawinan Teleconference….………. C. Kendala-kendala Perkawinan Media Teleconference…..…………

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………..

B. Saran ………

DAFTAR PUSTAKA ...

68

78

85

88

90


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna diciptakan oleh Tuhan

Yang Maha Esa, yang dikaruniai akal dan pikiran, kesempurnaan untuk berjalan

serta kemampuan berkomunikasi dan berbicara yang membedakan manusia

dengan mahluk lain yang ada di muka bumi ini.

Bertambahnya jumlah populasi manusia di muka bumi menyebabkan

tersebarnya manusia ke berbagai tempat yang dipisahkan oleh jarak, sedangkan

manusia itu sendiri merupakan mahluk sosial yang membutuhkan manusia lain di

sekitarnya, yang dalam persepsi sosiologis diartikan sebagai mahluk yang tidak

dapat hidup sendiri, oleh karena setiap manusia (secara individual) masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan individu lain, untuk dapat

saling menutupi kekurangannya, sehingga timbul suatu motivasi agar sesama

manusia itu dapat saling mencintai antar sesamanya tanpa mempermasalahkan

perbedaan warna kulit, ras, etnis ataupun perbedaan fisik, dengan proporsi yang

seimbang dalam arti adanya penyeimbangan antara cinta pada diri sendiri dengan

cinta pada sesama manusia lain dengan membatasi penunjukan rasa cinta mereka.1

Rasa saling membutuhkan antar sesama manusia di ajarkan dalam agama

Islam, bahwa setiap manusia itu diciptakan hidup berpasangan, guna melengkapi

kekurangan dan membagi kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing individu.

1

M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar , Suatu Pengantar. PT. Eesco, Bandung. 1995. Hlm. 51


(10)

Setiap individu telah di gariskan takdirnya pasti mendapatkan pasangan hidup

masing-masing, akan tetapi tidak dengan jalan yang melanggar norma-norma

yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

maupun norma hukum, melainkan dengan melangsungkan perkawinan sebagai

suatu ibadah.

Agama Islam memberikan suatu himbauan bagi semua manusia pada

umumnya dan umat Islam pada Khususnya, jika telah berkemampuan secara

jasmani maupun rohani serta lahir maupun batin, untuk melangsungkan

perkawinan sebagai jalan yang terbaik dalam membina suatu hubungan yang sah

dari adanya pergaulan hidup antar manusia, yang semakin menunjukkan adanya

kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam pergaulan antara pria dan wanita,

walaupun pada masyarakat Indonesia itu yang adat istiadat sangat menjunjung

tinggi kesopanan dan kesusilaan dalam pergaulan hidup. Pengaruh globalisasi dan

keterbukaan informasi yang mengakibatkan masuknya nilai-nilai budaya barat

(yang sifatnya lebih objektif dengan penekanan kepada masalah rasio, berbeda

dengan budaya timur yang sangat menjunjung perasaan atau intuisi yang lebih

menekankan inti kepribadian pada hati)2, ke dalam beberapa sendi kehidupan masyarakat Indonesia yang sedikit demi sedikit mengubah pola tatanan ketimuran

mengenai pentingnya makna dari suatu perkawinan.

Perkawinan, menurut pandangan masyarakat adat di Indonesia, merupakan

tahapan akhir atau stage along the life circle dalam rangkaian hidup seorang

manusia dan bersifat sangat sakral, sehingga dalam pelaksanannnya harus dilalui

2


(11)

dengan tahapan-tahapan upacara pelepasan status atau sering disebut Rites de

Passage, hal ini tidak lain karena hakekat perkawinan sebagai penyatuan dua

keluarga besar, yang bertujuan untuk3 :

1. melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib – teratur ;

2. melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya.

3.meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk dalam persekutuan

tersebut.

Banyaknya tata cara dan atau aturan yang harus dilalui untuk mencapai

sahnya suatu perkawinan, menimbulkan pemikiran untuk menyederhanakan dan

membuat praktis. Keinginan kuat penyederhanaan sahnya perkawinan ini semakin

terwujud, dengan adanya perubahan sahnya perkawinan secara adat menjadi

secara agama. Sahnya suatu perkawinan secara agama semakin diperkuat dengan

keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, terutama Pasal 2 ayat (1) yang

berbunyi sebagai berikut :

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan (UU perkawinan) ini, maka suatu perkawinan itu

tidak akan ada, jika dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah dilakukan

perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), segera dilanjutkan dengan

pencatatan perkawinan tidak hanya sebagai suatu bentuk tata tertib administrasi,

3


(12)

akan tetapi adanya pencatatan perkawinan ini membuktikan telah dilaksanakan

atau belum perbuatan hukum perkawinan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal

2 ayat (1) tersebut di atas. Oleh karena itulah, pencatatan perkawinan sesuai

ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU perkawinan ini, sangat penting kedudukannya

dalam hal terjadinya akibat hukum dari adanya perbuatan hukum perkawinan

tersebut.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut, maka timbul

suatu hal yang menarik dalam masyarakat mengenai perkawinan dengan

memanfaatkan teknologi telekomunikasi khususnya media teleconference, suatu

hal yang dulu dirasakan tidak mungkin terjadi, akan tetapi pada saat ini telah

dapat dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari semakin canggih dan berkembangnya

sarana teknologi telekomunikasi.

Fenomena menarik berkaitan dengan pemanfaatan media teleconference

dalam suatu perkawinan menimbulkan suatu kajian baru berkaitan dengan sah

atau tidaknya perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh, yang mendorong

penulis melakukan penelitian mengenai : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Teleconference


(13)

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu

meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan

dalam penulisan skripsi ini hanya berkisar pada “Hukum Perkawinan

Teleconference”. 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang penelitian tersebut maka dapat

dimunculkan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana status hukum bagi pernikahan Teleconference?

2. Bagaimanakah prosedur perkawinan yang dilakukan melalui media

teleconference?

3. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaan perkawinan

melalui media teleconference?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang bagaimana

Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang

perkawinan teleconference. Adapun tujuan dapat dirinci sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejauh mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan mengatur tentang perkawinan khususnya mengenai perkawinan

melalui media teleconference.


(14)

media teleconference secara hukum.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dan bagaimana solusinya

dalam menangani kendala-kendala tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi

pihak-pihak yang berkepentingan, baik secara :

1. Teoritis

Yaitu dalam rangka pengembangan llmu Hukum Perdata pada umumnya

dan Hukum Perkawinan pada khususnya

2. Praktis

a. Memberikan suatu masukan bagi instansi yang terkait dalam bidang

perkawinan dan juga masyarakat.

b. Memberikan suatu alternatif atau terobosan baru dalam pelaksanaan

proses perkawinan melalui media perantara.

c. Penelitian ini dapat berguna untuk bahan rujukan atau acuan untuk

penelitian yang diadakan berikutnya.

