ProdukHukum BankIndonesia

(1)

(2)

1 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

Sampai dengan triwulan terakhir di tahun 2003, kestabilan makroekonomi dan moneter masih terus berlanjut yang mengindikasikan bahwa proses pemulihan ekonomi terus berlangsung. Pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2003 diperkirakan meningkat. Nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil pada level sebagaimana yang diperkirakan pada awal tahun. Kecenderungan penurunan inflasi terus berlangsung sejalan dengan stabilnya nilai tukar, ekspektasi masyarakat yang membaik, serta ketersediaan pasokan dalam negeri. Sementara itu, pertumbuhan uang primer t etap terkendali meskipun cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap uang kartal dalam rangka perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru. Kondisi-kondisi tersebut telah memberikan ruang bagi penurunan suku bunga instrumen moneter secara lambat dan berhati-hati. Seiring dengan penurunan suku bunga instrumen moneter tersebut, suku bunga pasar uang, suku bunga simpanan dan kredit menurun. Sejalan dengan hal tersebut, fungsi intermediasi perbankan menunjukkan peningkatan.

Pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2003 diperkirakan meningkat sebesar 4,55% lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh kegiatan konsumsi terutama konsumsi swasta serta ekspor. Sementara kegiatan investasi menunjukkan sedikit penurunan. Secara sektoral, pertumbuhan positif ditunjukkan oleh seluruh sektor ekonomi.

Nilai tukar rupiah dalam triwulan IV-2004 bergerak relatif stabil pada tingkat rata-rata sekitar Rp8.474 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah ini didukung oleh faktor fundamental dan sentimen positif yang terkait terutama dengan kemajuan program divestasi saham beberapa bank dan peningkatan credit rating Indonesia oleh Lembaga Pemeringkat Internasional. Sejalan dengan kestabilan kondisi makroekonomi dan moneter termasuk nilai tukar serta membaiknya sisi penawaran, laju inflasi masih dalam kecenderungan yang menurun. Inflasi IHK pada akhir triwulan IV-2003 tercatat rendah mencapai 5,06% (yoy). Penurunan laju inflasi ini didukung oleh kebijakan moneter yang berhati-hati khususnya dalam menyerap kelebihan likuiditas yang cenderung meningkat akibat faktor musiman pada akhir triwulan IV-2003. Kecenderungan menurunnya laju inflasi juga dipengaruhi oleh rendahnya dampak administered price serta terkendalinya

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN

DAN SISTEM PEMBAYARAN

TRIWULAN IV – 2003


(3)

harga beberapa bahan makanan yang biasanya cenderung fluktuatif serta membaiknya ekspektasi masyarakat.

Perkembangan besaran-besaran moneter khususnya uang beredar menunjukkan peningkatan sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dalam triwulan IV-2003. Uang primer menunjukkan peningkatan namun masih dalam batas-batas pengendalian Bank Indonesia. Sejalan dengan penurunan suku bunga tersebut, intermediasi perbankan juga terus menunjukkan perbaikan, walaupun belum seoptimal sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terlihat dari peningkatan nominal kredit dan pembiayaan alternatif melalui obligasi dan saham. Sejalan dengan kondisi moneter yang kondusif, stabilitas perbankan dan sistem keuangan dapat dipertahankan sampai dengan triwulan laporan. Kinerja dan tingkat kesehatan perbankan menunjukkan perbaikan.

Dalam triwulan mendatang, beberapa tantangan ekonomi masih harus dihadapi In-donesia. Prospek ekonomi negara maju dalam triwulan I-2004 dan keseluruhan tahun 2004 diperkirakan akan membaik, walaupun belum secara optimal mendorong sektor eksternal ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2004 diperkirakan akan meningkat. Sejalan dengan hal ini inflasi IHK diperkirakan akan naik, sementara nilai tukar Rupiah diperkirakan akan stabil dan cenderung menguat. Di bidang perbankan, proses intermediasi perbankan terus menunjukkan perbaikan namun belum begitu kuat. Melihat keseluruhan prospek ekonomi tahun 2004, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati antara lain masih adanya faktor risiko yang terkait dengan masih besarnya ekses likuiditas perbankan, serta perkiraan kenaikan suku bunga di beberapa negara maju.

Mempertimbangkan perkembangan dan prospek makroekonomi dan moneter sampai dengan akhir tahun 2003 dan tahun 2004, kebijakan moneter tetap diarahkan pada upaya mencapai sasaran inflasi jangka menengah dengan tetap memperkuat proses pemulihan ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, ruang bagi penurunan suku bunga tetap terbuka yang dilakukan secara berhati-hati meskipun dengan laju yang semakin melambat dan disesuaikan dengan upaya pencapaian sasaran inflasi. Sementara itu, di bidang perbankan, kebijakan diarahkan untuk melanjutkan upaya-upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dan perbankan serta mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan dan efisiensi operasional melalui moral suasion kepada bank-bank.

Laporan triwulan IV-2003 ini mencakup evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran dengan penekanan pada evaluasi pencapaian sasaran inflasi dan sasaran moneter lainnya. Sistematika penyajian laporan terbagi dalam beberapa bab. Bab 2 memaparkan evaluasi Bank Indonesia atas perkembangan kinerja makroekonomi dan kinerja inflasi. Selanjutnya bab 3, 4, 5 masing-masing memaparkan evaluasi atas kebijakan dan perkembangan di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Bab 6 mengemukakan pandangan Bank Indonesia


(4)

3 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

mengenai prospek ekonomi dan arah kebijakan mendatang termasuk permasalahan yang dihadapi perekonomian dan berbagai langkah yang akan ditempuh Bank Indonesia untuk mengatasinya. Dalam lampiran laporan ini juga disampaikan evaluasi kebijakan di bidang manajemen intern serta produk-produk hukum Bank Indonesia selama triwulan laporan. Secara keseluruhan, rangkuman dari materi laporan triwulan IV-2003 disajikan dalam Tinjauan Umum ini.

1. Evaluasi Perkembangan Inflasi dan Makroekonomi

1.1. Kinerja Inflasi dan Nilai Tukar

Sejalan dengan keberhasilan mempertahankan stabilitas moneter dan makroekonomi khususnya nilai tukar, laju inflasi selama triwulan IV-2003 menunjukkan kecenderungan yang menurun. Di samping itu, kestabilan makroekonomi dan moneter juga mendukung upaya menjaga ketersediaan pasokan dalam negeri baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor guna mengimbangi permintaan domestik yang meningkat. Laju inflasi IHK triwulan IV-2003 mencapai 5,06% (yoy) atau lebih rendah dari dibandingkan triwulan III-2003 yang mencapai 6,02% (yoy). Laju inflasi IHK yang cenderung menurun tersebut terutama dipengaruhi oleh rendahnya dampak administered price serta terkendalinya harga beberapa bahan makanan yang biasanya cenderung fluktuatif serta membaiknya ekspektasi masyarakat.

Pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil turut membantu kestabilan harga. Hal ini terlihat dari inflasi kategori traded yang menurun hingga mencapai 2,60% (yoy) dibandingkan triwulan III-2003 sebesar 3,93% (yoy). Sementara itu inflasi non traded juga menunjukkan sedikit melambat yakni dari 10,06% pada akhir triwulan III-2003 menjadi 9,65% (yoy) pada akhir triwulan laporan. Meningkatnya permintaan untuk bahan makanan seiring dengan faktor musimannya telah mendorong lebih tingginya inflasi kelompok food dibandingkan kelompok non food.

Dalam triwulan IV-2003, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil pada level rata-rata sekitar Rp8.474 per dolar AS. Secara point to point rupiah melemah 0,3% dari Rp8.395 per dolar AS menjadi Rp8.420 per dolar AS. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan tahun 2002, nilai tukar rupiah tahun 2003 telah menguat 6,29% secara point to point dan secara rata-rata menguat 8,71%.

Cukup stabilnya nilai tukar rupiah tersebut didukung oleh beberapa faktor positif baik fundamental maupun sentimen sehingga dapat menahan tekanan depresiasi rupiah , yang terutama diakibatkan oleh peningkatan valas untuk kebutuhan akhir tahun khususnya oleh BUMN menjelang akhir tahun, baik untuk kebutuhan pembiayaan impor maupun untuk pembayaran utang luar negeri. Membaiknya kondisi fundamental ekonomi


(5)

Indonesia antara lain tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kecenderungan menurunnya inflasi, dan membaiknya kinerja fiskal dan neraca pembayaran. Sementara itu, beberapa faktor positif yang mendukung sentimen positif antara lain : divestasi saham beberapa bank seperti BRI dan BII, penerbitan obligasi pemerintah, dan peningkatan credit rating Indonesia oleh Standard and Poor’s dan Fitch IBCA, serta Moody’s.

1.2. Kinerja Makroekonomi

Kinerja perekonomian nasional pada triwulan IV-2003 diperkirakan membaik dan tumbuh sebesar 4,55% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 3,93%. Di sisi permintaan, perbaikan kinerja ekonomi ini masih ditopang oleh kinerja sektor konsumsi, terutama sektor konsumsi swasta. Sementara itu, kegiatan investasi diperkirakan menunjukkan penurunan sejalan dengan penurunan pertumbuhan impor barang modal. Sumbangan operasi keuangan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi relatif netral seiring dengan berimbangnya ekspansi fiskal dan kebutuhan perekonomian pada akhir tahun 2003.

Konsumsi swasta dalam triwulan IV-2003 menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,29% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan konsumsi swasta ini antara lain terindikasi dari berbagai indikator seperti peningkatan indeks keyakinan konsumsi, peningkatan penjualan kendaraan bermotor, dan peningkatan impor barang konsumsi. Kegiatan konsumsi yang meningkat tersebut didukung oleh adanya kemudahan pembiayaan dan didorong oleh kecenderungan penurunan suku bunga.

Kinerja investasi dalam triwulan IV-2003 diperkirakan menurun dibandingkan triwulan sebelumnya. Beberapa indikator yang menunjukkan perkiraan ini antara lain kecenderungan penurunan indeks tendensi bisnis. Diffusion index untuk sentimen bisnis menunjukkan adanya penurunan pada industri transportasi, komunikasi, keuangan dan jasa. Indikator lain yang mendukung rendahnya kinerja investasi ditunjukkan dari pertumbuhan impor barang modal yang tercatat masih negatif dan pertumbuhan kredit investasi yang menurun. Rendahnya pertumbuhan impor barang modal ini juga sejalan dengan rendahnya realisasi investasi asing.

Sementara itu, ekspor non migas menunjukkan peningkatan dibanding triwulan sebelumnya. Peningkatan ini terutama disumbang oleh seluruh kelompok barang terutama kelompok barang tambang. Dengan demikian, kinerja ekspor barang dan jasa dalam triwulan IV-2003 diprakirakan mencatat pertumbuhan sebesar 0,73% (yoy). Peningkatan ini antara lain terkait dengan masih tingginya harga komoditas nonmigas di pasar internasional dan mulai membaiknya kondisi perekonomian di beberapa negara tujuan ekspor. Sementara


(6)

5 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

itu, sejalan dengan meningkatnya permintaan domestik telah mendorong pertumbuhan impor non migas.

Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi selama triwulan IV-2003 didukung oleh pertumbuhan positif di seluruh sektor pembentuk PDB. Sektor perdagangan, sektor pengangkutan, dan sektor industri pengolahan diperkirakan memberi sumbangan terbesar terhadap peningkatan kegiatan ekonomi selama triwulan laporan. Sektor perdagangan

Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi

1) Rata-rata tertimbang akhir periode

2) REER adalah indeks nilai tukar rupiah per mata uang negara mitra dagang yang dibobot dengan total ekspor dan impor dari 8 mitra dagang utama Indonesia.

* : Perkiraan Bank Indonesia ** : Angka bulan November 2003 *** : Angka Bulan Oktober 2003 Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia

Trw III Trw IV Trw I Trw II Trw III

Indikator 2002 2003

IHK (%) 3,63 0,77 0,46 1,24 2,51

Triwulanan (quarter to quarter) 10,03 7,12 6,62 6,20 5,06

Tahunan (year on year)

PDB (% pertumbuhan, tahunan) 3,8 3,4 3,8 3,9* 4,6*

Dari sisi permintaan :

Konsumsi Total 5,9 4,1 5,0 5,3* 6,0*

Investasi Total 8,9 5,5 1,7 0,03* -0,4*

Dari sisi produksi :

Pertanian 2,4 4,9 2,1 0,8* 3,6*

Pertambangan 5,7 -1,3 5,2 7,4* 5,6*

Industri Pengolahan 2,4 2,1 2,5 2,4* 2,8*

Sektor eksternal :

Ekspor non migas (fob, % pertumbuhan tahunan) 4,3 5,0 14,9 0.7 3,6**

Impor non migas (c&f, % pertumbuhan tahunan) -2,1 6,4 11,0 -5.1 6,6**

Transaksi berjalan (juta USD) 1.849 1.225 2.617 2.507 1.451

Posisi Utang LN (juta USD) 131.343 129.466 130.587 132.072 132.575***

Besaran Moneter (miliar RP)

M0 138.250 125.211 132.403 136.471 166.474

M1 191.939 181.239 195.219 207.587 224.318**

M2 883.908 877.776 894.554 911.223 944.647**

Suku bunga (%)1)

SBI 1 bulan 12,93 11,40 9,53 8,66 8,31

PUAB (overnight) 12,44 12,70 6,99 9,71 8,38

Deposito 1 bulan 12,81 11,90 10,31 8,17 7,48

Kredit modal kerja 18,25 18,08 17,41 16,36 15,45

Kredit investasi 17,82 17,85 17,43 16,7 15,93

Kurs (Rp/USD), nominal akhir periode 8.950 8.693 8.275 8.395 8.420

Real Effective Exchange Rate (REER)2), 1995=100 86,1 87,2 92,4 88,5 88,9


(7)

menunjukkan peningkatan kinerja seiring dengan berlangsungnya perayaan hari raya Idul Fitri. Selain itu, meningkatnya impor barang-barang ritel terutama dari Cina turut mendorong tingginya pertumbuhan sektor tersebut. Peningkatan sektor pengangkutan dan telekomunikasi seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap jasa angkutan dan telekomunikasi menjelang hari raya dan tahun baru.

2. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Moneter

Pada triwulan IV-2003, secara umum perkembangan besaran-besaran moneter menunjukkan kecenderungan meningkat namun tetap stabil dan terkendali. Sejalan dengan meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat menjelang perayaan beberapa hari keagamaan dan tahun baru, perkembangan uang primer menunjukkan peningkatan. Dalam kondisi meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat yang berakibat terhadap relatif ketatnya likuiditas perbankan dan dalam kondisi masih rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah, ruang bagi penurunan suku bunga moneter tetap terbuka namun dilakukan secara hati-hati dengan kecepatan yang lebih lambat dari triwulan sebelumnya. Penurunan suku bunga instrumen moneter tersebut telah ditransmisikan oleh penurunan suku suku bunga pasar uang antar bank (PUAB), simpanan dan kredit.

Selama triwulan IV-2003, perkembangan uang primer cenderung meningkat dan tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Posisi test date sementara akhir triwulan IV-2003 mencapai Rp152,1 triliun dan rata-rata test date sementara uang primer meningkat dari 11,28% (yoy) pada triwulan III-2003 menjadi 14,29% (yoy). Berdasarkan komponennya, peningkatan uang primer terutama disebabkan oleh peningkatan uang yang diedarkan khususnya uang kartal. Peningkatan uang kartal ini seiring dengan meningkatnya permintaan uang untuk kebutuhan transaksi sehubungan dengan perayaan hari besar keagamaan, hari-hari libur yang lebih panjang, dan perayaan akhir tahun. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dalam triwulan IV-2003, perkembangan uang beredar juga menunjukkan perkembangan yang meningkat. Pertumbuhan rata-rata M1 dan M2 (No-vember 2003) masing-masing 15,6% dan 8,0% (yoy) lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Operasi pasar terbuka (OPT) selama triwulan IV-2003 masih menunjukkan likuiditas perbankan yang relatif ketat terutama pada pertengahan triwulan sebagai akibat meningkatnya permintaan uang kartal masyarakat untuk perayaan hari keagamaan. Kondisi ini tercermin dari lebih rendahnya bidding perbankan dalam lelang SBI dibandingkan yang jatuh tempo terutama untuk SBI 1 tahun. Namun demikian, sejalan dengan relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan laju inflasi, ruang bagi penurunan suku bunga SBI secara hati-hati masih berlanjut meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat. Selama triwulan IV-2003, suku bunga SBI 1 dan 3 bulan hanya turun sebesar 35 bps dan 41 bps hingga masing-masing


(8)

7 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

mencapai posisi 8,31% dan 8,34% pada akhr periode. Penurunan ini lebih lambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang turun sebesar 87 bps dan 143 bps. Searah dengan perkembangan tersebut, suku bunga FASBI diturunkan sebesar 50 bps dan tercatat pada posisi 8,00%.

Sejalan dengan penurunan suku bunga SBI, suku bunga simpanan dan kredit bank juga menunjukkan arah yang sama. Suku bunga simpanan menurun secara signifikan, sementara suku bunga kredit masih menurun meskipun masih relatif lambat sebagai akibat pengaruh internal maupun eksternal perbankan. Di PUAB, suku bunga PUAB baik sessi pagi maupun sore menunjukkan penurunan sejalan dengan turunnya suku bunga instrumen moneter. Suku bunga rata-rata PUAB pagi dan sore pada triwulan IV-2003 masing-masing turun sebesar 55 bps dan 75 bps menjadi 8,38% dan 6,23%. Rata-rata tertimbang suku bunga deposito 1 dan 3 bulan menurun masing-masing sebesar 69 bps dan 100 bps. Penghapusan margin penjaminan suku bunga deposito yang berlaku pada November 2003 juga turut mendorong penurunan suku bunga deposito ini. Sementara itu, suku bunga kredit perbankan turun dengan kisaran 46-62 bps.

3. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Perbankan

Selama triwulan IV-2003 kebijakan bidang perbankan tetap difokuskan pada berbagai langkah untuk memperkokoh kondisi perbankan nasional sebagai kesinambungan pro-gram restrukturisasi perbankan. Propro-gram tersebut difokuskan untuk melanjutkan upaya program penyehatan lembaga perbankan dan pemantapan ketahanan sistem perbankan antara lain melalui pengembangan infrastruktur, peningkatan good corporate governance, serta penyempurnaan pengaturan dan pemantapan sistem pengawasan bank.

Dalam kerangka penyempurnaan ketentuan perbankan, dalam triwulan III-2003 Bank Indonesia telah mengeluarkan empat ketentuan yakni : (i) Ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Mar-ket Risk), (ii) Ketentuan tentang Posisi Devisa Neto (PDN); (iii) Ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan Untuk Pengembangan SDM BPR; (iv) Ketentuan tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.

Secara umum kinerja perbankan dan sistem keuangan dalam triwulan IV-2003 menunjukkan kestabilan. Hal ini antara lain didukung oleh semakin pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan Indonesia. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama dalam menghadapi tahun 2004 dan tahun-tahun selanjutnya. Sementara itu, beberapa indikator keuangan lainnya yang mempengaruhi kestabilan sistem perbankan dan keuangan relatif menunjukkan perbaikan.


(9)

Membaiknya kondisi perbankan terutama tercermin dari meningkatnya penghimpunan dana serta membaiknya tingkat profitabilitas dan permodalan. Perbaikan tingkat keuntungan yang tercermin dari ROA terutama terkiat dengan keberhasilan perbankan menahan penurunan secara drastis net interest margin (NIM) di tengah kecenderungan penurunan suku bunga. Sementara itu, likuiditas perbankan selama 2003 sangat memadai bahkan masih mengalami kelebihan likuiditas. Demikian pula, permodalan perbankan masih berada di atas angka 20% dan modal tersebut ternyata dapat tetap menyerap risiko usaha khususnya risiko kredit selama 2003.

Namun demikian, selama 2003 terdapat beberapa hal yang patut dicermati terutama dalam hal perkembangan kredit perbankan dan permodalan bank. Dalam hal perkembangan kredit perbankan, peningkatan posisi kredit dan kredit baru yang dikucurkan perbankan selama tahun 2003 lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan posisi kredit perbankan dan pertambahan kredit baru masing-masing sebesar Rp53,4 triliun dan Rp53,6 triliun (sampai dengan Oktober 2003), lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Rendahnya penyaluran kredit baru tersebut disertai pula dengan meningkatnya undisbursed loan perbankan yang selama 2003 mencapai Rp25,6 triliun (periode Januari sd Oktober 2003), lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp19,1 triliun. Tersendatnya penyaluran kredit tersebut tidak terlepas dari masih berlanjutnya rigiditas suku bunga kredit perbankan yang di satu sisi ditujukan untuk mempertahankan tingkat kleuntungannya.

Selain itu, penyaluran kredit selama 2003 masih didominasi oleh kredit konsumsi. Penyaluran kredit konsumsi selama 2003 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat (33,8% y-o-y), jauh lebih besar dibandingkan kredit untuk jenis penggunaan modal kerja dan investasi yang masing-masing sebesar 16,9% dan 7,4%. Sementara itu, posisi kredit properti mencapai sebesar Rp43,9 triliun (Oktober 2003) atau 10,3% dari total kredit perbankan, mengalami peningkatan dibandingkan posisi Desember 2002 sebesar Rp. 35,0 triliun.

Di sisi lain, pemulihan fungsi intermediasi perbankan dihadapkan pada tantangan semakin gencarnya perusahaan melakukan pembiayaan melalui penerbitan obligasi di pasar modal. Selama 2003, 43 emiten telah menerbitkan obligasi sebesar Rp19,2 triliun atau mencapai 35,8% kredit baru yang dikucurkan perbankan.

4. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran

Secara umum perkembangan aktivitas dalam sistem pembayaran baik tunai maupun non tunai dalam triwulan IV-2003 mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Di sisi pembayaran tunai, indikator-indikator pengedaran uang dalam triwulan IV-2003 menunjukkan pertumbuhan yang positif sejalan dengan penurunan suku bunga SBI dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah selama beberapa bulan terakhir.


(10)

9 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

Sesuai dengan arah kebijakan di sektor sistem pembayaran tunai, Bank Indonesia berupaya meningkatkan penyediaan uang untuk memenuhi peningkatan kebutuhan masyarakat akan uang kartal seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat khususnya dalam menghadapi perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru. Posisi Uang Yang Diedarkan (UYD) meningkat pada triwulan IV-2003 sebesar 16,80%. Peningkatan UYD tersebut juga sejalan dengan pola musiman yang berlaku selama ini khususnya dalam menghadapi perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru 2004. Sementara itu, persediaan uang kartal yang tercermin dari posisi kas nasional menunjukkan penurunan 19,63% dibandingkan triwulan sebelumnya.

Sementara itu, kebijakan di sektor sistem pembayaran non tunai diarahkan pada upaya penurunan risiko dan peningkatan efisiensi sistem pembayaran. Beberapa upaya yang ditempuh antara lain dengan menyusun RUU tentang Transfer Dana, menyusun konsep PBI Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan penyusunan Failure to Settle Arrangement. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan efisiensi sistem pembayaran Bank Indonesia terus melanjutkan pengembangan Nota Kredit Paperless (PNK).

Secara umum aktivitas sistem pemnÒyaran pada triwulan IV-2003 mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Aktivitas pembayaran non tunai melalui sistem BI-RTGS mengalami peningkatan, sedangkan transaksi melalui kliring menunjukkan penurunan. Sementara itu untuk perkembangan alat pembayaran berbasis kartu, seperti kartu kredit, kartu debit, dan penggunaan kartu ATM mengalami peningkatan yang antara lain disebabkan oleh makin meluasnya jaringan ATM.

Selama triwulan IV-2003, total aktivitas BI-RTGS mencapai nilai Rp6.233 triliun dengan jumlah transaksi sebanyak 1.166 ribu atau meningkat masing-masing sebesar 4,5% dan 15,7 % dibanding triwulan sebelumnya. Sementara itu, total nominal kliring penyerahan secara nasional menunjukkan penurunan menjadi sebesar Rp245,2 triliun dengan warkat sejumlah 15,27 juta lembar.

5. Prospek Ekonomi dan Moneter serta Arah Kebijakan Ke Depan

5.1. Prospek Ekonomi Makro

Prospek ekonomi pada triwulan I-2004 diperkirakan tetap membaik. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2004 diperkirakan meningkat, berkisar 4,3% - 4,8% (y-o-y). Konsumsi (khususnya swasta) sebagai sumber penopang utama ekonomi yang tumbuh sedikit melambat, sementara pertumbuhan investasi dan ekspor mengalami peningkatan. Sementara itu, konsumsi pemerintah diperkirakan masih tumbuh, meskipun cenderung rendah, mengikuti pola musiman fiskal.


