KETELADANAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER PADA ANAK REMAJA : KAJIAN PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA.

(1)

KETELADANAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

PADA ANAK REMAJA

(KAJIAN PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA)

SKRIPSI

Oleh

:

JAMILATUS ZAHRAH

NIM: D01212021

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Jamilatus Zahrah, NIM. D01212021. Keteladanan dalam Pendidikan Karakter Anak Remaja (Kajian Pemikiran Ki Hadjar Dewantara). Skripsi Program Strata 1 Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode library research dan metode dokumenter. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan content analysis atau penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa.

Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan fenomena kenakalan remaja. Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi pada anak remaja. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, pemerkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain dan masih banyak lagi. Perilaku remaja kita juga

diwarnai dengan kebiasaan bullying di sekolah, dan tawuran. Oleh karena itu

skripsi ini akan meneliti tentang faktor keteladanan dalam pendidikan karakter dengan mengkaji pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Faktor Keteladanan dalam Pendidikan Karakter pada Anak Remaja (Kajian Pemikiran Ki Hadjar Dewantara) dapat menjadi acuan dalam mendidik anak remaja saat ini.

Skripsi ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi pokok-pokok pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam pandangannya mengenai keteladanan dan pendidikan karakter. Kemudian alasan mengapa skripsi ini hanya terfokus untuk mengkaji pemikiran dari satu tokoh ini dikarenakan Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh pendidikan yang mengenalkan pada pendidikan karakter dan keteladanan.

Kata kunci: Keteladan, Pendidikan Karakter, Ki Hadjar Dewantara


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah... 11

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Manfaat Penelitian ... 12

F. Definisi Operasional... 12

G. Metode Penelitian... 15

H. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II : BIOGRAFI DAN KARYA KI HADJAR DEWANTARA A. Biografi Ki Hadjar Dewantara ... 22

B. Karya-karya Ki Hadjar Dewantara... 35

BAB III : KONSEP UMUM KETELADANAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER A. Konsep Umum dan Landasan Keteladanan ... 41

1. Landasan Teologis ... 45

2. Landasan Psikologis ... 48

3. Landasan Yuridis ... 49

B. Konsep Umum Pendidikan Karakter ... 50

C. Keteladanan dalam Pendidikan ... 56


(8)

BAB IV : KETELADANAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER PADA ANAK REMAJA (Kajian Pemikiran Ki Hadjar Dewantara)

A. Metode Keteladanan dalam Pendidikan Karakter ... 69

1. Rangsangan Jawaban ... 70 2. Kognitif ... 70

B. Kontribusi Keteladanan dalam Pendidikan Karakter pada Anak

Remaja... 71

C. Faktor Keteladanan dalam Pendidikan Karakter Remaja (Kajian

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara) ... 74 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran-saran ... 84 Daftar Pustaka ... 86 Lampiran-Lampiran


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan. Karena itu pendidikan berperan mensosialisasikan kemampuan baru kepada mereka agar mampu

mengantisipasi tuntutan masyarakat yang dinamis.1

Pendidikan secara leksikal diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia

melalui usaha pengajaran dan pelatihan.2 Menurut Indrakusuma Pendidikan

adalah: “Suatu usaha yang sadar, yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak

agar mempunyai sifat dan tabi’at sesuai dengan cita-cita pendidikan.”3

Karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah “membinatang”. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran.

1

Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam (Solo: Ramadlan, 1991), h. 9.

2

Tim Penyusun Kamus P.P.P.B. Dep. Dik. Bud., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi Kedua 1999), h.232.

3

Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pedidikan Islam, (Bandung, Al-Ma’arif, 1975), h. 27.


(10)

2

Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di Negara kita. Diakui atau tidak diakui saat ini terjadi krisis yang nyata dan menghawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar menyontek, kebiasaan bullying di sekolah, dan tawuran. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini telah menjurus kepada tindakan kriminal.

Persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi dengan fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada remaja menunjukkan adanya kegagalan pada institusi pendidikan kita dalam hal menumbuhkan bangsa Indonesia yang berkarakter dan berakhlak mulia. Hal ini karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan moral belum berhasil membentuk manusia yang berkarakter. Padahal apabila kita tilik isi dari pelajaran agama dan moral, semuanya bagus, dan bahkan kita dapat memahami dan menghafal apa maksudnya. Untuk itu, kondisi dan fakta kemerosotan karakter dan moral yang terjadi menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa


(11)

3

pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan karakter pada siswa.

Pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nila-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam kehidupan orang itu. Dalam hal ini ada tiga ide pikiran penting, yaitu: 1) Proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku. Jadi jelas bahwa pendidikan karakter berperan penting dalam pembentukan karakter anak yang unggul dalam segala hal.

Pendidikan karakter di sekolah dapat diartikan sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Definisi ini mengandung makna sebagai berikut:

1) Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan

pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran;

2) Diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak didik

secara utuh. Asumsinya anak merupakan organism manusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan dikembangkan;

3) Penguatan dan pengembanga perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk

sekolah atau lembaga. 4

Keteladanan adalah tindakan atau setiap sesuatu yang dapat ditiru atau diikuti oleh seseorang dari orang lain yang melakukakan atau

4

Dharma Kesuma dkk, Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet III 2012), h. 5-6.


(12)

4

mewujudkannya, sehingga orang yang di ikuti disebut dengan teladan.Oleh karena itu, apa yang dilakukan guru atau orag tua akan ditiru oleh anak-anak, tingkah laku anak adalah dimulai dengan meniru (imitations), dan ini berlaku sejak anak masih kecil. Apa yang dikatakan orang tua akan terekam dan dimunculkan kembali oleh anak. Anak belajar dari lingkungan terdekat yang mempunyai intensitas rasional yang tinggi.

Dalam dunia pendidikan, apa yang terjadi dan tertangkap oleh anak, bisa jadi tanpa disaring akan langsung dilakukan, proses pembentukan pekerti pada anak akan dimulai dengan melihat orang yang diteladaninya. Guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan bagi anak. Dengan keteladanan guru akan membimbung anak untuk membentuk sikap yang kokoh. Keselarasan antara kata dan tindakan dari guru akan sangat berarti bagi anak, demikian juga apabila terjadi ketidakcocokan antara kata dan tindakan guru maka perilaku anak akan tidak benar. Oleh karena itu dituntut ketulusan, keteguhan, dan konsistensi hidup seorang guru. Keteladanan atau budi pekerti adalah sikap hidup yang disadari, diyakini dan dihayati dalam tingkah laku kehidupan. Kesatuan antara pikiran, perkataan dan perbuatan.

Anak merupakan bagian dari masyarakat yang kedudukannya sebagai calon generasi penerus perjuangan pendahulunya. Untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang kuat dan maju serta berakhlakul karimah, pendidikan anak menjadi penting sebagai fondasi awal dalam pembentukan generasi yang berkualitas dan daya saing tinggi. Idealisme pendidikan anak, secara mendasar hendaknya diimplementasikan dengan memberikan dasar-dasar pendidikan,


(13)

5

nilai-nilai dan etika kepada anak, yang hal ini sangat bermanfaat bagi pertumbuhan mentalisme anak.

Anak dalam pandangan Islam, diyakini sebagai titipan Allah yang harus dijaga dan dididik dengan baik. Sudah menjadi kewajiban di mana orang tua untuk memberi pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ada hadits Nabi SAW. yang artinya “Muliakanlah anak-anakmu dan baguskanlah pendidikan mereka” (HR. Ibnu Majah). Hadits tersebut menegaskan bahwa begitu mulianya kedudukan anak dalam sebuah keluarga sehingga diprioritaskan mendapat perhatian khusus terutama pada pendidikannya. Seyogyanya pendidikan yang baik bagi anak dimulai sejak dini, mengingat masa anak-anak adalah masa yang penting dalam pertumbuhan baik fisik maupun psikisnya.

Setiap orang tua muslim hendaknya menyadari bahwa anak adalah amanat Allah yang dipercayakan kepada orang tua, dengan demikian orang tua muslim pantang menyelewengkan amanat Allah berupa anak yang diberikan kepada mereka. Diantara sekian perintah Allah yang berkenaan dengan amanat-Nya untuk anak adalah bahwa setiap orang tua muslim wajib

mengasuh dan mendidik anak-anak dengan baik dan benar.5 Hal itu dilakukan

agar anak tidak menjadi lemah iman dan lemah kehidupan dunianya.

Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa. Periode ini dianggap sangat penting dalam kehidupan seseorang, menurut

5

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pusat Pelajar,2005), h. 7


(14)

6

Erikson pencarian identitas merupakan konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai serta keyakian yang dipegang teguh oleh seseorang sehingga setiap siswa memerlukan kepercayaan diri yang tinggi supaya mereka dapat

melakukannya secara optimal.6

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dan pada masa ini seringkali dikaitkan dengan masa-masa dimana mereka mencari identitas diri yang jika tidak diarahkan dengan sebaik-baiknya maka dapat terpengaruh terhadap pergaulan yang menyimpang dari norma agama dan norma yang berlaku di masyarakat.

