Pengaruh Terapi Audio Brainwave terhadap Kemampuan Komunikasi dan Interaksi Sosial Anak Autis di 6276

(1)

i

PENGARUH TERAPI AUDIO BRAINWAVE TERHADAP

KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI CAKRA AUTIS CENTER SURABAYA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan

OLEH : ARYUNANI NIM : S540209303

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

ii

PENGARUH TERAPI AUDIO BRAINWAVE TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS

DI CAKRA AUTIS CENTER SURABAYA

TESIS oleh: ARYUNANI NIM S540209303

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing

Pembimbing I

Prof. Dr. Didik Tamtomo,dr., PAK,MM,MKK NIP 194803131976101001

Pembimbing II

DR. Nunuk Suryani, M.Pd. NIP 196611081990032001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr., PAK,MM,MKK NIP 194803131976101001


(3)

iii

PENGARUH TERAPI AUDIO BRAINWAVE TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS

DI CAKRA AUTIS CENTER SURABAYA

Disusun oleh : Aryunani

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Pada tanggal : Agustus 2010

Dewan Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua : Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr., Sp.PA(K)

NIP. 194903171976091001 ...

Sekretaris : Ir. Ruben Dharmawan., dr., Ph.D,Sp.ParK.,Sp.AK

NIP. 195111201986011001 ...

Anggota : Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr, MM, M.Kes, PAK

NIP. 194803131976101001 ...

: DR. Nunuk Suryani, M.Pd.

NIP. 196611081990032001 ...

Mengetahui, Direktur PPS UNS

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D NIP. 195708201985031004

Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr, MM, M.Kes, PAK NIP. 194803131976101001


(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, penulis : Nama : Aryunani

NIM : S540209303

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul “PENGARUH TERAPI AUDIO BRAINWAVE TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS” adalah betul-betul karya penulis sendiri. Hal-hal yang bukan karya penulis dalam tesis tersebut ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Juli 2010 Yang Membuat Pernyataan


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan Rahmat dan HidayahNya kepada penulis, sehingga dengan petunjuk Allah penulis dapat menyeleseaikan tesis ini.

Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mendapatkan gelar Magister Kesehatan pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam kesempatan ini penulis menyampakan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyeleseikan Proposal Tesis ini terutama kepada :

1. Prof. Dr. M Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K) selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan tesis ini.

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc.Ph.D selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr., MM, M.Kes., PAK. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Keluarga dan dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan dalam penyusunan tesis ini.

4. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd., selaku pembimbing II yang telah membimbing, memberi saran dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

5. Dosen – dosen penguji tesis pada Program Pascasarjana yang telah memberikan pengarahan dan perbaikan dalam penyusunan tesis ini.

6. Kepala Sekolah ”Cakra Autis Center” Surabaya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian.

7. Suamiku, kedua putriku Silviari dan Larasati yang selalu memberikan dukungan, kasih dan kekuatan untuk menyelesaikan tesis ini.

8. Staf pengajar atau terapis dan semua orangtua anak autis yang melaksanakan terapi di Cakra Autis Center Surabaya yang telah banyak memberikan dukungan dalam penelitian ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(6)

vi

Penulisan tesis ini memang masih jauh dari harapan, tetapi penulis berharap tesis ini berguna sebagai sumber informasi pembaca, masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi peneliti selanjutnya. Penulis sadar bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnan untuk itu saran dan kritik yang membangun dari teman-teman sejawat dan para pembaca sangat penulis harapkan.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat, aamiin.

Surabaya, Juli 2010


(7)

vii DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judu l... i

Lembar Persetujuan... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Lembar Pernyataan ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Lampiran ... xi

Bab I PENDAHULUHAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

1. Tujuan Umum ... 4

2. Tujuan Khusus ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

1. Manfaat teoritis ... 4

2. Manfaat Praktis ... 5

BAB II KAJIAN TEORITIK , KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori ... 5

1. Autis Syndrom Disorder... 5

2. Brainwave ... 12

3. Komunikasi ... 17

4. Interaksi Sosial ... 26

B. Penelitian yang relevan ... 31

C. Kerangka berfikir ... 32

D. Hipotesis ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 34

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

B. Jenis Penelitian ... 34

C. Populasi, Sampel dan Sampling ... 34

D. Definisi Operasional ... 35

E. Teknik Pengumpulan Data ... 36

F. Teknik Analisa Data ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Hasil Penelitian ... 38

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 39


(8)

viii

3. Kemampuan Komunikasi ... 42

4. Kemampuan Interaksi Sosial ... 42

B. Pembahasan ... 44

1. Karakteristik Responden ... 44

2. Pengaruh terapi Audio Brainwave terhadap kemampuan Komunikasi... 46

3. Pengaruh terapi Audio Brainwave terhadap kemampuan Interaksi Sosial ... 48

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Implikasi ... 51

C. Saran ... 52


(9)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tingkatan Spectrum Autis ... 7

Tabel 2. Aspek – aspek perkembangan Bahasa dan Komunikasi ... 21

Tabel 3. Perkembangan Interaksi Sosial ... 28

Tabel 4. Terapi yang didapat pada Anak Autis ... 41

Tabel 5. Hasil Kemampuan Komunikasi ... 41

Tabel 6. Hasil Uji Statistk Kemampuan Komunikasi Pasca Perlakuan Kelompok Kontrol dan kelompok Perlakuan pada Anak Autis ... 42

Tabel 7. Hasil Kemampuan Interaksi Sosial ... 42

Tabel 8. Hasil Uji Statistk Kemampuan Interaksi Sosial Pasca Perlakuan Kelompok Kontrol dan kelompok Perlakuan pada Anak Autis ... 43


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tingkatan Gelombang Otak Manusia ... 15

Gambar 2. Kerangka Berfikir ... 32

Gambar 3. Usia Anak Autis pada Kelompok Perlakuan ... 39

Gambar 4. Usia Anak Autis pada Kelompok Kontrol ... 39

Gambar 5. Jenis Kelamin Anak Autis pada Kelompok Kontrol ... 40


(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dari PPS UNS ... 55 Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian dari Cakra Autis Center ... 56 Lampiran 3. Chek list Pengumpulan Data Karakteristik Responden ... 57 Lampiran 4. Chek list Pengumpulan Data Kemampuan Komunikasi pre tes . 58 Lampiran 5. Chek list Pengumpulan Data Kemampuan

Interaksi Sosial pre tes ... 59 Lampiran 6. Chek list Pengumpulan Data Karakteristik Responden ... 60 Lampiran 7. Chek list Pengumpulan Data Kemampuan

Komunikasi Pos Tes ... 61 Lampiran 8. Chek list Pengumpulan Data

Kemampuan Interaksi Sosial Pos Tes ... 62 Lampiran 9. Rekapitulasi Karakteristik Responden ... 63 Lampiran 10 Rekapitulasi hasil Kemampuan Komunikasi dan Interaksi

Sosial Baik Kelompok Kontrol Maupun Kelompok perlakuan . 64 Lampiran 11 Hasil Uji Statistik t berpasangan SPSS ... 65


(12)

xii ABSTRAK

Aryunani, NIM S540908303, Pengaruh Audio Brainwave Terhadap Kemampuan Komunikasi dan Interaksi Sosial Anak Autis di Cakra Autis Center. Tesis. S2 Pendidikan Profesi Kesehatan program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010.

Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang meliputi kesulitan komunkasi, perilaku dan kemampuan berinteraksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh audio brainwave terhadap kemampuan komunikasi anak autis, untuk mengetahui pengaruh audio brainwave terhadap interaksi sosial anak autis.

Jenis penelitian yang digunakan adalah True Experiment Design dengan rancangan penelitian Control Gruop Pre test-P ost test Design yang dilakukan terhadap anak autis yang menjalani terapi di Cakra Autis Center. Sampel dipilih dengan menggunakan eshaustive sampling di bagi dalam 2 kelompok secara randomize yaitu kelompok perlakuan (n=12) dan kelompok kontrol (n=12). Variabel independen adalah terapi audio brainwave, variabel dependen yaitu kemampuan komunikasi dan interaksi sosial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa –t hitung < -t tabel (-13,385<-2,201) atau p < 0,05 (0,002) pada kemampuan interaksi sosial dan –t hitung < -t tabel (-13,385<-2,201) atau p < 0,05 (0,000) pada kemampuan komunikasi. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, dimana peningkatan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial kelompok kontrol lebih kecil dari pada kelompok perlakuan.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa terapi audio brainwave berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak autis. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar terapi audio brainwave bisa digunakan sebagai salah satu terapi penunjang pada anak autis.

Kata kunci : autisme, terapi audio brainwave, kemampuan komunikasi, kemampuan interaksi sosial.


(13)

xiii ABSTRACT

Aryunani, 2010. NIM S540908303. The Effects Audio Brainwave Therapy With Social Interaction And Communication Skills Children Autism in Cakra Autism Cente. Thesis, S2 Health Professions Education Graduate Program University of Sebelas Maret 2010.

Autism is a developmental disorder that includes personal communication difficulties, behavior and ability to interact. This research is intended to know the effect of audio Brainwave on communication and social interaction autistic child.

The kind of research is True Experiment Design with Control Group Pretest-Postest Design as research design on autistic child who underwent therapy at the Cakra Autism Center. The sample was selected using sampling eshaustive gather in two groups randomize, the treatment group (n = 12) and control group (n = 12). The measured variables independent are audio Brainwave therapy, the variable dependent are social interaction and communication skills.

The result of research shows –t < -t table (-13.385 < -2.201) or p < 0.05 (0.002) on social interaction skill and -t < -t table (-13.385 < -2.201) or p < 0.05 (0.000) on communication skills. There is a difference in improving social communication skills and sosial interaction between control and treatment groups, which increase the ability of communication and social interaction is smaller than the control group were found. Conclusion of this research is that audio brainwave therapy affects communication skills and social interaction autistic child.

