Tinjauan hukum pidana islam terhadap pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Exes) dalam pidana pembunuhan : Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH.

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS

( NOODWEER EXCES

) DALAM PIDANA PEMBUNUHAN

( Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013.PN JTH )

SKRIPSI

Oleh :

Mochamad Roikhul K

NIM. C03213036

Prodi Hukum Pidana Islam

Jurusan Hukum Publik Islam

Fakultas Syari

ah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exes) Dalam Pidana Pembunuhan (Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH), merupakan hasil penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: pertama, Bagaimana pertimbangan hakim terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana

pembunuhan (Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH), dan Bagaimana

Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) bagi pelaku pidana pembunuhan (Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH).

Data dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks, yang selanjutnya

diolah dengan beberapa tahap yaitu editing, yaitu pemeriksaan kembali

terhadap semua data yang telah diperoleh. Organizing, yaitu menyusun dan

mensistematika data yang telah diperoleh, dan analyzing, yaitu menganalisis

data yang telah dihimpun, berupa Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH dari Pengadilan Negeri Jantho dengan menggunakan Metode Deskriptif Analisis. Selanjutnya menyimpulkan dan dianalisis dari sudut pandangan hukum pidana di Indonesia dan hukum pidana islam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim kurang tepat menjatuhkan putusan 7 (tujuh) tahun penjara terhadap terdakwa karena terdakwa merupakan orang yang melakukan pembelaan diri. Majelis hakim dalam memutuskan perkara tidak memperhatikan fakta – fakta persidangan, karena dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat (visum et repertum) kesemuanya menyatakan bahwa terdakwa melakukan pembelaan diri yang dilakukan secara berlebihan untuk menghindari serangan korban yang sudah berulang. Dalam kondisi demikian majelis hakim harus memutuskan terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan penuntut umum karena adanya alasan pemaaf (Noodweer Exes).

Berdasarkan kesimpulan diatas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya tujuan semua hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan, seperti halnya tujuan Pengadilan Negeri Jantho adalah untuk memberikan keadilan mengenai perdata dan pidana. Maka dari itu, disarankan bagi para legislator dan penegak hukum agar dapat memasukkan dua unsur

penting dalam perundang – undangan atau putusan – putusannya, yakni


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah ... 10

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Kajian Pustaka ... 11

F. Tujuan Penelitian ... 12

G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

H. Definisi Operasional ... 14

I. Metode Penelitian ... 15


(8)

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana

Islam ... 21 1. Pengertian Pembunuhan ... 21

2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana

Islam ... 22 3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan ... 25

B. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana

Islam ... 26

1. Pengertian Daf’u al-sail (menolak penyerangan atau pembelaan

diri) ... 26

2. Syarat-syarat Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana ...

Islam ... 29

3. Pembelaan Diri Melampaui Batas Yang Diperbolehkan ... 32

4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum ... 34

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI JANTHO NOMOR

201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

A. Sekilas Pengadilan Negeri Jantho ... 36

B. Deskripsi Kasus Tentang Pidana Pembunuhan Dalam Putusan Nomor


(9)

C. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN.JTH... 43

D. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor .. 201/Pid.B/2013/PN.JTH... 46

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JANTHO NOMOR 201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PIDANA PEMBUNUHAN A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH ... 49

B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH ... 55

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan kebenaran,kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup di dunia ini. Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi suruhan Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri.1

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib di dalam masyarakat.2 Namun dengan adanya statemen di atas bukan berarti seseorang tidak akan melakukan suatu tindak kejahatan yang merugikan orang lain.

Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan larangan larangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah.

1 Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 89. 2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT Eresco, 1486),14.


(11)

2

Pakar fikih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman h}ad atau takzir. Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha memaknai kata tersebut hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya.3

Pada dasarnya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran bukan berarti pembalasan akan tetapi mempunyai tujuan tersendiri yaitu, untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut al-maqasidu al-khamsah yaitu yang terdiri dari h}ifz} al-nafs (menjaga jiwa), h}ifz} al-aql (menjaga akal), h}ifz} al-d>in (menjaga agama), h}ifz} al-m>al (menjaga harta) dan h}ifz} al-nasl (menjaga keturunan). Lima hal pokok ini, wajib diwujudkan dan dipelihara, jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia di dunia dan diakhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima pokok tadi merupakan amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.4 Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dalam masyarakat seperti hukum adat, peraturan perundang-undangan seperti hukum barat, konsepsi hukum islam yaitu dasar dan kerangkanya ditetapkan oleh Allah, yang mengatur hubungan manusia dengan

3 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 2.

4 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2001),107.


(12)

3

Tuhannya, manusia dengan dirinya, manusia dengan makhluk lain dan manusia dengan lingkungannya.5

Islam seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup merdeka dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri ataupun pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka ia diibaratkan memelihara seluruh manusia. Jika terjadi pembunuhan, maka pelaku wajib bertanggungjawab. Permasalahannya, adalah jika pembunuhan yang disengaja tersebut dilakukan dalam upaya membela jiwa, kehormatan, maupun harta benda baik milik sendiri ataupun orang lain.

Dalam melakukan pembelaan dalam Islam dikenal dengan istilah dafus sha’il, dalam hukum Islam, pertanggung jawaban pidana dapat dihapus karena pertama, hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan adalah mubah (tidak dilarang) yang disebut asba>b al-iba>hah atau sebab diperbolehkanya perbuatan yang dilarang. Diantaranya yaitu pembelaan yang sah, mendidik, pengobatan, permainan kesatriaan, halalnya jiwa,anggota badan dan harta seseorang, hak dan kewajiban penguasa. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan pelaku atau perbuatan yang dilakukan tetap dilarang tapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman

5 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 71-72.


(13)

4

yang disebut asba>b raf‘i al-u‘qu>bah atau sebab dihapusnya hukuman. Diantaranya yaitu paksaan, mabuk, gila dan anak kecil (bawah umur).

Utrecht menyatakan bahwa, semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melanggar hukum (wederrechtelijke handeling). Di antara pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam inilah yang oleh KUHPidana dikualifikasikan sebagai peristiwa pidana (strafbaar feit). Tetapi kadang-kadang dilakukan sesuatu perbuatan yang konkrit tidak dipandang sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum, walaupun KUHPidana menyebutkan sebagai suatu peristiwa pidana. Perbuatan itu tidak dapat dikenai hukuman, karena suatu sebab yang dapat menghapuskan suatu sifat melawan hukum itu. Di sini ada alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum itu (rechtvaardigings ground). Karena alasan ini maka perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan hukuman, yaitu perbuatan konkrit itu bukan peristiwa pidana (geen strafbaar feit).6

Hukum pidana mengenal beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman atau pidana kepada pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak atau perbuatan pidana. Alasan-alasan tersebut


(14)

5

dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini, menempatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai pelaku penentu apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.7

Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond) disebut fait justificatief.

Dalam Hukum Pidana Indonesia, pembelaan terpaksa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB III Pasal 49 Ayat 1 yang berbunyi :

“Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda baik untuk diri sendiri

maupun orang lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.8

Pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam KUHP Pasal 49 Ayat 2 yang berbunyi :

7 Hamdan . M, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus (Bandung: PT. Refika Aditama, 2014), 27.


(15)

6

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh goncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan

itu, tidak dipidana”.9

Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang mengatakan jika terdapat “kegoncangan jiwa yang hebat”.

