Sejarah dan perkembangan NU Cabang Surabaya tahun 1929-1939.

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Sebagaian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)

Oleh

Ira Rasyidah Al Miskiyah NIM: A0.22.13.038

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

viii

maka dirumuskan beberapa rumusan masalah. Yang pertama mengenai sejarah berdirinya NU Cabang Surabaya, yang kedua Perkembangan Ranting NU di Cabang Surabaya pada tahun 1929-1939 dan yang ketiga mengenai tentang hambatan-hambatan yang dialami oleh NU cabang Surabaya pada tahun 1929-1939.

Penulisan skripsi ini disusun dengan menggunakan pendekatan sejarah dan sosiologi yang bertujuan untuk mendeskripsikan Sejarah dan Perkembangan NU Cabang Surabaya pada tahun 1929-1939, dan melakukan metode penelitian sejarah dengan empat tahap, yaitu: heuristik atau pengumppulan data, kritik sumber, interpretasi atau penafsiran dan histografi atau penyajian. Dan penulisan ini menggunakan teori kemasyarakatan yang dikemukakan oleh Mac Iver.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Sejarah berdirinya NU Cabang Surabaya didirikan pada tahun 1929 di Surabaya, dan dari segi perkembangannya dapat mendirikan kring-kring di tiap daerah dan memiliki pembangunan amal usaha seperti, masjid, madrasah, dan koperasi. Dan dari sisi hambatan, NU cabang pada tahun itu mengalami hambatan pada masalah taqlid, masalah dalam kemadrasaannya, susahnya perekonomian dan susahnya dalam berpolitik di masa kolonial Belanda.


(7)

ix

problems contained in the research then formulated some formulation of the problem. The first is about the history of NU Branch Surabaya, the second development of NU branches in Surabaya Branch in 1929-1939 and the third about the obstacles experienced by NU Surabaya branch in 1929-1939.

The writing of this thesis is prepared by using historical and sociology approach which aimed to describe History and Development of NU Branch Surabaya in 1929-1939, and to conduct historical research method with four stages: heuristic, source critic, interpretation and histography. And this writing uses community theory proposed by Mac Iver.

From this research, it can be concluded that the history of NU Branch Surabaya was established in 1929 in Surabaya, and in terms of its development can establish the ring-kring in each region and have the development of business charity such as mosque, madrasah and cooperative. And from the point of view of the obstacles, NU branches that year experienced obstacles to taqlid problems, problems in kemadrasaannya, difficult economic and difficult in politics in the Dutch colonial period.


(8)

xii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan Penelitian... 6

D.Kegunaan Penelitian ... 6

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 8

G.Metode Penelitian ... 10

H.Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II SEJARAH BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA (NU) CABANG SURABAYA A.Latar belakang berdirinya NU Cabang Surabaya ... 15


(9)

xiii 1929-1939

A.Perkembangan NU Cabang Surabaya ... 28

B.Perkembangan Amal Usaha NU Cabang di Surabaya 1. Dalam bidang pembangunan masjid ... 45

2. Dalam bidang Madrasah/ Pendidikan ... 46

3. Dalam Bidang Sosial Masyarakat ... 49

4. Dalam Bidang Sosial Ekonomi ... 50

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIALAMI NU CABANG SURABAYA PADA TAHUN 1929-1939 A.Faktor Intern ... 52

B.Faktor Ekstern ... 59

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan... 60

B.Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia (dulu Hindia Belanda), gerakan kebangkitan itu ditandai dengan berdirinya ormas-ormas Islam baik yang berhaluan politik-sosial maupun keagamaan. Ormas-ormas itu seperti SDI (1905), SI (1911), PSI (1922), PSII (1930), Muhammadiyah (1912) di Yogyakarta, Persis (1923) di Bandung, Al irsyad (1914) di Jakarta, Perti (1928) di Bukit Tinggi, Al-Jami’at al-Washliyah (1930) di Medan, NU (1926) di Surabaya, dan masih banyak lagi1.

Di antara sekian banyak ormas, pada mulanya yang paling berpengaruh adalah Sarekat Islam atau SI, ormas ini merupakan “reinkernasi” dari Serikat Dagang Islam atau SDI. Bisa dikatakan, SI merupakan embrio dari munculnya ormas-ormas Islam pada fase berikutnya, seperti Muhammadiah, Persis, Al-Irsyad, termasuk NU dan lain-lain. Memecahnya SI menjadi beberapa ormas disebabkan karena tidak tertampungnya aspirasi umat Islam yang beragam (intelek, tradisionalis, dan modernis). Sehingga kadang-kadang menimbulkan kecemburuan sosial bagi sebagian orang.

Hal itu terbukti ketika pada tahun 1926 tersebar berita bahwa akan digelar Kongres Dunia Islam di Hijaz, dan delegasi dari Indonesia terdiri dari H.O.S Tjokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur dan H. Sujak (Muhammadiah), sementara

1Pahriannor Albanjari, “

SEJARAH ORMAS ISLAM NAHDHATUL ULAMA (NU)”, dalam


(11)

dari kalangan tradisionalis (ketika itu belum ada NU) sama sekali tidak dilibatkan Fakta ini jelas membuat para ulama tradisional gusar dan mendorong pembentukan organisasi yang berbasis tradisional, sefaham dan seideologi.

Nahdlatoel Oelama’ (NO) sebutannya sebelum tahun 1940 adalah salah satu organisasi Islam terbesar dengan jumlah anggota terbanyak di Indonesia, dan merupakan suatu organisasi yang berbasis massa di bawah kepemimpinan ulama. Keyakinan yang mendalam terhadap pelbagai pemikiran, gagasan, konsep di segala hal, serta metode-metode yang diusung NU diyakini sebagai kunci utama NU untuk dapat eksis dan terus bertahan hingga hari ini. Untuk memahami NU sebagai jam'iyyah diniyah (organisasi keagamaan) secara tepat, belumlah cukup dengan melihat dari sudut formal sejak ia lahir. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam'iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu ada dan berwujud jama'ah (community) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik tersendiri2.

Kehadiran NU memiliki peranan yang penting untuk Indonesia diantaranya melakukan perubahan-perubahan dalam sikap dan pandangan dunia, Banyak kalangan Muslim, khususnya dalam beradaptasi dengan tantangan-tantangan modernisasi. Peranan ini terkadang disalahpahami oleh para pengamat. Mereka melihat NU sebagai penghubung, antara negara modern dan masyarakat tradisional.

NU didirikan oleh ulama’ di kota Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926, M. Rais Akbar dijabat oleh Hadratusy Syeikh K.H.M. Hasyim

2

Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkernbangan Nahdlatul Ularna (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010), 3.


(12)

Asy’ari, Katib Aam K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Ketua Umum Tanfidziyah H. Hasan Gipo dan Sekjen M. Shidiq Judodiwirjo3. Pada malam Jum’at 10 Muharram 137/1929 M telah diadakan pertemuan besar oleh H.B.N.O untuk merayakan adanya balai H.B.N.O di kampung Bubutan gg 1/74. Pertemuan itu dihadiri oleh ulama-ulama, seperti : K.H.M Hasyim Asyari, K.H.M Ma’sum, K.H.M Bisrie dari Jombang. K.H.M Dhofir, K.H.M Ma’sum dan K.H Abdullah Faqih dari Gresik, dan lain-lain. Sesudah selesai upacara K.H Hasyim Asyari bertanya kepada para hadirin “Apakah perlu di kota Surabaya didirikan cabang NU? Sebab sebelum ini penduduk suabaya masih mengikuti langkah dan terjangnya anggota H.B.N.O” setelah hadirin dapat tawaran dari K.H Hasyim Asyari tersebut, para hadirin pun menjawabnya dengan serentak “MUFAKAT” yang berarti setuju5.

Dalam perkembangannya NU juga membuka cabang-cabang organisasi diberbagai daerah terutama di Surabaya. Cabang disini mengarah pada sebutan kring sejak tahun 1952 sebutan itu ditiadakan lagi dan diganti namanya menjadi Pengurus ranting (PR). Kring merupakan cabang NU tingkat desa/kelurahan6. Yang menjadi latar belakang dibentuknya.

Kring NU pertama di Surabaya didirikan di Keputran pada tahun 19307. Pada tahun ini juga tepatnya pada bulan September NU cabang Surabaya

3

Masyhudi Muchtar dan Mohammad Subhan, Profil NU Jawa Timur (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2007),.3.

4

Mathari Bashar, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama Tjabang Soerabaja Moelai 11 Mei 1929 – 11 Mei 1939 (Surabaya: t.p, 1940), 3.

5

Ibid, 3.

6

Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU : Sejarah – Istilah- Amalia – Uswah

(Surabaya: Khalista, 2007), 72.

7


(13)

mengadakan openbare meeting (pertemuan terbuka) yang bertepatan di masjid kemayoran Surabaya. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkenalkan NU pada khalayak umum.

Ketika belanda masih menduduki Indonesia, hal itu tidak mengganggu berdirinya kring- kring di Surabaya karena dalam membangun organisasi NO ini dilakukan secara resmi yaitu diluar program riayah (tidak menyangkut ekonomi, politik, kenegaraan maupun lainnya) melainkan fokus membangun jaringan untuk massa NO. Namun NO tidak meninggalkan hal- hal seperti politik melainkan dalam pembahasan politik tersebut dilakukan secara tersembunyi, rahasia, dan tidak ditulis8.

Dilain itu, kring bertujuan untuk bidang ekonomi masyarakatnya dengan cara membentuk badan koperasi syirkah muamalah. Diantara berbagai tujuan itu, kring dibentuk bertujuan untuk memperluas jaringan organisasi yang awalnya profestur (pengurus besar) hanya di bubutan. Awal mula munculnya profestur ini adalah di gresik kemudian di sidoarjo, barulah selanjutnya di Surabaya. Wilayah di Surabaya tidak sama dengan keadaan sekarang (sebelum hingga setelah kemerdekaan). Surabaya meliputi benowo sampai wonokromo sedangkan daerah selatan Surabaya (wonocolo dan sekitarnya) merupakan wilayah administrasi gresik yang pada tahun 1960 menjadi kawedanan jabakota (jobo kuto/ luar kota).

Pada era penjajahan NU dikenal sebagai HBNO yaitu HoofdBestuur (Pengurus Pusat) Nahdlatoel Oelama sedangkan pengurus cabang dikenal sebagai Hoof de Ling. Namun pada tahun 1934 HBNO akhirnya menjadi NO berdasarkan

8


(14)

tujuan bersama yaitu memisahkan urusan pusat dengan urusan cabang agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam melakukan tugasnya dalam berorganisasi.

Sebagai contoh peran NU dibidang kenegaraan pada masa penjajahan yaitu Muktamar NU ke 11 di Banjarmasin (19 Rabiul Awal 1335 H/ 9 Juni 1936 M) membahas 23 perkara keagamaan aktual, salah satunya adalah soal status negara Indonesia yang kala itu di perintah Belanda. Dalam bahasa sederhana waktu itu Muktamirin mempertanyakan : apa nama tanah jawa, betawi (Indonesia) menurut syarah agama Islam?. Muktamar lalu memutuskan : tanah jawa dan betawi (Indonesia) adalah tanah Islam. Putusan ini didasarkan pada sebuah kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 254, bab hudnah wal imamah. Bahwa negara Indonesia dinamakan “darul Islam”, karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun kemudian direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama negara Islam tetap melekat selamanya9.