(11)

Pertumbuhan investasi dan ekspor riil diperkirakan sedikit meningkat. Meningkatnya pertumbuhan investasi didukung oleh menurunnya suku bunga dan membaiknya tingkat kepercayaan investor seperti yang tercermin pada peningkatan persetujuan PMA/PMDN (meskipun PMA didominasi oleh alih status), peningkatan aktivitas di sektor properti dan hasil survey yang menunjukkan iklim bisnis yang membaik. Sementara itu pertumbuhan ekspor diperkirakan mulai membaik akibat membaiknya perekonomian dunia, meskipun masih terbatas.

Secara sektoral, kegiatan ekonomi diperkirakan akan meningkat dengan sumbangan terbesar berasal dari sektor perdagangan, sektor pertanian, dan industri pengolahan. Pertumbuhan tinggi di sektor perdagangan erat kaitannya dengan kondisi ekonomi dan politik. Pertumbuhan sektor pertanian disebabkan utamanya oleh panen raya dalam triwulan I-2004 (meskipun diwarnai banjir di beberapa daerah). Di sektor industri, meningkatnya kegiatan di sektor ini antara lain sebagai dampak positif pelaksanaan pemilu yang diperkirakan akan mendorong peningkatan produk industri tertentu.

Di sisi eksternal, perbaikan ekonomi dunia diperkirakan masih berlanjut pada triwulan I-2004, yang didukung oleh peningkatan perkiraan pertumbuhan ekonomi negara-negara AS, Eropa dan kawasan Asia. Nemun demikian, pemulihan ekonomi global diperkirakan belum sepenuhnya diikuti oleh perbaikan kinerja neraca pembayaran Indonesia. Surplus transaksi berjalan dalam triwulan I-2004 diperkirakan akan mengalami peningkatan, bersumber dari penurunan ekspor yang lebih rendah dibandingkan penurunan impor serta defisit neraca jasa yang mencatat penurunan dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara itu, kinerja ekspor nonmigas diperkirakan membaik dibandingkan triwulan I-2003 sejalan dengan semakin membaiknya permintaan dunia dan masih relatif tingginya harga komoditas nonmigas internasional. Di lain pihak, neraca modal diprakirakan akan mencatat peningkatan defisit, yang bersumber dari peningkatan defisit neraca modal swasta sebagai akibat pembayaran ULN swasta terutama oleh perusahan FDI. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa dalam triwulan I-2004 diperkirakan akan mencapai sebesar USD36,1 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

5.2. Prospek Nilai Tukar dan Inflasi

Pada triwulan I-2004 nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan bergerak relatif stabil dan sedikit menguat. Stabilitas nilai tukar diperkirakan akan ditopang oleh cadangan devisa yang diperkirakan masih relatif kuat dalam memelihara keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar valas. Faktor positif yang mendukung pergerakan nilai tukar rupiah antara lain adalah pola musiman permintaan valas awal tahun yang cenderung menurun,


(12)

11 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003

berlanjutnya kegiatan divestasi dan privatisasi, masih berlangsungnya ekspektasi positif sebagai dampak peningkatan credit rating Indonesia, serta adanya penerbitan obligasi valas pemerintah.

Namun demikian, terdapat beberapa faktor risiko yang berpotensi dapat menimbulkan tekanan depresiasi terhadap rupiah antara lain, meningkatnya faktor risiko berkaitan dengan Pemilu 2004, dan kemungkinan semakin membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang menimbulkan sentimen positif terhadap dollar AS. Dengan mempergunakan model BEER, hasil survey, dan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, nilai tukar rupiah dalam triwulan I-2004 diperkirakan akan bergerak relatif stabil dan sedikit menguat.

Pada triwulan I-2004, inflasi IHK selama triwulan I-2004 diperkirakan mencapai 5%-6% atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan cenderung menurun, mencapai 6%-7% (yoy). Perkembangan tersebut sejalan dengan perbaikan fundamental, khususnya nilai tukar dan ekspektasi inflasi masyarakat. Sementara itu, kondisi permintaan dan penawaran relatif seimbang, sehingga tidak memberi tekanan pada inflasi. Sedangkan perkembangan harga volatile food dan administered price diperkirakan akan sedikit meningkat.

5.3. Arah Kebijakan Triwulan Mendatang

Secara umum kondisi makroekonomi stabil dan cenderung membaik selama 2003. Kinerja neraca pembayaran, nilai tukar rupiah, dan laju inflasi lebih baik daripada proyeksi di awal 2003. Kebijakan makroekonomi (moneter dan fiskal) memegang peran kunci dalam mencapai kondisi makroekonomi yang membaik tersebut. Pelaksanaan kebijakan konsolidasi fiskal yang konsisten telah membantu meningkatkan kepercayaan terhadap stabilitas makroekonomi dan mengurangi tekanan inflasi di dalam negeri.

Sementara itu, pelaksanaan kebijakan moneter yang relatif longgar telah mendorong kenaikan permintaan agregat dan memberikan ruang gerak bagi pemulihan kondisi sektor usaha. Pada saat yang sama, kondisi ekses likuiditas yang terkendali dan pelaksanaan sterilisasi valas yang terukur mampu mendukung kestabilan harga dan nilai tukar rupiah. Dengan memperhatikan masih tingginya ekses likuiditas perbankan, maka kebijakan moneter akan tetap diarahkan pada upaya menjaga kestabilan harga dengan menyeimbangkan kondisi penawaran likuiditas sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Selain itu, upaya penurunan suku bunga yang melambat diharapkan dapat terus dimanfaatkan oleh perekonomian riil untuk menjaga momentum pertumbuhan yang telah dicapai.

Di bidang perbankan, dalam triwulan mendatang Bank Indonesia akan terus melanjutkan langkah restrukturisasi perbankan serta langkah-langkah penyehatan dan


(13)

pemantapan ketahaan perbankan. Selain itu, upaya memperkuat struktur perbankan nasional dalam ditempuh dalam kerangka penerapan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) secara bertahap serta meningkatkan fungsi intermediasi perbankan. Langkah-langkah kebijakan dalam kerangka program penyehatan perbankan dan ketahanan sistem perbankan akan tetap dilakukan melalui penerapan secara bertahap pengawasan bank berdasarkan risiko yang berorientasi pada penerapan manajemen risiko bank. Di samping itu, upaya pengembangan perbankan syariah terus dilanjutkan melalui penyempurnaan ketentuan, sistem pengawasan, dan infrastruktur pendukung lainnya.

Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan efektivitas pengedaran uang kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan masyarakat atas uang kartal termasuk pemenuhan masyarakat akan uang pecahan kecil yang layak edar dan mempercepat penarikan uang lusuh/tidak layak edar dari masyarakat. Di samping itu, Bank Indonesia juga terus melanjutkan kerjasama dan jejaring dengan pihak-pihak terkait dalam upaya penanggulangan terhadap uang palsu.

Di bidang sistem pembayaran non tunai, kebijakan diarahkan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran untuk terciptanya sistem pembayaran nasional yang efisien, cepat, aman dan handal guna mendukung kestabilan sistem moneter dan keuangan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalkan risiko sistem pembayaran, meningkatkan efisiensi dan kehandalan sistem pembayaran serta adanya perlindungan konsumen bagi para pemakai jasa sistem pembayaran. Beberapa langkah akan terus dilanjutkan antara lain yang terkait dengan RUU Transfer Dana, pengembangan nota kredit paperless (PNK), penyusunan review blue print sistem pembayaran nasional, penyusunan failure to settle scheme, pengkajian peningkatan peran BPR dalam sistem pembayaran serta strategi pengawasan sistem pembayaran.


(14)

13

Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

1 Peneliti Ekonomi dan Asisten Peneliti Ekonomi di Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, Bank Indonesia. 2 Clark, Tom and Andrew Dilnot, Measuring the UK Fiscal Stance since the Second World War, The Institute for Fiscal

Studies, Briefing Note No. 26

3 Perhitungan dampak multiplier operasi keuangan pemerintah terhadap perekonomian secara sederhana dapat dimulai dari fungsi consumsi yaitu bahwa pendapatan siap pakai yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Setiap rupiah belanja domestik pemerintah akan menjadi pendapatan bagi suatu pelaku ekonomi domestik, yang kemudian oleh pelaku ekonomi domestik tersebut dibelanjakan untuk membiayai konsumsinya. Proses yang sama akan berlanjut dari

Indikator Fiscal Impulse

untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

Decymus1 Diana Permatasari

Pendahuluan

Kajian terhadap operasi keuangan pemerintah atau saldo (surplus/defisit) anggaran sering digunakan untuk melihat arah kebijakan fiskal, apakah bersifat ekspansif atau kontraktif terhadap perekonomian pada suatu periode tertentu. Lebih jauh, kajian tersebut dimaksudkan untuk melihat apakah ada upaya dari pemerintah untuk mempengaruhi permintaan agregat agar bergerak menuju tingkat output yang diinginkan. Namun, berbagai penelitian membuktikan bahwa angka operasi keuangan atau saldo anggaran saja ternyata

tidak cukup untuk menjelaskan arah kebijakan fiskal.2

Oleh karena itu, perlu ada indikator lain untuk mengatasi kelemahan tersebut di atas. Indikator dimaksud adalah Fiscal Impulse yang dikembangkan oleh German Council of Economic Expert (GCEE) dan digambarkan secara detail oleh Dernberg (1975). Indikator ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh IMF dan oleh beberapa bank sentral di dunia

dipakai sebagai alat (tools) terutama untuk melakukan assessment terhadap hubungan

kebijakan fiskal dengan perekonomian.

Sebagai sebuah alat, indikator fiscal impulse masih memiliki kelemahan yaitu bahwa indikator ini hanya mampu menjelaskan sampai pada apakah stance kebijakan fiskal pada suatu periode bersifat kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian, namun tidak bisa menjawab berapa besar dampak atau efek multiplier dari operasi keuangan pemerintah tersebut terhadap perekonomian. Pengukuran dampak atau efek multiplier operasi keuangan pemerintah membutuhkan alat bantu lain yaitu berupa model makroekonomi seperti Macroeconometric Model of Singapore (MMS), New Zealand Treasury Model


(15)

suatu pelaku ekonomi domestik ke pelaku ekonomi domestik lainnya, dst. Secara agregat, kenaikan Rp1 belanja pemerintah –melalui proses multiplier— akan menyebabkan kenaikan lebih dari Rp1 pendapatan nasional (Lihat Mankiw, 2000). Secara matematis dapat ditulis:

∆ Y = (1 + MPC + MPC2 + MPC3 + ... ) * G, sehingga ∆ Y / ∆ G = (1 + MPC + MPC2 + MPC3 + ... )

∆ Y / ∆ G = 1 / (1-MPC)

Dengan MPC Indonesia sebesar 0,73 (yang biasa digunakan dalam model makroekonomi BI), maka angka multiplier belanja pemerintah terhadap PDB adalah sekitar 3,7.

4 Lihat Heller, Peter and others, A Review of the Fiscal Impulse Measure, IMF Occasional Paper No. 44 (May 1986).

Aspek Teoritis Indikator Fiscal Impulse (FI)

Indikator fiscal impulse pada dasarnya menggambarkan perkembangan besaran fiskal (surplus/defisit anggaran) yang telah dikonfrontasikan dengan perkembangan PDB agar kesimpulan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan stance kebijakan fiskal dalam suatu periode tertentu, apakah bersifat kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian. Secara matematis, indikator fiscal impulse tersebut dijabarkan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:4

FI = - ∆∆∆∆∆ B – g0∆∆∆∆∆ YP + t 0∆∆∆∆∆ Y,

dimana :

FI = fiscal impulse

T = penerimaan negara

G = belanja negara

∆ B = perubahan defisit/surplus (Bt – Bt-1) dimana B = T-G

g0 = G0/Y0, rasio belanja negara pada tahun dasar

t0 = T0/Y0, rasio penerimaan negara pada tahun dasar

∆ YP = perubahan PDB harga berlaku potensial (YP

t – Y P

t-1)

∆ Y = perubahan PDB harga berlaku (Yt – Yt-1)

Komponen pertama dalam persamaan tersebut (DB) menunjukkan perubahan ac-tual budget, sedangkan komponen kedua dan ketiga (– g0 ∆ YP + t

0 ∆ Y) menunjukkan

perubahan cyclically neutral budget. Secara sederhana, actual budget dapat diartikan sebagai selisih antara pendapatan dan belanja negara yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan cyclically neutral budget dapat diartikan sebagai selisih antara potensi pendapatan dan belanja negara yang dapat digarap oleh pemerintah sesuai perkembangan ekonomi (automatic sta-bilizer). Yang dimaksud pendapatan negara adalah pendapatan negara yang mengkontraksi perekonomian domestik, sedangkan belanja negara adalah belanja negara yang menginjeksi perekonomian domestik.

Persamaan di atas menjelaskan bahwa fiscal impulse dihitung dari perbedaan antara perubahan actual budget dari periode tahun dasarnya dengan perubahan cyclically neutral


(16)

15

Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

5 Karena alasan praktis, tahun dasar ditetapkan secara rolling base year dalam arti bahwa tahun lalu ditetapkan sebagai tahun dasar untuk mengukur stance kebijakan fiskal tahun ini.

6 PDB potensial dihitung dengan menggunakan metode Hodrick-Prescott Filter.

7 Decymus dan Dian Prima S., Manual Analisis Fiskal di Bank Indonesia, Bagian Analisis Perencanaan Kebijakan, Bank Indonesia, 2003.

Rincian

Tabel 1

Ilustrasi Penghitungan Fiscal Impulse (FI)7

Periode

t0 t1

I. Pendapatan (T) T t0 T ti

Pajak (kec. PPh Migas)

Pendpt. Neg. Bukan Pajak (kec. Migas)

II. Pengeluaran (G = C + I Tr) Gto=Cto + Ito + Tr to Gto=Cto + Ito + Tr to

1. Konsumsi Pemerintah - C Ct0 Ct1

Belanja Pegawai DN Belanja Barang DN Dana Alokasi Umum Dana Otonomi Khusus & Penyb. Pengeluaran Rutin Lainnya

2. Investasi Pemerintah - I It0 It1

Pembiayaan dlm. Rupiah Bantuan Proyek Dana Alokasi Umum

Dana Bagi Hsl & Dana Alok. Khusus

3. Pembayaran Transfer - Tr Trt0 Trt1

Bunga Utang Dalam Negeri Subsidi

III. Surplus(+) / Defisit(-) (Actual Balance) Bt0 = Tt0 - Gt0 Bt1 = Tt1 - Gt1

IV. Perubahan Actual Balance ( ∆∆∆∆∆ B) periode t dibanding periode sama tahun sebelumnya 1)

- dalam Triliun Rp ∆ B = Bt1 - Bt0

- dalam % thd PDB ∆ B/Yt1*100

V. Perubahan Actual Balance ( ∆∆∆∆∆ Bn) periode t dibanding periode sama tahun sebelumnya 2)

- dalam Triliun Rp ∆ Bn = (-go*∆ Yp + t0*∆ Y)

- dalam % thd PDB ∆ Bn/Yt1 *100

VI. Fiscal Impulse (FI) 3) FI = - B + B

n Memo items :

PDB Nominal (Y) Yt0 Yt1

PDB Potensial (Yp) Ypt0 Ypt1

Perubahan PDB Aktual ( ∆ Y) Yt1 - Yt0

Perubahan PDB Potensial ( ∆ Yp) Ypt1 - Ypt0

Rasio penerimaan negara terhadap PDB nominal pada tahun dasar t0 (to) Tt0 / Yt0 Rasio belanja Negara terhadap PDB nominal pada tahun dasar t0 (go) Gt0 / Yt0

Keterangan :

1. (+) = Kontraksi, jika - B t1 < - B t0 atauB t1 < - B t0 ; sebaliknya, jika - B t1 > - B t0 atauB t1 > - B t0

2. (+) = Kontraksi, jika ∆ Bn> 0; sebaliknya (-) = Ekspansi,jika ∆ Bn< 0

3. FI (+) = ekspansi,jika : ∆ Bn> eksp. pada ∆ Bn atau kontr. ∆ B < kontr. ∆ Bn; sebaliknya FI (-) = ekspansi,jika : ∆ Bn < eksp. pada ∆ Bn atau

kontr. ∆ B > kontr. ∆ Bn

FI (+) = netral, jika : eksp. ∆ B = eksp. ∆ Bn atau kontr. ∆ B = kontr. ∆ Bn

budget pada kedua periode tersebut. Tahun dasar adalah suatu tahun dimana PDB aktual

secara kasar diasumsikan sama dengan PDB potensial.5 Cyclically neutral budget diturunkan

dari actual budget pada tahun dasar dengan mengasumsikan bahwa pendapatan negara bersifat unitary elastic terhadap PDB aktual dan belanja negara bersifat unitary elastic terhadap

PDB potensial.6 Dengan demikian, belanja negara akan bersifat cyclically neutral jika ia

meningkat secara proporsional dengan peningkatan PDB potensial; hal yang sama berlaku untuk perubahan pendapatan negara terhadap perubahan PDB aktual.


(17)

Dengan konsep di atas, jika tidak terjadi perubahan kebijakan fiskal atau tidak ada diskresi pemerintah, perubahan actual budget akan sama dengan perubahan cyclically neu-tral budget, sehingga secara matematis angka fiscal impulse akan nol. Artinya, stance kebijakan fiskal bersifat netral. Sementara itu, jika perubahan surplus actual budget lebih besar dari perubahan surplus cyclically neutral budget atau perubahan defisit actual budget lebih kecil dari perubahan defisit cyclically neutral budget, maka angka fiscal impulse akan negatif. Artinya, pemerintah melakukan kontraksi fiskal dalam jumlah yang lebih besar dari kemampuan potensial perekonomian atau pemerintah melakukan ekspansi fiskal dalam jumlah yang lebih kecil dari kebutuhan potensial perekonomian. Hal yang sama berlaku sebaliknya, jika perubahan surplus actual budget lebih kecil dari perubahan surplus cyclically neutral budget atau perubahan defisit actual budget lebih besar dari perubahan defisit cyclically neutral bud-get, maka angka fiskal impulse akan positif. Artinya, pemerintah melakukan kontraksi fiskal dalam jumlah yang lebih kecil dari kemampuan potensial perekonomian atau pemerintah melakukan ekspansi fiskal dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan potensial perekonomian.

Berkaitan dengan stance kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah, Alesina dan Perotti (1995) mengkategorikan signifikansi stance kebijakan tersebut terhadap perekonomian

dalam beberapa skala sebagai berikut:8

Sangat longgar : jika FI lebih kecil dari –1,5% dari PDB

Longgar : jika FI antara –0,5% dan –1,5% dari PDB

Netral : jika FI antara –0,5% dan 0,5% dari PDB

Ketat : jika FI antara 0,5 dan 1,5% dari PDB

Sangat Ketat : jika FI lebih besar dari 1,5% dari PDB

Metode Pengolahan Data

Pengukuran fiscal impulse di Indonesia dilakukan dengan menggunakan data Operasi Keuangan Pemerintah Pusat (Central Government) dari tahun 1993 sampai dengan 2003. Untuk mengakomodir perubahan sistem tahun anggaran sejak tahun 2001, maka data historis triwulanan APBN sampai dengan tahun anggaran 2000 yang semula dalam bentuk tahun fiskal dirobah menjadi tahun kalender.

8 Philip, Renee dan John Janssen, Indikator of Fiscal Impulse for New Zealand, New Zealand Treasury Working Paper 02/30, Desember 2002. Alesina dan Perotti menggunakan budget balance sebagai indikator fiscal impulse, sehingga positif mengindikasikan surplus, negatif mengindikasikan defisit.


(18)

17

Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

9 Dampak injeksi fiskal terhadap permintaan agregat dalam bentuk pembayaran bunga utang dalam negeri masih dipertanyakan karena belanja pemerintah dalam bentuk ini pada dasarnya masih merupakan bail-out pemerintah untuk menutup kerugian sektor perbankan. Sebagai informasi, Monetary Authority of Singapore (MAS) dan beberapa negara tidak memasukkan pengeluaran pemerintah dalam rangka menolong perusahaan negara yang akan bangkrut (bail-out) dalam perhitungan FI. Data-data APBN tersebut kemudian diolah untuk mengukur fiscal impulse Indonesia dengan metode sebagai berikut:

1. Pendapatan negara (T) mencakup semua pendapatan negara di luar penerimaan migas, pajak migas dan hibah. Penerimaan migas, pajak migas dan hibah dikeluarkan dari perhitungan karena dari sisi anggaran negara tidak bersifat mengkontraksi perekonomian.

2. Belanja negara (G) mencakup belanja pegawai, belanja barang, bunga utang dalam negeri, bunga utang dalam negeri, subsidi, pengeluaran rutin lainnya, anggaran pembangunan

dan anggaran untuk daerah.9 Komponen belanja lainnya seperti pembayaran bunga

utang luar negeri, belanja pegawai luar negeri dan barang luar negeri dikeluarkan dari perhitungan karena tidak bersifat menginjeksi perekonomian.

3. Tahun dasar menggunakan metode rolling base year yaitu angka suatu triwulan

dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya, sedangkan perhitungan tahunan didapat dengan membandingkan angka suatu tahun dengan tahun sebelumnya. Teknik ini berguna untuk menetralkan faktor musiman dan siklikal baik anggaran maupun PDB.

4. Dengan menggunakan metode tahun dasar seperti pada butir 3, maka analisis FI ditujukan untuk melihat stance kebijakan fiskal pada suatu triwulan dibanding triwulan yang sama pada tahun sebelumnya atau suatu tahun dibanding tahun sebelumnya.

Pengukuran Fiscal Impulse Indonesia

Pengukuran fiscal impulse Indonesia dengan menggunakan data APBN yang telah diolah dengan menggunakan metode tersebut di atas memberikan gambaran sebagai berikut:

1. Pada periode sebelum krisis 1998, pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi sebelum akhirnya mulai menurun pada tahun 1997. Memanfaatkan momentum pertumbuhan

tersebut, pemerintah terlihat menjalankan stance kebijakan fiskal yang kontraktif

dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun magnitude-nya cenderung menurun menuju

tahun 1996 (Grafik 1). Stance kebijakan yang bersifat kontraktif tersebut dilakukan


(19)

Grafik 1.

Stance Kebijakan Fiskal Indonesia

Triliun Rp. % thd. PDB

-20.0 -10.0 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 110.0 120.0 130.0 140.0

FI (skala kiri); (+) = ekspansi Pertmb. PDB (skala kiri) Perub. Penerimaan (skala kanan) Perub. C + I + Tr (skala kanan) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004*) (15.0) (14.0) (13.0) (12.0) (11.0) (10.0)(9.0) (8.0) (7.0) (6.0) (5.0) (4.0) (3.0) (2.0) (1.0)0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0

2. Pada saat krisis 1998, pertumbuhan ekonomi berbalik menjadi negatif yang cukup tajam

sehingga pemerintah menerapkan stance kebijakan yang sangat ekspansif untuk

mencegah krisis yang semakin dalam. Kebijakan tersebut dijalankan pemerintah melalui peningkatan yang cukup tajam pada pos belanja negara, khususnya dalam bentuk subsidi dan jaring pengaman sosial (JPS). Pada tahun 1999, mulai terjadi recovery ekonomi dan pertumbuhan ekonomi mulai positif. Pada periode yang sama, pemerintah kembali

mengambil stance kebijakan fiskal yang bersifat kontraktif yang terutama dilakukan

melalui pengurangan alokasi anggaran belanja untuk subsidi dan JPS, karena dinilai kurang tepat sasaran. Pada tahun 2000, pertumbuhan ekonomi makin positif, namun stance kebijakan fiskal terlihat ekspansif. Namun, hal ini sebenarnya lebih disebabkan karena perubahan tahun anggaran dari fiskal menjadi kalender yang menyebabkan terjadinya dua kali akhir tahun anggaran. Berdasarkan pola musiman APBN, pengeluaran pemerintah pada triwulan terakhir tahun anggaran selalu jauh lebih besar dari tiga triwulan lainnya.

3. Pada tahun 2001 dan 2002, pertumbuhan ekonomi masih positif dan stance kebijakan

fiskal bersifat kontraktif. Pada kedua tahun ini, pemerintah terlihat sangat mengendalikan anggaran belanja melalui penurunan tajam pada subsidi untuk menutup besarnya pembayaran bunga utang dalam negeri, meskipun di sisi lain mencoba memberikan stimulus bagi perekonomian melalui fasilitas perpajakan. Phase ini sering disebut juga sebagai phase konsolidasi fiskal untuk menjamin tercapainya kondisi fiskal yang sustainabel.


