Catatan tentang Wacana Governance dan Demokratisasi di Filipina - JOELROCA

Catatan Tentang
Wacana Governance dan Demokratisasi
di Filipina1
Oleh: Joel Rocamora
Pembahasan tentang governance adalah fenomena baru di kalangan LSM. Di masa lalu, hanya segelintir LSM yang
membahas mengenai governance, atau proyek-proyek yang terkait dengan isu governance dan demokratisasi. Saat
ini, hampir setiap orang mencari peluang untuk dapat terlibat dalam pembahasan issue tersebut. Issue tentang
governance dan demokratisasi (GD) cenderung menggantikan issue pembangunan berkelanjutan yang selama ini
menjadi kata kunci bagi komunitas pembangunan Filipina.
Penting untuk memahami situasi tersebut yang bukan hanya kompleks melainkan juga dinamis. Beberapa masalah
yang timbul terutama berkaitan dengan jumlah dana (untuk proyek GD) yang melebihi dana proyek-proyek LSM pada
umumnya. ODA2 adalah sumber dana utama bagi proyek GD. Hal ini menimbulkan persoalan serius bagi koalisi LSM.
Karena dana yang berlebih tidak berarti mendukung perluasan kerja. Terlebih lagi, LSM yang berkiprah dalam bidang
pembangunan, HAM, politik dan bidang-bidang akademik lain menghadapi kesulitan masuk dalam wacana GD.
Sehingga banyak LSM mengalami disorientasi (dalam berbagai bentuk). Salah satu penyebab disorientasi berkaitan
dengan sumber dana utama bagi proyek-proyek GD yang berasal dari ODA dimana hal ini berbeda sekali dengan
proyek-proyek dalam bidang pembangunan yang lain karena. kecenderungan desain proyek-proyek yang didanai
ODA telah ditentukan sebelumnya oleh donor-donor ODA, sehingga fungsi LSM (penerima dana) hanya sebagai
pelaksana.
Serangkaian masalah yang bersifat politis dihadapi oleh sejumlah LSM yang menjadi kontraktor proyek GD dari
USAID. Bukan hanya kelompok ND3 yang menghadapi masalah dalam menggunakan dana USAID. Hal ini disebabkan

kelompok politik yang lain mencoba mempertahankan perspektif anti Amerika dalam rangka menghadapi perspektif
lain yaitu anti diktator. Dalam konteks tersebut, masalah utama bukan terletak pada keengganan untuk memanfaatkan
dana USAID, melainkan pada konsekuensi yang ditimbulkan yaitu keresahan karena mereka tidak sepenuhnya
memahami agenda yang dinamakan “imperialisme Amerika”. Kegelisahan dan disorientasi tersebut dipersulit dengan
fakta yang menunjukan bahwa proyek-proyek yang ditawarkan (oleh lembaga donor) sesungguhnya adalah proyek
yang menarik.
Demokratisasi dan Kapitalisme International
Wacana GD pada tahun 1990-an identik dengan wacana yang dianut lembaga-lembaga multilateral seperti Bank
Dunia, OECD, dan negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika. Keterlibatan berbagai pihak dalam
proyek-proyek GD berada dibawah panduan Bank Dunia dan Amerika. Dalam konteks GD, Bank Pembangunan Asia
(ADB) adalah lembaga multilateral yang menyusul kemudian. Berdasarkan fakta tersebut, wacana GD mau tidak mau
harus dipahami dalam konteks kepentingan dan agenda kapitalisme international, dan lembaga-lembaga nasional
maupun multinasional yang mendukungnya.
Tekanan Barat terhadap pemerintah negara-negara Selatan untuk menerapkan demokrasi adalah satu bentuk
percepatan penetrasi Barat terhadap perekonomian negara-negara Selatan yang seringkali dikemas dalam
terminologi “globalisasi”. Untuk mendukung skenario tersebut, konsep demokrasi liberal (versi Barat) dicoba untuk
1

Artikel ini adalah laporan pendahuluan yang memuat pokok-pokok pikiran dari sebuah rencana artikel lain yang masih harus dilengkapi dengan
penelitian yang lebih mendalam. Oleh sebab itu, judul artikel ini menggunakan kata “catatan”.

2 ODA adalah singkatan dari Offical Development Assistance. Sumber dana ODA adalah dari pihak pemerintah seperti pemerintah Amerika atau
Belanda. Selain itu ODA juga mendapat dukungan dana dari bank-bank multilateral seperti Bank Dunia.
3 ND adalah singkatan dari National Democrats. Dalam konteks ini ND adalah bagian dari LSM atau komunitas gerakan sosial lainnya yang
secara politis berhubungan dengan National Democratic Front.