Dalam kelancaran perluasan kring-kring tersebut, ada seseorang yang menjadi pelopor berdirinya cabang NO di Surabaya (kring- kring) yaitu K. Abdullah Ubaid10, salah satu pendiri ansor NO (A.N.O.) beliau termasuk sebagai golongan muda bersama dengan tokoh lain seperti Thohir Bakry. Sedangkan tokoh tua salah satunya adalah Ridwan Abdullah yaitu seorang yang dikenal sebagai pembuat lambang NU.

Hal tersebut yang menjadi contoh bahwasannya NO tidak hanya berurusan dengan hal yang berhubungan memperluas jaringan NO, melainkan juga mengurusi hal yang berkaitan dengan negara Indonesia serta Islam. Namun dalam

9

Choirul Anam, KH Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya (Surabaya: PT Duta Aksara Mulia, 2015), 19.

10


(15)

hal ini penulis akan fokus membahas mengenai perkembangan kring- kring (tingkat kecamatan) yang menjadi awal meluasnya organisasi NO di surabaya, wadah bagi massa NO karena penelitian ini berjudul Sejarah dan Perkembangan NU Cabang Surabaya tahun 1929 - 1939 yang akan dijelaskan secara periodik dari masa ke masa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Sejarah Berdirinya NU Cabang Surabaya ?

2. Bagaimana Perkembangan NU cabang Surabaya pada tahun 1929-1939 ? 3. Hambatan apa saja yang dialami oleh NU cabang Surabaya pada tahun

1929-1939 ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk Mengetahui Sejarah Berdirinya NU Cabang di Surabaya.

2. Untuk Mengetahui Perkembangan NU cabang Surabaya pada tahun 1929-1939.

3. Untuk Mengetahui hambatan yang dialami NU cabang suabaya pada tahun 1929-1939

D. Kegunaan Penelitian

Banyak tulisan-tulisan yang membahas mengenai sejarah dan perkembangan NU. Akan tetapi, penulisan mengenai NU cabang Surabaya sangat


(16)

minim. Dengan dilakukannya penelitian. Kegunaan penelitian ini terbagi menjadi dua diantaranya:

1. Kegunaan secara teoritis/akademis: ikut serta menambah khasanah keilmuan dalam bidang sejarah islam baru mengenai sejarah dan pekembangan NU cabang Surabaya.

2. Kegunaan secara praktis: dalam penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan refrensi tentang sejarah dan perkembangan NU cabang Surabaya tahun 1929-1939, Bagi penulis penelitian skripsi ini digunakan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar S-1 pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Pendekatan dan kerangka teori adalah satu elemen penting yang wajib di miliki dalam setiap penulisan penelitian. Sartono Kartodirjo mengemukakan bahwa pemaknaan atau penggambaran mengenai suatu peristiwa sangatlah tergantung pada pendekatan, yang mempunyai arti dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya. Hasil interpretasi akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai11.

Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan historis dan sosiologis yaitu pendekatan yang membahas tentang masa lampau manusia. Yang dimana dalam penulisan ini menulis tetang sesuatu yang fakta tanpa rekayasa.

11

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1993), 4.


(17)

Sosiologi dan sejarah merupakan disiplin ilmu dengan asal-usul yang sama, di mana sejarah sendiri tidak bisa lepas dari yang berhubungan dengan masyarakat atau manusia. Dengan menggunakan pendekatan ini, diharapkan dapat membantu dalam proses dasar yang terjadi di dalam perjuangan individu-individu dan organisasi.

Penelitian ini berhubung dengan kemasyarakatan maka teori yang digunakan adalah Mac Iver yaitu hubungan-hubungan sosial yang menyusun sebuah masyarakat dapat dimengerti hanya dengan mencapai sebuah pemahaman mengenai segi-segi subjektif dari kegiatan-kegiatan antar pribadi dari para anggota masyarakat.

F. Penelitian Terdahulu / Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah gambaran peneliti dalam melakukan pembahasan yang sama dengan topik yang berbeda agar tidak tejadi penggulangan dalam penulisan. Dalam penelitian terdahulu penulis belum menemukan pembahasan yang diteliti yang sama persis dengan yang penulis teliti. Akan tetapi, ada beberapa skripsi yang memiliki pembahasan hampir mirip dengan topik yang sedang penulis teliti tentang sejarah dan perkembangan NU. Skripsi tersebut antara lain:

1. Tesis dengan judul, (2011). Nahdlatul Ullama (NU) di Medan (Studi Tentang Sejarah dan Peran Sosial Keagamaan dari 1950-2010)12. Penelitian yang dilakukan oleh Salbiah Siregar ini lebih mengarah pada Sejarah dan Perkembangannya NU di Medan dari tahun 1950 hingga 2010, dan yang

12

Salbiah Siregar, “Nahdlatul Ulama (NU) di Medan (Studi Tentang Sejarah dan Peran Sosial Keagamaan Dari 1950-2010)”, (Tesis, Pascasarja IAIN Sumatera Utara, Medan, 2011).


(18)

menjadi pokok bahasan utamanya adalah tentang peran sosial keagamaannya yang dilakukan di Medan.

2. Skripsi dengan judul (2016). Peran Nahdlatul Ulama di Sidoarjo dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo Tahun 2005-201513. Penelitian yang ditulis oleh Fariza Ainul Wardah ini tentang sejarah masuknya dan perkembangan Nahdlatul Ulama Cabang Sidoarjo, namun judul ini memiliki titik fokus tentang peranan Nahdlatul Ulama cabang Sidoarjo dalam keikutsertaannya dalam pemilukada di Sidoarjo pada tahun 2005-2015.

3. Skripsi dengan judul (2003). Gerakan Dakwah dan Pendidikan Jam’iyyah

Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa (Periode Muktamar NU ke-27 di Situbondo 1984 sampai dengan Muktamar ke-28 di Krapyak Yokyakarta 1990)14. Penelitian yang ditulis oleh Imam Chuseno ini berisi tentang gerak dakwah dan pendidikan Jami’yyah Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa pasca Muktamar NU ke -27 di Situbondo dan Muktamar ke-28 di Yokyakarta.

Dari yang telah dipaparkan, masih banyak penelitian yang ditulis oleh para peneliti tentang Sejarah dan Perkembangan NU. Namun, dalam penelitian judul saya Sejarah dan Perkembangan NU Cabang Surabaya tahun 1929-1939 ini memiliki titik fokus yang berbeda dari penelitian yang lain, yaitu tentang sejarah dan perkembangannya NU Cabang Surabaya pada tahun 1929-1939 dengan titik

13Fariza Ainul Wardah, “Peran Nahdlatul Ulama di Sidoarjo dalam Pemilihan Bupati dan Wakil

Bupati Sidoarjo Tahun 2005-2015”, (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Adab dan Humaniora, Surabaya, 2016).

14

Imam Chuseno, Gerakan Dakwah dan Pendidikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa (Periode Muktamar NU ke-27 di Situbondo 1984 sampai dengan Muktamar ke-28 di Krapyak Yokyakarta 1990)”, (Tesis, Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003).


(19)

fokus ke penyebaran kring-kringnya di Surabaya setelah di dirikannya NU pada tahun 1926 di Surabaya.

G. Metode Penelitian

Dalam melakukan penulisan ilmiah, metode mempunyai peran yang sangat penting. Berdasar hal itu, penulisan ini menggunakan metode penulisan historis, sebagaimana disebutkan diatas metode sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip yang sistematis dalam usaha mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan menyajikan sintesa dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan15. Adapun langkah dalam tahap penulisan metode penulisan sejarah, yaitu:

1. Heuristik atau Pengumpulan Sumber Data

Heuristik atau pengumpulan sumber data yaitu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Adapun sumber-sumber data peneltian ini diperoleh dari :

a. Sumber Primer:

Sumber primer adalah suber yag dihasilkan atau ditulis oleh pihak yang secara langung terlibat atau menjadi saksi mata dalam peristiwa sejarah Dalam karya ini, penulis menggunakan sumber Arsip Nahdlatul Ulama yang terletak di Museum NU yang berkaitan dengan sejarah dan perkembangan NU cabang Surabaya pada tahun 1929-1939. Adapun arsip tersebut, rinciannya sebagai berikut:

15

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1984), 11.


(20)

1. Mathari Bashar, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama Tjabang Soerabaja Moelai 11 Mei 1929 – 11 Mei 1939. Surabaya: t.p, 1940. b. Sumber sekunder berupa buku-buku ilmiah yang digunakan dalam

penullisan ini adalah:

a) Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkernbangan Nahdlatul Ularna. Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010.

b) Choirul Anam, KH Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya. Surabaya: PT Duta Aksara Mulia, 2015.

c) Masyhudi Muchtar. Mohammad Subhan, Profil NU Jawa Timur. Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2007.

d) Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1984.

e) Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1993.

f) Soelaiman Fadeli, Antologi NU : Sejarah – Istilah- Amalia – Uswah. Surabaya: Khalista, 2007.

Selain dari beberapa sumber primer dan sekunder diatas, penulisan skirpsi ini juga menggunakan beberapa sumber yang masih ada kaitannya dengan pembahaasn skripsi ini. Penulis memberoleh sumber penunjang lainnya dalam bentuk buku, internet, majalah, surat kabar dan beberapa sumber lainnya yang penulis dapatkan dari berbagai tempat.


(21)

Suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperolah agar memperoleh kejelasan apakah sumber itu kredibel atau tidak, dan apakah sumber itu autentik apa tidak. Pada proses ini dalam metode sejarah biasa disebut kritik intern dan kritik ekstern. Adapun perbedaan kritik intern dan ekstern yakni sebagai berikut:

a. Kritik ekstern

Kritik ekstern digunakan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik ataukah tidak. Adapun dalam skripsi ini, penulis melakukan kritik ekstern terhadap beberapa sumber berupa dokumen yang mendukung dengan kritik ekstern ini penulis mencoba mencari tahu secara fisik tentang sumber yang penulis peroleh.

b. Kritik Intern

Kritik intern digunakan untuk melihat apakah isi sumber tersebut kredibel atau tidak. Setelah banyak sumber sejarah yang dianalisis dengan kritik ekstern, maka dianalisis lagi dengan kritik intern. Dengan cara membandingan beberapa sumber yang telah diperoleh dengan sumber-sumber yang lainnya. Dengan tujuan agar dapat diketahui bahwa isi sumber-sumber tersebut dapat dipercaya.

3. Interpretasi atau penafsiran

Tahap berikutnya ialah interpretasi, perhatian utama dalam tahap ini adalah untuk menetapkan bahwa sumber yang didapatkan penulis ini reliable. Apakah sumber tersebut mencerminkan realitas historis, serta seberapa reabelkah informasi yang terkandung didalamnya, dalam hal ini data yang


(22)

informasi yang terdapat dalam sumber tersebut dibandingkan dengan buku-buku yang lain, dengan bukti-bukti lain yang mempunyai hubungan dengan masalah yang diteliti.

4. Historiografi atau Penyajian

Setelah melakukan pengumpulan data melalui kegiatan heuristik, kritik dan interpretasi, maka tibalah saatnya untuk memaparkan hasilnya dalam bentuk historiografi atau tulisan. Dalam langkah ini penulis dituntut untuk menyajikan dengan bahasa yang baik, yang dapat dipahami oleh orang lain dan dituntut untuk menguasai tekni penulisan karya ilmiah. Penulisan hasil penelitian sejarah ini memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian sejak dari awal sampai dengan kesimpulan atau akhir. Dalam penulisan kembali/rekonstruksi sejarahnya, penulis menggunakan pendekatan Diakronik dan Sinkronik, dimana pembahasannya secara tematik dan menurut perkembangan waktu yang sedang terjadi.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih memudahkan penulisan guna memberikan gambaran alur pemikiran yang terkandung dalam penelitian ini, maka perlu adanya sistematika pembahasan. Diantaranya sebagai berikut.

