PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBANTUAN MEDIA AUDIO-VISUALUNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA SISWA TUNARUNGU HEARING-IMPAIRED.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ….………..…... i
ABSTRACT ……… ii
LEMBAR PENGESAHAN ……… iii
LEMBAR PERNYATAAN ……… iv
KATA PENGANTAR ……… v
DAFTAR ISI ……… vii
DAFTAR TABEL ……… ix
DAFTAR BAGAN ……… xi
DAFTAR GRAFIK ……… xii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ………. 6
C. Pertanyaan Penelitian ………. 7
D. Tujuan Penelitian ………. 8
E. Manfaat Penelitian ………. 10
F. Penjelasan Istilah ………. 13
G. Kerangka Berpikir ………. 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Ketunarunguan ………. 19
1. Pengertian Tunarungu ………. 19
2. Klasifikasi Ketunarunguan (Hearing-Impaired) ………. 20
3. Kerusakan Telinga ………..………… 25
4. Proses Perolehan Bahasa Siswa Tunarungu ……… 26
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan dan Pemerolehan Bahasa ..……… 29 6. Proses Penguasaan Bahasa dalam Komunikasi Total ...…………. 35
(2)
7. Penampilan Siswa Tunarungu dalam Membaca dan Menulis/Mengarang …….………..………….
42
B. Pembelajaran ……….……….………… 49
1. Arti dan Makna Pembelajaran ……… 49
2. Perkembangan Konsep Dasar Pembelajaran ………...…………... 54
3. Hasil Belajar dan Pembelajaran ……….. 65
4. Komponen-komponen Pembelajaran ……….. 68
5. Prinsip-prinsip Pembelajaran ……….. 72
6. Pola dan Model Pembelajaran ……… 81
C. Media Audio-Visual ………..………. 89
1. Pengertian Media Audio-Visual ……….. 89
2. Ruang Lingkup Media Audio-Visual ………..………… 91
3. Manfaat Media Audio-Visual ……… 98
4. Teknik Evaluasi Penggunaan Media Audio-Visual dalam Pembelajaran………..…… 101 D. Peranan Media Audio-Visual dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Siswa Tunarungu ……….. 108 1. Pemanfaatan Televisi untuk Mengembangkan Kemampuan Berbahasa Siswa Tunarungu ……… 109 2. Pemanfaatan Video untuk Mengembangkan Kemampuan Berbahasa Siswa Tunarungu ………. 110 3. Pemanfaatan Komputer untuk Mengembangkan Kemampuan Berbahasa Siswa Tunarungu ………. 111 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian ……….……….……. 114
B. Subyek Penelitian ……….……… 120
C. Instrumen Penelitian ……….……… 121
D. Teknik Analisis Data ……… 122 BAB IV HASIL PENELITIAN
(3)
A. Hasil Survei Awal ……….……… 124
1. Data Umum Program Pendidikan SDLB Tunarungu ……… 126
2. Pendapat Guru Mengenai Pembelajaran dan Kemampuan Berbahasa Siswa SDLB Tunarungu ………. 137 B. Pengembangan Model dan Hasil Uji Coba ……….………. 141
1. Pengembangan Model ……….………. 141
2. Hasil Uji Coba Pengembangan ……….………. 164
C. Hasil Uji Validasi Model Pengembangan ……… 182
1. Dampak Model terhadap Kinerja Guru ………. 183
2. Dampak Model terhadap Kemampuan Berbahasa Siswa SDLB Tunarungu ………. 193 D. Interaksi Model ……… 208
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian ..……….……….. 214
1. Hasil Survei Awal ……….………. 214
2. Hasil Uji Coba ……….………… 220
3. Hasil Uji Validasi ……….……….………. 228
B. Pembahasan ……….……….………. 230
1. Kondisi Awal Pembelajaran Bahasa Indonesia di SDLB Tunarungu ………. 230 2. Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbantuan Media Audio-Visual Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Siswa SDLB Tunarungu ………. 239 3. Implementasi Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbantuan Media Audio-Visual ……….. 248 4. Pengaruh Implementasi Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbantuan Media Audio-Visual ……….. 259 BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Simpulan ………... 282
(4)
B. Implikasi ……… 284 C. Rekomendasi ………. 285 DAFTAR PUSTAKA
(5)
1
SUMARNA/PK-S3/UPI BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal I Ayat 1 menyatakan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pernyataan Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal I Ayat 1 di atas, secara implisit mengandung suatu pemahaman bahwa paradigma pembelajaran saat ini harus mampu mengembangkan aktivitas para siswa sehingga kegiatan belajar mengajar bersifat student centered. Artinya, peran aktif para siswa lebih dominan dibandingkan guru sehingga guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, mediator, dan lain sebagainya.
Pendidikan siswa tunarungu yang merupakan bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional tentu harus mampu mengimplementasikannya di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar potensi siswa tunarungu dapat berkembang secara optimal sehingga diharapkan siswa tunarungu dapat menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Untuk itu, pendidikan siswa tunarungu memegang peranan penting dan esensial dalam upaya memberikan ilmu
(6)
2
SUMARNA/PK-S3/UPI pengetahuan, keterampilan, serta sikap bagi para siswanya untuk dikembangkan di masyarakat. Namun permasalahannya adalah bagaimana cara memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan, serta sikap tersebut dalam pendidikan siswa tunarungu yang mengalami hambatan dalam kemampuan berbahasanya?
Bila ditinjau secara historis, pelaksanaan pengajaran bahasa dalam pendidikan siswa tunarungu sudah dimulai sejak abad XVII, dimana pada abad tersebut lahir 2 (dua) pendekatan dalam pengajaran bahasa, yakni metode konstruktif dan natural. Metode konstruktif menitikberatkan pengajaran bahasa berawal dari guru dan hampir seluruhnya dikuasai guru, sementara pada metode natural pengajaran bahasa dilaksanakan dengan mengikuti cara sebagaimana anak normal mulai belajar bahasa. Artinya, metode ini mengajarkan bahasa tanpa program, melainkan dengan menciptakan percakapan berdasarkan situasi aktual yang sedang dialami siswa tunarungu.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti selama mengajarkan bahasa bagi siswa tunarungu, pembelajaran bahasa Indonesia merupakan beban berat yang harus dihadapi siswa dan guru. Para guru yang ada di lingkungan pendidikan siswa tunarungu telah mencoba mencari dan mengetahui titik lemah dari pengajaran bahasa Indonesia, di antaranya seperti yang dilakukan SDLB Tunarungu Santi Rama Jakarta Selatan dan SDLB Tunarungu Pangudi Luhur Jakarta Barat. Dalam pandangan kedua SDLB Tunarungu tersebut dikemukakan bahwa rendahnya kemampuan berbahasa siswa tunarungu disebabkan oleh kurang terlatihnya organ-organ bicara siswa tunarungu
(7)
3
SUMARNA/PK-S3/UPI sehingga diperlukan latihan bicara (artikulasi) atau isyarat. Latihan bicara dan isyarat tersebut dimaksudkan agar siswa tunarungu mampu berbahasa dan berkomunikasi. Cara lain yang dilakukan para guru adalah memulainya dengan menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR), yaitu suatu metode percakapan sebagaimana ibu bercakap-cakap dengan anaknya. Penyajian materi pembelajaran dimulai dari apa yang dialami siswa tunarungu, kemudian guru dan siswa lain menanggapinya secara bergantian. Dengan demikian, pembelajaran melalui Metode Maternal Reflektif (MMR) ini komunikasi dilakukan dengan cara multiarah. Yakni, komunikasi antara guru dengan siswa tunarungu atau antara siswa tunarungu yang satu dengan siswa tunarungu lainnya.
Pengajaran bahasa dengan menggunakan cara-cara sebagaimana dikemukakan di atas, pada kenyataannya belum mampu mengantisipasi kelemahan siswa tunarungu dalam hal berbahasa. Terbukti hingga saat ini siswa tunarungu masih mengalami kesulitan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Hal ini sangat beralasan dan masuk akal sebab tidak semua orang mampu memaknai dan menafsirkan apa yang diungkapkan siswa tunarungu dalam percakapannya. Selain itu, siswa tunarungu juga terbiasa dengan menggunakan bahasa isyarat sehingga menyulitkan lawan bicaranya.
Pada sisi lain, bahasa juga memiliki kaidah-kaidah yang sulit dipahami siswa tunarungu. Misalnya, memiliki pola kalimat tertentu, mengandung majas sehingga bisa membedakan arti, memiliki kata ganti yang sering muncul dalam
(8)
4
SUMARNA/PK-S3/UPI kalimat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa untuk dapat berbahasa dengan baik maka siswa tunarungu harus menguasai kaidah-kaidah berbahasa tersebut. Penguasaan kaidah-kaidah-kaidah-kaidah inilah yang selama ini sulit dipahami sehingga harus dicarikan solusinya oleh pihak-pihak terkait yang menangani siswa tunarungu.
Ditinjau dari segi pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dalam pendidikan siswa tunarungu, secara umum belum menunjukkan hasil yang memuaskan sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang tercantum dalam kurikulum. Yakni, “Siswa tunarungu mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulisan” (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLB Tunarungu, 2006: 82). Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dalam pendidikan siswa tunarungu lebih cenderung pada pencapaian target kurikulum daripada mencari terobosan-terobosan baru agar siswa tunarungu memiliki kemampuan berbahasa yang memadai. Di sisi lain, sumber belajar (learning resources) dan media pembelajaran yang tersedia masih terbatas, sehingga guru mengalami kesulitan dalam merangsang kemampuan berbahasa siswa tunarungu. Kebanyakan guru menggunakan sumber belajar dan media pembelajaran seadanya dan pada tatanan yang sangat sederhana. Dengan demikian, wajarlah apabila pembelajaran bahasa Indonesia dalam pendidikan siswa tunarungu menjadi kurang bermakna dan tidak mampu mengembangkan kemampuan berbahasanya secara optimal.