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka (Pikunas, 1976) masa remaja ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun; (b) remaja madya: 15-18 tahun, dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun. Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual,

perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.7

Dalam budaya Amerika, periode remaja ini dipandang sebagai masa “Storm & Stress”, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian,

6

Diane Epapalia dkk, human development (psikologi perkembangan), (Jakarta: kencana, 2008), hal. 587

7

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet V 2005), h. 184


(15)

7

mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Lustin Pikunas, 1976).

Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh pendidikan yang dimiliki bangsa Indonesia sejak masa kolonial Belanda. Beliau telah lama mengembangkan konsep pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan keagamaan masyarakat Indonesia. Tidak Hanya menggali konsep pendidikan bagi masyarakat pribumi yang pada waktu itu masih dijajah, tapi beliau juga berperan katif melaksanakan dan terjun langsung dalam dunia pendidikan dan berjuang dengan membangun pendidikan bagi masyarakat pribumi dengan mendirikan organisasi pendidikan Taman siswa. Organisasi yang membangun jiwa merdeka bagi masyarakat pribumi dengan menggunakan dasar kekuatan sosial kebudayaan di satu pihak, dan keagamaan di pihak lain, yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.

Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, ia memang dikenal sebagai penggagas dan pemerhati utama pendidikan karakter Indonesia pertama. Lepas dari sosok Ki Hajar Dewantara secara pribadi, tiga semboyan beliau yang fenomenal terasa mampu menjadi pilar penopang dalam suksesnya seorang guru dalam menuntaskan pendidikan karakter di Indonesia yakni: “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang mempunyai arti ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangu semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan atau pihak-pihak yang dipimpinnya. Oleh karena


(16)

8

itu, pendidikan Tamansiswa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara ini didasarkan atas prinsip atau slogan diatas, karena seorang guru atau pun orang tua harus menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah anak harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip tutwuri handayani, akan memberikan anak kecil tumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya, namun

tetap didampingi.8

Pemahaman yang benar terhadap pendidikan karakter remaja menjadi penting bagi orang tua dan para pendidik supaya mereka dapat mendesain pembelajaran dan kegiatan belajar sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan perkembangan anak. Penentuan model, bentuk, dan pendekatan kegiatan pembelajaran yang sesuai bagi anak perbu dipahami benar-benar sesuai filosofi, teori, model, dan pendekatan pembelajaran untuk mencapai pemahaman yang baik dan benar. Dalam dunia anak, yang terpenting untuk dipahami orang tua dan pendidik adalah bahwa masa kanak-kanak itu adalah masa di mana segala kesibukan dijadikan sebagai suatu yang menyenangkan, menggembirakan dan membebaskan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, semua aktivitas anak-anak sehari-hari mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi hanya

diisi dengan hal-hal yang menyenangkan seperti halnya bermain.9

Dari berbagai penjelasan tentang proses pendidikan remaja di atas, kiranya telah jelas tentang gambaran di mana letak signifikansi permasalahan

8

Zuhriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet II, H. 131.

9

Ki Hadjar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka, Cet I, (Yogyakarta: Leutika, 2009), h. 131.


(17)

9

penelitian dari topik yang menjadi bidang penelitian ini. Hematnya, signifikansi dari permasalahan penelitian ini lebih memberikan penekanan pada proses pendidikan karakter anak yang mengacu pada konsep keteladanan tanpa menghilangkan masa kecil anak-anak bermain dan menyenangkan yang menjadi hak kebutuhan anak.

Remaja pada hakikatnya sedang berjuang untuk menemukan dirinya sendiri, jika dihadapkan pada keadaan luar atau lingkungan yang kurang serasi penuh kontradiksi dan labil, maka akan mudahlah mereka jatuh kepada kesengsaraan batin, hidup penuh kecemasan, ketidakpastian dan kebimbangan. Hal seperti ini telah menyebabkan remaja-remaja Indonesia jatuh pada kelainan-kelainan kelakuan yang membawa bahaya terhadap dirinya sendiri

baik sekarang, maupun di kemudian hari.10

Menurut Prof. M. Arifin istilah kenakalan remaja merupakan terjemahan dari kata juvenile delinquency yang dipakai di dunia Barat. Istilah ini mengandung pengertian tentang kehidupan remaja yang menyimpang dari berbagai pranata dan norma yang berlaku umum. Baik yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, tradisi, maupun agama, serta hukum yang berlaku. Lebih jelasnya pengertian kenakalan tersebut mengandung beberapa ciri pokok, sebagai berikut:

1. Tingkah laku yang mengandung kelainan-kelainan berupa perilaku atau

tindakan yang bersifat a-moral, a-sosial atau anti sosial.

10

Zakiah Daradjat, Perawatan Jiwa untuk Anak-anak, Cet 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 356.


(18)

10

2. Dalam perilaku atau tindakan tersebut terdapat pelanggaran terhadap

norma-norma sosial, hukum, dan norma agama yang berlaku dalam masyarakat.

3. Tingkah/perilaku, perbuatan serta tindakan-tindakan yang betentangan

dengan nilai-nilai hukum atau undang-undang yang berlaku yang jika dilakukan oleh orang dewasa hal tersebut jelas merupakan pelanggaran atau tindak kejahatan (kriminal) yang diancam dengan hukuman menurut ketentuan yang berlaku.

4. Perilaku, tindakan dan perbuatan tersebut dilakukan oleh kelompok usia

remaja.11

Konsep pendidikan anak dari Ki Hadjar Dewantara yang memegang prinsip keteladanan dan mengandung unsur menyenangkan serta membebaskan dalam proses pembelajarannya, sangat layak untuk dikaji lebih luas dan mendalam, yang nantinya pembahasan akan meliputi ranah keberhasilan pendidikan karakter dengan konsep keteladanan dalam upaya membentuk generasi anak bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia.

Dengan latar belakang kondisi bangsa Indonesia yang dicirikan oleh krisis multidimensi dan keterpurukan dalam berbagai dimensi sementara sumber daya potensial bangsa ini pun tidak terkira melimpah ruah, tetapi kondisi yang dirasakan oleh banyak orang (rakyat) adalah jauhnya kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan dari kehidupan masyarakat

11

M.Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Cet 5, (Jakarta: PT.Golden Trayon Press, 1994), h. 79-80


(19)

11

Indonesia saat ini. Kompleksitas masalah tidak dimaksudkan sebagai tuduhan terhadap kinerja pemerintah yang rendah, tetapi lebih kepada ajakan kepada semua pihak untuk bersinergi dalam pemecahan masalah bangsa ini secara

simultan, berkelanjutan, dan menyeluruh menuju Indonesia emas 2020.12

B. Batasan Masalah

Kajian ini diawali dengan kajian untuk memahami konsep keteladanan yang mengkaji secara khusus mengapa keteladanan dalam pendidikan karakter perlu untuk membangun dan mengeluarkan bangsa ini dari krisis multidimensi, lalu penulis tegaskan mengenai makna pendidikan karakter, tujuan pendidikan karakter, beberapa karakter yang perlu bagi bangsa Indonesia saat ini, dan eksplorasi mengenai persamaan dan perbedaan istilah yang sering digunakan dalam pendidikan karakter dengan mengkaji pemikiran Ki Hadjar Dewantara.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep pendidikan karakter perspektif Ki Hajar Dewantara?

2. Bagaimana konsep keteladanan perspektif Ki Hadjar Dewantara dalam

pendidikan karakter pada anak remaja?

D. Tujuan Penelitian

1. Menguraikan konsep pendidikan karakter pada anak remaja secara umum

perspektif Ki Hajar Dewantara

12

Dharma Kesuma, Cepi Triatna, Johar Permana, Pendidikan Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandug: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 8.


(20)

12

2. Menjelaskan konsep keteladanan perspektif Ki Hadjar Dewantara dalam

pendidikan karakter pada anak remaja yang dapat diaplikasikan di zaman sekarang

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya penulis dengan beberapa harapan:

1) Secara teoritis, tulisan ini dapat memberikan sumbangsih wacana

keilmuan yang berorientasi pada dunia pendidikan karakter dalam ruang lingkup pendidikan anak remaja.