Bab Pertama, Merupakan bab pendahuluan yang di dalamnya mencakup beberapa hal, mengenai latar belakang, rumusan masalah. Tujuan dan manfaat penelitian. Kegunaan penelitian. Pendekatan dan kerangka teoritik, Tinjauan penelitian terdahulu sebagai acuan untuk mengerjakan skripsi penulis. Metode penelitian, Sistematika pembahasan guna menjelaskan gambaran alur penulisan


(23)

dalam penelitian ini dan Daftar Pustaka guna untuk mengetahui refrensi yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab Kedua, pada bab ini akan dibahas mengenai mendasar tentang bagaimana sejarah berdirinya NU cabang Surabaya, Tokoh-tokoh siapa saja yang sebagai penggagas awal berdirinya NU cabang di Surabaya, dan tentang visi dan misi dari berdirinya NU cabang Surabaya.

Bab Ketiga, dalam bab ini dibahas tentang perkembangan NU cabang Surabaya pada tahun 1929-1939, dan dalam sub babnya dijelaskan tentang perkembangan NU cabang Surabaya pada tahun 1929-1939 dan perkembangan amal usaha yang dimiliki NU Cabnag Surabaya, seperti: pembangunan masjid dan sekolah yang dimiliki.

Bab Keempat, dalam bab ini dibahas tentang hambatan yang dilalui pada saat pekermbangan NU cabang Surabaya pada tahun 1929-1939. Hambatan bisa dari dalam dan hambatan dari luar yang dijelaskan secara periode.

Bab Kelima, yakni bab terkahir yang akan membahas mengenai penutup, kesimupulan dari penulisan skripsi ini serta saran-saran mengenai isi serta harapan dari isi skripsi ini.


(24)

BAB II

SEJARAH BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA (NU) CABANG SURABAYA

A. Latar Belakang Berdirinya NU Cabang Surabaya

Nahdlatul Ulama, disingkat NU, yang artinya kebangkitan ulama1. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H2 di kampung Kertopaten Surabaya. Untuk memahami NU sebagai organisasi keagamaan secara tepat, belumlah cukup jika hanya melihat dari sudut formal semenjak ia lahir. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam’iyyah, ia terlebih dulu ada dan berwujud jama’ah (community) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik sendiri3.

Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia islam kala itu. Pada tahun 1924 di Arab Saudi sedang terjadi arus pembaharuan4 oleh Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Pada tahun 1924 juga, di Indonesia K.H Wahab Chasbullah mulai memberikan gagasannya pada K.H. Hasyim Asyari untuk perlunya didirikan NU, Sampai dua tahun kemudian pada tahun 1926 baru diizinkan

1

Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU : Sejarah – Istilah- Amalia – Uswah

(Surabaya: Khalista, 2007), 1.

2

Kacung Maridjan, QUO VADIS NU (Jakarta: Erlangga, 1992), 1.

3

Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkernbangan Nahdlatul Ularna (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010), 3.

4

Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakrta: LKis, 2004), 29.


(25)

untuk mengumpulkan para ulama untuk mendirikan NU. Dengan susunan kepengurusan pada tahun yang pertama, yaitu5:

Bagian Syuriah Bagian Tanfidziyah

Rais Akbar : K.H.M Hasyim A. W. Rais Akbar : K.H. Dahlan Ahyad Katib Awal : K.H. Abdulwahab C. Katib Tsani : K.H. Abdul Chalim A’wan : K.H. Mas Alwi A.A K.H. Ridwan Abd. K.H. Said

K.H. Bisri Syansuri K.H. Abd Ubaid K.H. Nahrowi K.H. Amin K.H. Majkuri K.H. Nahrowi Mustasyar : K.H. R. Asnawi K.H. Ridwan K.H. Mas Nawawi K.H. Doro Muntoho Syeikh Ahmad G.

Ketua : H. Hasan Gipo Penulis : M. Sidiq Sugeng J. Bendahara : H. Burhan

Pembantu : H. Ismail Sjamil H. Ichsan

H. Dja’far Alwan H. Usman H. Ahzab H. Nawawi H. Dachlan H. Mangun 5


(26)

K.H. R. Hambali

Konteks dalam pendirian NU ini ada dua, yaitu untuk tujuan kemerdekaan dan untuk memagari Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dan menjaga tradisi keagamaan dari serangan ajaran Wahabi di Indonesia.

Di Indonesia tanah air kita ini, sebagaimana dengan dilain-lain negeri, tak pernah luput dari zaman pembagunan dan perjuangan. Terbukti dengan timbulnya bermacam-macam organisasi baik yang berdasar politik kebangsaan maupun yang berdasarkan agama. Ditengah munculnya perhimpunan yang bermacam-macam itu, maka muncullah perhimpunan Nahdlatul Ulama (NU) yang berasakan Islam. Setelah dilahirkan, NU ini memperluas cakupannya hingga di beberapa kota untuk mendirikan cabang-cabang yang telah menyetujui untuk mendirikan himpunannya di daerah itu6, sampai dapat membentuk kring di cabang Gresik, cabang Sidoarjo dan Surabaya, yang dulu pada tahun tersebut di sebut kring (cabang NU tingkat desa/kelurahan)7.

Kring adalah sebagai konsekuensi perluasan konsolidasi supaya lebih dekat dengan basis massa (masyarakat). Jadi tidak hanya membentuk ditingkat cabang, melainkan juga ditingkat kelurahan maupun desa yang lebih khususnya di Surabaya. Sejak tahun 1952 sebutan itu ditiadakan lagi dan diganti namanya menjadi Pengurus Ranting (PR). Tujuan dibentuknya kring ini adalah untuk memproduktifkan santri maupun kelompok (massa) NU yang

6

Mathari Bashar, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama Tjabang Soerabaja Moelai 11 Mei 1929 – 11 Mei 1939 (Surabaya: t.p, 1940), 2.

7


(27)

belum mempunyai wadah, yang pada saaat itu di Surabaya masih sangat minim mengenai masjid untuk berkumpulnya massa NU. Dan tujuan lain dari dibentuknya kring di Surabaya adalah untuk menghimpun dana infaq dan dana sosial untuk pembangunan tempat ibadah agar menjadi wadah bagi massa NU.

Munculnya cabang-cabang ini bermula pada malam Jumat, tanggal 10 Muharram 1347, pada malam itu telah diadakannya pertemuan yang agak besar oleh pihak H.B.N.O (HoofdBestuur Nahdlatoel Oelama) untuk merayakan adanya balai H.B.N.O yang baru pindah di kampung Bubutan gg 1/7 sambil merayakan berdirinya DRUKKERIJ (Percetakan) N.O (yang sampai sekarang masih diusahakan oleh N.O). perayaan tersebut dikunjungi oleh beberapa Ulama dari luar kota Surabaya, misalnya: K.H.M Hasyim Asyari, K.H.M Ma’sum, K.H.M Bisrie dari Jombang. K.H.M Dhofir, K.H.M Ma’sum dan K.H Abdullah Faqih dari Gresik, dan lain-lain. Pertemuan tersebut dihadiri kurang lebih 250 orang dari para Ulama dan adapun dari kaum muslimin di Surabaya8.

Pertemuan ini di adakan dengan beberapa khutbah dan pidato yang dilakukan oleh para ulama-ulama. Sesudah selesai upacara K.H Hasyim Asyari bertanya kepada para hadirin “Apakah perlu di kota Surabaya didirikan cabang NU? Sebab sebelum ini penduduk Surabaya masih mengikuti langkah dan terjangnya anggota H.B.N.O” setelah hadirin dapat

8


(28)

tawaran dari K.H Hasyim Asyari tersebut, para hadirin pun menjawabnya dengan serentak “MUFAKAT” yang berarti setuju.

Sesudah mendapat suara kemufakatan, maka diterangkanlah asas dan tujuan NO. yang diterangkan oleh M. Shodieq (Soegeng Joedodowiryo) selaku seketaris H.B.N.O. setelah asas dan tujuan sudah dijelaskan dan dirasa cukup, maka diadakanlah susunan pengurus cabang yang pertama pada tahun 19299, ialah sebagai berikut:

ANGGOTA SYURIAH ANGGOTA TANFIDZIYAH

Rois : K.Ch. M. „Ali Wakil Rois : K.M. Dimjati Katib : K. „Abdoe’llah

Naib Katib : K.Ch. M. Ach. Barawi A’wan : K.Ch. M. Joesoep D.

K.Ch. M. Chasan Bibis K.Ch. M. Basari K.Ch. M. Said

K.Ch. M. „Abdoelmadji K.M. „Oetsman

Moestasyar : K. Ch. M. „Ali K.Ch. M.. Amin

President : Ch. M. Ghazaly Vice President : Ch. M. Anwar Seketaris I : „Abdoelaziz Sekretaris II : M. Moestadjab Kassier I : Ch. M. Shalech Sjami Kassier II : Ch. „Abdurrachman Commisaris : M. Bari

Ch. M. Syarif M. Zarkasi Moestahdi

M. Badroen

9


(29)

Untuk melakukan perluasan dan memperkenalkan NU kepada khalayak umum, maka NU membentuk sebuah gerakan yang disebut Anggota Lajnah Nashihin. Salah satu tujuan utama dibentuknya Jam’iyyatun Nashihin ini adalah melakukan pengembangan organisasi NU dengan mendirikan Cabang NU di seluruh Indonesia. Posisi Jam’iyyatun Nashihin sebagai komisi propaganda yang meyakinkan masyarakat agar membentuk organisasi NU, mengamalkan akidah Ahlussunnah wal jama’ah dan mencintai bangsa Indonesia yang saat itu sedang mempersiapkan proses kemerdekaan10. Lajnah nasichin ini terdiri dari Sembilan orang: KH. Hasyim Asyari, KH. Bisri Syansuri, KH. Raden Asnawi, KH. Ma’shum, KH. Mas Alwi, KH. Musta’in, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Abdul Halim dan Ustadz Ubaidillah Ubaid. Tugas para Kiai itu adalah hadir ke daerah-daerah untuk meyakinkan tokoh masyarakat bersama masyarakat mendirikan NU dengan menjelaskan visi-misi dan tujuan NU, untuk kemudian mendirikan cabang di tempat-tempat tersebut. Dan dalam pelaksanaan tugasnya terdapat pembagian wilayah tertentu. Misalnya, Kiai Wahab, Kiai Bisri, dan Kiai Abdul Halim lebih mengutamakan daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan Kiai Hasyim Asyari, Kiai Mas Alwi dan beberapa anggota lainnya lebih terfokus di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Tetapi bukan

10

Rikza Chamami, “Propaganda NU Lewat Jam’iyyatun Nashihin”, dalam

https://www.nu.or.id/post/read/70659/propaganda-nu-lewat-jamiyyatun-nashihin (15 Juli 2017).


(30)

berarti pembagian tugas ini berlaku secara ketat. Dalam pelaksanaannya, ternyata seringkali terjadi tukar menukar wilayah11.

Dalam masa perintisan tersebut, selain mengadakan perhubungan diantara para ulama bermazhab untuk mendirikan cabang NU, generasi pendiri organisasi ini juga berusaha memperhatikan masalah sosial, kemasyarakatan, pendidikan dan juga dakwah12.