(20)

19

Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

10 Jika mengacu pada konsep kategori stance kebijakan fiskal oleh Alesina dan Perotti (1995), stance pada tahun 2003 masih termasuk dalam kategori netral (-0,5% s/d 0,5% dari PDB).

11 Untuk pengujian sustainabilitas fiskal, lihat Decymus, Wahyu A. Nugroho, Bambang Kusmiarso dan T.M. Arief Macmud dalam “Kesinambungan Fiskal Indonesia Jangka Menengah, Program Kerja Strategis DKM, Bank Indonesia, 2001.

Grafik 2.

Perubahan Actual Budget dan Cyclically Neutral Budget

% thd PDB

8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 -1,0 -2,0 -3,0 -4,0 -5,0 -6,0 -7,0

Perub. Cyclically Neutral Budget: (+) surplus, (-) defisit

Perub. Actual Budget: (+) surplus, (-) defisit Fiscal Impulse: (+) ekspansi, (-) kontraksi

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004*)

4. Pada tahun 2003, pemerintah terlihat akan menjalankan kebijakan fiskal yang relatif

netral dibandingkan tahun sebelumnya.10 Meskipun masih relatif terbatas, penurunan

alokasi anggaran untuk subsidi dikompensasi dengan peningkatan alokasi anggaran untuk pengeluaran pembangunan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat dan DPR akan stimulus fiskal. Dari sisi sustainabilitas fiskal, langkah ini dimungkinkan karena mulai terbukanya ruang gerak pemerintah untuk melakukan ekspansi, sejalan dengan terus menurunnya rasio utang terhadap PDB dan mulai

bergulirnya kebijakan pengelolaan utang seperti kebijakan reprofiling dan refinancing

utang dalam negeri.11

5. Sebagaimana telah dibahas dalam tinjauan teoritis FI, secara teknis stance kebijakan fiskal juga dapat dijelaskan sebagai hasil dari perkembangan dua aspek anggaran yaitu diskresi pemerintah dan dan dampak automatic stabilizer anggaran dalam merespons aktivitas perekonomian. Diskresi pemerintah tercermin dari perubahan actual budget, sedangkan dampak automatic stabilizer anggaran tercermin dari perubahan cyclically neutral budget. Pada periode 1995 – 1997, perhitungan actual budget pada tiap-tiap tahun menunjukkan bahwa pemerintah menjalankan kebijakan anggaran yang relatif netral (Grafik 2). Namun, perhitungan cyclically neutral budget menunjukkan bahwa sesuai perkembangan ekonomi pemerintah seharusnya menjalankan kebijakan anggaran yang bersifat ekspansif pada


(21)

12 Metode konvensional untuk mengukur dampak awal operasi keuangan pemerintah terhadap sektor riil hanya didasarkan atas hubungan langsung antara pengeluaran konsumsi dan investasi pemerintah (atau PDB sektor pemerintah) terhadap PDB. Konsumsi pemerintah mencakup Belanja Pegawai Dalam Negeri, Belanja Barang Dalam Negeri, Sekitar 80% dari Dana Alokasi Umum (proksi), Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang, dan Pengeluaran Rutin Lainnya. Investasi pemerintah mencakup Pembiayaan Rupiah, Pembiayaan Proyek, Sekitar 20% dari Dana Alokasi Umum (proksi), Dana tiap-tiap tahun tersebut. Dengan kata lain, diskresi anggaran yang ditetapkan pemerintah kurang longgar dibandingkan automatic stabilizernya. Pada kondisi demikian, dikatakan bahwa pemerintah menempuh stance kebijakan fiskal yang lebih kontraktif dibandingkan tahun sebelumnya.

6. Situasi yang hampir serupa juga terjadi pada tahun 1999, 2001, dan 2002. Pada tahun-tahun tersebut pemerintah menempuh kebijakan fiskal yang bersifat netral dan kontraktif pada saat automatic stabilizer anggaran menunjukkan angka ekspansif. Situasi yang unik terjadi pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, pemerintah justru melakukan menempuh

kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif pada saat automatic stabilizer anggaran

memungkinkan pemerintah untuk menempuh kebijakan anggaran yang bersifat kontraktif. Pada kondisi ini, dikatakan bahwa pemerintah menempuh stance kebijakan fiskal yang lebih ekspansif dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2003, pemerintah menempuh kebijakan fiskal bersifat netral yang ditunjukkan oleh angka actual budget yang hampir sama dengan cyclically neutral budget. Sementara itu, pada tahun 2004 pemerintah merencanakan untuk menempuh kebijakan yang kontraktif pada

saat automatic stabilizer anggaran sebenarnya memungkinkan pemerintah untuk

menempuh stance kebijakan yang netral.

Penutup

Pengukuran fiscal impulse ini harus dibedakan dengan pengukuran dampak

rupiah operasi keuangan pemerintah. Pengukuran fiskal impulse lebih ditujukan untuk mengukur dampak bersih kontraksi dan injeksi fiskal terhadap PDB, sedangkan pengukuran dampak rupiah lebih ditujukan untuk mengukur dampak bersih seluruh kontraksi penerimaan (termasuk pembiayaan) rupiah dan ekspansi belanja rupiah pemerintah terhadap jumlah uang beredar. Dengan batasan tersebut, maka beberapa transaksi rupiah pemerintah yang diperhitungkan sebagai dampak rupiah APBN terhadap jumlah uang beredar seperti penerbitan utang dalam negeri dan amortisasi utang dalam negeri tidak termasuk dalam perhitungan fiscal impulse.

Pengukuran fiscal impulse dapat memperkaya metode konvensional yang biasa digunakan selama ini untuk mengukur dampak awal keuangan pemerintah terhadap sektor


(22)

21

Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal

Bagi Hasil, dan Dana Alokasi Khusus. Sementara itu, Beban Bunga Utang Dalam Negeri dan Subsidi tidak termasuk dalam kedua kategori tersebut karena dianggap merupakan transfer payment sektor pemerintah ke sektor swasta yang nantinya akan mempengaruhi pembentukan PDB sektor swasta.

dan penerimaan bukan pajak sebagai besaran fiskal yang bersifat mengkontraksi perekonomian dan dimasukkan unsur perkembangan PDB dalam perhitungan sehingga mampu mengidentifikasi ada tidak unsur diskresi atau upaya pemerintah untuk mempengaruhi permintaan agregat.

Pengukuran fiscal impulse pada dasarnya berguna untuk mengukur magnitude awal dari stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah, namun tidak dimaksudkan untuk menghitung keseluruhan dampak (full impact) dari kebijakan fiskal terhadap permintaan agregat. Pengukuran keseluruhan dampak tersebut membutuhkan alat analisis lain yang mampu menghubungkan dampak kebijakan fiskal terhadap berbagai blok ekonomi lainnya dan terintegrasi dalam suatu bentuk macroeconometric model atau analisis input-output.


(23)

R e f e r e n s i

1. Macroeconomic Review, Monetary Authority of Singapore, January 2002. 2. N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, Fourth Edition, 2000.

3. Peter Heller and others, A Review of the Fiscal Impulse Measure, IMF Occasional Paper No. 44, May 1986.

4. Renee Philip and John Janssen, Indicators of Fiscal Impulse for New Zealand, New Zealand Treasury Working Paper 02/30, December 2002.

5. Tom Clark and Andrew Dilnot, Measuring the UK Fiscal Stance since the Second World War, The Institute for Fiscal Studies, Briefing Note No. 26.

6. Decymus, Wahyu A. Nugroho, Bambang Kusmiarso dan T.M. Arief Macmud, Kesinambungan Fiskal Indonesia Jangka Menengah, Bank Indonesia, 2001.


(24)

23 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

PENGUJIAN VALIDITAS DATA STOK KAPITAL

DAN PERKEMBANGAN STOK KAPITAL INDONESIA

Gunawan Wicaksono dan Eko Ariantoro1 )

• Data stok kapital hasil perhitungan metode Perpetual Inventory Method (PIM) dalam kurun waktu periode 1980-2002 cukup valid untuk digunakan dalam analisis ekonomi makro, seperti estimasi output potensial dan analisis kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Data stok kapital sektoral memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan variabel ekonomi makro lainnya. Data stok kapital tersebut dapat disajikan dalam bentuk matrik balk menurut jenis barang modal maupun sektor ekonominya.

• Dengan menggunakan data matriks stok kapital menurut jenis barang modal dan sektor ekonomi selama periode 1980-2002, stok kapital Indonesia ternyata didominasi oleh jenis barang modal bangunan, terutama yang berada pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor pemerintahan umum.

• Pertumbuhan stok kapital pada periode 1990-2000 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan periode 1980-1990, kecuali pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 dimana stok kapital mengalami pertubuhn negatif.

1 Penulis merupakan para peneliti ekonomi di Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak termasuk pimpinan Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter khususnya Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah yang telah membantu editing penulisan hasil penelitian ini termasuk Sdr. Cicik Yuniarsih dan A. Reina Sari yang membantu updating data stok kapital.


(25)

I. PENDAHULUAN

Penerapan kerangka kebijakan inflation targeting (IT) di Bank Indonesia memerlukan

antara lain penyiapan model ekonomi berikut data pendukung yang baik untuk menghitung proyeksi inflasi. Model ekonomi yang saat ini sedang dikembangkan adalah model yang

memanfaatkan variabel antara berupa output-gap, yaitu kesenjangan antara aktual dan ouput

potensial. Output aktual biasa di-proxi dengan data produk domestik bruto (PDB), sementara output potensial dihitung melalui teknik estimasi tertentu. Salah satu metode yang digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah pendekatan struktural dengan model fungsi produksi Cobb-Douglass. Perhitungan pendekatan struktural tersebut mensyaratkan tersedianya data stok kapital yang akurat.

Upaya penyusunan data stok kapital telah diawali pada tahun 2000 dengan suatu kajian mengenai metode yang tepat untuk menghitung stok kapital saat ini. Pada tahun

2001, penelitian dilanjutkan dengan penghitungan stok kapital dengan pendekatan

per-petual inventory method (PIM) yang menggunakan data PMTB sebagai data dasarnya. Data

stok kapital tersebut disajikan dalam angka total, baik menurut konsep neto (net capital

stock/NCS) maupun bruto (gross capital stock/GCS), yang disusun secara time-series untuk periode 1980-2000.

Data stok kapital yang dihasilkan saat ini merupakan hasil penyempurnaan

metodologi perhitungan yang meliputi perbaikan metode gross-up, event analysis secara

deskriptif, time-series analysis, serta pemanfaatan data stok kapital dalam perhitungan

out-put potensial dan kontribusi pertumbuhan ekonomi. Pengujian validitas data stok kapital itu meliputi data PMTB sebagai data dasarnya dan data stok kapital itu sendiri.

II. PERHITUNGAN STOK KAPITAL DENGAN METODE PIM: BRIEF REVIEW

Pemilihan metode PIM dalam penghitungan stok kapital lebih didasarkan pada

pertimbangan applicability metode tersebut2 ). Metode PIM memiliki keunggulan

dibandingkan dengan metode langsung (Direct Observation of Capital) terutama dalam hal

efisiensi biaya dan sumber daya yang diperlukan.

Dalam perhitungan dengan metode PIM diperlukan 2 hal pokok, yaitu (1) ketersediaan

data PMTB yang reliable dengan kategori yang rinci dan cakupan data yang luas serta (2)

penetapan asumsi yang digunakan. Akumulasi data PMTB selama suatu kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan periode umur aset dan karakteristik nilai usai pakainya (retirement) serta penyusutannya (depreciation) menghasilkan angka stok kapital. Formula 2) Penghitungan Data Stok Kapital dengan Metode Perpetual Inventory – Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Vol.5


(26)

25 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

umum penghitungan stok kapital sebagai berikut:

GCS = Σ PMTB - Σ RET

NCS = Σ PMTB - Σ DEP

= (GCS + Σ RET) - Σ DEP

Data PMTB diperoleh dari data sekunder3), sementara nilai usai pakai dan penyusutan

diperoleh dengan menggunakan asumsi-asumsi yaitu: (1) asumsi umur aset (asset life), (2)

asumsi pola distribusi umur aset (discard pattern/survival function), dan (3) asumsi metode

depresiasi (depreciation method). Umur suatu aset menggambarkan sampai berapa lama suatu

asset secara rata-rata dapat bertahan dan ditentukan berdasarkan best practices di beberapa

negara yang melakukan penghitungan stok kapital dengan metode PIM (antara lain Aus-tralia, Canada, dan Belanda), yaitu sebagai berikut:

3) Data PMTB merupakan hasil kerjasama BI dan BPS pada tahun 2001

No. Jenis Barang ModalUmur (tahun)

1. Bangunan 20

2. Mesin I 16

3. Mesin II 18

4. Transportasi 10

5. Ternak 3

6. Perlengkapan – Listrik 10

7. Perlengkapan – Logam 5

8. Perlengkapan – Kain & Kulit 5

9. Lainnya 16

Dalam penelitian terdahulu, penghitungan stok kapital dengan metode PIM

diaplikasikan terhadap 5 jenis pola distribusi, yaitu (1) Standard, (2) Linear, (3) Delayed

Lin-ear, (4) Logistic dan (5) Weibull. Salah satu kesimpulan pada penelitian terdahulu adalah

bahwa penggunaan berbagai macam asumsi pola distribusi yang berbeda (kecuali pola Standard) tidak terlalu berpengaruh pada hasil perhitungan stok kapital. Metode depresiasi

yang digunakan adalah straight line depreciation method. Metode depresiasi ini dipilih karena

secara empiris lebih valid dibadingkan metode depresiasi lainnya dan perhitungannya yang relatif sederhana.


(27)

Rentang umur asset Sisa populasi (survival)

s.d. 25 % 93,1 %

s.d. 50 % 61,9 %

s.d. 75 % 23,3 %

s.d. 90 % 9,0 %

s.d. 95 % 6,1 %

Untuk keperluan penelitian uji validitas, data stok kapital yang digunakan adalah

hasil perhitungan PIM dengan menggunakan pola distribusi Weibull. Secara hipotesis (

hy-pothetical presumption), data stok kapital dengan pendekatan pola Weibull tersebut dianggap lebih merepresentasikan perkembangan (trend) stok kapital Indonesia. Pola distribusi Weibull secara umum diformulasikan sebagai berikut:

F x

( )

= −

1

e

−(λx

dimana F(x) = fungsi cumulative density function (CDF) pola Weibull

α = parameter pola distribusi

λ = parameter keragaman

Dengan menggunakan persamaan regresi ln

(

−ln

[

1−F x( )

]

)

=αln( )λ +αln( )x diperoleh

nilai parameter dari fungsi CDF pola Weibull, yaitu : α = 2.7438 dan λ = 0.0153 (β = 65.3704).

Adapun pola distribusi umur aset yang diestimasi dengan pendekatan pola Weibull tersebut adalah sebagai berikut:

Dari tabel pola distribusi tersebut, disusun retirement matrix (Mret) dan depreciation

matrix (Mdep). Perkalian matriks PMTB (Mpmtb) dengan kedua matriks tersebut

menghasilkan nilai aset yang retired (RET) dan nilai depresiasinya (DEP).

RET = Mpmtb x Mret DEP = Mpmtb x Mdep

Stok kapital dalam konsep bruto (GCS) dan neto (NCS) dapat dihitung dengan formula:


(28)

27 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

GCSt = GCSt-1 + PMTBt-1 – RET

NCSt = NCSt-1 + PMTBt-1 – DEP

Nilai GCS dan NCS dihitung untuk periode 1960-2002 pada setiap jenis barang modal yang ada pada seluruh sektor ekonomi. Dari hasil perhitungan tersebut, disusun data stok kapital dalam bentuk data-series periode 1960-2002 dan dalam bentuk matriks menurut jenis barang modal dan sektor ekonomi.

III. TAHAPAN DALAM PROSES UJI VALIDITAS

Prosedur uji validtas mencakup tahapan-tahapan sebagai berikut: -Updating data PMTB sampai dengan 2002.

Data PMTB merupakan data dasar dalam penyusunan data stok kapital dengan PIM, sehingga updating data PMTB secara otomatis akan mengupdate data stok kapital selama 3 tahun sesuai dengan updating data PDB.

-Gross-up dengan metode yang telah disempurnakan.

Hasil data update stok kapital periode 1980-2002 digross-up dengan teknik estimasi

yang lebih baik, yaitu dari semula menggunakan metode trend-linear diganti dengan

metode estimasi. Kelemahan yang ada pada metode trend-linier karena mengabaikan

koefisien perubahan percepatan investasi tidak terdapat pada metode estimasi. Dengan mengandalkan pada ketersediaan data PMTB, maka data hasil estimasi pada periode 1960-1979, maka proses perhitungan stok kapital dilakukan secara langsung sejak tahun 1960 sampai dengan 2002. Proses estimasi dimaksud meliputi:

-estimasi data agregat PMTB 1960-1980 menjadi klasifikasi yang lebih rinci menurut

jenis barang modal.

-Data PMTB hasil estimasi ditambahkan sebagai series pada data PMTB periode 1980 – 2002 sehingga periode perhitungan stok kapital secara langsung dimulai dari 1960 menurut jenis barang modal dan menurut sektor.

-Pengujian data secara deskriptif (event analysis)

Dalam pengujian deskriptif dilakukan analisis kontribusi dan distribusi terhadap data stok kapital atas dasar harga konstan dan analisis trend data stok kapital. Tujuan analisis kontribusi dan distribusi adalah untuk mengamati peranan masing-masing jenis barang modal terhadap total stok kapital dan distribusi penggunaannya pada setiap sektor ekonomi.


(29)

-Pengujian data dengan menggunakan analisis regresi

Pengujian data stok kapital dilakukan terhadap akurasi data PMTB yang digunakan karena data tersebut merupakan data dasar dalam perhitungan stok kapital. Pengujian dilakukan dengan cara mengamati hubungan antara data PMTB dengan variabel ekonomi lainnya, misalnya data PDB dan investasi finansial.

-Penerapan data stok kapital dalam beberapa model ekonomi sederhana

Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui performa data stok kapital sebagai salah satu variabel dalam beberapa model ekonomi sederhana, misalnya model fungsi produksi untuk mengestimasi output potensial dan analisis kontribusi pertumbuhan stok kapital terhadap pertumbuhan ekonomi.

-Perbandingan dengan beberapa hasil penelitian lainnya

Pada bagian akhir, dilakukan pula analisis komparasi antara data stok kapital hasil perhitungan penelitian ini dengan beberapa hasil penelitian serupa lainnya, seperti yang dilakukan Timmer dan BPS. Meskipun tidak seluruhnya dapat dibandingkan (incomparable), namun hasil analisis ini cukup memberikan gambaran bahwa hasil perhitungan ini cukup searah dengan hasil penelitian lain, terutama pada sektor industri pengolahan.

IV. PEMBAHASAN HASIL UJI VALIDITAS

Pembahasan uji validitas difokuskan pada data stok kapital neto (NCS) karena data tersebut lebih banyak digunakan dalam analisis ekonomi. Sementara itu, data stok kapital bruto (GCS) disajikan pada tabel-tabel lampiran untuk keperluan analisis lainnya.

4.1. Updating Data Stok Kapital Periode 1960-2002

Perhitungan PIM sebagaimana tersebut di atas menghasilkan data stok kapital harga konstan menurut jenis barang modal (Lampiran 1: tabel I) dan sektor ekonomi (Lampiran 1: tabel II).

4.2. Hasil Analisis Deskriptif

4.2.1. Perkembangan Data Investasi Fisik

Berdasarkan harga konstan 1993, terjadi penurunan angka investasi fisik (PMTB) tahun 2002 yaitu sebesar Rp96.058 miliar dibandingkan PMTB tahun 2001 sebesar Rp96.244 miliar. Angka PMTB tahun 2002 ini masih belum kembali kepada level PMTB tertinggi yang


(30)

29 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Grafik 1.

Perkembangan PMTB 10 tahun Terakhir

terjadi pada tahun 1997 sebesar Rp128.699 miliar. Selengkapnya perkembangan PMTB selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 1 di bawah ini.

Sementara itu, struktur data PMTB selama 10 tahun terakhir dikuasai oleh sektor keuangan persewaan dan jasa-jasa (20%) disusul oleh sektor pemerintahan umum (17%) dan sektor industri pengolahan (15%). Selengkapnya kontribusi 10 tahun terakhir sampai dengan tahun 2002 dapat dilihat pada gambar berikut:

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 150.000

140.000 130.000 120.000 110.000 100.000 90.000 80.000 70.000 60.000

Rp. Miliar

Sumber: BPS diolah

Grafik 2.

Kontribusi PMTB 10 tahun Terakhir 5%

17% 7%

3% 15%

9% 1% 10% 13%

20%

Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan Pertambangan & Penggalian

Perdagangan, hotel & restouran Pengangkutan & Komunikasi Industri Pengolahan Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaan Listrik, gas dan air bersih Pemerintahan Umum

Bangunan Jasa - jasa


(31)

Berdasarkan harga konstan 1993, terjadi penurunan angka investasi fisik (PMTB) Secara komposisi, dibandingkan periode 10 tahun sebelumnya 1983-1992 telah terjadi perubahan dalam komposisi PMTB. Pada periode 1983-2002, sektor pemerintahan umum memegang porsi terbesar (28%) disusul oleh sektor keuangan persewaan dan jasa-jasa (26%) dan sektor industri pengolahan (16%).

4.2.2. Perkembangan Data Stok Kapital

Secara rata-rata pertumbuhan stok kapital periode 1980-2002 cenderung lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan stok kapital 1960-1980. Pada tahun 2002, data stok kapital neto (Net Capital Stock – NCS) mengalami peningkatan 0,45% dari semula Rp625.405 miliar pada tahun 2001 menjadi Rp628.202 pada tahun 2002. Level stok kapital tahun 2002 ini masih berada di bawah level tertinggi stok kapital yang pernah terjadi tahun 1998 sebesar Rp636.581 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan data stok kapital selama kurun waktu 1999 – 2002 masih belum dapat mengatasi penyusutan nilai barang modal dari stok kapital selama periode dimaksud. Namun demikian, trend peningkatan kembali data stok kapital telah dimulai kembali sejak tahun 2000. Perkembangan data stok kapital dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.

Grafik 3.

Perkembangan Stok Kapital neto (NCS) dan Bruto (GCS)

1 9 6 0 1 9 7 0 1 9 8 0 1 9 9 0 2 0 0 0 2 0 0 2 00.000 00.000 00.000 00.000 00.000 00.000 0

GCS setelah gros-up metode 2002 GCS sebelum gros-up

GCS Metode 2003

NCS setelah gros-up metode 2002 NCS sebelum gros-up

NCS Metode 2003

Tahun awal perhitungan Stok Kapital (1980) sebelum gros-up

GCS hasil yang disempurnakan metode terbaru

NCS hasil yang disempurnakan metode terbaru Periode estimasi (1960-1980)

untuk menentukan nilai gros-up Stok Kapital 1980-2001


(32)

31 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Selain menunjukkan adanya percepatan investasi barang modal dari periode 1960-1980 ke periode 1960-1980-2002, pada gambar 3 juga terlihat adanya fenomena yang wajar mengenai perkembangan stok kapital pada periode paska krisis. Turunnya NCS pada periode 1999-2000 menunjukkan bahwa investasi barang modal baru relatif tidak ada, sementara angka GCS yang tetap meningkat menggambarkan adanya investasi dalam bentuk re-utilisasi barang modal lama. Fenomena tersebut juga dapat diartikan bahwa

jumlah barang modal yang rusak (baik yang retired maupun depreciated) lebih banyak

dibandingkan jumlah investasi barang modal baru. Selanjutnya, peningkatan NCS pada

tahun 2002 antara lain memperlihatkan adanya indikasi mulai bergeraknya (recovery)

kegiatan ekonomi nasional, terutama dari sisi investasi barang modal.

Selama kurun waktu 1960 sampai dengan 2002, secara rata-rata stok kapital terbesar terjadi pada jenis barang modal bangunan (kontribusi 71,1%) disusul jenis barang modal mesin (kontribusi 15,8%). Selengkapnya kontribusi jenis barang modal dan sektor terhadap total data stok kapital dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini.