Yang dimaksud terdapat kegoncangan jiwa yang hebat tidak dijelaskan dalam KUHP tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan kegoncangan jiwa yang hebat sehingga diperbolehkan melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas sedangakan dalam hukum Islam tidak diatur secara jelas pembelaan yang diperbolehkan dan juga sanksi bagi pelaku pembelaan jika melampaui batas pembelaan. Hanya berdasarkan firman Allah :

ِبَِهيَلعْاودتعآفَمُكيَلعَىدتعآَِنمَف

مُكيَلعَىَدتعآَامَِلْثِم

َ

“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang

dengan serangannya terhadapmu.” 10

Dari ayat tersebut hanya menerangkan tentang penganjuran menyerang balik ketika diserang tetapi tidak menjelaskan syarat dan sanksi bagi penyerang jika melebihi batas serangan. Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa),

9 Ibid.


(16)

7

meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin maupun yurisprudensi. Sesuai dengan ajaran daaddaderstrafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :11 a. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang

menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah actus reus di Negara Anglo saxon.

b. Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggung jawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon.

Ada beberapa hal yang menjadikan penulis tertarik untuk membahas judul tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam Tindak Pidana Pembunuhan. Yang pertama, Islam sangat melindungi hak hidup seseorang. Hal ini terbukti dalam tujuan syarak atau yang lebih dikenal dengan al-maqashidu al-khamsah (panca tujuan) salah satunya memelihara jiwa. Alquran telah banyak menjelaskan tentang sanksi berkenaan dengan masalah kejahatan terhadap nyawa. Diantara jenis-jenis hukum kisas disebutkan dalam Alquran ialah kisas pembunuh, kisas anggota badan dan kisas dari luka. Semua kejahatan yang menimpa


(17)

8

seseorang hukumanya adalah dianalogikan dengan kisas yakni berdasar atas persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena itu adalah tujuan pokok dari pelaksanaan hukuman kisas.12 Begitupun dalam hukum positif juga diatur sanksi untuk pembunuh dari yang teringan sampai yang terberat.

Kedua, dalam KUHP BAB III tentang pembebasan hukuman pidana Pasal 49 Ayat 1 tetang pembelaan terpaksa, dan juga dalam hukum pidana Islam diatur pembelaan sah, tidak dijatuhi hukuman sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang. Tetapi untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan atau sebaliknya, maka harus diketahui unsur atau syarat yang dimaksud dalam pasal tersebut dan tidak dijelaskan bagaimana melakukan pembelaan yang diperbolehkan. Begitu juga dalam KUHP Pasal 49 Ayat 2 tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan batas yang diperbolehkan.

Terdapat kasus pembelaan diri yang menimpa Jabar dari Jantho Aceh Besar, pada saat dia mau kembali ke rumah adiknya dia bertemu dengan Muzakir yang memang telah mencarinya berulang kali. Muzakir memang sudah emosi dengan Jabar yang telah membawa pergi adik iparnya ke Medan, Muzakir memang sudah bermaksud untuk membunuh Jabar dan pada saat itu terjadilah pertengkaran. Dalam pertengkaran tersebut Muzakir membawa parang dan langsung membacok Jabar


(18)

9

berulang kali dan mengenai tangan dan kepalanya, Jabar menangkis lagi dengan helm dan merebut parang dari Muzakir dan membalas membacok hingga hilangnya nyawa karena untuk membela diri.

Di kasus ini Jabar dinyatakan bersalah dan dihukum 7 tahun penjara. Tetapi jika dalam pembuktian terdapat unsur yang memenuhi syarat pembelaan terpaksa, seharusnya Jabar bebas dari segala tuntutan hukum. Berarti di sini Jabar yang melakukan pembelaan diri yang melampaui batas tetapi pada dasarnya tidak menginginkan akibat hukum terhadap seseorang karena dia dalam keadaan darurat, sehingga terpaksa melakukan perbuatan melawan hukum untuk menyelamatkan kehormatannya.

Dari persoalan diatas, penulis merasa perlu untuk meneliti masalah diatas menjadi sebuah penelitian berjudul : Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exes) Dalam Pidana Pembunuhan (Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.Jantho).

B. Identifikasi Masalah

Berangkat dari uraian pada latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut:

1. Seseorang bisa dikatakan telah melakukan pembelaan terpaksa menurut hukum.


(19)

10

2. Sanksi apa yang dijatuhkan kepada pelaku tindakan terpaksa berlebihan.

3. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.Jantho dalam pidana pembunuhan.

4. Dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.Jantho dalam pidana pembunuhan.

5. Tinjauan Hukum Pidana Islam dalam kasus pembelaan terpaksa melampaui batas.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan juga bertujuan agar permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan karya ilmiah dengan batasan:

1. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam tindak pidana pembunuhan karena membela diri dalam Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH.

2. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jantho pada Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH dalam tindak pidana pembunuhan karena membela diri.


(20)

11

D. Rumusan Masalah

Dengan memahami serta mempertimbangkan dasar pemikiran yang tertuang dalam latar belakang masalah tersebut maka diperlukan adanya rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana pembunuhan ( Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH) ?

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) bagi pelaku pidana pembunuhan (Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH) ?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai pembahasan dan topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi secara mutlak. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis menemukan penelitian atau tulisan yang sedikit kemiripan dalam penelitian yang dilakukan penulis, diantaranya yaitu penelitian :

Skripsi karya Khusnul Hotimah tahun 2013 dari UIN Syarif Hidayatullah yang berjudul “Alasan Pemaaf Atas Tindak Pidana Pembunuhan Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif ( Analisis Putusan


(21)

12

MA Nomor 1445K/Pid/2011)”13. Pada skripsi ini membahas tentang alasan pemaaf bagi pelaku pembunuhan.

Skripsi karya Tathmainul Qulub tahun 2011 dengan judul

“Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Pasal 49 KUHP”.14 Penulis skripsi ini lebih membahas secara umum, tidak membahas secara spesifik. Sedangkan pada skripsi ini penulis menganalisis dari sisi Putusan hakim Nomor 201/Pid.B/2013 PN Jantho dan sisi hukum pidana Islam, jadi dalam skripsi ini lebih spesifik langsung dalam contoh kasus.

Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan pengulangan dari penelitian sebelumnya. Dan menjadi alasan kuat bagi penulis bahwa pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana pembunuhan perlu diteliti lebih lanjut.

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Rumusan Masalah diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis antara lain:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Jantho terhadap tindak pidana pembunuhan karena membela diri Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH.

13 Khusnul Hotimah, “Alasan Pemaaf Atas Tindak Pidana Pembunuhan Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Putusan MA No. 1445K/Pid/2011)” (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2013).

14 Tathmainul Qulub, Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Pasal 49 KUHP”(Skripsi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013).


(22)

13

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana islam terhadap pertimbangan hakim dalam tindak pidana pembunuhan karena membela diri pada Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH.