diterapkan pada negara-negara Selatan, terutama aspek anti negara dan penyamarataan antara “demokrasi” dan
“pasar (market)”. Perdagangan dan bentuk-bentuk lain dari liberalisasi ekonomi dikemas dalam paket “demokratisasi”.
Pada saat banyak negara-negara Selatan menghadapi korupsi dan inefisiensi birokrasi, dukungan terhadap
penerapan liberalisasi ekonomi semakin kuat. Dukungan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa demokrasi
dapat dicapai hanya jika pemerintah mau melepaskan sebagian besar aktifitas ekonomi kepada pihak swasta, dengan
kata lain: serahkan fungsi-fungsi ekonomi kepada mekanisme pasar!
Dewasa ini pergeseran peran negara dalam aktifitas ekonomi antara lain diilhami oleh berbagai perubahan penting
dalam ekonomi global. Selanjutnya fenomena tersebut secara substantif juga mengubah lingkungan di sekitar negara.
Pengaruh ekonomi global dan penyebaran paham demokrasi telah mempersempit ruang bagi perilaku
sewenang-wenang dan inkonsistensi kebijakan. Mekanisme pajak, ketentuan investasi, dan kebijakan ekonomi harus
selalu responsif terhadap parameter ekonomi global. Perubahan teknologi telah membuka peluang baru bagi
pelayanan yang tak terbatas dan membuka peluang lebih besar bagi pasar. Bagi pemerintah, semua perubahan
tersebut berarti pula peran baru yang sama sekali berbeda dengan peran di masa lalu - pemerintah bukan lagi agen
tunggal penyedia (jasa, fasilitas) melainkan hanya sebagai fasilitator dan pembuat peraturan (Bank Dunia, 1997:1).
Alasan utama mengangkat wacana GD, terutama karena wacana tersebut terus menerus disebarkan oleh kapitalisme

international, juga oleh lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan pemerintah negara-negara kapitalis
lama yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa terjadi pergeseran dukungan
(negara kapitalis) dari paham otoriter ke paham demokrasi? Mengapa mereka yang semula selama puluhan tahun
mendukung rejim otoriter seperti Somoza, Marcos, Mobutu, kemudian beralih mendukung demokrasi? Mengapa
demokratisasi di negara-negara Selatan menarik perhatian kapitalisme internasional?
Pertanyaan tersebut dapat pula dilihat dari sudut pandang lain. Jika globalisasi merupakan salah satu tahapan
ekspansi kapitalis ke negara-negara Selatan, mengapa kemudian isu demokratisasi yang dipilih sebagai strategi
mereka? Apakah hal itu dikarenakan demokratisasi merupakan aspek anti negara dari paham neo-liberalisme?
Apakah tergesernya pemerintah otoriter di Selatan juga mencerminkan pemerintah yang lemah? Apakah mungkin
kapitalisme international pada intinya ingin menggeser para proteksionis dan pemimpin (negara Selatan), untuk
selanjutnya mendukung kelompok elit untuk mendapatkan kekuasaan dan membuka jalan bagi ekspansi kapitalis
dalam perekonomian Selatan?
Demokrasi dan Pembentukan Negara
Sebelum membahas lebih jauh tentang demokrasi dan pembentukan negara, berikut ini beberapa klarifikasi tentang
demokrasi itu sendiri. Pertama-tama perlu diingat bahwa jenis demokrasi yang disebarkan oleh negara-negara Utara
adalah sangat spesifik. Demokrasi dalam pengertian ini adalah sesuatu yang formal, konstitusional dan bernuansa
Barat. Demokrasi versi negara-negara Utara memisahkan politik di satu sisi dan struktur kekuasaan ekonomi di sisi
lain. Secara ideologis, hal tersebut merupakan bagian dari aspek anti negara dari paham neo liberalisme. Jika
dihubungkan dengan pandangan Lockian (digabungkan dengan pandangan Thatcherite yang lebih modern),
demokrasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berkurangnya peran pemerintah dalam berbagai aspek

kehidupan bernegara (less government).
Bukan merupakan kebetulan bahwa tekanan dari pihak Barat untuk menerapkan demokrasi berjalan seiring dengan
liberalisasi perdagangan, privatisasi keuangan dan bentuk-bentuk deregulasi yang lain. Secara umum deregulasi
seringkali “dilihat” sebagai bagian dari proses keterbukaan negara-negara Selatan terhadap investasi dan
perdagangan dari negara-negara Utara. Satu aspek yang seringkali kurang diperhatikan adalah interpretasi demokrasi
sebagai “anti (intervensi) negara”, sesungguhnya berada di kubu yang sama. Jika kita menginginkan perubahan
dalam kebijakan ekonomi, seringkali golongan menengah ke atas adalah pihak yang “kalah”. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah: apakah masuk akal untuk mencapai perubahan tersebut dengan menggunakan terminologi
demokrasi yang dikemas dengan indah?

Dalam hal ini, penting untuk membuat pembedaan antara demokratisasi di bekas negara-negara sosialis dengan
demokratisasi di negara dunia ketiga non-sosialis. Pada dekade 1990-an, demokratisasi di Selatan paling tepat dilihat
dari beberapa peristiwa yang saling “bertemu” yaitu runtuhnya blok sosialis, penolakan terhadap program liberalisasi
perdagangan yang didukung oleh World Trade Organization , dan fenomena „emerging markets‟. Runtuhnya Uni
Soviet dan blok sosialis, merupakan salah satu alasan penting berakhirnya dukungan Barat terhadap rejim otoriter di
Selatan. Dalam rangka mempercepat masuknya barang dan jasa (terutama jasa keuangan), rejim yang proteksionis
dan otoriter harus segera disingkirkan atau dipaksa untuk menjadi demokratis.
Sekarang kita kembali pada pertanyaan terdahulu apakah penyingkiran pemerintah otoriter di Selatan berarti
pemerintah tersebut lemah? Dari sudut pandang Barat, penolakan terhadap rejim otoriter yang dilakukan bersamaan
dengan program pemerintah (membangun demokratisasi), justru memperkuat pemerintah tersebut.