B. Tokoh-Tokoh Penggagas Awal Berdirinya NU Cabang Surabaya

Sebuah organisasi masyarakat dapat melebarkan sayapnya hingga pesat dan dapat memperluas wilayahnya dikarenakan memiliki tokoh-tokoh yang berperan penting dalam perjalanannya. Itupun terjadi pula pada ormas keagamaan islam yang besar, yaitu NU. Tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam mengembangkan dan memperluas cabang-cabang NU di Surabaya, diantaranya sebgai berikut:

1. Ridwan Abdullah

Kiai Ridwan lahir tanggal 1 Januari 1884 di Kampung Carikan, Alun-alun Contong, Bubutan, Surabaya13. Sejak terjun dalam organisasi, Kiai Ridwan terpaksa mengurangi kesibukannya mengurus ekonomi. Dulu ia punya toko kain di Jl.Kramat Gantung sekaligus tailor. Toko itu kemudian diserahkan kepada adiknya.

Rumah milik mertuanya di Bubutan juga diserahkan untuk kepentingan NU, lantai bawah untuk percetakan NU, sedangkan lantai atas di pakai untuk seketariat dan ruang pertemuan. Setiap ada anak mau

11

Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, 86.

12

Ibid., 89.

13


(31)

berangkat mondok dan sowan kepadanya, selain diberi nasihat dan wejangan, juga tidak ketinggalan diberikan uang saku untuk bekal, padahal beliau sendiri jarang punya uang banyak.

Dalam pengabdiannya Kiai Ridwan ini adalah orang yang mahir dalam melukis sehingga Kiai Wahab Hasbullah memberikan amanat untuk membuat lambang NU. Dan Kiai Ridwan ini adalah seorang A’wan Syuriah HBNO (PBNU) periode pertama. Pengabdiannya di NU tidak setengah-setengah. Bahkan rumahnya di tempati penandatanganan berdirinya NU, 16 Rajab 1344 H. ketika muktamar di Menes, Banten (1938), ia menjadi utusan PCNU Surabaya mewakili Syuriah bersama dengan K.H. Abdullah Ubaid yang mewakili Tanfidziyah.

2. KH. Wahab Hasbullah

Kiai Wahab lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang14. Kiai Wahab adalah tokoh yang sangat dinamis, lincah, pantang menyerah dan banyak akal. Ia biasa bergaul dengan berbagai macam tokoh pergerakan. Dalam pengabdiannya Kiai Wahab sebagai penggagas berdirinya jam’iyah NU bersama K.H.M. Hasyim Asy’ari (1926). Beliau menjabat sebagai katib Aam PBNU saat NU pertama kali didirikan dengan K.H.M Hasyim Asy’ari sebagai rais akbarnya. Beliau meninggal pada hari rabu 12 Dzulqa’dah 1391/29 Desember 1971 M dalam usia 83 tahun, dimakamkan di Pemakaman Keluarga Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.

14


(32)

3. Kiai Mas Alwi

Sosok pemberi nama Nahdlatul Ulama (NU) adalah Sayid Alwi Abdul Aziz al-Zamadghon. Biasa disebut Kiai Mas Alwi. Ia putra kiai besar, Abdul Aziz al-Zamadghon. Bersepupu dengan KH. Mas Mansyur dan termasuk keluarga besar Sunan Ampel, yang juga pendiri sekolah Nahdlatul Waton dan pernah belajar di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Dari pulau garam, ia melanjutkan sekolah di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, lalu memungkasi rihlah 'ilmiyah-nya di Makkah al-Mukarromah15.

Setelah pulang dari keliling Eropa, ia membuka warung di Jalan Sasak Ampel, Surabaya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah berdirinya NU oleh Kiai As'ad Syamsul Arifin, bahwa sebelum 1926, Kiai Hasyim Asy'ari telah berencana membuat organisasi Jami'iyah Ulama (Perkumpulan Ulama). Para kiai mengusulkan nama berbeda. Namun Kiai Mas Alwi mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Lantas Kiai Hasyim bertanya, "kenapa mesti pakai Nahdlatul, kok tidak jam'iyah ulama saja? Sayid Alwi pun menjawab, "karena tidak semua kiai memiliki jiwa nahdlah (bangkit). Ada kiai yang sekadar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jam'iyah." Akhirnya para kiai menyepakati nama Nahdlatul Ulama yang diusulkan Kiai Mas Alwi.

15Ren Muhammad, “Kiai Mas Alwi, Pendiri Nahdlatul Ulama yang Terlupa”, dalam

https://www.nu.or.id/post/read/75944/kiai-mas-alwi-pendiri-nahdlatul-ulama-yang-terlupa (15 Juli 2017).


(33)

Dalam sejarah, kurang dipastikan jelas tahun berapa beliau lahir. Tapi ditemukan petunjuk dari kisah Kiai Mujib Ridlwan bahwa ketiga kiai yang bersahabat semasa (Kiai Ridlwan Abdullah, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Alwi), secara usia tidak terlalu jauh jaraknya. Pada masa awal NU berdiri (1926), usia Kiai Ridlwan 40 tahun, Kiai Wahab 37 tahun, dan Kiai Mas Alwi 35 tahun. Maka, Kiai Mas Alwi diperkirakan lahir pada sekitar 1890-an. Begitu pula dengan kewafatannya, Sampai saat ini, belum ditemukan pula data tentang kapan Kiai Mas Alwi wafat, yang jelas, makam beliau terletak di pemakaman umum Rangkah, yang sudah lama tak terawat bahkan pernah berada dalam dapur pemukiman liar yang ada di tanah pekuburan umum.

Adapun tokoh-tokoh tersebut yang dari kalangan muda (ANO), diantaranya: 1. Thohir Bakry

Lahir pada tahun 1908 di Kampung Praban, Surabaya16. Dikenal sebagai singa podium, ahli dalam berorasi, postur tubuh yang tinggi dan besar dengan suara yang menggeledek turut menambah kewibawaanya. Pada tahun 1932 Kiai Thohir pernah menjadi wakil ketua cabang NU Surabaya, setahun kemudian terpilih sebagai ketua. Jabatan ketua itu terus di pegang hingga tahun 1950-an. Sebagai perintis geraka pemuda ansor dan menjabat menjadi ketua cabang NU, thohir bakry tidak meninggalkan organisasi pemuda yang sudah dibentuknya. Justru dia dan Abdullah ubaid menginginkan agar organisasi itu semakin berkembang besar. Maka

16


(34)

di dirikanlah Persatoen Pemoeda Nahdlatoel Oelama, tahun 1932 PPNO berganti nama menjadi Ansore Nahdlatoel Oelama (ANO). Sampai pada akhirnya pada tahun 1934 ANO di terima sebagai bagian pemuda NU, dengan Thohir bakry sebagai ketua dan Abdullah Ubaid sebagai wakilnya.

Sampai akhir hayatnya, Thohir Bakry tetap tinggal di Surabaya, beliau meninggal pada 26 Juli 1959, dan di makamkan di Pemakaman Islam tembok Surabaya.

2. Abdullah Ubaid

Seorang tokoh muda yang gemar berorganisasi. Mahir berpidato di atas podium, piawai berdiskusi dan memiliki grup musik gambus terkenal. Ke mana-mana selalu mengendarai motor gede Harley Davidson, dan seorang yang ngetrend. Tidak heran kalau namanya selalu melekat di hati anak muda17. Kiai Abdullah Ubaid lahir di Kawatan, Surabaya 4 Jumadil Akhir 1318/1899 M. sebenarnya nama asli beliau hanya Abdullah. Ia diambil anak angkat oleh K.H. Yasin Pasuruan, lalu di belakang namanya ditambah Ubaid (isim tashgir dari abdu, yang berarti Abdullah kecil), untuk membedakan dengan salah salah satu putra kiai Yasin sendiri, yang bernama Abdullah.

Pada tahun 1932 menjadi ketua Persatoean Pemoeda Nahdlatoel Oelama (PPNO) di Suarabaya, cikal bakal Gerakan Pemuda Ansor. Dalam perjalanannya PPNO menjelma menjadi PNO (Pemoeda

17


(35)

Nahdlatoel Oelama), dan berubah lagi menjadi ANO (Anshoru Nahdlatoel Oelama). ANO juga memiliki sayap kepanduan bernama BANO (Barisan Anshoru Nahdlatoel Oelama). Barulah dalam muktamar NU ke-9 di Banyuwangi (1934) ANO resmi diakui masuk dalam daftar NU. Tahun 1949 ANO berubah lagi namanya menjadi GP (Gerakan Pemuda) Ansor sampai sekarang.

Dalam muktamar ke 13 di Menes, Banten, beliau menjadi utusan PCNU dari unsur Tanfidziyah bersama dengan K.H Ridwan Abdullah dari unsur Syuriah,. Pada saat perjalana pulang dari Menes ke Surabaya beliau meninggal dikarenakan kendaraan kesayangannya (Harley Davidson) terpeleset di daerah Pekalongan, pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1357/8 Agustus 1938 M, dalam usia 39 tahun.

Dalam pergerakan anggota banyak sekali tokoh-tokoh yang ikut bergabung. Sebagaian keterangan biografi diatas sebagai tokoh yang menggerakan keseharian NU di Surabaya.

C. Visi dan Misi NU Cabang Surabaya

a. Visi

Untuk mempersatukan kekuatan ulama dalam penganut dari salah satu empat madzhab.

b. Misi

Misi dalam melakukan perintisan NU ke cabang-cabang, tak lain dan tak bukan adalah Untuk Tetap teguh melestarikan dan


(36)

mempersatukan aswaja18. Menyiarkan agama Islam bersendikan pada madzhab empat, memperbanyak madrasah, memperhatikan hal ihwal masjid, surau-surau, pondok-pondok serta mengurusi anak yatim dan fakir miskin. Selain itu, juga mendirikan badan-badan untuk memajukan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syara’ agama islam19.

18

Choirul Anam, Wawancara, Surabaya, 13 Juli 2017.

19


(37)

BAB III

PERKEMBANGAN NU DI CABANG SURABAYA PADA TAHUN 1929-1939

A. Perkembangan NU Cabang Surabaya tahun 1929-1939 1. Tahun 1929

Perkembangan NU Cabang dilakukan pertama kali di Surabaya pada tahun 1929 setelah kemufakatan yang disetujui bersama oleh para ulama-ulama yang hadir di Jl. Bubutan gg 1/77. Setelah disetujui melakukan perkembangan kring ke desa-desa, pada tahun 1930 kring pertama yang didirikan oleh NU adalah kring keputran, karena di tempat tersebut terdapat seseorang yang sangat disegani dan dapat diikuti oleh warga di sekitarnya, baik dalam berbicaranya, maupun budi pekertinya1.

2. Tahun 1930

Pada bulan September tahun 1930, NU cabang Surabaya mengadakan openbare meeting (pertemuan terbuka) bertempat di masjid Kemayoran. Rapat tersebut bertujuan untuk mengenalkan NU kepada khalayak umum di Surabaya, dimana dalam openbare meeting ini di hadiri oleh seorang alim ulama dari India (Hindustan) Syeikh Abdulalim Assyidiqi.

3. Tahun 1931

1

Mathari Bashar, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama Tjabang Soerabaja Moelai 11 Mei 1929 – 11 Mei 1939 (Surabaya: t.p, 1940), 5.


