PERSPEKTIF PEMIKIRAN PAKAR TENTANG PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ABSTRACT

PERNYATAAN TENTANG KEASLIAN KARYA TULIS KATA PENGANTAR ... UCAPAN TERIMA KASIH ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR BAGAN .. ...

i v xi xv xvi BAB I PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang Masalah ... 1. Dampak perubahan sosial terhadap PKn ... 2. Masalah pembangunan karakter warga negara

melalui PKn ... B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... C. Fokus Masalah dan Pertanyaan Penelitian... D. Paradigma Penelitian ... E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... F. Pengertian Istilah ...

1 1 9 14 19 21 22 24 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...

A. Ontologi PKn Dalam Konteks Filsafat Pendidikan Dan Kontribusinya terhadap Pembentukan Struktur Ilmu ..

32


(2)

1. Pengertian ontologi dan peranannya dalam ilmu pengetahuan ... 2. Pengertian ilmu, struktur ilmu, dan keterkaitan

struktur ilmu ... 3. Teori-teori Ilmu Sosial dalam konteks PIPS dan

PKn ... 4. Hasil-hasil penelitian terdahulu tentang ontologi

PKn dalam pembentukan struktur ilmu ... B. Peran Ontologi PKn dalam Membangun Karakter

Bangsa Indonesia ... 1. Pentingnya ontologi PKn ... 2. PKn dalam konteks PIPS untuk membangun

karakter………... 3. Hasil-hasil penelitian terdahulu tentang peran

ontologi PKn dalam membangun karakter bangsa C. Proses Pembangunan Karakter Bangsa Dan

Tantangannya Bagi Bangsa Indonesia ... 1. Pengertian karakter bangsa ... 2. Materi Content PKn untuk pembangunan karakter

bangsa ... 3. Hasil-hasil penelitian terdahulu tentang proses

pembangunan karakter bangsa serta

tantangannya kini dan masa mendatang ...

32

45

63

80

88 88

95

99

105 105

118


(3)

BAB III METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN ... A. Pendekatan, Metode Penelitian, dan Teknik

Pengumpulan Data ... 1. Pendekatan ………. 2. Metode penelitian ………... 3. Teknik pengumpulan data ……… B. Instrumen dan Peran Peneliti ……… C. Penentuan Subyek Penelitian dan Sumber Data …

1. Subyek penelitian ………. 2. Sumber data ……….. D. Analisis Data Induktif ……….

130 130 130 133 136 141 143 143 145 146 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

A. Hasil-hasil Penelitian ... 1. Ontologi PKn dalam Filsafat Pendidikan dan

Domain-domain yang Dikembangkan dalam Struktur Pendidikan Disiplin Ilmu ... a. Pandangan pakar tentang ontologi PKn ... b. PKn dalam konteks struktur ilmu dan filsafat

pendidikan ... c. Domain PKn ... 2. Peran PKn dalam Membangun Karakter Bangsa

Indonesia ... 3. Pembangunan Karakter Bangsa (National

Character Building) ...

151 152 152 152 166 178 199 212


(4)

a. Pandangan pakar tentang karakter bangsa .... b. Pembangunan karakter bangsa dalam sejarah

perkembangan bangsa Indonesia …... c. Pandangan pakar tentang tantangan pemba-

ngunan karakter bangsa di Indonesia... 4. Temuan Penelitian PKn dalam Pembangunan

Karakter Bangsa... B. Pembahasan Hasil Penelitian ...

1. Ontologi PKn ... 2. PKn dalam Konteks Filsafat Pendidikan ... 3. Domain PKn ... 4. Peran PKn dalam Pembangunan Karakter Bangsa 5. Hakikat Karakter Bangsa ... 6. Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia:

Tinjauan Historis ... 7. Tantangan Upaya Pembangunan Karakter Bangsa

Di Indonesia ...

212 230 242 250 260 260 269 276 288 297 307 317 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ...

A. Simpulan ………... B. Implikasi ... C. Rekomendasi ………

324 324 331 334 DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...

338 352


(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap bangsa dan negara mengakui pentingnya pembangunan karakter bangsa (National Character Building) dalam rangka memelihara dan mempertahankan eksistensi sebagai suatu negara-bangsa (nation-state). Di Indonesia, upaya pembangunan karakter bangsa ini telah menjadi masalah serius sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia karena suatu kenyataan bahwa kondisi bangsa Indonesia saat itu menghadapi masalah konsolidasi kekuasaan. Seorang Indonesianis, Herbert Feith, mengemukakan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan dari sudut entitas politik, sebagai berikut.

The difficulties which this situation presaged for the process of power consolidation become clear if one looks at the character of Indonesia as a political unit and examines the divisive forces growing from its geographical, economic, and sociocultural organization. (Feith, 1962:26)

Menurut Feith, dari sudut pandang kesatuan politik, wilayah geografis Indonesia yang lebih dominan unsur lautan bukanlah rintangan utama untuk membangun karakter melainkan masalah kesenjangan antara kehidupan kota besar dengan wilayah perdesaan (rural areas) yang akan lebih mudah memicu konflik. Demikian pula dalam aspek ekonomi, masalah kebijakan pemerintah pusat tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat Jawa dan luar Jawa serta masalah sumber daya alam akan mudah mengundang konflik vertikal (major centrifugal pressure).


(6)

Namun, masalah laten yang telah lama muncul bahkan tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan adalah masalah kenyataan masyarakat Indonesia secara sosiokultural. Feith (1962) mengemukakan:

Indonesian Society in 1949 was beset with cleavages and obstacles to the attainment of consensus and legitimate authority as a result of ethnic and religious diversity, of the fact that loyalties and solidarity feelings attached to each of a large number of communal and quasi-communal groupings. Indonesia was a “plural society”, a “mosaic society”, a “multigroup society”. (Feith, 1962:27)

Solusi dalam menghadapi masalah di atas menurut Feith (1962:27-28) adalah dengan memperkuat rasa kebangsaan bagi seluruh warga negara Indonesia (Indonesian nasionalism) sedangkan kesamaan Agama Islam (a particular set of religious loyalties) dapat memperkuat proses identifikasi setiap etnis yang ada di wilayah nusantara. Temuan ini cukup untuk memperkuat tesis hasil kajian George McTurnan Kahin (1952:38) yang menyatakan bahwa “One of the most important factors contributing to the growth of an integrated nationalism was the high degree of religious homogeneity”.

Hasil kajian Feith selama sekira sepuluh tahun (1951-1960) pun sejalan dengan Pidato Pembelaan Bung Karno di muka Hakim Kolonial pada Tahun 1930 yang menyatakan bahwa:

… di dalam kesadaran nasionaliteit, di dalam nasionalisme inilah letaknja daja, jang nanti bisa membuka kenikmatan hari kemudian. … Kami punja nasionalisme haruslah nasionalisme jang positif, suatu nasionalisme jang mentjipta, suatu nasionalisme jang “mendirikan”, suatu nasionalisme jang “mentjipta dan memudja”. Dengan nasionalisme jang positif itu maka rakjat Indonesia bisa mendirikan sjarat-sjarat hidup merdeka jang bersifat kebendaan dan kebatinan. (Soekarno, 1930: 117)


(7)

Pentingnya sebuah bangsa memiliki nasionalisme positif digambarkan pula oleh Bung Karno dengan mengutip pendapat pemimpin Mesir yang termashur, Mustafa Kamil, sbb.:

“Oleh karena rasa kebangsaanlah, maka bangsa-bangsa jang terbelakang lekas mencapai peradaban, kebesaran dan kekuasaan. Rasa kebangsaanlah jang menjadi darah jang mengalir dalam urat-urat bangsa-bangsa jang kuat dan rasa kebangsaanlah jang memberi hidup kepada tiap-tiap manusia jang hidup”. (Soekarno, 1930: 118)

Demikian pentingnya nasionalisme bagi suatu bangsa dalam mengisi kehidupan bernegara walaupun pada saat itu kondisi bangsa ada dalam kekuasaan bangsa lain. Bung Karno telah berhasil membangun benih-benih karakter bangsa calon penghuni Republik ini dengan tercapainya perjuangan melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kahin (1952) mengemukakan bahwa “The beginnings of Indonesian nationalism cannot be precisely or even roughly dated. … It might be argued that latent nationalisms of an embryonic character have existed within the chief Indonesian societies since then…”. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nasionalisme sebagai karakter embrionik telah ada dalam hati sanubari bangsa jauh sebelum tercapainya kemerdekaan. Pada pasca masa kemerdekaan, konsep nasionalisme masih tetap relevan dan diperlukan oleh sebuah negara-bangsa. Bagaimana membangun dan memelihara nasionalisme ini agar tetap eksis dalam mencapai peradaban, kekuasaan, dan kebesaran bangsa? Secara spesifik, bagaimana membangun dan memelihara nasionalisme bagi eksistensi bangsa Indonesia untuk mencapai peradaban, kekuasaan dan kebesaran bangsa?


(8)

Pembangunan karakter untuk memelihara nasionalisme merupakan proses kompleks yang memerlukan waktu lama dan tidak pernah selesai. Craig Reynolds menyatakan “the nation is a building that will never be finished” bahkan seorang Indonesianis, Anthony Reid, menekankan bahwa pembangunan karakter bangsa di Indonesia sebagai “the discontinuities that have challenged historians again and again to capture the whole picture whether of state or nation” (Gungwu, 2005:4). Oleh karena itu, pembangunan karakter bangsa seyogianya melibatkan berbagai komponen bangsa, baik pada tataran supra maupun infrastruktur politik, teoritisi maupun praktisi, berbagai komponen pendidikan pada seluruh jenjang dan jenis, serta partisipasi seluruh warga negara-bangsa.

Dari seluruh komponen berpengaruh tersebut, komponen pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis. Pendidikan sebagai wahana transformasi budaya, nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) bahkan seni telah menjadi pusat untuk pembangunan karakter bangsa baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Sejumlah bahan kajian dan mata pelajaran pun telah ditawarkan, baik yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah untuk jangka waktu tertentu maupun berdasarkan pada tuntutan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat. Bahan kajian yang telah menjadi program pendidikan dan ditawarkan di Indonesia yang tetap eksis hingga kini adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Bidang kajian ini secara akademik dikenal sebagai Civic Education atau Citizenship Education.