G. Kegunaan Hasil Penelitian 1. Secara teorotis (keilmuan)

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi mahasiswa fakultas Syariah khususnya prodi Hukum Pidana Islam dan sebagai bahan informasi pendahuluan yang penting bagi peneliti yang mungkin mirip di masa mendatang atau sebagai bahan informasi pembanding bagi peneliti lama yang serupa namun berbeda sudut pandang. Serta berfungsi juga sebagai tambahan literatur Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisis dan argumentasi hukum yang diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegak hukum bagi terciptanya suasana yang adil dan kondusif serta menjamin kepastian hukum bagi hak-hak rakyat. Dengan demikian, dapat ikut memberikan andil mengupayakan pemikiran ilmiah dalam bidang hukum yang diharapkan bermanfaat untuk terciptanya keadilan dan kemaslahatan bagi rakyat yang sesuai dengan


(23)

14

Undang Dasar serta alquran dan alhadis. Serta sebagai bahan acuan atau literatur bagi praktisi hukum, dosen, peneliti, mahasiswa hukum, dan para pembaca yang secara umum bergelut dalam bidang hukum.

H. Definisi Operasional

Adapun untuk mempermudah pemahaman serta terhindar dari salah pengertian terhadap istilah dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan sebagai berikut :

1. Hukum pidana Islam adalah ilmu tentang hukum syarak yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (Jarimah) dan hukumannya (Uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Dalam hal ini subyek pemikiran yang digunakan pada skripsi ini adalah hukum pidana islam tentang pembunuhan.

2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah Tindakan yang dilakukan untuk membela diri sendiri maupun orang lain secara berlebihan terhadap kehormatan kesusilan karena ada serangan atau ancaman serang yang sangat dekat pada saat itu juga, dan serangan tersebut bias mengakibatkan goncangan jiwa. Serta yang akan diteliti adalah Putusan hakim pada kasus tindak pidana pembunuhan karena membela diri di Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH.


(24)

15

I. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Penelitian sendiri berarti sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.15 Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa metode penelitian merupakan usaha untuk menemukan sesuatu serta bagaimana cara untuk menemukan sesuatu tersebut dengan menggunakan metode atau teori ilmiah sehingga mendapat kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran ilmiah untuk menjawab isu hukum yang dihadapi, pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Metode penelitian dalam hal ini akan mengarahkan penelitian tersebut sehingga penelitian dapat mengungkap kebenaran secara sistematis dan konsisten.

Metode yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan cara penelitian yuridis, yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan diatas.


(25)

16

1. Data yang dikumpulkan a. Data primer

Data primer dari penelitian ini adalah kronologi kasus, fakta-fakta persidangan, pertimbangan hakim dan putusan hakim dari Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH tentang pidana pembunuhan karena membela diri.

b. Data sekunder

Data sekunder dari penelitian ini beberapa bahan bacaan dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.

2. Sumber data a. Sumber primer

Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data16, serta yang akan ditulis pada bab III yaitu salinan putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH.

b. Sumber sekunder

Adapun bahan sekunder adalah bahan yang diambil dari bahan bacaan yang berhubungan dengan tema judul yang diangkat penulis berupa: surat kabar, jurnal, makalah, ensiklopedia dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.

Diantaranya :


(26)

17

1) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

2) Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).

3) Ahmad Hanafi, M.A, Asas – Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1967 ).

4) Achmad Djazulli, Fikih Jinayah, (PT. Raja Grafindo Persada, 2000).

5) Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1992).

6) Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam , ( Sinar Grafika, 2012). 7) Muhammad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini meliputi :

a. Dokumentasi, yaitu teknik mencari data dengan cara membaca dan menelaah data dalam hal ini Direktori Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tentang dasar hakim tentang putusan kasus tindak pidana pembunuhan.

b. Kepustakaan, yaitu teknik menggali data dengan cara menelaah buku-buku dan literatur-literatur. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data teori tentang pembunuhan karena membela diri.


(27)

18

4. Teknik pengolahan data

Setelah semua data yang terkait dengan permasalahan tersebut kemudian akan diolah dengan beberapa teknik sebagai berikut:17 a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data-data yang berkaitan

dengan tindak pidana pembunuhan yang diperoleh dari berbagai buku dan dokumen-dokumen mengenai topik penelitian terutama kejelasan makna, dan keselarasan antara data satu dengan yang lainnya.

b. Organizing, yaitu menyusun data secara sistematis mengenai kajian hukum pidana islam terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exes) dalam pidana pembunuhan (Analisis putusan putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013).

c. Analizing, yaitu melakukan analisis terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013 dan fikih jinayah dengan hasil pengorganisasian dalam data dengan menggunakan kaidah, teori, dalil hingga diperoleh kesimpulan akhir sebagai jawaban dari permasalahan yang dipertanyakan.

5. Teknik analisis data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar

17 Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2004), 125.


(28)

19

sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan seperti yang dibutuhkan oleh data.

Teknik analisis penelitian ini menggunakan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.

a. Deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan dan menjelaskan data apa adanya data tentang pembunuhan karena membela diri direktori Pengadilan Negeri Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013, kemudian dianalisa dengan menggunakan teori hukum pidana islam tentang pembunuhan.

b. Deduktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari variabel yang bersifat umum dalam hal ini teori jinayah pembunuhan, kemudian diaplikasikan pada variabel yang bersifat khusus dalam hal ini ini dasar putusan hakim dalam kasus pembunuhan karena membela diri.

J. Sistematika Pembahasan

Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing mengandung sub bab penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut :

Bab pertama menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang terdapat di dalam latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan


(29)

20

masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang landasan teori tentang pembunuhan dalam ruang lingkup hukum pidana islam. Serta membahas tentang landasan teori tentang pembelaan terpaksa melampaui batas. Pembahasan ini juga meliputi pengertian pembelaan melampui batas dan batasannya, macam – macam pembelaan, syarat pembelaan, alasan penghapus hukuman dalam pertanggung jawaban pidana.

Bab ketiga ini membahas tentang putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana pembuhuan karena membela diri direktori putusan Pengadilan Negeri Nomor 201/Pid.B/2013 di Jantho Aceh Besar, isi putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi.

Bab keempat ini membahas tentang analisis masalah Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas dalam

Tindak Pidana Pembunuhan terhadap putusan Pengadilan Negeri Nomor 201/Pid.B/2013 di Jantho Aceh Besar.

Bab kelima ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penelitian ini.


(30)

BAB II

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Pembunuhan

Pembunuhan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar

“bunuh” yang artinya mencabut nyawa. Setelah mendapatkan imbuhan

berupa awalan dan akhiran (pe-an) yang menyebabkan membentuk kata

“pembunuhan”, memiliki arti proses, perbuatan, atau cara membunuh.18 Sedangkan dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut dengan istilah al-qatl yang berasal dari kata dasar qatala yang berarti mematikan.

Menurut Syarbini Khatib, sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, pembunuhan adalah “perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”.19Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah,

pembunuhan adalah “perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan

yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan

sebab perbuatan manusia yang lain”.20

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa definisi pembunuhan adalah cara untuk menghilangkan nyawa manusia yang dilakukan oleh manusia lainnya dengan adanya suatu sebab perbuatan.

18 WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 138. 19 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 217. 20 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy, (Beirut: Daar al-Kitab, t.th), 6.


(31)

22

2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

Pada dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu: 21

a. Pembunuhan yang diharamkan, setiap pembunuhan karena ada unsur permusuhan dan penganiayaan.

b. Pembunuhan yang dibenarkan, setiap pembunuhan yang tidak dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman kisas.