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan adanya perkawinan melalui

pemanfaatan media teleconference, berlandaskan pada teori atau pemikiran yang


(15)

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing

masing agamanya dan kepercayaannya itu

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan

yang berlaku.”

Selain kedua pasal di atas, landasan pemikiran lainnya adalah Pasal 10

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 19754, khususnya pada ayat (3), yang

berbunyi:

“Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai

pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan serta

Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan tatacara

perkawinan tidak menentukan dengan cara bagaimanakah perkawinan itu harus dilangsungkan, karena tidak adanya ketentuan mengenai cara berlangsungnya suatu proses perkawinan, maka akan dapat dimunculkan dua

penafsiran, yaitu apakah perkawinan harus dilangsungkan dengan

mempertemukan kedua mempelai atau sebaliknya, bahwa proses perkawinan

dapat dilangsungkan tanpa perlu kedua mempelai bertemu langsung.

Untuk menjawab dua penafsiran di atas, jika mengacu pada ketentuan

pasal tersebut, hanya akan mendapat jawaban yang sama. Hal ini tidak lain,

karena Pasal 2 ayat (1) yang menentukan sahnya perkawinan hanya memberikan

4


(16)

arahan bahwa sahnya perkawinan itu kembali pada ketentuan hukum agama dan

kepercayaannya yang dianut oleh ara pihak yang bersangkutan, sedangkan

ketentuan Pasal 2 ayat (2) hanya merupakan ketentuan mengenai ketertiban

administrasi saja. Begitu pula halnya Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 hanya

menyatakan tatacara perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan

dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian, karena masalah sahnya

perkawinan itu kembali pada hukum agama, dapat dilihat pada agama islam,

memberikan persyaratan berupa adanya :

1. Calon mempelai pria dan wanita ;

2. Wali nikah ;

3. Saksi ;

4. Ijab-kabul

5. Mahar.

Keharusan mengenai ijab-kabul atau ucapan janji setia secara

berkesinambungan yang kemudian menimbulkan penafsiran, bahwa proses

perkawinan harus dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat yang tidak

terpisah oleh jarak. Namun jika dilakukan penafsiran terbalik, maka proses

perkawinan yang dilakukan dengan jarak atau di sela oleh suatu perantara tetaplah

memenuhi keempat keharusan tersebut di atas, hanya saja tidak dilakukan di satu

majelis.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa fungsi


(17)

penemuan hukum yang mengacu kepada kepentingan pencari keadilan lebih

diutamakan. Namun demikian Undang-undang tidak mengatur perkawinan

dengan tata cara melalui media teleconference, oleh karena itu terdapat

kekosongan hukum. Dalam hal kekosongan hukum yang demikian Mahkamah

Agung berpendapat :

“Bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut diatas dibiarkan tidak

terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut

berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan

bermasyarakat maupun beragama yang berupa

penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif,

maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan

ditentukan hukumnya”.

F. Metode Penelitian

Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis

yaitu menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta apa adanya sesuai

dengan persoalan yang menjadi objek kajian penelitian5.

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan utama yang dilakukan adalah metode penelitian

5

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990 Halaman 97-98


(18)

secara Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan

sumber data sekunder yang berupa penilaian kepustakaan, penelitian

yang menekankan pada ilmu hukum, berusaha menelaah kaidah-kaidah

hukum yang berlaku dalam masyarakat dan sebagai penunjang dilakukan

metode penelitian secara Normatif6.

3. Jenis Penelitian

Berkenaan dengan pendekatan yuridis normatif yang digunakan, maka

penelitian dilakukan melalui dua jenis penelitian :

a. Penelitian Kepustakaan

Hal ini dimaksud untuk mendapat data sekunder, yaitu :

1) Bahan-bahan hukum primer, berupa Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.Bahan-bahan hukum

sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan

memahami bahan hukum primer.

2) Bahan hukum sekunder ini berupa Peraturan Presiden, dan

sumber pendukung lainnya.

3) Bahan-bahan tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, berupa kamus hukum, kamus bahasa inggris, kamus

bahasa Indonesia, surat kabar, internet.

6


(19)

b. Alat Penelitian

Alat penelitian yang dimaksud adalah dalam hal peraturan

perundang-undangan tidak jelas, maka dipakailah metode interpretasi atau

metode penafsiran. Dalam hal ini penulis memakai metode

Interpretasi Teologis dan atau dinamakan juga interpretasi sosiologis,

metode ini dipakai apabila ketentuan undang-undang yang sudah

usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau

menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang, metode ini baru

digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan

dengan pelbagai cara7.

4. Analisis Data

Dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan terhadap bahan-bahan

hukum primer (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan) dan penelitian terhadap bahan-bahan hukum sekunder (buku,

majalah, makalah, surat kabar).

5. Metode Analisis Data

Dilakukan secara Normatif Kualitatif yaitu menganalisa masalah dari

data-data yang telah dikumpulkan yang berkenaan dengan masalah yang

sedang dibahas, lalu disusun permasalahannya dan selanjutnya dianalisa,

apakah undang-undang sudah benar-benar dilaksanakan oleh penegak

hukum.

7

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta. 2004. Hlm 61


(20)

6. Lokasi Penelitian

Guna menyelesaikan skripsi ini penulis melakukan penelitian-penelitian

sebagai berikut :

a. Perpustakaan.

b. Selain itu pun penulis juga melakukan penelitian dengan

browsing internet.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan terarah, maka diperlukan

suatu sistematika dalam penulisan skripsi. Oleh karena itu dalam sekripsi ini

sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini dibahas latar belakang permasalahan, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka

konsep, metode penelitian dan tekhnik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN

Dalam bab ini dibahas tentang tinjauan umum mengenai perkawinan yang

meliputi perkawinan menurut undang-undang dan perkawinan menurut fiqih.

BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH

Bab ini menjelaskan tentang telekomunikasi dan perkembangannya,

pengaruh telekominikasi terhadap perkawinan di Indonesia dan perkawinan


(21)

BAB IV STATUS HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE

Menjelaskan tentang pengaturan perkawinan teleconference, prosedur

perkawinan teleconference dan kendala-kendala dalam perkawinan

teleconference.