(9)
5
SUMARNA/PK-S3/UPI Dalam pembelajaran bahasa, salah satu aspek yang sering menjadi sorotan adalah aspek metode mengajar. Berhasil tidaknya suatu pembelajaran akan bergantung pada metode pembelajaran yang digunakan, karena melalui metodelah suatu materi dapat disampaikan dan bahasa dapat diajarkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Syaodih (1998) yang mengungkapkan bahwa “Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat dengan strategi mengajar atau metode mengajar”. Dipihak lain Tafsir (1992) mengungkapkan bahwa “…persoalan mengajar sebenarnya bukanlah persoalan metode apa yang akan digunakan, akan tetapi persoalan bagaimana menyusun langkah-langkah proses pengajaran itu sendiri”. Sekitar tahun 1997-an telah muncul perubahan sistem pengajaran bahasa dengan menggunakan Komunikasi Total (Komtal). Yakni, suatu sistem pengajaran bahasa yang menggabungkan pendekatan oral dengan isyarat. Dimana melalui pendekatan tersebut bahasa isyarat dibakukan dengan munculnya Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan berlaku untuk seluruh SLB Tunarungu yang ada di Tanah Air. Usaha tersebut kelihatannya tidak juga mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan Lani Bunawan (2000) seorang psikolog dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Yayasan Santi Rama Jakarta, yang melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa tunarungu di DKI Jakarta berada beberapa tahun di bawah usia sebayanya yang mendengar, dan lebih memprihatinkan lagi adalah bahasa tulis siswa tunarungu sering mengandung sintaksis yang tidak baku dan kosa kata yang terbatas.
(10)
6
SUMARNA/PK-S3/UPI Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana dikemukakan di atas, jelaslah bahwa permasalahan pokok yang dihadapi siswa tunarungu saat ini adalah rendahnya kemampuan berbahasa, serta terbatasnya pemanfaatan sumber belajar dan media pembelajaran. Berangkat dari permasalahan tersebut peneliti mencoba melakukan penelitian dan pengembangan tentang model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu di DKI Jakarta.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok yang terjadi saat ini dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi siswa tunarungu adalah rendahnya kemampuan berbahasa. Permasalahan tersebut semakin kompleks apabila dihubungkan dengan keterbatasan sumber belajar dan media pembelajaran.
Sumber belajar dipandang mampu mempengaruhi rendahnya kemampuan berbahasa siswa tunarungu, karena tanpa penggunaan sumber belajar yang tepat dimungkinkan daya pikir dan kreativitas siswa tunarungu tidak berkembang secara optimal. Pada akhirnya, kemampuan berbahasa siswa tunarungu tidak berkembang pula. Pada sisi lain, penggunaan media pembelajaran (audiovisual aids) dimungkinkan juga mempengaruhi rendahnya kemampuan berbahasa siswa tunarungu. Karena salah satu manfaat dari media pembelajaran adalah membantu tumbuhnya pengertian dan perkembangan kemampuan berbahasa.
(11)
7
SUMARNA/PK-S3/UPI Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, maka perlu dibuat model pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dituntut kurikulum bahasa Indonesia. Yakni, siswa tunarungu mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulisan. Model pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual.
Berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual bagaimana yang mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu?.
Prinsip dari pemilihan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual ini adalah efisiensi dan efektifitas. Artinya, hemat dalam penggunaan waktu, sumber daya manusia, proses, dan sesuai antara tujuan pembelajaran dengan hasil yang dicapai. Pada sisi lain, sesuai pula dengan perkembangan teknologi informasi dimana guru bukan lagi merupakan sumber belajar satu-satunya. Siswa tunarungu dapat belajar secara individual atau kelompok dalam ruang yang cukup bebas untuk memperoleh informasi sesuai dengan kebutuhan pembelajaran.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan dan pembatasan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
(12)
8
SUMARNA/PK-S3/UPI 1. Bagaimana kondisi awal pembelajaran bahasa Indonesia, dilihat dari kemampuan dan kinerja guru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, aktivitas belajar siswa, dan pemanfaatan media audio-visual dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi siswa tunarungu?
2. Disain model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual bagaimana yang mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu, bagaimana langkah-langkahnya, dan bagaimana pula bentuk akhir dari hasil pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual tersebut?
3. Bagaimana implementasi model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual, dilihat dari kemampuan dan kinerja guru, pemanfaatan media audio-visual, dan skenario yang dituntut dalam implementasi model pembelajaran tersebut?
4. Bagaimana pengaruh implementasi model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual terhadap kinerja guru, aktivitas belajar siswa, dan peningkatan kemampuan berbahasa siswa tunarungu?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu produk, yaitu model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu. Model hasil pengembangan ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara praktis oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia, sehingga kualitas proses
(13)
9
SUMARNA/PK-S3/UPI dan hasil pembelajaran dapat meningkat. Pada akhirnya, kemampuan berbahasa siswa tunarungu dapat meningkat untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup dan kehidupannya secara optimal.
2. Tujuan Khusus
Dengan mengacu pada tujuan umum pembelajaran sebagaimana diuraikan di atas, maka tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Mengetahui kondisi awal pembelajaran bahasa Indonesia, dilihat dari kemampuan dan kinerja guru, baik dalam perencanaan dan pelaksanaan, aktivitas belajar siswa tunarungu, dan pemanfaatan media pembelajaran selama pembelajaran bahasa Indonesia;
b. Memperoleh disain pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu;
c. Mengetahui implementasi model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual, dilihat dari kemampuan dan kinerja guru, pemanfaatan media audio-visual, dan skenario yang dituntut dalam implementasi model pembelajaran; serta
d. Membandingkan pengaruh implementasi model pembelajaran hasil pengembangan dengan model pembelajaran bahasa Indonesia secara konvensional.
(14)
10
SUMARNA/PK-S3/UPI E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian dan pengembangan ini diharapkan memperoleh masukan yang berarti bagi pengembangan teoritis, yakni sejumlah prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang dapat dijadikan pedoman dalam pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam pemanfaatan media audio-visual dalam upaya meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu. Sejumlah prinsip atau kaidah yang dimaksud diharapkan dapat mewarnai pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia, dalam upaya meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu.
Sementara dalam pelaksanaannya, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan sejumlah prinsip atau kaidah yang dapat dijadikan acuan, terutama dalam memberdayakan potensi siswa tunarungu secara maksimal, sehingga pembelajaran bahasa Indonesia menjadi lebih aktif, interaktif, komunikatif, efektif, dan menyenangkan. Pada akhirnya, kemampuan berbahasa siswa tunarungu semakin lebih baik dari sebelumnya. Untuk itu, analisis yang berkelanjutan selama pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual, diharapkan dapat ditemukan beberapa hal yang bermanfaat, di antaranya: (i) prosedur model pembelajaran yang efektif bagi peningkatan kemampuan berbahasa siswa tunarungu; (ii) aktivitas siswa tunarungu yang efektif selama pembelajaran bahasa Indonesia; (iii) peranan guru yang efektif selama proses
(15)
11
SUMARNA/PK-S3/UPI pembelajaran bahasa Indonesia; dan (iv) pemanfaatan media pembelajaran yang efektif bagi peningkatan kemampuan berbahasa siswa tunarungu.
Pada dasarnya, telah banyak prinsip atau kaidah yang secara teoritis dapat dijadikan acuan dalam pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu. Namun demikian, tentunya prinsip atau kaidah tersebut dapat dimanfaatkan secara selektif dalam penelitian ini untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia. Sejumlah prinsip atau kaidah tersebut dapat diadopsi secara langsung bagi peningkatan kemampuan berbahasa siswa tunarungu dalam pembelajaran bahasa Indonesia, atau perlu dilakukan penyesuaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Jika diadopsi secara langsung, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan pembuktian terhadap efektifitas prinsip atau kaidah yang diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini, selain diharapkan memberikan manfaat teoritis, juga dapat memberikan manfaat praktis bagi berbagai pihak, terutama bagi: a. Siswa Tunarungu
1) Meningkatkan motivasi belajar sehingga materi pelajaran yang disampaikan guru dapat dikuasainya dengan baik;
2) Memberdayakan potensi yang dimiliki sehingga berkembang secara optimal; dan
(16)
12
SUMARNA/PK-S3/UPI 3) Mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi selama pembelajaran bahasa Indonesia, sehingga hasil belajarnya dapat meningkat.
b. Guru Siswa Tunarungu
1) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah dalam upaya meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu sehingga kegiatan belajar mengajar bahasa Indonesia dapat berjalan secara efektif dan efisien;
2) Merangsang kreativitas sehingga mampu melahirkan inovasi-inovasi baru dalam upaya meningkatkan proses dan hasil belajar bahasa Indonesia; dan
3) Literatur yang berguna untuk menambah wawasan dan pengalaman sehingga dapat diimplementasikan ketika benar-benar dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.
c. Pihak Pengambil Keputusan
1) Penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu produk, yaitu model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual, sehingga hasilnya dapat didesiminasikan dalam rangka meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar bahasa Indonesia;
2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebuah rancangan program pembinaan bagi guru siswa tunarungu sesuai dengan wilayah binaannya; dan
(17)
13
SUMARNA/PK-S3/UPI 3) Bahan dasar dalam upaya mempersiapkan pengajuan anggaran proyek pada pemerintah untuk penyediaan media pembelajaran yang dibutuhkan siswa tunarungu di lapangan.
d. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Pendidikan Luar Biasa 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bahan ajar bagi
pembinaan para calon guru Sekolah Luar Biasa (SLB), sehingga dapat dipergunakannya kelak di kemudian hari;
2) Bahan kajian yang lebih mendalam sehingga dapat dijadikan bahan dasar untuk mengadakan penelitian lanjutan sebagai pembuktian; dan 3) Hasil penelitian ini dapat dijadikan literatur sehingga memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan.
F. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kesalahapahaman dan memperjelas maksud dan tujuan, maka dirasakan perlu untuk menguraikan istilah-istilah yang terkandung dalam judul penelitian ini. Adapun istilah-istilah yang terkandung dalam judul penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan Model Pembelajaran
Yang dimaksud dengan pengembangan model pembelajaran dalam penelitian ini adalah suatu prosedur yang ditempuh guru dan siswa tunarungu dalam mencari dan menemukan suatu kegiatan atau alat yang spesifik untuk dipergunakan dalam proses belajar mengajar, dalam hal ini mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga para siswa tunarungu mendapatkan manfaat yang positif dari kegiatan atau alat tersebut.
(18)
14
SUMARNA/PK-S3/UPI 2. Media Audio-Visual
Media audio-visual dalam konteks penelitian ini dapat dipandang sebagai alat atau sarana yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia bagi siswa tunarungu, yang dapat didengar dan dilihat melalui tayangan proyektor atau televisi.
3. Siswa Tunarungu
Siswa tunarungu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peserta didik luar biasa yang mengalami gangguan dalam pendengarannya, baik yang terjadi pada saat pra-bahasa maupun purna bahasa untuk mengikuti pembelajaran pendidikan pada suatu jenjang pendidikan yang diikutinya.
G. Kerangka Berpikir
Ketunarunguan adalah suatu derajat kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak akan dapat memahami bahasa terutama melalui pendengaran (Van Uden dalam Lani Bunawan dan Susila Yuwati, 2000: 40). Definisi tersebut mengandung suatu pemahaman bahwa tunarungu bukan saja suatu gejala gangguan pendengaran, melainkan juga tuna bahasa. Masalah utamanya bukan ketidakmampuan dalam berbahasa, melainkan akibat dari ketunarunguannya terhadap perkembangan kemampuan berbahasa, yaitu ketidakmampuan siswa tunarungu dalam memahami lambang dan aturan bahasa. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diidentifikasi bahwa pada dasarnya kemampuan berbahasa siswa tunarungu dapat berkembang dengan baik apabila siswa tunarungu mampu memahami lambang dan aturan bahasa.
(19)
15
SUMARNA/PK-S3/UPI Dengan demikian, maka masih terdapat celah yang dapat dilakukan guru dalam upaya meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu.
Akibat ketunarunguan juga mengakibatkan siswa tunarungu mengalami kesulitan dalam berbahasa lisan, sehingga pada umumnya siswa tunarungu dalam berkomunikasi memanfaatkan multimodalitas, yakni: verbal/linguistik, terdiri dari kata-kata, visual/grafis, terdiri dari ficture and image, gestur terdiri dari gerakan tangan dan lengan, dan aksi terdiri dari bermain peran, drama, dan eksperimen hands-on (Chin (2007) dalam Poedjiastoeti, 2010: 1).
Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu, diperlukan suatu model pembelajaran yang mampu merangsang imajinasi dan kreativitas siswa tunarungu sehingga kosa katanya dapat berkembang secara optimal. Model pembelajaran yang dimaksud salah satunya adalah model pembelajaran berbantuan media audio-visual. Pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual diduga mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu dengan pertimbangan bahwa media audio-visual dapat meningkatkan pemahaman dan ingatan siswa tunarungu. Hal ini sebagaimana diuraikan Wikipedia Indonesia pada
http://en.wikipedia.org/wiki/audiovisual-education&prev yang memandang
bahwa audio-visual media berbasis pendidikan adalah suatu instruksi di mana penyampaiannya dilakukan melalui audio dan visual dari bahan yang akan disampaikan dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan ingatan. Berdasarkan pemahaman dan ingatan tersebut, maka diharapkan kosa kata siswa tunarungu dapat berkembang dengan baik. Pada akhirnya, kemampuan
(20)
16
SUMARNA/PK-S3/UPI berbahasa siswa tunarungu dapat meningkat sesuai dengan pengalaman yang dialaminya. Melalui penggunaan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual juga, para siswa tunarungu akan dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan guru dan antara siswa yang satu dengan siswa lainnya melalui pemanfaatan indera penglihatan. Informasi yang diterima melalui penglihatan tersebut dapat diproses dan diolah dalam bentuk bahasa lisan atau tulisan yang dapat dipergunakan siswa tunarungu untuk kegiatan berkomunikasi.
Berdasarkan Standar Isi (SI), Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SDLB Tunarungu pada tema cerita sederhana, diharapkan siswa tunarungu dapat membaca dan menjawab pertanyaan tentang isi cerita. Adapun penyajiannya dapat dilakukan melalui praktek membaca memindai melalui teks yang diambil dari perpustakaan sekolah. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi informasi memungkinkan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dapat menyajikan cerita sederhana melalui penggunaan media audio-visual, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih aktif dan interaktif dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.
Penelitian yang relevan tentang keberhasilan penggunaan media audio-visual dalam pembelajaran telah dilakukan Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom) untuk siswa sekolah dasar tahun 1991. Hasil yang dicapai melalui program tersebut menunjukkan bahwa media audio-visual menarik minat siswa untuk belajar karena beberapa hal, di antaranya: a)
(21)
17
SUMARNA/PK-S3/UPI para siswa merasa termotivasi untuk belajar karena mereka didorong untuk aktif memberikan respons, baik terhadap pertanyaan maupun tugas yang disampaikan oleh program; b) para siswa merasa tidak bosan belajar karena materi pelajaran yang disajikan dinilai menarik; dan c) bersifat praktis karena mereka hanya bersifat mengamati dan mendengarkan. Sementara dari sisi guru dikemukakan bahwa: a) kegiatan belajar menjadi lebih menarik, lebih hidup, dan para siswa semakin lebih antusias untuk belajar; b) menambah wawasan guru yang lebih luas dan mendalam mengenai materi pelajaran; c) mendorong guru untuk mengembangkan cara penyajian materi pelajaran yang lebih menarik dan variatif sebagaimana yang dicontohkan di dalam program; dan d) memiliki kebanggaan karena prestasi belajar para siswanya meningkat.
Bertolak dari uraian di atas, maka kerangka berpikir pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual untuk siswa tunarungu, secara sistematis dapat dilihat pada Bagan 1.1 berikut:
(22)
18
SUMARNA/PK-S3/UPI
Bagan 1.1. Kerangka Berpikir Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbantuan Media Audio- Visual untuk Siswa Tunarungu (Hearing-Impaired)
Dampak Ketunarunguan Komunikasi Siswa Tunarungu
Komtal dan Multimodalitas
Media Audio-Visual (film, teks, gambar, interaktif)
Penelitian yang Relevan
Standar Isi Bahasa Indonesia SK dan KD
Tema SubTema
Peningkatan Kemampuan Berbahasa Siswa Tunarungu (Hearing-Impaired)
(23)
114
SUMARNA/PK-S3/UPI BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghasilkan sebuah produk, yakni suatu model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu. Dengan demikian, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori “Research and Development (R & D)”. Borg and Gall (1983: 772) mengemukakan bahwa “Educational reseach and development is a process used to develop and validate educational products”. Pandangan tersebut memberikan arahan bahwa prinsip penelitian dan pengembangan pada dasarnya mengacu pada suatu bentuk siklus yang didasarkan pada kajian temuan penelitian, kemudian ditindaklanjuti dengan proses pengembangan suatu produk. Pengembangan produk didasarkan atas studi pendahuluan, kemudian diuji dalam situasi tertentu dan dilakukan revisi terhadap hasil uji coba, sampai akhirnya diperoleh suatu produk akhir. Adapun bentuk produk akhir yang dikembangkan dalam penelitian dan pengembangan ini adalah model pembelajaran untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahasa Indonesia dalam upaya meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu.
Adapun langkah-langkah yang dilaksanakan dalam penelitian dan pengembangan ini, peneliti sederhanakan menjadi 3 (tiga) tahap, yakni: studi pendahuluan, pengembangan model pembelajaran, serta validasi model pembelajaran. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai ketiga
(24)
115
SUMARNA/PK-S3/UPI tahapan penelitian dan pengembangan dalam penelitian ini, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Studi Pendahuluan
Pada tahap studi pendahuluan peneliti melakukan 2 (dua) kegiatan, yakni studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur dilakukan dengan cara mengidentifikasi, menganalisa, dan mempelajari teori-teori belajar dan model-model pembelajaran, kemampuan berbahasa siswa tunarungu, strategi, kebijakan, standar kompetensi, dan kompetensi dasar dalam pendidikan siswa tunarungu, dan konsep dasar mata pelajaran bahasa Indonesia bagi siswa tunarungu. Sementara studi lapangan merupakan bentuk survei awal yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2009. Pada studi lapangan ini kegiatan yang dilakukan peneliti adalah melakukan wawancara dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Yayasan, Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan dan Kurikulum, serta guru-guru dari kedua sekolah yang menjadi lokasi dan populasi penelitian. Selain wawancara, pada kegiatan studi pendahuluan juga dilakukan observasi kelas guna mengetahui lebih jauh proses pembelajaran yang terjadi dalam pendidikan siswa tunarungu sehingga dapat dijadikan acuan untuk kegiatan perencanaan dan pengembangan model pembelajaran yang akan dikembangkan.
2. Pengembangan Model Pembelajaran
Konsep dasar model pembelajaran yang dikembangkan berupa model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual untuk
(25)
116
SUMARNA/PK-S3/UPI meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu didasarkan atas hasil studi literatur dan hasil survei awal yang telah dilakukan. Setelah konsultasi dengan pembimbing dalam penentuan lokasi dan mata pelajaran yang akan digunakan untuk pengembangan model pembelajaran, kemudian peneliti melakukan kerja sama dengan guru dan tenaga ahli yang berhubungan dengan media audio-visual dalam menyusun desain awal model pembelajaran yang akan dikembangkan dan diujicobakan. Kerja sama peneliti dan guru terutama dalam hal merumuskan tujuan pembelajaran yang diharapkan dikuasai siswa tunarungu, memilih dan menetapkan topik materi pembelajaran, memilih metode, mempersiapkan media dan sumber belajar yang relevan, merancang prosedur pembelajaran yang direncanakan dan dikembangkan sesuai dengan kajian teori tentang kemampuan berbahasa yang meliputi: keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Sementara kerja sama dengan tenaga ahli media, terutama dalam hal penggunaan handycam, prosedur trasfer hasil shooting dari kaset pada CD, dan penyortiran gambar. Hal ini dilakukan atas dasar keterbatasan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan peneliti dalam hal prosedur dan tata cara penggunaan media.
