PENGARUH METODE APPLIED BEHAVIOR ANALYSIS TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK AUTIS.

(1)

PENGARUH METODE APPLIED BEHAVIOR ANALYSIS TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK

AUTIS

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Miftakhul Jannah B77212108

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

xiii INTISARI

Autis merupakan suatu kondisi dimana anak menunjukkan gangguan yang ditandai oleh terganggunya perilaku, interaksi sosial dan komunikasi. Interaksi sosial merupakan kesulitan yang nyata bagi anak autis untuk melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi pada anak autis dapat menghalangi anak untuk berinteraksi sosial atau melakukan hubungan sosial. CAC Surabaya terdapat beberapa siswa anak autis yang memiliki kemampuan interaksi sosial yang cukup. Metode ABA (Applied Behavior Analysis) merupakan ilmu yang sangat representative bagi penanggulangan anak berkebutuhan khusus karena memiliki prinsip yang sistematis, terstruktur, dan terukur sehingga dapat meningkatkan keterampilan motorik halus, motorik kasar, komunikasi dan kemampuan bersosialisasi. Fokus penelitian ini adalah untuk meneliti apakah terdapat pengaruh metode ABA terhadap peningkatan interaksi sosial pada anak autis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi sosial melalui metode ABA pada anak autis. Penelitian ini

mengunakan metode desain single case experimental design (subjek

tunggal). Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak penyandang autis. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua instrumen yaitu instrumen perlakuan (panduan pembelajaran) dan instrumen pengukuran berupa lembar observasi skala interaksi sosial. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa metode ABA efektif untuk

meningkatkan interaksi sosial anak autis. Indikator yang mengalami peningkatan adalah kontak mata, kosa kata, menjawab pertanyaan, memahami kata, dan mendengarkan.


(7)

ABSTRACT

Autism is a condition in which children show disorder characterized by disruption of behavior, social interaction and communication. Social interaction is a real difficulty for children with autism to perform their social relationship with their environment. A disorder that occurs in autistic children may hinder a child’s social interaction or social relationship. CAC Surabaya there are some students with autism who have enough social interaction skills. ABA method is a science that is very representative for countermeasures for children with special needs have the priciple of systematic, structured and measurable so as to improve fine motor skills, gross motor, communication and social skills. The focus of this study was to examine whether there is influence of ABA methods to increase social interaction in children with autism. This study aimed to determine the effect of social interaction through the ABA method on children with autism. This research uses experimental design method single case design (single subject). This research subject is a child with autism. In this study researchs uses two instruments namely instrument treatment (study guides) and measuring instrument in the form of social interaction scale observation sheet. Result shows that the ABA method is effective to improve the social interaction of children with autism. Indicators that have increased are eye contact, vacabulary, answer question, understand the word and listen.


(8)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR GRAFIK ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

INTISARI ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 8

D.Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Kemampuan Interaksi Sosial 1. Pengertian Kemampuan Interaksi Sosial ... 12

2. Ciri-Ciri Interaksi Sosial ... 13

3. Jenis-Jenis Interaksi Sosial ... 13

4. Aspek-Aspek Interaksi Sosial ... 14

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial... 15

6. Perkembangan Interaksi Sosial ... 16

7. Karakteristik Interaksi Sosial Anak Autis ... 18

B.Metode Applied Behavior Analysis (ABA) 1. Pengertian Metode ABA ... 22

2. Tujuan Metode ABA ... 23

3. Kelebihan Metode ABA ... 24

4. Prinsip Metode ABA ... 24

C.Pengaruh ABA Terhadap Interaksi Sosial Anak Autis ... 25

D.Kerangka Teoritis ... 27

E. Hipotesis ... 29

BAB III METODE PENELITIAN A.Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel ... 30

2. Definisi Operasional... 30

a. Variabel Interaksi Sosial Anak Autis ... 30

b. Variabel Metode Applied Behavior Analysis (ABA) ... 30

B. Subjek Penelitian ... 31

C. Desain Eksperimen ... 31


(9)

E. Instrumen Penelitian ... 37

1. Alat Ukur ... 37

2. Validitas dan Reliabilitas ... 41

F. Validitas Eksperimen ... 44

G. Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Subjek ... 51

B.Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 51

C.Hasil ... 52

D.Pembahasan ... 76

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(10)

ix DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perkembangan Interaksi Sosial Nornal... 16

Tabel 2 Perkembangan Interaksi Sosial Dalam Autisme ... 17

Tabel 3 Jadwal Pelaksanaan Eksperimen ... 36

Tabel 4 Panjang Kondisi ... 45

Tabel 5 Variabel Yang Di Ubah ... 48

Tabel 6 Deskripsi Subjek Penelitian ... 51

Tabel 7 Rangkuman Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Indikator Kontak Mata ... 54

Tabel 8 Rangkuman Hasil Analisis Visual Antar Kondisi Indikator Kontak Mata ... 55

Tabel 9 Rangkuman Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Indikator Kontak Melalui Perantara ... 57

Tabel 10 Rangkuman Hasil Analisis Visual Antar Kondisi Indikator Kontak Melalui Perantara ... 58

Tabel 11 Rangkuman Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Indikator Kosa Kata ... 60

Tabel 12 Rangkuman Hasil Analisis Visual Antar Kondisi Indikator Kosa Kata ... 61

Tabel 13 Rangkuman Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Indikator Bertanya ... 63

Tabel 14 Rangkuman Hasil Analisis Visual Antar Kondisi Indikator Bertanya ... 65

Tabel 15 Rangkuman Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Indikator Menjawab Pertanyaan... 67

Tabel 16 Rangkuman Hasil Analisis Visual Antar Kondisi Indikator Menjawab Pertanyaan... 68

Tabel 17 Rangkuman Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Indikator Memahami Kata ... 70

Tabel 18 Rangkuman Hasil Analisis Visual Antar Kondisi Indikator Memahami Kata ... 72

Tabel 19 Rangkuman Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi Indikator Mendengarkan ... 74

Tabel 20 Rangkuman Hasil Analisis Visual Antar Kondisi Indikator Mendengarkan ... 75


(11)

DAFTAR GAMBAR


(12)

xi DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Prosedur Desain A-B-A ... 34 Grafik 2 Analisis Metode Belah Dua Pada Indikator Kontak Mata ... 53 Grafik 3 Analisis Metode Belah Dua Pada Indikator Kontak Melalui

Perantara ... 56 Grafik 4 Analisis Metode Belah Dua Pada Indikator Kosa Kata ... 59 Grafik 5 Analisis Metode Belah Dua Pada Indikator Bertanya ... 63 Grafik 6 Analisis Metode Belah Dua Pada Indikator Menjawab

Pertanyaan ... 66 Grafik 7 Analisis Metode Belah Dua Pada Indikator Memahami Kata ... 70 Grafik 8 Analisis Metode Belah Dua Pada Indikator Mendengarkan ... 73


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Dari Kampus ... 85

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian Dari Cakra Autisme Center ... 86

Lampiran 3 Surat Pernyataan diagnosa dokter ... 87

Lampiran 4 Panduan Pembelajaran Metode ABA ... 88

Lampiran 5 Lembar Observasi ... 89

Lampiran 6 Dokumentasi Proses Eksperimen ... 90


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Manusia sebagai makhluk sosial harus dapat melakukan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Kehidupan bermasyarakat menuntut seseorang saling berhubungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses interaksi sosial. Tanpa adanya interaksi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Seseorang akan dapat melakukan proses sosial apabila dirinya mampu berinteraksi dengan orang lain. Proses sosial merupakan suatu interaksi atau hubungan timbal balik antar manusia yang satu dengan manusia yang lain (Dinar Rapmauli T. & Andik Matulessy, 2015)

Menurut Bimo Walgito, 1990 (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik.

Aspek-aspek yang mendasari terjadinya interaksi sosial, yaitu : 1) adanya kontak sosial, dan 2) adanya komunikasi (Anogoro dan Widiyanti,, 1990). Kontak sosial dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok. Kontak juga dapat bersifat primer jika itu terjadi secara langsung atau face to face, dan sekunder jika hubungan itu melalui perantara orang atau media lainnya. Sementara komunikasi baik verbal ataupun non-verbal merupakan saluran


(15)

2

untuk menyampaikan perasaan ataupun ide/pikiran dan sekaligus sebagai media untuk dapat menafsirkan atau memahami pikiran atau perasaan orang lain (Dayakisni & Hudaniah, 2009).

Empat ciri-ciri interaksi sosial antara lain (Dayakisni & Hudaniah, 2009): a) Jumlah pelakunya lebih dari satu orang, b) Terjadinya komunikasi diantara pelaku melalui kontak mata, c) Mempunyai maksud atau tujuan yang jelas, d) Dilaksanakan melalui suatu pola sistem sosial tertentu. Interaksi sosial terjadi didasari oleh berbagai faktor yaitu imitasi, sugesti, identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain dan simpati.

Untuk mencapai kematangan sosial anak harus belajar tentang cara-cara penyesuaian diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya baik orang tua, saudara, teman sebaya, atau orang dewasa lainnya (Ahmad Susanto, 2011). Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma ini dalam kehidupan sehari-hari (Ahmad Susanto, 2011). Namun hal tersebut tidak dimiliki oleh anak autis.

Menurut Sutadi (dalam Azwandi, 2005) autistik adalah gangguan perkembangan neurobiologis berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain. Penyandang


(16)

3

autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain, serta kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena ketidak mampuannya membangun komunikasi dan mengerti perasaan orang lain.

Anak-anak dengan gangguan autistik biasanya kurang dapat merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghindari kontak dengan orang. Orang dianggap sebagai objek (benda) bukan sebagai subyek yang dapat berinteraksi dan berkomunikasi. Sementara ini yang telah dilakukan sebagai upaya peningkatan adalah dengan mengurangi simtom-simtom yang muncul pada anak autis. Tindakan yang telah diberikan sedikit memberikan pencerahan dan harapan baik adalah dengan memberikan intervesi dalam bentuk terapi.