(38)

Dalam tahun ini (1931) NU dapat mendirikan beberapa kring dengan jumlah anggota yang memuaskan. Adapun yang menjadi kepenggurusan baru pada tahun tersebut ialah2:

Bagian Syuriah Bagian Tanfidziyah

Rois : K.H.M. Goefron Faqih Wakil Rois : K.H. Chamim

: H.A Barawy Katib I : M. Soleh (Alm) II : Abdul’aziz (Alm) A’wan : 1. K.H. Marzoeki 2. K. Djalal Sajoeti 3. M. Ghazaly 4. K.H. Masdoeki 5. K. Moech. Darip

President : H.M. Jusuf (Alm) Wakil President : M. Jusuf

Sekretaris : M. „Aly Peeningmeester I : H. Ghazaly

II : H.M. Tahih Bakry Komisaris : ada 19 orang

4. Tahun 1932

Pada tahun 1932 NU dapat mendirikan beberapa kring baru, dan pada tahun ini juga NU dapat mengutus seorang utusan untuk menghadiri kongres yang ke VII3 di Bandung pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1351 H/ 9 Agustus 1932 M, yang diutus untuk menghadiri kongres ialah K.H. Goefron Faqih (selaku sebagai ketua dalam Syuriah). Muktamar ini berisi tentang :

2

Bashar, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama , 6.

3


(39)

1. Menjul barang dengan dua harga: kontan dan kredit dengan akad sendiri-sendiri.

2. Memakai pakaian santiu bagi lelaki. 3. Menjual bayaran yang belum diterima.

4. Adzan jum’at dilaksanakan dengan orang banyak. 5. Menanam ari-ari dengan menyalakan lilin.

6. Binatang biawak (seliro) itu bukan binatang dlob.

7. Muwakkil memberikan uang Rp. 1000,- kepada wakil untuk membeli ikan dan sesudah ikan diterima, disuruh membeli wakil dengan harga Rp. 2000,- dalam waktu 1 hari.

8. Dalam akad nikah tidak ada syarat mendahulukan pihak laki-laki atau perempuan.

9. Menjual kulit binatang yang tidak halal dimakan.

10. Tidak mengetahui ilmu Mustholah Hadits mengajar Hadits. 11. Lelaki lain melihat wajah dan telapak tangan wanita.

Setelah sepulang dari kongres, anggota ini mengadakan besloten meeting (rapat utusan), untuk mengumumkan pendapatan utusan dari kongres, pertemuan ini bertempat di bekas rumah tuan Dr. Saleh (Ketabangkali, Surabaya). Pertemuan ini dihadiri kurang lebih 4.000 orang, dari NU Cabang Surabaya dan pengurus cabang lain juga, seperti dari NU Cabang gresik, Sepanjang dan Sidoarjo4.

4


(40)

Rapat tersebut diadakan untuk mengerjakan segala keperluan dengan dibawah kepemimpinan Moch. Chasan (dari kring pacarkeling) dan dibantu oleh beberapa anggota. Pada tahun ini juga diadakan badan nashihin yang didirikan oleh K.H.M. Ridlwan. Badan nashihin adalah jamiyyah yang khusus menangani pemuda berusia 15 tahun ke atas yang dididik untuk menjadi guru dan muballigh5. Pada bulan agustus tahun ini di adakannya perubahan pengurus yang mana susunannya sebagai berikut:

Bagian Syuriah Bagian Tanfidziyah

Rois : K.H.M. Goefron Faqih Katib I : K.M. Imam

II : K.H.A Barawy A’wan : 1. K. Moch Darip 2. Djalal Sajoeti 3. K.H.M. Chamim 4. H. Machfoed 5. Aboe chamid

President : Abdul’aziz (Alm) Wakil President : H.M. Thohir Bakry Sekretaris I : M. Maschap Manan II : M. Thahir

Peeningmeester I : H. Ghazaly Komisaris : ada 22 orang

Setelah susunan pengurusan baru ini, maka dapatlah diambil keputusan: I. Mengadakan kursus nasihin pengurus tiap satu bulan sekali.

II. Mengadakan rapat combinasi (gabungan) dengan seluruh pengurus kring dalam waktu sebulan 3 (tiga) kali.

5

Choirul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010), 91.


(41)

Sayangnya putusan itu hanya sebagaian dari angan-angan para anggota saja (tidak di laksanakan) hingga merubah lagi susunan kepengurusannya, terutama untuk bagian Tanfidziyah6.

5. Tahun 1933

Pada tahun berikutnya, yaitu tahun 1933, NU Cabang dapat menyewa sebuah gedung baru yang akan digunakan sebagai kantor, yang mana gedung ini digunakan bersama-sama dengan HoofdBestuur (Pimpinan Pusat) yang terletak di Oude Comedieweg Surabaya. NU cabang bergabung dengan H.B ini kurang lebih selama 14 bulan dan untuk biayanya tiap anggota memikulnya bersama-sama7.

Pada tahun itu juga diberlangsungkannya kongres yang ke VIII di Betawi, Jakarta. Dari pihak NU cabang tidak mengutus siapa-siapa untuk menghadiri kongres tersebut, sedangkan dari pihak H.B mengutus K.Ch. „Abdulwahab Chasboe’llah untuk menghadiri kongres, tetapi NU cabang Surabaya memberikan mandat kepada K.Ch. „Abdulwahab Chasbullah untuk merangkap jadi utusan cabang Surabaya juga. Kongres di Betawi ini berlangsung pada tanggal 12 Muharram 1352/ 7 Mei 1933 berisi tentang8: 1. Yang wajib dipelajari pertama kali oleh seorang mukallaf.

2. Memberikan zakat kepada salah seorang anggota koperasinya. 3. Menyentuh imam oleh seorang akan bermakmum.

4. Wanita mendatangi kegiatan keagamaan. 5. Merubah nama seperti kebiasaan jama’ah haji.

6

Bashar, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama , 7.

7

Ibid, 8.

8


(42)

6. Keluarnya wanita dengan wajah terbuka dan kedua tangannya dan bahkan kedua kakinya.

7. Menyewakan rumahnya kepada orang Majusi lalu si Majusi meletakkan dan menyembah berhala dirumah itu.

8. Zakat ikan dan tambak.

9. Pengertian aman dari siksa kubur.

10. Musafir sebelum sampai tempat yang dituju, menjalani shalat jama’ah qashor.

11. Kewajiban zakat bagi orang yang memiliki uang simpanan sampai se-nishab.

12. Merawat jenazah yang tidak pernah shalat dan puasa. 13. Mendirikan masjid diluar batas desanya.

14. Mendirikan jum’ah didalam penjara.

15. Membaca Allah dalam shalawat Masyisyah.

Selepas kepulangannya dalam kongres tersebut, diadakanlah openbare meeting seperti biasanya untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya. Pada tahun ini di bulan Juni NU cabang sedang merasakan duka cita karena telah kehilangan seorang pemuka yang berjasa, saudara Abdul’aziz selaku president dalam tanfidziyah9

, tak sedikit dari anggota dan tiap kring-kring yang ikut menghantarkan jenazah beliau hingga ke liang kubur. Berhubung dengan wafatnya president ini, maka susunan

9


(43)

kepengurusan diubah. Ch. M. Thahir Bakry yang selaku sebagai wakil president langsung menggantikan posisi Abdul’aziz sebagai presidentnya.

6. Tahun 1934

Pada tahun berikutnya, 1934, NU cabang memiliki angan-angan hendak berpisah dengan H.B10, perpisahan ini bertujuan agar urusan pusat dengan urusan kring tidak bercampur aduk menjadi satu11. Dengan besar hati dengan perpisahannya, maka diambillah keputusan dalam vergaderingnya (pertemuan), yaitu:

1. berpisah dengan H.B dan menyewa gedung sendiri.

2. mengutus seseorang untuk megahdiri kongres yang ke IX di Banyuwangi.

3. Tentang pengumuman pendapatan dalam konngres.

Setelah berpisah gedung dengan H.B, lalu NU menumpang pada kantor Ansor Nahdlatoel Oelama (A.N.O) cabang Surabaya, yang kantornya terletak di jalan Nyamplungan. Di waktu NU cabang Surabaya menumpang pada A.N.O dengan gratis, NU cabang pun dapat membeli peralatan kantornya berupa 6 stel kursi dan meja secara kontan (lunas) seharga f 6012. Jawaban atas putusan yang ke dua yaitu dengan mengutus K.H.M. Noer untuk menghadiri kongres yang ke IX di Banyuwangi yang di laksanakan pada 8 Muharran 1353 H/ 23 April 1934 M13, yang berisi tentang:

10

Ibid, 8.

11

Muhibbin Zuhri, Wawancara¸Surabaya, 25 Mei 2017.

12

Bashar, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama, 9.

13


(44)

1. Meminum minyak Al-Qur’an.

2. Menyewa tambak untuk mengambill ikannya. 3. Menyewa tambak milik pemerintah.

4. Masa hancurnya jasad mayit.

5. Masih ditemukan tulang mayat yang lama, setelah kuburan digali. 6. Shalat yang menghadap ke barat benar (tidak membelok kearah

kiblat).

7. Mendirikan masjid di wilayah Islam.

8. Mengangkut mayit dengan kendaraan yang ditarik kuda atau manusia. 9. Menelaah kitab-kitab karangan orang kafir.

10. Menyewa perahu dengan seperenam pendapatan.

11. Mengamalkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat mazhab empat.

12. Orang islam yang masuk Kristen sampai matinya.

Setelah selesai dalam kongres, seperti biasanya untuk berkumpul melakukan openbare neeting untuk menyampaikan pendapatnya yang diadakan di Masjid Ampel. Sesudah para pengurusnya menyampaikan pendapatnya, lalu muncullah sebuah keputusan, dimana segala keputusan tersebut dapat dijalankan dengan sangat memuaskan. Adapun kejelasan dalam putusan-putusan tadi di praktekan, sebagai berikut:

Putusan ke I: Mendirikan kring-kring di desa yang mendaerah pada regentschap (daerah regional)14.

14


(45)

Tentang mendirikan kring-kring dan memberikan kursus pada pengurusnya. Pada bulan Juli diutuslah dua orang yaitu H.M. Thahir Bakry dan Abdurrochim Soleh menuju ke desa-desa (Mlaten, Wiyung, Lidah, Ngapon, Menganti, Padangan dan Benowo) yang mana kedatangan kedua orang yang diutus itu tak lain dan tak bukan untuk menerangkan organisasi Nahdlatul Ulama. Dimana perjalanan ini memakan waktu 3 hari 3 malam, dalam praktinya menerangkan NU ini amat susah, karena dimasa itu semua kring-kring belum mengerti tentang urusan rumah tangga perhimpunannya. Maka terpaksa untuk menyusun pengurus baru, dan setelah selesai utusan dapat mengadakan openbare nasihat untuk menjelaskan organisasi dan tujuan NU pada khususnya.

Putusan ke II: Membeli perkakas untuk madrasah dll.

Putusan ini dapat dijalankan dan dapat mewujudkan pembelian beberapa almari, bangku dan meja.

Putusan ke III: Idem untuk kota Surabaya.

Tentang propaganda ke kring-kring dapat dijalankan dengan secara memuaskan.

Putusan ke IV: Propaganda ke pulau Bawean15.

Propaganda ke pulau Bawean ini memang sudah lama sekali ingin di lakukan oleh NU. Dengan kesetujuan para penduduk, para penduduk ini mengirimkan surat permintaan kepada NU cabang Surabaya, dimana maksudnya supaya NU cabang Surabaya dapat mengutus beberapa

15


(46)

propagandis ke sini (Bawean) dengan adanya permintaan ini NU cabang menyambutnya dengan sepenuh hati dan gembira, maka NU cabang pun dapat mengutus 4 orang, yaitu H.M. Thahir Bakry, K.M. Imam, Moch Wahib bin Abdulwahab, dan terakhir K.H. Abdul karim Tebuireng Jombang mewakili K.H Abdulwahab. Keempat propaganda ini diantarkan ke pulau Bawean dengan seorang yang asli dari Bawean namun sudah lama tinggal di Surabaya yaitu, H. Famry, perjalanan ini menempuh jarak 90 KM.