Keywords: autism, audio brainwave therapy, communication skills and social interaction skill


(14)

2 BAB 1

PENDAHULUHAN

A. LATAR BELAKANG

Autis merupakan gangguan perkembangan yang komplek, disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan social dan belajar. Autisme adalah gangguan mental yang masih misterius dan diderita oleh 400.000 anak di Amerika Serikat. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15-0,20%, jika angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak pertahun, dimana jumlah penderita laki – laki empat kali lebih besar dibandingkan penderita perempuan. Anak perempuan yang mengalami autis cenderung lebih parah dibandingkan anak laki – laki. Gejala – gejala autism mulai tampak masa yang paling awal dalam kehidupan mereka dan melakukan kebiasaan – kebiasaan lainnya yang terjadi dilakukan oleh bayi – bayi normal lainnya (Maulana, 2008). Gangguan autism baru disadari pada usia 18 bulan – 2 tahun dimana gangguan bicara dan kelemahan interaksi social yang seharusnya sudah dikuasai tidak tampak pada anak dan lebih nyata pada saat masa kanak – kanak awal (2 – 6 tahun). Ciri utama dari autism adalah ketidakmampuan untuk melakukan interaksi social, masalah pada komunikasi dan adanya perbuatan repetitive dan stereotip. Sedangkan gangguan tingkah laku merupakan bagian dari cirri utama yang tampak pada anak autis meliputi hiperaktifvitas, tidak adanya perhatian, kegagalan melakukan kontak mata, impulsive, mudah tersinggung,


(15)

3

tantrum (mengamuk) gelisah serta perbuatan yang cenderung melukai diri sendiri dan sebagainya.

Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi dan imik datar. Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila didekati malah menjauh. Bila mereka berada dalam suatu ruangan dengan orang lain maka penderita autis cenderung menyibukkan diri (Maulana, 2008).

Dalam penangannya autis sangat diperlukan peranan orang tua, namun pada kenyataannya sebagian orang tua bahkan cenderung lepas tangan, karena tidak menyadari bahwa peran mereka sangat menentukan perkembangan anaknya (Puspita, 2004). Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya pengarahan yang sistematis dan terarah, padahal banyak informasi baru dan perubahan yang harus


(16)

4

dicerna oleh orang tua. Kesembuhan anak autis dipengaruhi pula oleh diagnose dini dan terapi yang intensif. Pada gangguan autis jika tidak ditangani dengan baik, akan semakin memperparah kondisi anak hingga dewasa nanti (Delpie, 2009).

Masalah autis dapat terjadi pada semua kalangan baik kaya maupun miskin, kelas bawah maupun kelas atas, pedesaan, perkotaan dan terjadi pada semua kalangan etnik dan budaya di seluruh dunia (Sutadi, 1997). Bagi orang tua yang anaknya dinyatakan autis selalu bertanya “Apakah anak asaya bisa disembuhkan?” Autistic dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak terlihat lagi sehingga bisa berbaur normal dalam masyarakat secara normal. Untuk menuju kesana tentunya membutuhkan intervensi yang holistic terutama kesabaran orang tua. Tidak ada satu terapi yang bisa menyembuhkan autis, melainkan terapi harus dilaksanakan secara terpadu baik terapi medikamentosa, biomedik, okupasi dan yang lainnya .

Dari permasalahan diatas peneliti mencoba meneliti apakah ada pengaruh antara terapi audio brainwave terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan interaksi social pada anak autis?

B. RUMUSAN MASALAH

1. Adakah pengaruh terapi audio brainwave terhadap kemampuan komunikasi anak autis ?


(17)

5 C. TUJUAN 1. Tujuan umum :

Untuk mengetahui pengaruh terapi audio brainwave terhadap kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak autis.

2. Tujuan khusus :

a. Untuk mengetahui pengaruh audio brainwave terhadap kemampuan komunikasi anak autis.

b. Untuk mengetahui pengaruh audio brainwave terhadap interaksi sosial anak autis.

D. MANFAAT 1. Manfaat Teoritis

a. Menjadi sumber informasi dan menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya dan perkembangan ilmu kesehatan.

b. Memperbanyak pengetahuan tentang autis khususnya yang berhubungan dengan terapi audio brainwave.

2. Manfaat Praktis Diharapkan :

a. Dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang autis dan cara penanganannya.

b. Dapat dijadikan masukan dalam memberikan penyuluhan kesehatan khususnya tentang autis

c. Memberi wacana pada petugas kesehatan untuk merencanakan program kesehatan yang lebih baik dimasa mendatang.


(18)

6 BAB II

KAJIAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS

A. TEORI 1. Autis Syndrom Disorder

a. Pengertian autis

Autism berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autism seakan – akan hidup di dunianya sendiri (Danuatmadja, 2003).

Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang meliputi kesulitan komunkasi, perilaku dan kemampuan berinteraksi (aams, 2003). Menurut Budiman (2000) autis adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh adanya kerusakan syaraf mengakibatkan adanya gangguan perkembangan komunikasi, perilaku kemampuan sosial dan belajar. Sedangkan menurut dr. Rimland yang dikutip oleh Seroussi (2004) menyimpulkan bahwa autis bukan kelainan psikologis yang disebabkan oleh kurangnya kasih sayang ibu melainkan karena kelainan syaraf dan fisiologis.

Dari beberapa pengertian di atas dapat saya simpulkan bahwa autis bukanlah kelainan psikologis akibat kurangnya kasih sayang maupun kurangnya sosialisasi melainkan adanya kerusakan pada saraf otak sehingga menyebabkan gangguan komunikasi, interaksi social dan perilaku.

Gangguan autistik terjadi dengan angka 2 sampai 5 kasus per 10.000 anak (0,02 – 0,05 persen) di bawah usia 12 tahun. Jika retardasi mental berat dengan ciri autistik dimasukkan, angka dapat meningkat sampai setinggi 20 per 10.000. Pada sebagian besar kasus autisme mulai sebelum 36 bulan tetapi mungkin tidak


(19)

7

terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan keparahan gangguan. Gangguan autistik ditemukan lebih sering pada anak laki – laki dibandingkan dengan anak perempuan. Tingkat keparahan pada anak autis tergantung dari berat ringannya gejala yang tampak (Sadock, 2000)

Schechter dan Grether menganalisis data kasus-kasus autis anak pada California Departement od Developmental Service dari tahun 1995 sampai Maret 2007. Temuan mereka sebagai berikut :

1. Untuk setiap tahun yang berumur 3-12 tahun, estimasi prevalensi autis anak meningkat selama periode studi.

2. Untuk anak lahir sebelum 1993, prevalensi autis pada umur 3 tahun adalah 0,3 / 1.000 anak.

3. Tahun 2003, prevalensi autis anak umur 3 tahun adalah 1,3 per 1.000 anak. 4. Estimasi prevalensi tertinggi terjadi tahun 2006, yaitu 4,5 dari 1.000 anak lahir

tahun 2.000 diperkirakan menderita autis.

5. Walaupun terlalu dini untuk menghitung prevalensi untuk umur 6 tahun atau lebih anak-anak yang dilahirkan setelah tahun 2.000, prevalensi pada umur 3-5 tahun telah meningkat setiap tahun sejak tahun 1.999.

6. Timerosal telah ditarik pada periode yang sama dengan kasus autis anak umur 3-5 tahun meningkat.

7. Berdasarkan gambaran kuartal, angka kasus autis pada umur 3-5 tahun meningkat setiap kuartal dari Januari 1995 (0,6 per 1.000 kelahiran hidup) sampai dengan maret 2007 (4,1 per 1.000 kelahiran hidup).


(20)

8

Menurut Fouse dan Wheeler (1997) perilaku – perilaku autistic yang terdapat pada anak autis membentuk sebuah spectrum mulai dari tingkat ringan ke tingkat yang lebih berat. Spectrum tersebut digunakan sebagai salah satu alat untuk menentukan berat ringannya keparahan pada anak autis. Adapun spectrum dari autis bisa dilihat di bawah ini :

Table 1. Spectrum Autis

Tingkat keparahan

Ringan (less Severe) Sedang (Moderate) Berat (More Servere) Bermasalah dalam

bahasa

Adanya ketidakrelaan Marah – marah (tempertantrum) Dapat berkata – kata

dan berbicara

Echolalia (membeo) Tidak berkata – kata

maupun berbicara Terkikih – kikih,

tertawa genit, gelisah dan tidak tenang serta meregangkan otot

Kegaduhan yang tidak seperti biasanya

Berteriak – teriak

Berinteraksi dengan yang lainnya

Suka mengamati lainnya

Menarik diri dari yang lainnya.

Disfungsi ringan pada pancaindera

Disfungsi sedang pada pancaindera

Disfungsi berat pada pancaindera

Serangan kepanikan Melarikan diri Perilaku agresif

Sumber : Fouse B. dan Wheeler, M “A Treasure Chest of Behavioral Strategies for Individual with Autism” tahun 1997


(21)

9 b. Penyebab Autis :

1) Gangguan susunan syaraf pusat

Ditemukan adanya kelainan neuroanatomi pada beberapa tempat di dalam otak anak autis. Anak autis mengalami pengecilan otak kecil terutama pada lobus VI – VII. Seharusnya di lobus VI – VII banyak terdapat sel purkinje. Namun pada anak autis jumlah sel purkinje sangat kurang. Akibatnya, produksi serotonin kurang, menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu.

2) Genetika (factor keturunan)

Ditengarai adanya kelainan kromosom pada anak autis, namun kelainan itu tidak selalu pada kromosum yang sama.

3) Gangguan system pencernaan

Pada anak autis biasanya terdapat kekurangan enzim zekretin. 4) Infeksi virus dan jamur

Pada kehamilan trimester pertama yaitu 0 – 4 bulan, factor pemicu ini biasanya terdiri dari infeksi toksoplasma, rubella, candida. Bahkan sesudah lahir (post partum) juga dapat pengaruh dari berbagai pemicu, misalnya infeksi berat – ringan pada bay, imunisasi MMR dan Hepatitis B (mengenai dua jenis imunisasi ini masih kontrovers).