Belum banyak pemikiran tentang PKn, baik yang memfokuskan pada materi, pendekatan maupun strategi membangun karakter dan kepribadian bangsa lebih-lebih yang mengkaji PKn dari sudut pandang filsafat keilmuan.


(9)

Hingga saat ini bahan kajian ini masih dalam proses penemuan jati diri, seperti pengembangan objek telaah, proses generalisasi dan teorisasi, dan kegunamanfaatannya. Lebih lanjut, secara filosofis bahan kajian ini tengah direkonstruksi dan diperkuat agar posisinya dalam konteks disiplin ilmu maupun pendidikan disiplin ilmu semakin jelas dan ajeg.

Dengan pertimbangan semakin kompleksnya permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara maka pada tahun 1970-an mulai diperkenalkan Pendidikan IPS (PIPS) sebagai pendidikan disiplin ilmu. (Istilah pendidikan disiplin ilmu pertama kali dikemukakan oleh Numan Somantri dalam berbagai karya tulis). PKn yang telah lebih dahulu diperkenalkan di lembaga pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan menengah memiliki karakteristik sebagai pendidikan disiplin ilmu. Namun, PKn dalam konteks PIPS merupakan salah satu tradisi Social Studies, citizenship transmision (Barr, Barth, dan Shermis, 1977), sehingga keterkaitan antara dua pendidikan disiplin ilmu ini begitu erat. Oleh karena itu, kajian yang lebih mendalam tentang PKn dalam konteks keilmuan seyogianya ditinjau dari posisinya sebagai pendidikan disiplin ilmu.

Hingga saat ini, PIPS dan PKn sebagai pendidikan disiplin ilmu masih menghadapi masalah dan tantangan baik dalam konteks kajian keilmuan, telaah akademik, pelaksanaan kurikuler maupun pengembangan pendidikan disiplin ilmu (Somantri, 1987, 2001; Winataputra, 2001; Wahab, 1999; Al Muchtar 1992). Upaya pembangunan karakter bangsa melalui PKn sebagai mata pelajaran di sekolah yang telah berlangsung sejak lama itu belumlah optimal dan belum berhasil mencapai harapan, bahkan hingga saat ini program pendidikan ini malah dipertanyakan keberadaan dan perannya. Diasumsikan


(10)

munculnya pertanyaan ini karena hingga kini upaya pengkajian secara konseptual untuk menjawab pertanyaan: mengapa setiap negara memerlukan PKn, apa hakikat PKn, dan apa objek atau materi kajian PKn di Indonesia dengan basis pendidikan disiplin ilmu maupun sebagai program kurikuler untuk pembangunan karakter bangsa nampaknya masih belum banyak tersentuh. Tidak terlalu keliru pendapat Jareonsettain (1999) yang menyatakan “we have a crisis of character at the root of all the troubles everywhere and the crisis has come about as a result of education without refinement of character”. Oleh karena itu, upaya perbaikan strategi maupun reorganisasi materi kajian PKn untuk membangun karakter bangsa perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, sedangkan upaya pengkajian filosofis pun perlu dilakukan sejalan dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Nusantara (2003:67) menyatakan bahwa “perkara pembangunan watak (character building) merupakan suatu tuntutan perubahan yang tanpa henti (never ending process), sebuah upaya yang harus dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan, sehingga tidak pernah ada kata terlambat.”

Di Indonesia sendiri, upaya pembaharuan PKn terus mengalami perubahan ke arah perbaikan terutama pada aspek metode pembelajaran. Perhatian pada aspek materi “content”, terutama diberikan ketika ada perubahan besar dan mendasar dalam berbagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang terjadi pada satu dekade terakhir. Perhatian yang diberikan selama ini oleh para pakar maupun praktisi tentang masalah materi kajian PKn menunjukkan banyak ragam pandangan dan rumusan yang terkadang menimbulkan kebingungan pada tingkat operasional di lapangan. Selain adanya perubahan nama sejalan dengan perubahan sistem politik


(11)

bahkan perkembangan kondisi politik internasional, mata pelajaran ini tidak steril terhadap perubahan dalam substansi materi khususnya dalam tataran kurikulum sekolah.

Memasuki abad ke-21 atau era reformasi, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat sejumlah pandangan (point of view) tentang PKn sesuai dengan arah dan tujuan dari masing-masing program, misalnya pada tingkat perguruan tinggi saat ini terdapat mata kuliah umum yang bernama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), pada tingkat sekolah dasar dan menengah terdapat mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Pada perkembangan selanjutnya di tingkat sekolah dasar, dikenal mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial (PKPS), bahkan dalam draf Kurikulum 2004 yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum (Puskur), Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan Nasional (Balitbang Diknas) dikenal nama mata pelajaran Pengetahuan Sosial untuk SMP dan Kewarganegaraan untuk SMA (Balitbang Diknas, 2004).

PKn di Perguruan Tinggi merupakan nama mata kuliah umum yang menggantikan mata kuliah Pendidikan Kewiraan sedangkan PKPS SD, Pengetahuan Sosial SMP, dan Kewarganegaraan SMA adalah nama mata pelajaran di tingkat persekolahan yang menggantikan mata pelajaran PPKn (Depdiknas, 2004).

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), PKn merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini lebih jelas dan diperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjelasan dari Undang-Undang tersebut bahwa


(12)

“Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Dengan adanya ketentuan UU tersebut maka kedudukan PKn dalam sistem pendidikan di Indonesia semakin jelas dan mantap. Meskipun demikian, diasumsikan adanya perubahan nama untuk PKn disebabkan belum adanya kesepakatan terhadap landasan filosofis yang bersifat ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang menjadi landasan berpikir para pakar dan praktisi. Dengan kata lain, objek telaah PKn hasil kajian bersama secara konseptual-ontologis belum terwujud sehingga diasumsikan permasalahan inilah yang banyak menimbulkan terjadinya tumpang tindih (overlapping) tentang substansi materi kajian antar mata pelajaran baik di tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat persekolahan.

Persoalan tentang kedudukan PIPS dan PKn ditinjau dari kacamata filsafat ilmu sangat penting bagi eksistensi dan tegak-kokohnya program pendidikan ini. Somantri (2001:89) pernah mempertanyakan: (a) objek apa yang ditelaah oleh PIPS? – ontologi; (b) bagaimana proses terjadinya generalisasi dan teori dalam PIPS ini? – epistemologi; dan (c) untuk apa Pendidikan IPS akan digunakan? – aksiologi. Tentang permasalahan objek telaah atau materi kajian dalam PIPS ini tidak banyak berbeda dengan apa yang dialami oleh PKn. Dalam tulisan ini, fokus kajian secara khusus terkait dengan masalah objek telaah PKn. Dengan dasar pertimbangan inilah, maka permasalahan lebih lanjut yang muncul berkenaan dengan permasalahan ontologis PKn ialah bukan hanya pada bagaimana cara membentuk melainkan pada objek telaah apa yang-ada (being) dan kenyataan (reality) untuk membangun karakter bangsa dan warga negara yang baik berdasarkan


(13)

Pancasila dan UUD’45. Menurut Pranarka (1985:23), secara empiris Pancasila telah mengalami berbagai gejolak pemikiran yang terbagi ke dalam lima periode.

Periode Pertama: meliputi pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa Sidang BPUPKI (2-9 Mei 1945 sd. 17 Juli 1945). Periode Kedua: pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama berlakunya UUD 1945 yang pertama (18 Agustus 1945 sd. 26 Desember 1949). Periode Ketiga: pemikiran-pemikiran Pancasila selama berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1949 sd. 16 Agustus 1950). Periode Keempat: pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 sd. 5 Juli 1959); Periode Kelima; pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama berlakunya UUD 1945 yang kedua kalinya (5 Juli 1959 sd. sekarang).

Pembagian menurut periodisasi ini menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi telah mengalami perkembangan pemikiran sejalan dengan perkembangan jaman yang terus berubah. Perkembangan pemikiran Pancasila ini telah berdampak pada perubahan dalam sistem pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa PKn sebagai kajian yang erat dengan persoalan ideologi Pancasila tidak mungkin dapat terhindar dari perubahan pemikiran yang terjadi dalam Pancasila sesuai dengan periodisasinya.

1. Dampak Perubahan Sosial terhadap PKn

Pada akhir abad ke-20 atau menjelang memasuki abad ke-21, kondisi bangsa Indonesia mengalami proses perubahan yang sangat mendasar dan berarti dalam setiap pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Terjadinya perubahan ini karena secara politik, bangsa Indonesia berada pada pasca politik Orde Baru dan tengah memasuki era baru yang dikenal dengan era


(14)

reformasi. Setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) melalui Amandemen I, II, III, IV oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada tahun 1999-2002 seyogianya diikuti oleh perubahan dalam berbagai tatanan kehidupan politik di Indonesia termasuk dalam PKn. Perubahan bukan sekedar perihal nama semata melainkan pada tataran substansi.

Secara teoritis, dampak perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini pernah dikemukakan oleh para ahli politik, seperti Aristoteles (1995:90) yang mengemukakan bahwa secara konstitusional “...different constitutions require different types of good citizen... because there are different sorts of civic function,” sedangkan Cogan (1998:2-3) mengidentifikasi lima atribut kewarganegaraan yang mungkin akan berbeda di tiap negara sesuai dengan sistem politik negara masing-masing, yakni: (1) a sense of identity; (2) the enjoyment of certain rights; (3) the fulfilment of corresponding obligations; (4) a degree of interest and involvement in public affairs; and (5) an acceptance of basic societal values. Bagi Indonesia, karakter kewarganegaraan akan memiliki kekhususan sesuai dengan ideologi yang dianut, yakni Pancasila dan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, ialah UUD RI 1945 dan Amandemennya.