Kedatangan propaganda ini disambut oleh penduduk desa dengan gembira. Dan pada malam harinya dilangsungkan rapat openbare, rapat openbare ini adalah rapat pertama kali hingga membuat penduduk antusias mengikutinya.

Utusan propaganda yang dikirim ke pulau Bawean ini berkeliling sambil menyusun badan pengurus kring, pada pertama kali itu utusan kita dapat membentuk 12 kring dalam masing-masing desa yang beranggota 700 orang16. Propaganda ini dilakukan selama 15 hari berturut-turut untuk mengembor-gemborkan simbol Nahdaltul Ulama sehingga tak ada satupun desa yang tidak mengenal kalimat NU.

Mengapa melakukan propaganda di pulau Bawean17, karena di pulau Bawean ini penduduknya seratus persen beragama Islam, dan terang sekali anak bumi Bawean itu Islam tulen dan ulamanya semua belajar dari pondok-pondok ditanah Jawa yang terkenal. Dengan keadaan yang

16

Ibid, 11.

17


(47)

demikian itu tentu saja setuju dengan kehadiran NU pada perhimpunan NU dan nyata sampai saat ini belum ada perkumpulan lain yang dapat mengembangkan cabangnya disana.

Putusan ke V: Mendirikan Centraal kring untuk memenuhi putusan Kongres.

Pendirian Central kring ini di dirikan di 9 tempat, yaitu, Keputran, Wonorejo, Blauran, Kalongan, Botoputih, Karangtembok, Peneleh, Pacarkeling dan Kapassari.

Putusan ke VI: Menyewa gedung sendiri digunakan sebagai kantor.

Tentang penyewaan gedung sendiri, NU cabang berhasil menyewa gedung sendiri yang digunakan sebagai kantornya, pada bulan Juli 1934 NU menyewanya di Bubutan 4/10 dengan ongkos persewaan tiap bulan f 4518.

Putusan ke VII: Mengadakan kursus pengajian tentang ilmu tafsir dan tarikh.

Putusan ke tujuh ini tentang kursus pengajian tafsir dan tarikh, kursus ini mendapat perhatian yang sangat memuaskan, sampai kantor NU yang baru itu penuh didatangi pengunjungnya dari kaum laki dan ibu. Putusan ke VIII: Membuka madrasah untuk laki-laki dan perempuan.

Pada bulan Agustus dibukalah pertama kali madrasah bagi anak laki dan perempuan. Yang menjadi gurunya ialah Abdurrachman soleh dan

18


(48)

dibantu oleh Moh Soleh (alm) dan guru perempuannya yaitu Hindun (Ibu NU Surabaya) dan Nafi’ah (Ipar dari K.H.M. Gufron).

7. Tahun 1935

Dalam tahun 1935 ini kepengurusannya dirubah lagi sebagai berikut19:

Bagian Syuriah Bagian Tanfidziyah

Rois : K.H.M. Goefron Faqih Wakil Rois : K. Abd. Rochim Soleh Katib I : K.M. Badroen

II : K.H. Abd Nafik A’wan : 1. Abdullah Obaid 2. K. Abussjakoer 3. K.M. Imam

President : H.M. Thohir Bakry Wakil President : M. Prawirodipoetra Sekretaris I : Moch. Asnawie II : Sodikin

II : H. Mochammad Peeningmeester I : Atmoredjo II : Rochmat Komisaris : ada 5 orang

Pada tahun ini dimulailah keaktifan dalam urusan madrasah, madrasah yang didirikan di Botopoteh IV/10 semakin hari semakin banyak muridnya sehinga membuat kita menambah gedung baru lagi yang bertempat di Bubutan 1/23 (yang sekarang dirubah menjadi 6/23)20.

8. Tahun 1936-1937

Pada tahun 1936-1937 sedang berlangsungnya kongres ke XI di Banjarmasin, sebagai utusan dikirimlah President cabang H.M Thohir

19

Ibid, 12.

20


(49)

Bakry21, kongres ini terjadi pada 19 Rabiul Awal 1355 H/ 9 Juni 1936 M. berisi tentang22:

1. Lelaki memulai salam kepada perempuan. 2. Orang yang telinganya berusara nging. 3. Perbedaan antara al-Quran dan Hadits Qudsi.

4. Shalat gaib untuk orang yang berada dalam negerinya.

5. Organisasi yang melarang meminjamkan hak miliknya, kecuali pada anggotanya.

6. Do’a dari Nabi dengan shigat jama’ dirubah mufrad.

7. Kentongan dan bedug yang dipukul untuk memberitahukan waktu shalat.

8. Menyerahkan kurban tanpa wakil.

9. Memberi ongkos pengetam hasil pengetaman.

10. Berhukum langsung dengan al-Quran dan Hadits tanpa memperhatikan kitab fikih yang ada.

11. Nama negara kita Indonesia.

12. Nadhir masjid membeli tegal kembang untuk masjid, dengan uang yang di wakafkan untuk masjid.

13. Memindahkan bagian dari masjid.

14. Mengulang bacaan Alhamdulillah oleh khatib.

15. Iddah perempuan yang belum sampai tahun lepas dari haid lalu.

21

Ibid, 17.

22


(50)

Selama beliau (Thahir Bakry) tak ada, segala pekerjaan yang menjadi tangungan atasnya diserhkan kepada Abdurrahim Soleh, yang mana saudara ini menjabat sebagai wakil president. Sebelum H.M Thohir bakry berangkat ke kongres NO di Banjarmasin, beliau lebih dulu ke Bawean, untuk23:

1. Mengkontrol kring-kring NO. central-centralnya adakah mereka masing-masing itu sudah menjalankan segala kewajibannya ataukah belum? Seterusnya akan diberikan tuntunannya.

2. Menentukan utusan Syuriah: akan mengambil seorang ulama dari Bawean, sebab kita perlu akan tarik ulam-ulama bawean supaya beliau-beliau itu bersama-sama maju dengan kita, kemudian sesudah para ulama-ulama mendapat perintah dari cabang, lalu mengadakan perundingan yang bundar akhirnya diputuskan: utusan syuriah NU cabang ke kongres NO Banjarmasin ialah: K.H.M Asyiq.

Sesudah putusan didapatkannya, maka beliau itu bersama-sama utusan cabang Surabaya untuk meneruskan perjalanannya ke Banjarmasin. K.M Thohir bakry ke bawean yang kedua kalinya ini bersama-sama: 1. Moh. Mathari Bashar (penulis NO cabang suabaya).

2. K.H.M Moenif Bangkalan (sebagai pembantu kita).

Sepeninggal H.M Thohir ke kongres, saudara Abdurrahim Soleh menggantikan jabatan ketua tadi dengan tiada memberikan kabar apa-apa, beliau meninggalkan kota Surabaya kurang lebih selama satu bulan. Maka

23


(51)

para anggota ini hanya bisa menunggu H.M Thohir pulang dari kongresnya. Setelah H.M thohir kembali ke Surabaya maka digantilah kepengurusan cabang, yang mana bagian Syuriah dan Tanfidzhiyah masih tetap dalam pimpinan K.H.M Goefron Faqih dan K.H.M Thohir Bakry24.

9. Tahun 1937-1938

Pada tahun 1937-1938 susunan pengurus NO cabang Surabaya adalah sebagai berikut25:

Bagian Syuriah Bagian Tanfidziyah

Rois : K. Abd Moertadio Wakil Rois : K.H.M. Goefron Faqih Katib I : K. Abussjakoer

II : M. Soleh (Almarhum) A’wan : 1. K. Ibrohim

2. K.M. Imam

President : K.H.M. Thohir Bak Wakil President : M. Moh. Syarif Sekretaris I : Moh. Mathari Bash II : Imam Soekarlan Peeningmeester I : M. Atmoredjo Komisaris : ada + 19 orang

Pada tahun ini terjadi perpecahan antara ANO dan NO yang membuat beberapa anggota dari kalangan ANO keluar, sehingga dengan secepatnya NO mengorganisir pemuda-pemuda dari kring agar dapat meleburkan diri dalam kalangan ANO untuk menggantikan tempat saudara-saudara yang lama iu, dalam konferensi cabang dapatlah kita membentuk pengurus ANO yang baru dengan dikepalai oleh A.M Tamchiyat. Setelah ANO berdri kembali lalu tiada berapa lamanya

24

Ibid, 18.

25


(52)

mendirikan juga bagian barisannya ialah Barisan Ansor Nahdlatoel Oelama (BA-NOE) yang dipimpin Imam Soekarlan.

10. Tahun 1938-1939

Dalam tahun ini (1938-1939) NU mengucap syukur karena merasa sudah lebih maju dari pada tahun-tahun yang telah lampau. Pada 13 Rabiul Tsani 1357/ 16 juni 1938 telah dilangsungkannya kongres ke 13 dikota Menes (Banten). NU pun mengirimkan utusan terdiri dari26:

I. K.H.M. Ridwan Abdullah mewakili bagian Syuriah. II. K. Abdullah Ubaid mewakili bagian Tanfidziyah. Isi dari kongres tersebut adalah tentang27:

1. Shalat dhuha dengan berjama’ah. 2. Membaca Fatihah oleh Makmum. 3. Sholat hari raya dilapangan.

4. Bermakmum kepada golongan khawarij, kaitannya dengan i’adah/mengulang lagi shalatnya.

5. Pengertian “DLARARA” menurut syara’. 6. Membeli padi dengan janji dibayar besok panen.

7. Menggarapkan sawah kepada orang yang tidak mau megeluarkan zakatnya.

8. Menyewa pohon karet untuk diambil getahnya. 9. Pemberian hadiah untuk melariskan dagangannya. 10. Membeli serumpun pohon bambo.

26

Ibid, 22.

27


(53)

11. Inventarisasi kantor yang dibeli dengan uang sumbangan dengan maksud wakaf.

12. Menyumpah pendakwa yang sudah mempunyai bukti. 13. Memberikan kepada sebagian ahli waris tanpa ijab qabul. 14. Menyerahkan padi dengan maksud zakat.

15. Kepada anak muslim orang tua bernasihat: “kamu harus tetap pada agamamu.” Dan kepada anak Kristen, bernasehat: “kamu harus tetap pada agamamau.”

16. Pengertian “balad” dalam bab zakat. 17. Berobat untuk mencegah hamil.

18. Membaca al-Quran dengan putus-putus untuk memudahkan mengajar hija’iyah.

19. Memasuki organisasi Islam.

20. Menuduh organisasi Nahdlatul Ulama sebagai sesuatu yang bid’ah. 21. Perkawinan perempuan yang ditalak rajaie.

22. Menggambar binatang dengan sempurna anggotanya.

K.A Ubaid selama kongres dilangsungkan agak terganggu keehatannya, sedatang beliau dari kongres itu beliau mendapat sakit28. Dan diwaktu diadakan openbare meetings untuk mengumumkan keputusan-keputusan kongres beliau tidak bisa hadir. Sesudah beliau menderita sakit + 1 bulan, lalu beliau meninggal dunia. Kabar sepeninggalan beliau ini

28


(54)

membuat luka yang amat dalam bagi kalangan NU. Karena beliau adalah orang yang berjasa dalam perjalanan panjang NU dalam perintisannya.