Tumbuhnya jamur terlebih diusus anak sebagai akibat pemakaian antibiotika yang berlebihan, dapat menyebabkan kebocoran usus (leakygut syndrome) dan ketidaksempurnanya pencernaan kasein dan glutein.


(22)

10 5) Keracunan logam berat

Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan logam berat dan beracun pada anak autis. Diduga kemampuan sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetic. Logam berat seperti : arsenic (As), antimony (Sb), admium (Kd), air raksa (Hg), dan timbale (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat.

c. Criteria diagnostic autism menurut DSM – IV (Diagnostic Statistical Manual, edisi ke 4) yang dikembangkan oleh American Pshychiatric Association (APA, 1994).

1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara yang berikut ini :

a) Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku nonverbal (bukan lisan), seperti kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi social.

b) Ketidakmampuan melakukan hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

c) Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain

2) Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan paling sedikit salah satu dari yang berikut ini :

a) Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gesture atau mimic muka sebagai cara alternative dalam berkomunikasi)


(23)

11

b) Cirri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana.

c) Penggunaan bahasa yang repetitive (diulang – ulang) atau stereotip (meniru – niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh)

d) Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura – pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan perkembangannya.

3) Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive dan stereotip seperti yang ditunjukkan oleh paling sedikit satu dari yang berikut ini :

a) Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih pola minat yang terbatas atau stereotip yang bersifat abnormal baik dalam intensitas maupun focus.

b) Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang nonfungsional (tidak berhubungan dengan fungsi).

c) Perilaku gerakan stereotip dan repetitive (seperti terus – menerus membuka genggaman, atau memuntir jari atau tangan atau menggerakkan tubuh dengan cara yang komplek)

d) Keasyikan yang terus menerus terhadap bagian – bagian dari sebuah benda.

d. Beberapa terapi untuk anak autis :

Gangguan di otak tidak dapat disembuhkan, tapi dapat ditanggulangi dengan terapi dini, terpadu dan intensif. Gejala – gejala autis dapat dikurangi, bahkan


(24)

12

dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat, berkarya bahkan membina keluarga. Berikut ini beberapa jenis terapi bagi anak autis.

1) Teraphi medikamentosa

Pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga diberikan obat psikotropika seperti obat – obat antidepresan yang bisa memberikan keseimbangan antara neurotransmitter, serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemakaian obat ini adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping. Bila anak mengalami kemajuan, maka pemberian obat dapat dikurangi, bahkan dapat pula dihentikan.

2) Terapi biomedis

Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolism tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan, dan keracunan logam berat. Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya mempengaruhi fungsi otak. 3) Terapi wicara

Hampir semua penyandang autism menderita gangguan bicara dan berbahasa. Oleh karena itu terapi wicara bagi penyandang autism merupakan suatu keharusan. Tahun 1977 Lovaas menggunakan pendekatan Behavioris – model operant conditioning. Anak yang mengalami hambatan bicara di latih dengan proses pemberian reinforcement da meniru vokalisasi terapis.


(25)

13

Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku tidak wajar dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat.

5) Terapi okupasi

Terapi ini bertujuan agar anak autis yang mempunyai perkembangan motorik kurang baik, antara lain gerak – geriknya kasar dan kurang luwes. Terapi okupasi akan menguatkan dan, memperbaiki koordinasi, dan keterlambatan otot halus anak.

6) Alternative terapi lainnya : - Terapi akupuntur :

Dengan terapi tusuk jarum diharapkan dapat menstimulasi system saraf pada otak hingga bekerja kembali.

- Terapi music

Music dapat memberikan getaran gelombang yang akan berpengaruh terhadap permukaan membrane otak. Secara tidak langsung yang akan berpengaruh terhadap permukaan membrane otak sehingga dapat memperbaiki fungsi fisiologis. Harapannya fungsi indera pendengaran sekaligus merangsang kemampuan bicara.

- Terapi lumba – lumba

DAT / Dolphin Assisted Theraphy adalah terapi yang digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara dan kemampuan motorik pada anak dan orang dewasa dengan diagnosis gangguan perkembangan fisik dan emosi seperti autism, dan retardasi mental. Teori yang mendasari terapi ini adalah anak dengan kebutuhan khusus yang


(26)

14

berinteraksi dengan lumba – lumba akan meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi. Program ini digunakan untuk merubah perilaku yaitu memberikan penguatan pada anak – anak melalui interaksi dengan lumba – lumba.

2. Brainwave

Otak manusia menghasilkan gelombang listrik yang beraneka dan berfluktuasi. Gelombang listrik ini disebut gelombang otak atau brainwave. Gelombang otak tidak hanya menunjukkan kondisi pikiran dan tubuh seseorang, tetapi dapat juga distimulasi atau mereduksi jenis frekwensi gelombang otak tertentu, maka dimungkinkan untuk menghasilkan beragam kondisi mental dan emosional.

Otak manusia secara umum menghasilkan 4 gelombang secara bersamaan yaitu betha, alpha, tetha dan delta. Tetapi selalu ada jenis gelombang otak yang dominan, yang menandakan aktifitas otak saat itu. Pada gelombang otak akan berubah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang tersebut.

a) Jenis – jenis gelombang otak : a. Gamma (16 hz – 100 hz)

Gelombang yang terjadi pada saat seseorang mengalami aktifitas mental yang sangat tinggi, misalnya sedang dalam pertandingan, tampil di muka umum, perebutan kejuaraan, ketakutan, panic, kondisi ini dalam kesadaran penuh.


(27)

15 b. Beta (12 hz – 19 hz)

Merupakan gelombang otak yang terjadi pada saat seseorang mengalami aktifitas mental yang terjaga penuh. Gelombang ini dapat ditemukan pada seseorang beraktifitas sehari – hari, berinteraksi dengan lingkungan kita. c. Sensory Motor Rhytm (12 hz – 16 hz)

SMR sebenarnya masih masuk dalam kategori Lowbeta, namun hal ini mendapatkan perhatian khusus karena penderita epilepsy, ADHD, ADD, autism tidak menghasilkan gelombang ini. Para penderita di atas tidak mampu berkonsentrasi atau focus pada suatu hal yang dianggap penting. Sehingga pengobatan yang tepat adalah cara agar otaknya mampu menghasilkan getaran SMR tersebut.

d. Alpha (8 hz – 12 hz)

Adalah gelombang otak yang terjadi pada saat seseorang yang mengalami relaksasi atau mulai istirahat dengan tanda – tanda mata mulai menutup atau mulai mengantuk. Seseorang menghasilkan alpha setiap akan tidur, tepatnya masa peralihan antara sadar dan tidak sadar.

e. Tetha (4 hz – 8 hz)

Adalah gelombang otak yang terjadi saat seseorang tertidur ringan, atau sangat mengantuk. Tanda – tandanya nafas mulai melambat dan dalam. Selain seseorang diambang tidur, beberapa orang juga menghasilkan gelombang otak ini saat trance, hypnosis, meditasi alam, berdoa, menjalani ritual agama dengan khusyuk. Orang yang mampu mengalirkan tenaga dalam juga menghasilkan gelombang otak tetha pada saat mereka latihan atau


(28)

16

menyalurkan energinya kepada orang lain. Gelombang alpha dan tetha adalah gelombang pikiran bawah sadar. Anak – anak lebih cepat sekali dalam belajar dan mudah menerima perkataan dari orang lain apa adanya. Gelombang ini juga menyebabkan daya imajinasi anak – anak luar biasa.

f. Deltha (0,5 hz – 4 hz)

Adalah gelombang otak yang memiliki amplitude yang besar dan frekwensi yang rendah, yaitu dibawah 3 hz. Otak menghasilkan gelombang delta ketika seseorang tertidur lelap, tanpa mimpi. Fase delta adalah fase istirahat bagi tubuh dan fikiran. Tubuh akan melakukan proses penyembuhan diri, memperbaiki kerusakan jaringan, dan aktif memproduksi sel – sel baru saat seseorang tertidur lelap.


(29)

17 b) Gelombang Otak anak Autis

Pada anak autis memiliki Brainwave Beta yang sangat rendah. Beta bisa membuat seseorang termotivasi melakukan sesuatu, seseorang memilki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan dan memperhatikan intruksi yang diberikan orang lain. Gelombang otak anak autis didominasi oleh gelombang Theta. Theta yang tinggi membuat anak – anak autis tidak bisa fokus dan perhatian. Anak autis memiliki theta yang tinggi sehingga emosinya mudah meledak dan mereka tidak memiliki Beta untuk mengendalikannya.

c) Mekanisme terapi gelombang otak untuk anak autis :

Terapi gelombang otak akan melakukan sinkronisasi kepada gelombang otak anak. Tujuannya yaitu menaikkan gelombang Beta (SMR/Low beta) dan mensinkronisasi gelombang alpha yang tinggi. Otak dan sistem saraf manusia seperti komputer yang sangat canggih. Jika komputernya normal maka segala tugas akan dilakukan dengan baik, namun jika terjadi gangguan maka aliran listrik data bisa terhambat. Jika manusia normal menerima input dari eksternal melalui indera sensori. Lalu input itu akan diproses di sistem saraf dan diteruskan ke seluruh tubuh. Misalkan ketika menghirup harum maka indera penciuman yang bekerja. Input itu diterima oleh otak dan sistem saraf mengetahui hal itu. Anak – anak autis mengalami gangguan di gelombang otak sehingga pesan yang disampaikan ke seluruh tubuhnya pun tidak seperti yang diinginkan

Banyak anak autis yang tidak mendapat kesempatan menikmati terapi lumba – lumba. Mungkin karena masalah biaya atau memang karena di kota tempat tinggalnya tidak ada tempat terapi lumba – lumba. CD Audio Brainwave untuk


(30)

18

anak autis ini meniru pola gelombang lumba – lumba. Cara menggunakannya : CD ini diputar di tempat bermain anak atau diputar di kamar tidur saat anak sedang tidur. Meskipun anak tidak mendengarkan, otak anak tetap merespon rangsangan gelombang suara frekuensi tertentu yang keluar dari speaker. Dengarkan CD dua kali sehari sambil menutup mata, dengan atau tanpa headphone. Bisa juga memutar CD sebagai background aktivitas. Terapi audio brainwave akan terasa efeknya dalam satu atau dua minggu pemakaian dengan sehari di degarkan satu kali sehari atau dua kali sehari.