BAB V PENUTUP

Mencakup kesimpulan dan saran


(22)

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan dasar

pembentukan keluarga yang sejahtera dan merupakan lembaga yang akan

menjamin halalnya pergaulan antara seorang pria dan wanita menjadi pasangan

suami dan istri, karena dapat melampiaskan seluruh rasa cinta dengan media yang

sah.1

Oleh karena pentingnya kedudukan perkawinan itu, maka pada saat

terbentuk dan diundangkannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional

yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disahkan di

Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974, memasukkan pengertian perkawinan pada

Bab I Pasal 1, yang berbunyi :

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” Berdasarkan pada pengertian perkawinan tersebut, maka perkawinan itu

mengandung unsur-unsur, yaitu :

a. Adanya landasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam membentuk

1

Abdurrahman Al-Mukaffi Pacaran Dalam Kacamata Islam, Media Dakwah, Jakarta, 1996, hal. 38


(23)

sebuah keluarga ;

b. Adanya suatu ikatan, baik lahir maupun batin ;

c. Adanya subjek pelaku, yaitu antara seorang pria dan wanita ;

d. Adanya tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan

kekal, guna mewujudkan suatu keluarga.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perkawinan tersebut dapat

dilihat dari 3 segi pandangan, yaitu :2

1. Segi agama, bahwa perkawinan itu merupakan lembaga yang suci, karena

adanya “ikatan batiniah” antara seorang pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga;

2. Segi hukum, bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian atau

merupakan “ikatan lahir” yang terjadinya hubungan hukum atau formil

nyata bagi yang mengikatkan dirinya ataupun bagi orang lain;

3. Segi sosial, bahwa dengan adanya perkawinan akan lebih mendapat

kedudukan yang dihargai oleh masyarakat daripada yang belum

melangsungkan perkawinan.

Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam

kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam

membuat pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam

masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya

dalam hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah

2


(24)

menurut:

a. Hukum Adat

Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa

perkawinan adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup

kelompoknya secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai

pelanjut garis hidup kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis

keluarga dari suatu persekutuan.3

b. Hukum positif

Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria

dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui

oleh negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian

menurut BW).4

Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang

sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung

kesamaan tersebut adalah dalam hal :

1. Subjeknya harus antara pria dan wanita,

2. Timbulnya suatu ikatan,

3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan

atau peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut,

sehingga terdapat suatu pengakuan atas ikatan yang timbul.

3

Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal 78

4

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, 1982,hal 63


(25)

Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan yang terdapat

dalam memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diresepsi oleh

undang-undang perkawinan nasional yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat

Indonesia.

2. Tujuan Perkawinan

Sehubungan dengan bunyi ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan dapat dilihat

bahwa tujuan perkawinan adalah untuk :

“...membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Berdasarkan ketentuan di atas, maka tujuan perkawinan yang dimaksudkan

dalam Pasal 1 UU Perkawinan tersebut, meliputi beberapa aspek yang

dikehendaki, yaitu :

a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu

dan anak, sehingga kehadiran anak itu menimbulkan hubungan-hubungan

hukum dengan ayah maupun dengan ibu.

b. Untuk menempatkan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri dalam

membentuk suatu rumah tangga, untuk itulah antara suami dan istri perlu dan

harus saling membantu dan melengkapi dengan maksud agar kedua belah pihak

dapat membantu dan mencapai kesejahteraan baik spirituil maupun materil.

c. Oleh karena bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka

tujuan lain yang dikehendaki adalah perkawinan yang berlangsung seumur

hidup dengan menghindari sebesar mungkin terjadinya perceraian dan


(26)

3. Sahnya Perkawinan

UU perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan secara

materiil dalam pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam pasal 2 ayat (2), maka

secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh

masyarakat Indonesia.

Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sebagai syarat materil suatu

perkawinan, menentukan bahwa :

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya

masing-masing dan kepercayaannya itu”

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan

Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku

bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan

atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan. Setelah perkawinan

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya

dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan

ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :

“Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”

Diberlakukannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional ini,

secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi


(27)

bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan

dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya

berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan.

Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh

hukum agama, yang kemudian diserap oleh undang-undang perkawinan

memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan. Walaupun dalam

kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena hukum adat sifatnya

fleksibel dan plastis sehingga mampu untuk menerima intervensi dari hukum

agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya hukum agama Islam

yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya dengan perkawinan,

sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum agama juga

telah diresepsi oleh hukum adat). Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam

hukum agama (Islam) tidak menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi

seorang pemeluk agama Islam yang juga memegang teguh hukum adatnya.

Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda

diharuskan adanya Hukum Negara yang ditetapkan oleh pihak yang berwajib

dengan syarat harus sinkron dengan hukum masing-masing agama dan

kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan :

“Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang

pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai

hubungan yang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga

perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur


(28)

keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula

merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak

dan kewajiban orangtua.”

Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum UU

Perkawinan, yang berbunyi :

“Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip

yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di

lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam

masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di

dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan

Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”

Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan seperti

yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa

sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan

kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu UU

Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum agama

yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya

persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan

kepercayaannya selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada.

Misalnya bagi penganut agama islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan

harus memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam


(29)

perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan tersebut. Sesuai yang tercantum

pada Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi

yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama di luar

agama Islam, sebagai suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib

administrasi bagi setiap perkawinan yang dilangsungkan.

Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan

menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan

tetapi akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi

permasalahan ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu 5 adanya

musyawarah antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang

diberlakukan, sesuai dengan prinsip keseimbangan yang dianut dalam UU

Perkawinan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut UU Perkawinan, suatu

perkawinan dianggap sah :6

a. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,

artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu

agama, agama calon suami atau calon istri, bukan perkawinan yang

dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau

keluarganya7 ;

b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-masing

5

Djuhaendah Hasan,Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (Menuju Ke Hukum KeluargaNasional), Armico. Bandung, 1998. Hlm. 60-62

6

Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan,

PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hlm. 23.

7

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hlm. 26-27.


(30)

agama dan kepercayaan ;

c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai

pencatat nikah.

4. Syarat Perkawinan

Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1)

dan 2 ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil

maupun formil, yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat perkawinan

yang dimaksud adalah terdiri dari :

a. Syarat Materil (Menurut UU Perkawinan)

1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1))

guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ;

2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun

sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika terdapat

penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat

lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21

tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua

orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu

menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih

ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada).

3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu

karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan


(31)

dari istri (dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau

peraturan lain yang berlaku terdapat suatu larangan.

4. Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, tidak dapat

kawin lagi kecuali karena izin Pengadilan, sesuai Pasal 9.

5. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh

ada perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan

kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10.

6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan

Pasal 11.

b. Syarat Formil

Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan

perkawinan (Pasal 12 UU Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP.

No 9/1975.

5. Tatacara Perkawinan

Sejak diberlakukannya UU Perkawinan dan juga PP No. 9/1975, maka

perkawinan diatur dengan kedua ketentuan di atas. Termasuk dalam hal yang

berkaitan dengan tatacara perkawinan.

Tatacara perkawinan merupakan syarat formil dalam perkawinan. Dalam

kaitannya dengan syarat formil dalam suatu perkawinan, maka UU Perkawinan

maupun peraturan pelaksanaanya yaitu PP No. 9/1975, mengatur mengenai


(32)

Ketentuan mengenai tatacara perkawinan dicantumkan dalam Pasal 12 UU

Perkawinan, yang berbunyi :

“Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang

-undangan tersendiri”

Sehubungan dengan ketentuan yang telah diberikan UU Perkawinan, maka

ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, dilaksanakan melalui ketentuan PP. No.