Pertentangan muncul bila kita melihat ideologi demokratisasi hanya dari sudut pandang Barat atau dari proses
kapitalisme international. Dari kedua sudut pandang tersebut, sudah jelas tidak ada kontradiksi. Fakta menunjukan
bahwa pemerintah otoriter di negara-negara Selatan dikendalikan oleh kelompok elit. Sumber kekayaan kelompok
tersebut adalah pada aktifitas ekspor hasil pertanian atau industri manufaktur yang dibangun pada masa jaya industri
substitusi impor pada tahun 1950-an dan 1960-an. Kelompok elit “modern” di negara tersebut adalah mereka yang
bergerak di sektor finansial atau ekspor barang-barang non-tradisional yang bergantung pada bahan baku impor.
Kelompok elit “modern” juga merupakan pecahan kelas elit yang diperlukan oleh modal internasional sebagai mitra
lokal dalam rangka percepatan globalisasi.
Terlepas dari persoalan otoriter atau tidak, pemerintah di negara Selatan cenderung memiliki kapasitas yang terbatas.
Dalam jargon ilmu politik, kondisi tersebut dinamakan “weak states”. Bagi pebisnis asing, kondisi ini menimbulkan
masalah baik politik maupun ekonomi. Pemerintah yang lemah juga berarti pemerintah yang berkemampuan rendah
untuk menjamin stabilitas politik - sesuatu yang sangat diperlukan oleh investor. Pada tingkat minimum, pemerintah
harus memiliki kontrol terhadap kecenderungan timbulnya kekerasan, kemampuan untuk menjamin ketertiban dan
keamanan, dan menjamin keberpihakan militer kepada pemerintah.
Transparansi, adalah salah satu aspek penting dari GD yang harus dipahami dari sudut pandang ekspansi
besar-besaran pemodal internasional. Transparansi adalah salah satu aspek kunci dari globalisasi. Percepatan arus
keluar masuk uang dapat diumpamakan sebagai seorang manajer keuangan yang mensyaratkan data terbaru fiskal
dan moneter selalu tersedia dalam hitungan menit. Data tersebut juga diperlukan oleh pemerintah otoriter yang
seringkali menyembunyikan atau mengoreksinya. Pemerintah otoriter dalam hal ini adalah pemerintah yang
didampingi oleh kroninya dan terdapat hubungan yang “baik” antara aparat pemerintah dan klien bisnis mereka4.

Sebagaimana telah diungkapkan dimuka, salah satu aspek demokratisasi adalah berkurangnya intervensi pemerintah
dalam perekonomian di banyak negara-negara “kuat” di Selatan. Di sisi lain, sebagian negara-negara Selatan justru
ingin memperkuat intervensi pemerintah dalam perekonomian negaranya. Seorang cendikiawan Amerika
menyatakan: “Filipina tidak mampu untuk menyediakan prasyarat administratif maupun hukum yang diperlukan oleh
IMF, Bank Dunia, dan pemerintah kolonial (masa lalu) yang menerapkan model laissez-faire dalam rangka
membangun Filipina”. Polanyi menyatakan bahwa sejarah laissez-faire mensyaratkan „peningkatan pesat fungsi
administrasi negara‟. Terkalahkan oleh banyak kepentingan sebagian kecil aparat pemerintah yang berkuasa, Filipina
tidak mampu untuk menyediakan “political and procedural predictability” yang diperlukan dalam membangun
kapitalisme (Hutchcroft, 1993: 580-581).
Dua hal pokok yang menjadi perhatian Utara dalam program untuk negara Selatan adalah desentralisasi dan anti
korupsi. Kedua hal tersebut juga dapat dipahami dari sudut kepentingan investor asing. Program desentralisasi tidak
perlu dilihat sebagai sesuatu yang memperlemah posisi pemerintah pusat. Justru program tersebut dapat memperkuat
kapasitas pemerintah lokal untuk menjalankan program pemerintah pusat. Hal ini terutama terkait dengan aspek
4

Pandangan ini disarankan kepada saya oleh John Gershman.

infrastruktur yang merupakan satu bentuk pelayanan jasa (dalam bidang ekonomi) yang disediakan pemerintah. Di sisi
lain, korupsi dilihat sebagai “biaya tambahan” bagi investor yang dapat mengganggu pasar di tingkat lokal.
Wacana GD di Filipina