Terapi Brainwave tidak dianjurkan untuk diperdengarkan kepada : a. Penderita epilepsy

b. Pengguna alat pacu jantung

c. Mereka yang mudah mengalami kekejangan (seizures)

3. Komunikasi

Komunikasi adalah proses transaksional, meliputi pemisahan dan pemilihan lambang kognitif sehingga dapat membantu orang lain mengeluarkan hasil pengalamannya dengan merespon yang sama dengan yang dimaksud sumber (Roes, 1989).

Dalam ilmu jiwa komunikasi memiliki makna yang luas yaitu penyampaian energy, gelombang suara tanda di antara tempat, system atau organisme.

Menurut Cliffort T. Morgan adalah rangsangan yang dibuat suatu organism yang mengandung makna bagi organism lain sehingga berpengaruh terhadap perilaku. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari sumber ke sasaran/penerima pesan.


(31)

19

Komunikasi adalah pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangka menciptakan rasa saling mengerti dan saling percaya, demi terwujudnya hubungan yang baik antara seseorang dengan orang lain.

Komunikasi terdiri dari 2 sistem :

a. Encoding (memberi rangsangan atau stimulus) Terdiri dari komponen :

- Transmitter 1 (T1) : bicara

- Transmitter 2 (T2) : gerakan tangan dan lengan - Transmitter 3 (T3) : ekspresi wajah

- Transmitter 4 (T4) : gerakan tubuh yang lain

b. Decoding (menerima dan memberi tanggapan)

Terdiri dari komponen :

- Sensor 1 (S1) : pendengaran - Sensor 2 (S2) : penglihatan

- Sensor 3 (S3) : taktil dan propioseptif Proses yang terjadi dalam komunikasi :

a. Pesan yang direalisasikan dalam bentuk symbol – symbol bunyi.

Pengembangan sangat berkaitan erat dengan fungsi pendengaran, disamping fungsi sensor lainnya. Komunikasi ini disebut komunikasi verbal atau pesan linguistic yaitu pertukaran informasi dengan menggunakan bahasa.

b. Ada pesan yang direalisasikan dalam bentuk gerakan.

Disebut komunikasi non verbal yaitu arah yang digunakan untuk menyampaikan pesan dengan bahasa isyarat.


(32)

20

Jadi komunikasi merupakan proses yang melibatkan unsure pemikiran, bagaimana ide – ide atau pengalaman dapat dengan mudah dirumuskan ke dalam tatanan bunyi bahasa sehingga terangkai dalam tatanan kalimat yang bagus serta adanya perubahan tarikan – tarikan otot wajah, ekspresi wajah, gerakan tangan dan lengan, atau gerakan tubuh yang lainnya.

Menurut Morley dalam Atmaja bahasa adalah istilah untuk menjelaskan makna dan pikiran yang dirumuskan ke dalam system linguistic, sebagai dasar mengangkut pesan. Bahasa adalah system dari symbol – symbol vocal yang menjadi kesepatan masyarakat.

Manfaat komunikasi :

a. Membantu mengerti apa yang diinginkan dan dirasakan oleh anak autis b. Mengetahui kemampuan dan kecerdasan yang sebenarnya

c. Orangtua bisa mengembangkan hubungan emosional yang dekat dengan anak autis

d. Kemungkinan masuk sekolah umum lebih besar

e. Bila anak bisa bicara, maka anak akan lebih bisa diatur dan berkembang lebih pesat

Salah satu ciri utama pada gangguan autistic adalah hambatan yang besar dalam berkomunikasi dan berbicara. Orangtua umumnya amat berharap anaknya segera bisa bicara. Anak saya bisa menyanyi, tapi kenapa tidak mau menjawab pertanyaan saya?


(33)

21 Perkembangan Bahasa Anak

1) Tahap penyuaraan reflex (reflexive voalization)

Seluruh aktifitas normal bayi baru lahir sampai berumur 3 minggu masih bersifat reflex, benar – benar tidak disadari, tanpa kehendak, tidak meminta ataupun menuntut apapun.

2) Tahap babbling

Dimulai saat umur 6 – 7 bulan. Bayi senang mengulang bunyi yang dibuatnya. Yang masih tergolong aktifitas reflex. Bunyi yang dihasilkan mulai variatif. Macam – macam bunyi vocal a, i, u, e, o, dan kadang durasi panjang atau pendek, nyaring atau pelan. Bunyi – bunyi mirip vocal misalnya “pa – pa”, “ba – ba”

3) Tahap lalling

Disebut sebagai tahap mengoceh atau jargon. Dimulai saat usia 6 – 8 bulan. Ocehan sudah dalam bentuk kombinasi konsonan. Misalnya : gub, gub. Bayi tidak lagi berada pada masa reflex. Suara atau ocehannya telah didengarnya sendiri atau ia memiliki feedback auditory atau kemampuan menanggapi apa yang didengar. Bayi melatih dirinya secara sengaja ke pengucapan kata. 4) Tahap ekolalia

Anak cenderung meniru atau mengulang suku kata dari individu tanpa mengubah apa yang di dengar dari lingkungan. Dimulai pada usia 9 – 10 bulan.

5) Tahap true speech


(34)

22

Table 2. Aspek – aspek Perkembangan Bahasa dan Komunikasi

Aspek perkembangan komunikasi dan bahasa Usia

(dlm

bln) Anak normal Anak autis

2 Suara – suara vocal

6 Pembicaraan vocal atau bertatap muka, posisi dengan orang tua, suara – suara konsonan mulai muncul.

Tangisan sulit dipahami,

8 Berbagai intonasi dalam ocehan, mengocehkan potongan – potongan kata berulang ulang (ba-ba, ma-ma), gerakan menunjuk mulai muncul.

Ocehan yang terbatas atau tidak normal, tidak ada peniruan bunyi, bahasa tubuh, ekspresi

12 Kata – kata pertama mulai muncul, penggunaan jargor dengan intonasi seperti kalimat, bahasa yang sering digunakan untuk menanggapi lingkungan dan permainan vocal, penggunaan bahasa tubuh dan vokalisasi untuk mendapatkan perhatian, menunjukkan benda – benda dan mengajukan permintaan.

Kata – kata pertama mungkin sering muncul tapi tidak bermakna

Sering manangis keras – keras tetapi sulit dipahami

18 3 – 50 kosa kata, bertanya pertanyaan yang sederhana, perluasan makna kata yang berlebihan (missal : papa untuk semua laki – laki), menggunakan bahasa untuk menanggapi, meminta sesuatu dan tindakan, dan mendapatkan perhatian. Mungkin sering melakukan perilaku echo atau meniru.


(35)

23 24 Kadang – kadang 3 – 5 kata

digabung, bertanya pertanyaan yang sederhana, menggunakan kata ini disertai menunjuk, menyebut diri sendiri dengan nama bukannya saya, tidak dapat mempertahankan topic pembicaraan, bisa dengan cepat membalikkan kata – kata ganti.

Biasanya kurang kari 15 kata

Kata – kata muncul kemudian hilang Bahas tubuh tidak berkembang, sedikit menunjuk pada benda

36 Bahasa berfokus pada disini dan sekarang, kosakata sekitar 1000 kata, perilaku echo jarang terjadi, bahasa sering digunakan untuk berbicara mengenai disana dan kemudian, banyak bertanya, seringkali lebih untuk melanjutkan interaksi daripada untuk mencari informasi.

Kombinasi kata– kata jarang

Mungkin ada kalimat – kalimat yang bersifat echo, tapi tidak ada penggunaan bahasa yang kreatif Ritme, atau penekanan yang aneh Artikulasi yang asangat rendah, separuh dari anak – anak normal Separuhnya atau lebih tanpa ucapan – ucapan yang bermakna

Menarik tangan orang tua dan membawanya ke suatu obyek

Pergi ke suatu tempat yang sudah biasa dan menunggu untuk mendaptkan sesuatu.

48 Struktur kalimat yang komplek yang digunakan, dapat mempertahankan topic pembicaraan dan menambah informasi baru, bertanya pada orang lain untuk menjelaskan ucapan – ucapan, menyesuaikan kualitas bahasa dengan pendengar.