Pengembangan model pembelajaran melalui uji coba terbatas dan luas dilakukan dengan cara mengimplementasikan desain model pembelajaran beberapa kali secara siklikal (berdaur). Hasil observasi dan evaluasi proses pembelajaran dan hasil belajar tersebut dijadikan umpan balik dalam upaya memperbaiki dan menyempurnakan perencanaan pembelajaran selanjutnya.
(26)
117
SUMARNA/PK-S3/UPI Pengembangan model pembelajaran melalui uji coba terbatas dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pada kelas V SDLB Bagian Tunarungu Al-Hikmah Padalarang yang dilaksanakan pada bulan Desember 2009. Setelah dirasakan cukup mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu, model pembelajaran tersebut diimplementasikan dan diujicobakan secara lebih luas pada pembelajaran bahasa Indonesia dibulan Februari dan Maret 2010 di SDLB Bagian Tunarungu Santi Rama yang beralamat di Jl. Rs. Fatmawati, Cipete-Jakarta Selatan dan SDLB Bagian Tunarungu Pangudi Luhur yang beralamat di Jl. Pesanggrahan 125 Kembangan-Jakarta Barat. Kegiatan pengembangan ini dilakukan beberapa kali dengan melakukan refleksi dan tetap melibatkan pihak-pihak terkait yang terlibat dalam uji coba pengembangan model pembelajaran tersebut, maupun berkonsultasi dengan pembimbing. Kemudian peneliti memperbaikinya sehingga ditemukan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu yang siap divalidasi melalui kegiatan eksperimen.
3. Validasi Model Pembelajaran
Validasi model pembelajaran dilaksanakan bulan Mei dan Juni 2010, pada pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDLB Bagian Tunarungu Santi Rama Jakarta Selatan dan SDLB Bagian Tunarungu Jakarta Barat. Sehubungan dengan kedua sekolah tersebut memiliki lebih dari satu kelas sehingga masing-masing sekolah dapat dijadikan kelompok eksperimen dan kontrol. Validasi model pembelajaran dimaksudkan guna melihat dampak
(27)
118
SUMARNA/PK-S3/UPI dan efektifitas model pembelajaran yang dikembangkan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu. Pada akhirnya, dalam validasi model pembelajaran ini menemukan model akhir pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang sudah teruji validasinya.
Ketiga langkah penelitian dan pengembangan sebagaimana diuraikan di atas, secara visual dapat dilihat pada Bagan 3.1 berikut:
(28)
119
SUMARNA/PK-S3/UPI TAHAP I
TAHAP II
TAHAP III
Bagan 3.1. Langkah-langkah Pengembangan Model Pembelajaran
PENDAHULUAN STUDI LITERATUR PRA-SURVEI MENEMUKAN TEORI PENELITIAN YANG TELAH DILAKUKAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
KEMAMPUAN & AKTIVITAS BELAJAR SISWA
KEMAMPUAN & KINERJA GURU
KONDISI & PEMANFAATAN SARANA DAN PRASARANA
DESKRIPSI MODEL FAKTUAL
UJI COBA TERBATAS REVISI DAN
PERBAIKAN
RUMUSAN DRAFT
DESAIN MODEL
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBANTUAN
MEDIA
AUDIO-VISUAL
PENYUSUNAN
HARDWARE DAN
SOFTWARE
PEMBELAJARAN
UJI COBA LUAS
REVISI DAN PENYEMPURNAAN
UJI COBA TERBATAS
VALIDASI
TES AWAL IMPLEMENTASI
TES AKHIR
(29)
120
SUMARNA/PK-S3/UPI B. Subyek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDLB Bagian Tunarungu DKI Jakarta, dengan subyek penelitian siswa kelas V (lima). Pemilihan kelas V (lima) sebagai subyek penelitian didasari oleh dua pertimbangan, yaitu: Pertama, siswa kelas V SDLB Bagian Tunarungu dianggap sudah memiliki kemampuan berbahasa yang cukup memadai sehingga diharapkan dapat menguasai materi pelajaran bahasa Indonesia dengan baik. Kedua, siswa kelas V SDLB Bagian Tunarungu tidak dipersiapkan untuk mengikuti Ujian Nasional (UN) sehingga tidak mengganggu program kerja sekolah yang bersangkutan. Adapun teknik pemilihan samplingnya dilakukan dengan cara purposive sampling dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu. Berdasarkan pertimbangan kualitas sekolah, metode pembelajaran yang digunakan, latar belakang siswa, fasilitas pembelajaran, dan Sumber Daya Manusia (SDM), maka ditetapkan dua sekolah sebagai tempat penelitian. Kedua sekolah tersebut adalah SDLB Bagian Tunarungu Santi Rama yang beralamat di Jalan Rs. Fatmawati Cipete-Jakarta Selatan 12410 Telp. (021) 7694741-75818101/Fax. (021) 7663709 dan SDLB Bagian Tunarungu Pangudi Luhur yang beralamat di Jalan Pesanggrahan 125 Kembangan Jakarta Barat 11610 Telp. (021) 5804223-5817156.
Dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya, pada kedua SDLB Bagian Tunarungu tersebut dijadikan kelompok eksperimen dan kontrol. Untuk kelompok eksperimen di SDLB Bagian Tunarungu Santi Rama adalah kelas VA dan kelompok kontrolnya kelas VB, dengan jumlah siswa masing-masing
(30)
121
SUMARNA/PK-S3/UPI sebanyak 15 orang. Sementara di SDLB Bagian Tunarungu Pangudi Luhur, kelompok eksperimennya adalah kelas VB dan kelompok kontrolnya adalah VA, dengan jumlah siswa masing-masing 15 orang pula. Pemilihan kelompok eksperimen dan kontrol ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kedua sekolah tersebut memiliki kemampuan siswa yang berimbang namun berasal dari latar belakang orang tua yang berbeda dan mayoritas agama yang berbeda pula. SDLB Bagian Tunarungu Santi Rama sebagian besar Warga Negara Indonesia (WNI) asli dan beragama Islam, sementara SDLB Bagian Tunarungu Pangudi Luhur sebagian besar warga keturunan dan beragama Katolik/Protestan. Dengan demikian, untuk mengantisipasi perbedaan-perbedaan tersebut maka keduanya ditetapkan sebagai kelompok eksperimen dan kontrol.
C. Instrumen Penelitian
Sehubungan dengan penelitian dan pengembangan ini terdiri dari beberapa tahapan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka instrumen penelitian yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing tahapan penelitian tersebut. Dengan demikian, maka dimungkinkan instrumen yang digunakan ada kesamaan. Untuk tahap studi pendahuluan, instrumen yang digunakan berupa wawancara, pengamatan, analisis dokumen, dan catatan lapangan yang dapat digunakan sebagai bahan perencanaan pengembangan model. Pada tahap pengembangan model, instrumen yang digunakan berupa wawancara dan tes dalam bentuk uji coba model hasil perencanaan baik berupa pre-test maupun post-test. Sementara pada saat tahap validasi model, instrumen yang digunakan
(31)
122
SUMARNA/PK-S3/UPI berupa tes dalam bentuk pre-test dan post-test. Untuk mendapatkan gambaran mengenai instrumen-instrumen yang digunakan dalam penelitian tersebut dapat dilihat pada lampiran.
D. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini pada dasarnya bersumber dari hasil studi pendahuluan, pengembangan model, dan uji validasi model. Dengan demikian, jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis data, yakni data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai ketiga sumber data hasil penelitian beserta jenis datanya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Data Hasil Studi Pendahuluan
Data yang diperoleh dari hasil studi pendahuluan pada umumnya berupa data kualitatif. Yaitu, data-data yang berbentuk kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian, laporan hasil penelitiannya berupa kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran mengenai suatu keadaan/peristiwa. Data-data tersebut berdasarkan hasil penelitian ini berasal dari hasil wawancara, analisis dokumen, dan catatan lapangan, selama penelitian berlangsung.
2. Data Hasil Pengembangan Model
Berdasarkan hasil pelaksanaan pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual, diperoleh dua jenis data. Yaitu, data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh
(32)
123
SUMARNA/PK-S3/UPI dari hasil observasi kelas yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, sementara data kuantitatif diperoleh dari hasil tes belajar siswa SDLB Bagian Tunarungu yang dilakukan baik melalui pre-test maupun post-test. Data kuantitatif tersebut hasilnya digunakan untuk bahan revisi pada uji coba selanjutnya, sedangkan data kuantitatif dalam hal ini adalah hasil tes belajar dari beberapa kali uji coba dianalisis dengan menggunakan statistik Uji-t. Melalui Uji-t tersebut dibandingkan rata-rata antara hasil uji coba pertama dengan hasil uji coba kedua, hasil uji coba kedua dengan hasil uji coba ketiga. Pada akhirnya, diperoleh gambaran bahwa model yang dikembangkan memiliki karakteristik sebagaimana yang diharapkan.
Selain dilakukan analisis dengan cara membandingkan antara kelompok eksperimen dan kontrol, dalam penelitian ini juga dilihat perbedaan hasil yang ditimbulkan oleh model terhadap hasil belajar siswa dengan menggunakan analisis varians klasifikasi dua jalur (Two Way Anova). Statistik yang digunakan adalah F-test karena Anova mengikuti distribusi F. Semua pengerjaan analisis data hasil penelitian ini dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS Versi 17.