9/1975, yang tercantum dalam Pasal 10, yang berbunyi :

1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman

kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam

Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

2) .Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya.

3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum

agamnya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan

Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi

Kemudian pada Pasal 11 menyebutkan :

1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal

10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta

perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan

ketentuan yang berlaku.

2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya

ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri


(33)

ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat

secara resmi.

6. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP. No.9/1975

dan Peraturan Menteri Agama No.3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1)

No.9/1975. mengenai Pencatatan Perkawinan dari mereka yang

melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat yang

diangkat oleh menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya, sesuai

UU No. 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan

harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan dan juga setiap perkawinan

harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat

Nikah, karena apabila suatu perkawinan dilakukan di luar pengawasan Pegawai

Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan Pasal 5 dan

Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam. Maka berkaitan dengan ketentuan

undang-undang tersebut, Kementrian Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan

KUA pada tingkat Kecamatan dalam kegiatannya untuk melaksanakan

tugas-tugas sebagai Pencatat Perkawinan atau Pencatat Nikah, termasuk di dalam

tugasnya adalah Pencatatan Talak, Cerai dan Rujuk.

Bagi yang melakukan perkawinan dengan cara-cara yang ditentukan oleh

agama selain agama Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh


(34)

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU

Perkawinan, mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan. Terdapat 2

golongan sarjana hukum yang memberikan penafsiran, yaitu8 :

a. Golongan Pertama

Golongan ini lebih cenderung menafsirkan untuk memisahkan antara ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Oleh karena itulah perkawinan adalah telah sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum agama. Sedangkan pencatatan perkawinan itu hanyalah merupakan bagian dari tertib administrasi. Atau dengan kata lain suatu perkawinan yang tidak dicatatkan bukan merupakan suatu cacat atau menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah.

b. Golongan Kedua

Golongan ini cenderung memberikan penafsiran bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak hanya dipandang dari segi yuridis semata, tetapi juga harus dipandang dari segi sosiologisnya. Oleh karena itulah, menurut pendapat golongan kedua ini, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dipisahkan sedemikian rupa karena merupakan satu kesatuan.

Terlepas dari adanya perbedaan pendapat terhadap penafsiran Pasal 2

tersebut, maka perbedaan ini pada dasarnya dapat diambil jalan tengahnya dengan

melihat dari sisi bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan yang tentu saja

akan menimbulkan akibat-akibat, seperti :

1. Halalnya hubungan seksual antara seorang pria dan wanita sebagai suami

dan istri ;

2. Mahar (mas kawin) menjadi milik istri ;

3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami maupun istri ;

4. Lahirnya anak-anak yang berstatus anak yang sah ;

5. Kewajiban suami dan istri untuk memelihara dan mendidik anak;

6. Hak bapak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya ;

8

Idha Aprilyana, Keabsahan Suatu Perkawinan Melalui Pemanfaatan Media Telekomunikasi Dihubungkan Dengan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989 Tanggal 20 April 1990 Mengenai Sahnya Perkawinan Melalui Telepon,Skripsi, 1997., Hlm. 43


(35)

7. Hak saling mewarisi antara suami, istri maupun anak yang dilahirkan dari

perkawinan yang sah tersebut ;

8. Hak menjadi wali pengawas terhadap harta maupun anak-anak (kecuali

hak tersebut dicabut oleh Pengadilan), apabila salah seorang suami atau

istri meninggal dunia.

Sehubungan dengan banyaknya timbul akibat hukum dari suatu

perkawinan, maka perlu kiranya menjadi pertimbangan apabila perkawinan

tersebut tidak dicatatkan. Banyak contoh buruk akibat tidak dicatatkannya

perkawinan. Misalnya sebagai salah satu contoh kasus yang terjadi mengenai

hilangnya hak waris seorang anak dari perkawinan kedua, karena ketiadaan akta

nikah dari perkawinan ibunya (sebagai istri kedua) dan ayahnya.

Mengingat kemungkinan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti di

atas, perlu kiranya untuk menghindari dilakukan perkawinan di bawah tangan atau

perkawinan yang tidak dicatatkan yang selama ini banyak terjadi di masyarakat.

Pentingnya pencatatan perkawinan ini dapat pula dikaji kembali dengan

mendasarkan pada ketentuan agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Analogi

dari pentingnya pencatatan perkawinan ini terdapat dalam QS. Al-baqoroh :282,

yaitu tentang utang-piutang dan perjanjian dalam waktu yang lama dibutuhkan

kesaksian 2 (dua) orang saksi laki-laki yang adil dan dituliskan dengan seorang

penulis yang dipercayai. Kalimat “dituliskan” yang disebutkan dalam QS. Al Baqarah : 282 tersebut, telah menekankan pentingnya pencatatan dalam suatu


(36)

Berdasarkan pada surah Al Baqarah : 282 tersebut, dapat dilihat bahwa

dalam suatu utang-piutang dan perjanjian yang terjadi dalam hitungan waktu saja,

harus pula dicatatkan. Apalagi suatu perkawinan yang merupakan suatu perjanjian

suci atau mitsaaghan ghaliizhan dan merupakan suatu perjanjian untuk waktu

yang lama (abadi). Selain itu tidak lain bahwa fungsi dari adanya pencatatan

perkawinan dalam suatu akta atau surat nikah adalah untuk mendapatkan

kepastian hukum bagi generasi yang akan datang.

Sesuai ketentuan Bab II PP No.9/1975, rangkaian kegiatan pelaksanaan

perkawinan sampai dengan pencatatan perkawinan itu, terdiri dari beberapa

tahapan, yaitu :

a). Pemberitahuan Perkawinan

Tahap ini merupakan tahapan pemberitahuan kehendak untuk menikah

kepada Pegawai Pencatat di wilayah tempat berlangsungnya perkawinan,

yang dilakukan 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan.

Namun jangka waktu 10 (sepuluh) hari ini dapat dikecualikan karena

adanya alasan penting yang diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala

Daerah (dalam praktik langsung, persetujuan Camat tidak sering digunakan,

cukup dengan persetujuan Pegawai Pencatat bersangkutan). Pemberitahuan

ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis oleh calon mempelai,

keluarga atau wakilnya, dengan memuat identitas dan

keterangan-keterangan lainnya (misal ; calon mempelai yang sudah pernah menikah


(37)

b). Pemeriksaan oleh Pegawai Pencatat

Tahapan ini merupakan tahapan pemeriksaan terhadap syarat-syarat

perkawinan dan kemungkinan terjadinya halangan perkawinan. Selain itu

dilakukan pemeriksaan terhadap kutipan akta lahir calon mempelai,

identitas orangtua, izin tertulis dari pengadilan (apabila calon mempelai

melakukan perkawinan poligami atau karena di bawah usia 21 tahun),

surat kematian dari suami-istri terdahulu, izin Menhankam/Pangab apabila

salah seorang mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata, serta

surat kuasa otentik atau di bawah tangan apabila terjadi perkawinan

mewakilkan atau perkawinan yang tidak dihadiri oleh salah seorang calon

mempelai.

c). Pengumuman Kehendak Nikah

Pengumuman ini dilakukan setelah terpenuhi semua persyaratan serta

tidak terdapat halangan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan.