Gangguan pada anak autistik terdapat kelompok ciri-ciri yang disediakan sebagai kriteria untuk mendiagnosis autistik. Hal ini terkenal dengan istilah “Wing’s Triad of Impairment” yang dicetuskan oleh Lorna Wing dan Judy Gould (dalam Hasdianah, 2013). Meskipun ada perbedaan dalam pemilihan kata dari tiga gangguan anak autistik, penulis membagi dalam tiga gangguan yakni perilaku, interaksi sosial dan komunikasi dan bahasa.

Berdasarkan data dari Badan Penelitian Statistik (BPS) dari tahun 2010 sampai 2016, diperkirakan terdapat 140 ribu anak dengan usia di bawah 17 tahun yang menyandang autisme. Hal ini pun diakui oleh Mohamad Nelwansyah, Direktur Eksekutif Rumah Autis “perkembangan autisme di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Kalau di awal tahun 2000-an


(17)

4

prevalensinya diperkirakan 1:1000 kelahiran, penelitian pada tahun 2008 menunjukkan peningkatan hingga 1,68:1000 kelahiran,” tuturnya. Dari bertambahnya jumlah kelahiran anak autis di Indonesia berarti bertambah juga jumlah anak yang mengalami gangguan interaksi sosial. Sehingga banyak didirikannya tempat terapi di berbagai tempat di Indonesia khususnya di Surabaya. Tujuan didirikannya tempat terapi anak autis adalah untuk membantu menangani permasalahan yang dialami anak autis.

Salah satu tempat terapi yang berada di Surabaya yakni Cakra Autisme Center. Peneliti telah melakukan observasi selama 1 bulan terhitung mulai tanggal 22 Februari – 21 Maret 2016 di tempat terapi Cakra Autisme Center Surabaya. Terdapat sekitar 25 anak penyandang autis yang mendapatkan terapi di Cakra Autism Center kurang mampu dalam melakukan interaksi sosial dengan temannya maupun dengan terapis. Anak cenderung menyendiri dan menghindar dengan orang lain. Anak lebih asyik dengan kegiatan yang dia sukai dan melakukannya secara berulang-ulang.

Interaksi sosial antar individu terjadi manakala dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial. Lain halnya dengan kelemahan (impairment) anak autis dalam bidang interaksi sosial yang optimal sebagaimana anak lainnya atau dengan kata lain adanya kegagalan dalam menjalin interaksi sosial dengan menggunakan perilaku non-verbal. Hal ini bisa dirasakan bahwa ketika kita berbicara dengan anak autis mereka


(18)

5

tidak melakukan kontak matam tidak mampu memperlihatkan ekspresi wajah, gesture tubuh ataupun gerakan yang sesuai dengan tema yang menjadi bahan pembicaraan (Haryana, 2012).

Anak autis tidak mampu membangun interaksi sosial dengan orang lain sesuai dengan tugas psikologi perkembangannya dan penurunan berbagai perilaku non-verbal seperti kontak mata, expresi wajah, dan isyarat dalam interaksi sosial. Kalaupun ada interaksi namun interaksi yang dilakukan tidak dimengerti oleh anak autis. Secara umum dalam interaksi sosial anak autis mempunyai kegagalan dalam membangun interaksi sosial, mereka tidak dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicaranya, anak lebih senang menyendiri, tidak dapat bermain secara timbal balik dengan orang lain, lebih senang menyendiri dan sebagainya, lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain, tidak tertarik untuk berteman, tidak bereaksi terhadap isyarat-isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum, oleh karena itu sangat diperlukan untuk meminimalisir kesulitan, hambatan atau kelemahannya sehingga anak autis dapat melakukan interaksi sosial sesuai dengan tugas perkembangannya (Haryana, 2012).

Menurut Wing dan Gould (dalam Theo, 2009) perilaku sosial yang menjadi karakteristik anak autis terbagi dalam tiga jenis yaitu : 1) Aloof artinya bersikap menyendiri, 2) Passive artinya bersikap pasif, 3) Active but Odd artinya bersikap aktif tetapi aneh.


(19)

6

Di beberapa pusat terapi telah menerapkan berbagai macam terapi yang berbeda-beda dalam mengangani anak dengan gangguan autis. Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan pada anak autis, diantaranya terapi Applied Behavioral Analysis (ABA), terapi wicara, terapi okupasi, terapi fisik, terapi sosial, terapi bermain, terapi perilaku, terapi perkembangan, terapi visual dan terapi biomedik (Hasdianah, 2013). Dari berbagai banyak metode yang bisa kita gunakan untuk intervensi dini dalam mengembangkan interaksi sosial pada anak autis salah satunya adalah dengan metode Applied Behavior Analysis (ABA) (Haryana, 2012).

Applied Behavior Analysis (ABA) adalah ilmu tentang perilaku terapan, untuk mengajar dan melatih seseorang agar menguasai berbagai kemampuan yang sesuai dengan standar dalam masyarakat (Kresno dan Rudy, 2014). Metode ABA dikembangkan oleh Ivar O Lovaas seorang profesor di bidang psikolog dari Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Menurut Rini Hildayani (2009, dalam; Haryana, 2012) ABA adalah salah satu metode modifikasi tingkah laku (behavior modification) yang digunakan untuk mengatasi anak-anak penyandang autism.

Ivar O Lovaas melakukan eksperimen, dengan meminjam teori psikologi B. F. Skinner dengan sejumlah treatment pada anak autistik. Hasil eksperimen itu dipublikasikan dalam buku Behavioral Treatment and Normal Educational dan Intellectual Functioning in Young Autistic Children sekitar tahun 1987. Model terapi dengan menggunakan metode Lovaas disebut juga


(20)

7

metode Applied Behavior Analysis (ABA). Di mana secara aplikatif, terapi ini berpegang pada psikologi yang menuntut perubahan perilaku.

Metode ABA ini didasarkan pada pemberian hadiah (reward) dan hukuman (punishment), setiap perilaku yang diinginkan muncul, maka akan diberi hadiah. Namun sebaliknya jika perilaku itu tidak muncul dari yang diinginkan maka akan diberi hukuman. ABA sangat baik untuk meningkatkan kepatuhan dan fungsi kognitif atau kepandaian. Metode ini bekerja melalui pengulangan dan pengajaran konsep dan ide-ide sederhana. Metode ini mengajarkan keterampilan dan konsep tertentu sampai mereka mengerti dan memiliki banyak keunggulan dibanding metode selain ABA karena telah diterapkan dengan melalui berbagai penelitian selama bertahun-tahun.

Ada 3 kelebihan dari metode ABA yaitu 1) Terstruktur yakni pengajaran menggunakan teknik yang jelas, 2) Terarah yakni ada kurikulum jelas untuk membantu mengarahkan terapi, 3) Terukur yakni keberhasilan dan kegagalan menghasilkan perilaku yang diharapkan, diukur dengan berbagai cara tergantung kebutuhan sehingga kalau orangtua, guru, dan terapis menggunakan pelatihan yang sama dan latihan yang sama, dapat meningkatkan kenyamanan dan belajar untuk anak, menawarkan kesempatan terbaik bagi kemajuan dan kesuksesan (Haryana, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah metode applied behavior analysis (ABA) dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial pada anak autis. Dan penelitian yang akan dilakukan ini


(21)

8

berjudul “Pengaruh Metode Applied Behavior Analysis (ABA) Terhadap Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial Pada Anak Autis”.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat pengaruh Metode Applied Behavior Analysis (ABA) terhadap peningkatkan kemampuan interaksi sosial pada anak autis.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh peningkatan kemampuan interaksi sosial melalui Metode Applied Behavior Analysis (ABA) pada anak autis.

D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan diadakanannya penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka adapun manfaat penelitian, yaitu :

1. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran, dalam rangka mengembangkan ilmu, khususnya pemberian terapi untuk anak autis, Psikologi Perkembangan, Psikologi Pendidikan dan Psikologi Klinis.

2. Manfaat secara praktis

a. Penelitian ini juga menjadi masukan agar para terapis dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial pada anak autis melalui metode applied behavior analysis (ABA).


(22)

9

b. Bagi para orang tua diharapkan dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial pada anak autis dengan mengajari anaknya dirumah melalui metode applied behavior analysis (ABA).

c. Bagi mahasiswa yang menempuh agar menjadi pengetahuan baru tentang metode applied behavior analysis (ABA) yang dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial pada anak autis.

E. Keaslian Penelitian

Mengkaji beberapa permasalahan yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk membantu meningkatkan kemampuan interaksi sosial pada anak autis. Hal ini didukung dari 11 penelitian terdahulu yang dapat dijadikan landasan penelitian yang dilakukan. Berikut beberapa penelitian pendukung tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Adjeng dan Hatta (2015), dan penelitian yang dilakukan oleh Khoridatul, Yusuf dan Kusmiyati (2008) tentang Metode Applied Behavior Analysis (ABA) meningkatkan Interaksi Sosial Anak Autis”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode ABA dapat meningkatkan interaksi sosial pada anak dengan gangguan autis.

Penelitian yang dilakukan oleh Ratna dan Sisiliana (2012) tentang “Metode Applied Behavior Analysis (ABA) Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Anak Autis”. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh metode ABA terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis.

Penelitian lain tentang Efek Terapi Perilaku dengan Metode Applied Behavior Analysis Terhadap Kemandirian Anak Autis yang dilakukan oleh


(23)

10

Anggun, Munif dan Ragil (2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif penggunaan terapi perilaku dengan metode Applied Behavior Analysis terhadap kemandirian anak autis.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Mika, Imanuel dan Huda (2014) dengan tentang Peningkatan Kemampuan Berbahasa Ekspresif dan Reseptif Anak Autis Dengan Menggunakan Pendekatan ABA (Applied Behavior Analysis). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak mampu melaksanakan perintah maupun mengekspresikan keinginannya dengan menggunakan pendekatan ABA.