Tidak diragukan bahwa PKn sangat diperlukan dan memiliki nilai serta kedudukan yang sangat strategis bagi ‘national character building’ dalam arti seluas-luasnya terutama dalam membentuk warga negara yang baik. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya, PKn sangat rentan terhadap bias politik praktis penguasa (the Ruling Class) sehingga ia cenderung lebih


(15)

merupakan instrumen penguasa daripada sebagai wahana pembangunan watak bangsa berdasarkan konstitusi. Hal senada terjadi pula pada sejumlah negara, khususnya negara-negara berkembang, sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah hasil penelitian para ahli Civic Education (Apple, 1979, 1982; Bourdieu and Passeron, 1977; Snyders, 1976; Whitty, 1985) yang mengemukakan:

It (citizenship education) has also often reflected the interests of those in power in a particular society and thus has been a matter of indoctrination and the establishment of ideological hegemony rather than of education” (Cogan, 1998: 5).

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika rekayasa kurikulum PKn acapkali mendapat tekanan-tekanan yang berasal dari suara dan keinginan politik penguasa.

Hasil analisis terhadap perkembangan pendidikan demokrasi melalui PKn di Indonesia (Winataputra, 2001) menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada tingkatan paradigma sehingga telah mengakibatkan ketidakjelasan, baik dalam tataran konseptual maupun dalam tataran praksis. Kelemahan-kelemahan tersebut, paling tidak, terdiri atas empat kelemahan pokok, yakni: (1) kelemahan dalam konseptualisasi PKn (2) penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moral behavioristik, terperangkap pada proses penanaman nilai yang cenderung indoktrinatif (values inculcation); (3) Ketidakkonsistenan penjabaran berbagai dimensi tujuan PKn ke dalam kurikulum; dan (4) Keterisolasian proses pembelajaran dari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya. Sejalan dengan penilaian di atas, Wahab (1999) mengemukakan beberapa kelemahan yang ada pada PKn di masa yang lalu, sebagai berikut: (1) Terlalu


(16)

menekankan pada aspek nilai moral yang menempatkan siswa sebagai objek yang berkewajiban untuk menerima nilai-nilai moral tertentu; (2) Kurang diarahkan pada pemahaman struktur, proses, dan institusi-institusi negara dengan segala kelengkapannya; (3) Pada umumnya bersifat dogmatis dan relatif; dan (4) Berorientasi pada kepentingan penguasa.

Dipandang dari aspek struktur disiplin ilmu, PKn sebagai salah satu pendidikan disiplin ilmu belum dapat dikategorikan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri terutama bila digandengkan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial (IIS) tradisional. Selama ini, PKn lebih dikenal sebagai program pendidikan untuk membangun karakter warga negara dengan tujuan akhir agar ia menjadi warga negara yang baik (to be good citizens). Meskipun demikian, sebagai kajian akademis, PKn yang ada di setiap negara, selayaknya memiliki filsafat akademik sebagai cabang tak terpisahkan baik dari ilmu pendidikan maupun IIS lain khususnya Civics dan Ilmu Politik.

Menyikapi kelemahan-kelemahan yang ada, baik pada tataran konseptual, struktur, praksis, maupun masalah keterkaitan dengan aspek akademik dan budaya bangsa maka diusulkan bahwa perlu ada kajian terhadap PKn secara filosofis mengingat selama ini upaya analisis terhadap bidang ini masih langka. Dengan adanya kajian terhadap masalah filosofis diharapkan persoalan-persoalan PKn yang muncul baik pada tataran konseptual, teoritis, bahkan praksis akan lebih memberikan alternatif solusi dalam proses analisis masalah. Dengan kata lain, perlu ada kejelasan tentang keberadaan dan peran PKn baik secara akademik sebagai pendidikan disiplin ilmu yang sedang tumbuh maupun dalam tataran budaya yang sedang


(17)

mengalami perkembangan sehingga dipelihara dan dipertahankan oleh masyarakat dan bangsa karena memiliki nilai fungsional.

Bertolak dari kondisi di atas, maka upaya pengembangan PKn hendaknya: (1) memiliki landasan konseptual secara ilmiah dengan menggunakan pendekatan holistik; (2) memiliki sandaran filosofis-ilmiah yang kokoh; (3) terbebas dari pengaruh kepentingan politik sesaat dari the ruling class; (4) memiliki konsistensi antara tujuan idealnya dengan struktur program kurikulernya, yang mengacu pada misi dan fungsi pembangunan kepribadian warga negara yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan; (5) seimbang antara pengembangan nilai dan moral dengan pemahaman struktur, proses dan institusi-institusi negara dengan segala kelengkapannya; (6) menerapkan pendekatan pedadogis dan metodologis yang tidak bernuansa dogmatis-indoktrinatif, tetapi menumbuh-kembangkan budaya berpikir kritis, sistematis, kreatif, dan inovatif; (7) terintegrasi dengan konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budayanya; dan (8) mempersiapkan dan mengembangkan bahan-bahan yang diambil dari isu-isu global untuk meningkatkan wawasan dan kesadaran warga negara sebagai warga dunia (global citizen).

Untuk merealisasikan arah pengembangan materi kajian PKn, selayaknya dilakukan analisis atau kajian ontologis terhadap gagasan-gagasan dan dasar-dasar tentang PKn. Sejumlah dokumen negara, kebijakan pemerintah, dan konsep pikir para pakar yang berlatar belakang multi disiplin diasumsikan dapat berkonstribusi untuk menentukan pangkal tolak dan arah pengembangan program PKn yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dalam era demokrasi konstitusional.


(18)

Dengan adanya kajian secara ontologis diharapkan akan diperoleh suatu gagasan konseptual-filosofis PKn yang sesuai dengan prinsip-prinsip akademik dan budaya bangsa untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) yang ditandai oleh adanya masyarakat demokratis.

2. Masalah Pembangunan Karakter Warga Negara Melalui PKn

Upaya membangun karakter warga negara pada dasarnya adalah proses pewarisan nilai-nilai, cita-cita, dan tujuan nasional yang tertera dalam konstitusi negara serta pesan para pendiri negara (the founding fathers). Tujuannya, sebagaimana pesan UUD 1945, adalah untuk mewujudkan warga negara yang cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara guna mencapai kebesaran dan kejayaan dalam suasana kemerdekaan. Pidato Pembelaan Bung Karno di muka Hakim Kolonial pada Tahun 1930 menegaskan:

Kalau bangsa Indonesia ingin mentjapai kekuasaan politik, jakni ingin merdeka, kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan didalam rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, mendjalankan perwalian atas diri sendiri, berusaha dengan kebiasaan dan tenaga sendiri! (Soekarno,1930: 92)

Dari pernyataan Bung Karno ini jelas bahwa salah satu karakter warga negara yang harus dibangun adalah karakter kemandirian sebagai sebuah bangsa. Pentingnya karakter ini pernah disampaikan pula oleh Bung Hatta ketika berjuang melalui organisasi Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda pada 1929 dengan menyatakan:

Kesadaran yang mendalam, bahwa kemerdekaan Tanah Air hanya dapat dicapai dengan tenaga dan kekuatan sendiri, dan kesadaran akan panggilan untuk memimpin bangsanya dari kegelapan menuju ke dunia yang terang, semua itu telah


(19)

membangkitkan kerelaan pada banyak mahasiswa Indonesia di negeri ini untuk mengesampingkan kepentingan sendiri, dan mengorbankan diri pribadi. (Hatta, 1976: 24)

Dari pernyataan dua proklamator kemerdekaan Republik Indonesia ini semakin jelas karakter bangsa Indonesia yang diharapkan jauh sebelum lahir bangsa dan berdirinya negara Indonesia. Lebih lanjut, Hatta (1929:27) menegaskan bahwa ”selain mengusahakan kerukunan yang lebih erat, juga harus menumbuhkan rasa solidariteit, kesetiakawanan diantara orang-orang Indonesia”. Apabila dihubungkan dengan kehidupan masa kini maka nilai-nilai tersebut tampaknya masih tetap relevan untuk diterapkan dan diwariskan kepada generasi kini yang hidup di era perubahan yang begitu cepat.

Bangsa Indonesia yang memproklamasikan diri menjadi suatu negara yang berdaulat telah memiliki konstitusi dan bertekad untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Sistem pemerintahan maupun praktik hidup bermasyarakat yang dicita-citakan dalam UUD 1945 tidak diragukan memiliki semangat demokratis.

Bagaimana mengaktualisasikan karakter bangsa yang dicita-citakan oleh para pendiri negara (the founding fathers) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, khususnya melalui PKn? Diperlukan adanya suatu upaya dan proses pendidikan demokrasi yang sungguh-sungguh mengingat secara historis, bangsa Indonesia memiliki latar belakang sistem pemerintahan kerajaan (feudalistic) yang berbeda dengan sistem demokrasi. Kondisi yang tidak kondusif ini pernah diakui oleh Prijono, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI Tahun 1959, dengan menyatakan bahwa “One other thing which conflicts with our morality is feudal morality; this clearly cannot be


(20)

permitted to exist, in view of the Pantja Sila’s principle of the Sovereignty of the People.” (Feith, 1970:329) Oleh karena itu, masalah kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi titik rawan ini perlu terus dicari solusinya.

Dengan memperhatikan pesan konstitusi dan cita-cita para pendiri negara, dapat disimpulkan bahwa transformasi nilai-nilai demokrasi bagi generasi kini dan mendatang yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat demokratis perlu dilakukan. Alexis de Toqueville (dalam Branson, 1998:2) menyatakan bahwa “each new generation is a new people that must acquire the knowledge, learn the skills, and develop the dispositions or traits of private and public character that undergird a constitutional democracy”. Dari pernyataan ini ada pelajaran yang dapat dipetik dalam proses pembentukan suatu masyarakat demokratis, yakni perlunya penyelenggaraan pendidikan demokrasi yang terus-menerus (continuous) dan berkesinambungan baik melalui lembaga persekolahan (school civic education) maupun melalui lembaga masyarakat (community civic education). “Demokrasi bukanlah mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya, tetapi harus selalu secara sadar direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya” (Branson, 1999).