2) Secara praktis, pembaca dapat merespon secara kritis, konstruktif,

sebagai problem solver terhadap problematika keteladanan di Indonesia di era global, khususnya berkaitan dengan wacana pendidikan karakter

3) Karya ini bagi penulis merupakan langkah awal dalam proses dan

dinamika keilmuan, proses pencarian dan pematangan karakter yang tak terhenti oleh ikatan ruang dan waktu, dan menjadi salah satu prasyarat menyelesaikan studi di UIN Sunan Ampel

F. Definisi Operasional

Judul skripsi ini tentang “Keteladanan dalam Pendidikan Karakter

Pada Anak Remaja (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara)” supaya tidak menyimpang dari alur dan substansinya, maka penulis akan mendefinisikan beberapa istilah dalam judul tersebut, antara lain:


(21)

13

1) Keteladanan: dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan, bahwa keteladanan berasal dari kata “teladan” yaitu perihal yang dapat (patut) ditiru atau dicontoh.Oleh karena itu keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh. Dalam bahasa Arab keteladanan diungkapkan dengan kata “uswah” dan “qudwah”. Kata “uswah” terbentuk dari huruf-huruf hamzah, as-sin, dan al-waw. Secara etimologi setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki persamaan arti yaitu

“pengomatan dan perbaikan”13

Dengan demikian keteladanan adalah tindakan atau setiap sesuatu yang dapat ditiru atau diikuti oleh seseorang dari orang lain yang melakukakan atau mewujudkannya, sehingga orang yang di ikuti disebut dengan teladan. Namun keteladanan yang dimaksud disini adalah keteladanan yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan Islam, yaitu keteladanan yang baik. Sehingga dapat didefinisikan bahwa metode keteladanan (uswah) adalah metode pendidikan yang diterapkan dengan cara memberi contoh-contoh (teladan) yang baik yang berupa prilaku nyata, khusunya ibadah dan akhlak.

2) Faktor: dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘faktor’ diartikan sebagai hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan

(mempengaruhi) terjadinya sesuatu.14 Dengan demikian faktor dapat

diartikan sebagai suatu hal yang dapat mempengaruhi terjadinya sesuatu.

13

Arif Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002, cet 1), h. 117.

14

http://kbbi.web.id/utama diakses pada tanggal 20 Desember 2015


(22)

14

3) Pendidikan Karakter: pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada

lingkungannya.15Sedangkan menurut Fakry Gaffar pendidikan

karakteradalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorangsehingga menjadi satu

dalam perilaku kehidupan orang itu.16

4) Remaja: di Negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa Latin “adolescere”

(kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi

dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa.17

5) Ki Hajar Dewantara: Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Beliau adalah putra kelima dari Soeryaningrat putra Paku Alam III. Pada waktu dilahirkan diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena beliau masih keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian nama lengkapnya menjadi Raden

Mas Soewardi Soeryaningrat.18

G. Metode Penelitian

15

Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa,

(Bogor: Indonesia Heritage Foundation,2004), h. 95

1616

Mohammad Fakry Gaffar, Pendidikan Karakter Berbasis Islam, (Disampaikan pada Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama, Yogyakarta, 2010)

17

Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet VIII 2013) h. 189

18

Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984), h. 8-9


(23)

15

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian ini dilakukan dengan bertumpu pada data kepustakaan tanpa diikuti dengan uji empirik. Jadi, studi pustaka disini adalah studi teks

yang seluruh substansinya diolah secara filosofis dan teoritis.19

Karena penelitian ini seluruhnya berdasarkan atas kajian pustaka atau literatur, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian kepustakaan ( Library Research ), maka penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat dalam ruang perpustakaan, artikel, Koran, dan

berbagai catatan yang ada di berbagai media elektrinik maupun cetak.20

2. Jenis dan Sumber Data

Untuk mendapatkan data atau keterangan dan informasi, peneliti mendapatkan informasi dari sumber data. Sumber data adalah subjek dari

mana data yang diperoleh.21 Adapun sumber datanya adalah:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diambil dari karya asli pada tokoh yang dibahas dalam penulisan skripsi. Disini penulis menggunakan beberapa sumber, yaitu:

19

Neong Muhadjir, Metode Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Saranin, 1996), h. 158-159

20

Mardialis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.28.

21

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.129


(24)

16

1) Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan

(Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, cet III, 2004)

2) Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan

(Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1977)

3) Ki Hajar Dewantara, Kenang-kenangan promosi doctor honoris

causa (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1964)

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder yaitu sumber data yang mengutip dari sumber lain, yang termasuk dari data sekunder di sini adalah dokumentasi, sarana dan prasarana, dan sumber data lainnya yang mendukung.

1) Mardialis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta:

Bumi Aksara, 1995)

2) Ima H. N. Hadi Soewito, Soewardi Soerjaningrat dalam

Pengasingan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985)

3) Ki Hariadi, Ki Hadjar Dewantara sebagai Pendidik, Budayawan,,

Pemimpin Rakyat dalam Buku Ki Hadjar Dewantara dalam Pandangan para Cantrik dan Mentriknya, (Yogyakarta: MLTS, 1989)

4) Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Departemen dan

Kebudayaan, 1983/1984)


(25)

17

5) Moch. Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara,

(Yogyakarta: MLPTS, 1963)

6) Dan sumber-sumber mendukung lainnya.

3. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini menggunakan

metode library research dan metode dokumenter.22

a. Library Research, adalah penelitian kepustakaan atau penelitian murni dengan mengumpulkan data-data kepustakaan yang relevan dengan obyek studi termaksud, baik dari buku, jurnal, majalah, surat kabar dan

sebagainya.23

b. Metode dokumenter yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, transkip buku, surat kabar, majalah, prasasti,

notulen rapat, catatan agenda dan sebagainya.24

Metode dokumenter merupakan metode paling tepat dalam memperoleh data yang bersumber dari buku-buku sebagai sumber dan bahan utama dalam

penulisan penelitian ini.25

4. Analisis Data

Data-data yang telah terkumpul tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut:

22

Burhan Bungun, Analisi Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003 ), h. 68

23

Sutrisno Hadi, Metode Riset, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, 1987), h. 9

24

Sanapiah Faisal, Metode Penelitian Pendidikan, ( Surabaya: Usaha Nasional, 1993),h. 133

25

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h.234


(26)

18

1) Metode analisa content atau isi. Analisis isi merupakan analisis ilmiah

tentang isi pesan suatu komunikasi.26 Analisis isi adalah teknik penelitian

untuk membuat inferensi-inferensi (proses penarikan kesimpulan berdasarkan pertimbangan yang dibuat sebelumnya atau pertimbangan umum; simpulan) yang dapat ditiru (replicable), dan shahih data dengan

memperhatikan konteksnya.27

2) Metode Analisis Historis, dengan metode ini penulis bermaksud untuk

menggambarkan biografi Ki Hadjar Dewantara , baik yang berhubungan dengan lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang dialami, demikian juga hal-hal yang meliputi riwayat pendidikan, latar belakang

pemikiran, serta karya-karyanya.28

3) Metode analisa deskriptif, yaitu suatu metode yamg menguraikan secara

teratur seluruh konsepsi dari tokoh-tokoh yang dibahas dengan lengkap tetapi ketat.29

Dari beberapa metode di atas yang paling dipusatkan dalam skripsi ini adalah metode content analysis atau penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa.

26

Noeng Muhadjir, Metode Kualitatif, h.159

27

Burhan Bungun, Analisi Data Penelitian Kualitatif, h.172-173

28

Anton Bakker, Drs. Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h.70

29

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Prasada, 1997), h. 100


(27)

19

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh gambaran tentang skripsi ini maka skripsi disusun dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB Pertama adalah pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.

BAB Kedua membahas tentang Biografi Ki Hajar Dewantara yang meliputi riwayat hidup, latar belakang pendidikan , karir Ki Hajar Dewantara, karya-karya Ki Hajar Dewantara dan siklus sosial Ki Hajar Dewantara.

BAB Ketiga membahas tentang pengertian umum keteladanan yang meliputi konsep keteladanan, Pendidikan keteladanan, tujuan keteladanan, Sistem keteladanan dan metode keteladanan dan pendidikan karakter pada anak, meliputi pengertian pendidikan karakter dan metode pendidikan karakter pada anak remaja. Adapun dalam pembahasan berikutnya akan diuraikan kajian pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang keteladanan dalam pendidikan karakter pada anak remaja.

BAB keempat, tentang mengenai pemikiran Ki Hajar Dewantara terkait keteladanan dalam pendidikan karakter pada anak remaja.

BAB kelima, adalah penutup. Berisi kesimpulan, saran dan penutup yang merupakan bab terakhir dalam skripsi ini.


(28)

BAB II

BIOGRAFI DAN KARYA KI HADJAR DEWANTARA

Ki Hadjar Dewantara merupakan figur yang selalu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia terutama di dunia pendidikan, sebagai tokoh yang mempunyai jiwa pejuang yang tidak kenal kata menyerah, sebagai seorang pemimpin yang dapat menuntun anak buahnya, sebagai seorang yang kritis terhadap dunia pendidikan, yang telah menghasilkan berbagai gagasan yang meliputi masalah politik dan budaya, sehingga beliau dikenal sebagai seorang pejuang, pendidik sejati dan sekaligus menjadi budayawan Indonesia.

Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, ia memang dikenal sebagai penggagas dan pemerhati utama pendidikan karakter Indonesia pertama. Lepas dari sosok Ki Hajar Dewantara secara pribadi, tiga semboyan beliau yang fenomenal terasa mampu menjadi pilar penopang dalam suksesnya seorang guru dalam menuntaskan pendidikan karakter di Indonesia yakni: “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang mempunyai arti ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangu semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan atau pihak-pihak yang dipimpinnya. Oleh karena itu, pendidikan Tamansiswa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara ini didasarkan atas prinsip atau slogan diatas, karena seorang guru atau pun orang tua harus menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah anak harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip tutwuri handayani, akan


(29)

21

memberikan anak kecil tumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya, namun tetap didampingi.

Sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan keteladanan (budi pekerti) sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Perkembangan yang tidak hanya dilihat dari jasmaninya, karena perkembangan jasmani tanpa diimbangi dengan keteladanan (budi pekerti) dapat berdampak buruk terhadap perkembangan manusia, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia yang sombong dan durjana.

Secara mendalam Ki Hadjar Dewantara tidak sepakat dengan system pendidikan yang diwariskan oleh kolonial belanda, orientasi pada pendidikan warisan tersebut hanya pada segi kognitif (penalaran) tanpa melihat dari segi yang lain, yaitu pendidikan keteladanan (budi pekerti/akhlak) sehingga produk yang dihasilkan oleh sistem pendidikan tersebut adalah lahirnya manusia yang sombong, tidak mempunyai perangai yang baik, sedangkan pembentukan moral yang baik merupakan tugas dari pendidikan teladan (akhlak). Dengan keteladanan dari seorang pendidik, anak didik diharapkan mampu menjadi manusia yang luhur dan berguna bagi nusa dan bangsa.

Kecerdasan otak bukanlah hal yang utama dalam pendidikan akan tetapi bagaimana peserta didik memiliki budi pekerti yang mulia merupakan tujuan utama dalam pendidikan. Sehingga peserta didik yang nantinya menjadi orang yang cerdas dan tidak akan menyalahgunakan kecerdasannya untuk mengintimidasi orang lain. Untuk mnumbuhkan perasaan dan kehalusan budi


(30)

22

pekerti, Ki Hadjar Dewantara mempunyai konsep tentang pendidikan karakter sebagai berikut:

A. Biografi Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 mei 1889. Beliau adalah putra kelima dari Soeryaningrat putra dari Paku Alam III. Pada waktu dilahirkan diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena beliau masih keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi

Soeryaningrat.1

Ki Hadjar Dewantara mengganti nama itu ketika beliau berusia 39 tahun, alasan beliau mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara adalah karena keinginan beliau untuk lebih merakyat atau lebih dekat dengan rakyat. Dengan mengganti nama tersebut, akhirnya Ki Hadjar Dewantara dapat leluasa bergaul dengan rakyat kebanyakan. Sehingga dengan demikian perjuangannya menjadi lebih mudah diterima oleh rakyat pada masa itu. Menurut silsilah susunan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara masih mempunyai alur keturunan dengan Sunan

Kalijaga.2 Dengan demikian selain Ki Hadjar dewantara merupakan

keturunan bangsawan beliau juga merupakan keturunan ulama karena masih mempunyai silsilah keturunan dengan Sunan Kalijaga. Oleh karena itu sebagai seorang keturunan bangsawan dan ulama, Ki Hadjar Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosio cultural dan religius yang

1

Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984), h. 8-9.

2

Ibid, h. 171.


(31)

23

tinggi serta kondusif. Pendidikan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara di lingkungan keluarga sudah mengarah dan terarah ke penghayatan nilai-nilai kultural dan religius sesuai dengan lingkungannya. Pendidikan dari keluarga yang tersalur melalui pendidikan adat dan sopan santun, kesenian dan pendidikan keagamaan turut mengukir jiwa kepribadiannya.

Pada masa itu pendidikan sangatlah langka, hanya orang-orang dari kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah saja yang dapat mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Ki Hadjar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) kecil mendapat pendidikan formal pertama kali pada tahun 1896, akan tetapi ia kurang senang karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama karena hanya seorang anak dari rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik dalam dunia politik sampai degan pendidikan. Ia juga menentang kolonialisme dan feodalisme yang menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan, kemerdekaan dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan

merata.3

Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah Gantung” antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah. Keduanya merupakan cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan di negeri

3

Bambang S Dewantara, Mereka yang Selalu Hidup Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara, (Jakarta: Roda Pengetahuan, 1981), h. 15-16.


(32)

24

Belanda. Pernikahannya diresmikan secara adat dan sederhana di Puri

Soeryaningratan Yogyakarta.4 Jadi Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar

Dewantara adalah sama-sama cucu dari Paku Alam III atau satu garis keturunan.

Sebagai tokoh nasional yang dihormati dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, Ki Hadjar Dewantara sangat kreatif, dinamis, jujur, sederhana, konsisten, konsekuen dan berani. Wawasan beliau sangat luas dan tidak berhenti berjuang untuk bangsanya hingga akhir hayat. Perjuangan beliau dilandasi dengan rasa ikhlas yang mendalam, disertai rasa pengabdian dan pengorbanan yang tinggi dalam mengantarkan

bangsanya ke alam merdeka.5 Karena pengabdiannya terhadap bangsa dan

Negara, pada tanggal 28 November 1959, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional”. Dan pada tanggal 16 Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara tanggal 2 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan keputusan Presiden RI

Nomor: 316 tahun 1959.6

Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 Apri 1959, di rumahnya Mujamuju Yogyakarta. Dan pada tanggal 29 April, jenazah Ki Hadjar Dewantara dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, kemudian diserahkan kepada Majelis Luhur Taman Siswa.

4

Hah. Harahap dan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan. Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan, (Jakarta: Gunung Aguna, 1980), h. 12.

5

Ki Hariyadi, Ki Hadjar Dewantara sebagai Pendidik, Budayawan, Pemimpin Rakyat, dalam Buku Ki Hadjar Dewantara dalam Pandangan Para Cantrik dan Mentriknya, (Yogyakarta: MLTS, 1989), H. 39.

6

Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, (Yogyakarta: MLPTS, cet II, 1962), h. XIII.


(33)

25

Dari pendopo Taman Siswa, jenazah diberangkatkan ke makan Wijaya Brata Yogyakarta. Dalam upacara pemakaman Ki Hadjar Dewantara dipimpin oleh Panglima Kodam Diponegoro Kolonel Soeharto. Dalam lingkungan budaya dan religius yang kondusif demikian Ki Hadjar Dewantara dibesarkan dan dididik menjadi seorang muslim khas jawa yang lebih menekankan aspek hakikat daripada syari’at. Dalam hal ini Pangeran Soeryaningrat pernah mendapat pesan dari ayahnya: “syari’at

tanpa hakikat adalah kosong, hakikat tanpa syari’at batal”.7

Selain mendapat pendidikan formal di lingkungan Istana Paku Alam tersebut. Ki Hadjar Dewantara juga mendapat pendidikan formal antara lain:

1. ELS (Europeesche Legere School). Sekolah Dasar Belanda III.

2. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.

3. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen) yaitu sekolah

kedokteran yang berada di Jakarta. Pendidikan di STOVIA ini tak dapat diselesaikannya, karena Ki Hadjar Dewantara sakit.

4. Europeesche Akte, Belanda 1914.8

Selain riwayat diatas Ki Hadjar Dewantara juga memiliki karir dalam dunia jurnalistik, politik dan sebagai pendidik sebagai berikut, diantaranya:

1. Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,

Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.9

7

Ibid, h. 137.

8

Gunawan, Berjuan Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah DalamBuku Peringatan 70 Tahun Taman Siswa, (Yogyakarta:MLPTS, 1992, h. 302-303.


(34)

26

Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.

Kendatipun Ki Hadjar Dewantara kurang berhasil dalam menempuh pendidikan tidak menjadi hambatan untuk berkarya dan berjuang. Akhirnya perhatiannya dalam bidang jurnalistik inilah yang menyebabkan Soewardi Soeryaningrat diberhentikan oleh Rathkamp, kemudian pindah ke Bandung untuk membantu Douwes Deker dalam mengelola harian De Express. Melalui De Express inilah Soewardi Soeryaningrat mengasah ketajaman penanya mengalirkan pemikirannya yang progresif dan mencerminkan kekentalan semangat kebangsaannya.

Tulisan demi tulisan terus mengalir dari pena Soewardi Soeryaningrat dan puncaknya adalah sirkuler yang menggemparkan pemerintah Belanda yaitu “Als Ik Eens Nederlander Was!” Andaikan aku seorang Belanda! Tulisan ini pula yang mengantar Soewardi Soeryaningrat ke pintu penjara pemerintah Kolonial Belanda, untuk kemudian bersama-sama dengan Cipto

Mangunkusumo dan Douwes Deker diasingkan ke negeri Belanda.10

9

Bambang Sokawati Dewantara, Mereka yang Selalu Hidup Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara, ibid. h. 48.

10

Gunawan, “Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal LelahPeringatan 70 Tahun Taman Siswa, (Yogyakarta: MLPTS, 1992), h. 303.