Penelitian dengan metode lain yang dilakukan oleh Dinar dan Andik (2015) tentang Pengaruh Terapi Bermain Flashcard untuk Meningkatkan Interaksi Sosial pada Anak Autis. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi bermain flashcard berpengaruh untuk meningkatkan kemampuan kontak mata, dan kemampuan bahasa reseptif tetapi kurang berpengaruh pada kemampuan imitasi (menirukan) dan kemampuan bahasa ekspresif.

Penelitian yang dilakukan oleh Ragil, Ratna dan Erti (2015) tentang Pengaruh Metode Glenn Doman terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Anak Autis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh metode glenn doman terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis.

Beberapa penelitian internasional tentang “ The Effectiveness of Applying Behavior Therapy’s Techniques on Social Interaction of Autistic Children yang dilakukan oleh Kalantari, Pakdaman dan Ebrahim (2013).


(24)

11

Hasil menunjukkan bahwa terapi dengan menggunakan teknik applied behavior analysis dapat meningkatkan interaksi sosial anak autis. Penelitian lain tentang “Improved Sosial Interaction by Children with Autism by Training of Peers” yang dilakukan oleh Choi dan Nieminen (2015). Dari hasil data yang diperoleh menunjukkan bahwa Training of Peers sangat efektif dan dapat meningkatkan tingkatan interaksi sosial pada anak autis.

Selain itu penelitian lain tentang “Social Interaction Skills For Children With Autis” yang dilakukan oleh Patricia dan Lynn. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan interaksi sosial anak autis terjadi peningkatan dengan menggunakan tulisan berwarna sebagai prosedur awal dalam membaca.

Penelitian yang dilakukan oleh Ortega (2010) tentang “Applied Behavior Analytic Intervention For Autism In Early Childhood”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi dengan menggunakan ABA komperehensif mengarah ke arah positif dalam hal fungsi intelektual, perkembangan bahasa, keterampilan hidup sehari-hari dan fungsi sosial pada anak autis.


(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Interaksi Sosial

1. Pengertian Kemampuan Interaksi Sosial

Didalam kamus bahasa Indonesia (2015), kemampuan berasal dari kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada, kaya, mempunyai harta berlebihan). Kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan.

Menurut Chaplin (2011) ability (kemampuan, kecakapan,

ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan.

Menurut Bimo Walgito (1990; dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik (bimo walgito). Sementara Soekanto (1997; dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan antar orang per orang atau dengan kelompok manusia.

Interaksi sosial merupakan salah satu cara individu untuk memelihara tingkah laku sosial individu tersebut sehingga individu tetap dapat bertingkah laku sosial dengan individu lain. Interaksi sosial dapat pula meningkatkan jumlah/kuatitas dan mutu/kualitas dari tingkah laku


(26)

13

sosial individu sehingga individu makin matang dalam bertingkah laku sosial dengn individu lain di dalam situasi sosial. Warren dan roucech (Slamet, 2010) memberikan pengertian interaksi sosial adalah suatu proses penyampaian kenyataan, keyakinan, sikap, reaksi emosional, dan kesadaran lain dari sesamanya diantara kehidupan yang ada.

Dari beberapa pengertian interaksi sosial dan penjelasan oleh para tokoh dapat disimpulkan bahwa kemampuan interaksi sosial merupakan kemampuan dalam melakukan hubungan timbal balik antara individu satu dengan individu yang lain.

2. Ciri-Ciri Interaksi Sosial

Ada empat ciri-ciri interaksi sosial antara lain (Dayakisni & Hudaniah, 2009) :

a. Jumlah pelakunya lebih dari satu orang

b. Terjadinya komunikasi diantara pelaku melalui kontak mata c. Mempunyai maksud atau tujuan yang jelas

d. Dilaksanakan melalui suatu pola sistem sosial tertentu.

3. Jenis-Jenis Interaksi Sosial

Menurut Gillin dan Gillin (dalam; Soejono Soekanto, 2007) interaksi sosial terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Interaksi antara individu dengan individu

Interaksi ini terjadi pada saat dua individu bertemu baik ada tindakan maupun tidak ada tindakan. Hal yang terpenting adalah individu sadar bahwa ada pihak lain yang menimbulkan perubahan pada diri individu


(27)

14

tersebut yang dimungkinkan oleh faktor-faktor tertentu, misalnya bunyi sepatu atau bau parfum yang menyengat.

b. Interaksi antara individu dengan kelompok

Bentuk interaksi ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Interaksi ini terlihat mencolok pada saat terjadi benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok.

c. Interaksi antara kelompok dan kelompok

Kelompok merupakan satu-kesatuan, bukan pribadi. Ciri kelompok adalah ada pelaku lebih dari satu, komunikasi dengan menggunakan simbol, ada tujuan tertentu dan nada dimensi waktu yang menentukan sifak aksi yang sedang berlangsung.

4. Aspek-Aspek Interaksi Sosial

Aspek-aspek yang mendasari terjadinya interaksi sosial, yaitu (Anorogo dan Widiyanti , 1990) :

a. Adanya Kontak Sosial

Dalam hubungan kontak sosial memiliki tiga bentuk yaitu hubungan antar perorangan, hubungan antar orang dengan kelompok, hubungan antar kelompok. Hubungan ini bisa terjadi bila kita berbicara dengan pihak lain secara berhadapan langsung maupun tidak langsung.

b. Adanya Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang pada orang lain, yang biasanya proses penyampaiannya


(28)

15

dengan menggunakan bahasa. Walaupun ada juga yang menggunakan bahasa atau hanya dengan isyarat saja. Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat komunikasi ini dalam berbagai bentuk, misalnya bergaul dengan teman, percakapan antara dua orang, pidato, berita yang dibacakan oleh penyiar, buku cerita, koran, dan sebagainya. Terdapat lima unsur dalam proses komunikasi yaitu :

1) Adanya pengirim berita 2) Penerima berita

3) Adanya berita yang dikirimkan 4) Ada media atau alat pengirim berita

5) Ada sistem simbol yang digunakan untuk menyatakan berita

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada beberapa faktor berikut ini :

a. Imitasi

Gabriel Tarde (Dayakisni & Hudaniah, 2009 ) menyatakan bahwa seluruh kehidupan sosial manusia didasari oleh faktor-faktor imitasi. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik.

b. Sugesti

Soekanto (1990; dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) menyatakan bahwa proses sugesti dapat terjadi apabila individu yang


(29)

16

memberikan pandangan tersebut adalah orang yang berwibawa atau karena sifatnya yang otoriter.

c. Identifikasi

Identifikasi di dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi indentik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun bathiniah.

d. Simpati

Simpati merupakan suatu bentuk interaksi yang melibatkan adanya ketertarikan individu terhadap individu lainnya. Soekanto (1990; dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009 ) menyampaikan bahwa dorongan utama pada simpati adalah adanya keinginan untuk memahami pihak lain dan bekerja sama.

6. Perkembangan Interaksi Sosial

Perkembangan interaksi sosial dini pada anak-anak yang normal dan yang autistik adalah sebagai berikut (Theo, 2009) :

Tabel 1 Perkembangan Interaksi Sosial Normal

Usia dalam Bulan

Interaksi Sosial

2 - Menggerakkan kepala dan mata untuk mencari arah

suara

- Senyuman sosial

6 - Perilaku meraih sebagai wujud antisipasi untuk

digendong

- Mengulangi tindakan ketika ditiru oleh orang dewasa

8 - Membedakan orang tua dari orang lain

- “Memberi dan menerima” permainan pertukaran obyek dengan orang dewasa

- Main cilukba dan semacamnya dengan naskah - Menunjukkan obyek kepada orang dewasa - Melambaikan tangan tanda perpisahan


(30)

17

- Menangis dan atau merangkak mengejar ibu ketika ibu meninggalkan ruangan

12 - Anak memulai permainan secara lebih sering

- Peran sebagai agen dan juga responden secara bergiliran

- Kontak visual yang meningkat dengan orang dewasa selama bermain

18 - Mulai bermain dengan teman sebaya:

menunjukkan, memberikan, mengambil mainan. - Permainan soliter atau paralel masih sering

dilakukan

24 - Masa bermain dengan teman sebaya singkat

- Pemainan dengan teman sebaya lebih banyak melibatkan gerakan kasar (misalnya: bermain kejar-kejaran) daripada berbagi mainan

36 - Belajar mengambil giliran dan berbagi dengan

teman sebaya

- Masa interaksi kooperatif yang langgeng dengan teman sebaya

- Pertengkaran di antara teman sebaya sering terjadi - Senang membantu orang tua mengerjakan

pekerjaan rumah

- Senang berlagak untuk membuat orang lain tertawa - Ingin menyenangkan orang tua

48 - Tawar-menawar peran dengan teman sebaya dalam

permainan sosio-dramatik - Memiliki teman bermain favorit

- Teman sebaya tidak menyertakan secara verbal (kadang-kadang secara fisik) anak-anak yang tidak disenangi dalam permainan

60 - Lebih berorientasi pada teman sebaya daripada

orang dewasa

- Sangat berminat menjalin hubungan persahabatan - Bertengkar dan saling mengejek dengan teman

sebaya biasa terjadi

- Dapat mengubah peran dari pemimpin ke pengikut ketika bermain dengan teman sebaya

Tabel 2 Perkembangan dalam Autisme

Usia dalam Bulan

Interaksi Sosial

6 - Kurang aktif dan menuntuk daripada bayi normal

- Sebagai kecil cepat marah - Sedikit sekali kontak mata

- Tidak ada respon antisipasi secara sosial


(31)

18

- Sekitar sepertiga di antaranya sangat menarik diri dan mungkin secara aktif menolak interaksi - Sekitar seperti di antaranya menerima perhatian

tapi sangat sedikit memulai interaksi

12 - Sosiabilitas seringkali menurun ketika anak mulai

belajar berjalan, merangkak - Tidak ada kesulitan pemisahan

24 - Biasanya membedakan orang tua dari orang lain,

tapi sangat sedikit afeksi yang diekspresikan - Mungkin memeluk dan mecium sebagai gerakan

tubuh yang otomatis ketika diminta

- Tidak acuh terhadap orang dewasa selain orang tua

- Mungkin mengembangkan ketakutan yang besar - Lebih suka menyendiri

36 - Tidak bisa menerima anak-anak yang lain

- Sensitivitas yang berlebihan

- Tidak bisa memahami aturan dalam permaianan dengan teman sebaya

48 - Tidak dapat memahami aturan dalam permainan

dengan teman sebaya

60 - Lebih berorientasi kepada orang dewasa daripada

teman sebaya

- Sering menjadi lebih bisa bergaul, tapi interaksi tetap aneh dan satu sisi

7. Karakteristik Interaksi Sosial Anak Autis

Menurut Theo (2009) perilaku sosial yang menjadi karakteristik anak autis terbagi menjadi tiga jenis yaitu :

a. Aloof artinya bersikap menyendiri

1) Menyendiri dan tidak peduli dalam sebagian besar situasi (pengecualian : ada kebutuhan yang terpenuhi).