Sedikitnya ada dua tantangan yang cukup berat untuk membentuk masyarakat yang memiliki karakter dan budaya demokratis (democratic culture) di Indonesia. Pertama, tantangan historis, ialah tantangan kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang kehidupan masyarakat yang bersistem kerajaan dan penjajahan (colonialism, imperialism). Suatu proses mengubah cara berpikir, bersikap, dan berprilaku dari budaya masyarakat yang telah lama berkehidupan secara feodalistis ke masyarakat demokratis


(21)

bukan hal yang mudah. Kedua, mempertahankan dan atau memelihara budaya masyarakat dan warga negara yang sedang belajar menjalankan kehidupan demokratis agar secara berkesinambungan ditransformasikan kepada generasi berikutnya.

Adanya tantangan untuk membangun masyarakat demokratis, pada hakikatnya bukan merupakan cacat (handicapped). Amerika Serikat yang telah lama membangun masyarakat berkehidupan secara demokratis tidak terhindar dan selalu dihadapkan pada tantangan (dilemma) dalam pemerintahan dari waktu ke waktu, seperti “freedom versus order, freedom versus equality, liberal versus conservative” (Janda, Berry, and Goldman, 1989). Mereka secara terus menerus melakukan pembaharuan melalui civic education dengan cara menyesuaikan materi kajian, strategi dan pendekatan dari waktu ke waktu. Tantangan ini sekaligus akan menjadi masalah pula bagi Indonesia, seperti bagaimana mengidentifikasi, mengungkap (clarify) dan mendeskripsikan kondisi masyarakat yang berada pada masa transisi (from undemocratic to democratic society). Proses pendidikan merupakan alternatif yang kuat dan strategis dalam menjawab tantangan dan memecahkan masalah ini.

Proses pendidikan demokrasi yang sangat strategis, khususnya untuk generasi mendatang adalah melalui proses pembelajaran PKn di lingkungan masyarakat sekolah (school civic education). Memperhatikan masalah yang dihadapi baik pada tataran teoritis maupun aplikatif sebagaimana diuraikan di atas, Somantri (1993) menegaskan bahwa pengorganisasian dan penyajian PKn hendaknya secara psikologis dan ilmiah di dalam kelas sebagai “laboratorium demokrasi” untuk menumbuhkan “creative dialogue”, sebagai ciri masyarakat demokrasi. Meskipun demikian, kondisi iklim (climate,


(22)

atmosphere) sekolah tidak luput pula dari sejumlah tantangan, antara lain: pertama, tantangan budaya sekolah di Indonesia yang menunjukkan ciri/sifat lebih birokratis daripada demokratis; kedua, pengorganisasian kurikulum sekolah di Indonesia lebih bersifat sentralistis yang berdampak pada pengelolaan kelas oleh guru dan kepemimpinan sekolah yang bersifat “imperative dialogue”; dan ketiga, kondisi lingkungan masyarakat yang paternalistis. Kondisi ini tentunya tidak kondusif untuk membangun iklim sekolah dan masyarakat dalam mempersiapkan dan membentuk warga negara yang demokratis. Untuk menata dan mengembangkan PKn guna mendorong warga negara kearah iklim yang kondusif dengan cita-cita dan tujuan nasional yakni menciptakan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis, maka perlu dilakukan restrukturisasi dan reorganisasi PKn sesuai karakteristik, fungsi dan perannya. Kajian PKn pada tingkatan yang mendasar ini dapat berarti mempertanyakan PKn dari berbagai sudut pandang termasuk masalah hakikat, landasan, nilai kebermaknaan dan kegunamanfaatan.

Sejumlah pertanyaan pokok dalam penelitian ini yang akan digali melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi meliputi: apa hakikat dan substansi materi kajian PKn yang seyogianya dikembangkan untuk membangun karakter warga negara? Apa peran PKn sebagai wahana pembangunan karakter warga negara? Apa hakikat karakter bangsa dan bagaimana proses pembangunan serta tantangannya untuk masa kini dan masa mendatang? Untuk memperoleh jawaban yang rasional dan ilmiah-alamiah maka perlu ada pengkajian yang cermat dan sistematis. Secara hipotetis, apabila pertanyaan-pertanyaan itu telah ada solusi, maka pada gilirannya akan diperoleh suatu materi kajian PKn yang sesuai dan layak untuk


(23)

membentuk karakter warga negara Indonesia yang baik dan sekaligus pula membentuk karakter bangsa.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah di atas dapat disimpulkan bahwa secara fenomenologis, ada sejumlah permasalahan terkait dengan kenyataan PKn di Indonesia.

Pertama, belum lengkapnya bidang telaah/kajian PKn sehingga menimbulkan penafsiran dan persepsi yang beragam sebagai akibat belum adanya kesamaan pemikiran yang didukung oleh komunitas akademik. Sejumlah penelitian yang dilakukan umumnya ada pada tataran teknis-operasional pembelajaran atau obyek telaah PKn aspek instrumental dan praksis (Winataputra, 2001). Sesuai dengan tugasnya, PKn harus terus-menerus secara berkesinambungan mengembangkan batang tubuh keilmuan (the body of knowledge atau the scientific boundary line) yang dapat memperkuat status keilmuan. PKn sebagai pendidikan disiplin ilmu tidak boleh berhenti melakukan kajian telaah akademik sebagai wahana pengembangan keilmuan disamping tugas pengembangan yang bersifat praksis-operasional.

Kedua, secara substansial terdapat beragam persepsi tentang bidang kajian PKn menurut kepentingan pihak-pihak tertentu dan trend perkembangan sosial budaya, politik, ideologi bahkan situasi global. Adanya ragam persepsi ini diasumsikan karena belum adanya kajian filosofis terhadap substansi materi kajian PKn, khususnya dalam kajian ontologis untuk membangun karakter warga negara yang dapat dijadikan rujukan oleh para pengembang kurikulum. Pengutamaan strategi yang lebih menekankan pada aspek nilai moral belaka


(24)

dan menempatkan siswa sebagai objek yang berkewajiban untuk menerima nilai-nilai moral tertentu telah menimbulkan penyimpangan (bias) dalam pembangunan karakter warga negara karena materi kajian PKn terisolasi dari tradisi keilmuan dan lingkungan sosial budaya.

Ketiga, suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia tengah berada dalam proses perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terjadinya perubahan ini karena secara politis, bangsa Indonesia berada pada pasca politik Orde Baru dan tengah memasuki era baru yang dikenal dengan era reformasi yang memiliki iklim berbeda dari iklim politik sebelumnya. Indikator mendasar pada era ini adalah perubahan konstitusi dan sejumlah perangkat perundang-undangan, serta perubahan perilaku warga negara kearah demokratisasi dalam segala aspek kehidupan. Kenyataan ini pada gilirannya berdampak terhadap perlunya perubahan dalam sistem pendidikan nasional. PKn sebagai bidang kajian yang sangat erat dengan upaya pembangunan karakter bangsa sudah menjadi keniscayaan melakukan penyesuaian materi kajian secara konseptual dan filosofis sesuai dengan tuntutan masyarakat, tantangan kehidupan masa kini dan masa depan serta kepentingan nasional.

Kajian konseptual-filosofis untuk memperkuat dan mengembangkan struktur dan batang tubuh PKn sebagai pendidikan disiplin ilmu berarti pengembangan pada tataran landasan keilmuan. Salah satu landasan ilmu pendidikan adalah landasan filosofis yang meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Penelitian ini menekankan pada materi kajian yang termasuk pada realitas isi PKn. Oleh karena itu, penelitian ini adalah kajian terhadap landasan filosofis PKn sebagai pendidikan disiplin ilmu yang lebih memfokuskan pada


(25)

aspek ontologis dengan obyek telaah pada aspek idiil. Meskipun demikian, aspek epistemologis dan aksiologis merupakan kajian yang tidak terpisahkan dari aspek ontologi. Pengumpulan data dan analisis hasil penelitian dilakukan secara kualitatif konseptual-filosofis, dan historis. Kajian ontologis dengan fokus aspek idiil merupakan obyek telaah yang tepat bagi studi kualitatif historik atau filosofik. (Winataputra, 2001).

Sekaitan dengan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian umum yang diajukan sebagai berikut: (1) Apa ontologi PKn dalam konteks filsafat pendidikan disiplin ilmu?; (2) Bagaimana peran PKn dalam membangun karakter warga negara dan bangsa?; dan (3) Bagaimana proses pembangunan karakter bangsa Indonesia dan tantangan dalam menghadapi era masa kini dan masa depan secara konseptual, filosofis, dan historis?

C. Fokus Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian ini fokus masalah bukan pada kehidupan dari individu subjek terfokus melainkan pada pemikirannya tentang PKn berupa konsepsi yang dipahami, dipersepsi, dan dikaji dari tinjauan menurut pengalaman responden sebagai subyek terfokus. Secara umum fokus masalah dalam penelitian ini adalah hasil pemikiran tentang makna dan atau nilai dari pengetahuan, pengalaman, sikap, persepsi, dan gagasan subyek terfokus tentang PKn dalam perannya membangun karakter bangsa secara konseptual dan filosofis dalam konteks pendidikan IPS.

Secara lebih spesifik, ada tiga fokus masalah dalam penelitian ini, yakni (1) Kajian konseptual ontologis tentang filsafat PKn yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur pendidikan disiplin ilmu PKn; (2) Kajian tentang


(26)

peran PKn dalam membangun karakter warga negara dan bangsa; dan (3) Kajian tentang pembangunan karakter bangsa secara konseptual, ontologis-epistemologis-aksiologis, analitis, fenomenologis dan historis sebagai bahan dalam pengorganisasian materi yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, tantangan kehidupan masa kini dan masa mendatang serta kepentingan nasional.