Adapun secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa tindak pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1) Pembunuhan sengaja ( qatl al’- amd )

Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya permusuhan terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti menggunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi luka dan membawa pada kematian. Atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan menggunakan


(32)

23

alat yang dipandang layak untuk membunuh. Jadi matinya korban, merupakan bagian yang dikehendaki si pembuat jarimah.22

Al-Quran dan Al-Sunnah mengharamkan pembunuhan sengaja ini secara tegas dan termasuk perbuatan haram sebagaimana Allah berfirman dalam al-Quran :

ُهل مكمح يِتلل مسُف للُل تُقمت امو

ِقمحُلِاب َاِإ

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.23 Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja yaitu :

a) Korban adalah orang yang hidup.

b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban. c) Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.24

Sedangkan menurut al-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat menyebabkan mati.25 Sedangkan menurut

Abdul Qodir ‘Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan niat membunuh, artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika orang itu mempunyai kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan.

22 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam , ( Sinar Grafika, 2012), 24.

23 Departemen Agama R I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2010), 285.

24

H.A. Djazulli, Fikih Jinayah (PT. Raja Grafindo Persada , 2000), 131. 25 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 435.


(33)

24

2) Pembunuhan menyerupai sengaja ( qatl syibh al-‘amd )

Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 (tiga) dalam pembunuhan semi sengaja yaitu :

a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian. b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.

c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian korban.26

3) Pembunuhan kesalahan ( qatl al-khata’ )

Menurut Sayid Sabiq, pembunuhan karena kesalahan adalah apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan yang boleh dikerjakan, seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, tetapi kemudian mengenai orang yang dijamin keselamatanya dan membunuhnya.27

Menurut Wahbah Zuhaili, pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan yang terjadi tanpa maksud melawan hukum, baik dalam perbuatannya maupun obyeknya.28

Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu : a) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian. b) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan.

c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban.29

26

H.A. Djazulli, Fikih Jinayah (PT. Raja Grafindo Persada , 2000), 132. 27 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II.... ,438.


(34)

25

3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan a. Sanksi pembunuhan sengaja

Pelaku pembunuhan sengaja, pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu :30

1) Kisas, yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan korban.

2) Diat, yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk lain seperti uang senilai harganya. Diat tersebut diserahkan kepada pihak keluarga korban.

3) Pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat.

b. Sanksi pembunuhan semi sengaja

Hukuman pokok pada pembunuhan sengaja adalah diat dan kafarat, sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan takzir dan hukuman tambahannya adalah terhalangnya menerima warisan dan wasiat.31

Adapun jenis – jenis diat untuk pembunuhan semi sengaja sama dengan jenis diat dam pembunuhan sengaja, yaitu menurut

Imam syafi’i adalah unta, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam

29

H.A. Djazulli, Fikih Jinayah ...,134 – 135.

30 Prof.Dr. Zainuddin Ali, M.A, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika,2009), 35. 31 H.A. Djazulli, Fikih Jinayah...., 145.


(35)

26

Malik adalah unta, emas, dan perak, sebagaimana dijelaskan di depan.

Adapun waktu pembayaran diat pembunuhan semi sengaja adalah tiga tahun sejak meninggalnya korban menurut Imam Syafi’i

dan Imam Ahmad. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah adalah mulai jatuh vonis atas pembunuhan. Kafarat merupakan hukuman pokok dalam pembunuhan semi sengaja.

c. Sanksi pembunuhan kesalahan

Hukuman pokok dalam pembunuhan kesalahan adalah diat dan kafarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan takzir dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat wasiat.32

B. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian dafu al-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri)

Menurut istilah yang dinamakan daf’u al-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat


(36)

27

penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.33 Dasar pembelaan diri dan menolak penyerangan, berdasarkan firman Allah SWT :

َ كَي مع مدمتَعآ ام ِلُثِ ِب ِهَي معُلو دمتَع ف َ كي مع مدمتَعآ ِ م ف

“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang

dengan serangannya terhadapmu.”34

Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalkannya.35

Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, dalam kaidah-kaidah fikih dijelaskan, yaitu :

حَيب ت تلمرَو كضل

ِتلمرَ ظَحم ُلل

Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan

keharaman”.36

33 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy...., 138.

34 Departemen Agama R I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2010), 30. 35 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). 211.

36 Drs. H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 133.


(37)

28

QS Al Baqarah ayat 173 :

مو ٍ امبمكَي غ ك طَضل ِ م ف

ِِهَي مع م ُثِْ ا فا اع ا

Artinya: Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tidak dosa baginya.37

Menilik ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya.

Imam Malik, Al-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk membela diri dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap jiwanya.38

Ulama yang mengatakan ditegakkannya pembelaan diri menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain, pengertian tersebut mengarah dalam segala keadaan bahwa manusia berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta

37 Departemen Agama R I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2010),26. 38 Marsum, Jinayat :Hukum Pidana Islam (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1989), 168.


(38)

29

pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan yang ditujukan terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.39

2. Syarat-Syarat Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam

a. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum

Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan oleh syara’ tidak disebut sebagai serangan, seperti pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau pendidikan atau algojo yang melaksanakan tangan terhadap terhukum sebagai pelaksanaan tugas.40

Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi,

39 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum . . . , 213.


(39)

30

apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.41

Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang, bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat dibenarkan.42

b. Penyerangan harus terjadi seketika

Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila benar-benar telah terjadi serangan atau diduga kuat akan terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika

41 Ibid., 480.

42 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam : FiqihJinayah (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 90.


(40)

31

ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.43

c. Tidak ada jalan lain untuk mengelak serangan

Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api yang dapat membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap sebagai serangan dan termasuk jarimah. Para fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari serangan. Sebagaian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk membela diri.44

d. Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya

Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara

43 Ibid., 91.


(41)

32

pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat.45

Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya penyerang yang membawa harta rampasannya. Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya mencari dan menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya.46

3. Pembelaan Diri Melampaui Batas yang Diperbolehkan

Seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu. Sebagai berikut :47

a. Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus tanggungjawab atas pemukulan tersebut.

b. Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang yang diserang melukai si penyerang maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.

45 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum . . ., 91. 46 Ibid., 93.


(42)

33

c. Jika serangan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang diserang itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu.

d. Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar lalu melukainya maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu. e. Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang

diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu.

Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya: apabila seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah karena mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya, si pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja melakukan pembelaan diri. Hal ini disamakan dengan berburu binatang tapi tersalah sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah perbuatan yang diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggungjawab atas penembakan tersalah yang mengenai manusia tersebut.48


(43)

34

4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum

Adapun sumber hukum pembelaan umum, atau amar ma’ruf dan nahi munkar ialah ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi SAW diantara ayat-ayat Alquran tersebut ialah :

ُللمو ِ ُثْإل ى مع لَ مو اممت امو م ُقتللمو ِكِبُلل ى مع لَ مو اممت مو

ِ لمو َد

Artinya : Dan bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan takwa, dan janganlah bertolong-tolongan atas dosa dan aniaya. (Al-Maidah,2).49

Dari hadits ialah hadits riwayat Abu sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran (keonaran), kemudian ia dapat mengubahnya dengan tangannya, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Kalau tidak dapat dengan tangan, maka hendaklah dengan lisannya (mulut). Kalau tidak dapat maka dengan hatinya, dan ini adalah iman selemah-lemahnya.50

Di kalangan fuqaha sudah disepakati bahwa pembelaan umum atau amar ma’ruf nahi mungkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh di tinggalkan. Pembelaan umum tersebut diadakan dengan maksud agar masyarakat berdiri di atas kebajikan dan supaya anggota-anggotanya

49 Departemen Agama R I, Al-Qur’an danTerjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2010), 106. 50 Ibnu Rajab, Terjemah Hadis Arbain Imam An-Nawawi (Jogjakarta: Menara Kudus Jogja, 2003), 89.