2) Interaksi terutama dengan orang dewasa dilakukan secara fisik (mencolek, eksplorasi fisik).


(32)

19

4) Hanya ada sedikit pertanda dalam komunikasi verbal atau nonverbal secara timbal-balik.

5) Hanya ada sedikit pertanda dalam kegiatan bersama atau saling memperhatikan.

6) Kontak mata yang rendah, enggan bertatapan.

7) Kemungkinan adanya perilaku repetitif dan stereotip.

8) Mungkin lupa akan perubahan di sekitarnya (misalnya, orang yang memasuki ruangan).

9) Defisiensi kognitif (kurangnya kesadaran) tingkat sedang sampai berat.

Ciri yang khas pada anak-anak autis ini adalah senantiasa berusaha menarik diri (menyendiri) dimana lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain, tampak sangat pendiam, serta tidak dapat merespon terhadap isyarat sosial atau ajakan untuk berbicara dengan orang lain disekitarnya. Anak autis cenderung tidak termotivasi untuk memperluas lingkup perhatian mereka.

b. Passive artinya bersikap pasif

1) Terbatasnya pendekatan sosial secara spontan. 2) Menerima pendekatan orang lain

a) Masa dewasa (Adult initiations)


(33)

20

3) Kepastian mungkin mendorong terjadinya interaksi dari anak-anak lain.

4) Sedikit kesenangan yang berasal dari kontak sosial tapi jarang terjadi penolakan secara aktif.

5) Mungkin berkomunikasi secara verbal atau non-verbal.

6) Ekolalia yang segera, lebih umum terjadi dibanding ekolalia yang

tertunda.

7) Berbagai tindakan kekurangan kognitif.

Ciri khas anak autis dalam berperilaku yang kedua adalah bersikap passive, anak autis dalam kategori ini tidak tampak perduli

dengan orang lain, tapi secara umum anak autis dalam kategori ini mudah ditangani dibanding kategori aloof. Mereka cukup patuh dan

masih mengikuti ajakan orang lain untuk berinteraksi. Di lihat dari kemampuannya anak autis pada kategori ini biasanya lebih tinggi dibanding dengan anak autistik pada kategori aloof.

c. Active but odd artinya bersikap aktif tetapi “aneh”

1) Kelihatan adanya pendekatan sosial secara spontan a) Paling sering dengan orang dewasa

b) Kurang dengan anak-anak lain

2) Interaksi mungkin bersifat komunikatif keasyikan yang bersifat repetitif dan idiosinkratik (aneh).

a) Tak henti-hentinya bertanya b) Rutinitas verbal


(34)

21

3) Bahasa mungkin bersifat komunikatif atau nonkomunikatif (jika verbal), ekolalia yang segera atau tertunda.

4) Kemampuan mengambil peran yang sangat rendah a) Persepsi yang rendah terhadap kebutuhan pendengar b) Tidak ada modifikasi kerumitan atau jenis bahasa c) Bermasalah dalam penggantian topik pembicaraan

5) Minat terhadap rutinitas interaksi yang lebih besar daripada terhadap isi.

6) Mungkin sangat waspada terhadap reaksi orang lain (terutama reaksi yang ekstrim).

7) Kurang bisa diterima secara sosial dibanding kelompok pasif (pelanggaran secara aktif terhadap aturan-aturan sosial yang telah ditentukan secara adat kebiasaan).

Ciri khas anak autis dalam berperilaku yang ketiga adalah active and odd artinya bersikap aktif tetapi “aneh”. Mereka mendekati orang

lain untuk berinteraksi, tetapi caranya agak “tidak biasa” atau bersikap aneh. Terkadang bersifat satu sisi yang bersifat respektitif. Misalnya : tidak berpartisipasi aktif dalam bermain, lebih senang bermain sendiri, mereka tiba-tiba menyentuh seseorang yang tidak dikenalinya atau contoh lain mereka terkadang kontak mata dengan lainnya namun terlalu lama sehingga terlihat aneh. Sama dengan anak-anak “aloof” maupun “passive”, anak dengan kategori Active


(35)

22

but Odd juga kurang memiliki kemampuan untuk membaca isyarat sosial yang penting untuk berinteraksi secara efektif.

B. Metode Applied Behavior Analysis (ABA) 1. Pengertian ABA

ABA terdiri dari tiga kata. Yaitu Applied berarti terapan, Behavior

yang berarti perilaku, sedangkan Analysis artinya mengurai atau memecah

menjadi bagian-bagian kecil kemudaian mempelajari bagian-bagian tersebut secara tersendiri serta hubunganya satu sama lain kemudian memodifikasi dimana perlu. Menurut Rudy dan Liza (2015) Applied Behavior Analysis (ABA) adalah ilmu terapan yang menggunakan prosedur

perubahan perilaku, untuk mengajarkan seseorang (anak autis) agar menguasai berbagai kemampuan atau aktivitas dengan ukuran nilai-nilai atau standar yang ada di masyarakat.

Metode ABA dikembangkan oleh Ivar O Lovaas seorang profesor di

bidang psikolog dari Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Menurut Rini Hildayani (2009, dalam; Haryana, 2012) ABA adalah salah

satu metode modifikasi tingkah laku (behavior modification) yang

digunakan untuk mengatasi anak-anak penyandang autism.

Ivar O Lovaas melakukan eksperimen, dengan meminjam teori psikologi B. F. Skinner dengan sejumlah treatment pada anak autistik. Hasil eksperimen itu dipublikasikan dalam buku Behavioral Treatment and Normal Educational dan Intellectual Functioning in Young Autistic Children sekitar tahun 1987. Model terapi dengan menggunakan metode


(36)

23

Lovaas disebut juga metode Applied Behavior Analysis (ABA). Di mana

secara aplikatif, terapi ini berpegang pada psikologi yang menuntut perubahan perilaku.

Dasar metode ini adalah menggunakan pendekatan behavior dimana

tahap penanganan awal ditekankan pada kepatuhan, keterampilan anak dalam meniru dan membangun kontak mata (Yuwono, 2009). Metode ini sangat representatif bagi penanggulangan anak autis karena memiliki prinsip yang terukur, terarah, dan sistematis sehingga dapat meningkatkan keterampilan motorik halus, motorik kasar, komunikasi dan interaksi sosial (Handojo, 2009).

2. Tujuan Metode ABA

Metode ABA memiliki beberapa tujuan untuk anak dengan kebutuhan

khusus, antara lain (Haryana, 2012) :

a) Untuk meningkatkan perilaku. Prosedur reinforcement atau pemberian

hadiah meningkatkan perilaku untuk mengerjakan tugas, atau interaksi sosial.

b) Untuk mengajarkan keterampilan baru. Instruksi sistematis dan prosedur reinforcement mengajarkan keterampilan hidup fungsional,

keterampilan komunikasi atau keterampilan sosial.

c) Untuk mempertahankan perilaku. Mengajarkan pengendalian diri dan prosedur pemantauan diri dan menggeneralisasikan pekerjaan yang berkaitan dengan keterampilan sosial.


(37)

24

d) Untuk mengeneralisasi atau mentransfer perilaku atau respon dari suatu situasi ke situasi lain (misal selain dapat menyelesaikan tugas di ruang terapi anak juga dapat mengerjakannya di ruang kelas.

e) Untuk membatasi atau kondisi sempit dimana perilaku penganggu terjadi dengan memodifikasi lingkungan belajar.

f) Untuk mengurangi perilaku penganggu, misalnya seperti menyakiti diri sendiri atau stereotipik.

3. Kelebihan Metode ABA

Menurut Haryana (2012) ada 3 kelebihan metode ABA yang tidak

dimiliki di metode lain yakni sebagai berikut :

a) Terstruktur yakni pengajaran menggunakan teknik yang jelas,

b) Terarah yakni ada kurikulum jelas untuk membantu mengarahkan terapi,

c) Terukur yakni keberhasilan dan kegagalan menghasilkan perilaku yang diharapkan, diukur dengan berbagai cara tergantung kebutuhan sehingga kalau orangtua, guru, dan terapis menggunakan pelatihan yang sama dan latihan yang sama, dapat meningkatkan kenyamanan dan belajar untuk anak, menawarkan kesempatan terbaik bagi kemajuan dan kesuksesan.

4. Prinsip Terapi ABA

Handojo (2009) menyatakan bahwa prinsip dasar metode ABA

merupakan cara pendekatan dan penyampaian materi kepada anak yang harus dilakukan melalui :


(38)

25

a) Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus untuk menjaga kontak mata yang lama dan konsisten.

b) Tegas, yaitu instruksi yang diberikan oleh terapis tidak boleh ditawar oleh anak.

c) Tanpa kekerasan, yaitu terapis tidak boleh semena-mena, harus menyayangi anak namun tidak boleh memanjakan.

d) Adanya prompt (bantuan atau arahan) yang diberikan secaa tegas tapi

lembut.

e) Apresiasi anak dengan reinforcement (imbalan) yang efektif untuk

meningkatkan motivasi anak. Imbalan dapat berupa imbalan taktil yaitu pelukan, ciuman, tepukan dan elusan. Imbalan verbal juga dapat diberikan bersama-sama, yaitu dengan berkata : bagus, pandai, pintar dan sebagainya.