Agar lebih terarah, maka fokus masalah di atas dirinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Menurut pengalaman, persepsi, kajian, argumen, dan tilikan para pakar, apakah ontologi PKn itu?; bagaimana kedudukan PKn dalam konteks filsafat pendidikan; apakah domain PKn yang berkontribusi secara epistemologis terhadap pembentukan struktur pendidikan disiplin ilmu? 2. Menurut pengalaman, persepsi, kajian, argumen, dan tilikan para pakar,

bagaimana peran PKn secara aksiologis dalam membangun karakter warga negara dan kontribusinya terhadap karakter bangsa Indonesia? 3. Menurut pengalaman, persepsi, kajian, argumen, dan tilikan para pakar,

apakah hakikat karakter bangsa itu; bagaimana proses pembangunan karakter bangsa menurut sejarah perkembangan bangsa Indonesia; apa tantangan pembangunan karakter bangsa di Indonesia untuk masa kini dan masa mendatang?

D. Paradigma Penelitian

Alur pikir penelitian ini secara paradigmatik dapat digambarkan dalam bentuk bagan paradigma penelitian sebagai berikut.


(27)

Bagan I-1 Paradigma Penelitian

PENELITIAN

PERSPEKTIF PEMIKIRAN PAKAR

TENTANG PKN DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA PENDEKATAN, METODE, TEKNIK, PENGUMPULAN DATA REDUKSI, ANALISIS, PENYAJIAN DATA Kesimpulan Implikasi Rekomendasi Ontologi PKn dalam

Pembentukan Struktur Pendidikan

Disiplin Ilmu

Peranan PKn dalam Membangun Karakter Bangsa Pembangunan Karakter Bangsa Proses Pembangunan Karakter Bangsa: Tantangannya Kini &

Masa Depan P E N D I D I K A N K E W A R G A N E G A R A A N Temuan Penelitian Temuan Penelitian


(28)

24 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan melakukan investigasi dan kajian terhadap makna dan atau nilai dari pengetahuan, pengalaman, sikap, persepsi, dan gagasan responden sebagai subyek terfokus tentang PKn dalam pembangunan karakter warga negara dan bangsa secara konseptual, filosofis menurut pendapat pakar dalam konteks pendidikan IPS.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan konseptual-filosofis tentang ontologi PKn; kedudukan PKn dalam konteks filsafat pendidikan; dan domain PKn serta kontribusinya terhadap pembentukan struktur pendidikan disiplin ilmu.

b. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan konseptual-filosofis tentang peran PKn dalam membangun karakter warga negara dan kontribusinya terhadap karakter bangsa Indonesia.

c. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan konseptual-filosofis tentang hakikat karakter bangsa; proses pembangunan karakter bangsa dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia; dan tantangan pembangunan karakter bangsa di Indonesia untuk masa kini dan masa mendatang.


(29)

25 2. Manfaat penelitian

Secara teoritik, penelitian ini akan menggali, mengkaji dan mengorganisasikan PKn dalam pembangunan karakter bangsa secara konseptual-filosofis yang akan menghasilkan landasan PKn dan kerangka dasar secara konseptual-teoritis tentang pembangunan karakter bangsa sebagai bahan masukan bagi pengembangan keilmuan PKn dan pembangunan karakter bangsa. Temuan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:

a. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang PKn sebagai bahan masukan ke arah pengembangan PKn sebagai pendidikan disiplin ilmu.

b. Para praktisi untuk pengembangan tenaga kependidikan dan keguruan di lembaga pendidikan tinggi yang bertugas menghasilkan lulusan tenaga guru PKn.

c. Para pengembang kurikulum PKn baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi maupun lingkup masyarakat dan birokrasi.

d. Para praktisi PKn baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi maupun lingkup masyarakat dan birokrasi.

e. Para pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakannya terutama yang terkait dengan program PKn dalam upaya mempersiapkan warga negara yang cerdas baik secara intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual, dan bertanggung jawab, serta mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara berkeadaban.


(30)

26 F. Pengertian Istilah

1. Pendidikan Kewarganegaraan

Istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” di Indonesia merupakan terjemahan dari kepustakaan asing ‘civic education’ atau ‘citizenship education’ atau ‘education for citizenship’. Meskipun demikian, dua istilah tersebut pernah dibedakan ketika diadopsi ke dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam kurikulum Pendidikan Kewargaan Negara Tahun 1968. Istilah ‘civic education’ biasanya diterjemahkan menjadi ‘Pendidikan Kewargaan Negara’, disingkat PKN, sedangkan ‘citizenship education‘ biasanya diterjemahkan menjadi ‘Pendidikan Kewarganegaraan’, disingkat PKn. Selain perbedaan istilah, secara konseptual dua istilah tersebut memiliki perbedaan ruang lingkup kajian seperti dapat dilihat dari pendapat Cogan (1999:4) yang menyatakan bahwa ‘civic education’, umumnya merujuk pada jenis mata pelajaran yang diselenggarakan dalam struktur sekolah formal. Mata pelajaran tersebut memfokuskan pada struktur, proses dan simbol-simbol pemerintahan, seperti lembaga-lembaga pemerintahan, proses penyelenggaraan pemerintahan, simbol-simbol negara, peran dan tanggung jawab warga negara. Sedangkan, PKn adalah istilah yang lebih inklusif dan merupakan pengalaman belajar di sekolah juga di luar sekolah baik nonformal maupun informal yang terjadi di lingkungan keluarga, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, media dan sebagainya yang membantu untuk membentuk totalitas warga negara.


(31)

27 Dalam penelitian ini, pengertian kewarganegaraan lebih difokuskan pada pengertian pertama, yakni Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) dalam istilah ‘civic education’. Meskipun demikian, istilah yang akan digunakan dalam penelitian ini tetap menggunakan istilah ‘Pendidikan Kewarganegaraan’ mengingat istilah ini lebih memasyarakat dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi II, 1995), dua istilah tersebut tidak memiliki perbedaan makna yang berarti.

2. Karakter

Dalam pengertian harfiah, karakter mempunyai makna psikologis atau sifat kejiwaan karena terkait dengan aspek kepribadian (personality), akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, sifat kualitas yang membedakan seseorang dari yang lain atau kekhasan (particular quality) yang dapat menjadikan seseorang terpercaya dari orang lain. Dari konteks ini pun, karakter mengandung unsur moral, sikap bahkan perilaku karena untuk menentukan apakah seseorang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, hanya akan terungkap pada saat seseorang itu melakukan perbuatan atau perilaku tertentu.

Konsep “karakter” telah mendapat perhatian dari para ahli terutama pakar psikologi dalam lebih dari tiga dekade terakhir (Cronbach, 1977; Lickona, 1992; Sparks, 1991) yang mengkhususkan kajian pada upaya mendefinisikan karakter untuk tujuan pendidikan hingga pembangunan warga negara yang memiliki karakter yang baik (good character).


(32)

28 3. Karakter Bangsa

Istilah ”karakter bangsa” yang dalam literatur Barat identik dengan ’national character’ sangat erat terkait dengan masalah kepribadian dalam psikologi sosial. Dalam penelitian ini, karakter bangsa dimaknai sebagai ciri-ciri kepribadian yang relatif tetap, gaya hidup yang khas, cara berpikir, bersikap, dan berprilaku yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Ciri kepribadian bangsa Indonesia yang bersifat abstrak tersebut dapat muncul dalam konteks perilaku yang terikat oleh aspek budaya bangsa Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan norma yang berlandaskan pada UUD 1945.

4. Pembangunan karakter bangsa

Dalam kepustakaan Barat, istilah ’pembangunan karakter bangsa’ identik dengan istilah national character building. Dalam penelitian ini, pembangunan karakter bangsa dimaknai sebagai suatu proses membina, memperbaiki, dan mewarisi warga negara dengan konsep, perilaku, dan nilai luhur budaya Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan norma yang berlandaskan pada UUD 1945 sehingga mempribadi (internalized, personalized) ke dalam diri individu warga negara dan bangsa Indonesia.

5. Perspektif

Dengan merujuk kepada pendapat Schwartz dan Ogivly (Lincoln dan Guba, 1985:55), ”perspektif” dalam penelitian ini dimaknai sebagai tinjauan


(33)

29 dari jarak fokus tertentu. Dari sudut pandang mana subyek terfokus melihat akan mempengaruhi pemahaman, pendapat, dan gagasannya tentang PKn. Orang yang berbeda memandang suatu objek kajian yang sama dari jarak fokus yang berbeda akan menimbulkan pemahaman yang berbeda. Fokus pengamatan subyek terfokus pada PKn dalam pembangunan karakter bangsa mungkin hanya memberikan bagian tertentu dari sebuah gambaran utuh PKn dan gambaran utuh tersebut merupakan kesan (image) yang dibuat secara morfogenetis dari perspektif ganda.

6. Perspektif Pemikiran

Tinjauan dalam rangka mencari upaya untuk menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan akal budi, mempertimbangkan, merenungkan, mengingat, memperhatikan, mempersepsi, mengkaji, dan memberi pendapat dan argumen, serta menilik PKn secara ontologis dan konseptual dalam rangka membangun karakter bangsa dari jarak fokus tertentu dan latar belakang keilmuan para subyek terfokus.

7. Pakar

Istilah “pakar” yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subyek terfokus, yakni nara sumber penelitian yang berlatar keilmuan tentang PKn atau keilmuan lain yang banyak menaruh perhatian tinggi terhadap pembangunan karakter bangsa dan pengembangan PKn baik dalam dimensi kurikuler, sosial kultural maupun akademik.


(34)

30 8. Kajian Konseptual-Ontologis

Upaya mengkaji isi materi PKn sebagai wahana pembangunan karakter bangsa menggunakan akal budi, mempertimbangkan, dan merenungkan konsep-konsep dasar dan realitas isi PKn yang layak hasil pemikiran para ahli yang memiliki perhatian tinggi terhadap pendidikan kewarganegaraan di Indonesia.