(44)

35

ditumbuhkan atas keutamaan dan dengan demikian maka angka-angka jarimah dan penyelewengan akan menjadi berkurang.51

Menyuruh kebaikan (amar maruf) bisa berupa perkataan seperti ajakan untuk membantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan seperti pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang orang lain minum-minuman keras. Dengan demikian, menyuruh kebaikan adalah menganjurkan untuk mengerjakan atau mengucapkan apa yang seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.52

Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam pelaksanaanya diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan orang yang melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan tabiat (sifat) kewajiban dan ada pula yang berkaitan dengan prinsip dasar syariat, yaitu dewasa dan berakal sehat (mukalaf), beriman, adanya kesanggupan, adil dan izin (persetujuan).53

51 Ahmad Hanafi, M.A, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990),219. 52 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum . . ., 95.


(45)

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN

NEGERI JANTHO NOMOR 201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG

PIDANA PEMBUNUHAN

A. Sekilas Pengadilan Negeri Jantho

Pengadilan Negeri Jantho terletak di Jalan.T. Bakhtiar P. Polem, SH, Kota Jantho Kab Aceh Besar. Pengadilan Negeri Jantho termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi Banda Aceh.

Wilayah hukum Pengadilan Negeri Jantho meliputi seluruh daerah di Kabupaten Aceh Besar yang memiliki 23 kecamatan, meliputi Kecamatan Baitusslam, Kecamatan Blang Bintang, Kecamatan Darul Imarah, Kecamatan Darul Kamal, Kecamatan Darussalam, Kecamatan Indrpuri, Kecamatan Ingin Jaya, Kecamatan Kota Jantho, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kecamatan Kuta Baro, Kecamatan Kuta Cot Glie, Kecamatan Kuta Malaka, Kecamatan Lembah Seulawah, Kecamatan Leupung, Kecamatan Lhoong, Kecamatan Masjid Raya, Kecamatan Montasik, Kecamatan Peukan Bada, Kecamatan Pulo Aceh, Kecamatan Seulimeum, Kecamatan Simpang Tiga dan Kecamatan Suka Makmur.


(46)

37

B. Deskripsi Kasus Tentang Pidana Pembunuhan Dalam Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH

Dalam skripsi ini akan dijelaskan bagaimana terungkapnya terdakwa melakukan pidana pembunuhan dan bagaimana cara membela diri dalam kasus ini. Isi pokok dalam kasus ini adalah :

Bahwa terdakwa Muhammad Jabar Bin (alm) Mahmud Pada hari Selasa tanggal 09 Juli 2013 sekitar pukul 17.00 wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain, dalam bulan Juli Tahun 2013 bertempat di Desa Lamcot Kec. Darul Imarah Kab.Aceh Besar, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jantho, dengan merampas nyawa orang lain dengan cara sebagai berikut :

Pada hari selasa tanggal 09 juli 2013 sekira pukul 17.00 wib di Desa Lamcot Kec. Darul Imarah Kab. Aceh Besar, pada awalnya terdakwa mengendarai sepeda motor yang tujuannya untuk mengambil obeng di rumah terdakwa, kemudian pada saat sampai di persimpangan Lr Tgk Hamid Desa Lamcot Kec. Darul Imarah Kab. Aceh Besar terdakwa melihat ada kerbau milik korban Muzakir lalu terdakwa berpikir kalau ada kerbau pasti ada korban Muzakir dan kemudian terdakwa langsung berhenti lalu pada saat terdakwa berhenti keluar dari belakang kedai kopi korban muzakir sambil menenteng sebilah parang, lalu pada saat itu juga terdakwa berniat akan pergi dengan memutarkan sepeda motor yang di kendarai terdakwa di karenakan korban muzakir sudah dekat dan terdakwa tidak sempat pergi kemudian terdakwa langsung turun dari


(47)

38

sepeda motor terdakwa lalu mendatangi korban sambil membuka helm

dan pada saat itu korban mengatakan “ MATI KAU NI HARI “ lalu

korban langsung membacok kepala korban dengan parang sebanyak satu kali lalu pada saat korban membacok sekali lagi pada saat itu juga terdakwa menangkis dengan tangan kiri terdakwa lalu pada saat itu juga terdakwa mengayunkan helm terdakwa yang dipegang ke arah parang yang di pegang oleh korban sehingga parang yang dipegang oleh korban terjatuh kemudian parang tersebut terjatuh dan terdakwa mengambil parang tersebut dan langsung mengayunkan parang tersebut ke bahagian leher sebelah kiri korban dan mengenai leher korban sampai korban terjatuh terdakwa berupaya untuk melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor milik terdakwa sendiri.

Fakta – fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dipersidangan secara berturut – turut berupa, Keterangan saksi – saksi :

1. Saksi Nurdin Bin M. Mahadi adalah abang korban dan berikut keterangan saksi :

a. Saksi mengetahui ada permasalahan antara korban dan terdakwa yaitu isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim yang bernama Nurlina selingkuh dengan terdakwa dan terdakwa melarikan isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim ke medan lalu menikah di sana. Bahwa perselingkuhan antara terdakwa dan isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim diketahui saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim ketika korban pulang ke rumah dan


(48)

39

melihat terdakwa dan isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim sedang berhubungan badan di dapur rumah saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim pada malam hari.

b. Bahwa korban saat ini telah meninggal dunia akibat dibacok oleh terdakwa, saksi juga mengetahui bahwa sebelum kejadian ini telah terjadi perkelahian. Saat saksi tiba di tempat kejadian, terdakwa tidak ada di sana, serta mengetahui bahwa parang yang berada disana adalah milik korban dan kejadian sekitar pukul 16.00 WIB. Saksi juga mengetahui bahwa terdakwa yang membacok korban.

2. Saksi Muhammad Yahya Bin (alm) Usman, pada pokoknya menerangkan, Saksi mengetahui bahwa terdakwa pernah mengganggu istri saksi Aji Ibrahim dan mengetahui korban sangat marah dan mengejar terdakwa. Saksi juga ikut memandikan korban dan melihat bekas bacokan di leher korban.

3. Saksi Bunawar Bin (alm) Arafat, menerangkan bahwa mengetahui koban sudah ada dendam pada terdakwa karena melarikan istri Aji selama 2 tahun. Pada saat saksi tiba di tempat kejadian korban sudah berdarah dan meninggal.

4. Saksi Aji Ibrahim Bin (alm) Ibrahim, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

a. Saksi adalah adik kandung korban dan suami perempuan yang bernama Nurlina pada saat terdakwa melarikannya ke Medan.