Sebagian kecil bisa mengombinasikan dua atau tiga kata secara kreatif

Echolalia masih ada, mungkin digunakan secara komunikatif

Meniru iklan TV Membuat permintaan


(36)

24 Penyebab gangguan bicara :

a. Masalah pada otot tubuh (susah menggerakkan otot secara cepat dan kuat) b. Kurang banyak diajak berinteraksi (dibiarkan asik sendiri, dilayani penuh) c. Belajar beberapa bahasa sekaligus

d. Kecemasan untuk berbicara (takut salah, tidak berani kontak mata) e. Susah mengerti bahasa

f. Pengajaran bahasa yang kurang tepat (terlalu banyak diberi perintah, penggunaan bahasa tidak konsisten)

Bicara vs Komunikasi :

a. Anak yang bisa berbicara dan bernyanyi BELUM TENTU bisa berkomunikasi dengan baik.

b. Dalam komunikasi dua arah dibutuhkan kemampuan mengirimkan pesan, memahami pesan dari orang lain, memberikan “jawaban” yang tepat.

c. Komunikasi pada anak autis tidak harus selalu melibatkan bahasa verbal, tapi bisa dengan bahasa isyarat, gambar, dan tulisan.

d. Ekolalia (mengulang kata/kalimat)

Banyak anak autis yang tidak tahu bahwa bicara gunanya untuk komunikasi. Mereka lebih banyak berbicara pada diri sendiri. Ekolalia sebenarnya berguna bagi anak:

1) menimbulkan perasaan senang

2) menenangkan diri dan memblokir suara suara bising dari luar 3) membantu mengerti ucapan orang lain


(37)

25 Tahapan komunikasi anak autis :

a. The Own Agenda Stage

1) Asik dengan dirinya sendiri

2) Belum tahu bahwa komunikasi dapat mempengaruhi orang lain 3) Mengambil sendiri makanan/bendabenda

4) Interaksi hanya dengan orangtua/pengasuh 5) Belum dapat bermain dengan benar

6) Menangis/berteriak bila terganggu b. The Requester Stage

1) Sadar bahwa tingkahlakunya bisa mempengaruhi orang lain 2) Menarik tangan bila ingin sesuatu

3) Menyukai interaksi dalam bentuk kegiatan fisik (bergulat, dikelitiki, main cilukba)

4) Mengulangi kata/suara untuk diri sendiri

5) Dapat mengikuti perintah sederhana walaupun belum konsisten 6) Memahami rutinitas sehari-hari

c. The Early Communication Stage

1) Sudah bisa berkomunikasi dengan gesture, suara, gambar

2) Tahu cara menggunakan bentuk komunikasi tertentu secara konsisten 3) Komunikasi terbatas untuk pemenuhan kebutuhan (makan, minum, benda

kesukaan)


(38)

26

5) Dapat belajar menjawab pertanyaan "Apa ini/itu?", mengenal konsep "Ya/Tidak"

d. The Partner Stage

1) Mulai melakukan percakapan sederhana

2) Menceritakan pengalaman masa lalu dan keinginan yang belum terpenuhi 3) Masih terpaku pada kalimat yang dihafalkan

4) Bagi anak non-verbal, mampu menyusun kalimat dengan gambar atau tulisan

5) Masih mengalami kesulitan dalam interaksi sosial Mendorong anak berkomunikasi :

a. Sikap

1) Wajah kita sejajar dengan wajah anak

2) Cari posisi duduk yang nyaman bagi anak (berhadapan vs bersebelahan) 3) Ekspresi wajah ramah tapi tidak berlebihan

4) Perlihatkan sikap menunggu jawaban 5) Mendorong anak berkomunikasi b. Situasi yang menyenangkan

1) Situasi santai, beri waktu cukup sebelum anak berespon 2) Ciptakan situasi untuk berkomunikasi

3) Intonasi suara menarik 4) Beri pujian untuk usaha anak

5) Gunakan benda-benda yang disukai anak dan peraga visual yang menarik 6) Mendorong anak berkomunikasi


(39)

27 c. Penggunaan bahasa

1) Kalimat singkat, sederhana dan jelas 2) Beri penjelasan pada setiap kegiatan

3) Gunakan isyarat tubuh untuk memperjelas pembicaraan atau perintah 4) Tetap bicara pada anak, walaupun anak belum bisa bicara

5) Pilih satu bahasa yang digunakan di rumah dan di tempat terapi/sekolah HINDARI….

1) Memaksakan kontak mata

2) Terlalu banyak bertanya dengan pertanyaan terbuka

3) Mengulang-ulang pertanyaan bila anak tidak segera menjawab 4) Mengajak anak berkomunikasi saat ia asik melakukan aktivitas 5) Menggerakkan tangan secara berlebihan

6) Berbicara cepat dengan nada tinggi

4. Interaksi sosial

Perilaku autistic adalah perilaku yang berlebihan (excessive) atau perilaku yang berkekurangan (deficient) sampai ke tinglkat tidak ada perilaku. Perilaku autistic antara lain (Danuatmaja, 2003) :

a. Perilaku berlebihan (excessive)

1) Perilaku self abuse (melukai diri seniri)

Perilaku memukul, menggigit, mencakar diri sendiri 2) Agresif

Perilaku menendang, memukul, mencubit, menggigit 3) Tantrum


(40)

28

Perilaku menjerit, menangis, dan meloncat - loncat 4) Membuat berantakan

Masuk dalam lemari membuat berantakan buku – buku dan mainan, dan bermain – main di air

5) Perilaku stimulasi diri

Menatap jari – jemari, berayun dan mengepak – kepakkan tangan b. Perilaku berkekurangan (deficient)

1) Tidak ada kontak mata

2) Melakukan kegiatan yang berulang – ulang 3) Tidak bisa bicara atau keterlambatan bicara

4) Tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar 5) Menirukan perilaku dan suara orang lain


(41)

29 Tabel 3. Perkembangan Interaksi social

Aspek perkembangan Usia

(dlm

bln) Anak normal Anak autis

2 Menggerakkan kepala dan mata untuk mencari arah suara

Senyuman social

6 Perilaku meraih sebagai antisipasi untuk di gendong

Mengulangi tindakan ketika ditiru oleh orang dewasa

Kurang aktif dan menuntut dibanding bayi normal

Sebagian kecil cepat marah. Kurang sekali kontak mata Tidak ada respon antisipasi secara social

8 Membedakan orang tua dari orang lain

“Memberi dan menerima” permainan pertukaran obyek dengan orang dewasa

Main ciluk bad an semacamnya Menunjukkan obyek pada orang dewasa

Melambaikan tangan tanda perpisahan

Menangis atau merangkak mengejar ibu ketika ibu pergi dari ruangan

Sulit reda ketika marah

Sekitar sepertiga diantaranya sangat menarik diri dan mungkin secara aktif menolak interaksi. Menerima perhatan tetapi sangat sedikit memulai interaksi

12 Anak memulai permainan dengan lebih sering.

Peran sebagai agen dan juga responden secara bergiliran.

Kontak visual yang meningkat dengan orang dewasa selama

Sosiabilitas menurun ketika anak mulai belajar berjalan dan merangkak


(42)

30 bermain.

18 Mulai bermain dengan teman sebaya : menunjukkan, memberikan, dan mengambil mainan.

Permainan soliter atau parallel masih sering dilakukan.

Mulai bermain dengan teman sebaya : menunjukkan, memberikan dan mengambil mainan.

Permainan soliter atau parallel masih sering dilakukan

24 Masa bermain dengan teman sebaya singkat

Permainan dengan teman sebaya lebih banyak melibatkan gerakan kasar daripada berbagi mainan

Biasanya membedakan orang tua dengan orang lain, tetapi sangat sedikit afeksi yang diekspresikan.

Mungin memeluk dan mencium sebagai gerakan tubuh yang otomatis ketika diminta.

Tidak acuh terhadap orang dewasa selain orang tua

Mungkin mengembangkan ketakutan yang besar

Lebih suka menyendiri 36 Belajar mengambil giliran dan

berbagi dengan teman sebaya

Masa interaksi kooperatif yang langgeng dengan teman sebaya Pertengkaran dengan teman sebaya sering terjadi.

Senang membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah. Senang berlagak untuk membuat orang lain tertawa.

Ingin menyenangkan orang tua.

Tidak bisa menerima anak – anak yang lain

Sensitivitas yang berlebihan Tidak bisa memahami makna hukuman


(43)

31 48 Tawar menawar peran dengan teman

sebaya dalam permainan sosio-dramatik

Memiliki teman bermain faforit. Teman sebaya tidak menyertakan secara verbal anak – anak yang tidak disenangi dalam permainan

Tidak dapat memahami aturan dalam permainan dengan teman sebaya

60 Lebih berorientasi dengan teman sebaya daripada dengan orang dewasa.

Sangat berminat menjalin hubungan persahabatan

Bertengkar dan saling mengejek dengan teman sebaya.

Dapat mengubah peran dari pemimpin ke pengikut ketika bermain dengan teman sebaya.

Lebih berorientasi pada orang dewasa disbanding dengan teman sebaya

Sering menjadi lebih bisa bergaul, tetapi interaksi tetap aneh dan satu sisi


(44)

32

B. PENELITIAN – PENELITIAN YANG RELEVAN

1. Peneliti dari University of Cambridge yaitu Michael Lombardo yang melakukan penelitian dengan scan otak yang canggih menemukan bahwa ada bagian otak penderita autis yang memang tidak mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya jangankan untuk berkomunikasi, untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja, penderita sudah kesulitan. Peneliti menggunakan scan resonance magnetic fungsional untuk mengukur akfivitas otak.

2. Keterlambatan bicara karena gangguan fungsional atau karena imaturitas fungsi bicara pada anak sering dijumpai. Kelainan ini biasanya tidak berbahaya, akan membaik pada usia tertentu dan biasanya tidak memerlukan terapi khusus. Sebaliknya, keterlambatan bicara nonfungsional harus dilakukan intervensi dan terapi sejak dini. Penaganan dini tersebut dapat mengurangi gangguan dan memperbaiki prognosis. Klinisi dan orang tua harus dapat membedakan dengan keterlambatan bicara fungsional dan nonfungsional. (Dr. Widodo Judarwanto, SpA).

3. Andriana Soekandar Ginanjar mengatakan Kompleksitas spektrum autistik yang terungkap melalui penelitiannya menunjukkan bahwa untuk dapat memahami individu SA dibutuhkan kerangka berpikir holistik, yaitu yang memandang setiap individu sebagai kesatuan dari taraf-taraf neurologis, biologis, psikologis, dan agama atau spiritualitas.


(45)

33

C. KERANGKA BERFIKIR

Gambar 2. Kerangka berfikir penelitian pengaruh terapi Audio Brainwave terhadap kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak autis.

ASD

(Autis Spectrum Disorder)

Stimulasi sel – sel otak

Meningkatkan kemampuan komunikasi

Sensory Motor Rithm Terapi Audio Brainwave

Meningkatkan kemampuan interaksi


(46)

34

D. HIPOTESIS

1. Ada pengaruh positif terapi audio brainwave terhadap kemampuan komunikasi anak autis.

2. Ada pengaruh positif terapi audio brainwave terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis


(47)

35 BAB III

METODE PENELITIAN

A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di “Cakra Autis Center”. Jl. Srikana no 59 Surabaya. Mulai pada bulan Februari 2010 sampai Juli 2010.

B. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian True experiment dengan racangan penelitian Pretest – Post Tes Control Group Design.

C. POPULASI, SAMPEL dan SAMPLING 1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh anak autis yang berkunjung di “Cakra Autis Center” Surabaya sebanyak 24 anak.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh anak autis pengunjung “Cakra Autis Center” sebanyak 24 anak.

3. Teknik sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan eshaustive sampling Jumlah populasi sebanyak 24 anak, dibagi secara randomisasi menjadi 2 kelompok masing – masing terdiri dari 12 anak. Satu kelompok diberi perlakuan dan kelompok satunya sebagai pengontrol.


(48)

36

D. DEFINISI OPERASIONAL

1. Variable X adalah variable independen. Dalam penelitian ini yaitu terapi audio brainwave. Terapi audio brainwave adalah terapi gelombang otak yang meniru pola gelombang lumba – lumba yang berupa CD dan diperdengarkan pada anak autis ketika ia menjalani terapi lovas, dan ketika ia tidur saat di rumah. Diperdengarkan minimal satu kali sehari dengan durasi 30 menit. Terapi ini dilakukan selama 4 minggu.

2. Variable Y adalah variable dependen yaitu variable yang dipengaruhi oleh variable X. Dalam penelitian ini ada dua variable dependen yaitu Y1 adalah kemampuan komunikasi anak autis dan Y2 adalah kemampuan interaksi social anak autis.

a. Y1 = kemampuan komunikasi anak autis yaitu kemampuan anak autis menyampaikan pesan ke penerima pesan baik secara verbal maupun nonverbal. Alat ukur yang digunakan adalah cheklist dengan skala interval. Untuk pertanyaan positif, jawaban “ya” diberi skore 1 dan jawaban “tidak” diberi skore 0. Untuk pertanyaan negatif, jawaban “ya” diberi skore 0 dan jawaban “tidak” diberi skore 1.

b. Y2 = kemampuan interaksi sosial yaitu Interaksi sosial meliputi hubungan antara manusia dengan manusia (individu dengan individu), individu dengan kelompok dan antar kelompok, yang mana dalam hubungan tersebut terdapat hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik. Alat ukur yang digunakan adalah cheklist dengan skala interval. Untuk pertanyaan positif, jawaban “ya” diberi skore 1 dan jawaban “tidak”


(49)

37

diberi skore 0. Untuk pertanyaan negatif, jawaban “ya” diberi skore 0 dan jawaban “tidak” diberi skore 1.

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Dalam pengumpulan data peneliti dibantu oleh teraphis yang ada di cakra Autis Center. Sebelum pengumpulan data, peneliti mengadakan pertemuan dengan para teraphis membicarakan tentang pengisian cheklist. Cheklist diisi oleh teraphis sebelum dilakukan perlakuan baik pada kelompok perlakukan maupun kelompok kontrol yang disebut dengan pre tes. Kemudian selama 4 minggu pada kelompok perlakuan diberi perlakuan dan kelompok kontrol tidak diberi perlakuan. Setelah 4 minggu cheklist diisi teraphis baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol yang disebut dengan post tes. Cheklist digunakan peneliti untuk mengetahui data karakteristik, kemampuan komunikasi, dan interaksi sosial anak autis di Cakra Autis Center.

F. TEKNIK ANALISIS DATA

Data yang dikumpulkan dari subyek penelitian akan dilakukan penilaian. Setelah dilakukan terapi selama 4 minggu, kemudian di evaluasi dengan menggunakan cheklist. Kemampuan komunikasi dan interaksi social ditentukan dengan skore pada jawaban cheklist. Untuk pertanyaan positif, jawaban “ya” diberi skore 1 dan jawaban “tidak” diberi skore 0. Untuk pertanyaan negatif, jawaban “ya” diberi skore 0 dan jawaban “tidak” diberi skore 1. Dari semua jawaban dijumlahkan kemudian dianalisis menggunakan uji beda yaitu uji T dengan menggunakan program SPSS 17 untuk mengetahui perbedaan antara


(50)

38

variable independen dan dependen sebelum dan setelah diberikan suatu perlakuan dengan nilai kemaknaan p ≤ 0,05 maka ada pengaruh yang signifikan antara variable independen dan variable dependen.


(51)

39 BAB IV

HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Cakra Autis Center terletak di jln. Sri Kana no 59 Surabaya. Di tempat tersebut terdapat 15 ruang terapi, 1 ruang sosialisasi, 1 ruang kantor, 1 ruang gudang dan 2 kamar mandi. Sistem terapi yang dilakukan dengan menggunakan metode Lovaas dan one on one di mana dalam satu ruang terdapat satu terapis dan satu anak autis. Jumlah terapis dalam Cakra Autis Center sebanyak 17 orang, 2 orang tenaga kebersihan.

2. Pada bab ini akan disajikan hasil penelitian dan analisa data. Penyajian penelitian ini merupakan data umum dari karakteristik anak autis dan data khusus anak autis. Penelitian dilakukan pada responden autis yang menjalani teraphi di Cakra Autis Center. Dengan sampel penelitian sebanyak 24 anak.


(52)

40 a. Karakteristik Responden

Gambar 3. Usia anak autis pada kelompok perlakuan

Berdasarkan diagram diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 12 responden kelompok perlakuan , usia < 3 tahun sebanyak 1 anak (8,3 %), usia 3 – 5 tahun sebanyak 8 anak (66,70 %), usia 5 – 10 tahun sebanyak 3 anak (25 %).


(53)

41

Berdasarkan diagram diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 12 responden kelompok kontrol , usia 3 – 5 tahun sebanyak 10 anak (83,3 %), usia 5 – 10 tahun sebanyak 1 anak (8,3 %), dan usia > 10 tahun sebanyak 1 anak (8,3 %).

Gambar 5. Jenis Kelamin anak autis pada kelompok kontrol

Berdasarkan diagram diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 12 responden kelompok kontrol , jenis kelamin laki – laki sebanyak 11 anak (91,70 %) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 1anak (8,3 %).


(54)

42

Gambar 6. Jenis Kelamin anak autis pada kelompok perlakuan Berdasarkan diagram diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 12 responden kelompok perlakuan , jenis kelamin laki – laki sebanyak 10 anak (83,3 %) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 2 anak (6,7 %).

Tabel 4. Terapi Yang Di Dapat Pada Anak Autis

Biomedik Lovas Gelombang otak

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Kontrol 12 100% 12 100% -

Perlakuan 12 100% 12 100% 12 50 %

Sumber: data observasi responden Berdasarkan tabel 4. dapat diperoleh informasi bahwa dari 24 responden autis, baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan semuanya mendapatkan terapi biomedik dan Lovas, dan hanya 12 responden (sebagai kelompok perlakuan) yang mendapatkan terapi audio brainwave.

b. KEMAMPUAN KOMUNIKASI

Tabel 5. Hasil Kemampuan Komunikasi

Meningkat Tidak meningkat Total Responden

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Perlakuan 12 100 % - - 12 100%

Kontrol 4 33,3 % 8 66,7 % 12 100%

Dari tabel 5. dapat diperoleh informasi bahwa setelah 4 minggu dilakukan perlakuan, pada kelompok perlakuan terdapat 12 anak (100%) terjadi peningkatan kemampuan komunikasi. Dan pada kelompok kontrol ada 4 anak (33,3 %) yang


(55)

43

mengalami peningkatan dalam kemampuan komunikasi dan 8 anak (66,7%) tidak terjadi peningkatan kemampuan komunikasi. Dari data di atas diolah menggunakan uji beda (Paired Sample T Tes) dengan bantuan SPSS 17 di dapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 6. Hasil uji statistik kemampuan komunikasi pasca perlakuan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada anak Autis di Cakra Autis Center Surabaya

Perlakuan Kontrol

Pengamatan

T hitung (Significancy) T tabel T hitung T tabel 4 minggu -13,385 (0,000) -2,201 -2,803

(0,017)

-2,201

Berdasarkan pada hasil analisis pada tabel 6. perhitungan uji Paired Sample T test menggunakan bantuan software SPSS 17 dapat diketahui bahwa Nilai t hitung 4 minggu terapi sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

c. KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL

Tabel 7. Hasil Kemampuan Interaksi Sosial (Kelompok Perlakuan)

Meningkat Tidak meningkat Total Responden

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Perlakuan 12 100 % - - 12 100%


(56)

44

Dari tabel 7. dapat diperoleh informasi bahwa setelah 4 minggu dilakukan perlakuan, pada kelompok perlakuan terdapat 12 anak (100%) terjadi peningkatan kemampuaninteraksi sosial. Dan pada kelompok kontrol ada 2 anak (16,7 %) yang mengalami peningkatan dalam kemampuan interaksi sosial dan 10 anak (83,3 %) tidak terjadi peningkatan kemampuan interaksi sosial. Dari data di atas diolah menggunakan uji beda (Paired Sample T Tes) dengan bantuan SPSS 17 di dapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 8. Hasil uji statistik kemampuan interaksi sosial pasca perlakuan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada anak Autis di Cakra Autis Center Surabaya

Perlakuan Kontrol

Pengamatan

T hitung T tabel T hitung T tabel 4 minggu -13,385 (0,000) -2,201 -4,000 (0,002) -2,201

Berdasarkan pada hasil analisis pada tabel 8 perhitungan uji Paired Sample T test menggunakan bantuan software 17 dapat diketahui bahwa Nilai t hitung 4 minggu terapi sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.