Pengumuman kehendak nikah ini dilakukan dengan cara menempelkan

surat pengumuman menurut formulir yang telah ditetapkan oleh Kantor

Pencatatan Perkawinan yang kemudian ditempatkan pada tempat yang

telah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 PP No.9/1975, maka Pengumuman ini

disertai dengan identitas calon mempelai dan orangtua calon mempelai,

serta hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.

Surat pengumuman ini tidak boleh diambil ataupun dirobek selama 10


(38)

PP No.9/1975 jo. Pasal 10 PMA No.3 Tahun 1975.

d). Pencatatan Perkawinan

Apabila semua prosedur diatas telah terpenuhi, maka pelaksanaan

perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak diumumkan

pengumuman kehendak nikah. Hal ini dilakukan untuk memberikan

kesempatan bagi pihak ketiga yang hendak mengajukan keberatan dan

memohon untuk dilakukan pencegahan perkawinan, dengan catatan

pencegahan yang hendak dilakukan harus terlebih dulu diberitahukan pada

Pegawai Pencatat. Yang nantinya memberitahukan pada para calon

mempelai dan kemudian dapat diajukan ke Pengadilan pada daerah hukum

tempat dilangsungkannya perkawinan. Sesaat setelah perkawinan yang

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama yang dianut oleh calon

mempelai dan keluarga, serta dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat dan

dihadiri dua (2) orang saksi. Maka dilakukan pencatatan perkawinan

dengan menandatangani akta perkawinan yang telah ditetapkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan, yang juga ditandatangani oleh saksi-saksi,

wali nikah dan Pegawai Pencatatnya sendiri. Setelah selesainya

keseluruhan penandatanganan, maka secara resmi pula perkawinan yang

dilangsungkan tercatat. Akta Perkawinan merupakan sebuah Daftar Besar,

yang memuat identitas pada pihak yaitu mempelai (suami dan istri), wali

nikah, orangtua mempelai (suami dan istri), saksi-saksi, wakil atau kuasa

jika perkawinan dilakukan dengan seorang kuasa serta mencantumkan pula


(39)

Menhamkan/Pangab, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 PP No.9/1975.

Akta perkawinan ini dibuat rangkap dua, yang akan dipegang oleh Kantor

Pencatatan Perkawinan dan Pengadilan yang daerah hukumnya

mewilayahi pula wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan tersebut. Bagi

suami dan istri sendiri, akan diberikan berupa salinan akta yang disebut

buku nikah. Buku nikah hanya memuat catatan yang sifatnya penting, akan

tetapi buku nikah ini juga mempunyai kekuatan pembuktian yang sifatnya

otentik bagi para pihak yang bersangkutan, oleh karena dibuat oleh

Pegawai Umum.

B.PERKAWINAN MENURUT FIQIH 1. Pengertian Nikah secara Bahasa

Para ulama' berbeda pendapat mengenai pengertian nikah secara bahasa.

Al-'A'sya' berpendapat bahwa kata )

(

bermakna ) جّ ( Al-Azhary menguatkan pendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata

)

(

adalah

)

جّ

(

Seperti dalam Firman-Nya:

...

ا ي ا ا

حكني

ا ي ا ا

ي ا اإ

ا كني

ش أ ا اإ

...

Sehingga takwil ayat tersebut menjadi seperti ini:

....

ا

ج زتي

ا ي ا ا

ي ا ا اإ ي ا ا

ا ج زتي

ي ا ا اإ

...

Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna )

ا

( yang terdapat pada ayat ini adalah )

ء ا

(

Sehingga takwilnya menjadi seperti ini:

....

ا

اطي

ا ي ا اإ

اهؤطي

ا اإ

...


(40)

Tapi menurut Al-Azhary pendapat tersebut harus dijauhi, karena setiap

ayat dalam Al-Quran yang memuat kata )

ini selalu bermakna )

ج

ا

( Seperti dalam Firman-Nya pula:

...

ا حكنأ

ى ي أا

...

Tidak ada keraguan mengenai pengertian kata )

di sini yang bermakna )

ج

ا

(

Al-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orang Arab memakai kata

)

untuk maksud )

ء ا

(

Dan sebaliknya, kata )

جّ

(

bermakna )

(

karena dengan melaksanakan akad )

جّ

(

menjadi sebab halalnya Bersenggama)

ء ا

(

Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-Jauhary. Menurut beliau,

makna )

adalah )

ء ا

(

Sedangkan makna

ع ا

dipakai apabila konteks kalimatnya memberikan qarinah kepada makna tersebut.

2. Pengertian Nikah secara Istilah

Secara istilah, pengertian nikah , ulama' berselisih paham. Berikut adalah

pendapat para Imam Madzhab tentang pengertian nikah:

a. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pengertian nikah adalah:

ا صق ع ا ي ي ع ه أ

ا

"Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan bersenangsenang dengan sengaja".

b. Lalu golongan Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai:


(41)

"Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikah atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut".

c. Kemudian golongan Malikiyah memberikan pengertian nikah sebagai:

ا ع

ى ع ع ه أ

ا

....

خ ا

"Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan bersenang-senang (dengan wanita)...dst"

d. Selanjutnya golongan Hanabilah memberikan definisi nikah sebagai:

ع س اا ع ى ع جي

أ

ا ظ ع ه

"Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna bersenang-senang/ menikmati (wanita)6".

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama' zaman

dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara

seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula

dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut

terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang timbul.9

Berbeda pula dengan ulama' mutaakhirin. Mereka mendefinisikan nikah

dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri. Selain itu, mereka

juga memasukkan unsur tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan

memperoleh keturunan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad

Abu Ishrah berikut ini:

هي ع

ي ي

ع أ ا ج ا ي شع ي ي ع

جا

9


(42)

"Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing".10

Dan pengertian yang dilontarkan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin berikut ini:.

ايإا شع ا ع س ا ا ا ج ي جا إا ه صعي ع

"Nikah adalah akad yang bertujuan untuk mengumpulkan/ menjodohkan antara laki-laki dan wanita untuk saling menikmati, membangun keluarga dan memperoleh keturunan".11

3. Nash-nash Pensyari’atan perkawinan

Ulama' bersepakat tentang pensyariatan perkawinan dalam Islam. Berikut

ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-Hadits yang memiliki kandungan

syariat perkawinan dalam Islam:

฀฀  ฀                                  

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya, kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)

                                                     

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,

10

Ibid Djamaan Nuur, hlm 4

11


(43)

atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa':3)

                                

“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki danhamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur:32)

ء ج ه هئ ف ص هي عف عط سي

ج ي ف ء ا

ع ط سا ش ا شع ي

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sanggup untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak sanggup maka

berpuasalah, karena (puasa) itu (adalah sebagai) penahan baginya”.