C. Pengaruh ABA Terhadap Interaksi Sosial Anak Autis

Applied Behavior Analysis (ABA) adalah ilmu tentang perilaku

terapan, untuk mengajar dan melatih seseorang agar menguasai berbagai kemampuan yang sesuai dengan standar dalam masyarakat (Kresno dan Rudy, 2014). Tujuan dari metode ini adalah untuk meningkatkan perilaku, mengajarkan keterampilan baru, mempertahankan perilaku, mengeneralisasi atau mentransfer perilaku, membatasi kondisi sempit dimana perilaku penganggu terjadi, dan mengurangi perilaku penganggu.

Metode ABA representative bagi penanggulangan anak berkebutuhan


(39)

26

dapat meningkatkan keterampilan motorik, motorik kasar, komunikasi dan kemampuan bersosialisasi (Haryana, 2012). Metode terapi ABA dapat

meningkatkan kemampuan bersosialisasi karena dalam terapi ini mengajarkan aktivitas yang mampu melatih kemampuan sosialisasi, akademik, bahasa, IQ, dan perilaku adaptif. Metode ini mengajarkan anak mulai dari materi mengikuti tugas, kemampua imitasi, kemampuan kognitif, kemampuan bahasa reseptif, kemampuan bahasa ekspresif, kemampuan akademik, dan kemandirian serta bersosialisasi.

Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya (Ahmadi, 2009). Ada dua syarat interaksi sosial yang harus dipenuhi karena jika salah satu tidak terpenuhi maka tidak akan terjadi interaksi sosial. Kedua syarat tersebut ialah adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial tanpa komunikasi tidak akan menimbulkan interaksi sosial.

Penelitian mengenai pengaruh metode applied behavior analysis (ABA) oleh Ratna dan Sisiliana (2012), hasilnya menyatakan bahwa

menunjukkan ada pengaruh secara bermakna metode ABA: kemampuan

bersosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis. Kemudian penelitian ini dikembangkan oleh Adjeng dan Ilmi (2014), dan hasi penelitiannya menyatakan bahwa terapi ABA berperan dalam pembentukan


(40)

27

bahwa interaksi sosial dapat ditingkatkan melalui metode applied behavior analysis (ABA).

D. Kerangka Teoritis

Autisme adalah gangguan pervasif yang terjadi pada anak di bawah usia tiga tahun, adapun gejala-gejala yang dimunculkan adalah kurangnya interaksi sosial, memiliki keterlambatan bicara dan kontak mata yang sedikit. Ada tiga kelemahan (impairment) perkembangan anak autis yang berbeda

dengan anak lainnya yaitu perilaku, interaksi sosial serta komunikasi dan bahasa.

Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya (Gunarsa, 2008).

Menurut Theo (2009) anak autis memiliki 3 karakteristik interaksi sosial yakni aloof atau menjauhkan diri secara sosial, passive atau interaksi

pasif dan active but odd atau interaksi aktif tapi aneh.

Anak dengan gangguan autisme biasanya melakukan beberapa terapi agar dapat meminimalisir gejala-gejala yang nampak pada anak sehingga si anak akan terlihat layaknya anak normal sebayanya. Terapi-terapi itu antara lain adalah terapi ABA, terapi biomedik, terapi okupasi, terapi bermain, terapi wicara, terapi visual, terapi fisik, terapi sosial, terapi perilaku, terapi perkembangan. Dari berbagai banyak metode yang bisa kita gunakan untuk


(41)

28

intervensi dini dalam mengembangkan interaksi sosial pada anak autis salah satunya adalah dengan metode Applied Behavior Analysis (ABA).

Menurut Rini Hildayani (2009, dalam; Haryana, 2012) ABA adalah

salah satu metode modifikasi tingkah laku (behavior modification) yang

digunakan untuk mengatasi anak-anak penyandang autism. Dasar metode ini adalah menggunakan pendekatan behavior dimana tahap penanganan awal

ditekankan pada kepatuhan, keterampilan anak dalam meniru dan membangun kontak mata (Yuwono, 2009). Metode ini sangat representatif bagi penanggulangan anak autis karena memiliki prinsip yang terukur, terarah, dan sistematis sehingga dapat meningkatkan keterampilan motorik halus, motorik kasar, komunikasi dan interaksi sosial (Handojo, 2009).

Gambar 1. Kerangka Teoritis Subjek Penelitian

Anak Autis Hambatan Anak Autis : Perilaku, interaksi sosial serta

komunikasi dan bahasa Metode Applied Behavior

Analysis (ABA)

Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial


(42)

29

E. Hipotesis

Hipotesis alternative (Ha) :

Kemampuan Interaksi Sosial Anak Autis Meningkat Melalui Metode Applied Behavior Analysis.

Hipotesis nol (Ho) :

Kemampuan Interaksi Sosial Anak Autis Tidak Meningkat Melalui Metode


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen menurut Sugiyono (2010) adalah sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. Dalam penelitian eksperimen ada perlakuan (treatment).

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel. Variabel-variabel tersebut adalah :

a. Variabel terikat : Interaksi Sosial

b. Variabel bebas : Metode Applied Behavior Analysis 2. Definisi Operasional

a. Variabel Interaksi Sosial Anak Autis

Interaksi sosial anak autis adalah suatu aktivitas yang dilakukan anak autis dengan individu lain melalui tatap muka, media perantara, mendengarkan, memahami kata-kata, kosa kata, bertanya serta menjawab pertanyaan.

b. Variabel Metode Applied Behavior Analysis

Applied Behavior Analysis (ABA) adalah serangkaian tindakan tata laksana perilaku yang diberikan kepada anak autis untuk melatih kemampuan intraksi sosial dalam kehidupan sehari-hari.


(44)

31

Cara memanipulasi metode applied behavior analysis antara lain : 1) anak dikondisikan dengan memberi arahan kepatuhan “duduk bagus/baik” dan arahan kontak mata “lihat...”; 2) anak diberikan treatment berupa pembelajaran dengan menggunakan metode applied behavior analysis yaitu berupa identifikasi kepemilikan, perintah 1 tahap, pertanyaan sosial, melempar dan menangkap bola.

B. SubjekPenelitian

Subjek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian eksperimen ini ialah anak autis yang sedang mengikuti terapi di tempat terapi CAC di Surabaya Selatan. Dengan kriteria subjek sebagai berikut :

1. Subjek berusia 5-6 tahun

2. Berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan 3. Dapat melabel benda atau gambar

C. Desain Eksperimen

Bentuk desain eksperimen ini adalah rancangan kasus tunggal (single-case experimental design). Dalam single-case experimental, peneliti mengobservasi perilaku satu individu utama (atau sejumlah kecil individu) sepanjang penelitian (Creswell, 2013).

Desain eksperimen kasus tunggal (single-case experimental design) merupakan sebuah desain penelitian untuk mengevaluasi efek suatu perlakuan (intervensi) dengan kasus tunggal. Kasus tunggal dapat berupa beberapa subjek dalam satu kelompok atau subjek yang diteliti adalah tunggal (N=1) (Latipun, 2006).


(45)

32

Desain eksperimen kasus tunggal, baik sampel kelompok maupun N=1, untuk kasus tertentu dianggap paling cocok untuk meneliti manusia, terutama apabila perilaku yang diamati tidak mungkin diambil rata-ratanya. Dalam beberapa kasus, rata-rata kelompok tidak dapat mencerminkan keadaan perilaku individu di dalam kelompok itu. Dengan kata lain, rata-rata kelompok tidak selalu mencerminkan keadaan individu-individu dalam kelompoknya. Kasus-kasus khusus demikian jika hendak dieksperimen yang paling memungkinkan adalah eksperimen kasus tunggal. Jadi di dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengukuran yang sama dan berulang-ulang untuk mempelajari seberapa banyakkah perubahan yang terjadi pada variabel terikat (dependen) dari hari ke hari. Peneliti memilih desain ini karena penekanan dalam penelitian ini adalah “clinical setting” atau pada efek terapi. Alasan lain yang mendasari pemakaian desain ini ialah jumlah subjek penelitian yang sangat terbatas sehingga tidak dapat dilakukan komparasi antar kelompok (Latipun : 2006).

Suatu desain eksperimen kasus tunggal (single-case experimental design) diperlukan dan harus melakukan pengukuran keadaan awal sebagai fungsi pre-tes. Keadaan awal (baseline) merupakan pengukuran (beberapa) aspek dari perilaku subjek selama beberapa waktu sebelum perlakuan. Rentang waktu pengukuran untuk menetapkan baseline ini disebut fase keadaan awal (baseline phase). Fase keadaan awal ini memiliki fungsi deskriptif dan fungsi prediktif. Fungsi deskriptif (descriptive function) adalah fungsi untuk meramalkan level performansi (perilaku) subjek juga tidak ada


(46)

33

intervensi. Baseline berfungsi sebagai landasan pembanding untuk menilai keefektifan suatu perlakuan (Sunanto, 2005).

Sumanto (1990; dalam Latipun, 2008) menjelaskan bahwa desain eksperimen kasus tunggal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu A-B-A withdrawal, baseline majemuk dan perlakuan berganti-ganti. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain A-B-A withdrawal. Yang dimaksud dengan withdrawal design adalah meniadakan perlakuan untuk melihat apakah perlakuan tersebut efektif. Rancangan ini menerapkan observasi terus-menerus pada suatu individu utama. Target perilaku dari individu tersebut dibangun sepanjang waktu untuk kemudian dicari perilaku utama yang menjadi garis dasar (baseline) untuk diteliti. Perilaku dasar ini kemudian dinilai, di-treatment, sebelum pada akhirnya treatment tersebut dihentikan di tahap akhir penelitian (Creswell, 2013). Pengertian baseline (keadaan awal) ialah hasil pengukuran perilaku yang dilakukan sebelum diberikannya sebuah perlakuan (intervensi), yang memungkinkan dilakukannya pembandingan dan pengukuran terhadap efek-efek intervensi (Sunanto, 2005).