Pada bulan ini juga NU menerbitkan sebuah majalah yang di beri nama “KEMOEDI”, pada asal mulanya hanya bermaksud membuat buku tuntunan cabang bagi tiap kring-kring, tetapi tak dapatlah kita perluaskan menjadi majalah yang tetap terbit tiap-tiap bulan. Majalah Kemoedi ini didirikan di jalan Sasak, Surabaya. Majalah ini menggunakan Bahasa Indonesia dalam cetakannya yang dipergunakan oleh masayarakat umum agar mudah di baca29. Semenjak terbitnya sampai pada penghabisan tahun pertama hanya dicap dengan Roneo saja, tetapi pada bulan April 1939 diperbaiki bentuk dan bangunnya dengan jalan mengecapkan Drukkerij.

Majalah tersebut dibawah pimpinannya. Sekretaris Imam Soekarlan, yaitu saudara Mathari Bashar, walaupun belum menginjak kelapangan sempurna, tetapi berarti juga bahwa dengan terbitnya Kemoedi itu berartilah juga suara Islam bertambah pula.

B. Perkembangan Amal Usaha NU di Surabaya 1. Dalam Bidang Pembangunan Masjid

Dalam awal perkembangannya atau pada tahun 1929, para anggota NU memiliki angan-angan untuk mengusahakan sebagian maksud dari pendirian NU, ialah: Mendirikan Masjid, dikarenakan dengan mendirikan sebuah masjid membuat kita teringat dengan Tuhan. Adapun tempat yang di gunakan untuk pembangunan masjid, yaitu di daerah Benowo,

29


(55)

Menganti, Surabaya. Tempat yang di bangun masjid tersebut berdekatan dengan halte Benowo N.I.S). karena didaerah tersebut terdapat banyak kaum santri-santri yang sebelum itu juga meminta kepada kyai untuk mendirikan masjid.

Selain itu juga, Benowo adalah pusat penjual KHAMR (toak/minuman keras) dan tempat yang terkenal dengan berkumpulnya kupu-kupu malam (pelacur). Oleh karena itu para ulama NU mendirikan masjid di daerah Benowo untuk melenyapkan hal semacam itu secara sedikit demi sedikit. Dalam mendirikan masjid ini, para anggota mencari nafkah hingga terkumpul f 7000 (gulden).

2. Dalam Bidang Madrasah/ Pendidikan

Masa perkembangan madrasah NU di mulai sejak tahun 1934, pada tahun ini muncullah sebuah keputusan yang dirumuskan oleh pengurusnya, salah satunya yaitu tentang pendirian madrasah bagi anak laki-laki dan perempuan dan yang menjadi gurunya ialah Abdurrachman soleh dan dibantu oleh Moh Soleh (alm) dan guru perempuannya yaitu Hindun (Ibu NU Surabaya) dan Nafi’ah (Ipar dari K.H.M. Gufron). Pada bulan Agustus tahun 1935 barulah mendirikan madrasah yang bertempat di Botopoteh IV/1030. Madrasah itu pun makin lama makin bertambah banyak jumlah muridnya, yang mana mendesak kita untuk meluaskan ruangan madrasah tersebut dengan jalan mancari gedung yang lebih bsar lagi. Maka tiada antara lamanya, pindahlah kesebuah gedung yang lebih

30


(56)

besar terletak di Bubutan 1/23 (sekarang dirubah 6/23)31, yang kini masih ditepati, Adapun yang menjadi gurunya ialah: Abdurrachim solech dan dibantu oleh Moh Solech (Almarhum) adapun dari guru-guru perempuan yaitu Ibu Hindun (Ibu NO Surabaya) dan Nafi’ah (Ipar dari K.H.M. Goefron)32.

Dengan memakan ongkos persewaan pada tiap bulannya f 50, mengingat dalam kemajuan pendirian madrasah ini, timbulah angan-angan untuk membuat sebuah gedung sendiri agar tidak selalu mengeluarkan uang banyak guna persewaan saja angan-angan ini tercipta juga kiranya dan sebentar saja kita dapat mengumpulkan uang sejumlah f 247.50.

Tetapi sayang sekali, barangkali keadaan masih tidak mengabulkan karena pada waktu itu perekonomian rakyat Indonesia masih belom sentosa sehingga untuk keperluan ini telah ditetapkan bahwa masing-masing anggota harus menderma sebanyak f 0,50 (lima puluh sen) tetapi sebagian besar dari mereka itu tak dapat memenuhi ketentuan ini. Dengan sendirinya angan-angan itu tidak dapat tercipta dan uang yang telah kita dapatkan sejumlah f 247.50 tadi sampai saat ini masih disimpan dalam kas Waqfiyah cabang, yang mana dikemudian harinya bila mana telah ada kesempatan yang baik akan kita lanjutkan pula angan-angan kita ini sampai berhasil.

Setelah madrasah dibuka, tak berapa lama sekolah tambah penuh dari siswa laki-laki maupun perempuan, sehingga terpaksa harus

31

Ibid., 16.

32


(57)

menambah guru yang dapat mendidk yang dapat mencukupi kebutuhan pendidikan, baik tentang urusan agama maupun umum. Dengan keadaan yang demikian pihak madrasah berusaha ke guru banaat ke kota Solo. Adapun yang diutus ialah H.M Thohir Bakry dan disusuli oleh saudara Abdurrohim Sholeh, setelah 40 hari berembuk dengan pengurus NU di Solo dapatlah seorang guru yang dapat mengajar di madrasah selama satu tahun lebih (dan pernah menjadi pembicara di Nirom II Surabaya)33. Semakin hari keadaan madrasah semakin tambah kemajuannya baik dari murid laki-laki maupun perempuan. Maka terpaksa pula untuk menambah guru untuk bagian laki ialah: Abdusyakur, M. Achmad dan Idris Moein.

Kemudian pada bulan Syawwal 1358, terpaksalah madrasah dipisah menjadi dua bagian, di Bubutan untuk banaat dan laki-laki, dan di Kranggan khusus laki-laki saja. Ini dipersebabkan karena bertambahnya murid. Selain itu di tiap kring-kring juga sudah banyak yang mempunyai madrasah, antara lain:

1. Blauran (bagian laki-laki) 2. Wonoredjo (bagian laki-laki)

3. Keputran (bagian laki-laki dan bannat) 4. Dinojotangsi (bagian laki-laki)

5. Patjarkeling (bagian laki-laki dan banaat) 6. Kandangsapi (bagian laki-laki)

7. Kalongan (bagian laki-laki)

33


(58)

8. Botopoteh (bagian laki-laki) 9. Peneleh (bagian fuqoro’ laki-laki) 10.Kapassari (bagian laki-laki) 11.Karangtembok (bagian laki-laki) 12.Kalikepiting (bagian laki-laki) 13.Doego (bagian laki-laki) 14.Benowo (bagian laki-laki)

15.Kranggan (bagian fuqoro’ laki-laki)

3. Dalam Bidang Sosial Masyarakat

Dalam sosial kemasyarakatan, NU berusaha mempererat hubungan antar warga NU, baik yang dikampung, desa maupun kota, dengan cara mengadakan pertemuan setiap hari Jum’at atau seminggu sekali. Pertemuan semacam itu diadakan di semua tingkat jajaran NU, dari sejak Hoofdbestuur sampai dengan pengurus kring. Isi pertemuan itu sendiri, biasanya berupa pengajian keagamaan yang dipimpin oleh seorang kiai, kemudian diteruskan dengan tahlilan untuk arwah warga NU setempat yang telah meninggal dunia. Setiap tanggal 15 bulan qomariyah (tahun hijriyah) juga diadakan pertemuan antar kampung guna membacakan brosur LINU (Lailatul Ijtima NU). Dalam brosur LINU tertulis nama-nama warga NU yang telah meninggal dunia dari berbagai daerah. Brosur itu sendiri dikeluarkan oleh Hoofdbestuur NU secara rutin dan teratur.

Sehabis pembacaan nama-nama almarhum, seorang kiai tampil memimpin sholat ghaib buat si mayyit. Dan setelah itu dilangsungkan


(59)

tahlilan seperti biasa. Juga tidak jarang dalam pertemuan itu diselipkan pengumuman mengenai hasil-hasil muktamar NU. Dengan demikian hubungan sosial antara pengurus dan warga NU menjadi erat dan tak terpisahkan34.

4. Dalam Bidang Sosial Ekonomi

Dalam bidang sosial ekonomi, NU berusaha mendirikan koperasi serba ada. Misalnya, pada tahun 1929 di Surabaya (berpusat di Pacarkeling) didirikan Cooperatie Kaum Muslimin (CKM) sebuah perkumpulan usaha. Pelopor pendiri Cooperatie Kaum Muslimin ini atau biasa disebut Syirkah Tijariyah ini adalah K.H Abdul Halim, salah seorang pengurus Hoofdbestuur NU. Barang-barang yang mulai diperjual belikan ketika itu berupa kebutuhan primer (keperluan sehari-hari) seperti: beras, gula, kopi, rokok, pasta gigi, sabun kacang, minyak dan sebagainya. Namun yang menarik dari usaha ini adalah peraturan dasar CKM yang kala itu sudah disahkan sebagai model koperasi NU ditempat-tempat lain. Ini pertanda langkah awal menuju sosial ekonomi sudah mulai terlihat di tahun 1929 itu.

Peraturan yang ditetapkan oleh CKM ini adalah mengenai pembagian keuntungan, misalnya, dibagi lima bagian: 40% untuk pegawai (penjual), 15% untuk pemilik modal, 25% untuk menambah capital

34


(60)

(berarti pemilik modal mendapat bagian 40%), 5% untuk juru komisi (juru tulis) dan 15% untuk jam’iyyah nahdlatul ulama35.

35


(61)

A. Faktor Intern

1. Masalah Taqlid yang di Lontarkan oleh M. Ma’soem

Pada tahun 1935 timbullah sebuah perselisihan yang sedikit membuang pikiran dan tenaga. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa perhimpunan Nahdlatul Ulama itu suatu perhimpunan Islam dengan berpegang teguh pada salah satu dari empat madzhab, yaitu MADZHAB SYAFI’I1

.

Pada suatu saat datanglah sebuah masalah yang mengejutkan dari seorang untuk menggempur taqlid pada madzhab itu. Ia seorang bernama Moh. Ma’soem, yang mana orang ini mengaku dirinya sebagai pembela Qur’an dan Hadits. Walaupun serangan ini tidak ditujukan pada Nahdlatul Ulama, tetapi melihat dari serangan yang makin hebat itu, baik didalam openbare meetings maupun diluar pertemuan yang disiarkan oleh pihak orang tadi, yang mana membuat hal ini makin lama makin menyolok juga, maka Nahdlatul Ulama merasa berkewajiban untuk menangkis serangan itu, dengan bermaksud membelakan pendiriannya.

1

Mathari Bashar, Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama Tjabang Soerabaja Moelai 11 Mei 1929 – 11 Mei 1939 (Surabaya: t.p, 1940), 14.