(33)
214
SUMARNA/PK-S3/UPI BAB V
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Pada Bab V ini akan dipaparkan tentang hasil penelitian, yang dimulai dari survei awal, uji coba terbatas, uji validasi, serta pembahasan tentang penelitian pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual sebagai upaya meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu. A. Hasil Penelitian
1. Hasil Survei Awal
a. Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SDLB Tunarungu
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 33 Ayat I menetapkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Dengan demikian, Sekolah Luar Biasa (SLB) yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional sudah barang tentu tidak melewatkan diri menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajarannya. Mata pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Tunarungu bertujuan agar para siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis;
2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara;
(34)
215
SUMARNA/PK-S3/UPI 3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan;
4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial;
5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan
6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, sudah barang tentu tidak banyak mengalami hambatan bagi para siswa yang berpendengaran normal karena mereka tidak mengalami gangguan di dalam organ pendengarannya. Bagi para siswa tunarungu, tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia tersebut memerlukan proses dan usaha yang berkesinambungan. Para siswa tunarungu dikenal dengan istilah “Tuna Bahasa”. Yakni, mereka mengalami kemiskinan di dalam bahasanya, sebagai konsekuensi dari gangguan pendengaran yang dialaminya.
Suatu persyaratan agar seorang siswa dapat berbahasa secara wajar dan spontan adalah kemampuan untuk menangkap suara orang lain. Hal inilah yang menjadi titik lemah bagi siswa tunarungu dalam belajar berbahasa. Namun demikian, bukan berarti siswa tunarungu tidak mampu belajar berbahasa. Belajar bahasa bagi siswa tunarungu dapat dilakukan
(35)
216
SUMARNA/PK-S3/UPI dengan beberapa cara, di antaranya melalui pemanfaatan sisa pendengaran, yaitu dengan cara menggunakan alat bantu dengar (hearing-aid) dan penunjang fungsi indera lainnya. Melalui penglihatan siswa tunarungu mendapatkan contoh cara-cara pengucapan dan melalui perabaan serta penghayatan gerak otot dari organ bicara (kinestetik) siswa tunarungu mendapatkan gambaran cara pengucapan melalui perasaan yang ditimbulkan pada leher, rahang, bibir, dan lidah sewaktu alat-alat tersebut bergetar.
Berdasarkan pandangan beberapa ahli yang ada di lingkungan Yayasan Santi Rama Jakarta Selatan mengatakan bahwa keterampilan berbahasa yang memadai bukan semata-mata bergantung pada sisa pendengaran, meskipun hal tersebut sangat membantu. Melainkan bergantung pada 2 (dua) faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern berhubungan dengan faktor yang berasal dari siswa, sementara faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa, di antaranya: fungsi indera yang baik, potensi intelektual/kecerdasan yang memadai, dan tidak adanya gangguan syaraf. Sedangkan faktor luar yang sangat berpengaruh, diantaranya: pemberian alat bantu dengar yang sesuai dan terawat, kualitas bimbingan, pendidikan, dan latihan bicara, serta peranan orang tua.
Pada umumnya, makin dini usia anak diketahui ketunarunguannya, dibiasakan menggunakan alat bantu dengar, dan dikembangkan
(36)
217
SUMARNA/PK-S3/UPI kemampuan berbahasa serta dibiasakan untuk berkomunikasi secara lisan, maka besar kemungkinan anak tunarungu tersebut tidak banyak mengalami kesulitan dalam berbahasanya. Namun demikian, hal ini jarang sekali dilakukan sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu tidak berkembang secara optimal.
b. Sistem Pembelajaran Bahasa Indonesia di SDLB Tunarungu
Sudah menjadi kebiasaan pada umumnya bahwa setiap lembaga pendidikan memiliki karakteristik tersendiri dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya. Hal ini tentu menjadi program dan keunggulan masing-masing lembaga pendidikan tersebut. Tak terkecuali bagi Sekolah Luar Biasa, terutama pendidikan bagi siswa-siswi yang mengalami gangguan pendengaran atau lebih dikenal dengan istilah tunarungu.
Dalam pendidikan siswa-siswi tunarungu, sistem pembelajaran pada awalnya dikenal dengan 2 (dua) aliran. Yakni, ada yang menggunakan isyarat (sign language) dan ada juga yang menggunakan oral. Masing-masing pendekatan pembelajaran tersebut pada dasarnya memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Namun demikian, tidak ada yang dapat dikatakan pendekatan pembelajaran dengan menggunakan isyarat lebih baik bila dibandingkan dengan oral atau sebaliknya. Justru pada saat ini mungkin sebagai alternatifnya, lebih cocok dengan menggunakan pendekatan komunikasi total (Komtal).
(37)
218
SUMARNA/PK-S3/UPI Yakni, suatu pendekatan yang menghubungkan antara pendekatan isyarat dengan oral.
Pada saat ini, secara umum sistem pembelajaran bagi siswa-siswi tunarungu menganut pada pendekatan komunikasi total. Tetapi bagi sekolah-sekolah tertentu masih ada yang mempertahankan pendekatan sign language atau oral. Hal ini akan bergantung pada tingkat kepercayaan sekolah terhadap kedua pendekatan tersebut. Manakala tingkat keberhasilan pendidikan dengan menggunakan kedua pendekatan itu benar-benar terrealisasi, maka tidak menutup kemungkinan kedua pendekatan tersebut akan dipergunakan terus menerus, sampai ditemukan kembali pendekatan yang lebih baik. Namun demikian, hal ini tentu bukan harga mati sehingga tidak menutup kemungkinan akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
SDLB Tunarungu Santi Rama Jakarta Selatan dan SDLB Tunarungu Pangudi Luhur Jakarta Barat, merupakan dua sekolah luar biasa yang masih mempertahankan pendekatan oral dalam sistem pendidikannya. Pada kedua sekolah tersebut, dikenal dengan sebuah metode yang khas yang jarang sekali dipergunakan di sekolah luar biasa lainnya. Metode itu lebih dikenal dengan nama “Metode Maternal Reflektif”. Yakni, sebuah metode pembelajaran yang mengutamakan percakapan sebagaimana layaknya seorang ibu bercakap-cakap dengan anaknya. Metode ini memiliki motto “Apa yang ingin kau ucapkan, maka ucapkanlah!”. Dengan motto tersebut, maka pada setiap pembelajaran dan pada mata
(38)
219
SUMARNA/PK-S3/UPI pelajaran apa pun, percakapan merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan. Dengan demikian, sistem pendidikan pada kedua sekolah luar biasa tersebut pendekatan oral lebih dominan dibandingkan dengan pendekatan yang lainnya.
c. Hasil Belajar yang Diperoleh Siswa SDLB Tunarungu
Proses belajar yang dialami siswa-siswi SDLB Tunarungu menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, serta nilai dan sikap. Adanya perubahan-perubahan tersebut didasarkan atas prestasi hasil belajar siswa terhadap serangkaian pertanyaan atau tugas yang diberikan guru selama proses pembelajaran berlangsung. Bila mana serangkaian pertanyaan atau tugas yang diberikan guru dapat diselesaikan siswa tunarungu dengan baik, maka tingkat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran dapat dikatakan baik pula. Sebaliknya, bila mana serangkaian pertanyaan atau tugas tidak dapat diselesaikan siswa tunarungu, maka tingkat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran rendah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi bahwa prestasi hasil belajar siswa-siswi SDLB Tunarungu, pada dasarnya tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan prestasi hasil belajar para siswa yang berpendengaran normal. Pada mata pelajaran tertentu, misalnya: matematika, keterampilan, olah raga dan kesenian, hasilnya cukup memuaskan dan bisa dikatakan setara dengan para siswa yang berpendengaran normal. Namun untuk mata pelajaran yang memerlukan
(39)
220
SUMARNA/PK-S3/UPI bahasa, hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan. Titik lemah dari prestasi hasil belajar siswa SDLB Tunarungu adalah terletak dari kemampuan berbahasanya yang sangat rendah. Artinya, dengan minimnya bahasa bagi siswa SDLB Tunarungu mengakibatkan tingkat pemahamannya terhadap mata pelajaran yang mengandung banyak unsur bahasa menjadi kurang.
Berdasarkan data-data yang diperoleh selama survei awal dilakukan, dari 23 orang siswa SDLB Tunarungu yang mengikuti Ujian Nasional Tahun Ajaran 2008-2009, hanya (13.04%) yang memperoleh nilai 6 ke atas pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Artinya, dari 23 orang siswa SDLB Tunarungu yang mengikuti Ujian Nasional pada tahun ajaran tersebut, hanya 3 orang yang memperoleh nilai 6 ke atas. Selebihnya berkisar antara perolehan nilai 3, 4, dan 5. Sementara untuk mata pelajaran matematika, hampir (78.26%) atau 18 orang memperoleh nilai 6 ke atas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar siswa SDLB Tunarungu mengalami hambatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
2. Hasil Uji Coba
a. Disain Model Pengembangan
Disain model pengembangan merupakan langkah awal yang memerlukan pengetahuan, pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang memadai karena akan menghasilkan suatu model pembelajaran. Karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, pada fase ini
(40)
221
SUMARNA/PK-S3/UPI peneliti mengumpulkan beberapa sumber yang ahli dalam bidang komputer, media, dan statistik yang sekiranya menunjang disain model pengembangan yang akan dilakukan. Adapun tujuannya adalah duduk bersama untuk merumuskan disain model yang akan dikembangkan, software yang akan digunakan, aktivitas siswa SDLB Tunarungu dalam pembelajaran, analisa data, dan pola software yang dihasilkan.