(35)

27

Tulisan tersebut sebagai reaksi terhadap rencana pemerintah Belanda untuk mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penindasan Perancis yang akan dirayakan pada tanggal 15 November 1913, dengan memungut biaya secara paksa kepada rakyat Indonesia.

Dengan tersebarnya tulisan tersebut, pemerintah Belanda menjadi marah. Kemudian Belanda memanggil panitia De Express untuk diperiksa. Dalam suasana seperti itu Cipto Mangunkusumo menulis dalam harian De Express 26 Juli 1913 untuk menyerang Belanda, yang berjudul “Kracht of Vress” (Kekuatan atau Ketakutan). Selanjutnya Soewardi Soeryaningrat kembali menulis dalam harian De Expres tanggal 28 Juli 1913 yang berjudul “Een Vorr Allen, Maar Ook Allen Voor Een” (satu buat semua, tetapi juga

semua buat satu).11

Pada tanggal 30 Juli Soewardi Soeryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap, seakan-akan keduanya orang yang paling berbahaya di wilayah Hindia Belanda. Setelah diadakan pemeriksaan singkat keduanya secara resmi dikenakan tahanan sementara dalam sel yang terpisah dengan seorang pengawal di depan pintu. Douwes Deker yang baru datang dari Belanda, menulis pembelaannya terhadap kedua temannya melalui harian De Express, 5 Agustus 1913 yang berjudul “Onze Heiden: Tjipto Mangoenkoesoemo En

11

Moch. Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: MLPTS, 1963), h. 299.


(36)

28

R.M. Soewardi Soeryaningrat” (Dia pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soeryaningrat). Untuk memuji keberanian dan kepahlawanan mereka berdua.

Berdasarkan putusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913 Nomor: 2, ketiga orang tersebut diintenir, Ki Hadjar Dewantara ke Bangka, Cipto Mangunkusumo ke Banda, dan Douwes Deker ke Timur Kupang. Namun ketiganya menolak dan mengajukan diekstenir ke Belanda meski dengan biaya perjalanan sendiri. Dalam perjalanan menuju pengasingan Ki Hadjar Dewantara menulis pesan untuk saudara dan kawan seperjuangan yang ditinggalkan dengan juful: “Vriheidsherdenking end Vriheidsberoowing” (peringatan kemerdekaan dan perampasan kemerdekaan). Tulisan tersebut dikirim melalui kapal “Bullow”

tanggal 14 September 1913 dari teluk Benggala.12

2. Pendiri National Onderwijs Institut Taman Siswa (Perguruan

Nasional Taman Siswa)

Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari pengasingan ke negeri Belanda. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal

12

Ibid, h. 21.


(37)

29

Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Melalui bidang pendidikan inilah Ki Hadjar Dewantara berjuang melawan penjajah Kolonial Belanda. Namun pihak Kolonial Belanda juga mengadakan usaha bagaimana cara melemahkan perjuangan gerakan politik yang dipelopori oleh Tamansiswa. Tindakan Kolonial tersebut adalah “Onderwijis Ordonantie 1932” (Ordinasi Sekolah Liar) yang dicanangkan oleh Gubernur Jenderal tanggal 17 September 1932. Pada tanggal 15-16 Oktober 1932 MLPTS mengadakan Sidang Istimewa di Tosari Jawa Timur untuk merundingkan ordinasi tersebut.

Media massa Indonesia hampir seluruhnya ikut menentang ordinasi tersebut. Diantaranya: Harian Perwata Deli, Harian Suara Surabaya, Harian Suara Unun dan berbagai organisasi politik (PBI , Pengurus Besar Muhammadiyah, Perserikatan Ulama, Perserikatan


(38)

30

Himpunan Istri Indonesia, PI, PSII dan sebagainya). Dengan adanya aksi tersebut, maka Gubernur Jendral pada tanggal 13 Februari 1933 mengeluarkan ordinasi baru yaitu membatalkan “OO” 1932 dan berlaku mulai tanggal 21 Februari 1933.

3. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.

Ki Hadjar Dewantara kembali ke tanah air di tahun 1918. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.

Menjelang kemerdekaan RI yakni pada pendudukan Jepang (1942-1945) Ki Hadjar Dewantara duduk sebagai anggota “Empat Serangkai” yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kyai Mansur. Pada bulan Maret 1943, Empat Serangkai tersebut mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang bertujuan untuk memusatkan tenaga untuk menyiapkan kemerdekaan RI, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Pada hari minggu Pon tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah RI terbentuk dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Moh. Hatta sebagai wakil presiden. Di samping itu juga


(39)

31

mengangkat menteri-menterinya Ki Hadjar Dewantara diangkat

sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.13

Pada tahun 1946 Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Ketua Panitia Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran RI, ketua pembantu pembentukan undang-undang pokok pengajaran dan menjadi Mahaguru di Akademi Kepolisian. Tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara menjadi Dosen Akademi Pertanian. Tanggal 23 Maret 1947, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI dan menjadi anggota Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat.

Pada tahun 1948, Ki Hadjar Dewantara dipilih sebagai ketua peringatan 40 tahun Peringatan Kebangkitan Nasional, pada kesempatan itu beliau bersama partai-partai mencetuskan pernyataan untuk menghadapi Belanda. Pada peringatan 20 tahun Ikrar Pemuda (28 Oktober 1948), Ki Hadjar Dewantara ditunjuk sebagai ketua pelaksana peringatan Ikrar Pemuda. Setelah pengakuan kedaulatan di Negeri Belanda Desember 1949 Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai anggota DPR RIS yang selanjutnya berubah sebagai DPR RI. Pada tahun 1950, Ki Hadjar Dewantara mengundurkan diri dari keanggotaan DPR RI dan kembali ke Yogyakarta untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tamansiswa sampai akhir hayatnya.

13

Bambang S Dewantara, Ki Hadjar Dewantara, Ayahku, (Jakarta: Pustaka Harapan, 1989) Cet. I, h. 111.


(40)

32

4. Boedi Oetomo

Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

5. Syarekat Islam cabang Bandung 1912

6. Pendiri Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran

nasionalisme Indonesia)

Di Belanda Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Deker, langsung aktif dalam kegiatan politik, di Denhaag Ki Hadjar Dewantara mendirikan “Indonesische Persbureau” (IPB), yang merupakan badan pemusatan penerangan dan propaganda pergerakan Nasional Indonesia.

Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hadjar Dewantara tetap aktif dalam berjuang. Oleh karena itu Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai sekertaris kemudian sebagai pengurus besar NIP (National Indische Partij) DI Semarang. Ki Hadjar Dewantara juga menjadi redaktur “De Bewenging”, majalah partainya yang berbahasa Belanda, dan “Persatuan Hindia” dalam bahasa Indonesia. Kemudian juga menjabat sebagai pimpinan harian De Express yang diterbitkan kembali. Karena ketajaman pembicaraan dan tulisannya yang


(41)

33

mengecam kekuasaan Belanda selama di Semarang, Ki Hadjar

Dewantara dua kali masuk penjara.14

Ki Hadjar Dewantara bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat

14

Moch. Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, Ibid, h. 22-23


(42)

34

kabar De Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.

Selain itu ada beberapa penghargaan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu sebagai berikut:

1. Bapak Pendidikan Nasional dan Pahlawan Pergerakan Nasional

Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.


(43)

35

2. Doctor Honoris Causa

Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu kebudayaan dari Universitas Negeri Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

B. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara

Sebagai seorang pendidik, budayawan dan seoarang nasionalis Ki Hadjar Dewantara mempunyai beberapa karya di masa hidupnya, karya-karya itu telah banyak dipublikasikan dan telah memberikan banyak sumbangsih terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, diantara karya-karya itu adalah sebagai berikut:


(44)

36

1. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian pertama: tentang pendidikan

Sebagai bapak pendidikan bagian terbesar perjuangan Ki Hadjar Dewantara terletak di lapangan pendidikan. Tulisan yang terbanyak mengenai pendidikan, itulah sebabnya dengan surat keputusan Presiden No. 316 tanggal 16 Desember 1959, hari lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, sebagai penghargaan dan penghormatan atas jasa beliau di bidang pendidikan nasional.

Dalam buku ini membicarakan gagasan dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam bidang pendidikan di antaranya tentang hal ihwal pendidikan Nasional. Tri Pusat Pendidikan, Pendidikan Kanak-Kanak, Pendidikan Sistem Pondok, Adab dan Etika (akhlak) keteladanan atau budi pekerti, Pendidikan dan Kesusilaan.

Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kesejahteraan rakyat tidak hanya dicapai melalui jalan politik, tetapi juga melalui pendidikan. Oleh karenanya timbullah gagasan untuk mendirikan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya. Untuk merealisasikan tujuannya, Ki Hadjar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa. Cita-cita perguruan tersebut adalah “saka” (“saka” adalah singkatan dari “Paguyuban Selasa Kliwon” di Yogyakarta, di bawah pimpinan Ki Ageng Sutatmo Suryokusumo).