Desain A-B-A withdrawal pada dasarnya melibatkan fase baseline (A) dan fase perlakuan (B). Withdrawal berarti menghentikan perlakuan dan kembali kepada baseline. Ada sejumlah variasi desain A-B-A withdrawal, yang paling sederhana dan sering digunakan dalam penelitian perilaku yaitu desain A-B, A-B-A, dan A-B-A-B. Pada desain withdrawal ini, peneliti menggunakan tipe variasi A-B-A, hal ini karena peneliti ingin melihat


(47)

34

seberapa besar peningkatan kemampuan interaksi sosial pada anak autis. Selain itu penambahan kondisi baseline yang kedua (A2) ini dimaksudkan sebagai kontrol untuk fase intervensi sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat (Latipun, 2006).

Desain A-B-A merupakan salah satu pengembangan dari desain dasar A-B, desain A-B-A ini telah menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas. Secara umum desain A-B-A mempunyai prosedur dasar seperti pada gambar di bawah ini (Sunanto, 2005).

Grafik 1 Prosedur Desain A-B-A

Pada penelitian ini akan menggunakan istilah pre-test (A1) yang mana artinya sama dengan kondisi baseline, treatment (B) yang mana artinya sama dengan kondis intervensi, dan post-test (A2) yang mana artinya sama dengan kondisi baseline kedua. Desain A-B-A dilakukan dengan menambah fase baseline kedua setelah fase perlakuan. Desain ini lebih baik dibandingkan dengan desain A-B. apabila selama fase perlakuan perilaku yang diamati

Ta

rg

et

B

eh

av

io

r

Baseline (A) Intervensi (B) Baseline (A)


(48)

35

menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan perilaku selama fase baseline, maka dipandang sebagai efek suatu perlakuan (Sunanto, 2005).

D. Prosedur Eksperimen

Prosedur eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap diantaranya sebagai berikut :

1. Pra-eksperimen

a) Mempersiapkan subjek. Peneliti mengobservasi beberapa perilaku dari anak autis yang mendapat terapi di CAC, kemudian memilih subjek utama yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian yang telah ditentukan.

b) Menentukan terapis. Peneliti membuat kesepakatan dengan pendidik sekaligus sebagai pimpinan CAC yaitu Drg. Illy Yudiono untuk menentukan terapis dalam pelaksanaan eksperimen ini.

c) Pemilihan materi. Sesuai dengan kurikulum ABA yang diterapkan di sekolah (tempat terapi).

d) Memberikan briefing kepada 2 eksperimenter tentang tata cara pelaksaan terapi yang sesuai dengan modul (panduan pembelajaran). e) Peneliti melakukan observasi dan penilaian selama 3 sesi/hari untuk

kondisi baseline (A1) untuk melihat trend kecenderungan arah terhadap subjek sesuai dengan lembar observasi.


(49)

36

2. Pelaksanaan eksperimen

a) Eksperimenter memberikan terapi metode Applied Behavior Analysis sesuai dengan panduan pembelajaran metode applied behavior analysis (terlampir).

b) Peneliti melakukan observasi dan penilaian selama eksperimen berlangsung menggunakan panduan observasi Behavioral Tallying yang telah di lampirkan. Dalam melaksanakan pengukuran dan pencatatan data pada kondisi baseline (A1) secara kontinu dilakukan 3 sesi/hari untuk melihat hasil kecenderungan arah dan level data secara jelas (Sunanto, 2006). Mengacu pada pernyataan di atas maka peneliti melakukan penelitian dan treatment dengan rincian rencana pelaksanaan eksperimen sebagai berikut :

Tabel 3 Jadwal Pelaksanaan Eksperimen

No. Tanggal Waktu Kegiatan

1. 2 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Baseline (A1) 2. 3 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Baseline (A1) 3. 4 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Baseline (A1) 4. 5 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Treatment 5. 6 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Treatment 6. 8 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Treatment 7. 9 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Treatment 8. 10 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Treatment 9. 11 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Treatment 10. 12 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Baseline (A2) 11. 13 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Baseline (A2) 12. 15 Agustus 2016 11.00 – 12.00 Baseline (A2)


(50)

37

3. Post-Eksperimen

Peneliti melakukan observasi dan penilaian selama 3 sesi/hari untuk kondisi baseline (A2) terhadap subjek sesuai dengan lembar observasi. Selanjutnya peneliti menghitung dan menganalisis hasil dari observasi dan penilaian yang telah dilakukan.

E. Instrumen Penelitian 1. Alat Ukur

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu instrumen perlakuan dan instrument pengukuran. Dalam hal ini instrument perlakuan menggunakan modul pelaksanaan metode Applied Behavior Analysis (ABA) (terlampir). Sedangkan instrumen pengukuran menggunakan skala interaksi sosial dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Observasi

Menurut Elmira (dalam; Sulisworo dan Irfan, 2016) mengemukakan observasi adalah suatu aktivitas mengamati tingkah laku individu yang diikuti dengan mencatat hal-hal yang dianggap penting sebagai penunjang informasi tentang individu, khususnya informasi situasi sekarang.

Menurut Sulisworo dan Irfan ada 5 teknik pencatatan observasi yang umum digunakan dengan pendekatan kuantitatif. Kelima teknik tersebut antara lain Behavior Tallying dan Charting, Checklist, Frequency Counts, Time Sampling dan Ranting Scale.


(51)

38

1) Behavior Tallying dan Charting merupakan teknik pencatatan yang bersifat closed method, dimana tidak ada data mentah untuk data yang telah diamati. Namun, sudah merupakan data yang sudah jadi hasil dari pengamatan observer. Hampir semua pendekatan kuantitatif bersifat closed method, sehingga perlu digabung dengan teknik lain yang berupa narasi sehingga data lebih komprehensif. Teknik ini dapat digunakan untuk mencatat secara spesifik suatu tingkah laku tertentu yang telah ditetapkan. Pada dasarnya charting atau graphing merupakan perluasan dari bentuk teknik behavior tallying yang model pencatatannya dalam bentuk diagram atau grafik.

2) Checklist adalah teknik pencatatan yang menyatakan keberadaan atau ketidakberadaan sesuatu. Menurut Bentzen, (2000 dalam; Sulisworo dan Irfan, 2016) adalah suatu metode tertutup karena tidak adanya data mentah atau kejadian yang digambarkan, yang ada hanyalah keputusan/inference pencatat yang berkaitan dengan kriteria.

3) Participation Charts merupakan teknik yang dapat digunakan untuk mengobservasi sejumlah individu secara simultan mengenai partisipasi mereka pada suatu aktivitas tertentu. Teknik pencatatan ini biasanya digunakan dalam aktivitas yang memancing keterlibatan partisipasi antar individu sebagai bagian penting dari tingkah laku yang harus diobservasi.


(52)

39

4) Ranting Scales merupakan suatu alat ukur obsevasi yang berisi daftar pernyataan atau tingkah laku dan alternatif jawaban dalam bentuk skala (kontinum). Teknik pencatatan ini digunakan apabila tingkah laku yang akan diobservasi telah diketahui dengan pasti dan dibutuhkan catatan mengenai frekuensi dan atau kualitas lain dari tingkah laku.

5) Narrative Description merupakan suatu teknik pencatatan observasi yang memiliki karakteristik dasar berupa deskripsi tingkah laku yang digambarkan dalam bentuk narasi atau cerita. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik pencatatan observasi Behavior Tallying dan Charting untuk melakukan observasi.

Pada observasi ini diharapkan agar peneliti dapat mengamati secara langsung dan mencatat gejala-gejala yang terjadi di lapangan penelitian. Sebagai metode ilmiah observasi terlibat bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik tentang fenomena-fenomena yang diselidiki.

Peneliti melakukan observasi dengan menggunakan teknik pencatatan observasi Behavior Tallying dan Charting sebagai alat ukur interaksi sosial anak autis yang diadaptasi dari Anorogo dan Widiyanti (1990) dengan indikator sebagai berikut :


(53)

40

2) Kemampuan anak dalam hubungan tidak langsung melalui media perantara

3) Jumlah kosa kata yang dimiliki anak 4) Kemampuan anak dalam bertanya

5) Kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan sederhana 6) Kemampuan anak dalam memahami kata-kata

7) Kemampuan anak dalam mendengarkan perintah dari terapis b. Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil (Sugiyono, 2010).

Wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur adalah dengan menggunakan beberapa daftar pertanyaan sedangkan wawancara tidak terstruktur adalah wawancara secara langsung tanpa memerlukan daftar pertanyaan terlebih dahulu.

Pada teknik wawancara ini digunakan untuk mengetahui apakah ada faktor lain yang menyebabkan penelitian ini dapat berhasil atau tidak selain itu untuk memperkuat alasan keberhasilan dan tidaknya penelitian ini.


(54)

41

2. Validitas dan Reliabilitas a. Validitas

Validitas mempunyai arti sejauhmana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya. Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut. Akurat dalam hal ini berarti tepat dan cermat sehingga tes menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran maka dikatakan sebagai pengukuran yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2012).

Menurut Sunanto (2005) untuk mendapatkan validitas penelitian yang baik, pada saat melakukan eksperimen dengan desain A-B-A, peneliti perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini : a) mendefinisikan target behavior sebagai perilaku yang dapat diukur secara akurat, b) mengukur dan mengumpulkan data pada kondisi baseline (A1) secara kontinyu sekurang-kurangnya 3 atau 5 atau sampai trend dan level data menjadi stabil, c) memberikan intervensi setelah trend data baseline stabil, d) mengukur dan mengumpulkan data pada fase intervensi (B) dengan periode waktu tertentu sampai data menjadi stabil, d) setelah kecenderungan dan level data pada fase intervensi (B) stabil mengulang fase baseline (A2).

Menurut Ley (2007; dalam Azwar, 2012) validitas isi adalah sejauhmana kelayakan suatu tes sebagai sampel dari domain aitem yang


(55)

42

hendak diukur. Dalam konsep validitas isi tercakup pengertian validitas tampang (face validity) dan validitas logis (logical validity).