Wacana GD di Filipina dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu: liberalisasi ekonomi dan prasyarat politiknya,
reformasi politik dan desentralisasi. Proyek GD yang didanai oleh ODA cenderung terfokus pada aspek
desentralisasi. Namun demikian sejumlah besar dana juga dialokasikan bagi pengembangan kapasitas pemerintah
pusat. Donor ODA cenderung untuk menghindari pendanaan reformasi politik karena bidang tersebut - khususnya
perubahan UU - merupakan bidang yang kontroversial. Bidang tersebut banyak “diserahkan” kepada lembaga donor
swasta. Pada tingkat implementasi, program pengembangan kapasitas pemerintah pusat sebagian besar diserahkan
kepada konsultan asing maupun lokal. LSM jarang dilibatkan dalam program tersebut. Oleh karena itu program ini
cenderung tidak menyentuh wacana LSM-GD.
Dewasa ini, semakin banyak perhatian tercurah pada issue liberalisasi beserta dampak politisnya. Salah satu
contohnya adalah pada diskusi ratifikasi pakta GATT dan diskusi menjelang KTT APEC, di mana sebagian besar
komunitas LSM-KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) terlibat dalam diskusi yang membahas issue liberalisasi
perdagangan. Dalam diskusi tersebut, dampak ekonomi dari liberalisasi perdagangan dibahas secara intensif, namun
dampak politiknya tidak mendapat porsi pembahasan yang memadai. Diskusi terutama berkembang pada aspek
hilangnya kedaulatan ekonomi, terutama pada pembatasan peran pemerintah dalam menerapkan kebijakan industri
sebagai konsekuensi dari dibebaskannya arus investasi.
GD dan Desentralisasi
Sampai saat ini, isu yang paling banyak dibahas dalam wacana GD di Filipina adalah desentralisasi dan topik-topik
yang terkait dengan komunitas LSM-KSM di tingkat lokal. Kedua isu tersebut sangat dominan, sehingga banyak
pengamat cenderung berasumsi bahwa kedua isu tersebut adalah keseluruhan isu dalam wacana GD di Filipina.
Selain dominan, kedua isu tersebut paling banyak menyedot perhatian internasional. “Filipina adalah pusat penelitian

paling kaya bagi pembahasan tentang pemerintah baru, terutama yang terkait dengan aspek desentralisasi, otonomi
daerah, dan partisipasi skala besar komunitas publik - semua dalam kerangka proses demokrasi” (Ellison, 1998:1).
Inti dari wacana GD di Filipina adalah peluncuran Local Government Code (LGC) pada tahun 1991. Pemindahan
fungsi-fungsi pemerintahan (dari pusat) kepada Local Government Unit (LGU) dalam skala tertentu memang telah
menimbulkan masalah, misalnya kasus Departemen Kesehatan, perluasan pertanian, dan perikanan. Namun
demikian terdapat pula optimisme, terutama yang menyangkut kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan
finansial LGU dengan bantuan LGC. Dewasa ini LGU secara otomatis mendapat 40% dari pendapatan pajak domestik.
Sebelumnya LGU harus bernegosiasi dengan pemerintah dalam hal persentase pajak yang menjadi hak mereka,
sementara LGC hanya mendapat 11% dari pendapatan pajak domestik. Saat ini LGU diberi kewenangan untuk
mendapatkan pinjaman baik melalui pinjaman bank, surat obligasi, maupun penjualan saham. Demikian pula
kemampuan mereka mendapatkan pajak, lebih besar.
Di kalangan komunitas LSM, perhatian diarahkan pada ketetapan LGC untuk memberi kewenangan kepada wakil LSM
yang duduk dalam struktur organisasi pemerintah lokal, untuk mengadakan pra-kualifikasi, penawaran dan kontrak
karya. Masuknya wakil LSM dalam struktur organisasi pemerintah lokal, telah melalui proses yang panjang, karena
politikus lokal tidak menginginkan masuknya LSM dalam wilayah mereka. Selain itu, pihak kongres - delapan tahun
setelah dibentuknya LGC - tidak meloloskan peraturan yang memuat pemilihan wakil LSM di pemerintahan. Di
lingkungan dimana wakil LSM dipilih hanya karena simpati sebagian anggota LGU, para wakil LSM tersebut seringkali
merasa sulit untuk bekerja secara optimal, karena merasa tidak familiar dengan berbagai peraturan dan prosedur di
lingkungan pemerintah.


USAID adalah pihak yang berada dibalik layar yang memberikan dorongan utama pembentukan LGC dan masuknya
wakil LSM-KSM dalam struktur pemerintahan. USAID telah mendorong diberlakukannya desentralisasi dan membantu
meningkatkan kemampuan LGU. Dukungan tersebut telah berlangsung selama beberapa dekade, bahkan sejak era
Marcos. USAID memainkan peran penting dalam pembentukan LGC a.l. dengan memberikan bantuan teknis kepada
anggota legislatif seperti mantan senator Aquilino Pimentel, yang memainkan peran penting dalam LGC. Setelah LGC,
USAID menyusun program-program implementasi yang sepenuhnya mendapat dukungan dana yang cukup. Kedua
proyek utama USAID - desentralisasi dan peningkatan kemampuan LGU - melibatkan partisipasi LSM-KSM. Kedua
proyek tersebut berada dalam kerangka penerapan program LGC.