(45)

37

Paguyuban ini merupakan cikal bakal perguruan taman siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Konsep ayu sarira (membahagiakan diri), mengayu-ayu bangsa (membahagiakan bangsa) dan mengmengayu-ayu-mengayu-ayu manungsa (membahagiakan manusia). Untuk mewujudkan gagasannya tentang pendidikan yang dicita-citakan tersebut. Ki Hadjar Dewantara menggunakan metode “Among” yaitu “tut wuri handayani”. (“Among” berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cita, dengan memberi kebebasan anak asuh bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut kemampuannya. “tut wuri handayani” berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kebebasan dan keleluasaan bergerak yang dipimpinnya. Tetapi ia adalah “handayani” mempengaruhi dengan daya kekuatannya dengan

pengaruh dan wibawanya.15 Metode among merupakan metode

pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan dilandasi dua dasar, yaitu

kodrat alam dan kemerdekaan.16

Metode among menempatkan anak didik sebagai subyek dan sebagai obyek sekaligus dalam proses pendidikan metode among mengandung pengertian bahwa seorang pamong/guru dalam mendidikharus memiliki rasa cinta kasih terhadap anak didiknya dengan meperhatikan bakat, minat, dan kemampuan anak didik dan

15

Ki Priyo Dwiarso, Sistem Among Mendidik Sikap Merdeka Lahir dan Batin,

(www.tamansiswa.org, akses 10 Mei 2016, 08:30)

16

I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1976), h. 89.


(46)

38

menumbuhkan daya inisiatif serta kreatifitas anak didiknya. Pamong tidak dibenarkan bersifat otoriter terhadap anak didiknya dan bersikap Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut wuri Handayani.

Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa remaja yang berumur 14-16 tahun berada dalam periode atau masa dimana mereka mencari hakikat jati diri, mulai melatih diri terhadap segala tingkah laku yang sukar atau berat dengan niat yang disengaja seperti perilaku sosial, mulai melatih dirinya lebih mandiri terutama dari orang tua, serta

mencari kenyamanan dan rasa damai dalam batinnya.17

2. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian kedua: tentang Kebudayaan

Dalam karyanya ini Ki Hadjar Dewantara menulis mengenai kebudayaan dan kesenian yang diantaranya: Asosiasi antara Barat dan Timur, pembangunan Kebudayaan Nasional, Pembangunan Kebudayaan di jaman Merdeka, Kebudayaan Nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Kesenian Daerah dalam Persatuan Indonesia, Islam dan Kebudayaan, Ajaran Pancasila dan lain-lain.

3. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian ketiga: tentang Politik dan

Kemasyarakatan.

Buku ini khusus memuat tulisan-tulisan mengenai politik antara tahun 1913-1922 yang menggegerkan dunia imperialis Belanda, dan tulisan-tulisan mengenai wanita dan perjuangannya.

17

Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, (Yogyakarta: MLPTS, cet IV, 2011), h. 488.


(47)

39

4. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian keempat: tentang Riwayat dan

Perjuangan Hidup Penulis

Dalam buku ini Ki Hadjar Dewantara banyak melukiskan kisah kehidupan dan perjuangan hidup perintis dan pahlawan kemerdekaan yakni Ki Hadjar Dewantara sendiri.

5. Pada tahun 1913 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Komite Bumi

Putera

Ki Hadjar Dewantara bersama Cipto Mangunkusumo mendirikan Komite Bumi Putera ini untuk memprotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda pari penjajahan Perancis yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913 secara besar-besaran di Indonesia.

6. Tahun 1918 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Kantor Berita

Indonesische Persbureau di Nederland.

7. Tahun 1944 Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Naimo

Bun Kyiok Sanyo (Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan).

8. Pada tanggal 8 maret 1955 ditetapkan pemerintah sebagai perintis

Kemerdekaan Nasional Indonesia.

9. Pada tanggal 17 Agustus Ki Hadjar Dewantara dianugerahi oleh

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI bintang maha putera tingkat I.


(48)

40

10.Pada tanggal 20 Mei 1961 Ki Hadjar Dewantara menerima tanda

kehormatan Satya Lantjana Kemerdekaan.18

18

Irna, H.N. Hadi Soewito, Soewardi Soeryaningrat dalam Pengasingan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 132.


(49)

BAB III

KONSEP UMUM KETELADANAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER

A. Konsep Umum dan Landasan Keteladanan

Keteladanan dan pendidikan karakter adalah dua hal yang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam menciptakan generasi yang berakhlak, bermoral dan berbudi pekerti, mengingat keadaan remaja Indonesia yang seiring berkembangnya zaman dan teknologi semakin membuat remaja krisis akhlak, moral dan budi pekerti. Oleh sebab itu dalam bab ini akan dipaparkan pengertian umum keteladanan dan pendidikan karakter beserta konsep dan aplikasinya dalam membentuk karakter remaja yang unggul dan berjiwa teladan.

Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode yang paling ampuh dan efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual dan sosial. Sebab, seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru. Disadari atau tidak, bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi, maupun spiritual. Meskipun anak berpotensi besar untuk meraih sifat-sifat baik dan menerima dasar-dasar pendidikan yang mulia, ia akan jauh dari kenyataan positif dan terpuji jika dengan kedua matanya ia melihat langsung pendidikan yang tidak bermoral. Memang yang mudah bagi pendidik adalah mengajarkan berbagai teori pendidikan kepada anak khususnya remaja, sedangkan yang sulit bagi anak adalah mempraktekkan


(50)

42

teori tersebut jika orang yang mengajar dan mendidiknya tidak pernah

melakukannya atau perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya.1

Dalam bahasa Arab kata “keteladanan” berasal dari kata “uswah” atau ada yang mengatakan berasal dari kata “qudwah”. Secara terminologi kata “keteladanan” belasal dari kata “teladan” yang artinya perbuatan atau segala

sesuatu yang patut ditiru atau dicontoh.2 Sedangkan secara etimologi

pengertian “keteladanan” yang diberikan oleh Al-Ashfahani, sebagaimana dikutip oleh Armai Arief, bahwa menurut beliau Uswah” dan “al-Qudwah” berarti suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia

lain, baik dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau kemurtadan.3

Dengan demikian keteladanan adalah tindakan atau segala sesuatu yang dapat ditiru atau diikuti oleh seseorang dari orang lain yang melakukan atau mewujudkannya, sehingga orang yang diikuti disebut dengan teladan. Namun keteladanan yang dimaksud disini adalah keteladanan yang dapat dihadikan sebagai alat pendidikan khususnya pendidikan Islam, yaitu keteladanan yang baik. Sehingga dapat didefinisikan bahwa metode keteladanan adalah metode pendidikan yang diterapkan dengan cara memberi contoh-contoh (teladan) yang baik yang berupa perilaku nyata.

Dalam al-Qur’an kata “teladan” diibaratkan dengan kata-kata “uswah”yang kemudian diikutu dengan kata “hasanah”, sehingga menjadi

1

Abdullah Nashih Ulwah, Pendidikan Anak Menurut Islam: Kaidah-Kaidah Dasar,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), h. 1-2.

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-2 Cet IV 1995), h. 129.

3

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, Cet II 2002), h. 117.


(51)

43

padanan kata “uswatun hasanah” yang berarti teladan yang baik. Dalam al-Qur’an kata “uswah” juga selain dilekatkan kepada Rasulullah SAW. Juga seringkali dilekatkan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk mempertegas keteladanan AL-Qur’an selanjutnya menjelaskan akhlak Rasulullah SAW yang tersebar dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an. Dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “uswatun hasanah” yang bisa diartikan dengan cara hidup yang diridhai oleh Allah SWT. sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan telah dilakukan pula oleh nabi Ibrahim dan para

pengikutnya.4

Jadi yang dimaksud dengan keteladanan dalam pengertiannya sebagai uswatun hasanah adalah suatu cara mendidik, membimbing dengan menggunakan contoh yang baik yang diridhoi Allah SWT sebagaimana yang tercermin dari erilaku Rasulullah dalam bermasyarakat dan bernegara.

Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat Indonesia saat ini. Terlebih dengan dirasakannya berbagai ketimpangan hasil pendidikan formal saat ini, semisal korupsi, perkembangan seks bebas pada kalangan remaja, narkona, tawuran, pembunuhan, perampokan oleh pelajar, dan pengangguran lulusan sekolah menengah atas. Semuanya dirasa lebih kuat ketika Negara ini dilanda krisis dan tidak kunjung beranjak dari krisis yang dialami.