(HR.Bukhary No. 4778)

...

ي سي ف ي س ع غ ف ء س ا ج أ صا أ ى صأ ي

“Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi

wanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk

umatku.”(HR. Muslim No. 1401)

أا ث ي إف

ا

ا ا ج

“Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan menjadi

umat yang paling banyak dengan kalian.” (HR. Abu Daud No. 2050)

4.Rukun Perakawinan

Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua

hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud. Hal yang

pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau orang yang


(44)

calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan Hanafy.12 Kedua

hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan terdiri dari

tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak, yaitu ijab

dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak adalah

keterikatan antara ijab dan qabul.

Sebelum memaparkan rukun perkawinan, perlu diberikan arti dari rukun

itu sendiri. Pengertian rukun adalah: “Sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud

kecuali dengannya”.13

Kemudian, berikut ini adalah berbagai pendapat mengenai rukun perkawinan :

a. Menurut Madzhab Maliki

Menurut madzhab Maliki, rukun perkawinan terdiri dari lima perkara, yaitu:

 Wali si perempuan. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah tanpa wali.

As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada dalam sebuah perkawinan. Tapi penyebutannya tidak disyaratkan ketika

dilangsungkannya akad.

 Calon suami.

 Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah.

Sighat, yaitu kalimat ijab qabul. Jadi, sebuah akad perkawinan haruslah terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku akad); yakni calon suami dan wali si

perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang diakadkan); yakni si perempuan dan

mahar -walaupun tidak mengapa apabila tidak disebutkan, karena mahar

12

Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4 hal. 11

13


(45)

adalah sebuah kelaziman sebuah perkawinan dan yang terakhir adalah

sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad sebuah perkawinan

diwujudkan menurut syariat Islam. Ada pula dijumpai pendapat yang

menyatakan bahwa shadaq (mahar) tidak termasuk rukun, juga tidak

termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah tanpa keberadaannya.14

b. Menurut Madzhab Syafi'i

Sedangkan menurut kalangan Syafi'iyah, mereka berpendapat bahwa rukun

perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan

sighat. Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat, bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari

hakikat akad.15

5. Syarat Perkawinan

Perkawinan mempunyai syarat-syarat tertentu. Kadangkala keberadaan

syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang

sebagian madzhab memasukkannya sebagai syarat. Penjelasan lebih lanjut akan

dipaparkan berikut ini:

a. Menurut Madzhab Hanafi

Menurut kalangan Hanafiyah, perkawinan mempunyai syarat-syarat yang

14

Ibid Al-Jaziri hal 11

15


(46)

terkait dengan tiga hal, yakni sighat, pelaku akad dan saksi.

1. Syarat Sighat Akad

Menurut madzhab Hanafy, nikah dianggap sah bila sighat akad

memenuhi kriteria sebagai berikut:

Memakai lafadz khusus, baik sharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata

kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah

kata )

جي

(

Atau )

Sedangkan apabila memakai lafadz kinayah, maka disyaratkan lafadz tersebut terucap dibarengi niat dan maksud untuk

menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula

para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat

macam dan jenis kinayah:

 Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu kata-kata

)

ع ا

(

)

ق ص

(

ي ا

(

dan )

ع

 Lafadz kinayah dengan perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu kata-kata )

ءا ش ا

(

dan )

عي ا

(

 Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata- kata

)

يص ا

(

dan )

ي إا

(

 Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu katakata )

ا إا

(

),

ه ا

(

),

ع ا

(

),

قإا

(

),

ع ا

(

,)

عإا

(

dan

(

إا

)

Lalu syarat sighat selanjutnya adalah


(47)

perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali

mengucapkan akad, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan

mahar 1000 dirham”, lalu si calon suami menjawab, “Aku terima

nikahnya, dan aku tidak menerima mahar sejumlah itu”, maka akad seperti ini tidak sah.

Sighat akad harus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. Harus ada kepastian bahwa kedua pihak pelaku akad mendengar lafadz

masing-masing secara hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau

secara tertulis (bila si pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad

tertulis dapat menjadi ganti lafadz yang diucapkan/ dibunyikan.

Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki mengucapkan, aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si

perempuan menjawab, aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini

adalah nikah mut'ah.

2. Syarat untuk Pelaku Akad

 Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil.

Baligh dan merdeka.

 Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan melakukan akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak

dalam keadaaniddah, tidak berstatus sebagai istri orang.

 Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang bapak mempunyai dua putri, lalu ia menikahkan salah satu putrinya


(48)

salah satu nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya

yang belum menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai

putri bernama Fatimah, tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut

dengan nama Aisyah, maka akad tidak sah.

 Menyandarkan sighat kepada kata perempuan atau bagian tubuh yang mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka

tidak sah. Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat “Aku nikahkan

engkau dengan tangan anakku”, maka akadnya tidak sah.

3. Syarat untuk Saksi

 Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. Tidak disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki

disertai dua perempuan. Hal ini karena sebuah perkawinan tidak sah

bila disaksikan dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada

seorang laki-laki yang menyertai dua perempuan itu.Tidak disyaratkan

saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksisedang ihram.  Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal,

baligh, merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan

kesaksian orang gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah

pula bila disaksikan kafir dzimmy, kecuali saksi kafir dzimmy tersebut

perempuan, maka tidak mengapa selama ada saksi laki-laki yang

muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah, baik dua saksi kafir dzimmy

tersebut mempunyai agama yang sama atau berbeda. Akad boleh


(49)

menuduh atau berzina.Akad nikah seorang perempuan boleh

disaksikan oleh dua anak kandungnya. Dan dengan dikiaskan dengan

hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan hubungan ke atas anak

(bapak/kakek) dan ke bawah (cucu). Perlu diketahui bahwa saksi

dihadirkan untuk menyaksikan dua hal yaitu keberadaan akad dan hal

isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian dapat dilakukan

oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. Tapi kesaksian

untuk pengisbatan nikah tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang

tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila

seorang laki-laki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil

yang melakukan akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi

(saksi isbat akad), dan si wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi

pula (saksi keberadaan akad), maka akad semacam ini sah.

 Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka kesaksian orang tidur tidak sah. Akad juga sah bila disaksikan orang

bisu selama mereka mendengar dan paham. Tidak disyaratkan bagi

para saksi tersebut untuk paham lafadz akad secara khusus, selama

mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar adalah lafadz

yang dimaksudkan untuk akad.

 Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab), selama mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang

mabuk atas sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia


(50)

Khiyar dalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah walau ada perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan

mempunyai sifat yang sama seperti perceraian dan memerdekakan

budak, tidak membutuhkan kerelaan dan kesungguh-sungguhan. Jadi

akad dianggap sah walau dilakukan dengan bercanda.16

b. Menurut Madzhab Syafi'i

Menurut kalangan Syafi'iyah, syarat-syarat perkawinan terkait dengan

empat hal, yakni sighat, wali, kedua mempelai dan saksi-saksi.