Tabel berikut memperlihat, peran yang dimainkan tiap lembaga donor dalam rangka menerapkan desentralisasi di
Filipina, sbb:
Catatan tentang wacana governance dan demokratisasi di filipina
Lembaga
Donor Asing
USAID

Kegiatan

Tujuan Program


1. Local
Development
Asistance  Mendukung kebebasan dalam pemilihan
Program (LDAP), 1990-1995. LDAP
alternatif sumber daya, kewenangan
memfokuskan kegiatannya pada
administrasi yang lebih besar, dan
implementasi LGC dan mendukung
bentuk-bentuk lain dari program peningkatan
masuknya wakil LSM-KSM dalam
kemampuan LGU.
pemerintahan.
 Mendukung peningkatan peran swasta di
2. Governance and Local Democracy
tingkat pemerintah lokal, dalam rangka
(GOLD). GOLD menerjemahkan isu
mendapatkan dukungan yang lebih besar dari
demokratisasi dalam konsep proyek.
LSM, guna mendukung proses desentralisasi.
Konsep tersebut diujicobakan di 11

propinsi, kotamadya dan desa.
 Memfasilitasi partisipasi LSM-KSM yang lebih
besar, melalui training bagi LGU, guna
membangun sikap positif di kalangan LSM
terhadap pemerintah lokal.
 Mendukung formulasi “agenda demokrasi”,
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
pro-demokrasi.
CIDA (Canadian 1. Policy Forum and Technical
 Mendukung
partisipasi
LSM
dalam
International
Assistance Facility (PFTAF).
proyek-proyek sektor publik
Agency)
2. Local Government Support Project  Membantu LGU di tiga wilayah.
(LGSP).
European Union

Bank dunia dan
Bank
Pembangunan
Asia (ADB)

KAS (Konrad
Adenauer
Stiftung)
Ford foundation
and TAF (The
Asia
Foundation)

 Memfokuskan pada program pembangunan
yang memiliki komponen pemerintahan skala
kecil.
Dari perspektif Bank Dunia dan ADB,  Cenderung melihat GD, terutama sebagai
intervensi
yang
mereka
lakukan
masalah
“administrasi”,
dengan
seolah-olah bersifat “non-politis”.
kecenderungan kedua institusi untuk secara
“superior” menekankan pada aspek partisipasi
dan HAM.
 Menyusun kerangka kerja yang meletakan GD
sebagai bagian dari upaya mengoptimalkan
sumber daya untuk pembangunan.
 Mendukung kegiatan bisnis dan proyek-proyek
pemerintah,
termasuk
partai
utama
Lakas-NUCD.
Galing Pook Awards (oleh Ford foundation)  Mengarahkan perhatian publik pada inisiatif
pemerintah lokal yang patut diteladani.
 Mendukung kegiatan penelitian dan program
percontohan yang dilakukan oleh pemerintah
lokal. Mendukung penjangkauan media untuk
kelompok seperti IPD dan IPG.
1. EU PRISP

Semakin lama semakin banyak donor ODA yang mengikuti jejak USAID dan CIDA dalam program GD di Filipina.
Dalam hal ini termasuk donor dari lembaga-lembaga PBB seperti UNDP, Aus Aid, lembaga donor swasta, dan
lembaga Jerman seperti Friedrich Naumann Stiftung (FNS). Lembaga terakhir adalah salah satu yang paling aktif
dalam mendukung proyek GD di kalangan LSM dan KSM.
Variasi program-program ODA tidak hanya berkisar pada persoalan substantif, melainkan juga strategi untuk
meningkatkan kualitas GD itu sendiri. Jenis-jenis program ODA adalah sbb: 1) Proyek bantuan kepada pemerintah
berupa bantuan teknis dan pelatihan. Proyek ini paling lazim ditemui dan sangat sedikit melibatkan LSM; 2)
Mendukung kemitraan pemerintah dan LSM. Pada umumnya proyek ini menempatkan LSM sebagai pelaksana proyek
atau program; dan 3) Mendukung masyarakat madani dalam membuat “pernyataan”. Sebagai contoh adalah
dukungan USAID bagi koalisi LSM, PCIJ, dan kelompok hukum alternatif seperti Pusat Sumber Daya Hukum.5
Wacana GD di Kalangan Lembaga Donor
Di kalangan lembaga donor, wacana GD yang mereka miliki mungkin berbeda satu sama lain. Wacana GD di kalangan
LSM tampaknya mengikuti versi Bank Dunia. Bahkan sebagian orang menyebut bahwa Bank Dunia telah
“mengkooptasi” wacana GD di tingkat LSM. Bank Pembangunan Asia memiliki wacana yang secara terbuka memuat
konsep “anti negara”. Sebuah dokumen Bank Pembangunan Asia menyebutkan “…lingkup kerja operasional
pemerintah harus dibatasi. Pemerintah tidak seharusnya berperan sebagai pengusaha di lini terakhir, atau sebagai
pemberi perlindungan. Dalam perekonomian, pemerintah tidak seharusnya menduduki posisi pemberi perintah.
Pemerintah sebaiknya merancang setiap langkahnya secara hati-hati dan selektif, dengan memfokuskan diri pada
kegiatan inti tertentu” (ADB, 1997:1).
Identifikasi lembaga tertentu dengan wacana tertentu, mungkin saja akan menimbulkan protes. Demikian pula halnya
dengan aparat pemerintah dan lembaga donor yang mungkin saja merasa keberatan diidentifikasi dengan satu
wacana tertentu. Namun demikian, saya yakin mereka saling bertukar informasi tentang wacana yang dianut. Kenneth
Ellison menyatakan ada semacam proses (bahkan ada yang menyebut “revolusi”) yang melintasi batas negara tentang
model pemerintahan dan jenis-jenis masyarakat.
Tidak dapat disangkal bahwa telah terjadi reformasi pemerintahan di akhir abad 20. Di seluruh dunia, kita menyaksikan
berbagai peristiwa yang menunjukan perubahan mendasar dalam hal masyarakat yang memilih untuk mengatur
dirinya sendiri atau untuk diatur oleh pihak lain (pemerintah). Tentu saja ada berbagai variasi perubahan, yang tidak
mungkin diungkapkan semua di sini. Masyarakat di seluruh dunia berupaya dengan segala cara - di semua lini - untuk
memperjuangkan agar suara masyarakat madani didengar. Seluruh masyarakat dan komponen kuncinya berjuang
dengan keras untuk menyusun suatu perjanjian yang baru, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, antara
warga negara dengan pemerintah, antara khalayak pemilih dengan politisi. Hal tersebut adalah suatu gerakan untuk
merestrukturisasi terminologi governance, dan jika gerakan tersebut berhasil, tampaknya pada abad 21 partisipasi
masyarakat dalam dunia ekonomi politik akan berubah (Ellison, 1997:1).
Perusahaan negara - yang merupakan bagian kecil - dari pihak yang mempertahankan organisasi (demokrasi)
terpusat, dikurangi jumlahnya. Pemerintah harus lebih memperhatikan aspirasi warganya. “Dalam manajemen publik,
kunci dari perubahan ini adalah dengan memberikan lebih banyak perhatian pada hubungan “warga negara-klien”.
Pemerintah harus lebih memprioritaskan kepentingan warganya. Dalam hal ini, pemerintah harus bersikap responsif
(bukan direktif) kepada warganya, karena warga negara akan semakin menuntut pelayanan optimal dari pemerintah.
Dengan kata lain, warga negara akan semakin berorientasi konsumen dalam hubungannya dengan pemerintah.
Dalam konteks ini, LSM ikut berperan. “Kasus Filipina menunjukan bahwa peran sektor non-pemerintah semakin besar
(sangat berbeda dengan negara lain), yang berarti pula warga negara semakin responsif terhadap pemerintah” (ibid).
5