Pendidikan karakter telah menjadi polemik di berbagai Negara. Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan karakter sejak

4

M. Sodiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta: CV Sientarama, 1988), h. 369.


(52)

44

lama. Sejatinya, pendidikan karakter merupakan bagian esensial yang menjadi tugas sekolah, tetapi selama ini kurang perhatian. Akibat minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan,

sebagaimana dikemukakan Lickona,5 telah menyebabkan berkembangnya

berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Seyogianya, sekolah tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian akademis, tetapi juga bertanggung jawab dalam membentuk karakter peserta didik. Capaian akademis dan pembentukan karakter yang baik merupakan dua misi integral yang harus mendapat perhatian sekolah. Namun, tuntutan ekonomi dan politik pendidikan menyebabkan penekanan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peran sekolah dalam pembentukan karakter.

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan, bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk

tindakan atau tingkah laku.6 Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak

jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya

dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang

yang berkarakter (a person of character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral.

5

Almusanna, Revitalisasi Kurikulum Muatan Lokal untuk Pendidikan Karakter Melalui Evaluasi Responsif, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol. 16 Edisi Khusus III, 2010), h. 247.

6

Arismantoro, Tinjauan Berbagai Aspek Character Building, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 29.


(53)

45

Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu pengembangan karakter dengan optimal). Hal ini berarti bahwa untuk mendukung perkembangan karakter peserta didik harus melibatkan seluruh komponen di sekolah baik dari isi aspek kurikulum (the content of the curriculum), proses pembelajaran (the procces of instruction), kualitas hubungan (the quality of relationships), penanganan mata pelajaran (the handling of discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, serta etos seluruh

lingkungan sekolah.7

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa keteladanan adalah sesuatu yang patut ditiru atau dicontoh. Sedangkan pendidikan karakter adalah usaha yang dilakukan secara sengaja dari seluruh dimensi sekolah untuk mengembangkan karakter dengan optimal.

1. Landasan Teologis

Metode pendidikan Islam dalam penerapannya banyak menyangkut wawasan keilmuan yang sumbernya berada di dalam al-Qur’an dan hadits. Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof. DR. Oemar Muhammad At-Toumy Al- Saibany, bahwa penentuan macam metode atau teknik yang dipakai dalam mengajar dapat diperoleh dengan

cara-7

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 14.


(54)

46

cara pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an, hadits, amalan-amalan

salaf al-shaleh dari sahabat-sahabat dan pengikutnya.8

Dalam al-Qur’an banyak dijelaskan metode pendidikan yang dapat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Metode tersebut mampu menggugah puluhan ribu kaum muslimin untuk membuka hati manusia agar dapat menerima petunjuk ilahi dan kebudayaan Islam. Diantara metode-metode itu yang paling penting dan paling menonjol adalah:

a. Mendidik dengan hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi

b. Mendidik dengan kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi

c. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qur’ani dan Nabawi

d. Mendidik dengan memberi teladan

e. Mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mau’idlah

(peringatan)

f. Mendidik dengan membuat targhib (senang), dan tarhib (takut).9

Sedangkan mendidik dengan memberi keteladanan memiliki dasar sebagaimana ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang dasar-dasar pendidikan antara lain:

ِﺜﺴ ﺴﷲ ﺴﺮﺴﺴذﺴو ﺴﺮِﺧ ﺒ ﺴمْﻮﺴـْﺒﺴو ﺴﷲﺒﻮُﺟْﺮﺴـ ﺴنﺎﺴ ْﻦﺴِّ ٌﺔﺴﻨﺴ ﺴﺣ ٌةﺴﻮُْأ ِﷲ ِلْﻮُ ﺴر ِْﰲ ُْ ﺴ ﺴنﺎﺴ ْﺪﺴﺴ

ﺒًﺮْـ

8

Oemar Muhammad At-Toumy Al-Saibany, Falsafah Pendidikan Islam, alih bahasa oleh Hasan Langulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 587.

9

Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, Cet. 3, 1996), h. 283


(55)

47

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan hari akhir dan dia banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).10

Ayat di atas sering diangkat sebagai bukti adanya keteladanan dalam pendidikan. Muhammad Qutb, misalnya mengisyaratkan sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam nahwa: “Pada diri Nabi Muhammad Allah menyusun suatu bentuk sempurna yaitu bentuk yang hidup dan abadi sepanjang sejarah masih berlangsung.”11

Keteladanan ini dianggap penting, karena aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang terwujud dalam tingkah laku (behavior). Untuk mempertegas keteladanan Rasulullah, al-Qur’an lebih lanjut menjelaskan akhlak Nabi yang tersebar dalam berbagai ayat di dalam al-Qur’an. Misalnya, dalam surat al-Fath disebutkan bahwa sifat Nabi SAW beserta pengikutnya itu bersikap keras terhadap orang-orang kafir akan tetapi berkasih saying pada mereka, senantiasa ruku’ dan sujud (shalat), mencari keridlaan Allah. Pada ayat lain dijelaskan bahwa diantara tugas yang dilakukan Nabi adalah menjadi saksi, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, penyeru kepada agama Allah dengan izinnya dan untuk menjadi cahaya yang meneranginya. (QS. Al-Ahzab:45-46).

Dalam ayat lain juga disebutkan dalam serangkaian doa:

10

TIM DISBINTALAD, Al-Qur’an dan Terjemah Indonesia, (Jakarta: Sari Agung, 2002), h. 627.

11

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 95.


(56)

48

ﺴْﲔِ ُِْ ﺎﺴﻨْﺴْﺟو ﺳُﲔْﺴأ ﺴةﺮُـ ﺎﺴﻨِِّّرُذﺴو ﺎﺴﻨِﺟﺒﺴوْزﺴﺒ ْﻦِ ﺎﺴﻨﺴ ْ ﺴ ﺎﺴﻨـﺴر ﺴنْﻮُْﻮُﺴـ ﺴﻦِْﺬﺒﺴو

ًﺎ ﺎﺴِﺒ

“Mereka berdoa: wahai Tuhan kami berikanlah kepada kami keluarga dari turunan yang menjadi cahaya mata (menyenangkan hati), jadikanlah kami teladan (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa.”

(QS. Al-Furqan: 74).12

Dalam ayat di atas kita dapat meneladani bagaimana contoh yang diberikan Rasulullah SAW dalam menjaga hubungannya dengan sesama muslim yang senantiasa berkasih sayang dan mempererat silaturrahmi atau ukhwah, dilain pihak Rasulullah SAW juga memperlihatkan betapa kita tidak boleh bekerja sama (menjalani hubungan kemitraan) yang didasarkan atas kekufuran. Bukan sbaliknya yang bekerja sama dengan orang-orang kufur dan bermusuhan dengan sesama muslim.

2. Landasan Psikologis

Secara psikologis manusia butuh akan teladan (peniruan) yang

lahir dari gharizah (naluri) yang bersemayam dalam jiwa yang disebut

juga dengan taqlid. Yang dimaksud peniruan disini adalah hasrat yang mendorong anak untuk meniru perilaku orang dewasa, atau orang yang

mempunyai pengaruh.13 Misalnya, dari kecil anak belajar berjalan,

berbicara, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Setelah anak bisa berbicara ia akan berbicara sesuai bahasa dimana lingkungan tersebut berada. Pada dasarnya peniruan itu mempunyai tiga unsur, yaitu:

12

TIM DISBINTALAD, Al-Qur’an..., h. 703.

13

Abdurrahman An-Nahlawi, PrinsipPrinsip..., h. 367.


(57)

49

a. Keinginan atau dorongan untuk meniru

b. Kesiapan untuk meniru

c. Tujuan meniru14

Sedangkan menurut Dr. AbduL Aziz Al-Qussy, pada dasarnya peniruan itu mempunyai dua unsur. Menurut beliau adanya unsure ketiga sudah pasti jika ada unsur pertama dan unsur kedua. Karena unsur ketiga

merupakan bertemunya unsur pertama dan kedua.15

3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis itu sendiri adalah dasar pelaksanaan yang berasal dari perundang-undangan pemerintah yang dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaannya. Sebagaimana yang tercantum pada Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pada Bab III pasal (4) ayat (4) yang berbunyi:

“Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran”.16

Berdasarkan landasan undang-undang di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seharusnya pendidikan di Indonesia menekankan pada konsep keteladanan, lalu dilanjutkan dengan membangun kemauan dan pengembangan kreatifitas peserta didik, agar supaya peserta didik tidak hanya mampu dalam segi keilmuan tetapi juga bermoral (berakhlak).

14

Ibid, h. 368-371.

15

Abdul Aziz Al-Qussy, Ilmu Jiwa, Prinsip-Prinsip dan Implementasinya dalam Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet I, 1976), h. 279.

16

Undang-Undang RI No 14 Tahun 2005 Tentang Guru, Dosen, dan No 20 Tahun 2003

Tentang SISDIKNAS, (Bandung: CV. Nusa Aulia, 2006), h. 103.