8. Kajian grounded theory

Grounded theory dalam penelitian ini dimaknai sebagai upaya untuk menemukan teori dari data yang diperoleh secara induktif, bukan data terdahulu. Sebagai salah satu tradisi penelitian kualitatif, grounded theory merupakan skema analisis yang abstrak dari suatu fenomena dalam situasi tertentu. (Creswell, 1998:55-56) Situasi yang dimaksud adalah kondisi ketika peneliti berinteraksi dengan subyek terfokus selama proses penelitian.

9. Pendidikan IPS

“Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial” (PIPS) dalam penelitian ini adalah pendidikan disiplin ilmu sebagai integrasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu lain yang relevan, dikemas secara psikologis, ilmiah, pedagogis, dan sosial-kultural untuk tujuan pendidikan. Artinya, berbagai tradisi dalam ilmu sosial termasuk konsep, struktur, cara kerja ilmuwan sosial, aspek metode maupun aspek nilai yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu


(35)

31 sosial, dikemas secara psikologis, ilmiah, pedagogis, dan sosial-kultural untuk kepentingan pendidikan. Untuk memahami masalah PIPS seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologi serta permasalahan sosial.


(36)

BAB III

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

Bab ini menguraikan aspek metodologi sebagai bagian dari penelitian yang banyak berperan dalam proses pengumpulan dan analisis data yakni: (1) Pendekatan, metode, dan teknik pengumpulan data; (2) Instrumen dan peran peneliti; (3) Penentuan subyek penelitian dan sumber data; dan (4) Analisis data induktif. Pada bagian akhir dari subbab ini disajikan pula bagan proses penelitian.

A. Pendekatan, Metode Penelitian, dan Teknik Pengumpulan Data 1. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Vernon Van Dyke dalam Political Science: A Philosophical Analysis mengemukakan bahwa

An approach consists of criteria of selection-criteria employed in selecting the problems or questions to consider and in selecting the data to bring to bear; it consists of standards governing the inclusion of questions and data” (Dyke, 1965: 114).

Pernyataan ini menyiratkan bahwa suatu pendekatan mengandung kriteria pemilihan yang dipergunakan dalam menentukan masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan dan data penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kriteria kualitatif. Artinya, dalam pengolahan data ini sejak mereduksi data, menyajikan data, serta memverifikasi dan menyimpulkannya tidak menggunakan upaya kuantifikasi atau perhitungan-perhitungan statistik seperti lazimnya dalam penelitian kuantitatif. Kalaupun ada data kuantitatif,


(37)

peneliti (qualitative investigator) hanya memanfaatkannya untuk kepentingan dukungan analisis.

Menurut Lincoln dan Guba (1985:198) pendekatan kualitatif menjadi hal yang utama dalam paradigma naturalistik bukan karena paradigma ini anti kuantitatif melainkan karena pendekatan kualitatif lebih menghendaki manusia sebagai instrumen. Data kuantitatif dapat dimanfaatkan oleh peneliti untuk kepentingan dukungan analisis.

Karakteristik pokok yang menjadi perhatian dalam penelitian kualitatif adalah kepedulian terhadap “makna”. Dalam hal ini penelitian naturalistik tidak peduli terhadap persamaan dari obyek penelitian melainkan sebaliknya mengungkap tentang pandangan tentang kehidupan dari orang-orang yang berbeda-beda. Pemikiran ini didasari pula oleh kenyataan bahwa makna yang ada dalam setiap orang (manusia) berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengungkap kenyataan yang ada dalam diri orang yang unik itu menggunakan alat lain kecuali manusia sebagai instrumen. Lebih lanjut Lincoln dan Guba (1985:199) menyatakan bahwa …the human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal human activities: looking, listening, speaking, reading, and the like.” Dari pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam penelitian naturalistik karena alat ini dapat melihat, mendengar, membaca, merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan oleh manusia umumnya.

Bogdan dan Biklen (1982:2-3) mengistilahkan penelitian kualitatif sebagai “umbrella” dengan sejumlah strategi penelitian yang memberikan karakteristik-karakteristik tertentu. Penelitian ini disebut juga “field research”


(38)

yang seringkali digunakan oleh para antropolog dan sosiolog. Istilah “field research” digunakan untuk membedakan proses penelitian ini dari penelitian yang dilakukan di dalam laboratorium atau penelitian lain yang tempat penelitiannya dikontrol. Dalam pendidikan, mereka menambahkan, bahwa penelitian kualitatif seringkali disebut “naturalistik” karena para peneliti menggantungkan pada peristiwa yang terjadi secara alamiah.

Pendapat yang serupa namun sedikit berbeda juga dikemukakan Denzin dan Lincoln (1994: 2), bahwa:

Qualitative research is multimethods in focus, involving an interpretative, naturalistic approach to its subject matter. This mean that qualitative researchers study things in their natural setting, attempting to make sense of or interpret phenomena in terms of meanings bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of variety of empirical materials— case study, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts—that describe routine and problematic moments and meaning in individuals’ live.

Pendapat tersebut tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan oleh John W. Creswell dalam bukunya Qualitative Inquiry and Research: Choosing Among Five Traditions. Ia mengemukakan

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting (Creswell, 1998; 15).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa banyak hal yang dilakukan oleh peneliti kualitatif sebagai instrumen, seperti menggambarkan temuan secara holistik, menganalisis, melaporkan pandangan subjek penelitian, dan bekerja dalam keadaan alamiah menggunakan beragam metode.


(39)

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode grounded theory sebagai metode penelitian. Creswell (1998: 56) mengemukakan bahwa

a grounded theory study is to generate or discover a theory, an abstarct analytical schema of a phenomenon, that relates to a particular situation. This situation is one in which individuals interact, take actions, or engage in a process in response to a phenomenon. To study how people act and react to this phenomenon, the researcher collects primarily interview data, makes multiple visits to the field, develops and interrelates categories of information, and writes theoretical propositions or hypotheses or presents a visual picture of theory.

Dengan demikian, makna yang terdapat dalam Grounded theory adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya. Grounded theory memberikan peluang sangat besar untuk menemukan teori baru, disusun dan dibuktikan melalui pengumpulan data yang sistematis, dan analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu. Pengumpulan data, analisis data, dan teori saling terkait dalam hubungan timbal-balik. Peneliti tidak memulai penyelidikan dengan pegangan pada suatu teori tertentu lalu membuktikannya, melainkan dengan pegangan pada suatu bidang kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidang tersebut (Strauss dan Corbin, 2003: 10-11).

Adapun alasan peneliti menggunakan metode grounded theory tersebut didasarkan atas beberapa alasan dan pertimbangan.

Pertama, sesuai dengan permasalahan PKn yang bersifat konseptual-teoritik tentang filsafat keilmuan khususnya menyangkut aspek ontologi. Ontologi dalam bidang keilmuan merupakan objek kajian, tentang being maupun existence. Ontologi sebagai cabang keilmuan juga berupaya


(40)

merumuskan kategori-kategori dasar dari “being” dan “existence” tersebut. Ontologi berarti suatu studi tentang “yang ada” selama mereka itu ada. Lebih tepatnya, ontologi terkait dengan hal menentukan kategori-kategori apa yang ada itu bersifat fundamental atau tidak dapat dikurangi, diperkecil atau ditawar-tawar (irreducible) lagi dan mempertanyakan apa arti item-item dalam kategori-kategori itu. Grounded theory dipandang sebagai metode yang tepat untuk mendapatkan data dan informasi tentang ontologi PKn secara induktif.

Kedua, objek kajian PKn memerlukan penjelasan secara teoritik-konseptual yang cocok/sesuai (applicably fit) dengan situasi kajian dan dapat diterapkan secara bermakna (meaningfully relevant to) serta dapat menjelaskan perilaku warga negara. Menurut Glaser and Strauss (1967) grounded theory merupakan metode yang cocok/sesuai (fit) dengan situasi dan dapat digunakan apakah teori dapat dianggap grounded.

Ketiga, setelah dibahas melalui analisis data yang peneliti lakukan, diharapkan peneliti dapat menemukan teori-teori grounded atas penelitian yang peneliti lakukan secara ontologis tersebut, mengingat dalam penelitian ini diperlukan kepekaan yang dalam untuk menyingkap makna yang dituangkan melalui interaksi peneliti dengan subyek penelitian ataupun responden.

Seperti yang dikemukakan Creswell (1998: 57) maupun Strauss dan Corbin (2003: 51-54) bahwa terdapat tiga macam sistem pengodean dalam penelitian Grounded theory, yakni open coding (pengodean terbuka), axial coding (pengodean berporos), dan selective coding (pengodean selektif). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sistem pengodean terbuka (open


(41)

coding) dengan langkah-langkah sebagaimana dikemukakan Strauss dan Corbin (2003: 57-71), sebagai berikut:

1. Pelabelan Fenomena. Dalam langkah ini peneliti harus peka dengan pengenalan konsep-konsep atau konseptualisasi data dengan memberi nama kegiatan/aktivitas responden yang dilakukan selama diamati, ditanya, ataupun diwawancarai. Ini merupakan langkah awal dalam analisis data.

2. Penemuan Kategori. Pada langkah ini konsep-konsep dikategorikan, dikelompokkan berdasarkan persamaan-persamaannya. Oleh karena itu, langkah ini sering pula disebut “pengkategorian” berdasarkan jumlah pengelompokkannya.

3. Penamaan Kategori. Dalam langkah ini peneliti memberi nama-nama kategori yang relevan dengan data yang diperoleh.

4. Penyusunan Kategori. Pada langkah ini peneliti harus memahami sifat masing-masing kategori sebagai atribut dari suatu kategori. 5. Memilih pengodean yang digunakan. Dalam pengodean ini peneliti

memilih pengodean terbuka, artinya semua fenomena diidentifikasi terlebih dahulu tanpa memandang jenis, sifat, dan substansinya. Setelah itu peneliti dapat memulai menganalisis data baik dengan analisis baris-perbaris yang memerlukan pengujian frase per frase bahkan kata demi kata secara rinci. Cara kedua dapat dilakukan dengan paragraf per paragraf, dimana tujuannya untuk memahami makna yang terkandung dari paragraf itu.