Dua alinea terakhir ditulis sebagaimana disarankan oleh John Gershman.

Ide lain - yang bersumber pada praktek bisnis kontemporer - adalah kontraktualisasi. Ide tersebut telah menemukan
jalan untuk memasuki wacana GD. Kontraktualisasi dikemas sebagai „perubahan dari swasembada ke sektor-sektor
yang saling terkait‟. Perubahan tersebut saat ini sedang menuju pada keterkaitan antara sektor publik dan sektor
swasta. Dalam konteks tersebut, sistem apapun yang memiliki keuntungan komparatif, digunakan untuk
menyampaikan pelayanan kepada publik. Konsep yang lebih terbuka menyatakan bahwa pekerjaan “pelayanan” tidak
lagi dianggap sebagai pekerjaan pemerintah yang dilakukan hanya oleh pemerintah saja. Adalah tugas pemerintah
untuk mengawasi bahwa pelayanan telah dilaksanakan dengan semestinya, namun bukan berarti pemerintah harus
berfungsi sebagai penyedia langsung pelayanan tersebut. Ada tiga metode utama yang menghubungankan sektor
pemerintah dan swasta, yaitu privatisasi, sub-kontrak dan kompetisi. (Penekanan saya) inilah bidang-bidang dimana
Filipina turut memberikan kontribusi.” (ibid)
Dalam kerangka ini, desentralisasi adalah “pergeseran dari alat penyampaian pelayanan yang terpusat dan seragam
menjadi penyampaian pelayanan yang terdesentralisasi dan beragam”. Proposisi tersebut mengubah desentralisasi
dalam realisme politik, sehingga ada sebuah proposisi terkait yang tampaknya mengakui politik sebagai suatu
“pergeseran dari pengendalian hirarki kepada pemberdayaan”. Restorasi politik mungkin terlihat jelas di sini, dimana
“dalam situasi baru, dimanapun Anda berdiri adalah pusat kekuasaan, dimanapun Anda berdiri adalah tempat
rencana-rencana riil dan keputusan dibuat, dan dimanapun Anda berdiri adalah fokus tindakan. Oleh karena saat
kekuasaan politik, administratif dan manajerial tersebar dan sekaligus terkonsentrasi secara lokal, pembuatan
keputusan model lama, dengan model kekuasaan hirarki “top down” akan menghilang dengan cepat”. (ibid)
Perspektif GD di Kalangan LSM-KSM
Jika jelas bahwa proyek-proyek GD dan wacana yang menyertainya semata-mata ditentukan oleh persyarat
kapitalisme internasional, LSM dan KSM (saya harap) tidak memasuki arena tersebut. Masalahnya adalah bahwa,
seperti kecenderungan-kecenderungan politik lainnya, perspektif LSM-KSM memiliki asal-usul yang banyak dan tidak
semua pelaku memiliki perspektif strategis yang tegas, sehingga GD dan wacananya penuh dengan kontradiksi.
Salah satu sumber kebingunan terbesar adalah bahwa wacana GD „resmi‟ memberikan pelengkap bagi wacana
progresif dengan mengkooptasi banyak hal dalam pembahasannya.
Gerakan sayap kanan, anti kediktatoran dan liberalisasi nasional di banyak negara Selatan, benar-benar memainkan
peranan utama dalam proses demokratisasi di negara-negara tersebut. Keruntuhan blok sosialis, baik karena
jatuhnya rezim sosialis di bekas negara Uni Soviet dan Eropa Timur, dan penyusupan negara-negara „sosialis‟ yang
masih ada seperti Cina ke dalam lingkaran kapitalisme internasional, memaksa proses besar reorientasi progresif di
dunia. Korban terbesar adalah orang-orang yang berpikiran progresif terhadap kemanjuran pengendalian terpusat
atas kehidupan ekonomi dan politik nasional. Dari titik tersebut hanya satu langkah pendek lagi menuju desentralisasi
dan otonomi lokal.
Faktor lain yang mempengaruhi sikap orang-orang progresif terhadap GD terletak pada isu-isu strategi dan taktik.
Meskipun beberapa gerakan liberalisasi nasional, terutama NDF di Filipina, menolak menerima kenyataan bahwa
kondisi internasional tidak kondusif bagi perjuangan bersenjata, namun kecenderungan yang ada jelas tidak terkait
dengan gerakan liberalisasi bersenjata yang berfungsi sebagai strategi untuk mencapai kekuasaan negara.
Gerakan-gerakan yang paling maju pada tahun 1980-an, adalah African National Congress di Afrika Selatan, FMLN di
El Salvador, PLO di Palestina, yang mengadakan negosiasi bagi penyelesaian masalah-masalah politik mereka.
Kegagalan perjuangan bersenjata meninggalkan beragam kombinasi gerakan massa dan perjuangan elektoral.
Pengalaman yang paling menonjol dari kegagalan perjuangan bersenjata tersebut, selain FMLN dan ANC, adalah
Workers Party di Brazil dan PRD di Meksiko.
Apapun kombinasi kedua arena gerakan liberalisasi tersebut, sudut pandang kelompok progresif terhadap pemerintah
telah secara radikal berubah dari “menyerang negara” menjadi beragam jenis „perjanjian dengan negara‟. Karena
pengalaman kelompok progresif elektoral agak jarang, satu kecenderungan umum adalah memulai dengan