(57)

45

B. PEMBAHASAN a. Karakteristik Responden

Karakteristik responden berdasarkan usia, pada kelompok perlakuan menunjukkan bahwa terdapat 66,70 % anak autis dengan usia 3 – 5 tahun dan kelompok kontrol sebanyak 10 (83,3 %). Sesuai dengan berbagai penelitian Judith, menyebutkan bahwa autistik bisa dideteksi secara dini sejak usia 18 – 24 tahun. Pada sebagian besar kasus autisme mulai sebelum 36 bulan tetapi mungkin tidak terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan tingkat keparahan autistik (Kaplan dan Sandock : 2000). Berdasarkan gambaran kuartal, angka kasus autis pada umur 3-5 tahun meningkat setiap kuartal dari Januari 1995 (0,6 per 1.000 kelahiran hidup) sampai dengan maret 2007 (4,1 per 1.000 kelahiran hidup). Jeffrey and Spencer dalam bukunya Psikologi Abnormal menyatakan bahwa gangguan autistik tampak mulai usia 18 – 30 bulan, namun baru pada usia sekitar 6 tahun rata – rata anak pertama kali mendapatkan diagnosis. Keterlambatan dalam diagnosis sangat merugikan, karena anak – anak autistik umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal. Menurut peneliti, autistik bisa diketahui sejak dini yaitu sejak usia masih dalam gendongan. Banyak orang tua belum menyadari bahwa anaknya mengalami keterlambatan perkembangan. Orang tua sering mengatakan “Saya dulu bisa bicara usia 3 tahun”. Ketika orang tua mengalami kecurigaan terhadap perkembangan anaknya tenaga kesehatan mengatakan “tidak apa-apa perkembangan setiap anak berbeda – beda ditunggu dulu sampai usia 3 tahun, baru nanti di periksakan pada tumbuh kembang anak”. Beberapa hal inilah yang


(58)

46

menjadikan orangtua terlambat dalam menyadari bahwa anaknya mengalami katerlambatan perkembangan. Perilaku autistik bisa dideteksi secara dini usia 8 bulan, ketika anak diajak beinteraksi tetapi tidak ada respon, tidak ada kontak mata, tidak menoleh ketika ada suara, yang seharusnya anak sudah bisa mengoceh, ada senyuman pada orang lain, mengerti perintah “tidak boleh”, bisa da-da,da-da. Pada umumnya para orang tua yag mempunyai anak autistik lebih dahulu mengetahui gejala – gejala kelainan pada diri anaknya. Namun para orang tua kurang memahami terjadinya perubahan – perubahan pada susunan saraf pancaindera di otak anak mereka. Mereka juga tidak mengetahui adanya ketidakmampuan pengintegrasian pancaindera yang menunjukkan adanya ketidakefisienan yang bersifat neorologis saat pemrosesan informasi yang akan berdampak pada kesulitan perkembangan dan perilaku. Ketidakberfungsian secara neorologis tersebut terjadi pada sistem saraf pusat yang ditandai dengan ketidakmampuan otak untuk menganalisis, mengorganisasi, dan melakukan hubungan sosial. Dampak dari hal tersebut anak tidak mampu melakukan respon terhadap informasi yang datang melalui pancaindera yang ditandai dengan tidak adanya perilaku yang sesuai, berarti dan konsisten, tidak mampu memahami perbedaan – perbedaan diri, sulit ntuk merencanakan dan mengorganisasikan tindakan yang ingin dilakukan.

Berdasarkan jenis kelamin, diperoleh data pada kelompok perlakuan terdapat 83,3 % adalah anak laki-laki dan 6,7 % anak perempuan sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 91,70 % anak laki – laki dan 8,3 % anak perempuan. Sandock dan Kaplan menyatakan bahwa gangguan autistik ditemukan lebih sering


(59)

47

pada anak laki – laki dibandingkan dengan anak perempuan. Tiga sampai lima kali lebih banyak anak laki – laki yang memiliki gangguan autistik dari pada anak perempuan. Tetapi anak perempuan yang memiliki gangguan autistik cenderung terkena lebih serius dan lebih mungkin memiliki riwayat keluarga gangguan kognitif daripada anak laki – laki. Jeferrey and Spencer menyatakan bahwa gangguan autistik lebih sering terjadi pada anak laki – laki daripada anak perempuan, saat bermain anak tampak kurang gembira, terlihat kebingungan serta sering menolak untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Berdasarkan terapi pada responden didapatkan bahwa 100 % mendapatkan terapi biomedik, 100 % mendapatkan terapi Lovas dan 50 % mendapatkan terapi gelombang otak. Sesuai dengan pernyataan Bonny Danuatmaja bahwa autisme adalah gangguan pervasif sehingga terapi pada anak autis harus terpadu, intensif baik terapi biomedik, terapi okupasi, terapi wicara, terapi perilaku.

b. Pengaruh terapi audio brainwave terhadap kemampuan komunikasi anak autis Berdasarkan pada hasil analisis pada tabel 6 perhitungan uji Paired Sample T test (uji t berpasangan) menggunakan bantuan sofware 17 dapat diketahui bahwa nilai t hitung 4 minggu terapi sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

Judith H Miles, dalam “Autism Spectrum Disorders” menyatakan bahwa Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif yang meliputi gangguan bahasa dan


(60)

48

komunikasi, perilaku repetitif dan tidak tertarik pada lingkungan (cuek) yang dapat dideteksi sejak usia 18 bulan – 24 bulan. Dari penelitiannya 50 % - 70 % anak autis mengalami retardasi mental 25 % anak autis pada usia 3 tahun sudah mulai menunjukkan perkembangan komunikasi dan usia 6 – 7 tahun mulai bisa masuk sekolah reguler. J Speech Lang Hear menyatakan bahwa anak dengan autis mengalami gangguan koordinasi vokal (gangguan komunikasi), kontak mata dan gerakan tubuh. Dalam komunikasi rata – rata anak autis menggunakan bahasa tubuh. Keterlambatan bicara karena gangguan fungsional atau karena imaturitas fungsi bicara pada anak sering dijumpai. Kelainan ini biasanya tidak berbahaya, akan membaik pada usia tertentu dan biasanya tidak memerlukan terapi khusus. Sebaliknya, keterlambatan bicara nonfungsional harus dilakukan intervensi dan terapi sejak dini. Penaganan dini tersebut dapat mengurangi gangguan dan memperbaiki prognosis. Klinisi dan orang tua harus dapat membedakan dengan keterlambatan bicara fungsional dan nonfungsional (Judarwanto ). Peneliti dari University of Cambridge yaitu Michael Lombardo yang melakukan penelitian dengan scan otak yang canggih menemukan bahwa ada bagian otak penderita autis yang memang tidak mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya jangankan untuk berkomunikasi, untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja, penderita sudah kesulitan. Peneliti tersebut menggunakan scan resonance magnetic fungsional untuk mengukur akfivitas otak. Dalam gelombang otak autisme, ADHD, epilepsi tidak menghasilkan gelombang SMR (Sensory Motor Rhytm). Para penderita di atas diantaranya autism tidak mampu berkonsentrasi atau focus pada suatu hal yang dianggap penting. Sehingga pengobatan yang tepat


(61)

49

adalah cara agar otaknya mampu menghasilkan getaran SMR tersebut. Teknologi Gelombang Otak untuk penanganan anak yang sulit fokus. Terapi ini menstimulasi belahan otak kanan dengan Gelombang Alpha dan SMR (Sensori Motor Rhytm) dan belahan otak kiri dengan Gelombang Alpha dan Beta. Penjumlahan kedua gelombang yang di terima otak kiri dan kanan menghasilkan Gelombang Beta yang berfungsi untuk konsentrasi dan fokus.

Menurut asumsi peneliti, terdapat gangguan komunikasi pada penderita autistik yang tentunya bisa diketahui sejak dini. Jangan biarkan anak sendiri. Dengan rangsangan dari gelombang otak, orang tua harus mampu menstimulasi anak setiap saat ketika ia terbangun, sering mengajak komunikasi.

c. Pengaruh terapi audio brainwave terhadap kemampuan interaksi sosial sosial anak autis

Berdasarkan pada hasil analisis pada tabel 8 perhitungan uji Paired Sample T test menggunakan bantuan sofware 17 dapat diketahui bahwa nilai t hitung 2 minggu terapi sebesar -4,180 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-5,745 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,002 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi. Nilai t hitung 4 minggu terapi sebesar 13,385 sedangkan t tabel -2,201. Karena nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

Ginanjar mengatakan Kompleksitas spektrum autistik yang terungkap melalui penelitiannya menunjukkan bahwa untuk dapat memahami individu SA


(62)

50

dibutuhkan kerangka berpikir holistik, yaitu yang memandang setiap individu sebagai kesatuan dari taraf-taraf neurologis, biologis, psikologis, dan agama atau spiritualitas. Berbagai penelitian neurologis terdahulu dalam penelitian Andriana Soekandar Ginanjar menyatakan adanya penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer serebelum dan vermis. Pada bayi baru lahir bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal namun setelah mencapai usia 2 – 3 tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama dalam lobus frontalis dan otak kecil, yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial. Gangguan interaksi sosial antara lain : kontak mata sangat kurang, tidak bisa bermain dengan teman sebaya, tidak bisa berempati, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional timbal balik. Menurut DSM IV gangguan kualitatif dalam interaksi social yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara yang berikut ini : a) Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku nonverbal (bukan lisan), seperti kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi social. b) Ketidakmampuan melakukan hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. c) Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain. Perilaku yang ditujukan para penyandang autisme umumnya seringkali menjadi masalah besar bagi para orang tua dan caregiver (pengasuh, pendidik,dll). Perilaku itu dapat meliputi perilaku yang tidak wajar, berulang-ulang, perilaku agresif atau bahkan


(63)

51

membahayakan serta perilaku-perilaku lainnya yang sering terlihat pada mereka seperti flapping, rocking. Terapi gelombang otak mempunyai efek sebagai berikut : 1) Tenang : Memungkinkan pikiran untuk beristirahat dan bersiap-siap untuk tugas-tugas mental yang berbeda. Ini juga merupakan kondisi yang penting untuk kontemplasi dan perencanaan. Dalam hal aktivitas otak, kondisi ini setara dengan kondisi Alpha. 2) Terfokus : Memungkinkan memperhatikan tugas tertentu dan meminimalisasi gangguan. Ini sama dengan Kondisi Beta1 (SMR). 3) Alert: Memungkinkan respon yang cepat ketika kebutuhan untuk bereaksi cepat. Menurut peneliti ditinjau dari segi teori dan penelitian – penelitian yang relevan, terapi gelombang otak dapat menstimulus gelombang Sensory Motor Rythm sehingga dapat mempermudah terapi pada anak autis, anak lebih terfokus, lebih tenang dalam proses pendidikan.