Rancangan atau disain model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual yang dikembangkan, mengacu pada pengembangan sistem instruksional model IDI (Instructional Development Institute) yang terdiri dari 3 (tiga) tahapan besar, yakni: merumuskan (define), mengembangkan (develop), dan menilai (evaluate). Namun demikian, disain pembelajaran pada dasarnya tetap saja mengacu pada kurikulum. Hal ini sejalan dengan pandangan Ibrahim dan Syaodih (2003) yang mengatakan bahwa acuan utama penyusunan program pengajaran adalah kurikulum. Lebih jauh lagi diungkapkan bahwa perencanaan program harus sesuai dengan konsep pendidikan dan pengajaran yang dianut dalam kurikulum.
Konsep pendidikan di Indonesia dewasa ini, lebih diwarnai oleh konsep teknologi pendidikan, khususnya pengajaran sebagai sistem. Pengajaran sebagai suatu sistem merupakan suatu pendekatan mengajar yang menekankan hubungan yang sistemik antara berbagai komponen dalam pengajaran. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa komponen-komponen yang terpadu dalam pengajaran saling terkait satu sama lain.
(41)
222
SUMARNA/PK-S3/UPI Komponen-komponen pengajaran tersebut adalah: tujuan, bahan ajar (subject mater), komponen metode belajar mengajar, media, dan evaluasi. Dalam pengajaran sebagai sistem, lebih menekankan pada keterpaduan komponen-komponen secara keseluruhan. Ciri lain dari pengajaran sebagai suatu sistem adalah lebih menekankan pada perilaku yang bisa diukur. Model pengajaran modul, kaset audio, kaset video, dan komputer, merupakan pengajaran berprogram yang termasuk ke dalam kelompok pengajaran sebagai suatu sistem (Ibrahim dan Syaodih, 2003). Dalam merancang disain komunikasi pembelajaran untuk model pembelajaran dengan bantuan media audio-visual, telah disesuaikan dengan prinsip-prinsip pengajaran, yang meliputi: perbedaan individual siswa, maju berkelanjutan, belajar tuntas, serta program pengayaan dan perbaikan.
Tujuan yang ingin dicapai melalui implementasi model pembelajaran hasil pengembangan ini adalah peningkatan penguasaan kemampuan berbahasa bagi siswa SDLB Tunarungu sehingga dengan kemampuan berbahasa yang memadai memudahkan siswa SDLB Tunarungu menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Karena sadar atau tidak, kunci sukses untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan terletak pada kemampuan berbahasa. Bila kemampuan berbahasa siswa SDLB Tunarungu berkembang dengan baik, maka besar kemungkinan peluangnya untuk menguasai ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Sebaliknya, bila kemampuan berbahasa siswa SDLB Tunarungu kurang
(42)
223
SUMARNA/PK-S3/UPI memadai, maka sulit baginya untuk menguasai ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Pendek kata, kemampuan berbahasa siswa SDLB Tunarungu sangat berpengaruh terhadap tingkat penguasaan materi pelajaran yang disampaikan guru.
Untuk itu, disain pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa SDLB Tunarungu. Dengan demikian, disain materi dan struktur diatur sedemikian rupa sehingga mampu merangsang minat, motivasi, dan kreativitas siswa SDLB Tunarungu untuk melakukan tindak berbahasa. Disain materi melibatkan guru sebagai ujung tombak dan praktisi terdekat dalam pengembangan kurikulum, ahli media, dan analisa data. Atas dasar peta konsep materi inilah orang-orang yang terlibat dalam penyusunan model pembelajaran berbantuan media audio-visual bekerja. Materi ditampilkan dalam bentuk kaset video dan program microsoft office power point yang diatur tampilannya sesuai dengan durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu kegiatan. Sementara disain struktur digambarkan melalui dialog interaktif yang mengacu pada kegiatan belajar siswa SDLB Tunarungu yang biasa dilakukan. Disain struktur memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa SDLB Tunarungu untuk mengontrol belajarnya sendiri melalui pengawasan dan bimbingan dari guru.
Prosedur dikembangkan berdasarkan disain interaksi siswa SDLB Tunarungu dan laptop yang disalurkan melalui infokus yang dirancang
(43)
224
SUMARNA/PK-S3/UPI berdasarkan prinsip Human Computer Interaction. Alat interaksi menuntut siswa SDLB Tunarungu mempelajari materi pelajaran secara individual dan mengharuskan siswa SDLB Tunarungu belajar dengan penuh konsentrasi. Artinya, apabila siswa SDLB Tunarungu tidak memiliki konsentrasi yang penuh, maka materi pelajaran tidak akan dapat dikuasainya dengan baik. Dalam penelitian ini, interaksi siswa SDLB Tunarungu dengan laptop yang disalurkan melalui infokus diterjemahkan ke dalam bentuk sistem navigasi terstruktur. Maksudnya. Alur pelacakan informasi sepenuhnya dikendalikan oleh pilihan yang telah disediakan program.
Evaluasi hasil belajar dikembangkan berdasarkan tujuan peningkatan kemampuan berbahasa, yang meliputi kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian, perangkat tes disesuaikan dengan karakteristik kemampuan berbahasa tersebut, yang terbagi menjadi 2 (dua) jenis tes, yakni lisan dan tulisan. Pola pertanyaan mengacu pada isi cerita yang terkandung dalam kaset video yang diurutkan berdasarkan taraf kesulitannya. Yakni, dari yang mudah ke yang sukar.
Dalam penyajian atau implementasi model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual disesuaikan dengan rencana, yaitu: Pertama, program menayangkan cerita anak tentang “Petualangan Si Kancil” selama ±10 menit, sementara siswa SDLB Tunarungu diminta untuk menyaksikan secara serius. Setelah penayangan cerita tentang
(44)
225
SUMARNA/PK-S3/UPI “Petualangan Si Kancil” siswa SDLB Tunarungu diminta menceritakan kembali isi dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Kedua, program menayangkan potongan-potongan gambar yang ada dalam cerita tentang “Petualangan Si Kancil” dan siswa diminta untuk menyusun kalimatnya secara lisan. Ketiga, program menayangkan teks bacaan tentang “Petualangan Si Kancil” melalui microsoft office powerpoint dan siswa SDLB Tunarungu diminta untuk membacakannya secara bersama-sama dengan bimbingan guru dan satu kali lagi membaca dalam hati. Setelah kegiatan membaca terselesaikan, siswa SDLB Tunarungu dan guru melakukan percakapan seputar isi bacaan. Keempat, siswa SDLB Tunarungu diminta untuk membuat ringkasan tentang cerita “Petualangan Si Kancil” dalam bentuk karangan sederhana.
Pada tahap awal kegiatan, terlihat guru dan siswa SDLB Tunarungu belum maksimal melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran dan terlihat kaku. Hal ini dapat dimaklumi karena tingkat penguasaan guru terhadap penggunaan media audio-visual masih rendah dan siswa SDLB Tunarungu belum terbiasa belajar dengan menggunakan media audio-visual sehingga terlihat asing. Namun demikian, pada penyajian berikutnya guru dan siswa SDLB Tunarungu sudah mulai beradaptasi, sehingga pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien. b. Perbaikan Hasil Belajar Bahasa Indonesia bagi Siswa SDLB Tunarungu
Hasil uji coba model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual memperlihatkan adanya peningkatan. Penyelesaian
(45)
226
SUMARNA/PK-S3/UPI soal-soal dan semangat belajar siswa SDLB Tunarungu cukup baik sehingga berdampak positif terhadap perolehan skor hasil belajarnya. Peningkatan skor hasil belajar siswa SDLB Tunarungu dapat dilihat dari hasil uji coba 1 sampai dengan uji coba 3. Pada uji coba ke-1 perolehan nilai rata-rata siswa SDLB Tunarungu mencapai 68.20 dengan standar deviasi 5.18. Pada uji coba ke-2 meningkat lagi menjadi 74.13 dengan standar deviasi 5.96. Lebih jauh lagi peningkatannya tatkala pada uji coba ke-3, yakni perolehan skor rata-rata mencapai 81.46 dengan standar deviasi 7.27. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa SDLB Tunarungu.
c. Peningkatan Aktivitas Belajar Siswa SDLB Tunarungu
Implementasi model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual membawa dampak positif terhadap aktivitas siswa SDLB Tunarungu. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme siswa SDLB Tunarungu dalam mengikuti pembelajaran dan keberanian mengungkapkan ide dan gagasannya. Fenomena tersebut muncul tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan pasti ada faktor penyebabnya. Salah satu faktor yang menyebabkan siswa SDLB Tunarungu memiliki antusiasme dan keberanian mengungkapkan ide dan gagasan dalam pembelajaran tersebut adalah kehadiran media audio-visual yang mampu menarik minat dan motivasi siswa SDLB Tunarungu dalam belajar. Terdapat beberapa prinsip pembelajaran yang sesuai dengan
(46)
227
SUMARNA/PK-S3/UPI implementasi model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual bagi siswa SDLB Tunarungu, di antaranya:
Pertama, prinsip perhatian dan motivasi. Perhatian dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting sebagai langkah awal dalam memicu aktivitas-aktivitas belajar. Untuk memunculkan perhatian siswa, maka perlu kiranya disusun rancangan bagaimana menarik perhatian siswa SDLB Tunarungu dalam proses pembelajaran. Rancangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual yang dilaksanakan dalam penelitian dan pengembangan model ini ternyata mampu menjawab prinsip pembelajaran tersebut. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan siswa SDLB Tunarungu dalam menerima informasi melalui media audio-visual dan antusiasmenya dalam mengikuti pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif, interaktif, dan menyenangkan.
Kedua, prinsip keaktifan. Belajar pada hakekatnya adalah proses aktif dimana seseorang melakukan kegiatan secara sadar untuk mengubah suatu perilaku dan terjadi kegiatan merespon terhadap pembelajaran. John Dewey sebagaimana dikutip Rudi Susilana (2006:131) menyatakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa oleh dirinya sendiri, maka inisiatif belajar harus muncul dari dirinya sendiri. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia dengan bantuan media audio-visual tampak bahwa siswa SDLB Tunarungu cukup aktif merespon pembelajaran sehingga pembelajaran
(47)
228
SUMARNA/PK-S3/UPI terlihat aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Hal ini membuktikan bahwa media audio-visual mampu menarik perhatian siswa sehingga memicu aktivitas siswa dalam pembelajaran.