Berdasarkan komposisi menurut jenis barang modal, perkembangan stok kapital Indo-nesia selama kurun waktu +/- 22 tahun terkonsentrasi pada bangunan dengan rata-rata kontribusi sebesar 71%. Investasi properti terlihat semakin meningkat pada periode 1990-2002 dibandingkan periode 1980-1990. Peningkatan investasi properti dikompensasikan dengan penurunan investasi mesin, ditunjukkan dengan turunnya kontribusi mesin dari 16,1% (1960-1965) menjadi 15,3% (1996-2002). Pada jenis barang modal alat transportasi terjadi penurunan kontribusi investasi secara terus menerus sejak tahun 1980, terlihat dari turunnya kontribusi alat transportasi pada komposisi stok kapital, yaitu sebesar 10,4% (1980-1985) menjadi hanya 4,4% (1996-2002).

Grafik 4.

Komposisi Stok Kapital Neto menurut Jenis Barang Modal

15,8%

Bangunan Mesin Transportasi Lainnya

7,2% 4,8%

71,1%

Ternak

0,02%


(33)

Dilihat dari distribusi stok kapital menurut sektor ekonomi, investasi barang modal sejak tahun 1980-an tidak terdistribusi secara merata di seluruh sektor ekonomi. Distribusi stok kapital terkonsentrasi hanya pada 2 sektor ekonomi, yaitu sektor pemerintahan umum dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Persentase rata-rata (periode 1980-2002) distribusi barang modal pada kedua sektor tersebut masing-masing sebesar 38,1% dan 19,5%. Distribusi stok kapital pada sektor pemerintahan umum terutama berasal dari investasi pada pembangunan infrastruktur, yang terdiri dari bangunan, jalan dan sarana penunjang lainnya. Seiring dengan beralihnya peranan sektor pemerintah ke sektor swasta, distribusi stok kapital pada sektor pemerintahan umum mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 45,8% (1960-1965) menjadi 42,7% (1981-1985) dan turun terus hingga menjadi

Periode Ternak Perleng. Lainnya Transport Mesin Bangunan Tabel 1

Perkembangan Komposisi Stok Kapital Menurut Jenis Barang Modal

1960-1965 0,04% 1,4% 5,0% 8,6% 16,1% 68,8%

1966-1970 0,02% 1,0% 4,9% 7,0% 15,6% 71,5%

1971-1975 0,03% 1,1% 4,8% 7,3% 15,5% 71,2%

1976-1980 0,02% 1,0% 4,8% 7,9% 15,4% 70,9%

1981-1985 0,01% 0,9% 4,0% 10,4% 13,6% 71,1%

1986-1990 0,01% 1,0% 4,5% 7,4% 16,6% 70,4%

1991-1995 0,02% 0,8% 5,1% 5,7% 18,7% 69,7%

1996-2002 0,03% 0,8% 5,2% 4,4% 15,3% 74,2%

Grafik 5.

Perkembangan Stok Kapital Neto menurut Sektor

Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan Pertambangan & Penggalian

Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & Komunikasi

Industri Pengolahan

Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaan Listrik, gas dan air bersih

Pemerintahan Umum Bangunan

Jasa - jasa

700.000,00 600.000,00 500.000,00 400.000,00 300.000,00 200.000,00 100.000,00 0,00 1 9 6 0 1 9 6 5 1 9 7 0 1 9 7 5 1 9 8 0 1 9 8 5 1 9 9 0 1 9 9 5 2 0 0 0 2 0 0 2


(34)

33 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

20,2% (1996-2002). Sementara itu, meningkatnya distribusi stok kapital pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan terjadi pada periode 1986-1990 dan 1991-1995 merupakan dampak dari kebijakan deregulasi perbankan sehingga investasi pada sektor tersebut berkembang secara ekspansif. Namun krisis perbankan sejak tahun 1997 telah mengakibatkan kontraksi pada sektor ini sehingga distribusinya turun cukup tajam dar 27,8% (1991-1995) menjadi 22,5% (1996-2002).

Peningkatan peranan investasi barang modal yang cukup signifikan juga terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor listrik, gas dan air. Hal ini tercermin dari meningkatnya distribusi stok kapital pada kedua sektor tersebut. Peningkatan distribusi stok kapital pada sektor pengangkutan dan komunikasi terutama terjadi pada periode 1996-2002 yaitu sebesar 10,7% dibandingkan periode-periode sebelumnya yang distribusinya tidak lebih dari 5%. Sementara itu, distribusi stok kapital pada sektor listrik, gas dan air meningkat dari hanya 1,8% (1960-1965) menjadi 8,2% (1996-2002).

Dilihat dari pertumbuhannya, stok kapital Indonesia selama periode 1980-2002 rata-rata mengalami pertumbuhan sebesar 7,4% per tahun. Gambar 6 menunjukkan bahwa pertumbuhan stok kapital mengalami percepatan pada tahun 1990-an, terutama pada sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas dan air, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Krisis ekonomi sejak tahun 1997 berdampak pada turunnya investasi fisik di Indonesia, antara lain tercermin dari merosotnya angka pertumbuhan total stok kapital menjadi hanya 1,5% pada tahun 1998, bahkan mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 1999 (-2,1%). Selama krisis, sektor yang paling terkena dampak negatif berupa berkurangnya investasi fisik adalah sektor bangunan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang masing-masing mengalami

Tabel 2

Perkembangan Distribusi Stok Kapital Menurut Sektor Ekonomi

1960-1965 45,8% 15,4% 14,2% 6,2% 8,1% 2,8% 1,7% 1,8% 1,5% 2,6% 1966-1970 47,1% 15,3% 13,8% 5,8% 8,0% 2,5% 1,6% 1,7% 1,5% 2,6% 1971-1975 47,0% 15,3% 13,8% 5,9% 8,0% 2,6% 1,6% 1,7% 1,5% 2,6% 1976-1980 46,8% 15,4% 13,7% 6,0% 8,0% 2,7% 1,6% 1,7% 1,5% 2,5% 1981-1985 42,7% 19,0% 12,3% 6,9% 7,3% 3,5% 3,2% 1,5% 1,5% 2,1% 1986-1990 32,8% 25,1% 13,8% 7,7% 6,5% 4,2% 4,8% 1,8% 1,4% 1,8% 1991-1995 27,7% 27,8% 14,0% 7,6% 5,3% 4,0% 5,6% 3,7% 2,0% 2,3% 1996-2002 20,2% 22,5% 13,3% 10,0% 4,6% 10,7% 6,5% 8,2% 1,3% 2,7%

Periode Pemerin-tahan Umum Keuangan Persewaan & Jasa perusahaan Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel & restoran Pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan Pengangkut-an & komunikasi Jasa-Jasa Listrik, Gas & air bersih Bangunan Pertam-bangan & penggalian


(35)

pertumbuhan negatif pada tahun 1998 sebesar –9,3% dan -3,7%. Stok kapital baru kembali mengalami pertumbuhan positif pada tahun 2001 dan 2002, masing-masing 0,69% dan 0,45%.

Grafik 6.

Pertumbuhan Stok Kapital Neto menurut Sektor Terpilih

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00

-20.00

1980 1985 1990 1995 2000 2002

Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan Pertambangan & Penggalian

Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & Komunikasi Industri Pengolahan

Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaan Pemerintahan Umum

T o t a l

Persen

4.2.3 Perkembangan Produktivitas Sektoral

Yang dimaksud dengan produktivitas sektoral di sini adalah kemampuan suatu sektor dalam mengelola investasi yang diperoleh untuk menghasilkan output.

Perhitungannya dapat menggunakan angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) dan

angka COR (Capital Output Ratio). Angka ICOR merupakan angka investasi tahun

sebelumnya dibagi dengan pertambahan PDB pada tahun itu, sementara COR menggunakan perbandingan data stok kapital dengan data PDB pada tahun itu.

Namun, pada kesempatan ini kita hanya akan melihat data COR yang merupakan perbandingan antara data stok kapital dengan data output yang dihasilkan. Pada periode waktu 1980-1985, sebagaimana yang diperkirakan, sektor pertambangan merupakan sektor yang paling kecil angka COR-nya yaitu sebesar 0,17 pada periode 1996 – 2002. Hal ini berarti bahwa stok kapital pada sektor pertambangan mampu menghasilkan output hampir enam kali (600%) dari stok kapitalnya. Sementara itu, sektor pemerintahan umum memiliki angka COR terbesar yaitu 5,97 yang berarti bahwa sektor pemerintahan umum hanya dapat menghasilkan output sebesar kurang lebih seperenam (17%) dari stok kapitalnya. Lebih jauh lagi, hal ini menjelaskan bahwa dalam periode 1980-1985 sektor pertambangan merupakan sektor yang diandalkan dalam menghasilkan output bagi perekonomian Indonesia.


(36)

35 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Dalam perkembangannya, pada periode 1996-2002, sektor pertambangan bukan lagi merupakan sektor yang memiliki COR terkecil. COR sektor pertambangan pada periode tersebut adalah 0,43 atau berada di atas COR sektor bangunan yang merupakan sektor dengan COR terkecil yaitu 0,31. Hal itu berarti bahwa pada periode tersebut, sektor pertambangan hanya mampu menghasilkan output 232% dari stok kapitalnya sedangkan sektor bangunan mampu menhasilkan output 323% dari stok kapitalnya. Sektor pemerintahan umum pada periode itu memiliki COR 5,47 yang berarti kemampuan menghasilkan output dalam periode 1996-2002 meningkat sedikit dibandingkan periode 1980-1985 yaitu 18% dari stok kapitalnya. Selengkapnya perkembangan COR sektoral sejak tahun 1980 dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini.

Grafik 7.

Pertumbuhan Stok Kapital Neto menurut Sektor Terpilih

Pertanian

Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan

Total Capital Stock (NCS) Perdagangan, hotel & restouran

Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaaan* jasa perusahaan Pemerintahan Umum

Jasa - jasa Swasta

9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

1980 - 1985 1985 - 1990 1991 - 1995 1996 - 2000

4.3. Hasil Pengujian Statistik

Pengujian statistik dilakukan dengan metode regresi linear terhadap data PMTB dan data stok kapital. Pengujian terhadap data PMTB dilakukan mengingat data tersebut merupakan data dasar dalam perhitungan stok kapital dengan metode PIM, sehingga valid tidaknya data stok kapital juga tergantung pada akurasi data PMTB, selain pada metode perhitungan yang digunakan. Sementara itu, pengujian terhadap data stok kapital dilakukan dengan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglass. Tujuan pengujian adalah untuk mengetahui apakah data stok kapital hasil perhitungan PIM dapat digunakan sebagai salah satu variabel prediksi dalam perhitungan output potensial.


(37)

Setelah dilakukan serangkaian uji statistik (termasuk uji normalitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi) antara data PDB dengan data PMTB disimpulkan bahwa secara total kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Koefisien korelasi antara PDB dan PMTB tercatat sebesar 0,940, sementara variabilitas data PDB dapat dijelaskan oleh data PMTB sebesar 87,7 % dan variabel lainnya sebesar 12,3 %. Secara sektoral, hampir seluruh data PMTB menurut sektor memiliki hubungan yang signifikan dengan data PDB menurut sektor. Hasil lengkap uji statistik PMTB dapat dilihat pada tabel 2.

Dependent Variable : PMTB Tabel 4

Hasil Uji Regresi PMTB dengan Investasi Financial

Variable Coefficient Std. Error r-Statistic Prob

C 84030.2 23363.98000 3.59657 0.00290

INVFINC 0.05368 0.03001 1.78899 0.09530

AR(1) 0.80247 0.14530 5.52274 0.00010

R-squared 0.822237 Mean dependent var 81802.75

Adjusted R-squared 0.796843 S.D. dependent var 29501.56

SE. of regression 13297.23 Akaike info criterion 21.98728

Sum squared resid 2.48E+09 Schwarz criterion 22.13432

Log likelihood -183.8919 F-statistic 32.37833

Durbin-Watson stat 1.60775 Prob (F-statistic) 0.000006

Dependent Variable Independent Variable R R2 Ajd. R2 b t

Tabel 3

Regresi data PDB sektoral atas data PMTB sektoral

PDBtot PMTBtot 0.940 0.883 0.877 2.907 12.300

PDBtani PMTBtani 0.887 0.786 0.776 6.991 8.576

PDBindustri PMTBindustri 0.905 0.819 0.810 5.726 9.526

PDBgast PMTBgast 0.968 0.937 0.934 0.502 17.236

PDBbangt PMTBbangt 0.712 0.506 0.482 0.536 4.529

PDBperdagt PMTBperdagt 0.933 0.871 0.864 0.432 4.235

PDBtranst PMTBtranst 0.935 0.874 0.868 0.118 11.798

PDBuangt PMTBuangt 0.750 0.562 0.540 1.136 5.067

PDBjasat PMTBjasat 0.757 0.573 0.552 0.348 5.179

Pengujian statistik juga dilakukan antara data PMTB dengan data investasi finansial (FIN). Dari hasil uji regresi liniear, diketahui bahwa kedua variabel memiliki hubungan berbanding lurus yang cukup signifikan. Variabilitas data PMTB dapat dijelaskan oleh


(38)

37 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

perkembangan data investasi finansial (INVFINC) atau setiap penambahan investasi finansial akan meningkatkan investasi fisik (PMTB) pada tahun yang bersangkutan. Hasil uji regresi dapat dilihat pada tabel 4 diatas.

Selanjutnya, validitas data stok kapital diuji melalui penerapannya dalam beberapa model ekonomi. Dalam pengujian ini data stok kapital dan data tenaga kerja (yang diperoleh dari BPS) digunakan sebagai variabel penduga (estimator) untuk mengestimasi output potensial dan menghitung kontribusi pertumbuhan faktor input terhadap pertumbuhan ekonomi. Model ekonomi yang digunakan dalam pengujian ini adalah model fungsi

produksi Cobb-Douglass Douglas, dengan persamaan sebagai berikut:

Y = T Kα Lβ

dimana,

Y = Total output (PDB)

K = Stok kapital (NCS)

L = Tenaga kerja (LPROD)

T = Teknologi

α, β = Elastisitas NCS dan LPROD terhadap PDB

Dalam pengujian ini digunakan persamaan regresi linear, sehingga persamaan Cobb-Douglass diatas ditransformasikan dalam bentuk fungsi log-linear menjadi:

LnY = lnT + αLnK + βLnL

Dari uji regresi, dihasilkan parameter-parameter estimator α = 0,256; β = 0,901; dan

konstanta LnT = 1,902, atau dalam bentuk persamaan: Y = 1,902 K0,256 L0,902. (Lihat hasil uji

regresi pada tabel 5). Selanjutnya, parameter-parameter estimator tersebut dapat digunakan

Dependent Variable : PDBTOT

Tabel 5

Hasil Uji Regresi Fungsi Produksi Cobb Douglass

Variable Coefficient Std. Error r-Statistic Prob

C 1.90237 0.31787 5.98471 0.00060

LNNCSTOT 0.25555 0.02602 9.82151 0.00000

LNLPROD 0.90128 0.06394 14.09686 0.00000

R-squared 0.99575 Mean dependent var 12.76231

Adjusted R-squared 0.99454 S.D. dependent var 0.16160

SE. of regression 0.01194 Akaike info criterion -5.77445

Sum squared resid 0.00100 Schwarz criterion -5.68367

Log likelihood 31.87224 F-statistic 820.698.40


(39)

untuk melakukan pendugaan (forecasting) terhadap besaran output potensial pada tahun-tahun tertentu dengan memasukkan data estimasi faktor input K dan L.

Dalam perhitungan kontribusi pertumbuhan faktor input K dan L terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB), dilakukan dengan menderivasikan persamaan log-linear diatas terhadap variabel waktu (t) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

(dY/dt)(1/Y)=(dT/dt)(1/T) + α(dK/dt)(1/K) + β(dL/dt)(1/L)

Dalam bentuk diskret, persamaan tersebut menjadi: (dy/dt)=(dT/dt)+a(dK/dt)+b(dL/dt)

atau

r(Y) = r(T) + ar(K) + br(L) dimana,

ry = Pertumbuhan ekonomi tahunan (annual rate of changes) output

αr(K), βr(L) = Kontribusi pertumbuhan K dan L

rT = Kontribusi pertumbuhan teknologi atau total fator produktivity (TFP)

Pengujian dilakukan dengan menggunakan data periode 1990–1999, semata-mata karena keterbatasan data tenaga kerja yang tersedia. Simulasi perhitungan difokuskan pada pengamatan terhadap perbedaan kontribusi pertumbuhan faktor input antara periode sebelum krisis (1991-1996) dengan setelah krisis (1997-1999). Hasil simulasi perhitungan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Periode ry rt ark brl

Tabel 6

Kontribusi Pertumbuhan Faktor Input Kapital (K) dan Tenaga Kerja (L)

Sebelum Krisis 0.0754 0.0015 0.0262 0.0477

Sesudah Krisis -0.0443 -0.0966 -0.0005 0.0529

Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa faktor input tenaga kerja memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan stok kapital, baik pada periode sebelum maupun sesudah krisis. Turunnya rata-rata pertumbuhan ekonomi paska krisis (sampai dengan 1999) sebesar -4,43% lebih banyak didorong oleh turunnya teknologi (-9,66%) dan stok kapital (-0,05 %).


(40)

39 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

4.4. Perbandingan dengan Hasil Penelitian Lain

Sebagaimana diketahui bahwa upaya penelitian mengenai stok kapital Indonesia pernah dilakukan oleh para peneliti lain, yaitu Keuning (1988, 1991) dan , BPS (1995), dan Timmer (1999). Cakupan penelitian stok kapital para peniliti tersebut terbatas pada sektor industri pengolahan, sementara klasifikasi jenis barang modal yang diteliti juga tidak selengkap penelitian ini. Meskipun tidak seluruh hasil penelitian dapat dibandingkan, namun analisis ini dapat memberikan gambaran bahwa hasil penelitian ini cukup searah dengan hasil penelitian lain, terutama pada sektor industri pengolahan.

Perbandingan pada tabel 7 menunjukkan bahwa komposisi NCS pada sektor industri pengolahan antara hasil penelitian ini dengan Timmer tidak jauh berbeda, meskipun secara nominal angka level tidak sama. Sementara itu, pada tabel 8 terlihat perbandingan angka GCS periode 1975-1985, dimana rata-rata pertumbuhan GCS hasil penelitian ini cenderung lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Steven J. Keuning. Secara umum, diketahui bahwa stok kapital hasil penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Timmer dan Keuning. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan metode perhitungan dan tahun

dasar yang digunakan, disamping karena gross-up yang dilakukan.

Sektor Industri Pengolahan

Tabel 7

Perbandingan Komposisi Industri Pengolahan dengan Hasil Penelitian Timmer Stok Kapital (NCS) Sektor Industri Pengolahan, Tahun 1995

Kode

1993, Rp Milyar Persen 1983, Rp Milyar Persen Hasil Penelitian ini

(BI/SRKP-DSM)

Hasil Penelitian Marcel P. Timmer *)

Industri makanan, minuman & tembakau S-31 7.448 12,01 5.998 14,60

Industri tekstil dan kulit S-32 15.471 25,11 9.629 23,44

Industri dari kayu, bambu dsb S-33 4.905 8,39 4.281 10,42

Industri kertas dan percetakan S-34 6.636 11,68 4.148 10,10

Industri kimia s-35 11.306 18,87 6.141 14,95

Industri mineral non logam S-36 5.483 8,86 3.100 7,55

Industri logam dasar S-37 1.905 3,07 1.277 3,11

Industri barang dari logam S-38 7.005 11,35 6.025 14,67

Industri lainnya S-39 384 0,65 472 1,15

Total NCS S-30 60.544 100 41.071 100

*) Indonesia’s Ascent on the Technology Ladder : Capital Stock and Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-1995 (Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.35, April 1999, Marcel P. Timmer, Eindhoven University of Technology)


(41)

V. PENUTUP

Penggunaan metode PIM dalam penghitungan data stok kapital cukup valid, baik dari sisi sumber data, metode perhitungan dan data yang dihasilkan. Data stok kapital tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan analisis ekonomi, termasuk dalam rangka penyusunan model-model ekonomi makro. Secara deskriptif, data stok kapital hasil perhitungan PIM cukup mampu menggambarkan perkembangan stok kapital Indonesia.

Hasil pengujian terhadap data PMTB menunjukkan bahwa data dasar perhitungan stok kapital tersebut cukup akurat dan dapat dipercaya. Dari hasil serangkaian test statistik, diketahui bahwa data PMTB total dan sebagian besar data PMTB sektoral memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan data PDB. Hubungan yang berbanding lurus antara investasi fisik (PMTB) dengan investasi finansial menggambarkan kondisi yang cukup realistis, dimana investasi fisik (barang modal) akan meningkat walaupun lebih lambat daripada pertumbuhan pada investasi finansial (seperti obligasi dan surat-surat berhaga lainnya).

Penggunaan data stok kapital hasil perhitungan PIM dalam penghitungan output potensial dengan pendekatan model fungsi produksi Cobb-Douglass mampu menghasilkan parameter-parameter yang cukup masuk akal. Dalam analisis kontribusi pertumbuhan, data stok kapital bersama-sama dengan data tenaga kerja juga mampu menggambarkan besaran kontribusi pertumbuhan yang wajar dan cukup realistis.

Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, data stok kapital hasil penelitian ini lebih komprehensif terutama dalam hal cakupan data yang dihasilkan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, perhitungan stok kapital hanya mencakup 4 jenis barang

Tahun

Tabel 8

Perbandingan dengan Hasil Penelitian Steven J. Keuning Stok Kapital (NCS) Sektor Industri Pengolahan, 1975-1985

Eqivalen 1993, Rp Milyar *) Hasil Penelitian ini

(BI/SRKP-DSM)

Hasil Penelitian Steven J. Keuning

1975 9.811,41 17,6 66.996 20.353

-1976 11.227,48 14,4 73.082 22.210 9,1

1977 12.867,86 14,6 79.360 24.109 8,6

1978 14.758,97 14,7 85.451 25.959 7,7

1979 16.541,87 12,1 94.343 28.660 10,4

1980 17.980,66 8,7 102.484 31.133 8,6

1981 19.646,11 9,3 111.983 34.019 9,3

1982 21.210,47 8,0 122.756 37.292 9,6

1983 22.579,76 6,5 135.274 41.095 10,2

1984 23.781,05 5,3 148.223 45.028 9,6

1985 25.295,36 6,4 159.706 48.517 7,7

1993, Rp Milyar Pertumbuhan % 1993, Rp Milyar Pertumbuhan %


(42)

41 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

modal dan 1 sektor ekonomi (sektor industri pengolahan), sementara dalam penelitian ini data stok kapital tidak hanya disajikan dalam bentuk series yang lebih panjang (1980-2002) tetapi juga dalam bentuk data matriks menurut 6 jenis barang modal dan 10 sektor ekonomi. Dengan demikian, perbandingan dengan hasil penelitian sebelumnya hanya dapat dilakukan pada sektor industri pengolahan, dimana kedua penelitian tersebut menyajikan angka persentase distribusi sektoral yang relatif sama, meskipun angka nominalnya berbeda.

Meskipun data stok kapital hasil perhitungan PIM terbukti cukup akurat dan dapat digunakan untuk keperluan analisis ekonomi, namun terdapat keterbatasan yang tidak dapat dihindarkan, terutama pada penetapan asumsi-asumsi yang digunakan. Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif diperlukan guna memperbaiki asumsi-asumsi dalam perhitungan PIM. Penyempurnaan asumsi dapat dilakukan melalui studi literatur yang lebih dan survei-survei khusus. Terhadap data matriks stok kapital yang dihasilkan masih perlu dilakukan penelitian terhadap keakuratan data stok kapital secara lebih rinci, yaitu menurut jenis barang modal, sektor ekonomi, institusi dan wilayah asal barang, sehingga data stok kapital yang tersedia dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dalam kajian-kajian ekonomi. Dalam jangka panjang, apabila kajian perhitungan stok kapital dengan metode

langsung (Direct Observation of Capital) dimungkinkan maka hasilnya dapat digunakan untuk

benchmarking data stok kapital yang ada saat ini.

Upaya penyediaan data stok kapital yang akurat bagi BI sendiri merupakan langkah

nyata dalam mengantisipasi rencana pengimplementasian kerangka kebijakan inflation

tar-geting. Penyempurnaan data stok kapital perlu terus dilakukan untuk menghasilkan data stok kapital yang semakin akurat. Ketersediaan data stok kapital yang akurat akan memberikan kontribusi yang semakin optimal dalam pengembangan model struktural penghitungan output potensial, sehingga proyeksi laju inflasi dengan menggunakan variabel

antara output-gap dapat dilakukan secara lebih tepat. Pada akhirnya, ketepatan proyeksi

inflasi akan memberikan sinyal bagi Bank Indonesia dalam pengambilan kebijakan moneter yang diperlukan.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Ariantoro, Eko (2001), Penetapan Asumsi dalam Perhitungan Stok Kapital, Bagian Statistik Sektor

Riil dan Keuangan Pemerintah, Bank Indonesia.