perjuangan elektoral lokal dimana basis gerakan massa mencukupi, terutama di daerah-daerah yang terpilih untuk
memenangkan pemilihan. Penggunaan gerakan massa untuk mendorong agenda kelompok progresif melalui
beragam tindakan massa, adalah denominator lain yang umum. Denominator tersebut adalah wacana progresif dari
arena yang telah dipilih ke dalam wacana GD.
Di Filipina, garis perpecahan dalam komunitas progresif dalam hal wacana dan praktek GD, mungkin dapat dijelaskan
dengan suatu perumpamaan. Jika pemerintah adalah rumah, ada tiga cara mendekatinya. Pertama, gerakan bawah
tanah bersenjata, akan membumihanguskan rumah tersebut dan membangunnya kembali dari bawah. Masalah
gerakan tersebut adalah, pada saat ini, mereka kekurangan bahan bakar. Karena mereka bersikap sinis terhadap
proses demokratis, mudah bagi mereka untuk membenarkan (paling tidak di antara mereka) hubungan oportunistik
dengan para politikus. Hubungan tersebut bervariasi dari perjanjian dengan politikus lokal dengan menggunakan
senjata atau uang, hingga Joema Sison yang membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh calon presiden Jose De Venecia.
Kelompok kedua, disebut juga “masyarakat madani”, senang hanya dengan mengetuk pintu, mengharapkan
seseorang membukakan pintu, dan membantu mereka dengan “nasehatnya”. Kita dapat memasukkan kepemimpinan
CODE-LSM dan National Peace Conference (NFC) dan kemungkinan besar sebagian besar LSM dan KSM dalam
jaringan kerjanya, dalam kelompok kedua.
LSM-LSM lokal dalam jaringan kerja tersebut, cenderung lebih terbuka kepada kandidat (yang mengejar posisi lokal)
daripada pemimpin nasional. Hal ini dikarenakan mereka dapat melihat lebih mudah kinerja mereka cepat atau lambat,
dalam hubungannya dengan politikus lokal dan kepentingan mereka. Ada juga orang-orang yang berada pada „titik
yang saling bertemu‟ yaitu titik dimana kelompok LSM yang terpecah di Filipina, yang tertinggal dalam wacana
“masyarakat madani”, dan yang percaya bahwa hubungan dengan politikus terutama selama pemilihan umum, adalah
cara terbaik untuk memperoleh “akses” dan bantuan kelompok progresif.
Karena pimpinan-pimpinan LSM nasional tersebut umumnya berasal dari kelas menengah atas dan lulusan dari
universitas-universitas terkemuka, mereka memiliki teman dan mantan teman kuliah dalam pemerintahan yang dapat
membuka pintu bagi mereka. Demikian pula personil dari konsultan untuk proyek-proyek GD yang didanai ODA,
sebagian besar berasal dari kelas yang sama. Proyek subkontrak program-program GD ini cenderung berjalan lebih
mudah untuk kelompok-kelompok seperti CODE-LSM dan PHILDHRRA. Ini berkaitan sebagian dengan pendidikan
mereka dan sebagian dengan kenyataan bahwa banyak bagian dari wacana internasional GD lebih bergaung di
kalangan LSM yang didominasi oleh kelas menengah atas.
Kelompok ketiga ingin memasuki rumah, dengan mendepak keluar penghuninya, membuka pintu dan jendela agar
para warga lebih mudah memasukinya, dan memperbaharui interior rumah. Ini adalah kelompok yang lebih heterogen
yang memotong blok dan pembagian politik dalam komunitas LSM. Jumlah terbesar dari kelompok ketiga ini berada di
propinsi-propinsi dimana sejumlah aktifis LSM-KSM dan pemimpin terpilih - yang semakin meningkat jumlahnya mengejar posisi lokal. Mereka adalah orang-orang yang memikirkan desentralisasi dan otonomi daerah - yang
bersumber dari wacana GD - dengan sangat serius. Pada pertengahan tahun 1990-an konsultasi atas intervensi
elektoral progresif yang diorganisasikan oleh IPG dan didanai oleh FES, memasuki proses pembentukan partai hingga
terbentuk Akbayan (Citizen Action Party).
Perspektif yang berbeda (dalam daftar pemilihan partai pada bulan Mei 1998) memberikan jalan untuk
menggambarkan perpecahan antara kelompok kedua dan kelompok ketiga. Dalam pemilihan istimewa ini, 20 persen
kursi di Majelis Rendah akan dipilih melalui sistem perwakilan proporsional yang telah dimodifikasi. Oleh karena
partai-partai satelit dijalankan oleh politikus tradisional, partai-partai progresif akan beruntung jika mereka
mendapatkan 15 dari 52 kursi. “Masyarakat madani” tampaknya akan mengundurkan diri menjadi minoritas tetap,
sebagai „wakil sektoral‟ dalam daftar partai. Tujuan mereka adalah dapat memasukkan usulan sektoral secara
langsung ke dalam legislatif nasional. Pengamanan agenda legislatif mereka, bagaimanapun akan tetap menjadi
persoalan lobi politik. Pengamanan tersebut bukan soal usaha untuk membangun mayoritas di sekitar partai dengan
sebuah program politik komprehensif.