Dalam proses konstruksi tes sebagai alat ukur, validitas tampang (face validity) sebagai bagian dari validitas isi merupakan titik awal evaluasi kualitas tes, yang dalam hal ini adalah aitem-aitemnya. Bukti validitas tampang sama sekali tidak ada kaitannya dengan semacam statistic validitas seperti koefisien atau indeks (Gregory, 1992; dalam Azwar, 2012).

Cara menyelidiki validitas isi alat ukur dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendapat suatu ‘expert judgement’ yang terdiri dari ahli-ahli dalam bidangnya dan ahli-ahli dalam pengukuran, bukan oleh penulis (Straub, 1989 dalam Azwar, 2012). Bila cara tersebut sulit untuk dilakukan, maka dapat dikerjakan dengan cara membandingkan materi alat ukur tersebut dengan bahan-bahan dalam penyusunan alat ukur, dengan analisis rasional. Apabila materi alat ukur cocok dengan materi penyusunan alat ukur, berarti alat ukur tersebut memiliki validitas isi.

Dalam penelitian ini menggunakan instrument penelitian berupa panduan pembelajaran Applied Behavior Analysis untuk meningkatkan interaksi sosial anak autis. Untuk menguji panduan pembelajaran dalam hal ini berarti validitas isi membutuhkan pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat para ahli yang biasa disebut professional judgement.


(56)

43

Modul (panduan pembelajaran) metode applied behavior analysis yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran metode applied behavior analysis untuk meningkatkan interaksi sosial anak autis. Untuk menguji validitas modul peneliti menggunakan expert judgments (ahli) untuk mengkoreksi isi dari modul tersebut. Terdapat 2 expert judgments yang merevisi modul yaitu : 1) Dr. Eni Purwanti, M.Ag (Ahli Psikologi Pendidikan)

2) drg. Hj. Illy Yudiono (Ahli Kurikulum Anak Autis)

Dari hasil validasi expert judgments terdapat beberapa yang harus direvisi, namun hal ini dilakukan untuk membuat modul (panduan pembelajaran) yang dihasilkan menjadi layak dan menjadi lebih baik untuk digunakan pada saat proses pembelajaran metode applied behavior analysis tersebut.

b. Reliabilitas

Suatu pengukuran yang mampu menghasilkan data yang memiliki tingkat reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Istilah reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti konsistensi, keterandalan, keterpercayaan, kestabilan, keajegan, dan sebagainya. Namun gagasan pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu proses pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2012).

Reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat


(57)

44

pengumpul data, karena instrument tersebut sudah baik. Artinya, kapanpun alat pengumpul data tersebut digunakan akan memberikan hasil ukur yang sama. (Arikunto, 2010)

Uji reliabilitas bertujuan untuk mengetahui tingkat efetivitas suatu instrument penelitian. (Arikunto, 2010). Suatu instrument dikatakan reliabel jika cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data, karena instrument tersebut sudah baik, tidak bersifat tendensius, datanya memang benar sesuai dengan kenyataan hingga beberapa kali diambil, hasilnya akan tetap sama.

F. Validitas Eksperimen

Dalam melakukan eksperimen, berbagai faktor yang memungkinkan turut mempengaruhi variabel yang hendak diamati (variabel terikat) perlu memperoleh perhatian dari peneliti. Sehingga menimbulkan pertanyaan yang telah dijelaskan oleh peneliti pada rumusan masalah dan hipotesis. Pertanyaan tersebut sering disebut sebagai validitas eksperimen. Desain kasus tunggal dipandang mampu mengatasi ancaman yang kemungkinan terjadi terhadap validitas eksperimen, khususnya berhubungan dengan keadaan bias dalam seleksi. Sesuai dengan desainnya, dalam eksperimen kasus tunggal ini subjek itu sendirilah yang menjadi kontrol. Tentunya desain kasus tunggal tidak mempunyai problem dalam hal homogenitas subjek eksperimen dan subjek kontrol yang biasanya sulit dicapai pada eksperimen model komparasi antar kelompok yang berbeda. Karena itu desain kasus tunggal dipandang sebagai


(58)

45

pengganti desain kelompok yang tradisional, paling tidak dianggap komplemen yang berharga bagi desain kelompok (Latipun, 2006).

G. Analisis Data

Teknik analisis data hasil penelitian desain eksperimental kasus tunggal (single-case experimental design) menggunakan teknik analisis visual grafik. Dilakukan uji hipotesis pada penelitian ini, dengan menggunakan statistika deskriptif sederhana (Sunanto, 2005) yang dianalisis melalui analisis visual pada arah perubahan dalam kondisi maupun antar kondisi, berikut adalah analisis data yang digunakan (Sunanto, 2005) :

1. Analisis Dalam Kondisi

Analisis dalam kondisi adalah menganalisis perubahan data dalam satu kondisi, yaitu kondisi baseline (A1), kondisi intervensi (B) dan kondisi baseline (A2). Komponen analisis visual yang terdapat dalam kondisi meliputi :

a. Panjang Kondisi

Panjang kondisi adalah banyaknya data point (sesi) yang harus ada pada setiap kondisi. Dari pengumpulan data, pada setiap pre-test (A1) – treatment (B) – post-test (A2) dimasukkan masing-masing panjang kondisi.

Tabel 4 Panjang Kondisi

Kondisi A1 B A2


(59)

46

b. Estimasi Kecenderungan Arah

Estimasi kecenderungan arah ialah menentukan kecenderungan arah (trend/slope) data pada suatu grafik untuk memberikan gambaran perilaku subyek yang sedang diteliti. Ada tiga macam kecenderungan arah grafik (trend) yaitu sebagai berikut:

Mendatar Menunjukkan perubahan sama (=) Menaik Menunjukkan perubahan ke arah

positif (+)

Menurun Menunjukkan adanya perubahan ke arah negatif (-)

c. Kecenderungan Stabilitas

Kecenderungan stabilitas adalah menentukan kecenderungan stabilitas pada setiap pre-test (A1) – treatment (B) – post-test (A2) dengan menggunakan kriteria stabilitas 15% (Sunanto, 2005). Jika persentase stabilitas sebesar 85% - 90% dikatakan stabil, sedangkan di bawah itu dikatakan tidak stabil (variabel). Berikut langkah perhitungan pada kecenderungan stabilitas :

1) Rumus Menghitung Rentang Stabilitas Skor

Tertinggi x Kriteria Stabilitas = Rentangan Stabilitas

2) Rumus Menghitung Mean Level Hasil Data

3) Rumus Menentukan Batas Atas

Mean level = � ℎ ℎ � ℎ


(60)

47

4) Rumus Menentukan Batas Bawah

5) Rumus Menghitung Persentase data point pada kondisi Banyak data point

yang ada dalam rentang

: Banyaknya

data point = Persentase Stabilitas d. Jejak Data

Kecenderungan jejak data sama dengan kecenderungan arah yakni menentukan kecenderungan jejak data pada suatu grafik untuk memberikan gambaran perilaku subyek yang sedang diteliti.

e. Level Stabilitas dan Rentang

Level stabilitas dan rentang adalah untuk menunjukkan derajat variasi atau besar kecilnya rentang kelompok data tersebut. Jika rentang datanya kecil atau tingkat variasinya rendah maka data dikatakan stabil. Secara umum jika 80% - 90% data masih berada pada 15% di atas dan di bawah mean, maka data dikatakan stabil. Rentangan target behavior pada masing-masing pre-test (A1) – treatment (B) – post-test (A2). f. Level Perubahan

Level perubahan adalah tingkat perubahan yang menunjukkan berapa besar terjadinya perubahan data dalam suatu kondisi. Menentukan level perubahan dengan cara menandai data pertama dan data terakhir dalam suatu kondisi. Kemudian kurangi data yang besar dengan data yang kecil dan menentukan arah. Jika (+) menunjukkan makna yang membaik, (-) menunjukkan makna yang memburuk, dan (=) bernilai (0) dapat menunjukkan makna tidak ada perubahan, dapat


(61)

48

menunjukkan makna membaik jika pada kondisi sebelumnya bermakna baik, begitu pun sebaliknya. Hal ini disesuaikan dengan tujuan intervensi. Berikut cara menghitung selisih antara kedua data :

Data yang besar - Data yang kecil = Persentase Stabilitas 2. Analisis Antar Kondisi

Analisis antar kondisi adalah untuk menganalisis perubahan antar kondisi, data yang stabil harus mendahului kondisi yang akan dianalisis. Komponen analisis visual yang terdapat antar kondisi meliputi :

a. Jumlah Variabel Yang Di Ubah

Yaitu untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (intervensi) terhadap variabel terikat (target behavior) secara jelas. Pada data rekaan variabel yang akan diubah dari kondisi pre-test (A1) – treatment (B) – post-test (A2) adalah 1. Maka format yang di isi sebagai berikut :

Tabel 5 Variabel Yang Di Ubah

b. Perubahan Kecenderungan Arah dan Efeknya

Perubahan kecenderungan arah dan efeknya sama dengan estimasi kecenderungan arah. Cara menentukan perubahan arah dengan mengambil data pada analisis dalam kondisi.

Perbandingan kondisi B/A1

(2:1) B/A2 (2:1) 1. Jumlah variabel yang


(62)

49

c. Perubahan Stabilitas

Untuk menentukan perubahan kecenderungan stabilitas dapat dilihat dari kecenderungan stabilitas pada analisis dalam kondisi.

d. Perubahan Level

Adalah tingkat perubahan level data pada dua kondisi yang berbeda, yaitu dari kondisi pre-test (A1) ke kondisi treatment (B) dan dari kondisi treatment (B) ke kondisi post-test (A2). Cara menentukan perubahan level dilakukan dengan cara :

1) Perubahan level kondisi pre-test (A1) ke kondisi treatment (B) Menentukan melalui data point pada kondisi pre-test (A1) pada sesi terakhir dan sesi pertama pada kondisi treatment (B). Kemudian menghitung selisih keduanya.