Australia Bureau of Statistics (1997), Australia’s Methodology for Compiling Estimates of

Capi-tal Stock and Consumption of Fixed CapiCapi-tal, Background Paper of Capital Stock Conference in Canberra.

Badan Pusat Statistik (1997), Estimation of Capital Stock and Investment Matrix In Indonesia,

Background Paper of Capital Stock Conference in Canberra.

(1995), Study of Estimation of Capital Stock in Indonesia 1979-1994, Jakarta. , Tabel Input Output, berbagai seri, Jakarta

Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2000), Kajian Kemungkinan

Pengumpulan Data Stok Kapital Sektor Industri Pengolahan, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia.

Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2001), Draft Stok Kapital, Hasil

Kerjasama Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia dengan Badan Pusat Statistik.

Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2001), Proses Pengumpulan Matriks

Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), Hasil Kerjasama Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia dengan Badan Pusat Statistik.

Divisi Pengembangan Statistika dan Komputasi (2001), Materi Workshop: Probabilitas dan

Distribusi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor.

Frenken, Jim (1992), How to Measure Tangible Capital Stock?: The Choice Between Two Methods,

CBS Netherlands.

Jones, Charles Irving (1997), Introduction to Economic Growth, Stanford University.

Keuning, Steven J. (1988), An Estimate Of Fixed Capital Stock By Industry and Type Of Capital

Good in Indonesia, Statistical Analysis Capability Programme, Working Paper Series No. 4, Jakarta.

Saleh, Kusmadi (1997), The Measurement of Gross Domestic Fixed Capital Formation in

Indone-sia, Paper of Capital Stock Conference in Canberra.

Meinen, Gerhard (1999), Measuring Capital Stock: Explanatory Notes for the Manual on Capital


(44)

43 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Meinen, Gerhard and Bert Verlinden (1997), Statistics on Tangible Capital Stock: Direct

Obser-vation at Statistics Netherlands, Paper of Conference on Capital Stock (Preliminary Ver-sion) in Canberra.

Meinen, Gerhard, Piet Verbiest and Peter-Paul de Wolf (1998), Perpetual Inventory Method:

Service Lives, Discard Patterns and Depreciation Methods, Department of National Accounts, Statistics Netherlands.

Timmer, Marcel, The Dynamics of Asian Manufacturing: A Comparative Perspective, 1963-1993,

Eindhoven Centre for Innovation Studies, Netherlands.

Timmer, Marcel (1999), Indonesia’s Ascent on The Technology Ladder: Capital Stock and Total

Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-95, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Eindhoven University of Technology, Netherlands.

Wicaksono, Gunawan (2001), Perhitungan Stok Kapital: BeberapaPengamatan terhadap Model

Perhitungan Stok Kapital dengan Perpetual Inventory Method Metode Australia dan Metode Belanda, Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah, Bank Indonesia.

Wicaksono, Gunawan, Eko Ariantoro dan A. Reina Sari (2002), Penghitungan Data Stok Kapital

dengan Metode Perpetual Inventory (Suatu Upaya Penyediaan Data Stok Kapital untuk Penghitungan Potensial Output dengan Pendekatan Fungsi Produksi), Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 5, No.2, September 2002, Bank Indonesia, Jakarta.


(45)

Tabel 1

Perkembangan Komposisi Stok Kapital Menurut Jenis Barang Modal

Tahun Total T-10 T-21 T-22 T-20 T-30 T-40 T-51 T-52 T-53 T-50 T-60

1960 3526.85 2384.85 549.93 21.29 571.23 329.47 1.84 10.96 47.83 2.44 61.24 178.23 1961 8385.43 5690.64 1305.85 50.70 1356.56 771.49 4.00 25.67 108.31 5.54 139.52 423.22 1962 12282.16 8294.35 1907.59 74.47 1982.06 1095.38 4.91 36.45 143.43 7.33 187.21 618.24 1963 14536.90 10036.39 2248.07 88.46 2336.53 1236.59 4.51 41.15 145.69 7.45 194.29 728.59 1964 16844.54 11742.94 2591.55 102.82 2694.38 1364.00 4.32 45.39 164.14 7.47 199.00 839.91 1965 18957.44 13330.47 2899.30 115.97 3015.27 1463.98 4.40 48.71 147.43 7.54 203.68 939.65 1966 21234.16 15034.06 3227.28 130.02 3357.30 1575.95 4.78 52.44 155.73 7.96 216.13 1045.94 1967 22296.62 15917.00 3361.38 136.65 3498.03 1576.30 4.57 52.45 151.15 7.73 211.33 1089.41 1968 23917.83 17169.16 3579.77 146.53 3726.30 1637.51 4.76 54.49 157.38 8.04 219.91 1160.18 1969 26621.86 19139.41 3965.87 162.85 4128.72 1812.05 5.67 60.30 181.14 9.26 250.70 1285.32 1970 30962.43 22211.38 4606.74 188.99 4795.73 2145.52 7.32 71.39 226.49 11.58 309.46 1493.02 1971 36484.77 26093.99 5431.29 222.29 5653.58 2584.87 9.19 86.01 282.45 14.44 382.90 1760.25 1972 43177.04 30796.50 6436.77 262.77 6699.54 3117.45 11.14 103.73 344.92 17.63 466.29 2086.13 1973 50997.14 36304.32 7615.22 310.20 7925.42 3729.17 13.19 124.09 411.84 21.05 556.98 2468.05 1974 60411.92 42944.37 9037.30 367.45 9404.75 4455.40 15.63 148.25 489.55 25.02 662.83 2928.94 1975 70987.56 50434.03 10632.53 431.88 11064.41 5248.91 18.21 174.66 572.15 29.24 776.05 3445.95 1976 81288.39 57810.89 12174.08 494.81 12668.89 5971.46 20.15 198.70 640.04 32.71 871.45 3945.56 1977 93216.63 66356.05 13957.19 567.67 14524.86 6804.63 22.63 226.42 721.69 36.89 98500 4523.46 1978 106953.84 76188.04 16009.18 65149 16660.67 7768.94 25.85 258.51 82136 41.98 1121.85 5188.50 1979 120008.95 85630.10 17939.52 731.25 18670.77 8629.14 28.28 287.13 903.25 46.16 1236.55 5814.11 1980 135245.63 94228.32 18911.60 800.88 1971249 13980.94 21.52 311.15 915.78 7484 1301.76 6000.60 1981 151734.46 106366.22 20144.81 879.32 21024.13 16733.34 15.55 326.25 950.62 95.81 1372.69 6222.53 1982 170213.47 121070.80 21804.78 970.93 22775.70 18355.88 13.54 338.33 1026.03 105.92 1470.28 6527.27 1983 189153.69 133965.81 24679.35 1108.82 25788.17 19983.61 19.95 355.59 1394.91 128.85 1879.34 7516.80 1984 197135.27 139886.31 25723.05 1162.34 26885.39 20409.65 15.34 338.50 1526.32 125.01 1989.82 7948.76 1985 205316.41 148920.71 26291.18 1190.63 27481.81 19202.35 7.71 311.66 1343.57 98.72 1753.95 7949.89 1986 217186.96 156452.85 29431.17 129384 30725.01 18690.49 6.14 312.52 1636.90 104.64 2054.05 9258.42 1987 229860.47 165301.96 33584.91 1402.50 34987.40 17859.32 12.14 319.98 1582.10 94.07 1996.15 9703.51 1988 248634.26 175934.94 40597.30 1567.83 42165.13 17500.28 16.48 347.31 1736.55 9565 2179.51 10837.92 1989 272982.67 188897.89 46880.66 1648.49 48529.15 19041.05 17.98 352.00 2893.63 143.01 3388.64 13107.97 1990 303849.87 206588.73 55979.70 1798.28 57777.98 2062802 12.59 377.69 321498 147.63 3740.30 15102.25 1991 339747.92 228806.54 65908.45 2024.64 67933.09 22590.28 1618 441.57 2931.87 130.73 3504.16 16897.67 1992 373917.74 254605.24 72005.83 2204.85 74210.68 22688.69 42.23 505.34 2734.86 123.36 3363.56 19007.35 1993 408733.93 285127.49 75027.37 2346.92 77374.28 22325.52 96.50 569.09 2439.32 115.32 3123.72 20686.41 1994 450839.58 321063.88 77670.75 2530.91 80201.67 23667.85 136.06 665.83 2232.57 113.15 3011.56 22758.57 1995 501742.21 362128.36 81933.22 2991.82 84925.04 24915.44 180.94 943.42 2260.37 124.96 3328.75 26263.68 1996 562576.57 408713.05 88605.75 3461.64 92067.39 26203.52 21635 1356.16 2818.32 126.82 4301.30 3107497 1997 626940.02 455701.05 96762.32 4079.25 100841.57 29686.09 324.85 1898.65 3219.63 102.29 5220.57 35165.87 1998 636581.45 462248.94 98469.16 4451.06 102920.21 28463.48 291.28 2265.56 3487.57 74.86 5827.99 36829.54 1999 623168.00 465358.46 88628.99 4204.00 92832.99 24662.88 220.75 2119.96 3282.86 54.86 5457.69 34635.24 2000 621098.35 468151.43 86878.74 4448.63 91327.36 24996.51 154.17 1924.46 2785.87 40.97 4751.30 31717.58 2001 625404.93 471995.43 86948.12 4832.36 91780.48 28004.19 126.73 1803.93 2520.35 34.54 4358.83 29139.28 2002 628201.82 477107.75 85969.81 5096.18 91065.99 29311.52 115.80 1673.04 2325.94 31.24 4030.22 26570.54

Keterangan: T -10 : Bangunan T -20 : Mesin terbagi 2 jenis:

T -21 : Mesin penggerak mula, mesin clan perlengkapannya, clan motor listrik T -22 : Mesin listrik clan perlengkapannya

T-40 : Transportasi T-40 : Ternak

T-50 : Perlengkapan terbagi 3 jenis: T-31 : Perlengkapan listrik T-32 : Perlengkapan logam T-33 : Perlengkapan kain/kulit T-60: Lainnya


(46)

45 Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia

Tabel 2

Perkembangan Distribusi Stok Kapital Menurut Sektor Ekonomi

1960 1595.74 542.73 505.64 223.24 286.46 104.22 59.77 62.56 53.16 93.33 1961 3804.05 1289.91 1198.99 528.38 680.35 245.67 141.80 148.69 126.25 221.35 1962 5600.87 1887.87 1746.93 766.93 994.50 353.59 206.74 217.59 184.48 322.66 1963 6678.57 2231.71 2052.33 895.54 1174.04 407.63 243.01 257.13 217.59 379.35 1964 7794.19 2582.46 2361.88 1023.49 1357.73 459.70 279.60 297.32 251.25 43692 1965 8827.73 2902.42 2642.87 1136.96 1525.98 504.09 312.53 333.72 281.84 489.31 1966 9937.75 3247.40 2947.33 1259.93 1707.74 552.42 348.01 372.67 314.82 546.09 1967 10498.25 3406.07 3077.49 1306.31 1790.75 564.90 362.84 389.76 329.50 570.75 1968 11307.00 3651.90 3288.07 1389.86 1919.06 595.23 387.28 416.52 352.69 610.24 1969 12598.44 4065.75 3654.76 1544.51 2135.29 659.59 430.34 462.36 392.32 678.50 1970 14627.76 4732.42 4255.62 1804.10 2484.08 773.34 50129 537.17 456.69 789.97 1971 17197.35 5581.24 5023.15 2137.71 2928.02 921.21 592.14 632.92 538.82 932.20 1972 20310.42 6609.60 5953.43 2542.21 3465.83 1100.82 702.41 749.40 638.38 1104.54 1973 23954.79 7810.11 7039.11 3012.77 4094.10 1309.07 831.09 885.80 754.62 1305.67 1974 28347.21 9253.89 8346.24 3577.13 4850.79 1558.23 985.84 1050.29 894.47 1547.83 1975 33296.56 10873.80 9811.41 4206.38 5700.53 1834.13 1159.08 1235.01 1051.29 1819.38 1976 3815723 12448.91 11227.48 4808.76 6526.45 2093.47 1326.29 1414.30 1203.38 2082.12 1977 43787.21 14272.30 12867.86 5505.42 7483.27 2393.05 1519.79 1621.79 1379.44 2386.51 1978 50266.44 16372.30 14758.97 6308.57 8585.78 2738.77 1742.69 1860.63 1582.25 2737.44 1979 56471.45 18365.90 16541.87 7060.07 9631.13 3056.48 1952.69 2086.47 1774.22 3068.66 1980 62299.72 21536.71 17980.66 8893.97 10572.28 4098.67 2266.11 2229.68 2038.21 3329.62 1981 68776.48 25079.34 19646.11 10338.21 11580.66 4737.82 3318.49 2413.30 2294.07 3549.98 1982 76737.32 29685.75 21210.47 11239.30 12683.11 5312.86 4379.29 2616.11 2612.02 3737.26 1983 80497.54 36517.48 22579.76 13069.72 13835.28 6499.95 6507.14 2798.35 2956.91 3891 .56 1984 80373.65 40178.17 23781.05 1373271 14083.52 7478.36 7507.84 2954.08 3028.01 4017.89 1985 81325.96 43436.68 25295.36 14419.56 14441.72 8105.91 7911.79 3148.58 3092. 18 4138.66 1986 81910.14 48575.16 27750.04 15360.78 14984.51 8709.51 8908.67 3506.10 3189.83 4292.23 1987 80997.84 54518.71 30834.40 16831.55 15476.09 9401.38 10147.59 3931.85 3282.89 4438.17 1988 79766.89 63767.43 34462.27 19328.88 16300.52 10422.38 12016.86 4509.95 3478.93 4580.15 1989 82904.19 72427.67 39367.45 21837.33 17263.26 11390.44 13911.61 5214.19 3869.41 4797.13 1990 87602.49 82875.79 44818.27 25115.52 18375.18 13403.63 16117.78 6172.13 4292.17 5076.90 1991 96421.02 92083.52 53441.48 27295.37 19495.68 14279.71 17727.59 7149.92 5650.00 6203.63 1992 109251.39 100431.44 56613.55 28595.04 20450.37 14625.40 19414.85 9818.81 7148.06 7568.83 1993 117787.76 112786.79 57372.51 30465.57 21458.36 15095.53 21434.89 13589.13 8735.73 10007.65 1994 124491.96 130043.03 59520.63 31931.75 22776.41 15792.02 24079.53 20274.36 10121.12 11808.78 1995 123187.79 144704.07 60543.58 39082.05 24404.97 22538.27 34036.43 29700.73 10003.50 13540.80 1996 128030.87 152051.74 63558.13 52167.06 26675.77 39716.44 38683.41 36722.39 9868.08 15102.68 1997 135453.81 154939.85 74371.43 63028.56 28818.66 56943.56 42366.58 44543.77 9854.04 16619.76 1998 132223.46 149183.10 80019.91 64587.57 29171.22 65042.98 41561.01 48858.57 8942.27 16991.37 1999 127659.68 139568.73 81386.92 63648.65 28504.97 68594.92 38081.19 51148.78 7905.92 16668.24 2000 123774.37 131431.75 86373.40 63352.02 28329.09 73551.00 36189.27 54230.70 7145.12 16721.64 2001 115722.73 124681.91 93268.13 63536.10 28353.02 79048.57 39441.80 57966.37 6542.14 16844.16 2002 107827.40 119068.67 98844.18 63778.15 28380.86 83674.09 42439.86 61319.51 6006.62 16862.48 Tahun Pemerintahan Umum Keuangan Persewaan & Jasa perusahaan Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel & restoran Pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan Pengangkut-an & komunikasi Jasa-Jasa Listrik, Gas & air bersih Bangunan Pertam-bangan & penggalian


(47)

Menerawang

Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Firman Mochtar*

Dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta turut memperhatikan sumber pembiayaan bagi penerapan satu kebijakan, tulisan ini berusaha menelaah dampak penerapan kebijakan moneter yang ‘forward looking’. Hasil menerawang mengindikasikan bahwa upaya menerapkan kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dalam periode SBI sebagai piranti moneter relatif terbatas. Sempitnya ruang gerak kebijakan moneter yang ‘forward looking’ pada periode SBI ini tersirat dari kemungkinan munculnya fenomena ‘tight monetary paradox’ saat kebijakan moneter ketat diterapkan. Gambaran berbeda bilamana kebijakan moneter yang ‘forward looking’ tersebut diterapkan pada saat piranti yang digunakan adalah surat utang negara (SUN, misalnya T-Bills). Kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dalam periode T-Bills ini terindikasi lebih leluasa bergerak untuk mengendalikan inflasi ke depan. Indikasi lain yang juga terlihat dari tulisan ini adalah sulitnya bagi kebijakan moneter yang ‘forward looking’ untuk dapat berdiri sendiri dalam formulasi kebijakan moneter. Meski dengan bobot yang lebih kecil dibandingkan bobot yang diberikan kepada proyeksi inflasi, formulasi kebijakan moneter masih tetap perlu mempertimbangkan kondisi inflasi yang sedang terjadi untuk melengkapi kebijakan moneter yang forward looking tersebut.

* Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan – Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Penulis menyampaikan terima kasih kepada Wahyu A. Nugroho atas saran dan kritik terhadap lamunan ini.


(48)

47

Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

1. Pendahuluan

Pemahaman bahwa efektivitas kebijakan moneter mempunyai efek tunda melahirkan pemahaman lanjutan bahwa kebijakan moneter yang diterapkan haruslah berkarateristik ‘forward looking’ (Batini dan Haldane, 1999). Dalam hubungannya dengan ekonomi Indo-nesia, pemahaman yang sama juga muncul terutama berkaitan dengan kerangka inflation

targeting dimana salah satu elemennya adalah perlunya kebijakan moneter yang merespon

ekspektasi inflasi ke depan (Agung et.al, 2002 dan Alamsyah et.al, 2003).

Berkaitan dengan kebijakan moneter yang ‘forward looking’ tersebut, tulisan ini hanya mencoba menerawang1 secara singkat dan sederhana tentang kelayakan penerapan

karakteristik kebijakan moneter ‘forward looking’ tersebut. Berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang tidak memasukkan variabel agregat moneter (‘M’), lamunan ini menggunakan pendekatan lain yaitu dengan tetap mengakomodasi besaran moneter dalam sistem analisa. Upaya berbeda ini dilakukan karena pembahasan akan dicoba dikaitkan dengan piranti yang digunakan dalam operasi pasar terbuka (OPT), yaitu SBI untuk saat ini atau kemungkinan menggunakan surat utang negara (SUN, misalnya T-Bills). Dua bagian selanjutnya akan menerangkan secara singkat model yang digunakan serta hasil-hasil simulasi kejutan kebijakan moneter yang ‘forward looking’. Bagian terakhir ditutup dengan implikasi kebijakan.

2. Model

Model yang digunakan adalah sama dengan model pada Mochtar (2003). Perbedaan utama model yang digunakan ini dengan penelitian terdahulu tentang kebijakan moneter yang forward looking di Indonesia (Hutabarat et.al, 2000, Darsono, et.al, 2002, Hutabarat, 2003) terletak pada upaya untuk memperhatikan sumber pembiayaan kebijakan moneter. Sebagaimana pada Mochtar (2003), sumber pembiayaan kebijakan moneter dapat bersumber dari bank sentral bilamana instrumen yang digunakan merupakan surat berharga milik bank sentral (seperti SBI) atau bersumber dari pajak bilamana instrumen kebijakan moneter tersebut menggunakan surat berharga pemerintah (seperti T-Bills). Perbedaan kedua yaitu turut mempertimbangkan interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang sedang diterapkan. Upaya turut mengakomodir dampak interaksi kedua kebijakan tersebut sangat penting karena pengaruh dari kebijakan akan tergantung pola kebijakan yang sedang dijalankan di tiap kebijakan.

Implikasi yang muncul dari upaya mengakomodir sumber pembiyaan ini adalah tetap memberikan tempat kepada besaran moneter (‘M’) ke dalam sistem analisa. Keuntungan


(49)

tidak langsung yang didapat bila mengakomodasi ‘M’ tersebut adalah memberikan gambaran pentingnya untuk tetap memperhatikan variable ‘M’ dalam kebijakan moneter karena pada dasarnya uang dan suku bunga memiliki hubungan yang simultan sehingga tidak dapat dipisahkan (Leeper, 2003). Argumentasi lain adalah karena transmisi kebijakan moneter tidak dapat hanya ditangkap melalui perilaku suku bunga sehingga peran ‘M’ masih cukup relevan dipertimbangkan (Meltzer, 2001). Dikaitkan dengan kondisi Indone-sia periode sekarang, hal ini semakin relevan akibat kondisi perbankan yang mengalami ekses likuiditas sehingga unsur kuantitas ’M’ dalam kebijakan moneter patut pula memperoleh perhatian.

Guna kepentingan kelengkapan analisa, model akan dijabarkan kembali secara singkat. Perekonomian diasumsikan berpopulasikan rumah tangga yang pada tiap periode t memilih konsumsi riil

c

t, uang nominal,

M

t

d

serta surat berharga bank sentral atau pemerintah

B

t d

guna memaksimalkan utilitas

max ( , / ), ,

{c,M ,B } t

t t

d t t

t td td

E βU c M P 0 β 1

0 < < = ∞

(1) dimana

U c M P c M

P t t d t t t d t ( , / )= , − +               > − − α α α α α α α 1 0 1 1 (2) dengan batasan anggaran

c M M

P

B R B

P y t t d t t t d t t t t t

+ − −1 + − −1 −1 = −τ ,

(3) dimana

P

t indeks harga secara umum, Rt−1 bunga dan pokok surat berharga bank sentral

atau pemerintah yang dijual pada satu periode sebelumnya (t-1) dan jatuh tempo pada periode t,

τ

t pajak lumpsum yang ditarik pada periode t dan

y

t produksi perekonomian

pada periode t.

Pengeluaran pemerintah dalam arti konsolidasi anggaran pemerintah pusat dan bank sentral (government budget constraint) dibiayai melalui penciptaan uang oleh bank sentral, MtMt1, nilai bersih penjualan surat berharga bank sentral atau pemerintah, BtRt−1Bt−1,

dan pajak lumpsum,

τ

t, sehingga memenuhi persamaan batasan anggaran pemerintah dalam arti konsolidasi antara pemerintah pusat dengan bank sentral

M M

P

B R B

P g

t t

t

t t t

t

t t


(50)

49

Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Pengeluaran pemerintah diasumsikan konstan dalam rasio tertentu terhadap output perekonomian,

g

t

=

λ

y

t dimana 0< <λ 1, sehingga persamaan (4) dalam nilai riil menjadi :

mt m b b R y

t

t t

t t

t

t t

− −1 + − −1 −1 + =

π π τ λ (5)

Kebijakan moneter diasumsikan merupakan fungsi dari kombinasi inflasi pada periode bersangkutan dan ekspektasi inflasi satu periode mendatang inflasi.

Rt = exp(γ π π θ) t t+ t γ γ

0 1

1 2 (6)

dimana

log( )θt = ρθlog(θt1)+σ εθ tθ, ρθ ∈[ , )0 1 dan

σ

θ > 0 (7) Bank sentral melalui kebijakan moneternya dapat melakukan kombinasi pemilihan bobot kedua inflasi tersebut sesuai dengan prioritas kebijakan moneter. Bilamana kebijakan moneter tersebut lebih memprioritaskan kebijakan moneter ‘backward looking’ maka bobot

γ1 akan lebih besar dibandingkan dengan bobot γ2. Sebaliknya, bila kebijakan moneter yang diterapkan lebih bersifat ‘forward looking’ maka bobot γ2 akan lebih besar dibandingkan dengan bobot γ1.

Kebijakan fiskal berupa kebijakan penetapan pajak lumpsum diasumsikan mengacu kepada posisi surat berharga pemerintah (SBI atau T-Bills) pada periode sebelumnya.

τ

δ

δ

ν

t

=

exp(

0

)

b

t−1 t

2 (8)

dimana

log(ν t)= ρνlog(ν t1)+σ εν tν, ρν ∈[ , )0 1 dan σν >0 (9) Hasil rinci penjabaran model ekonomi dalam kondisi optimum dan bentuk linearisasi-nya dapat dilihat pada Mochtar (2003).

3. Simulasi Perubahan Parameter Kebijakan Moneter

Menggunakan model di atas, analisa dilanjutkan dengan mengubah parameter-pa-rameter pada kebijakan moneter (γ γ1, 2) serta membandingkan dampaknya terhadap

perkembangan inflasi. Sekali lagi disampaikan, kebijakan moneter tersebut lebih didefinisikan sebagai kebijakan moneter yang ‘forward looking’ bilamana bobot γ2lebih besar dibandingkan dengan bobot γ1. Sebaliknya kebijakan moneter dikategorikan ‘back-ward looking’ adalah jika bobot γ1 lebih besar dibandingkan dengan bobot γ2.