(42)

6. Menyajikan Data. Pada langkah ini peneliti menyajikan data yang sedapat mungkin mudah dipahami oleh pembaca, sehingga alur berpikir peneliti dapat diikuti pembaca.

7. Membuat Interpretasi. Pada langkah ini peneliti harus mampu menemukan suatu jawaban dari interpretasi yang peneliti lakukan sebagai temuan teori grounded ataupun lapangan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Ditinjau dari teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan, peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi: studi dokumentasi, wawancara, dan observasi.

3.1 Studi Dokumentasi

Cara pengumpulan data yang pertama digunakan oleh peneliti adalah studi dokumentasi. Selain menjadikan peneliti sebagai instrumen dalam pengumpulan data, peneliti memanfaatkan sumber-sumber lain berupa catatan dan dokumen (non human resources). Menurut Lincoln dan Guba (1985: 276-277) catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban. Untuk keperluan penelitian ini, peneliti mengumpulkan catatan dan dokumen yang dipandang perlu untuk membantu analisis. Dalam studi dokumentasi ini, peneliti akan memanfaatkan sumber kepustakaan berupa buku teks, makalah, jurnal, dokumen kurikulum, hasil penelitian, dokumen negara seperti Keputusan Dirjen Dikti Nomor 267/Dikti/Kep/2000 tentang Penyempurnaan


(43)

Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian PKn Pada Perguruan Tinggi Di Indonesia, Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Di Perguruan Tinggi, dan Peraturan Menteri Nomor 22/2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Menteri Nomor 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Kajian dokumen difokuskan pada aspek materi atau substansi yang ada kaitannya dengan PKn secara konseptual sebagai upaya pembangunan karakter bangsa.

3.2 Wawancara

Cara pengumpulan data kedua yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara. Subyek penelitian yang diwawancarai adalah pakar yang berlatar keilmuan terkait dengan dimensi PKn serta banyak menaruh perhatian yang tinggi terhadap pengembangan PKn baik secara kurikuler, akademik maupun sosial kultural. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi tentang persepsi perorangan, cita-cita, gagasan, perasaan, motivasi, tuntutan, pendapat, dan kepedulian para subyek penelitian tersebut terhadap materi “content” PKn sebagai wahana pembangunan karakter bangsa. Kecuali untuk mencari informasi tentang kegiatan seseorang pada saat percakapan dilakukan, wawancara dilakukan untuk merekonstruksi perspektif dan gagasan para subyek penelitian sesuai dengan pengalamannya masing-masing tentang ontologi PKn dan pembangunan karakter bangsa. Hasil wawancara dimanfaatkan untuk mengembangkan informasi yang sudah diperoleh, atau untuk perubahan dan verifikasi.


(44)

Menurut Patton (1990:280) pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian naturalistik dapat mengikuti tiga macam pilihan sebagai berikut.

a. Wawancara percakapan informal (The informal conversation interview), ialah wawancara yang sepenuhnya didasarkan pada susunan pertanyaan spontan ketika interaksi berlangsung khususnya pada proses observasi partisipatif di lapangan. Pada saat wawancara melalui percakapan informal berlangsung terkadang orang yang diwawancarai tidak diberitahu bahwa mereka sedang diwawancarai.

b. Wawancara umum dengan pendekatan terarah (The general interview guide approach), ialah jenis wawancara yang menggariskan sejumlah isu yang harus digali dari setiap responden sebelum wawancara dimulai. Pertanyaan yang diajukan tidak perlu dalam urutan yang diatur terlebih dahulu atau dengan kata-kata yang dipersiapkan. Panduan wawancara memberikan ceklis selama wawancara untuk meyakinkan bahwa topik-topik yang sesuai telah terakomodasi. Peneliti menyesuaikan baik urutan pertanyaan maupun kata-kata untuk responden tertentu.

c. Wawancara terbuka yang baku (The standardized open-ended interview) meliputi seperangkat pertanyaan yang secara seksama disusun dengan maksud untuk menjaring informasi mengenai isu-isu yang sesuai dengan urutan dan kata-kata yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Fleksibilitas dalam menggali informasi dibatasi, tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti.


(45)

Jenis wawancara yang dijelaskan di atas digunakan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari subyek penelitian dan informan sesuai dengan permasalahan yang ditanyakan, berupa pengalaman, pandangan, pendapat, maupun anggapan. Pewawancara sendiri tidak banyak melakukan intervensi dan mendesakkan pendapat sehingga informasi yang diperoleh terjamin reliabilitasnya.

3.3 Observasi

Alat pengumpul data berikutnya dalam penelitian naturalistik adalah observasi semi partisipatif. Jorgensen (1989) menggambarkan bahwa

Through participant observation, it is possible to describe what goes on, who or what is involved, when and where things happen, how they occur, and why – at least from the standpoint of participants – things happen as they do in particular situations.

Artinya, melalui observasi partisipatif, dimungkinkan peneliti mendeskripsikan apa yang sedang terjadi, siapa dan apa yang terlibat, kapan dan dimana sesuatu itu terjadi, bagaimana mereka terjadi, dan mengapa sesuatu itu terjadi - paling tidak dari sudut pandang partisipan - ketika mereka melakukan sesuatu dalam situasi tertentu. Hal yang sama dikemukakan oleh Patton (1990:203) yang menamakan “Naturalistic observations” yang dilakukan di lapangan (field) sebagai sejumlah cara atau jenis metode untuk mengumpulkan data melalui observasi, yakni “participant observation, field observation, qualitative observation, direct observation, or field research”, walaupun setiap istilah ini tergantung pada kondisi dan tujuan analisis kualitatif. Istilah-istilah observasi yang dikemukakan Patton tersebut pada


(46)

dasarnya memiliki karakteristik yang sama, yakni observasi untuk kepentingan pengumpulan data kualitatif.

Ada sejumlah keuntungan jenis observasi kualitatif ini bagi peneliti sebagaimana dikemukakan Patton (1990:203-205), yakni (1) bahwa dengan melaksanakan pengamatan langsung, maka peneliti akan mempunyai pemahaman tentang konteks yang lebih baik dalam program. Pemahaman konteks program sangat penting untuk perspektif keseluruhan; (2) pengalaman pertama dengan program akan mendorong peneliti bersikap terbuka, berorientasi untuk menemukan sesuatu, dan mendekati permasalahan secara induktif; (3) peneliti mempunyai kesempatan melihat hal-hal yang mungkin tidak disadari oleh partisipan dan pihak terkait; (4) peneliti dapat belajar tentang hal-hal yang mungkin tidak ingin dibicarakan partisipan pada saat wawancara terutama hal-hal yang sensitif; (5) peneliti memungkinkan berpindah dari pendapat kebanyakan orang; dan (6) peneliti dapat mengakses pengetahuan pribadi dan pengalaman langsung dengan bantuan memahami dan menafsirkan program yang sedang diteliti.

Dengan prinsip observasi partisipatif dalam penelitian naturalistik, observasi dalam penelitian ini dilakukan terhadap kejadian atau kegiatan subyek penelitian dalam konteks yang terkait dengan fokus masalah yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Dengan prinsip observasi semi partisipatif, observasi dalam penelitian ini dilakukan pula pada saat wawancara berlangsung serta pada waktu pelaksanaan kegiatan seminar dan lokakarya yang dihadiri subyek penelitian. Selain itu, dengan kemampuan peneliti dalam menangkap motivasi, kepercayaan, kepedulian,


(47)

perhatian, perilaku yang tidak sadar dan kebiasaan subyek yang sedang diteliti, peneliti memungkinkan melihat sudut pandang subyek dalam menanggapi dunianya, mengemukakan persepsi, menceritakan pengalamannya, dan harapan-harapan kehidupannya di masa depan.

B. Instrumen dan Peran Peneliti

Dalam penelitian naturalistik, peneliti berperan sekaligus sebagai instrumen (human instrument) pengumpul data. Lincoln dan Guba (1985:193-194) mengemukakan sejumlah alasan mengapa manusia (peneliti) sebagai alat pengumpul data, sbb.:

(1) Responsiveness. Manusialah yang dapat merasakan dan memberikan tanggapan terhadap petunjuk-petunjuk baik perorangan maupun lingkungan.

(2) Adaptability. Daya guna manusia untuk menyesuaikan diri sangat tinggi sehingga ia dapat mengumpulkan informasi mengenai banyak aspek pada berbagai tingkatan secara simultan.

(3) Holistic emphasis. Adanya tekanan holistik dalam dunia sekeliling memerlukan manusia sebagai instrumen yang mampu menangkap gejala sejalan dengan konteks yang menyeluruh.

(4) Knowledge base expansion. Manusia berkemampuan menjalankan fungsi secara simultan dalam ranah pengetahuan proposisional dan dalam pengetahuan yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman (propositional and tacit knowledge).


(48)

(5) Processual immediacy. Kemampuan manusia sebagai instrumen untuk memproses data segera setelah terkumpul, segera mengembangkan hipotesis, dan menguji hipotesis dengan responden pada situasi tertentu. (6) Opportunities for clarification and summarization. Manusia mempunyai

kemampuan yang unik dalam menyimpulkan data serta meminta perbaikan dan penjelasaan secara langsung.

(7) Opportunities to explore typical or idiosyncratic responses. Manusia mempunyai kemampuan untuk menyelidiki jawaban yang tidak lazim atau aneh, bukan hanya untuk menguji validitas tetapi untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi daripada oleh instrumen yang bukan manusia.

Dengan demikian, dalam penelitian ini, peneliti bertindak pula sebagai “human instrument”. Hal ini sejalan pula dengan pernyataan Bogdan dan Biklen (1982:27) bahwa “Qualitative research has the natural setting as the direct source of data and the researcher is the key instrument.” Peneliti yang berperan sebagai instrumen utama dalam proses pengumpulan data merupakan aspek penting dalam proses penelitian secara keseluruhan. Ia dapat memanfaatkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya untuk memperoleh data dan informasi yang akurat.