Meskipun Akbayan juga tercantum dalam daftar pemilihan partai, agenda jangka panjangnya dibangun dengan lebih
banyak kandidat untuk posisi lokal. Melalui rapat progresif di antara para wakil partai dan kelompok-kelompok
progresif lain yang terpilih sebagai individual, ditambah partisipasi dalam gerakan massa, Akbayan akan berperan
dalam membentuk posisi progresif pada issue-issue nasional. Instrumen utamanya untuk mengakumulasi kekuatan
elektoral, akan berada di tingkat lokal dimana persyaratan keuangan dan organisasional bukan merupakan faktor
penghalang. Ini hanya dapat terjadi jika basis lokalnya cukup besar sehingga Akbayan dapat berpartisipasi dalam
pemilihan di tingkat nasional.
Meskipun bersikap kritis terhadap wacana „resmi‟ GD, saya percaya bahwa kemungkinan pembentukan suatu proyek
politik progresif (baru) di Filipina terletak dalam wacana GD dari gerakan progresif. Untuk saat ini, meskipun wacana di
tingkat ini tidak koheren, namun dalam tindakan, dalam proyek demokratisasi, dan yang terpenting dalam intervensi
elektoral dan advokasi reformasi politik, cukup besar, cukup bervariasi. Pada suatu titik, saya harap, akan segera ada
“sekumpulan besar pengalaman kritis” yang darinya visi liberatif baru dapat terbentuk.
Daftar Pustaka :
1. World Bank, World Development Report 1997.
2. Ellison, Kenneth. "Emerging Styles of Governance: A Global Context", Edited from a keynote presentation to
the UNDP, "National Consultation on Governance", Quezon City, May 15, 1997.
3. ADB. "Draft Analytic Framework on Governance and Capacity Building", typescrpt, 1997.)
4. Hutchcroft, Paul D. "Predatory Oligarchy, Patrimonial State: The Politics of Private Domestic Commercial
Banking in the Philippines", PhD Dissertation, Yale University, 1993.

**
Joel Rocamora adalah salah satu pemimpin civil society Filipina. Ia saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif dari
Institute for Popular Democracy, suatu lembaga penelitian yang bekerja terutama dengan LSM-LSM dan
kelompok-kelompok gerakan sosial. Joel Rocamora belajar di Cornell University pada tahun 1960-an, memperleh
gelar PhD pada bidang politik dan kajian Asia pada tahun 1971. Ia adalah Arbiter Nasional Partai Akbayan (Citizens
Action Party), sebuah partai politik progresif. Buku pertamanya adalah tentang Partai Nasional Indonesia (PNI).