(51)

Periode SBI

Asumsi utama dalam periode ini adalah kebijakan fiskal bersifat aktif yaitu pemerintah melalui kebijakan fiskal-nya tidak memberikan respon saat terjadi perubahan pada posisi SBI. Sebagai pengejawantahan karakteristik ini maka parameter untuk kebijakan fiskal yang digunakan adalah

δ

1

=

0

.

Berbagai hasil simulasi dengan mengubah komposisi bobot kebijakan moneter, secara umum memperlihatkan bahwa upaya menerapkan kebijakan moneter yang ’forward look-ing’ dalam periode SBI relatif terbatas. Sebaliknya, dalam periode SBI ini kemungkinan penerapan kebijakan moneter yang ’backward looking’ terlihat masih lebih dominan karena kebijakan moneter tersebut akan mampu mengendalikan inflasi beberapa saat setelah kebijakan moneter tersebut diterapkan (Tabel 2).

Menggunakan parameter kebijakan moneter yang berkarateristik ‘backward look-ing’ (tergambar pada parameter

γ

1 yang lebih dominan/besar dalam formulasi kebijakan moneter), hasil yang didapat adalah kebijakan moneter dapat secara penuh dalam beberapa periode mengendalikan inflasi (baca: terdapat solusi yang unik terhadap inflasi bilamana terjadi kejutan dari kebijakan moneter). Sebagai ilustrasi, dengan parameter kebijakan moneter

γ

1 = 0 5, dan γ2 =0 1, , hasil simulasi memperlihatkan bahwa kejutan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga SBI pada periode awal akan segera menurunkan mampu menurunkan inflasi di periode setelah kejutan moneter tersebut (gambar 1).

Selain itu, simulasi juga dilakukan dengan membandingkan dampaknya bila menggunakan piranti yang berbeda dalam kegiatan OPT bank sentral, yaitu perbedaan antara penggunaan SBI sebagai piranti OPT dan penggunaan surat utang negara (SUN, misalnya T-Bills). Untuk tujuan itu maka perubahan parameter dilakukan terhadap param-eter kebijakan fiskal (

δ

1). Selebihnya parameter-parameter steady state yang digunakan dalam model adalah sama dengan Mochtar (2003) sebagaimana pada tabel 1.

Tabel 1 Parameter Kalibrasi

Parameter

λ

π

β

b y

α


(52)

51

Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Katerangan :

= Parameter Kebijakan Moneter

KM 2* = Forward Looking dengan hasil “Tight Monetary Paradox” 2 = Dominasi Backward Looking 3 = Kondisi di bawah Multiple Equilibria Region (Indeterminacy) 2 = Dominasi Forward Looking 4 = Unstable Region

KM

γ

1

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 0.1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 5 0.2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 4 0.3 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 0.4 3 2 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0.5 3 3 2 2 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0.6 3 3 3 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0.7 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0.8 3 3 3 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0.9 3 3 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 1.0 3 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 4 4 1.1 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 4 1.2 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 4 1.3 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 4 1.4 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4 4 1.5 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 2* 4 4 4 4

γ

2

Tabel 2

Hasil Simulasi Parameter Kebijakan Moneter dalam Periode SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan

Tahun setelah Kejutan

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 -0.1 -0,2 0,5 0 2 -2 2 0 0 -2 10 5 0 1 0,5 0 Persen

x 10-16

Gambar 1

Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang


(53)

Perilaku inflasi yang muncul menggunakan kebijakan moneter yang ’bacward look-ing’ dalam periode SBI adalah kebijakan moneter ketat di periode awal berarti akan meningkatkan ekspektasi inflasi (Sargent dan Wallace, 1981). Hal ini karena pada periode selanjutnya pertumbuhan base money akan mengalami pertumbuhan positif sebagai dampak dari komitmen Bank Indonesia untuk membayar bunga atas SBI yang telah dijual pada periode sebelumnya. Dengan asumsi Bank Indonesia di periode kedua ini tidak kembali melakukan pengetatan kebijakan moneter guna menyerap kembali ’injeksi’ uang tersebut maka secara kumulatif uang yang beredar mengalami peningkatan yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya kembali inflasi di periode berikutnya.

Perilaku berbeda akan nampak bila kebijakan moneter yang ’forward looking’diterapkan. Meski terdapat beberapa hasil simulasi kebijakan moneter yang ’for-ward looking’ ini sesuai dengan harapan, perilaku dominan yang muncul dari dampak kebijakan moneter yang ’forward looking’ ini adalah fenomena ’tight monetary paradox’ yaitu kebijakan moneter ketat justru akan meningkatkan inflasi bersamaan dengan kebijakan moneter ketat tersebut (gambar 2). Kondisi aktual yang menggambarkan perilaku ’tight monetary paradox’ini terjadi di perekonomian Kenya (Buffie, 2003).

Sebagai ilustrasi dengan menggunakan bobot parameter

γ

1

=

0 1

,

dan

γ

2

=

1 0

,

(gambar 2), alur transmisi ’tight monetary paradox’ ini adalah karena ’representative agent’ memahami bahwa kebijakan moneter ketat dalam periode SBI, —bila tidak dibarengi oleh

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal) Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan

Tahun setelah Kejutan

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0.5 0 -0,5 2 0 -2

-5 5 0

0 -5 20 0 -20 0 -0,5 -1

Persen

x 10-16 5

Gambar 2

Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’ dalam Periode SBI


(54)

53

Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

penyerapan kembali di periode selanjutnya—, akan mengakibatkan meningkatkan ekspektasi inflasi. Dalam kondisi bank sentral lebih memusatkan perhatian kepada inflasi ke depan (sebagai cerminan dari kebijakan moneter yang ‘forward looking’) maka kebijakan moneter ketat tersebut (melalui ’fisher equation’) akan berdampak pada menurunnya suku bunga nominal. Penurunan suku bunga nominal ini selanjutnya akan menurunkan permintaan SBI dan meningkatkan permintaan uang. Dalam kondisi ini meningkatnya pertumbuhan uang nominal ini maka pada akhirnya akan meningkatkan inflasi sesaat setelah kebijakan moneter ketat tersebut diterapkan.

Selain kedua hasil tersebut, hasil lain yang muncul dari simulasi parameter kebijakan moneter ini adalah perilaku inflasi yang indeterminacy. Implikasi ekonomi dari hasil ini adalah kemungkinan sulitnya kebijakan moneter mengendalikan inflasi karena adanya unsur multiple equilibria dari inflasi yang terjadi (gambar 3). Kendati demikian, dalam kondisi aktual, hasil ini masih diperdebatkan karena secara praktik fenomena ini sulit ditemukan (McCallum, 2001). Hasil lain yang nampak dari simulasi adalah kondisi un-stable yaitu tidak ditemukannya nilai tunggal inflasi (gambar 4).

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Tahun setelah Kejutan

Persen

1 0 -1 5 0 -5

-10 10 0

0 -10 50 0 -50 2 0 -2 10

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan

Gambar 3

Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’ dalam Periode SBI


(55)

Periode T-Bills

Asumsi utama untuk periode ini adalah Bank Indonesia telah menggunakan Surat Utang Negara (SUN misalnya T-Bills) sebagai piranti dalam operasi pasar terbuka. Berkaitan dengan karakteristik ini diasumsikan pula bahwa kebijakan fiskal bersifat pasif yaitu kebijakan fiskal yang secara permanen memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi pada posisi T-Bills guna memenuhi keseimbangan pada persamaan anggaran. Dalam hubungan itu pula maka parameter skenario kebijakan fiskal ditunjukkan oleh nilai

δ

1

=

0

,

3

.

Gambar 4

Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

dalam Periode SBI (γ1 =0 6, ,

γ

2 =0 9, ) dengan Hasil ‘Unstable Region’

0,04 0.02 0 0,5 0 -0,5

-0,2 -0,4 0 -0,2 -0,4 0 -2 -4 0,2 0

0,1 0

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan

Tahun setelah Kejutan


(56)

55

Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Berbeda dengan hasil periode SBI, hasil simulasi berbagai bobot parameter kebijakan moneter pada periode T-Bills memperlihatkan bahwa kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dapat lebih leluasa diterapkan untuk mengendalikan inflasi (Tabel 3). Sebagai gambaran, dengan menggunakan bobot γ1 = 0 5, dan γ2 =0 8, , kebijakan moneter yang ’forward looking’ ini akan mampu mengendalikan inflasi sesuai harapan. Inflasi akan tetap menurun secara permanen setelah kebijakan moneter ketat diimplementasikan (gambar 5).

Tabel 3

Hasil Simulasi Parameter Kebijakan Moneter dalam Periode T-Bills

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 0.1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 0.2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 0.3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 0.4 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0.5 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0.6 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0.7 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0.8 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0.9 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1.0 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1.1 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1.2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1.3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1.4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1.5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1

KM

Keterangan :

= Parameter Kebijakan Moneter KM

2 = Dominasi Backward Looking 3 = Kondisi di bawah Multiple Equilibria Region (Indeterminacy) 2 = Dominasi Forward Looking

γ

1


(57)

Gambar 5

Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

dalam Periode T-Bills (γ1 =0 5, , γ2 =0 8, ) dengan Hasil Solusi yang Tunggal

4. Implikasi Kebijakan

Berbagai hasil simulasi dari lamunan ini menyiratkan bahwa upaya memperhatikan sumber pembiayaan dalam kebijakan moneter serta interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter akan memberikan hasil yang berbeda terhadap dampak penerapan kebijakan moneter yang ’forward looking’. Dalam periode SBI sebagai instrumen OPT, efektivitas kebijakan moneter yang ’forward looking’ terindikasi terbatas. Dengan analogi bermain sepakbola, penerapan kebijakan moneter ‘forward looking’ dalam periode SBI tanpa melihat ’kondisi lapangan’ kebijakan makro ekonomi tempat ’bermain’ akan menyebabkan terjadinya ‘senggolan’ antar pemain sendiri sehingga dapat menyebabkan tidak harmonisnya alur permainan bahkan dapat ‘terjerembab’ dalam indikasi fenomena ‘tight monetary paradox’.

Hal berbeda diperlihatkan bilamana kebijakan moneter ‘forward looking’ tersebut diterapkan di era SUN sebagai piranti OPT. Kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dapat ‘bermain’ secara lebih leluasa memanfaatkan ‘luasnya lapangan’ kebijakan makroekonomi sehingga mampu ‘menembak’ inflasi ke depan dengan tepat.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Tahun setelah Kejutan

0,05

0 0 -0,1 -0,2

-2 -1

0 -1 -2 10 5 0 4 2 0

0

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan T-Bills

Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Pemerintah


(58)

57

Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’

Implikasi lain yang muncul dari ‘permainan imajiner’ ini adalah kebijakan moneter forward looking tidak dapat ‘bermain’ sendiri dalam formulasi kebijakan moneter. Kedua periode simulasi memperlihatkan bahwa hasil solusi yang tunggal akan dapat diperoleh bilamana formulasi kebijakan moneter tersebut juga mempertimbangkan kondisi inflasi yang sedang terjadi dan tidak hanya proyeksi inflasi ke depan (forward looking). ‘Bayangan’ ini mengimplikasikan bahwa kebijakan moneter harus tetap membagi ‘anggota tim’ kebijakan moneter-nya antara pemain dari ‘inflasi yang sedang terjadi’ dan pemain ‘inflasi ke depan’ secara optimal sehingga dapat bermain dengan cantik untuk menghasilkan gol berupa inflasi yang terkendali.

Daftar Pustaka

Agung, J., Siti Astiyah, Elisabeth S., Nugroho J.P., M.F. Muttaqin, Rifki I. (2002), Identifikasi Variabel Informasi dalam Framework Inflation Targeting, Occasional Paper Bank Indo-nesia, 30 Juni

Alamsyah, Halim, Agung, J., Budiman, A., Affandi, Y., (2003), “Perubahan Struktural dan Kebijakan Moneter Pasca Krisis: Retrospek dan Framework ke Depan”, paper Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia pada seminar ISEI di Malang 14-15 Juli 2003

Batini, N. dan Haldane, A.G. (1999), “Forward-Looking Rules for Monetary Policy” dalam John B. Taylor, eds, “Monetary Policy Rules’, The University of Chicago Press, London Buffie, Edward F (2003),”Tight Money, Real Interest Rates, and Inflation in Sub-Saharan

Africa”, IMF Staff Papers, Vo. 50, No.1

Darsono, Hutabarat, A.R., Wimanda, R.E., Handayani, D.E. (2002), “Disain Policy Rule untuk Indonesia”, Working Paper, Program Kerja Strategis, Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bagian Studi Sektor Riil

Hutabarat, A.R., Anglingkusumo, R., Madjardi, F., dan Wimanda, R.E. (2000), “Policy Rules untuk Pengendalian Inflasi secara Forward Looking”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Vol. 3, Nomor 3, Desember, Bank Indonesia

Hutabarat, A.R., (2003), “Suku Bunga SBI dan Proyeksi Inflasi”, Occasional Paper Bagian Studi Sektor Riil - Bank Indonesia, Agustus


(59)

Leeper, E.M.dan J.E. Roush (2003), “Putting ‘M’ Back in Monetary Policy”, NBER WP 9552, March

Leeper, Eric M., (2002) “A Model of Monetary and Fiscal Policy Interactions”. Indiana Uni-versity, unpublished

McCallum, Bennet T. (2001), “Monetary Policy Analysis in Model without Money”, Federal Reserve Bank of St. Louis, July/August

Meltzer, A.H. (2001), “The transmission process”, dalam “The Monetary Transmission Pro-cess: Recent Development and Lesson for Europe, Palgrave, London, Deutsche Bundesbank, 112-130

Mochtar, Firman (2003), “SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 6 No.2, September

Poerwadarminta, W.J.S. (1986), “Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cetakan IX, Jakarta


(60)

59

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

1. Pendahuluan

Inflation targeting (IT) secara implisit telah diterapkan di Indonesia sejak Bank Indo-nesia mengumumkan target inflasi secara transparan kepada publik di awal tahun 2000. Penerapan IT di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan (Alamsyah, et al, 2001). Pertama, dengan telah ditinggalkannya sistem nilai tukar sebagai nominal anchor, diperlukan adanya anchor alternatif yang kredibel. Kedua, penerapan inflation targeting merupakan konsekuensi dari independensi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter yang difokuskan pada pengendalian inflasi.

Penerapan inflation targeting di Indonesia terutama jika diterapkan secara “ketat”

(strict) masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, komitmen untuk mencapai target

inflasi bermanfaat untuk mendisiplinkan bank sentral dalam menjalankan kebijakan moneter, terutama dalam situasi ketika tekanan-tekanan untuk melakukan kebijakan moneter yang akomodatif sangat besar. Bukti empiris di beberapa negara menunjukkan bahwa walaupun inflasi menjadi prioritas, namun ketika ‘short-run’ trade off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi benar-benar sedang dihadapi, agak sulit bagi otoritas moneter untuk secara konsisten menjadikan inflasi sebagai tujuan utama. Dengan target inflasi yang secara eksplisit diumumkan kepada masyarakat dengan akuntabilitas yang jelas, bank sentral mau tidak mau harus memprioritaskan pencapaian target inflasi. Kebijakan moneter yang secara konsisten memprioritaskan pencapaian target inflasi akan meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter itu sendiri, yang pada gilirannya akan menurunkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan meminimalisir biaya pengendalian inflasi.

Sementara itu, beberapa pihak yang berkeberatan1 diterapkannya inflation

tar-geting di Indonesia pada saat ini mengajukan sejumlah alasan. Pertama, dalam kondisi

krisis, base money lebih baik dalam memberikan arah bagi kebijakan moneter karena

*) Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter serta Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan yang telah memberikan saran dan dukungan dalam penyelesaian paper ini 1 Misalnya, Felman (2000).

Identifikasi Variabel Informasi

Dalam Framework Inflation Targeting

Juda Agung, Siti Astiyah, Elisabeth Sukowati,


(61)

demand for base money lebih stabil dibandingkan dengan hubungan antara suku bunga

dan inflasi.2 Dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi, suku bunga yang terjadi sangat

berfluktuatif sejalan dengan naik turunnya premi resiko sebagai respon terhadap

perkembangan faktor-faktor non-fundamental. Kedua, kredibilitas Bank Indonesia lebih

mudah dibangun kembali melalui base money targeting karena bank sentral lebih mudah mengendalikan base money dibandingkan mengendalikan inflasi dalam situasi yang serba tidak pasti. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pengendalian base money bukanlah hal yang mudah, terutama ketika fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan normal dan aktivitas perekonomian berlangsung dengan uang kartal, maka sulit bagi kebijakan moneter untuk menyerap

kelebihan base money. Ketiga, dalam situasi dimana banyak kendala di sisi perbankan

dan sektor riil, kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi sering dihadapkan pada dilemma kebijakan. Karena publik mengetahui dilemma yang dihadapi oleh bank sentral dan memiliki persepsi bahwa bank sentral akan mentolerir laju inflasi untuk tidak mengorbankan sektor riil dan perbankan, ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakin meningkat. Dengan kata lain, karena publik melihat masalah yang dialami oleh perbankan maupun oleh perusahaan adalah masalah jangka pendek yang harus segera diselesaikan, maka publik kurang percaya bahwa bank sentral akan mengabaikannya demi pencapaian

target inflasi (credibility problem).

Dengan framework inflation targeting yang saat ini diterapkan, Bank Indonesia masih menggunakan target base money sebagai sasaran antara. Dalam praktek, target inflasi yang diumumkan tersebut digunakan dalam menghitung target base money dengan menggunakan simple quantity theory of money. Beberapa permasalahan dalam pengendalian base money dalam inflation targeting seperti ketidakstabilan hubungan antara base money dan inflasi dan keterbatasan instrumen dalam mengendalikan ‘kuantitas’ base money telah mendorong berkembangnya wacana tentang perlunya Bank Indonesia untuk

segera menerapkan inflation targeting secara penuh (full-fledged inflation targeting). ‘Full

inflation targeting’ mengandung pengertian bahwa kebijakan moneter dalam rangka mencapai target inflasi paling tidak didasarkan pada lima pilar, yaitu tidak adanya nomi-nal anchor lainnya, komitmen institusionomi-nal untuk mencapai kestabilan harga, tidak adanya dominasi fiskal, instrument independence, dan transparansi dan akuntabilitas (Mishkin dan Hebbel, 2001). Dari kelima pilar IT ini, hanya pilar pertama yang belum dipenuhi dalam framework kebijakan moneter yang saat ini dilakukan, yaitu masih adanya ‘double nominal anchor’ yaitu digunakannya base money sebagai nominal anchor selain target inflasi

itu sendiri.3 Lebih dari itu, kebijakan moneter belum sepenuhnya dilakukan secara

for-2 Dalam praktek inflation targeting, sejumlah negara menggunakan Taylor-type rule dalam merespon tekanan inflasi, dimana suku bunga digunakan sebagai operasional target.


(62)

61

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

ward looking, dalam arti target operasional tidak secara eksplist diarahkan untuk merespon perkembangan inflasi ke depan secara dinamis.

Framework inflation targeting yang bersifat forward looking mensyaratkan kemampuan bank sentral dalam memprediksi perkembangan inflasi ke depan. Studi ini ditujukan untuk mengidentifikasi sejumlah indikator atau variabel yang memiliki kandungan informasi terhadap inflasi ke depan. Dalam konteks inflation targeting informasi terhadap perkembangan inflasi ke depan ini sangat krusial dalam menentukan respon kebijakan moneter, yaitu respon dari target operasional jika perkembangan inflasi ke depan telah melenceng dari target inflasi yang telah ditetapkan.

Kesimpulan dari paper ini adalah sebagai berikut. Pertama, variabel-variabel nilai tukar merupakan ‘the best indicators’ inflasi dan memberikan efek yang segera terhadap inflasi. Kedua, variabel-variabel suku bunga memiliki information content yang lebih baik terhadap inflasi dibandingkan dengan variabel-variabel kuantitas uang. Temuan ini konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya yaitu suku bunga memiliki information content yang tinggi terhadap inflasi ke depan. Ketiga, output gap mengandung informasi inflasi yang sangat signifikan dan memiliki predictive power terhadap inflasi degan lag antara 12-18 bulan. Ekspektasi inflasi yang dihasilkan dari Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) merupakan indikator inflasi dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang kekuatan indikator ini terhadap inflasi melemah.

2. Inflation Targeting dan Information Variables

Secara operasional, negara-negara yang telah menerapkan inflation targeting secara penuh seperti UK, Canada, Swedia dan Brazil, menggunakan suatu “rule”, seperti Taylor rule dalam merespon terhadap tekanan inflasi ke depan. Secara spesifik, suku bunga yang menjadi stance kebijakan moneter disesuaikan apabila terjadi deviasi antara prakiraan inflasi yang akan datang (forecast inflasi) dengan target inflasi yang telah ditetapkan, dan apabila proyeksi atas aggregat permintaan telah melebihi kapasitas perekonomian.

r = ηrt-1 + α(πf-π*) + β(y-y*)

dimana r adalah suku bunga jangka pendek yang dipergunakan sebagai operational

target (instrument kebijakan), πf dan π* adalah inflasi yang akan datang (prakiraan inflasi)

dan target inflasi, y dan y* output aktual dan output potensial sehingga (y-y*) adalah output

gap. Suku bunga jangka pendek sebagai instrument moneter tersebut merupakan variabel yang harus dapat dikontrol oleh bank sentral dan akan berubah sebagai respon kebijakan dalam rangka pencapaian sasaran akhir target inflasi. Sehingga dalam rejim inflation


(63)

tar-geting, prakiraan inflasi mempunyai peranan yang penting karena prakiraan inflasi tersebut seringkali menjadi semacam “intermediate target”, sehingga kemampuan bank sentral untuk memprediksi inflasi secara tepat menjadi sangat penting. Akan tetapi dalam pengambilan kebijakan untuk merespon jika terjadi deviasi dari target menjadi lebih komplek karena hal ini juga tergantung dari banyak faktor antara lain penentuan dari model yang dipergunakan sehingga permasalahannya tidak sesederhana untuk forecast inflasi saja. Oleh karena itu, banyak negara yang menggunakan inflation targeting juga memerlukan set indicator vari-ables sebagai information varivari-ables. Sehingga varivari-ables yang mempunyai prediction con-tent dengan inflasi yang akan datang ini menjadi penting untuk membantu pengambil kebijakan.

Secara umum information variables merupakan sebuah set variabel indikator yang mempunyai kandungan informasi untuk memprediksi inflasi yang akan datang. Sebuah variabel dapat berperan sebagai information variabel ataupun sebagai intermediate target, tergantung dari framework kebijakan moneter yang digunakan. Sebagai contoh, nilai tukar dalam rejim nilai tukar tetap merupakan intermediate target, namun dalam rejim nilai tukar fleksibel merupakan information variable. Contoh lain, uang beredar yang berperan sebagai intermediate target dalam framework monetary targeting, dapat berperan sebagai infor-mation variable dalam framework inflation targeting.

Peranan dari suatu variable “hanya” sebagai information variable berbeda dengan

peranannya sebagai intermediate target4. Dalam framework intermediate targeting,

variabel tersebut harus memiliki hubungan struktural dengan variabel yang menjadi sasaran akhir yaitu inflasi, lebih dari sekedar memiliki ‘forecasting power’ atau ‘leading indicator’ inflasi. Lebih dari itu hubungan struktural tersebut harus stabil. Tentu saja variabel yang menjadi intermediate target harus dapat dikontrol oleh bank sentral melalui instrumen yang dimiliki, sehingga intermediate target itu berupa variabel finansial, seperti suku bunga jangka panjang atau uang beredar.

Sementara itu, variabel yang berperan sebagai information variabel tidak memerlukan hubungan struktural yang stabil dengan inflasi namun cukup memerlukan forecasting power terhadap inflasi. Di samping itu, salah satu keuntungan penggunaan information variable didalam inflation targeting adalah dimungkinkannya untuk memasukkan indikator non-finansial didalam implementasi kebijakan moneter sehingga dapat meningkatkan efektivitas pencapain sasaran akhir kebijakan moneter. Keuntungan lain dari pendekatan ini adalah bahwa sebuah variabel yang tidak lagi memiliki kandungan informasi inflasi dapat dengan mudah diganti dengan variabel yang lain. Ketidakstabilan hubungan struktural antara uang beredar dengan inflasi dan output pasca deregulasi sektor keuangan di berbagai negara


(64)

63

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

industri dan berkembang telah menggeser peran uang beredar dari sasaran antara menjadi sekedar information variabel (Friedman dan Kuttner, 1992). Dalam kaitan ini, ketidakpastian transmisi kebijakan moneter dalam suatu periode dimana telah terjadi perubahan struktural dalam perekonomian, penggunaan suatu set information variables dalam kebijakan moneter, daripada menggunakan sebuah variabel sebagai intermediate target, menjadi lebih tepat.