Merujuk pada pendapat di atas, maka pilihan pendekatan dan metode dalam penelitian ini dilandasi oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut. 1) Di dalam penelitian ini peneliti memiliki kedudukan yang sama dengan


(49)

maupun di saat mengamati sejumlah fenomena sesuai dengan fokus penelitian yang terjadi secara alamiah.

2) Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berupa kata-kata atau uraian deskriptif meskipun tidak menutup kemungkinan berupa angka-angka. Perolehan data dilakukan melalui observasi dan wawancara.

3) Proses kerja penelitian dilakukan dengan menggunakan perspektif emik, dengan mengutamakan pandangan dan pendirian responden penelitian terhadap situasi yang dihadapi.

4) Tingkat keterpercayaan data yang diperoleh dilakukan melalui verifikasi data dengan metode dan subyek yang berbeda-beda, kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Tindakan penyesuaian ini dilakukan mengingat kemungkinan kemajemukan realitas yang ditemukan di lapangan.

5) Kegiatan penelitian mengutamakan proses disamping hasil. Data penelitian dianalisis secara induktif untuk mendapatkan makna dari kondisi alami yang ada.

6) Pemaknaan dalam penelitian kualitatif dilakukan oleh peneliti serta atas interpretasi bersama antara peneliti dengan sumber data dan fokus masalah dalam penelitian ini.

C. Penentuan Subyek Penelitian dan Sumber Data 1. Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan subyek penelitian dimaksudkan agar peneliti dapat sebanyak mungkin memperoleh informasi dengan segala


(1)

Soekarno. (1930). Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial Tahun 1930. Jakarta: Departemen Penerangan RI.

Somantri, Numan. (1973). Metode Pengajaran Civics. Bandung: IKIP Bandung.

Somantri, Nu’man. (1991). “Jatidiri (Identitas) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial-IKIP dan Jurusan Pendidikan IPS FKIP-Universitas”. Makalah disampaikan pada Forum Komunikasi FPIPS-IKIP dan JPIPS-FKIP-Universitas se Indonesia, Yogyakarta.

Somantri, Nu’man. (1994). “Memantapkan Jatidiri, Batang Tubuh dan Program Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) serta Sumbangan PIPS dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam PJP II”. Makalah disampaikan pada Temukarya Pendidikan Musyawarah Nasional III ISPI, Sawangan-Bogor.

Somantri, Nu’man. (1994). “Masalah dan Prospek Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah dan LPTK dalam Pembangunan Nasional dan Era Globalisasi”. Disampaikan pada Seminar Masalah IPS, IKIP Malang.

Somantri, Nu’man. (1996). “Masalah Mengkonsolidasi Disiplin Ilmu Pendidikan dan Disiplin Pendidikan Bidang Studi dalam Mewujudkan Tujuan ISPI”. Makalah pada Temu Wicara ISPI di Sumatera Utara.

Somantri, N. (1996). “Pendidikan IPS Ditinjau dari Perspektif Aktualisasinya”. Makalah pada Diskusi Panel Terbatas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di FPIPS IKIP Jakarta.

Somantri, Numan and Sumantri, Endang. (1999). Community Civic Education: Vasic Concept and Essential Elements. (Paper) Presented in the Conference on Civic Education for Civil Society, Organized by CICED in collaboration with USIS. Bandung: Hotel Papandayan, Maret 16-17, 1999.


(2)

Somantri, Nu’man. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana (ed). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remadja Rosda Karya.

Somantri, Nu’man. (2001). Masalah Pendidikan IPS dalam Perspektif Global. Makalah Seminar Nasional dan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/FKIP Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPSI, 22-24 Oktober.

Suriasumantri, Jujun S. (1988). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sparks, Richard K. JR. (1991). Character Development at Fort Washington Elementary School dalam Benninga, Jacques S. (Editor). Moral, Character, and Civic Education in the Elementary School. New York and London: Teachers College Press.

Strauss, Anselm dan Corbin, Juliet (2003) Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisi Data, Penerjemah M. Shodiq dan Imam Muttaqien, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sukarno, Makmuri. (2004). Pendidikan, Mobilitas dan Demokratisasi: Suatu Perspektif Menuju ‘Civil Society’. Makalah Seminar tentang Rekonstruksi dan Revitalisasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Widya Graha LIPI. (Unpublished)

Sumantri, Endang. (1994). Harmoni Budaya Hidup Berpancasila Dalam Masyarakat Yang Religius: Suatu Analisis Fenomenologis. (Pidato Pengukuhan Guru Besar). Bandung: IKIP Bandung.

Sumantri, Endang. (1999). Community Civic Education: An Indonesian Case. (Paper) Presented in the Conference on Civic Education for Civil Society, Organized by CICED in collaboration with USIS. Bandung: Hotel Papandayan, Maret 16-17, 1999.

Summary of the Report of the Civics Expert Group. (1994). Whereas the People: Civics and Citizenship Education. Canberra: Australian


(3)

Sunal, Cynthia Szymanski and Haas, Mary E. (1993). Social Studies and the Elementary/Middle School Student, Philadelphia: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.

Sunoto. (1985). Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan Melalui Metafisika Logika Etika. Yogyakarta: Penerbit PT.Hanindita.

Suprapto. (1994). Sasaran Pendidikan Kebangsaan dalam Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Tantangan dan Dinamika Perjuangan Kaum Cendikiawan Indonesia. Jakarta: Kerjasama LPSP dan Grasindo.

Surjomihardjo, Abdurrachman. (1994). Pemaknaan Wawasan Kebangsaan Dalam Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Tantangan dan Dinamika Perjuangan Kaum Cendikiawan Indonesia. Jakarta: Kerjasama LPSP dan Grasindo.

Suryadi, Ace dan Somardi, (1999), Model Peta Materi Substantif Pendidikan Civic Persekolahan Indonesia (Paper), disampaikan dalam Workshop on Civic Education Content Mapping, Oktober, 18-19 1999, Hotel Papandayan, Bandung : CICED.

Syaifullah, Avip. (2003). Lembaga Pendidikan Di Indonesia Gagal Membangun Karakter Bangsa. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/18dikbud/188963.htm

Tanck, Marlin L. (1969). Teaching Concepts, Generalizations, and Constructs. Dalam Fraser, Dorothy McClure (Ed.). Social Studies Curriculum Development: Prospects and Problems. Washington DC: NCSS.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikdasmen

Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikdasmen


(4)

Vontz, Thomas S., Metcalf, Kim K. and Patrick, John J. (2000). Project Citizen and the Civic Development of Adolescent Students in Indiana, Latvia, and Lithuania. Bloomington: the ERIC Clearinghouse for Social Studies.

Wahab, A. Azis. (1999). Budi Pekerti Education: A Model of Teaching Code of Conduct for Good Indonesian Citizenship (Paper). Presented in the Conference on Civic Education for Civil Society, Organized by CICED in collaboration with USIS. Bandung: Hotel Papandayan, Maret 16-17, 1999.

Wahab, A. Azis. (1999), Pengembangan Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia Bagi Terbinanya Warga Negara Multidimensional (Paper), Disampaikan dalam Workshop on Civic Education Content Mapping, Oktober, 18-19 1999, Hotel Papandayan, Bandung : CICED.

Wahab, A. Azis. (1996). Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik: Model Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia Menuju Warganegara Global. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: IKIP Bandung.

Wahab, A . Azis. (2004). Pembangunan Karakter dan Bangsa Sebagai Upaya Bersama. (Makalah). Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional: Revitalisasi Nasionalisme Indonesia Menuju “Character and Nation Building” Kerjasama LEMHANNAS RI dan UNJ, Jakarta: 18 Mei 2004.

Will and Durant, Ariel. (1968). The Lessons of History. New York: Simon and Schuster.

Winataputra, Udin S. (1999), Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi di Indonesia (Paper), disampaikan dalam Workshop on Civic Education Content Mapping, Oktober, 18-19 1999, Hotel Papandayan. Bandung : CICED.


(5)

Winataputra, Udin S. (1999), Civic Education Classroom as Laboratory for Democracy: A New Vision for Indonesian Civic Education. Presented in the Conference on Civic Education for Civil Society, Organized by CICED in collaboration with USIS. Bandung: Hotel Papandayan, Maret 16-17, 1999.

Winataputra, Udin S. (2000). New Indonesian Civic Education: A Rationale Building (A Look-back at the CICED’s National Survey for New Indonesian Civic Education). Bandung: CICED.

Winataputra, Udin S. (2000). The Roles of Higher Education, Faculty, and Students in Improving Civic Education: An Indonesian Case. (Paper). Presented in the Fourth Annual Summer Seminar for CIVITAS: An International Civic Education Exchange Program On May, 28-31, 2000 in Dubrovnik, Croatia.

Winataputra, Udin S. (2000). The Roles of Higher Education, Faculty, and Students in Improving Civic Education: An Indonesian Case. (Paper). Presented in the Fourth Annual Summer Seminar for CIVITAS: An International Civic Education Exchange Program On May, 28-31, 2000 in Dubrovnik, Croatia.

Winataputra, Udin S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi: Suatu Kajian Konseptual Dalam Konteks Pendidikan IPS. (Disertasi), Bandung: PPS UPI. (Unpublished)

Winataputra, Udin S. (2001). Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Mengantisipasi Perubahan Sosial di Era Global. (Makalah) Disampaikan dalam Seminar Nasional dan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/FKIP/Universitas/IKIP Se-Indonesia serta Kongres HISPISI. Semarang, 22-24 Oktober 2001.

Winataputra, Udin S. (2004), Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi Konstitusional Republik Indonesia (Makalah), Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional: Revitalisasi


(6)

Nasionalisme Indonesia Menuju “Character and Nation Building” Kerjasama LEMHANNAS RI dan UNJ, Jakarta: 18 Mei 2004.

Wehmeier, Sally dan Ashby, Michael. (Eds). (2000). Oxford Advanced Learner’s Dictionary. (6th Ed). New York: Oxford University Press.