1. Syarat untuk Sighat

Syarat untuk sighat ada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli,

diantaranya adalah:

 Tidak bergantung dengan syarat lain. Misal: sighat akad “Aku

nikahkan kamu dengan putriku bila kamu memberiku rumah”, maka akad semacam ini tidak sah.

 Tidak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad “Aku nikahi

kamusekian bulan”, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam nikah mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum

dalam hadits muttafaq alaihi.

 Tambahan syarat yang membedakan sighat jual beli dengan sighat

akad nikah yakni keharusan pemakaian lafadz )

جي

( atau )

ا

(

16


(51)

Seperti dalam sighat berikut: )

ي

أ

(

dan )

ي ا ج

(

Tapi pemakaian dua lafadz tersebut tidak boleh dalam bentuk mudhari'

(kata kerja sedang/akan), karena mengandung unsur janji di dalamnya.

Hal ini seperti yang terdapat dalam sighat berikut: )

ي ا ج

(

Tapi bila kata tersebut ditambah keterangan waktu semisal

ي ا ج

(

آا

) maka boleh. Boleh pula jika memakai bentuk isim fail (kata ganti subyek) disertai kata taukid (peneguhan) semisal: )

ي ا ج

ي إ

( Karena hakikat isim fail pada kalimat ini tidak mengandung unsur

janji.

 Sah berakad dengan bahasa asing, walaupun saksi mengerti bahasa Arab, dengan syarat selama para saksi paham maknanya.

Sighat tidak boleh menggunakan kalimat-kalimat seperti yang tertera berikut ini )

ه يا

(

. ,)

ه

(

), ع( ,)

ي يا

(ا dan semisalnya.

 Kemudian karena semua kalimat Allah yang dijumpai dalam Al-Quran hanyalah kata )

ا

( Atau )

جي

(

maka tidak dibenarkan mengkiaskannya dengan kata lain, dan tidak pula dengan kinayah.

Sebab kinayah membutuhkan niat, sedangkan niat adalah hal yang

abstrak.

 Untuk kalimat qabul, maka haruslah dengan ucapan

هجا هيف يق

(

أ

) atau

)

ه ي أ

(

,

)

يض

(

dan )

ه أ

( Tapi bila yang diucapkan qabiltu saja lalu diam, maka tidak sah. Qabul boleh


(52)

didahulukan dari ijab.

2. Syarat untuk Wali

 Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci.

 Laki-laki. Tidak sah bila perempuan ataupun khunsa (berkelamin ganda).

 Mahram si perempuan.

 Baligh.

 Berakal, tidak gila.

 Adil, tidak fasik.

 Tidak mahjur (terhalang wali lain).

 Tidak buta.

 Tidak berbeda agama.

 Merdeka, bukan budak.

3. Syarat untuk Kedua Mempelai

Syarat untuk suami, adalah:

 Bukan mahram si perempuan. Tidak sah bila berhubungan darah, semenda ataupun susuan dengan si calon istri.

 Orang yang dikehendaki.

Mu'ayyin (nampak), dalam arti identitas jelas. Syarat untuk istri, adalah:

 Bukan mahram si laki-laki.

 Terbebas dari halangan nikah, semisal: sedang iddah atau berstatus istri orang.


(53)

4. Syarat untuk Saksi-Saksi

 Berjumlah dua, bukan budak, bukan perempuan dan bukan orang fasik.

 Wali tidak bisa merangkap sebagai saksi walaupun ia memenuhi kualifikasi sebagai saksi. Ini berlawanan dengan pendapat kalangan

Hanafiyah.

 Disunnahkan saksi dalam keadaan rela dan tidak terpaksa, sehingga tidak ada pengingkaran atas akad yang terjadi.17

c. Menurut Madzhab Hambali

Sedang menurut kalangan Hanabilah, perkawinan mempunyai lima syarat,

yakni:

1. Syarat pertama: Ta'yiin (tertentu/pasti). Untuk syarat pertama ini, berikut

penjelasan yang menyertainya:

Misal: sighat akad sah bila memakai kalimat )

اف ي يا ج

(. Namun bila memakai kalimat )

ي ا ج

(

padahal si wali mempunyai lebih dari satu putri, maka tidak sah. Penyebutan sifat atau nama untuk membedakan calon

suami atau istri adalah sebuah keharusan untuk mencapai keabsahan akad.

Untuk kalimat ijab, madzhab ini sepakat dengan pendapat Syafi'iyah, tapi

untuk kalimat qabul cukup dengan kata

(

يض

). Tidak disyaratkan melengkapi kalimat qabul seperti pendapat Syafi'iyah. Dan bertentangan

dengan Syafi'iyah, qabul tidak boleh mendahului ijab. Disyaratkan

kesinambungan dalam ijab qabul. Bila terputus dan terpisah maka akad tidak

17


(54)

sah. Tidak diwajibkan menggunakan bahasa Arab selama bahasa yang dipakai

dimaksudkan untuk makna ijab dan qabul. Dan tidak boleh menyampaikannya

dengan isyarat, kecuali bagi orang bisu, dan isyarat yang disampaikan dapat

dipahami.

2. Syarat kedua: Ada kemauan dan kerelaan dari kedua pihak.

3. Syarat ketiga: Syarat khusus bagi wali, yaitu: laki-laki, sehat akal, baligh,

merdeka, beragama sama, lurus beragama dan paham atas akad tersebut.

4. Syarat keempat: Syarat khusus bagi saksi, yaitu: berjumlah dua orang, lakilaki,

baligh, sehat akal, adil (walau dzahirnya saja), tidak mesti merdeka (boleh

budak), mampu berbicara, muslim, mampu mendengar (tidak boleh orang tuli,

kafir), bukan dari keluarga bergaris keturunan ke atas dan ke bawah, tidak

harus mempunyai penglihatan.

5. Syarat kelima: Tidak ada halangan syar'i antara si laki-laki dan si perempuan

dalam melangsungkan perkawinan.18

d.Menurut Madzhab Maliki

Menurut kalangan Malikiyah, setiap rukun nikah mempunyai syarat-syarat

tersendiri, seperti yang terpapar berikut ini:

1. Syarat untuk Sighat

 Menggunakan lafadz khusus, misal: )

ي

أ

(

dan )

ف ي ج

(

 Qabul tidak mesti dengan lafadz khusus, semisal kalimat-kalimat berikut

18


(55)

ini:

)

ق

), (

يض

), (

)

dan (

 Tidak disyaratkan berucap qabul dengan )

جا أ

ق

(berlawanan dengan pendapat Syafi'iyah terdahulu.