(49)

40

Pada hari dan tanggal yang tidak saksi ingat lagi, saksi pulang ke rumah untuk mengambil air dan Kartu Keluarga yang disimpan di rumah. Setibanya di rumah saksi langsung masuk dan menuju dapur. Ketika itu lampu dapur dalam keadaan mati. Saat lampu telah menyala saksi melihat celana perempuan yang ternyata celana isteri saksi dan celana terdakwa.

b. Atas kejadian tersebut saksi ada melapor ke pihak kepolisian, karena pada saat itu antara saksi dan isteri saksi masih berstatus suami isteri sedangkan terdakwa masih bujangan. c. Bahwa saksi tidak melihat kejadiannya. Saksi mengetahui

kejadian tersebut setelah diberitahukan oleh keluarga melalui handphone. Ketika saksi tiba di tempat kejadian korban sudah meninggal dunia

d. Bahwa di tempat kejadian ditemukan sebuah helm milik terdakwa dan sebilah parang tetapi bukan milik korban tetapi milik pak ciknya. Bahwa antara keluarga terdakwa dan keluarga korban tidak ada perdamaian.

5. Saksi Siti Rahmah Binti (alm) Muhammad Amin, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

a. Saksi mengetahui tentang adanya perkelahian antara terdakwa dan korban. Ketika itu saksi hendak pergi ke rumah saudara, saat saksi sedang mengendarai sepeda motor di jalan di


(50)

41

samping toko dan melihat terdakwa dan korban sedang berkelahi di belakang toko, perkelahian tersebut kira – kira sekitar 5 menit

b. Pada saat itu juga saksi berhenti dan melihat ditangan keduanya masing-masing memegang parang, tetapi saksi tidak dapat memastikan apakah parang yang dipegang keduanya sama atau tidak. Yang pasti keduanya memegang parang; c. Saksi melihat keduanya terjatuh ke tanah dan mengeluarkan

darah, kemudian saksi menutup mata, pada saat membuka mata saksi melihat korban sudah tertidur dan terdakwa sudah tidak ada lagi di tempat kejadian.

d. Setibanya di tempat kejadian saksi melihat terdakwa turun dari sepeda motor merk Honda Shogun milik adik terdakwa dan helm berwarna putih bergambar, korban lebih dahulu mendekati terdakwa dengan berjalan terburu-buru sambil membawa dan mengacungkan parang, terdakwa turun dari sepeda motor dan berjalan juga mendekati korban.

e. Bahwa yang pertama kali mengayunkan parang adalah korban sebanyak beberapa kali, yang pertama kali jatuh adalah terdakwa karena terkena parang di kepalanya. Terdakwa juga menangkis dengan menggunakan jaket.

6. Saksi Yusran Mahmud Bin (alm) Mahmud, menerangkan 2 hari sebelum kejadian korban pernah merusak motor milik terdakwa


(51)

42

dengan cara memotong – motong ban sepeda motor. Saksi juga mengetahui bahwa keluarga terdakwa pernah berusaha untuk melakukan perdamaian tetapi keluarga korban tidak mau berdamai. Terdakwa ditangkap pada malam hari itu juga dan setelah 5 hari baru dilakukan penahanan.

7. Saksi Khaira Binti Mahmud, adalah kakak terdakwa dan menerangkan sebagai berikut :

a. Pada saat kejadian sekitar pukul 17.30 Wib hari dan tanggal tidak saksi ingat lagi, terdakwa pulang ke rumah saksi dalam keadaan lemas dan terluka di bagian kepala dan berdarah. Kemudian adik ipar saksi mengantarkan terdakwa ke rumah sakit, terdakwa mengatakan bahwa terdakwa berkelahi dan menyuruh membawa ke rumah di Indrapuri karena takut dikejar oleh keluarga korban.

b. Saksi melihat terdakwa terluka di tangan dan di kepala, terdakwa dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil bak terbuka, selanjutnya terdakwa dibawa ke rumah sakit Zainal abidin karena rumah sakit Indrapuri tidak sanggup

merawatnya.Terhadap keterangan saksi, Terdakwa

menyatakan tidak keberatan.

8. Saksi Zarnuji Indonesia (alm) Mahmud, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut bahwa saksi adalah adik kandung terdakwa. Pada hari Senin tanggal 9 Juli 2013 terdakwa


(52)

43

menggunakan sepeda motor milik saksi tanpa meminta izin saksi. Terdakwa langsung mengambil kunci sepeda motor dan pergi dari rumah. Saksi mengetahui tentang kejadian pembacokan korban dari orang kampung.

C. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH

Berdasarkan uraian kasus tersebut di atas, maka landasan hukum yang dipakai oleh hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam menyelesaikan perkara tersebut sebagai berikut :

1. Pasal 338 KUHP (Dakwaan Primer)

Pasal 338 KUHP tersebut berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja

merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian, karena sulitnya untuk mengukur unsur subjektif ini maka dalam praktek peradilan ukurannya dapat menggunakan berbagai teori, misalnya : tentang cara, alat yang digunakan, sasarannya dan lain sebagainya.

Bahwa dalam perkara ini apakah perbuatan itu disengaja tentu yang lebih mengetahui adalah terdakwa sendiri karena itu menyangkut niat yang ada dalam hati seseorang, namun dari beberapa teori tentang


(53)

44

sengaja tersebut diatas dapat juga diketahui apakah perbuatan itu masuk kepada kesengajaan.

2. Pasal 351 ayat 3 KUHP (Dakwaan Subsidair)

Pasal 351 ayat 3 KUHP berbunyi : “(1) Penganiayaan diancam

dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana dendapaling banyak empat ribu lima ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara palinglama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam

dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Bahwa menurut Yurisprudensi, pengertian penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka (R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar- komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia-Bogor 1995, hal.245).

Bahwa apa yang diuraikan dalam unsur ketiga ini pada dasarnya bersifat alternatif, sehingga tidak harus kesemuanya dipenuhi, cukuplah bila salah satu terpenuhi, maka unsur ini dianggap terpenuhi.

Bahwa korban langsung membacok kepala terdakwa dengan parang sebanyak satu kali lalu pada saat korban membacok sekali lagi pada saat itu juga terdakwa menangkis dengan tangan kiri terdakwa lalu pada saat itu juga terdakwa mengayunkan helm terdakwa yang dipegang ke arah parang yang di pegang oleh korban sehingga parang yang


(54)

45

dipegang oleh korban terjatuh kemudian terdakwa mengambil parang tersebut dan langsung mengayunkan parang tersebut ke bahagian leher sebelah kiri korban dan mengenai leher korban sampai korban terjatuh lalu terdakwa melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor milik terdakwa sendiri. Sebagaimana hasil Visum et Repertum No Ver : 831/VER/SK-04/KFM?VII/2013 tanggal 09 Juli 2013 dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.H. Taufik Suryadi, Sp.F Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut Majelis Hakim unsur dengan sengaja melakukan penganiayaan yang menjadikan matinya orang telah terbukti.

Bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal -hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mem pertanggungjawabkan perbuatannya.

Bahwa dengan telah terpenuhinya unsur dalam Dakwaan subsidair pasal 351 ayat 3 KUHP Penuntut Umum, maka terdakwa haruslah dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana Penganiayaan yang menyebabkan mati.54

54


(55)

46

D. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH

Adapun isi Putusan Pengadilan Negeri Jantho tentang tindak pidana Pembunuhan sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Jantho, adalah sebagai berikut :55

Setelah mendengar tuntutan jaksa penuntut umum yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar pasal 338 Dengan adanya unsur-unsur, keterangan para saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang-barang bukti serta perilaku terdakwa di dalam persidangan, KUHP, dan menuntut pidana penjara selama 10 tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa unsur dengan “sengaja menghilangkan

jiwa orang lain” telah terpenuhi menurut hukum.

Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 338 KUHP telah terpenuhi, maka maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer.

Menimbang, bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban

55


(56)

47

pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Menimbang, bahwa sebagaimana pembelaan Penasihat Hukum terdakwa dalam pledoinya, bahwa terdakwa melakukan tindak pidana tersebut adalah karena untuk membela diri oleh karena serangan korban terhadap terdakwa mengancam terdakwa

Memperhatikan, Pasal 338 KUHP dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;

Dengan adanya unsur-unsur, keterangan para saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang-barang bukti serta perilaku terdakwa di dalam persidangan, kemudian mempertimbangkan beberapa pertimbangan maka Pengadilan Negeri Jantho mengadili :

1. Menyatakan Terdakwa M. Jabar Bin (alm) Mahmud tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana “Pembunuhan”.

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun.

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan. 5. Menetapkan barang bukti berupa:


(57)

48

a. 1 (satu) bilah parang adalah milik korban Muzakir yang dipergunakan terdakwa untuk membacok leher korban dan 1 (satu) Helai baju kaos garis-garis dan 1 (satu) buah Helm Merk GM warna putih Merah, terhadap barang bukti tersebut dinyatakan dirampas untuk dimusnahkan.

b. 1 (satu) Unit Sepeda Motor Shogun dengan Nomor Polisi BL 6858 LR adalah milik saksi Zarnuji Bin (alm) Mahmud yang dipinjam oleh terdakwa pada hari kejadian dan 1 (satu) Unit HP NEXT-G Warna Hitam adalah milik terdakwa, maka dikembalikan kepada terdakwa M. Jabar Bin (alm) Mahmud.

6. Membebankan Terdakwa membayar biya perkara sejumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jantho, pada hari Senin, tanggal 09 Desember 2013, oleh Mukhtar, SH., selaku Hakim Ketua, Daniel Saputra, SH. dan Fitriani, SH, masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal 12 Desember 2013 oleh Hakim Ketua dengan didampingi para Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh Junaidi, Panitera Pengganti pada PengadilanNegeri Jantho, serta dihadiri oleh Evan Munandar, SH, Penuntut Umum dan Terdakwa didampingi Penasihat Hukumnya.


(58)

BAB IV

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI JANTHO NOMOR

201/Pid.B/2013./PN.JTH TENTANG PEMBELAAN TERPAKSA

DALAM PIDANA PEMBUNUHAN

A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH

Pembelaan diri (terpaksa) merupakan alasan menghilangkan sifat melanggar hukum (Wederrechtelijkheid atau Onrechtmatigheid), maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Strafuitsluitings-Grond) juga dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (Rechtvaardigings-Grond) disebut Fait Justificatief.56

Setiap putusan Pengadilan mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai pada Mahkamah Agung tidak luput dengan pertimbangan - pertimbangan hukum, tidak saja karena menjadi syarat suatu putusan sebagaimana ketentuan undang-undang tetapi juga untuk memberikan dasar kemantapan di dalam menjatuhkan putusan.

Bahwa setelah melihat putusan tersebut diatas, terlihat bahwa Pengadilan Negeri Jantho telah memilih salah satu dari tiga jenis putusan


(59)

50

yang dikenal di dalam hukum acara pidana yakni : (1) Putusan Pemidanaan,(2) Putusan Pembebasan, dan (3) Putusan Pelepasan.

Pengadilan Negeri Jantho menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Muhammad Jabar. Hal ini berarti Pengadilan Negeri Jantho menilai bahwa terdakwa terbukti bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya serta terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana pembunuhan.

Tetapi di dalam KUHP pasal 49 ayat 1, dikenal istilah pembelaan terpaksa (Noodweer), yang berasal dari kata Nood dan Weer. “Nood”

berarti darurat keadaan terpaksa, sedangkan “Weer” berarti pembelaan,

menolong atau melepaskan dari bahaya. Sedangkan pasal 49 ayat 2 dikenal pengertian pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces).

Pengertian tersebut pada dasarnya sama dengan pengertian yang

dimaksud dalam ayat 1 tetapi dalam ayat 2 terdapat kata “exces” yang

berarti pelampauan batas. Jadi, terdapat perbedaan istilah dalam pengertian antara hukum pidana Islam dan KUHP. Tetapi terdapat persamaan yang mendasar antara keduanya, yaitu objek atau sasaran yang dilindungi. Dalam KUHP maupun hukum Islam, dalam pembelaan terpaksa, sama-sama bertujuan melindungi jiwa, kehormatan, harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Dalam KUHP tidak ditentukan atau dijelaskan pengertian maupun syarat pembelaan terpaksa, dan apakah pembelaan merupakan hak atau


(60)

51

kewajiban seseorang. Tetapi oleh ahli hukum, dijelaskan secara rinci mengenai apa yang dimaksud pembelaan terpaksa ini. Karena dalam pasal tersebut hanya disebutkan tindak dipidana, barang siapa “yang melakukan pembelaan terpaksa”, hal ini berarti kalimat aktif, dalam keadaan seketika itu juga terpaksa atau terdorong oleh situasi yang darurat atau mendesak, bukan merupakan anjuran atau perintah.

Terdakwa Muhammad Jabar memang terbukti dengan sengaja telah menghilangkan nyawa orang lain yaitu Muzakir selaku korban. Namun di sisi lain motifasi terdakwa dalam melakukan pembunuhan tersebut adalah demi melindungi diri sendiri yang mana hal ini terdawak mendapat goncangan yang hebat karena serangan dari pihak korban. Demi melindungi jiwanya terdakwa yang pada saat itu mengalami serangan fisik dari korban.57

Dalam hal ini tindakan terdakwa bisa jadi mengandung unsur pembelaan yang melampaui batas dikarenakan adanya unsur yang membahayakan bagi diri sendiri. Karena pada saat itu terdakwa sedang mengenderai sepada untuk kembali ke rumah di Desa Lamcot, ketika perjalanan terdakwa melihat kerbau korban pasti ada juga korban Muzakir. Terdakwa langsung berhenti dan keluarlah dari belakang korban Muzakir sambil menenteng sebilah parang, pada saat itu terdakwa berniat akan memutar sepeda motor namun korban sudah dekat dan korban Muzakir langsung membacok kepala terdakwa dengan parang sebanyak


(61)

52

satu kali lalu pada saat korban membacok sekali lagi terdakwa menangkis dengan tangan kiri dan parangnya jatuh.

Sehingga terdakwa merebut parang dan langsung mengayunkan parang tersebut kebagian leher sebelah kiri korban dang mengenai leher korban sampai korban terjatuh lalu terdakwa melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor, dan mengakibatkan hilangnya nyawa korban.58

Seharusnya disini terdakwa bisa terbebas dari unsur pidana pembunuhan karena adanya pembelaan terpaksa sesuai dengan pasal 49 KUHP. Dalam KUHP, Pertama dikenal pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dalam hal ini terdakwa mengalami kegoncangan jiwa yang sangat hebat. Jadi, faktor subyektifitas memegang peranan karena temperamen setiap individu berbeda-beda. Sebaiknya terhadap diri pribadi sipelaku Noodweer Exces dimintakan keterangan ahli psikolog atau psikiater.