(58)

50

B. Konsep Umum Pendidikan Karakter

Di sekolah anak didik kita belum mendapatkan internalisasi nilai-nilai secara matang dan bermakna. Hal ini disebabkan dalam proses belajar mengajar masih terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif sehingga aspek afektif dan psikomotorik yang bermuatan karakter kurang diperhatikan. Hal ini diperparah lagi pembelajaran di sekolah masih berorientasi pada penguasaan materi untuk persiapan menghadapi ujian nasional. Sudah saatnya dalam pembelajaran menyeimbangkan antara penguasaan akademis yang tinggi dan penekanan karakter yang berbasis spiritual. Kombinasi dua hal tersebut bisa menjadikan bekal bagi anak didik untuk memenangkan kompetisi dalam dunia global. Kemampuan anak didik kita dalam logika dan analisi harus tetap didorong. Hal ini dikarenakan kemampuan anak didik kita dalam menjawab soal-soal yang menuntut kemampuan berpikir tinggi masih

rendah.17

Komponen afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh seseorang atau penilainya terhadap suatu objek. Komponen kognitif adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang mengenai objek. Adapun komponen psikomotorik adalah kecenderungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu berkenaan dengan kehadiran dengan objek sikap.

Dari penjelasan tentang pengertian sikap dapat dikemukakan bahwa penilaian kompetensi sikap dalah penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik yang

17

Dr. Kunandar, Penilaian Autentik: Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet III 2014), h. 18.


(59)

51

meliputi aspek menerima atau memerhatikan (receiving atau attending),

merespons atau menanggapi (responding), menilai atau menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelola (organization), dan berkarakter (characterization). Dalam kurikulum 2013 sikap dibagi menjadi dua, yaitu sikap spiritual dan sikap sosial. Bahkan kompetensi sikap masuk menjadi kompetensi inti, yakni kompetensi inti 1 (KI 1) untuk sikap spiritual dan kompetensi inti 2 (KI 2) untuk sikap sosial.

Dalam kurikulum 2013 kompetensi sikap, baik sikap spiritual (KI 1) maupun sikap sosial (KI 2) tidak diajarkan dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). Artinya kompetensi sikap spiritual dan sosial meskipun memiliki Kompetensi Dasar (KD), tetapi tidak dijabarkan dalam materi atau konsep yang harus disampaikan atau diajarkan kepada peserta didik melalui PBM yang terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Namun meskipun kompetensi sikap spiritual dan sosial harus terimplementasikan dalam PBM melalui pembiasaan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam keseharian melalui dampak pengiring

(nurturant effect) dari pembelajaran. 18

1. Nilai Pendidikan Karakter

Kemendiknas mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsaberasal dari beberapa sumber berikut yaitu agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Agama menjadi sumber pendidikan karakter karena Indonesia

18

Ibid, h. 104-105.


(60)

52

merupakan negara yang beragama sehingga nilai yang terkandung dalam agamanya dijadikan dasar dalam membentuk karakter. Pancasila digunakan sebagai sumber karena pancasila adalah dasar negara sehingga nilai-nilai pancasila menjadi sumber pendidikan karakter. Indonesia merupakan Negara yang memiliki keberagaman suku bangsa dan budaya sehingga nilai-nilai budaya dalam masyarakat menjadi sumber dalam pendidikan karakter. Tujuan pendidikan nasional menjadi sumber pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter dikarenakan semua bentuk pendidikan tidak boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan Nasional. Keempat sumber tersebut menjadi dasar pengembangan nilai-nilai lainnya yang akan dikembangkan dalam pendidikan karakter dan budaya bangsa. Berdasarkan keempat sumber itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter bangsa sebagai berikut:

1. Religius

Nilai religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur

Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi


(1)

85

islam, mencetak masyarakat muslim Indonesia yang berkarakter, berilmu dan berakhlak mulia.

2. Semakin disadari, tantangan dunia pendidikan semakin besar dan berat dimasa kini dan mendatang. Paradigma “pendidikan karakter” adalah jalan solusi yang baik mengingat banyaknya problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem penyimpangan remaja saat ini, sehingga diharapkan mampu bersaing dan siap berkompetisi dalam profesionalisme di dunia kerja.

3. Dikarenakan penyelenggaraan pengembangan dan pembaharuan konsep keteladanan dalam pendidikan karakter ini tidak mudah dan juga memerlukan proses yang bertahap jadi diperlukan adanya kontribusi dari pakar pendidikan dan umumnya dari seluruh elemen masyarakat Indonesia agar tercapai visi dan tujuan pendidikan yang dicita-citakan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor. MKDU: Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. IV 2004).

Almusanna. Revitalisasi Kurikulum Muatan Lokal untuk Pendidikan Karakter Melalui Evaluasi Responsif, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol. 16 Edisi Khusus III, 2010).

An-Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, Cet. 3, 1996).

Arifin, HM. Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).

Arifin, M. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Cet 5, (Jakarta: PT.Golden Trayon Press, 1994).

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006).

Arismantoro. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008).

Armai, Arief. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, Cet II 2002).

Aziz Al-Qussy, Abdul. Ilmu Jiwa, Prinsip-Prinsip dan Implementasinya dalam Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet I, 1976).

Bungun, Burhan. Analisi Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003).


(3)

87

Burhanudin, Tamyiz. Akhlak Pesantren Pandangan KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001).

Daien Indrakusuma, Amir. Pengantar Ilmu Pedidikan Islam, (Bandung, Al-Ma’arif, 1975).

Daradjat, Zakiah. Perawatan Jiwa untuk Anak-anak, Cet 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-2 Cet IV 1995).

Desmita. Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet VIII 2013).

Dewantara, Ki Hadjar. Karya Bagian I: Pendidikan, (Yogyakarta: MLPTS, cet IV, 2011).

Dewantara, Ki Hadjar. Menuju Manusia Merdeka, Cet I, (Yogyakarta: Leutika, 2009).

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran PAI, (Jakarta: 2006).

Epapalia, Diane dkk. human development (psikologi perkembangan), (Jakarta: kencana, 2008).

Fakry Gaffar, Mohammad. Pendidikan Karakter Berbasis Islam, (Disampaikan pada Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama, Yogyakarta, 2010) Gunawan. “Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun


(4)

88

H.N, Irna dan Soewito, Hadi. Soewardi Soeryaningrat dalam Pengasingan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985).

Hadi, Sutrisno. Metode Riset, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, 1987).

Harahap, Hah. dan Sokawati Dewantara, Bambang. Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan. Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan, (Jakarta: Gunung Aguna, 1980).

Hariyadi, Ki. Ki Hadjar Dewantara sebagai Pendidik, Budayawan, Pemimpin Rakyat, dalam Buku Ki Hadjar Dewantara dalam Pandangan Para Cantrik dan Mentriknya, (Yogyakarta: MLTS, 1989).

http://kbbi.web.id/utama diakses pada tanggal 20 Desember 2015

Kemendiknas. Bahan Pelatihan: Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa (Jakarta: Kemendiknas, 2010)

Kesuma, Dharma dkk. Pendidikan Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandug: PT Remaja Rosdakarya, 2013).

Kunandar. Penilaian Autentik: Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet III 2014)

Kurniawan, Syamsul. Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasnya Secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Cet I 2013).


(5)

89

Mardialis. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995).

Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, (Bogor: Indonesia Heritage Foundation,2004).

Muhadjir, Neong. Metode Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Saranin, 1996).

Muhaimin dan Mujib, Abd. Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya.

Muhammad At-Toumy Al-Saibany, Oemar, Falsafah Pendidikan Islam, alih bahasa oleh Hasan Langulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

Muhtar. Desain Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Misaka Galiza, 2003). Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007). Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Priyo Dwiarso, Ki. Sistem Among Mendidik Sikap Merdeka Lahir dan Batin,

(www.tamansiswa.org, akses 10 Mei 2016, 08:30)

Razzaqi, Ahmad. Mencetak Generasi Muslim Teladan, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010).

Sanapiah, Faisal. Metode Penelitian Pendidikan, ( Surabaya: Usaha Nasional, 1993).

Sodiq, M. Kamus Istilah Agama, (Jakarta: CV Sientarama, 1988).

Soeratman, Darsiti. Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984).

Sokawati Dewantara, Bambang. Ki Hadjar Dewantara, Ayahku, (Jakarta: Pustaka


(6)

90

Sokawati Dewantara, Bambang. Mereka yang Selalu Hidup Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara, (Jakarta: Roda Pengetahuan, 1981), h. 15-16. Suyudi, M. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an: Integrasi Epistemologi

Bayani, Burhani, dan Irfani, (Yogyakarta: Mikraj, 2005).

Tauhid, Moch. Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: MLPTS, 1963).

TIM DISBINTALAD. Al-Qur’an dan Terjemah Indonesia, (Jakarta: Sari Agung, 2002).

Tim Penyusun Kamus P.P.P.B. Dep. Dik. Bud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi Kedua 1999).

Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).

Ulwah, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Menurut Islam: Kaidah-Kaidah Dasar,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992).

Undang-Undang RI No 14 Tahun 2005 Tentang Guru, Dosen, dan No 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, (Bandung: CV. Nusa Aulia, 2006).

Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paolo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2009).

Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet V 2005).

Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet 2. 2012), h. 275. Zuhriah. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan,

(Jakarta: Bumi Aksara, 2008).