 Selain menggunakan kata

(

جي

ا

)

dan

(

ا

)

maka akad tidak sah. Perkecualian untuk kata ) (ا boleh dengan disyaratkan penyebutan

shadaq (mahar) seperti dalam kalimat )

ا ص ى ا ه

(

 Adapun bila menggunakan kata lain yang berarti memindahkan kepemilikan semisal )

ا أ

(

),

ي طعأ

(

),

ق ص

(

),

(

,)

ع

(

dan )

(

dengan disertai penyebutan mahar, maka hal ini masih diperselisihkan. Tapi pendapat yang rajih adalah akad tidak sah. Bila

kata-kata di atas tidak disertai penyebutan mahar, maka tidak ada perselisihan

tentang kebatilan akad tersebut.

 Disyaratkan ijab qabul harus berkesinambungan dan segera. Bila terpisah antara ijab dan qabul namun hanya sebentar maka tidak mengapa. Semisal

semisal terpisah dengan khutbah pendek.

 Kemudian akad tidak boleh tertentu batasan waktunya, dan bila terjadi, maka nikah termasuk nikah mut'ah yang telah diharamkan

pelaksanaannya.

 Tidak mengandung syarat yang menyalahi akad seperti pendapat

Syafi'iyah.

2. Syarat untuk Wali  Laki-laki


(56)

 Sehat akal

 Baligh

 Tidak dalam keadaan ihram

 Beragama Islam

 Tidak bodoh (bila ternyata bodoh tapi mempunyai penglihatan, maka kebodohannya tidak membatalkan hak perwaliannya).

 Tidak fasik

 Mempunyai hak paksa atas perempuan yang berada dalam perwaliannya.

3. Syarat untuk Mahar

 Mahar adalah barang yang berhak dimiliki secara syar'i. Misal: Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah khamr, atau bangkai.

 Mahar adalah barang yang dibolehkan diperjualbelikan menurut syar'i. Misal: Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah seekor anjing.

 Bila akad terjadi dengan dua jenis mahar tersebut di atas, maka perkawinan wajib di fasakh (batal) sebelum hubungan intim terjadi. Bila

hubungan intim terlanjur terjadi, maka si suami wajib memberikan mahar

mistly (mas kawin yang umum di kalangan masyarakat).

4. Syarat untuk Saksi

Sunnah menghadirkan saksi pada saat pelaksanaan akad. Bila tidak hadir,maka tidak mengapa.

Bila pada saat akad tidak ada saksi, maka ketika dukhul wajib menghadirkan saksi. Bila dukhul terjadi tanpa saksi, maka perkawinan tersebut harus


(1)

88 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan data-data yang ditemukan di lapangan terhadap penelitian yang mengangkat permasalahan mengenai perkawinan yang dilakukan melaui media telekomunikasi (telepon dan teleconference), maka kesimpulannya adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan melalui pemanfaatan media telekomunikasi merupakan perkawinan yang sah menurut hukum islam. Sepanjang dilaksanakan sesuai ketentuan dalam perundang-undangan perkawinan (yang mengembalikan keabsahan perkawinan pada ketentuan hukum agama), maka sahnya perkawinan harus sesuai dengan ketentuan hukum agama. Berkaitan dengan disahkannya perkawinan melalui media telepon dan teleconference ini menunjukkan kefleksibelitas hukum agama (khususnya agama Islam) dalam mengatisipasi perkembangan jaman.

2. Perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan melalui media telepon dan atau teleconference adalah sah menurut hukum islam, apabila semua syarat formil dan materiil perkawinan yang diatur di dalam Undang-undang Perkawinan telah terpenuhi. Karena hal ini cukup memperhatikan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang


(2)

Perkawinan, bila telah dipenuhi persyaratan secara agama, maka sah pulalah menurut hukum positif.

3. Dalam hal melakukan perkawinan melalui teleconfrence selain pengucapan akad nikah melalui telepon juga harus adanya saksi baik yang di Indonesia maupun yang di luar Indonesia (Amerika) serta penandatangan Akta Nikah yang berdasarkan Pasal 11 dikemukakan “sesaat setelah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai, wali dan para saksi menandatangani Akta Nikah yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan”. Penandatangan inilah yang menjadi kendala karena kedudukan kedua mempelai dan saksi yang terpisah satu sama lain. Maka dalam hal ini dapat melihat kepada Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang mengatakan “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka”. Maka dapat disimpulkan penandatanganan Akta Nikah dapat dilakukan ketika kedua mempelai telah ada di Indonesia dalam jangka waktu satu tahun setelah kedua mempelai berada di wilayah Indonesia.


(3)

90

B. Saran

Menyikapi kemungkinan terjadinya perkawinan melalui media telekomunikasi di masa depan yang dapat dan mungkin banyak dilakukan oleh masyarakat, maka hal-hal yang penting untuk tetap dipahami adalah perkawinan dengan memanfaatkan media telekomunikasi harus didasari oleh alasan atau keadaan yang benar-benar dapat diterima dan memungkinkan dilaksanakan akad melalui media telekomunikasi. Tetapi tetap mematuhi peraturan perkawinan yang telah jelas tercantum di dalam Undang-undang Perkawinan.

Pemerintah melengkapi dan atau merevisi Undang-undang Perkawinan yang bisa dibilang tidak mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga tidak lagi terdapat kebingungan atau pertentangan tentang sah tidaknya perkawinan jarak jauh melalui media telekomunikasi secara hukum (tidak terdapat kekosongan hukum dalam Undang-undang Perkawinan).

Setelah Undang-undang Perkawinan direvisi dan dilengkapi maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pensosialisasian kepada masyarakat luas, para aparat hukum agar supaya diketahui secara luas bahwa perkawinan melalui media teleconference telah ada aturan tertulisnya dan dianggap sah oleh negara. Terutama kepada para petugas Pencatat Perkawinan supaya tidak terjadi masalah ketika Pencatatan Perkawinan dilakukan seperti yang terjadi pada kasus Aria-Noer.


(4)

91 Dakwah, Jakarta, 1996.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995.

Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer. PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996.

Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama., Mandar Maju, Bandung, 1990.

Idha Aprilyana, Keabsahan Suatu Perkawinan Melalui Pemanfaatan Media Telekomunikasi Dihubungkan Dengan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989 Tanggal 20 April 1990 Mengenai Sahnya Perkawinan Melalui Telepon, Skripsi, 1997.

Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981. Kompilasi Hukum Islam.

Loudoe, John R, Menemukan hukum melalui tafsir dan fakta., Bina Aksara.

Lukas Tanutama, Pengantar Komunikasi Data, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997.


(5)

92

Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.

M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar , Suatu Pengantar, PT. Eesco, Bandung, 1995.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangungan, P.T. Alumni, Bandung, 2006.

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1996.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, 1982.

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988.

Santoso Sastropoetro, Komunikasi Internasional : Sarana Interaksi antar Bangsa, Alumni, Bandung, 1984.

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,. UI-Press, Jakarta. 1986. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2004.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


(6)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia. Sumur Bandung, Jakarta,1960.