Pendekatan information variable sejalan dengan kerangka inflation targeting yaitu

bersifat constrained discretion dan orientasi kebijakan moneter yang bersifat aktif. Berbeda

dengan intermediate targeting dimana kebijakan moneter dilakukan secara pasif seperti misalnya Friedman’s money supply rule, pendekatan information variables berhubungan dengan penggunaan kebijakan moneter yang aktif seperti dalam inflation targeting dimana respon kebijakan moneter merupakan hasil ‘feedback’ dari variabel indikator. Information variables ini diharapkan dapat memberikan signal kepada otoritas moneter sehingga otoritas moneter dapat melakukan tindakan preventif jika terjadi “shock” yang dapat mempengaruhi target inflasi. Atas dasar informasi tersebut, otoritas moneter diharapkan dapat merubah policy stance yang diperlukan.

3. Metodologi dan Data 3.1. Metodologi

Untuk mengidentifikasi suatu variable yang dapat dikelompokkan dalam informa-tion variables, yaitu variabel-variabel yang memiliki kandungan informasi terhadap inflasi, studi ini menggunakan berbagai pendekatan. Pertama, untuk melihat hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang menjadi kandidat dengan inflasi, pertama kali dilakukan pengujian kointegrasi. Selain hubungan kointegrasi antara kedua variabel tersebut (bivariate), pengujian kointegrasi juga dilakukan dalam bentuk multivariate dengan melibatkan output riil (trivariate), dan output riil dan nilai tukar (four-variate). Kedua, selanjutnya untuk melihat ‘information content’ dari variabel-variabel indikator dilakukan ‘Granger causality test’ dari variabel indikator terhadap inflasi dalam bentuk reduce form persamaan inflasi dalam bentuk first-difference jika antar variabel tidak terdapat hubungan kointegrasi:

Xt = α(L) Xt-1 + β(L) Yt-1 + φ(L) Zt-1 + εt (1)

atau dalam bentuk model ‘error correction’ jika antar variabel terdapat hubungan kointegrasi, yaitu dengan menambahkan error correction term ke dalam model (1), menjadi:


(65)

dimana X adalah logaritmik dari indeks harga dan Y adalah variabel indikator. Z adalah vektor dari variabel kontrol yang kemungkinan mengandung informasi terhadap inflasi. Dalam hal ini Z adalah GDP riil untuk model tiga-variabel dan GDP riil dan nilai tukar

untuk model empat-variabel. EC adalah error correction term jika terdapat hubungan

kointegrasi antar variabel indikator, indeks harga dan variabel kontrol.

Ketiga, untuk melihat apakah hubungan antara variabel kandidat dan inflasi bersifat ‘struktural’ dalam arti variabel tersebut penting dalam transmisi kebijakan moneter, studi ini juga menghitung variance decomposition dari inflasi.

3.2. Data

Sampel data adalah bulanan 1984.01 – 2001.12. Data inflasi yang digunakan adalah inflasi IHK, inflasi inti dengan menggunakan metode exclusion dan inflasi inti dengan menggunakan metode trimming. Sedangkan variabel-variabel yang digunakan sebagai kandidat terdiri dari 29 variabel yang meliputi besaran moneter, suku bunga, spread, nilai tukar dan variabel di sektor riil seperti output gap dan ekpektasi inflasi. Besaran moneter meliputi base money (BM), uang kartal (CUR), uang beredar dalam arti sempit (M1), uang beredar dalam arti luas (M2), Divisia M1 (DIVM1), dan Divisia M2 (DIVM2). Besaran moneter yang lain meliputi total kredit (CR_TOT), total kredit dengan koreksi nilai tukar (CR_TOTEA), kredit investasi (CR_INV) dan kredit modal kerja (CR_WC). Variabel yang terkait dengan suku bunga meliputi suku bunga SBI 1 bulan (RSBI1M), suku bunga PUAB overnight (RON), suku bunga deposito 1 bulan (RD1) dan 3 bulan (RD3), suku bunga kredit modal kerja (RC_WC) dan suku bunga kredit investasi (RC_INV). Spread suku bunga meliputi spread antara suku bunga kredit dan deposito (SP_CD), spread antara suku bunga deposito dan suku bunga SBI (SP_DS). Sedangkan, nilai tukar meliputi nilai tukar nomi-nal (EXR), Real Effective Exchange Rate (REER), Nominomi-nal Effective Exchange Rate (NEER) dan swap rate. Semua data dalam bentuk level di-log-kan terlebih dahulu sebelum digunakan dalam berbagai prosedur empiris. Disamping itu, semua data dihilangkan dari unsur seasonalnya (seasonal adjustment) dengan metode X-12.

Sementara itu, sebelum melakukan pengujian kointegrasi, semua variabel perlu diuji tes stationaritas untuk menganalisa apakah masing-masing variabel tersebut stationer atau non-stationer. Hasil dari uji stationaritas dengan menggunakan prosedur Augmented Dickey-Fuller (ADF) dimana jumlah ‘agumented lag’ ditentukan sedemikian rupa sehingga residual dari persamaan ADF tidak mengandung serial correlation. Hasil pengujian dengan ADF ini ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1 mengindikasikan bahwa masing-masing level variabel tidak stasioner, sehingga perlu dilakukan uji stationaritas dengan menggunakan first difference untuk masing-masing variabel. Hasil uji stationaritas dengan menggunakan


(66)

65

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

first difference untuk masing-masing variabel tersebut menunjukkan bahwa masing-masing variabel adalah stasioner pada first difference atau masing-masing variabel tersebut berintegrasi order 1 (I(1)), sehingga valid digunakan untuk pengujian kointegrasi.

Dengan memperhatikan hasil uji stasionaritas, maka pengujian Granger causality menggunakan VAR dalam bentuk first difference. Sedangkan jika terdapat kointegrasi antar variabel, maka Granger causality test untuk melihat information content dari variabel-variabel kandidat dilakukan dengan menggunakan vector error correction, yaitu first dif-ference VAR dengan memasukkan error correction term.

4. Hasil Empiris

Hasil dari pengujian kointegrasi dan block exogeneity test (Wald test) untuk mengetahui kandungan informasi terhadap inflasi IHK, exclusion and trimming ditampilkan dalam Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4 masing-masing untuk sistem dengan dua, tiga dan empat variabel. Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan bahwa dalam sistem dua variabel (bivariate system), yaitu variabel informasi dan inflasi, menunjukkan bahwa uang primer, uang kartal, nilai tukar nominal, M1, Divisia M1 dan M2 terkointegrasi dengan ketiga jenis ukuran inflasi . Dalam sistem dengan tiga variabel (trivariate system), maka antara uang primer dan inflasi tidak lagi terkointegrasi, sedangkan variabel lainnya secara konsisten masih terkointegrasi. Namun, dalam sistem dengan empat variabel, yaitu dengan memasukkan nilai tukar ke dalam sistem, beberapa variabel yang sebelumnya terkointegrasi seperti uang primer dan uang kartal menjadi tidak terkointegrasi lagi.

Hasil pengujian dengan Wald test/causality test pada sistem dengan dua variabel untuk melihat kandungan informasi variabel terhadap inflasi mengindikasikan bahwa secara umum baik variabel kuantitas uang seperti uang kartal, M0, M1 dan M2, dan variabel-variabel suku bunga dan nilai tukar mempunyai kandungan informasi terhadap inflasi baik yang diukur dengan IHK maupun terhadap inflasi inti dengan metode exclusion dan trimming. Total kredit, kredit investasi, dan kredit modal kerja juga mempunyai kandungan informasi yang signifikan terhadap inflasi baik yang diukur dengan IHK maupun dengan inflasi inti yang diukur dengan exclusion dan trimming. Akan tetapi hasil uji bivariate Wald test menunjukkan bahwa kredit yang telah dikeluarkan pengaruhnya terhadap volatilitas nilai tukar (CR_TOTEA) tidak mempunyai information content secara significant terhadap inflasi baik yang diukur dari IHK, exclusion maupun trimming. Adanya ketidak konsistenan antara hasil uji total kredit dengan kredit yang telah dikeluarkan faktor perubahan nilai tukarnya mengindikasikan bahwa pengaruh kredit terhadap inflasi kemungkinan melalui pengaruh perubahan nilai tukar.


(67)

Hasil bivariate variance decomposition yang ditampilkan dalam Tabel 5 mendukung hasil dari Granger causality test. Variabel-variabel nilai tukar baik nominal maupun riil, kecuali swap rate, memiliki kemampuan prediksi yang terbesar dalam jangka pendek (6 bulan) dan kamampuan prediksi terhadap inflasi dalam jangka panjang masih relatif tinggi walaupun mengalami penurunan. Sebaliknya, variabel besaran moneter seperti uang kartal, base money, M1, dan M2 serta kredit memiliki kemampuan prediksi yang agak lemah untuk inflasi jangka pendek namun kemampuan prediksinya terhadap inflasi dalam jangka yang relatif lebih panjang menguat dan sangat signifikan di atas 24 bulan. Fakta di atas menunjukkan bahwa transmisi nilai tukar kepada inflasi bersifat segera, sedangkan transmisi uang beredar kepada inflasi memiliki waktu tunda yang relatif lebih lama antara 1-2 tahun. Mendukung temuan dari uji Granger causality, variance decompisition dari inflasi menunjukkan bahwa total kredit yang sudah dikoreksi dari unsur pergerakan nilai tukar tidak memiliki kemampuan prediktif yang sangat rendah. Sementara itu, variabel suku bunga yang memiliki kemampuan prediksi cukup signifikan terhadap inflasi IHK adalah suku bunga deposito 1 bulan dan suku bunga PUAB overnight. Namun, untuk inflasi inti baik yang dihitung dari exclusion maupun trimming, suku bunga deposito 3 bulan memiliki kemampuan prediksi yang lebih baik dibanding dengan suku bunga deposito 1 bulan.

Walaupun perhitungan output gap dengan metode Hodrick-Prescott sampai saat ini masih banyak mengandung kelemahan, namun kandungan informasi variabel ini terhadap ketiga ukuran inflasi sangat signifikan. Dari variance decomposition inflasi juga menunjukkan bahwa output gap memiliki kemampuan prediktif terhadap inflasi dengan lag antara 1-2 tahun. Sementara itu, ekspektasi inflasi juga mengandung informasi inflasi dalam jangka pendek. P redictive power ekspektasi inflasi menjadi melemah setelah 6 bulan.

Hasil temuan di atas juga konsisten pada sistem dengan tiga variabel. Secara umum tidak ada perbedaan temuan yang signifikan antara sistem dengan dua variabel dan tiga variabel. Hal ini juga tercermin dari temuan bahwa semua variabel nilai tukar, baik nilai tukar nominal (Rp/USD), nominal effective exchange rate (NEER), dan real effective ex-change rate (REER) secara konsisten memiliki kandungan informasi yang signifikan terhadap inflasi. Namun demikian, hasil pengujian Granger-causality menunjukkan bahwa kandungan informasi dari base money menjadi lemah dalam trivariate system. Sementara itu, dari hasil trivariate variance decomposition, semakin menunjukkan konsistensi nilai tukar sebagai indikator inflasi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, sementara predictive power dari beberapa besaran moneter seperti base money, uang kartal, M1 dan M2 mengalami penurunan. Sebaliknya, predictive power dari suku bunga terutama suku bunga PUAB overnight mengalami penguatan dibanding dalam bivariate.


(68)

67

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

Hasil pengujian Granger causality dengan empat variabel dalam VAR, yaitu dengan memasukkan nilai tukar nominal ke dalam VAR, ditampilkan dalam Tabel 4, sedangkan four-variable variance decomposition disajikan dalam Tabel 7. Hasil dari Granger cau-sality maupun variance decomposition dengan memasukkan nilai tukar ke dalam sistem menunjukkan perubahan yang cukup signifikan dari information content dan predictive power dari variabel-variabel kandidat. Kandungan informasi terhadap inflasi dari berbagai besaran moneter seperti M1, M2, Divisia M1 dan M2 menjadi hilang. Divisia M1 dan Divisia M2 memiliki kandungan informasi terhadap inflasi inti yang dihasilkan dari metode trimming. Sementara itu, base money dan uang kartal masih memiliki kandungan informasi terhadap semua jenis inflasi namun tidak terkointegrasi dengan inflasi. Temuan ini didukung dengan hasil dari variance decomposition yang menunjukkan bahwa pre-dictive power dari base money dan uang kartal melemah. Hal ini memperkuat fakta tingginya peran nilai tukar dalam mempengaruhi inflasi sehingga peran dari agregat moneter menjadi kurang signifikan. Yang menarik adalah kandungan informasi dari variabel suku bunga menjadi menguat, bahkan predictive power dari suku bunga PUAB melebihi predictive power dari base money baik untuk prediksi inflasi dalam jangka yang lebih pendek (1 tahun) maupun jangka panjang (2-3 tahun). Output gap menjadi variabel yang memiliki predictive power yang tertinggi baik untuk jangka waktu 1, 2 dan 3 tahun ke depan, konsisten untuk semua jenis inflasi.

Untuk mengetahui seberapa lama dampak dari perubahan variabel indikator tersebut akan mempengaruhi inflasi yang akan datang, studi ini menggunakan impulse-response. Impulse–response function ini pada dasarnya digunakan untuk mengetahui time path response dari target variabel dengan adanya 1 unit shock dari variabel besaran moneter tersebut. Pengujian impulse-response function hanya dilakukan untuk variabel besaran moneter yang telah terseleksi mempunyai kandungan informasi yang cukup signifikan terhadap inflasi. Hasil dari pengujian impulse response tersebut ditampilkan dalam grafik 1.

Impulse response function untuk base money mengindikasikan bahwa dampak base money pada inflasi mencapai puncaknya dalam waktu sekitar 24 bulan, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa perubahan base money mempunyai informasi untuk memprediksi inflasi baik inflasi IHK, exclusion, dan trimming sekitar 2 tahun kedepan. Impulse re-sponse function bivariate untuk uang kartal mengindikasikan perubahan uang kartal mempunyai dampak maksimum terhadap inflasi IHK yang lebih pendek dibdaning base money yaitu sekitar 20-25 bulan ke depan. Impulse response function untuk total kredit signfikan pada periode antara 6 sampai 12 bulan, sedangkan di atas 12 bulan dampaknya tidak signifikan (standar deviasi besar). Sementara itu, impulse response dari inflasi terhadap beberapa besaran moneter lain seperti M1, M2 dan Divisia M2 secara umum mencapai puncak berada pada kisaran antara 18-24 bulan.


(69)

Konsisten dengan hasil variance decomposition, dampak nilai tukar baik nominal maupun REER terhadap inflasi IHK relatif lebih cepat dan mencapai puncaknya pada periode yaitu sekitar 8-12 bulan. Sementara itu, dampak output gap terhadap inflasi sangat signifikan dan mencapai maksimum antara 12-18 bulan.

5. Kesimpulan

Dari hasil studi empiris ‘information content’ sejumlah variabel informasi dapat disimpulkan bahwa: pertama, variabel-variabel nilai tukar merupakan ‘the best indica-tors’ inflasi dan memberikan efek yang segera terhadap inflasi. Kedua, variabel kuantitas uang, seperti uang kartal, base money, M1, dan M2 masih memiliki kandungan informasi yang cukup tinggi terhadap inflasi dengan lag sekitar 20-24 bulan. Namun, kandungan informasi aggregat moneter ini melemah ketika nilai tukar dimasukkan sebagai variabel kontrol. Melemahnya kandungan informasi besaran moneter, seperti jumlah uang beredar dan kredit mempunyai implikasi pada pergeseran peran variabel-variabel ini di dalam kebijakan moneter Bank Indonesia, yaitu dari peran sebagai intermediate target menjadi sekedar information variables. Dari variabel aggregate moneter tersebut, base money (M0) mempunyai information content yang cukup besar untuk memprediksi inflasi IHK maupun inflasi inti.

Ketiga, variabel-variabel suku bunga, terutama suku bunga PUAB memiliki kandungan informasi yang lebih baik terhadap inflasi dibandingkan dengan variabel-variabel kuantitas uang. Temuan ini konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya yaitu suku bunga PUAB memiliki information content yang tinggi terhadap inflasi ke depan. Sementara itu, kandungan informasi suku bunga SBI terhadap inflasi sangat lemah.

Keempat, output gap memiliki kandungan informasi yang sangat signifikan dengan dampak yang relatif lebih cepat dibanding besaran moneter yaitu sekitar 12-18 bulan. Kelima, ekspektasi inflasi yang dihasilkan dari Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) merupakan indikator inflasi dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang kekuatan indikator ini terhadap inflasi melemah.


(70)

69

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

Variables

Tabel 1 Unit Root Test

Optimum Lag

No Trend With Trend

LEVEL

CPt_SA 8 3.07349 8 -1.75697

CPt_EX 7 2.21094 6 -2.71705

CP’-TR 10 2.86601 6 -2.44879

GDPRL_SA 4 2.45307 6 -0.20988

BM_SA 1 6.94162 1 -0.91795

BM_LA 12 4.01118 12 -1.09637

CR_INV_SA 5 0.35002 6 -2.16116

CR_TOT_SA 8 0.29725 8 -2.74719

CR_TOTEA_SA 12 0.30327 3 -1.74274

CR_WC_SA 8 0.37032 8 -2.67895

CUR_SA 12 3.98097 12 -1.35969

CUR_LA_SA 11 521914 11 -1.23391

EXR_SA 9 1.28698 9 -2.21537

GAP RAT_SA 12 -5.09034 12 -5.09768

M1_SA 1 8.01372 1 -2.53872

M1SAV_SA 6 3.75999 6 -4.02030

M2_SA 5 4.22129 8 -3.13065

DIVM2_SA 1 7.75607 1 -3.89715

DIVM2ATM_SA 1 7.82716 1 -3.48499

NEER_SA 9 -1.33080 9 -2.72610

REER_SA 12 -0.81690 8 -412346

SWAP_SA 12 -0.34333 6 -3.54352

RC_INV 1 -0.37937 1 -1.78712

RC_INV_SA 1 -0.38434 1 -1.75939

RC_WC_SA 10 -0.60979 10 -3.19160

RD1_SA 8 -1.32508 6 -4.34845

RD3_SA 3 -1.18046 6 -4.05376

RON_SA 2 -1.37353 8 -3.69336

RSBI1 M_SA 7 -1.79311 7 -4.34111

SKDU_SA 3 -1.12340 5 -265398

FIRST DIFFERENT

DCPI_SA 7 -3.41093 7 -4.74025

DCP,-EX 5 -2.21516 6 -3.39513

DCPI_TR 5 -2.03947 9 -3.86196

DGDPRL_SA 12 -2.61719 12 -4.01669

DBM_SA 9 -2.23867 1 -23.91980

DBM_LA 8 -3.05434 11 -5.16108

DCR_INV_SA 4 -3.07564 4 -3.17089

DCR_TOT_SA 7 -1.80275 4 -3.17619

DCR- TOTEA_SA 11 -2.31532 11 -2.45894

DCR_WC_SA 7 -1.81605 7 -193426

DCUR_SA 11 -2.20297 11 -4.70387

DCUR_LA_SA 11 -2.62778 10 -6.33612

DEXR_SA 12 -4.93327 12 -5.61257

DGAPRAT_SA 12 -6.90560 12 -6.86767

DM1_SA 5 -3.45051 1 -18.86684

DM1SAV_SA 5 -2.44310 4 -6.69113

DM2_SA 7 -1.71239 4 -5.07566

DDIVM2_SA 5 -2.07741 1 -14.71917

DDIVM2ATM_SA 7 -1.67563 1 -14.91296

DNEER_SA 12 -430012 12 -489369

DREER_SA 12 -5.42841 12 -5.50716

DSWAP _SA 11 -4.55591 11 -4.52166

DRC_INV 1 -11 .39625 1 -11.32773

DRC_INV_SA 1 -11.65270 1 -11 .58267

DRC_WC_SA 9 -3.18708 9 -3.16782

DRD1_SA 7 -4.32722 7 -4.30943

DRD3_SA 2 -5.26551 2 -5.24246

DRON_SA 12 -3.99635 12 -3.96830

DRSBI1 M_SA 12 -5.46469 12 -5.43579

DSKDU_SA 1 -5.72828 1 -5.69024


(71)

INFORMATIONS VARIABLES

Tabel 2

Kointegrasi dan Casuality (bivariete)

HEAD LINE

Coint Wald ECMCoint Wald ECM Coint Wald ECM EXCLUSION TRIMMING

BM Base Money

BM_SA Yes 11,19 5,51** Yes 9,13 9,06*** No 14,38

-(0,51) (0,02) (0,69) (0,00) (0,28)

BM_LA No 43,51*** - Yes 30,19- 7,9S- Yes 36,50*** 712***

(0 ,00) (0,00) (0,00) (0 ,00) (0,08)

CR_INV Credit - Investment

CR_NV_SA No 75,28*** - No 65,72*** - No 52,20*** 10.001

(0.00) (0, 00) (0,00)

CR_TOT Credit - Total

CR_TOT_SA No 75.28*** - No 66,79*** - - 47,26***

-(0.00) (0. 00) (0,00)

CR_TOTEA Credit- Total with ER adj

CR_TOTEA_SA No 15.37 - No 18,09 - No 11,81

-(0.22) (0,11) (0,46)

CR_WC Credit - working capital

CR_WC_SA No 41,04*** - No 63,69*** - No 43,70***

-(0.00) (0.00) (0.00)

CUR Currency

CUR_SA Yes 13,31 5,16** Yes 7,06 6,56** Yes 6,70 6,26**

(0,35) (0,02) (0,85) (0,01) (0,88) (0,012)

CUR_LA_SA No 39,50*** - No 26,78*** - No 2405***

-(0.00) (0,008) (0',02)

EXR Exchange rate nominal

EXR_SA Yes 95,58*** 3.01* No 287,14*** - No 270,03***

-(0.00) (0,08 (0,00) (0.00)

GAPRAT Output gap in ratio terms

GAP RAT_SA No 33,11*** - No 33,15*** - No 26,40***

(0.00) (0.00) (0.009)

M1 Narrow Money

M1_SA Yes 38.05*** 16,98*** No 32,29*** 757*** No 30,06*** 9.05***

(0,00) (0. 00) (0.00) (0.006) (0.003 (0.003)

M1 SAV Na.rrow + Saving deposits

M1SAV_SA No 38,62*** - No 50,49*** - No 51,94***

-(0,00) (0,00) (0.00)

M2 Broad money

M2_SA No 96.84*** - No 148,91*** - No 139,62***

-(0,00) (0,00) (0,00)

DIVM2 Divisia broad money

DIVM2_SA Yes 32.06*** 20,00*** Yes 31,82*** 10 48*** Yes 33,78*** 13,38***

(0,00) (0.00) (0,00) (0.00) (0.00) (0,00)

DIVM2ATM Divisia broad moneyadjusled ATM

DIVM2ATM_SA Yes 25,82** 13,31** No 24,70** - Yes 25,61** 9,04***

(0.011) (0.00) (0.016) (0,012) (0.003)

NEER Nominal efective exchange rate

NEER_SA No 207,43*** - No 311,62*** - No 262 ,9***

-(0.00) (0.00) (0.00)

RC_INV Loan rate - ivestment No 24,50** - No 26,11** - No 28,58***

-(0,02) (0,01) (0,005)

RC_NV_SA No 24,85** - No 28,09** - No 28 44***

-(0.02) (0.007) (0.005)

RC_WC Loan rate. - working capital

RC_WC_SA No 55.30*** - No 106,33*** - No 85,19***

-(0.00) (0.00) (0.00)

RD1 Deposit rate - 1 month

RDI_SA No 35,73*** - No 54,92*** - No 72,73***

(0.00) (0.00) (0.00)

RD3 Deposit rate - 3 month

RD3_SA No 30.06*** - No 46,53*** - No 53,83***

-(0.00) (0.00) (0.00)

REER Real effective exchange rate

REER_SA No 196,87*** - No 289,17*** - No 248,81***

-(0.00) (0.00) (0.00)

RON Overnight rate - PUAB

RON_SA No 55,81*** - No 110,03*** - No 111,99***

-(0.00) (0.00) (0.00)