(62)

Dengan menangkis serangan itu, maka NU mefikirkan matang-matang untuk membuat keputusan membentuk sebuah komite terdiri dari :

1. M. Maschan Manan 2. Achmad Zakariyah 3. Faqih Sholeh 4. H.A. Wahib 5. M. Cholis 6. M. Alwi

Adapun maksud dari komite ini ialah untuk mengusahakan pertemuan debat tersebut diluar lingkungan NU antara pihak kita dengan pihak mereka. Setelah komite berdiri, maka dapat diambil keputusan mengadakan debat vergadering (pertemuan). Adapun yang menjadi pembela dipilihlah K.H Machfud Shiddiq dari Jember, yang pada saat itu menjabat sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (Ketua Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama). Isi dari keputusan yang diambil tadi ialah2:

1. Perdebatan dilakukan pada bulan Agustus 1935. 2. Tempat perdebatan di Surabaya atau Lawang.

3. Ketua yang memimpin debating itu ialah H.B. Achmadiyah Lahor yang ada di Indonesia.

4. Cara-caranya debat untuk yang bersangkutan.

2


(63)

Setelah penduduk Surabaya mendengar akan keputusan komite ini, maka mulailah hal ini menjadi buah bibir mereka. Tiap-tiap kita mengadakan pertemuan atau pengajian datanglah mereka berdusun-dusun mendatangi, karena mereka ingin mengikuti debat vergadering. sampai boleh dikatakan kantor tak pernah sepi dari kunjungan orang. Maklumlah, karena hal ini bukanlah perkara yang kecil. Dan kedua faham ini tidak sedikit jumlah orang yang menjadi pengikutnya3.

2. Masalah Keuangan (Fulus)

Adapun hambatan dari dalam yang dialami oleh NU cabang Surabaya ini yaitu terletak pada fulus (uang) dimana pada masa ini ialah masa penjajahan Belanda yang membuat rakyat Indonesia dalam keekonomiannya kurang sejahtera sehingga dalam kegiatan apapun para anggota harus ada yang mendermanya dan tidak diwajibkan. Maka hambatan dalam pembangunan dan kegiatan yang diinginkan tersendat karena kurang mampunya dalam hal ekonomi.

Seperti halnya dalam urusan madrasah, pada saat itu anggota NU ingin membuat sebuah gedung sendiri untuk di jadikan madrasah agar uang yang dikumpulkan tidak habis untuk bayar persewaan saja. Tetapi sayang sekali, barangkali keadaan masih tidak mengabulkan karena pada waktu itu perekonomian rakyat Indonesia masih belom sentosa sehingga untuk keperluan ini telah ditetapkan bahwa

3


(64)

masing anggota harus menderma sebanyak f 0,50 (lima puluh sen) tetapi sebagian besar dari mereka itu tak dapat memenuhi ketentuan ini4.

3. Perubahan peraturan dalam kemadrasaan dan keluarnya anggota ANO dari kalangan ANO.

Pada tahun 1937-1938 terdapat hambatan dalam urusan ke madrasaan. Dikarenakan jabatan kepala guru di madrasah cabang ada ditangan Abdurrahman saleh, beliau menerima guru baru guna mengajar ilmu umum yaitu Imam Soekarlan (yang menjabat sebagai seketaris cabanag) saudara tersebut telah mendapat perintah dari pengurus madrasah yang dahulu disebut Onder Depatement Onderwijs (O.D.O) dan sekarang dirubah namanaya dengan NU Bagian Ma’arif. Dimana perintahnya yaitu untuk menjalankan peraturan-peraturan, bila perlu merubah juga sistem kemadrasaan (pelajaran, ketentuan-ketentuan guru dan sebagainya) maka rubahlah, karena memang pada waktu itu madrasah akan menghendaki perbaikan yang menuju kearah kemajuan maka dengan kemufakatannya O.D.O tadi, maka saudara ini juga mengadakan satu dua perubahan baik dalam pelajaran maupun sistemnya. Dalam hal ini tidak dilakukan dengan sekehendaknya sendiri, karena segala urusan madrasah itu diperiksa dan diteliti oleh moefattisi madrasah NO cabang Surabaya, ialaha saudara K. Abdullah Ubaid.

Tetapi rupanya para guru kurang senang menerima perubahan tadi. Mereka mengatakan bahwa segala peraturan itu datangnya dari guru

4


(1)

2. Sekalipun sah tetapi anggota PBANO tidak dapat diberlakukan oleh cabang ANO dalam conferensi umum ANO.

Atas keputusan HBNO ini pengurus ANO tidak suka menerimanya, yang mana berarti tidak suka tunduk terhadap pimpinan yang lebih tinggi, sesudah ini mereka sama-sama menyatakan berhentinya dari kalangan ANO. Inilah yang menimbulkan krisis bagi ANO cabang Surabaya dengan PBANOnya.

B. Faktor Ekstern

Sejak kelahirannya NU dianggap oleh kolonial Belanda sebagai ormas yang tenang dan tradisionalis (yang jauh dari hal-hal berbau politik), sehingga disahkan oleh kolonial belanda pada 6 Februari 1930. Oleh karena itu, dalam melakukan hal-hal politik NU ini melakukannya secara sembunyi-sembunyi8 setelah sebagaian anggota NU mengusulkan agar NU berusaha mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (Dewan Rakyat/ DPR bentukan Belanda) di tolak oleh kerajaan Belanda9. Dan penguasa belanda ini tampaknya tak menginginkan NU terlibat dalam dunia politik apapun.

8

Achamd Muhibbin Zuhri, Wawancara, Surabaya, 25 Mei 2017. 9

Choirul Anam, KH Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya (Surabaya: PT Duta Aksara Mulia, 2015), 15.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tentang Sejarah dan Perkembangan NU Cabang Surabaya tahun 1929-1939, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. NU Cabang Surabaya berdiri setelah K.H. Hasyim Asyari menawarkan untuk mendirikan cabang pada tahun 1929. Dalam hal ini lebih mengarah untuk perluasan wilayah NU ke daerah di desa-desa yang biasa disebut dengan Kring. Perluasan kring ini bertujuan untuk mengenalkan NU kepada masyarakat umum supaya NU ini juga bisa lebih dekat dengan masyarakat. Dengan memiliki visi untuk mempersatukan kekuatan ulama dalam penganut dari salah satu empat madzhab, dan misi Untuk Tetap teguh melestarikan dan mempersatukan aswaja. Menyiarkan agama Islam bersendikan pada madzhab empat, memperbanyak madrasah, memperhatikan hal ihwal masjid, serta mengurusi anak yatim dan fakir miskin.

2. Setelah kemufakatannya, perkembanganya NU cabang Surabaya mendirikan kring di desa-desa. Kring yang pertama didirikan yaitu kring keputran. Selanjutnya para anggota sudah mulai aktif dalam mengutus anggotanya tiap tahun untuk menghadiri kongres dan setiap kembali dari tiap kongres para anggota berkumpul melakukan openbare meeting untuk menyampaikan


(3)

pendapat-pendapatnya. Banyak kegiatan yang dilakukan anggota NU dalam mengembangkan cabang-cabang, yaitu dengan melakukan propaganda ke Bawean, melakukan pembangunan Masjid di daerah Benowo, membangun madrasah di Botoputih IV/10 sehingga membuat anggota mencari tempat yang lebih besar lagi di Jl. Bubutan I/23 sekarang diganti menjadi 6/23 karena bertambahnya peminat. Lalu dalam sosial kemasyarakatan NU mengajak warga

dalam kumpulan rutin setiap hari Jum’at atau seminggu sekali untuk melakukan

pengajian, tahlilan, sholat gaib bagi warga NU yang diberbagai daerah dan diselipkan pengumuman hasil dari muktamar-muktamar. Dan yang terakhir perkembangan sosial ekonomi atau CKM (Cooperation Kaum Muslimin) yang biasa disebut syirkah tijariyah, yang dipelopori oleh K.H. Abdul Halim.

3. Dalam hambatan yang dialami oleh NU cabang Surabaya ini terbagi jadi dua faktor, yaitu faktor dalam dan luar. Hambatan yang terjadi pada faktor dalam seperti masalah taqlid yang dilakukan oleh M. Ma’soem yang menyinggung tentang kemadzhaban Imam Syafii, Masalah Keuangan yang dikeluhan karena pada masa penjajahan Belanda perekonomian pada waktu itu amat sulit, dan perubahan peraturan dalam kemadrasaan yang dilakukan oleh kalangan ANO dengan O.D.O yang memberikan perintah untuk merubah kepengurusan madrasah dan kurikulumnya. Namun pihak guru tidak menerimanya dan akhirnya mereka mengundurkan diri. Karena hal ini berdampak pula pada kalangan ANO yang mengundurkan diri tidak terimanya mereka terhadap keputusan PBANO, dikarenakan tuduhan yang dilontarkan bahwa Abdullah Ubaid mencemari nama baik ketuanya dan mereka-mereka itu menginginkan agar Abdullah Ubaid


(4)

62

dikeluarkan dari ANO, namun hal itu tidak benar dan di bantah oleh pihak PBANO dan Abdullah Ubaid tidak bisa dikeluarkan. Dan faktor dari luarnya ialah susahnya jamiyyah NU ini untuk melakukan kegiatan berbau politik, karena Belanda menolak NU melakukan aktivitas tersebut sehingga mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

B. SARAN

Dalam penulisan ini terkandung beberapa saran bagi penulis maupun pembaca. Oleh karena itu penulis memberikan saran kepada pembaca pada umumnya dan peneliti sebagai berikut:

1. Bagi para pembaca tentang Sejarah dan Perkembangan NU cabang Surabaya ini sebagai sarana pengetahuan yang menjelaskan tentang bagaimana perjuangan mereka dalam memperluaskan wilayahnya hingga ke daerah-daerah agar organisasi ini bisa dikenal luas oleh masyarakat, terutama di wilayah Surabaya sendiri.

2. Bagi penulis, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan, karena mengingat banyak hal yang kurang dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang lebih banyak dan menginterpretasikannya dengan baik dalam tulisan ini. Peneliti berharap ada banyak mahasiswa yang akan melanjutkan usaha penulis untuk mengungkap fakta-fakta sejarah yang masih belum terpublikasikan terutama pada Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.


(5)

Arsip:

Bashar, Mathari. Riwajat Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama Tjabang Soerabaja Moelai

11 Mei 1929 – 11 Mei 1939. Surabaya: t.p, 1940.

Buku:

Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkernbangan Nahdlatul Ularna. Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010.

, Choirul. KH. Abdul Wahab Chasbullah; Hidup dan Perjuangannya. Surabaya: PT. Duta Aksara Mulia, 2015.

Bruinessen, Martin Van. NU: Tradisi, Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru. Yogyakrta: LKis, 2004.

Fadeli, Soelaiman dan Mohammad Subhan. Antologi NU : Sejarah – Istilah- Amalia –

Uswah. Surabaya: Khalista, 2007.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1993.

Maridjan, Kacung. QUO VADIS NU. Jakarta: Erlangga, 1992.

Masyhuri, Abdul Aziz. Masalah Keagamaan. Jakarta: QultumMedia, 2004.

Muchtar, Masyhudi dan Mohammad Subhan. Profil NU Jawa Timur. Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2007.

Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1984.

Wawancara:


(6)

Choirul Anam, Wawancara, Surabaya, 13 Juli 2017.

Internet:

Pahriannor Albanjari, “Sejarah Ormas Islam Nahdhatul Ulama (NU)”, dalam http://pahriannoralbanjari.blogspot.co.id/2014/05/nu.html, (diakses 03 Mei 2017).

Rikza Chamami, “Propaganda NU Lewat Jam’iyyatun Nashihin”, dalam

https://www.nu.or.id/post/read/70659/propaganda-nu-lewat-jamiyyatun-nashihin (diakses 15 Juli 2017).

Ren Muhammad, “Kiai Mas Alwi, Pendiri Nahdlatul Ulama yang Terlupa”, dalam https://www.nu.or.id/post/read/75944/kiai-mas-alwi-pendiri-nahdlatul-ulama-yang-terlupa (diakses 15 Juli 2017).