Ketiga, prinsip keterlibatan langsung. Berdasarkan prinsip tersebut dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual tampaklah bahwa aktivitas siswa SDLB Tunarungu lebih dominan dibandingkan dengan aktivitas guru. Dimana pada pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual ini, peran guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan inovator saja tatkala siswa SDLB Tunarungu memerlukan bantuan dan arahan. Secara keseluruhan dalam pembelajarannya siswa SDLB Tunarungu mempelajarinya secara langsung. Dengan demikian, apa yang dikatakan (Edgar Dale dalam Rudi Susilana, 2006:132) mengatakan bahwa belajar yang paling baik adalah melalui pengalaman langsung. Untuk itu, proses pembelajaran dengan menggunakan bantuan media audio-visual diharapkan ada proses internalisasi bagi pihak yang belajar, sebab belajar bukanlah hanya sekedar proses menghapal sejumlah konsep, prinsip atau fakta yang siap untuk diingat.
3. Hasil Uji Validasi
Untuk melihat efektifitas implementasi model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual dilakukan dengan uji validasi. Keefektifan suatu model dapat ditinjau dari cara pelaksanaan dalam kegiatan belajar mengajar dan dilakukan pengukuran berdasarkan pada
(48)
229
SUMARNA/PK-S3/UPI pencapaian hasil belajar siswa SDLB Tunarungu yang diberi perlakuan dibandingkan dengan hasil belajar siswa SDLB Tunarungu yang tidak diberikan perlakuan. Perlu ditekankan di sini bahwa hasil belajar yang dilihat adalah hasil belajar setelah siswa SDLB Tunarungu diberikan perlakuan.
Berdasarkan hasil pengukuran dan diolah dengan menggunakan program SPSS Versi 17, diketahui bahwa skor rata-rata untuk kelompok eksperimen (KE) pada uji validasi ke-1 diperoleh skor rata-rata (68.20), uji validasi ke-2 (74.13), dan uji validasi ke-3 (81.47). Sementara untuk uji validasi kelompok kontrol (KK) diperoleh skor rata-rata sebesar (63.80) untuk uji validasi ke-1, (65.40) uji validasi ke-2, dan 66.07 uji validasi ke-3.
Berdasarkan hasil uji validasi sebagaimana diuraikan di atas, tampaklah bahwa model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual terbukti cukup efektif untuk memperbaiki kualitas proses belajar mengajar. sebelum proses belajar bahasa Indonesia berbantuan audio-visual diimplementasikan, dilakukan pengembangan perencanaan pengajaran. Kegiatan pengembangan perencanaan pengajaran bertujuan untuk menganalisis masalah, merancang pemecahan masalah, mengimplementasikan, serta mengevaluasi sumber belajar sebagai komponen sistem pengajaran. Dampak dari pengembangan perencanaan ini adalah guru harus mengkaji kurikulum secara utuh dan memperluas daya imajinasi untuk mengembangkan materi pembelajaran. Hal ini akan berpengaruh pada terkonsentrasinya proses belajar mengajar dan materi
(49)
230
SUMARNA/PK-S3/UPI tersusun secara sistemik dan sistematis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien.
B. Pembahasan
1. Kondisi Awal Pembelajaran Bahasa Indonesia di SDLB Tunarungu
Untuk melihat kondisi awal pembelajaran bahasa Indonesia di SDLB Tunarungu ini, ruang lingkup pembahasannya akan dibagi menjadi beberapa bagian, di antaranya:
a. Kemampuan dan Kinerja Guru SDLB Tunarungu dalam Perencanaan dan pelaksanaan Pembelajaran
Kemampuan merupakan daya atau kecakapan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, implementasinya berupa kinerja (Saud, 2009:44). Merujuk pada definisi tersebut maka kemampuan dan kinerja memiliki hubungan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehubungan dengan kemampuan dan kinerja guru SDLB Tunarungu dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran hasil pelaksanaan survei awal menunjukkan bahwa pada dasarnya guru SDLB Tunarungu belum sepenuhnya membuat perencanaan yang matang untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan tugas yang diampunya.
Perencanaan pembelajaran yang dibuat guru cenderung mengacu pada tahun-tahun sebelumnya ketika memegang kelas dan mata pelajaran yang sama. Bahkan adakalanya guru tidak membuat perencanaan pembelajaran sama sekali dan terpaku pada buku paket/sumber yang merupakan pegangan guru. Hal ini apabila tidak segera dibenahi maka
(50)
231
SUMARNA/PK-S3/UPI akan berdampak buruk terhadap hasil pembelajaran yang telah dilaksanakannya. Karena perencanaan pembelajaran menurut Banghart dan Trull (1973) sebagaimana dikutip Syaiful Sagala (2003:141) mengatakan bahwa perencanaan adalah awal dari semua proses yang rasional, dan mengandung sifat optimisme yang didasarkan atas kepercayaan bahwa akan dapat mengatasi berbagai macam permasalahan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka apabila guru mengajar tanpa ada perencanaan, hasilnya tentu tidak akan memuaskan.
Sementara dalam pelaksanaan pembelajaran, peran guru sudah cukup optimal. Hal ini dapat dilihat dari interaksi guru dan siswa SDLB Tunarungu yang berjalan dengan baik dan lancar. Namun demikian, keberhasilan suatu pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh baiknya interaksi antara guru dan siswa saja. Masih ada faktor lain yang menunjang proses pembelajaran, di antaranya: pengetahuan tentang teori mengajar, kemahiran dan keterampilan teknis mengajar, prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, serta keterampilan memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan mengajar, dan lain sebagainya (Saud, 2009:52).
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kinerja guru dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia yang dilaksanakan guru tidak menyentuh seluruh aspek kemampuan berbahasa. Artinya, guru melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia hanya pada kemampuan berbahasa tertentu saja.
(51)
232
SUMARNA/PK-S3/UPI Misalnya, keterampilan mendengarkan hanya dipadukan dengan keterampilan berbicara, keterampilan membaca hanya dipadukan dengan keterampilan menulis, atau sebaliknya. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia yang dilakukan guru tidak menyeluruh.
Fenomena sebagaimana diuraikan di atas, semestinya segera dibenahi dan diingatkan oleh semua pihak. Karena pembelajaran bahasa Indonesia, sebenarnya harus memadukan ke-4 keterampilan berbahasa, yakni: keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Ke-4 keterampilan berbahasa tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Papas, dkk.,(1991:xiii) yang menyatakan bahwa dalam perspektif bahasa terpadu, para ahli mempunyai keyakinan bahwa bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, pembelajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosa kata disajikan secara utuh bermakna dan dalam situasa nyata.
Sejalan dengan pendapat di atas, Longstreet & Shane (1993:305) mengemukakan bahwa The whole language approach emphasizes the simultaneous teaching of reading and writing in a total literacy context based on activities meaningful to the young child. Dalam hal ini para siswa dicelup (immersed) dalam lingkungan berbagai sumber bacaan, dan perbedaan pengalaman para siswa dikondisikan atau diatur sedemikian rupa (orchestrated) oleh guru dengan membantu mereka memahami
(52)
233
SUMARNA/PK-S3/UPI secara keseluruhan pola-pola bahasanya. Sementara De Carlo (1995:8) mengungkapkan bahwa dalam situasi yang alami, bahasa merupakan keseluruhan dan utuh atau in natural situations language is whole and intact, hal ini sesuai dengan sifat bahasa adalah terpadu. Dengan demikian, maka pembelajaran bahasa dalam pandangan holistik ini menurut Godman sebagaimana dikutip De Carlo (1995:177) menyatakan bahwa bahasa lebih mudah dipelajari ketika bahasa itu dipelajari secara menyeluruh, fungsional, dan bermakna.
Sedangkan Oliva (1992:354) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran whole language yang paling mendasar adalah penggunaan materi yang real atau authentic untuk pembelajaran membaca dan menulis yang menekankan pada kebutuhan dan minat para siswa, dan memadukan keterampilan berbahasa dengan materi bidang studi lain. Lebih lanjut Oliva (1992:562-565) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan whole language mengkondisikan para siswa untuk belajar membaca melalui kegiatan membaca, belajar menulis melalui kegiatan menulis, belajar mewicara melalui kegiatan mewicara, dan belajar menyimak melalui kegiatan menyimak. Kata kunci whole language adalah authenticity dan guru yang menggunakan pendekatan ini berusaha untuk mengembangkan konsep diri dan rasa percaya diri para siswa dengan tetap mempertimbangkan pencapaian sebagian dan menerima kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh para siswa.
(53)
234
SUMARNA/PK-S3/UPI Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jelaslah bahwa dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus memadukan 4 (empat) keterampilan berbahasa dalam satu rangkaian pembelajaran dan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
b. Aktivitas belajar siswa SDLB Tunarungu
Aktivitas belajar merujuk pada kegiatan melakukan suatu kegiatan untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, aktivitas belajar tersebut pada dasarnya menyangkut dua hal, yakni aktivitas jasmani dan mental (Uzer Usman, 2002:22). Aktivitas jasmani berhubungan dengan gerakan-gerakan anggota tubuh siswa ketika terjadi proses belajar, sementara aktivitas mental berhubungan dengan proses berpikir untuk mengolah informasi yang diperoleh siswa pada saat pembelajaran. Dengan demikian, aktivitas belajar ini dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kategori, yakni: aktivitas visual, lisan, mendengarkan, gerak, dan menulis.