SBI1M SBI1 month rate

SBI1M_SA No 28.84*** - No 28,05*** - No 30,18***

-(0.00) (0.005) (0.003)

SWAP Swap rate

SWAP_SA No 78,11*** - No 92,88*** - No 97,11***

-(0.00) (0.00) (0.00)

SKDU Survey in Business Sector Activily

SKDU_SA No 42,89*** - No 42,13*** - No 49,13***

-(0.00) (0.00) (0.00)

Note


(72)

71

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

INFORMATIONS VARIABLES

Tabel 3

Kointegrasi dan Casuality (trivariete)

HEAD LINE

Coint Wald ECMCoint Wald ECM Coint Wald ECM EXCLUSION TRIMMING

BMBase Money

BM_SA No 20,77*** - Yes 7,54 4,37** No 11,32

-(0,054) (0,82) (0,04) (0,50)

BM_LA No 35,23*** - Yes 17,00 4 09*** Yes 20,24* 348*

(0,00) (0,15) (0.04) (0,06) (0.06)

CR_INV Credit - Investment

CR_INV_SA No 68,89*** - No 74,97*** - No 59,54***

-(0,00) (0,00) (0.00)

CR_TOT Credit - Total

CR_TOT_SA No 49,76*** - No 8180*** - No 54,12***

(0.00) (0.00) (0.00)

CR_TOTEA Credit - Total with ER adj

CR_TOTEA_SA No 12.42 - No 19.41* - No 14,58

-(0.41) (0.08) (0.27)

CR_WC Credit - working capital

CR_WC_SA No 41.12*** - No 74,77*** - No 46,92***

-(0.00) (0,00) (0,00)

CUR Currency

CUR_SA Yes 11,33 2,92* Yes 6,58 5,45** Yes 8,18 5,51**

(0,50) (0,09) (0,88) (0,02) (0,77) (0,02)

CUR_LA_SA No 28,78*** - No 17,41 - No 17,15

(0,004) (0,13) (0,14)

EXR Exchange rate nominal

EXR_SA Yes 42,26*** 8,03*** Yes 76,16*** 6,74*** Yes 76,91*** 3,87**

(0,00) (0 ,005) (0.00) (0,009) (0.00) (0,045)

GAPRAT Output gap in ratio terms

GAPRAT_SA No 32.12*** - No 20,16* - No 19,46*

-(0 ,00) (0.06) (0.08)

M1 Narrow Money

M1_SA Yes 26,06** 12,60*** Yes 17,71 6,96*** Yes 17,88 9,72

(0,011) (0,00) (0,12) (0.008) (0,12) (0,00)

M1SAV Narrow + Saving deposits

M1SAV_SA No 21.24** - No 34,16*** - No 34,27***

-(0,047) (0,00) (0,00)

M2 Broad money

M2_SA No 86.79*** - No 138,75*** - No 135,71***

-(0.00) (0.00) (0.00)

DIVM2 Divisia broad money

DIVM2_SA Yes 25,02** 10,02*** Yes 22,17** 4.86** Yes 25. 86** 5.96**

(0.015) (0,00) (0.04) (0.03) (0.011) (0.015)

DIVU2ATIII Divisia broad money adjusted ATM

DIVM2ATIII_SA Yes 22.69** 8.87** No 17.11 - Yes 19.91* 4.02**

(0.03) (0.03) (0.15) (0.07) (0.045)

NEER Nominal efective exchange rate

NEER_SA Yes 36,44*** 3,98** Yes 72,49*** 7,16*** Yes 186,91***

-(0.00) (0.045) (0.00) (0.007) (0.00)

RCJNV Loan rate - investment No 33,72*** - No 29,09*** - No 32,06***

-(0,00) (0,004) (0,00)

RC_INV_SA No 34,31*** - No 30,22*** - No 33,55***

(0.00) (0.003) (0.00)

RC_WC Loan rate - working capital

RC_WC_SA No 54.27*** - No 85,62*** - No 77,40***

-(0.00) (0.00) (0.00)

RD1 Deposit rate - 1 month

RD1_SA No 45.51*** - No 51.77*** - No 56,94***

-(0.00) (0.00) (0.00)

RD3 Deposit rate - 3 month

RD3_SA No 35.65*** - No 32,73*** - No 37,31***

-(0.00) (0,001) (0,00)

REER Real effective exchange rate

REER_SA No 146.10*** - No 239,83*** - No 179,79***

-(0.00) (0.00) (0.00)

RON Overnight rate - PUAB

RON_SA No 59.26*** - No 88.44*** - No 77,12***

-(0.00) (0.00) (0.00)

SBI1M SBI1 month rate

SBI1M_SA No 30.93*** - No 3200*** - No 29,90***

--(0.002) (0.001) (0,003)

SWAP Swap rate

SWAP_SA No 70.76*** - No 77.63*** - No 93,18***

-(0.00) (0.00) (0.00)

SKDU Survay in Business Sector Activity

SKDU_SA No 26.07** - No 21 ,67** - No 28,56***

-(0.01) (0,04) (0,005)

Note


(73)

INFORMATIONS VARIABLES

Tabel 4

Kointegrasi dan Casuality (four-variete)

HEAD LINE

Coint Wald ECMCoint Wald ECM Coint Wald ECM EXCLUSION TRIMMING

BMBase Money

BM_SA No 24.08*** - No 15.34 - No 14.77

-(0,02) (0,22) (0,25)

BM_LA No 36.92*** - No 30.57*** - No 34.97***

-(0,00) (0,15) (0,00)

CR_INV Credit - Investment

CR_INV_SA No 15.02*** - Yes 39.29*** 2.86* No 28.53***

-(0,24) (0,00) (0.09) (0.00)

CR_TOT Credit - Total

CR_TOT_SA Yes 20.96*** 4.21** Yes 28,98*** 3.35* Yes 30.40*** 3.84**

(0.05) (0.04) (0.004) (0.07) (0.00) (0.049)

CR_TOTEA Credit - Total with ER adj

CR_TOTEA_SA Yes 23.17** 4.10** Yes 23.89** 3.09* Yes 26.02** 3.38*

(0.03) (0.04) (0.02) (0.08) (0.011) (0.07)

CR_WC Credit - working capital

CR_WC_SA Yes 19.05* 4.31** Yes 21.25** 3.60* Yes 22.30** 3.92**

(0.09) (0.04) (0,047) (0.06) (0,03) (0.048)

CUR Currency

CUR_SA No 21.41** - No 14.90 - No 22.68**

-(0,045) (0,25) (0,03)

CUR_LA_SA No 32.02*** - No 21.58** - No 30.46***

(0,00) (0,04) (0,00)

GAPRAT Output gap in ratio terms

GAPRAT_SA Yes 13.10 6.19** Yes 13.00 6.05** Yes 11.71 3.00*

(0 ,36) (0.013) (0.37) (0.014) (0.47) (0.08)

M1 Narrow Money

M1_SA No 12.07 - No 13.64 - No 15.91

(0,44) (0,32) (0,19)

M1SAV Narrow + Saving deposits

M1SAV_SA Yes 16.42 6.22** Yes 13.94 4.29** Yes 25.15** 3.92**

(0,17) (0.013) (0,30) (0.04) (0,014) (0.048)

M2 Broad money

M2_SA No 12.62 - No 15.34 - No 17,97

-(0.40) (0.22) (0.12)

DIVM2 Divisia broad money

DIVM2_SA No 9.97 - No 14.77 - No 23.52**

-(0.62) (0.25) (0.02)

DIVU2ATIII Divisia broad money adjusted ATM

DIVM2ATIII_SA No 8.02 - No 14.76 - No 23.54*

-(0.78) (0.25) (0.02)

NEER Nominal efective exchange rate

NEER_SA Yes 11.46 4.94** Yes 12.79*** 8.10*** Yes 17.05*** 3.16*

(0.49) (0.03) (0.38) (0.00) (0.15) (0.08)

RCJNV Loan rate - investment No 18.84* 6.80*** Yes 16.54 9.47*** Yes 22.54** 6.38**

(0,09) (0.009) (0,17) (0.00) (0,03) (0.011)

RC_INV_SA No 20.15* 7.12*** Yes 16.86 9.63*** Yes 22.48** 6.61**

(0.06) (0.008) (0.16) (0.00) (0.03) (0.01)

RC_WC Loan rate - working capital

RC_WC_SA Yes 14.79 6.93*** Yes 34.29*** 9.26*** Yes 44.35*** 8.93***

(0.25) (0.008) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)

RD1 Deposit rate - 1 month

RD1_SA Yes 24.35** 7.73*** Yes 45.69*** 6.81*** Yes 52.96*** 6.30**

(0.03) (0.005) (0.00) (0.009) (0.00) (0.012)

RD3 Deposit rate - 3 month

RD3_SA Yes 31.98*** 9.15*** Yes 48.50*** 10.15*** Yes 66.29*** 6.41**

(0.00) (0.00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,011)

REER Real effective exchange rate

REER_SA No 14.56 - No 15.93 - No 17.14

-(0.27) (0.19) (0.14)

RON Overnight rate - PUAB

RON_SA Yes 22.88** 4.16** No 27.40*** - No 37.85***

-(0.03) (0.04) (0.007) (0.00)

SBI1M SBI1 month rate

SBI1M_SA Yes 19.39* 6.68*** Yes 23.96** 7.52*** Yes 23.34** 5.48**

(0.002) (0.009) (0.02) (0.006) (0,02) (0.02)

SWAP Swap rate

SWAP_SA No 25.05** - Yes 28.94*** 4.14** Yes 38.97*** 4.22**

(0.015) (0.00) (0.04) (0.00) (0.04)

SKDU Survay in Business Sector Activity

SKDU_SA No 14.15 - No 11.35 - No 8.97

-(0.29) (0,50) (0,71)

Note


(74)

73

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

Tabel 6

Variance Decomposition (trivariate)

BM_SA 0 0.132 1407 27.657 51.942 0 1.858 6.878 26.242 33.317 0 2.633 5.035 15.916 23.686

BM_LA 0 2.841 3.461 15.749 30.747 0 3.995 3.315 8.270 12.124 0 4.437 2.212 4.087 7.157

CR_INV_SA 0 22.644 18.616 18478 18.292 0 14.889 11078 10.473 10.291 0 12.923 8.851 8.115 8.274

CR_TOT_SA 0 7.801 4.538 4.178 4.473 0 6.673 4.014 3533 3.624 0 4.924 2.328 1.827 2.113

CR_TOTEA_SA 0 1.685 4.624 5.745 5.432 0 4.216 9.564 11.907 11.251 0 6.026 12.103 15.152 14.286

CR_WC_SA 0 4.118 1.699 1.367 1.686 0 4096 1.933 1.482 1.624 0 2.700 0.907 0.534 0.786

CUR_SA 0 4.030 8.974 26.602 40.247 0 10.053 13.125 17.066 18.639 0 10.003 10.495 11460 12.709

CUR_LA_SA 0 8.196 11.687 20.562 27.135 0 10.385 9869 7.881 7.659 0 10.561 9.162 6.540 6.336

EXR_SA 0 56.551 71.398 77.170 78.724 0 71.668 88.450 93.987 93.830 0 73.631 90.303 94.880 94.896

GAPRAT_SA 0 3.066 23.589 57.305 67824 0 3050 34560 62.374 67.499 0 3.030 33.017 67.636 73.900

M1_SA 0 9.013 10.323 18.438 25.690 0 10.811 13089 20.538 24.306 0 12.360 13.314 17.606 20.749

M1_SAV_SA 0 5.297 1.954 1225 1.652 0 3.438 1546 2.354 4.229 0 3.193 1.140 1.358 2.547

M2_SA 0 8.549 7.726 7.931 9.108 0 11.222 15.797 29.215 36.033 0 10205 10.995 16.666 22421

DlVM2_SA 0 4.027 2.974 6.531 10.893 0 0.961 0.373 1.565 3.147 0 0.945 0.281 0391 1.312

DIVM 2ATM_SA 0 2.555 1.636 5.028 10.471 0 0.507 0.185 2133 5328 0 0.654 0.209 1401 3.707

NEER_SA 0 55.892 60.063 58.034 58.942 0 55.115 58.593 57.177 57.114 0 0 52.412 56.566 55.687 56.678

REER_SA 0 56.694 64.658 63.535 64.369 0 58.433 65.995 66.665 66.863 0 56.844 66.576 68.494 69.502

SWAP_SA 0 7.044 4161 4.831 5.862 0 9.473 9.018 10.747 12.434 0 9.662 8.740 10639 12.431

RC_INV 0 0.157 1.205 2.555 2.853 0 0.070 1.087 3.085 3.614 0 0.206 1.218 2.464 2.764

RC_INV_SA 0 0.108 0.955 2.151 2.409 0 0.036 0.650 2.353 2.912 0 0.063 0.663 1.600 1.841

RC_WC_SA 0 0.702 5.964 8.664 7.930 0 0.584 5.331 7.141 6.789 0 0.609 5.668 7.592 7.037

RD1_SA 0 1448 5.007 6.390 6067 0 0.908 3.567 3745 3.579 0 0.802 3.075 3.057 2.812

RD3_SA 0 0.058 0.246 0.200 0.726 0 3.931 2.955 4.901 6.783 0 2.099 1.325 2962 4.113

RON_SA 0 3.084 10.917 24.566 30.961 0 1.542 7.193 12.698 13.588 0 2.795 11.586 20.540 22.934

SBl 1M_SA 0 3.734 2.521 1.672 1.512 0 2.201 1.190 0.727 0.667 0 1.331 0.528 0.289 0.343

SKDU_SA 0 7.029 5.901 4.945 5.166 0 20.005 22548 18.512 17.731 0 13.612 15.097 12.120 10.994

Variable

Lag 1 6 12 24 36 1 6 12 24 36 1 6 12 24 36 CPI_SA (Headline) CPI_EX (Exclusion) CPT_TR (Trimming)

Tabel 5

Variance Decomposition (bivariate)

BM_SA 0 1473 7.762 45.236 67.054 0 3.608 11.716 46.037 57.028 0 6.400 13.971 42.485 57.004

BM_LA 0 11.172 20.242 47.202 65.190 0 18.664 25.497 51.716 68.102 0 22.144 26.985 49.152 66.960

CR_INV_SA 0 46927 56.128 61.450 63.326 0 35.059 43878 49.053 50.719 0 33.956 44.371 52.032 55 303

CR_TOT_SA 0 28.073 38883 48382 52860 0 24.407 35.184 44.173 48.131 0 22.983 34.042 44758 50224

CR_TOTEA_SA 0 0.407 0.787 2.029 3.317 0 0.046 0.034 0737 2043 0 0.089 0.190 1171 2.289

CR_WC_SA 0 21.471 31.301 41.660 47.267 0 19.294 29.376 39.436 44.553 0 18.730 29.122 40.468 46.798

CUR_SA 0 6.997 13.924 35.429 51.921 0 16.231 26.685 48.888 62.391 0 20.274 30.478 49.591 62.491

CUR_LA_SA 0 13.921 21.599 37.940 50.673 0 24.550 34.974 51.820 63.013 0 27.713 38.120 53.592 64.014

EXR_SA 0 53.636 65.881 64.853 58.237 0 68.648 75.883 70.000 61145 0 64.171 71.708 67.949 61.294

GAPRAT_SA 0 4.958 30737 58.941 60.929 0 5.026 33.687 59.027 59.414 0 4.810 33.905 58.825 60.367

M1_SA 0 13.388 18021 28.767 38.811 0 23.228 31.091 47.723 56.580 0 27.041 35.133 50.656 60.088

M1SAV_SA 0 18.679 20393 26. 825 32.365 0 13.933 13.975 21.416 28.693 0 15.069 14.992 22.688 31.209

M2_SA 0 11.349 11.882 15.002 19.616 0 12.715 15.748 26.696 31.898 0 13.703 14.902 23.084 30.888

DIVM2_SA 0 7.757 9.491 18.308 28.101 0 4.706 5302 12.928 23.004 0 5.393 5.796 12.968 24.338

DIVMl2ATM_SA 0 6333 8.693 18.308 28.003 0 3.643 4739 13.267 23.920 0 4.364 5.469 14.238 26.932

NEER_SA 0 58.276 63.121 50.930 42.442 0 57.541 57.155 39.389 28.399 0 52.745 51.824 37.556 29.749

REER_SA 0 59170 67.646 59.290 54.139 0 56.611 59.082 45.311 37.039 0 53.742 57.553 49.002 43.847

SWAP_SA 0 21.754 28.724 42.056 48.159 0 23.890 30.251 39.675 44.276 0 26.586 33.662 43.810 48.269

RC_IN\/ 0 0.362 0.465 2.346 4.897 0 0.552 0.679 2.881 5.794 0 0.582 0.883 4.213 8.463

RC_INV_SA 0 0.174 0.273 1.871 4161 0 0.296 0.460 2326 4190 0 0.392 0.755 3.817 6.452

RC_WC_SA 0 0.435 1.171 0.587 0.934 0 0.352 1.021 0.481 1400 0 0231 0738 0.477 2.437

RD1_SA 0 2969 5.977 5.065 3.798 0 1.265 1.724 0.793 1.121 0 1.462 1.762 0.729 1.292

RD3_SA 0 0193 0.245 2.125 4.261 0 5.632 7.178 13.317 17604 0 3.513 4.185 10.796 15.056

RON_SA 0 5.309 8.539 10.986 11.935 0 4.129 7.500 8983 9.083 0 6.792 12.043 13.913 13.729

SBI 1M_SA 0 4189 2.046 0.936 0.859 0 1.341 0379 1.028 1.525 0 0.636 0.519 2.344 3.349

SKDU_SA 0 10.326 14178 16.661 16876 0 27.164 33.474 35.853 35.682 0 20.564 24.658 26.728 26.844

Variable Lag

6

1 12 24 36 1 6 12 24 36 1 6 12 24 36 CPI_SA (Headline) CPI_EX (Exclusion) CPT_TR (Trimming)


(75)

Tabel 7

Variance decomposition (four-variable)

CPI_SA (Headline) CPI_EX (Exclusion) CPT_TR (Trimming)

BM_SA 0 1.062 0.668 15.785 32.750 0 0.017 2.093 20.984 30.223 0 0.099 1.040 12.768 22.325 BM_LA 0 0.805 0.640 4.739 17.098 0 0.964 0.869 3.240 7.420 0 1.464 1.148 1.274 4.260 CR_INV_SA 0 0.237 0.827 0.607 0.961 0 0.497 0.336 0.569 1.109 0 0.201 0.280 1.582 2.474 CR_TOT_SA 0 1.553 2.399 1.672 1.899 0 2.979 2.672 1.685 1.805 0 2.985 0.993 0.741 1.145 CR_TOTEA_SA 0 0.947 0.795 0.487 0.711 0 1.909 1.289 0.811 0.918 0 1.428 0.360 0.760 1.086 CR_WC_SA 0 2.172 2.317 1.511 1.699 0 4.106 3.818 2.481 2.419 0 4.215 1.644 0.938 1.193 CUR_SA 0 0.443 1.675 8.157 14.453 0 0.272 0.064 0.615 1.494 0 0.635 0.261 0.192 0.663 CUR_LA _SA 0 0.500 0.115 0.708 2.278 0 0.356 1.078 3.295 3.376 0 0.599 1.546 4.990 5.192 EXR_SA 0 56.551 71.398 77.170 78.724 0 71.668 88.450 93.987 93.830 0 73.631 90.303 94.880 94.896 GAPRAT_SA 0 0.711 18.380 53.279 64.273 0 0.971 31.387 65.923 70.476 0 1.051 31.542 69.226 73.745 M1_SA 0 0.765 0.169 1.648 5.792 0 0.642 0.322 1.708 5.182 0 1.103 0.549 0.500 2.105 M1SAV_SA 0 1.202 2.983 4.230 3.829 0 0.464 4.195 4.437 4.269 0 0.509 6.101 9.448 9.152 M2_SA 0 4.927 13.976 17.656 15.471 0 11.638 16.854 11.655 19.004 0 11.691 16.935 10.971 13.193 DlVM2_SA 0 1.454 3.958 2.402 4.793 0 4.755 9.576 5.878 7.006 0 5.541 11.560 8.527 8.196 DlVM2ATM_SA 0 1.477 3.853 2.454 5.804 0 4.779 9.826 6.290 8.524 0 5.548 11.430 8.677 8.406 NEER_SA 0 0.177 0.656 28.796 40.543 0 0.050 0.830 21.949 31.453 0 0.026 0.692 21.545 32.985 REER_SA 0 0.036 0.615 15.336 29.472 0 0.249 1.795 10.377 19.517 0 0.060 1.117 9.190 19.882 SWAP_SA 0 0.640 6.995 11.841 11.856 0 0.329 3.930 7.105 6.977 0 0.393 7.028 14.262 15.036 RC_INV 0 0.725 2.660 3.822 3.245 0 0.158 4.330 8.062 7.726 0 0.341 5.628 11.857 12.387 RC_INV_SA 0 0.696 2.367 3.506 2.974 0 0.124 4.168 8.246 7.938 0 0.285 5.610 12.234 12.810 RC_WC_SA 0 0.256 10.470 15.265 13.802 0 0.159 10.492 16.567 15.917 0 0.318 15.344 25.649 25.575 RD1_SA 0 0.659 5.538 9.481 9.797 0 1.257 2.035 4.721 4.809 0 1.067 3.505 10.107 10.879 RD3_SA 0 0.624 0.364 0.375 0.360 0 6.280 1.892 0.801 0.925 0 5.476 1.183 1.230 1.201 RON_SA 0 0.403 14.289 31.535 35. 385 0 2.401 10.995 23.070 24.003 0 3.063 11.648 29.838 32. 554 SBI1M_SA 0 1.226 0.579 0.262 0.229 0 0.474 0.161 0.174 0.216 0 0.307 0.088 0.128 0.141 SKDU_SA 0 3.065 0.971 0.515 0.608 0 3.542 0.986 1.082 1.013 0 2.702 1.252 1.948 1.828

6

1 12 24 36 1 6 12 24 36 1 6 12 24 36 Variable/


(76)

75

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

Grafik 1.

Impulse Response Inflasi IHK terhadap variabel informasi (bivariate, 6 lags)

0,10 0,05 0,00 0,15 0,25 0,20 0,30

5 10 15 20 25 30 35

CR_TOT (Total Kredit)

.10 .08 .06 .04 .02 .00 -.02

5 10 15 20 25 30 35

M 2

.024 .020 .016 .012 .008 .004 .000

5 10 15 20 25 30 35

CUR (Uang Kartal)

0,1

0,0

-0,1 0,3

0,2 0,4

5 10 15 20 25 30 35

5 10 15 20 25 30 35

M 1

0,10

0,05

0,00 0,15 0,25

0,20

.030 .025

.015

.005 .000 .020

.010

-.005

5 10 15 20 25 30 35

BM (Base Money)


(77)

Grafik 1. (lanjutan)

.05 .04

.02 .01 .00 -.01

.03

5 10 15 20 25 30 35

GDPRAT (Output Gap) EXR (Exchange Rate)

REER

RON (Suku Bunga PUAB Overnight) S K D U

5 10 15 20 25 30 35

.06 .05 .04

.02 .01 .00 .03

-.01

5 10 15 20 25 30 35

.00 -.01 -.02 -.03

-.06 -.07 -.04 -.05

5 10 15 20 25 30 35

.00 -.01 -.02 -.03

-.05 -.06 -.04

SWAP

5 10 15 20 25 30 35

.05 .04 .03 .02

.00 -.01 .01

5 10 15 20 25 30 35

.03

.02

.01

.00

-.01


(78)

77

Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting

References

Alamsyah, H., Joseph, C., Agung, J., dan Zulverdy, D. (2001). Toward Implementation of

Inflation Targeting in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Dec.

Baumgartner, Josef and Ramana Ramaswamy (1996), Inflation Targeting in the United

King-dom: Information Content of Financial and Monetary Variables, IMF Working Paper, No.44.

Felman, J. (2000). Towards the Implementation of Inflation Targeting in Indonesia:

Com-ments. Proceedings of an International Coneference on Monetary Policy and Inflation Targeting

in Emerging Economies, Jakarta July 2000.

Friedman, Benjamin M. and Kenneth N. Kuttner (1992), Money, Income, Prices, and

Inter-est Rates, The American Economic Review, pp. 472-492, June.

Friedman, Benjamin M.(1996), The Rise and Fall of Money Growth Targets As Guidelines

for US Monetary Policy, NBER Working Paper, No.5465.

Tallman, Ellis W. and Naveen Chandra (1997), Financial Aggregates As Conditioning

Infor-mation for Australian Output and Inflation, RBA Research Discussion Paper, No. 9704,