Persamaan pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui batas antara lain yaitu, pada keduanya harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusialaan dan harta benda), sama - sama dilakukan dalam keadaan yang terpaksa (Noodweer) dalam usaha mempertahankan dan melindungi suatu kepentiangan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan


(62)

53

hukum. kedua, pada keduanya, pembelaan ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum (rechsbelang) diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.

Perbedaannya yaitu antara lain, Pertama perbuatan yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa harus perbuatan yang seimbang dengan bahaya atau ancaman serangan dan tidak diperbolehkan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan. Tetapi dalam pembelaan terpaksa melampaui batas, pilihan perbuatan tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan karena adanya keguncangan jiwa yang hebat misalnya seseorang menyerang lawannya dengan pecahan botol yang sebenarnya dapat dilawan dengan sebatang kayu (Noodweer) tapi karena kegoncangan jiwa yang hebat dilawan dengan cara menembaknya (Noodweer exces), kedua pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan ketika adanya ancaman atau serangan sedang berlangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan berhenti atau tidak ada lagi, tapi dalam pembelaan yang melampaui batas, perbuatan pembelaan masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.59 Ketiga, tidak dipidana dalam pembelaan terpaksa karena sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaan pidana pada pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan dalam pembelaan yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf karena adanya alasan penghapus kesalahan pada diri pelaku.


(63)

54

Dalam Noodweer mengandung asas subsidairiteit yaitu harus adanya keseimbangan antara kepentingan yang dibela, cara yang dipakai dan kepentingan yang dikorbankan dan asas propositionaliteit yaitu tidak semua alat dapat dipakai, hanya yang masuk akal. karena terdapat pembelaan yang dilakukan harus sesuai dengan serangan yang bersifat melawan hukum, sedangkan pembelaan diri harus disebabkan terpaksa karena tidak ada jalan lain.

Untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer exces sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 2 KUHP, bahwa pelaku tersebut dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian rupa yang disebabkan oleh serangan tersebut, dan ternyata bahwa dalam fakta hukum di persidangan adalah ada serangan yang bersifat melawan hukum dan seketika mengancam jiwa. Pada kasus, peneliti berpendapat bahwa terdakwa Muhammad Jabar bisa lepas dari jeratan hukum, karena unsur – unsur dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas sudah terpenuhi. Diantaranya adanya serangan langsung dari korban dan serangan itu belum berakhir, akibat serangan itu juga terdakwa mengalami goncangan jiwa yang hebat.


(64)

55

B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH Tentang Pembelaan Terpaksa dalam Pidana Pembunuhan

Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya maupun hubungan sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana Islam yang dalam tradisi fikih disebut dengan istilah jarimah atau jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang dilarang oleh syariat dan diancam dengan hukuman bagi pelanggarnya. Salah satu prinsip dalam syariat Islam adalah seseorang tidak bertanggung jawab60, kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggung jawab atas perbuatan jarimah orang lain.

Dalam syariat Islam, Hakim atau Majelis hakim yang akan memutuskan suatu perkara harus mempertimbangkan dengan akal sehat dan keyakinan serta perlu adanya musyawarah untuk mencapai nilai-nilai keadilan semaksimal mungkin baik bagi korban maupun untuk terdakwa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 58 :

َه َ ِإ

مم َ ُل امّ ت ُ ْ َ ْ ك ُم

لَ كَحمت ُ ْ ِسا للآ م َيمب َ تَ كمح ل ِإمو ام َِ ْ مى لِإ ِ

يِ مس ا ْ َه َ ِإ هِب َ ك ظِم ا ِِ َه َ ِْ ,ِ َدملاِب

.ل مكَيِصمب اً

60 Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari.at Islam adalah pembebanan terhadap seseorang atas suatu perbuatan yang telah dilarang yang ia kerjakan dengan kemauan sendiri dan ia sadar akibat dari perbuatannya itu. Lihat dalam, Abd. Salam Arief, Fiqh Jinayah (Yogyakarta: Ideal, 1987), 45.


(65)

56

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.61

Berdasarkan ayat di atas, bahwa Hakim di dalam memberikan putusan yang berupa hukuman kepada terdakwa harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang terdapat pada diri terdakwa terlebih dahulu dengan jalan permusyawarahan, agar penjatuhan pidana yang diberikan hakim mencapai nilai keadilan.

Sebagaimana telah diketahui bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang di larang keras oleh agama karena akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Perbuatan membunuh itu sendiri pada dasarnya adalah merampas hak hidup orang lain dan mendahului kehendak Allah, karena Dia-lah yang berhak membuat hidup dan mati. Allah mengharamkan manusia melakukan pembunuhan kecuali dengan alasan yang benar yaitu kafir setelah iman, berzina setelah ihshan, dan membunuh sesama muslim yang terpelihara jiwanya.

Manusia tidak bisa merealisasikan semua keinginan dan tujuan hidup mereka kecuali jika seluruh unsur dan faktor tersebut terpenuhi dan memperoleh haknya secara penuh. Salah satu hak yang paling asasi dan diusung tinggi oleh Islam adalah hak hidup, maka tidak seorangpun


(1)

65

dalam hukum pidana islam dalam pemberian sanksi lebih untuk kemaslahatan umat. Perlu diketahui terdakwa melakukan tindak pembunuhan karena membela diri dari serangan korban. Dalam hukum pidana islam, membela jiwa hukumya wajib. Serta syarat-syarat dalam pembelaan diri yang melampuai batas sudah terpenuhi antara lain adanya serangan seketika pada saat itu juga serta sudah tidak ada jalan lain untuk mempertahankan diri.

B. Saran – saran

1. Untuk aparat penegak hukum seperti Hakim, diharapkan bisa mengkaji kembali mengenai pemberian hukuman , apakah sudah sesuai dengan fakta-fakta yang ada dalam persidangan.

2. Dalam tindak pidana pembunuhan memang perlu dipertimbangkan tujuan dan nilai maslahah demi terciptanya realitas hukum di Indonesia yang adil. Seperti perbuatan pembelaan yang diperbolehkan harus terdapat kejelasan dalam menentukan syarat dan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembentukan hukum yang nantinya diharapkan dengan adanya undang-undang yang tegas terkait dengan kejahatan maka akan memperkecil jumlah kerusakan moral di Indonesia.

3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam dalam tindak pidana pembunuhan memang perlu dipertimbangkan maslahahnya oleh penegak


(2)

hukum demi terwujudnya prinsip Maqasidasy - Syari’ah dan terciptanya nuansa hukum di Indonesia yang adil


(3)

67

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Farid, Zainal. Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Amin Suma, Muhammad. Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Djazuli, A. Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Hamdan, M. Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Bandung: PT. Refika Aditama, 2014.

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam., Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990. Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Khotimah, Khusnul. Alasan Pemaaf Atas Tindakan Pembunuhan Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisa Putusan MA No.1445K/Pid/2011), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2013.

Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta:Sinar Grafika, 1991.

Marsum, Jinayat: Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1989.


(4)

68

Prodjodikoro, Wirjono. Asas -asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989.

Qulub, Thatmainul. Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Pasal 49 KUHP ‚ Skripsi- UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.

Saleh, Roeslan. Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987. Sanggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,

2004.

Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari.at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Shiddiqi, Nourouzzaman Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1997.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2010.

Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.

Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam : Fiqih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.


(5)

69

Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1989. Hamzah, Andi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor. 201/Pid.B/2013/Pn. Jth, 2013.


(6)


Dokumen yang terkait

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15