Aktivitas visual (visual activities) belajar siswa SDLB Tunarungu lebih dititikberatkan pada aktivitas membaca. Aktivitas membaca bagi siswa SDLB Tunarungu merupakan sesuatu hal yang sangat sulit dilakukan. Hal ini wajar terjadi sebagai dampak dari gangguan pendengaran yang dialaminya. Aktivitas membaca siswa SDLB Tunarungu ditandai dengan intonasi yang monoton, ucapan yang tidak jelas, hilangnya huruf-huruf tertentu dalam pengucapan, pemenggalan kata yang tidak teratur, dan lain sebagainya. Untuk menanggulangi
(54)
235
SUMARNA/PK-S3/UPI hambatan-hambatan tersebut, maka dalam kegiatan membaca bagi siswa SDLB Tunarungu dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yakni membaca ideo-visual dan membaca reseptif (Lani Bunawan dan Susila Yuwati, 2000: 92-99).
Membaca ideo-visual adalah suatu kegiatan membaca yang bahan bacaannya berdasarkan hasil pengalaman sendiri yang ditulis dalam bentuk visualisasi. Visualisasi ini bersumber dari hasil percakapan antara siswa dengan guru, kemudian dituangkan menjadi suatu bacaan dalam bahasa yang bebas. Suassure (1916) menamakan bahan bacaan tersebut dengan istilah “depot psichique” (depot kejiwaan). Sementara membaca reseptif dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu tahap kosa kata dan struktur. Tahap kosa kata yaitu siswa tunarungu mengerti bacaan yang memuat hal-hal yang baru, namun pada pokoknya dapat ditangkap atas dasar menerka-nerka kata yang telah dimilikinya. Sedangkan tahap struktur yaitu siswa tunarungu mengerti bacaan yang memuat hal-hal yang baru bukan hanya atas dasar kosa kata yang dimiliki melainkan juga melalui pemahaman atas struktur bahasa. Misalnya, bagaimana arti kata dapat bergeser dan bagaimana kata-kata dapat dikelompokkan dan berkaitan satu dengan yang lainnya.
Aktivitas lisan (oral activities) dititikberatkan pada aktivitas bercerita atau berbicara. Dalam proses belajar siswa SDLB Tunarungu dengan menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR), aktivitas bercerita paling dominan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran untuk
(1)
279
SUMARNA/PK-S3/UPI bersifat positif akan lebih baik karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa, sehingga ia ingin mengulang kembali respons yang telah diberikan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jadi suatu respons diperkuat oleh penghargaan berupa nilai yang tinggi dari kemampuannya menyelesaikan soal-soal ujian. Pemberian nilai adalah penerapan teori penguatan yang disebut “operant conditioning”. Tokoh utamanya adalah Skinner yang mengembangkan program pengajaran dengan berpegang pada teori penguatan tersebut. Program pembelajaran yang terkenal dari Skinner adalah “programmed instruction” dengan menggunakan media buku atau mesin pengajaran. Dalam pengajaran berprogram, bahan ajar tersusun dalam potongan bahan kecil-kecil, dan disajikan dalam bentuk informasi dan tanya jawab.
Anak belajar dengan cara membaca informasi dan soal, lalu memberikan atau memilih jawaban yang tersedia. Jawaban anak segera dicocokkan dengan kunci jawaban, dan segera diketahui hasilnya yang dinyatakan dengan kualifikasi nilai tertentu. Nilai yang baik akan mendapatkan pujian, sedangkan nilai yang kurang akan mendapatkan peringatan. Pengajaran berprogram disajikan dalam berbagai bentuk media pengajaran, yaitu: dalam bentuk buku program, mesin pengajaran, kaset audio, kaset video, atau komputer. Melalui pengajaran berprogram dimungkinkan anak belajar secara individual. Guru dalam hal ini sebagai pengarah, pendorong, dan pengelola belajar saja.
(2)
280
SUMARNA/PK-S3/UPI Dengan berpijak pada teori modifikasi tingkah laku dan teori belajar behaviorisme sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka implikasinya terhadap pembelajaran adalah: (1) bahasa dan cara berpikir siswa berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir siswa. Anak akan dapat belajar dengan baik apabila ia mampu menghadapi lingkungan dengan baik; (2) guru harus dapat membantu siswa agar dapat berinteraksi dengan lingkungan belajarnya sebaik mungkin (fasilitator); (3) bahan yang harus dipelajari hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. Beri peluang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya; dan (4) di kelas, berikan kesempatan pada siswa untuk dapat bersosialisasi dan diskusi sebanyak mungkin.
Melalui proses analisa dan pemahaman tentang “Teori Modifikasi Tingkah Laku” dan “Teori Belajar Behaviorisme”, maka dapat diimplementasikan pada pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual. Disain pembelajaran melalui bantuan media audio-visual jika dikondisikan dalam alokasi jangka waktu yang cukup, dan disesuaikan dengan variasi gaya belajar para siswa, maka materi akan tersimpan dalam memori yang panjang (long term memory). Bila tiba saat belajar para siswa dapat memanggil kembali untuk dipakai dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar yang relevan. Pembelajaran dengan menggunakan media audio-visual pada dasarnya digunakan untuk merefleksikan tingkah laku dalam belajar dan mengajar. Salah satu
(3)
281
SUMARNA/PK-S3/UPI tujuan utama pembelajaran dengan menggunakan media audio-visual adalah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa bagi siswa SDLB Tunarungu. Hal ini telah disesuaikan dengan prinsip-prinsip penetapan materi dan tingkat perkembangan para siswa SDLB Tunarungu, materi disusun secara sistemik dan sistematis, dan materi mencakup hal-hal yang bersifat faktual dan konseptual.
(4)
282
SUMARNA/PK-S3/UPI DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsudin Makmun. (2000). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Adhan. (2009). Media Pembelajaran. (Online). http://www.upister.com/Adhan (31 Januari 2009).
Akhadiah, Sabarti. (1992). Membaca sebagai Keterampilan Dasar. Jakarta: Depdikbud.
Azhar Arsyad. (2007). Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Borg, W. dan Gall, M. (2003). Education Research, An Introduction. Boston:
Pearson Education Inc.
Boothroyd, Arthur. (1982). Hearing Impairments in Young Children. Prantice Hall. Inc. Englewood Cliffs. N.J. 07632.
De Carlo, Julia E. (1995). Perspective in Whole Language. Boston: Allyn and Bacon.
Dallman, Maartha, dkk. (1982). The Teaching of Reading. Tokyo: Holt. Rinehart and Winston.
Departemen Pendidikan Nasional. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1996). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLB Tunarungu. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. (1974). The Study of Teaching. New York: Holt Rinehart and Winston.
Echols., M., Jhon dan Shadily Hassan. (1997). Kamus Indonesia Inggris. Jakarta: PT. Gramedia.
Evans, L. (1982). Total Communication. Gallaudet College Press: Kendal Green, Washington D.C 208802.
(5)
283
SUMARNA/PK-S3/UPI Fisher, Carol J. & Terry, C. Ann. (1982). Children’s Language and the Language
Arts. New York: McGraw-Hill Book Company.
Joyce, Bruce. at. al. (2000). Models of Teaching. Allyn & Bacon: London.
Knirk, F.G. & Gustafon, K.L. (1986). Instructional Technology, A System Approach to Education. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Komarudin. (2000). Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara. Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati. (2000). Penguasaan Bahasa Anak
Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.
Longstreet, Wilma S. & Shane, Harold G. (1993). Curriculum for a New Millennium. Singapore: Allyn and Bacon.
Manngieri, John N., Staley, Nancy K., wihide, James A. (1984). Teaching Language Arts: Classroom Applications. New York: McGraw-Hill Book Company.
Miller, J.P. & Seller, W. (1985). Curriculum Perspectives and Practice. New York & London: Longman.
Myklebust, H.R (1960). The Psichology of Deafness, Sensory Deprivation, Learning and Adjusment. Grune & Stratton. Inc. new York.
Nasution, S. (2000). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Transito. Nana Syaodih Sukmadinata. (1998). Prinsip dan Landasan Pengembangan
Kurikulum. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. DIKTI.
Nana Syaodih Sukmadinata. (2006). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Oliva, Peter F. (1992). Developing the Curriculum. United States of America: Harper Collins Publishers.
Piran Wiroatmodjo dan Sasonohardjo. (2002). Media Pembelajaran (Bahan Ajar Diklat Kewidyaiswaraan Berjenjang Tingkat Pertama). Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia: tidak diterbitkan.
Rooijakkers, Ad. (2003). Mengajar dengan Sukses: Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran. Jakarta: Grasindo.
(6)
284
SUMARNA/PK-S3/UPI Rosidin. (1998). Pengaruh Kegiatan Ekstrakurikuler Pencak Silat terhadap Sikap Percaya Diri Anak Tunagrahita di SLTPLB Tunarungu Wilayah Jakarta Selatan. Skripsi pada FIP IKIP Jakarta: tidak diterbitkan.
Rudi Susilana, dkk. (2006). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI Bandung.
Soedjadi. (1999). Bahan kuliah Orthopedagogik Umum I. PLB IKIP Jakarta: tidak diterbitkan.
Syaiful Sagala. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran (untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar Mengajar). Bandung: Alfabeta.
Sri Poedjiastoeti. (2010). Pengembangan Program Pembelajaran Kimia Berbantuan Multi media dan KIT untuk Siswa SMALB Tunarungu. Disertasi pada PPs Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung: tidak diterbitkan.
Tarigan, Djago. (2002). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Universitas Terbuka.
Tafsir, A. (1992). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Undang-undang RI. No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Uzer Usman, Moch. (2002). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Udin Syaefudin Saud. (2009). Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta. W.J.S. Purwadarminta. (1984). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN.
Balai Pustaka.
Waldopo. (2008). Potensi Televisi Pendidikan sebagai Media Pendidikan. (Online). Tersedia: http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=88 (1 September 2008).
Zahorik, Jhon A. (1995). Constructivist Teaching (Fastback 390). Bloomington, Indiana: Phi-Delta Kappa Educational Foundation.