(64)

52 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ynag telah dilakukan peneliti di Cakra Autis Center, dapat disimpulkan bahwa terapi audio brainwave yang diberikan pada anak autis berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan kemampuan interaksi sosial, yaitu sebagai berikut:

1. Ada peningkatan kemampuan komunikasi anak autis, dengan hasil yang ditunjukkan yaitu nilai t hitung sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201 dan nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201), significancy < 0,05 (0,00 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

2. Ada peningkatan kemampuan interaksi social anak autis dengan hasil yang ditunjukkan yaitu nilai t hitung sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201 dan nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

B. Implikasi

Terapi audio brainwave berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak autis. Dalam kemampuan komunikasi dapat meningkatkan kemampuan mengucapkan kata, anak mulai bisa mengucapkan


(65)

53

apa yang ia inginkan. Dalam kemampuan Interaksi sosial anak mulai ada kontak mata, mulai menoleh jika dipanggil dan mulai bisa bermain, bisa mengekspresikan emosinya, walaupun kadang – kadang masih timbul perilaku autistiknya. Perubahan kemampuan seseorang dari yang tidak mampu menjadi mampu atau menuju suatu adanya perubahan memang bertahap. Diperlukan terapi secara bertahap dan terpadu pula.

C. Saran

1. Terapi Audio Brainwave sebaiknya ditindak lanjuti sebagai terapi penunjang anak autis selama menjalankan terapi yang lain sehingga hasilnya dapat maksimal.

2. Terapi Audio Brainwave dapat direkomendasikan dalam intervensi asuhan yang komprehensif pada anak autis.

3. Untuk penelitian selanjutnya hendaknya memperbanyak jumlah sampel agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan.


(1)

50

dibutuhkan kerangka berpikir holistik, yaitu yang memandang setiap individu sebagai kesatuan dari taraf-taraf neurologis, biologis, psikologis, dan agama atau spiritualitas. Berbagai penelitian neurologis terdahulu dalam penelitian Andriana Soekandar Ginanjar menyatakan adanya penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer serebelum dan vermis. Pada bayi baru lahir bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal namun setelah mencapai usia 2 – 3 tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama dalam lobus frontalis dan otak kecil, yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial. Gangguan interaksi sosial antara lain : kontak mata sangat kurang, tidak bisa bermain dengan teman sebaya, tidak bisa berempati, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional timbal balik. Menurut DSM IV gangguan kualitatif dalam interaksi social yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara yang berikut ini : a) Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku nonverbal (bukan lisan), seperti kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi social. b) Ketidakmampuan melakukan hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. c) Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain. Perilaku yang ditujukan para penyandang autisme umumnya seringkali menjadi masalah besar bagi para orang tua dan caregiver (pengasuh, pendidik,dll). Perilaku itu dapat meliputi perilaku yang tidak wajar, berulang-ulang, perilaku agresif atau bahkan


(2)

membahayakan serta perilaku-perilaku lainnya yang sering terlihat pada mereka seperti flapping, rocking. Terapi gelombang otak mempunyai efek sebagai berikut : 1) Tenang : Memungkinkan pikiran untuk beristirahat dan bersiap-siap untuk tugas-tugas mental yang berbeda. Ini juga merupakan kondisi yang penting untuk kontemplasi dan perencanaan. Dalam hal aktivitas otak, kondisi ini setara dengan kondisi Alpha. 2) Terfokus : Memungkinkan memperhatikan tugas tertentu dan meminimalisasi gangguan. Ini sama dengan Kondisi Beta1 (SMR). 3) Alert: Memungkinkan respon yang cepat ketika kebutuhan untuk bereaksi cepat. Menurut peneliti ditinjau dari segi teori dan penelitian – penelitian yang relevan, terapi gelombang otak dapat menstimulus gelombang Sensory Motor Rythm sehingga dapat mempermudah terapi pada anak autis, anak lebih terfokus, lebih tenang dalam proses pendidikan.


(3)

52 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ynag telah dilakukan peneliti di Cakra Autis Center, dapat disimpulkan bahwa terapi audio brainwave yang diberikan pada anak autis berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan kemampuan interaksi sosial, yaitu sebagai berikut:

1. Ada peningkatan kemampuan komunikasi anak autis, dengan hasil yang ditunjukkan yaitu nilai t hitung sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201 dan nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201), significancy < 0,05 (0,00 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

2. Ada peningkatan kemampuan interaksi social anak autis dengan hasil yang ditunjukkan yaitu nilai t hitung sebesar -13,385 sedangkan t tabel -2,201 dan nilai –t hitung < -t tabel (-13,385 < -2,201) dan significancy < 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Sehingga ada perbedaan rata – rata antara sebelum dan sesudah terapi.

B. Implikasi

Terapi audio brainwave berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak autis. Dalam kemampuan komunikasi dapat meningkatkan kemampuan mengucapkan kata, anak mulai bisa mengucapkan


(4)

apa yang ia inginkan. Dalam kemampuan Interaksi sosial anak mulai ada kontak mata, mulai menoleh jika dipanggil dan mulai bisa bermain, bisa mengekspresikan emosinya, walaupun kadang – kadang masih timbul perilaku autistiknya. Perubahan kemampuan seseorang dari yang tidak mampu menjadi mampu atau menuju suatu adanya perubahan memang bertahap. Diperlukan terapi secara bertahap dan terpadu pula.

C. Saran

1. Terapi Audio Brainwave sebaiknya ditindak lanjuti sebagai terapi penunjang anak autis selama menjalankan terapi yang lain sehingga hasilnya dapat maksimal.

2. Terapi Audio Brainwave dapat direkomendasikan dalam intervensi asuhan yang komprehensif pada anak autis.

3. Untuk penelitian selanjutnya hendaknya memperbanyak jumlah sampel agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan.


(5)

54

DAFTAR PUSTAKA

Adam.J.(2001).Overview of Autism Research, Testing, And Treatments – One Parent’s Opinion. www.puterakembara.com

Adriana S.G.(2009).Meningkatkan Kemampuan Komunikasi pada anak Autis.

www.puterakembara.com

Amy M. Wetherby, Lindee Morgan, Nola Watt, and Stacy Shumway.(2007). Social Communication Profiles of Children with Autism Spectrum Disorders Late in the Second Year of Life. Journal of Autism Developmen Disorder.

Astuti M.P.(2005).Kenali gejala Autis Sejak Dini.www.tabloid-nakita.com

Budiman M.(2000).Cirri – Ciri Anak Autis.www.apotik2000.com

Dahlan S.(2009).Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan.Salemba Medika. Jakarta.

Danuatmaja B.(2003).Teraphi Anak Autis di Rumah.Puspa Swara.Jakarta. Delphie B.(2009).Pendidikan Anak Autistik.PT.Intan Sejati.Klaten. Denmas.(2010).Teknologi Gelombang Otak.www.gelombangotak.com

Endri.I.(2010).Terapi Gelombang Otak Untuk Anak

Autis.www.gelombangotak.com

Fauzia W,Yurike. (2009).Apa dan Bagaimana Autisme Terapi Medis Alternatif. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.Jakarta.

Handoyo Y.(2006).Autisma.PT. Bhuana Ilmu Popular.Jakarta.

Handoyo Y.(2009).Autisma Pada Anak, Menyiapkan Anak Autis Untuk Mandiri dan Masuk Sekolah Reguler. PT. Bhuana Ilmu Popular. Jakarta.

Irawan.(2010).Empat Kategori Gelombang Otak Manusia.

www.gelombangotak.com

Kaplan, Sadock.(1997).Sinopsis Psikiatri.Binarupa Aksara.Jakarta Barat.

Landa RJ.(2008).Diagnosis Of Autism Spectrum Disorders in the Fist 3 Years of Life. www.pubmed.com


(6)

Mayasari W.(2010).Analisa Suara Lumba-Lumba Sebagai Alternatif Terapi untuk Perkembangan Anak Autis. www.puterakembara.com

Murti B.(2010).Desain dan Ukuran Sampel intuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Gajahmada University Press. Yogyakarta. Peeters T.(2009).Panduan Autisme Terlengkap. Dian Rakyat. Jakarta.

Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan RI (2010). Pelayanan Stimulasi Deteksi Intervensi Dini tumbuh Kembang Anak.

www.depkes.go.id.

Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan RI (2010). 11,9 % Anak Yang Mengikuti SDIDTK Mengalami Kelainan Tumbuh Kembang.www.depkes.go.id

Natali M.K.(2008).Abnormal Fungsonal Connectivity in Autism Spectrum Disorders During Face Processing. Oxford University Press. Wasington. Nevid SJ, Rathus A, Spencer.(2005).Psikologi Abnormal.Airlangga.Jakarta. Sarwono, S.W.(1995).Psikologi Lingkungan.Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Jakarta.

Seroussi K.(2004).Untukmu Segalanya.Mizan Media Utama.Jakarta

Stacy S. and Amy M.W.(2009).Communicative Acts of Children with Autism Spectrum Disorders in the Second Year of Life.Journal of Autism Developmen Disorder.

Sugiyono.(2009).Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. CV. Alfabeta.Bandung.

Sugiyono.(2003).Statistika Untuk Penelitian.CV, Alfabeta.Bandung.

Tarigan I.R.(2008).Terapi Lumba – Lumba Untuk Anak Autime.

www.kompas.com

Tri AS.(2008).Pola Interaksi Sosial Anak Autis di Sekolah Khusus Autis.Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.Surakarta