2) Perubahan level kondisi treatment (B) ke kondisi post-test (A2) Menentukan melalui data point kondisi treatment (B) pada sesi terakhir dan sesi pertama pada kondisi post-test (A2). Kemudian menghitung selisih keduanya.

Menentukan (+) jika membaik, (-) jika menurun, dan (=) bernilai (0) dapat menunjukkan makna tidak ada perubahan, dapat menunjukkan makna membaik jika pada kondisi sebelumnya bermakna baik ataupun sebaliknya.

e. Data Overlap

Data overlap adalah untuk mengetahui besar kecilnya persentase overlap dalam memberikan pengaruh intervensi terhadap target


(63)

50

behavior. Untuk menentukan overlap data, maka dilakukan dengan cara :

1) Overlap data kondisi pre-test (A1) ke kondisi treatment (B)

a) Melihat kembali batas bawah dan batas atas pada kondisi pre-test (A1).

b) Menghitung banyak data point pada kondisi treatment (B) yang berada pada rentang kondisi pre-test (A1) .

c) Perolehan hasil pada langkah (b) dibagi dengan banyaknya data point dalam kondisi treatment (B) kemudian dikalikan 100. 2) Overlap data kondisi treatment (B) ke kondisi post-test (A2)

a) Melihat kembali batas bawah dan batas atas pada kondisi treatment (B).

b) Menghitung banyak data point pada kondisi post-test (A2) yang berada pada rentang kondisi treatment (B).

c) Perolehan hasil pada langkah (b) dibagi dengan banyaknya data point dalam kondisi post-test (A2) kemudian dikalikan 100. Catatan : semakin kecil persentase overlap semakin baik pengaruh treatment terhadap target behavior.


(1)

80

melakukan kontak mata dengan terapis. Subjek cenderung menundukkan kepala, memalingkan pandangan dan melamun. Akan tetapi setelah pemberian treatmen yang keempat subyek sudah mulai mampu melakukan kontak mata cukup lama, meskipun pada akhirnya ada penurunan namun hasilnya tetap memberikan respon baik kepada subjek.

Anak autis tidak mampu membangun interaksi sosial dengan orang lain sesuai dengan tugas psikologi perekembangannya dan penurunan berbagai perilaku non-verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah dan isyarat dalam interaksi sosial. Kalaupun ada interaksi namun interaksi yang dilakukan tidak dimengerti oleh anak autis, oleh karena itu sangat diperlukan untuk meminimalisir kesulitan, hambatan atau kelemahannya sehingga anak autis dapat melakukan interaksi sosial sesuai dengan tugas perkembangannya (Haryana, 2012).

Menurut Rudy dan Liza (2015) applied behavior analysis adalah ilmu terapan yang menggunakan prosedur perubahan perilaku, untuk mengajarkan seseorang (anak autis) agar menguasai berbagai kemampuan atau aktivitas dengan ukuran nilai-nilai atau standar yang ada di masyarakat. Metode ABA ini sangat representatif bagi penanggulangan anak autis karena memiliki prinsip yang terukur, terarah, dan sistematis sehingga dapat meningkatkan keterampilan motorik halus, motorik kasar, kemampuan komunikasi dan interaksi sosial (Handojo, 2009).

Program yang dirancang dalam metode ABA untuk anak autis bersifat sistematis, terstruktur dan terukur. Program pada tahun pertama berfokus untuk


(2)

81

mengurangi perilaku stimulasi agresif dan mandiri, mempromosikan permainan yang tepat, mengajarkan imitasi dan memperluas proses perlakuan keluarga. Tahun kedua perlakuan berfokus pada interaksi sosial yang tepat dengan rekan-rekan dan keterampilan bahasa ekspresif dan abstrak. Di tahun ketiga penekanan pada pengembangan ekspresi emosi yang tepat, belajar mengamati dari teman sebaya yang terlibat dalam pembelajaran akademik. Dari penjelasan tersebut subjek masih dalam tahapan tahun pertama sehingga tidak ada perubahan pada indikator kontak melalui perantara dan indikator bertanya (Molina Health Care, 2012).

Pada penelitian sebelumnya yang berjudul metode ABA : kemampuan bersosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis di SLB TPA Kabupaten Jember diketahui bahwasanya ada pengaruh secara bermakna metode ABA : kemampuan bersosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis. Selain itu pada penelitian yang berjudul “the effectiveness of applying behavior therapy’s’ techniques on sosial interaction of autistic children” hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa teknik perlakuan tingkah laku menyebabkan terjadinya peningkatan interaksi sosial pada anak autis.

Menurut penanggung jawab subjek, diketahui bahwa subjek mengonsumsi suplemen yang direkomendasikan oleh dokter. Subjek juga menjalani diet makanan yang mengandung gula, tepung, dan susu akan tetapi masih terjadi kebocoran makanan. Dikarenakan subjek suka makan dan mengambil makanan maupun minuman tanpa sepengetahuan orang tua


(3)

82

maupun orang dewasa disekitarnya. Dari hal tersebut menyebabkan subjek mengalami kondisi yang naik turun selama proses pembelajaran metode

applied behavior analysis. Sebenarnya subjek juga termasuk siswa yang pintar namun dalam hal interaksi sosial subjek masih memerlukan pembelajaran yang lebih mendorongnya untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran applied behavior analysis efektif dalam meningkatkan interaksi sosial pada anak autis.


(4)

83 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa

pembelajaran metode applied behavior analysis efektif dapat meningkatkan

kemampuan interaksi sosial anak autis.

B. Saran

1. Bagi Lembaga Terapi ABK Cakra Autisme Center

Untuk mengembangkan pembelajaran metode applied behavior analysis

agar lebih efektif dan untuk membantu meningkatkan kemampuan interaksi sosial

pada anak autis.

2. Bagi Keluarga

Menambah informasi mengenai pembelajaran metode applied behavior

analysis, lebih sabar ketika anak sedang menjalani proses pembelajaran, menerapkan metode tersebut di rumah dan menjaga asupan makanan bagi anak

(terapi diet makanan) untuk meminimalisirkan perilaku autis anak.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya, jika ingin menggunakan metode eksperimen

dengan subyek anak autis disarankan agar lebih mematangkan konsep yang akan

dilakukan dan sedapat mungkin lebih mengarah pada ranah psikologi, sehingga

nantinya dapat membantu para terapis, orang tua atau masyarakat dalam

mengembangkan perkembangan dan potensi anak penyandang autis. Diharapkan

pula lebih mengembangkan tema dengan metode-metode eksperimen baru yang

lebih menarik dan bermanfaat untuk anak-anak berkebutuhan khusus secara


(5)

83 DAFTAR PUSTAKA

Adjeng, Raden Roro J., dan M. Ilmi Hatta. (2014). Pengaruh Terapi ABA

Terhadap Interaksi Sosial Anak Autis di SLB Autis Prananda Bandung. Jurnal Prosiding Psikologi: Universitas Islam Bandung.

Anogoro, P. dan Widiyanti. (1990). Psikologi Dalam Perusahaan. Jakarta : Rineka Cipta.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi

V. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwandi, Y. (2005). Mengenal dan Membantu Penyandang Autis. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas Edisi 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset.

Chaplin. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Creswell, W. J. (2013). Research Design. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Dayakisni, Tri & Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press. Gunarsa, S. D. (2008). Psikologi Perawatan. Jakarta: Gunung Mulia.

Handojo. (2003). Autisma. Jakarta: Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Handojo. (2009). Autisme Pada Anak. Jakarta: Buana Ilmu Populer Kelompok

Gramedia.

Hardiani, Ratna S., dan Sisiliana R. (2012). Metode ABA (Applied Behavior

Analysis): Kemampuan Bersosialisasi Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Anak Autis. Jurnal Keperawatan Soedirman, Vol. 7, No. 1, Maret 2012.

Haryana. 2012. Pengembangan Interaksi Sosial dan Komunikasi Anak Autis : Program E-Training Kompetensi Pengembangan Interaksi dan : Komunikasi Bagi Siswa Autis Bagi Guru Sekolah Luar Biasa. Bandung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Luar Biasa.

Hasdianah. (2013). Autis Pada Anak (Pencegahan, Perawatan, dan Pengobatan). Yogyakarta : Nuha Medika.

http://lifestyle.okezone.com/read/2015/04/02/481/1128312/autisme-di-indonesia-terus-meningkat. Diakses pada tanggal 11 maret 2016.

Jahja, Yudrik. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(6)

84

Kalantari M., Majid Pakdaman, dan Majid Ebrahim Pour. (2013). The

Effectiveness Of Applying Behavior Therapy’s Techniques On Social Interaction Of Autistic Children”. International Journal Of Fundamental Psychology And Social Sciences. Vol. 3, No. 3, September 2013.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2015). Retrieved Oktober 16, 2016, from http://www.kbbi.web.id

Kusdiayati, Sulisworo dan Irfan Fahmi. 2016. Observasi Psikologi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Latipun. 2006. Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.

Mulyadi, Kresno dan Rudy Sutadi. (2014). Autism is Curable: Benar, Autisme

dapat disembuhkan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Peters, Theo (2009). Panduan autism terlengkap. Jakarta:Dian Rakyat.

Rapmauli T, Dinar dan Andik Matulessy. (2015). Pengaruh Terapi Bermain Flashcard untuk Meningkatkan Interaksi Sosial pada Anak Autis di Miracle Center Surabaya. Persona Jurnal Psikologi Indonesia Vol. 4, No. 01.

Santoso, Slamet. 2010. Teori-teori Psikologi Sosial. Bandung : Refika aditama. Sarwono, Sarlito. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: PT Grafindo

Persada.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandunng. Alfabeta

Sunanto, Juang.(2006).Pengantar Penelitian Dengan Subyek Tunggal, Center for Research on International Cooperation in Education Development (CRICED) University of Tsukuba.

Sutadi, Rudy dan Lisa Anwar. (2015). Smart ABA: Mengajar Dan Melatih Bicara

Pada Penyandang Autisme Dengan Smart ABA (Applied Behavior

Analysis). Surabaya.